1. . Obyek Material dan Obyek Formal Ilmu Pengetahuan
“No problem, no science”. Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana namun padat akan
makna. Dari ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwasanya ilmu pengetahuan muncul dari
adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan, menurut Bahm, diperoleh dari pemecahan
suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti
tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada
sistematika ilmiah.
Permasalahan merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Permasalahan apa yang coba
dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain,
obyek dimaknai sebagai sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan.
Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu: Obyek material dan obyek formal.
Yang disebut obyek material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau
penelitian ilmu. Sedangkan menurut Surajiyo dkk. obyek material dimaknai dengan suatu
bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Obyek material juga
berarti hal yang diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material
mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-
materil. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya.
Misal: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan dalam logika
adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir
merupakan obyek material logika.
Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan
ini dibedakan atas dua arti, yaitu:
Pokok persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.
Misalnya: penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika; penyelidikan tentang
chlorophyl termasuk penelitian bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.
Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan.
Misalnya: anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur tubuh. Anatomi
mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut
dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dikatakan berbeda.
Perbedaaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang
diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh
dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.
2. Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi
yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Obyek formal diartikan juga
sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material itu disorot. Obyek formal suatu
ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya
dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan tergambar lingkup
suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, “tujuan
pengetahuan sudah ditentukan.
Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut
pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia,
diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.
c. Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal
Persoalan-persoalan umum (implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan
dalam bidang ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:
Sejauh mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing ilmu
khusus itu, dari mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana harus berhenti.
Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya.
Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.
Apakah persoalan kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu ke-alam-an
juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
Dari segi agronomi, pandangan keliru lainnya adalah banyak tanaman, banyak hasil. Ini
mungkin mirip dengan pandang “banyak anak, banyak rezeki”. Implikasi buruk dari
pandangan ini adalah petani menanam padi dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah
lagi sangat banyak tanaman dalam satu lubang tanam. Sebagai ilustrasi, ada petani yang
menanam padi dengan jarak 10 cm x 10 cm dan dalam satu lubang tanam berisi 6 tanaman.
Bila dihitung, maka satu hektar sawah berisi 6 juta batang padi, yang juga berasal dari 6 juta
butir benih padi. Jumlah ini sebanding dengan 150 kg benih padi dengan asumsi 1000 butir
padi sama dengan 25 g. Padahal, secara agronomi, padi dapat ditanam dengan jarak 25 cm x
25 cm (Thakur, 2010) atau serapat-rapatnya 20 cm x 20 cm dan dalam satu lubang cukup satu
tanaman saja, sebagaimana pada metode SRI (Thakur et al. 2010). Dengan cara ini, maka satu
hektar hanya berisi 160 ribu atau 250 ribu batang saja, yang bila dikonversi ke biji menjadi
3. setara 4,0 kg atau 6,25 kg benih saja. Coba lihat betapa tidak efisiennya petani kita yang
menabur benih padi sebanyak 150 kg dari yang seharusnya cukup 4 – 6,25 kg saja untuk satu
hektar sawah. Ini baru dilihat dari kebutuhan benih, belum lagi dari segi tenaga kerja dan
waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis sama sekali.
Anggapan lain yang sama buruknya adalah semakin banyak air yang diberikan, semakin
banyak hasil padi. Akibatnya, pemakaian air sangat boros per satuan luas sawah, berikutnya
jumlah sawah yang dapat diairi menjadi lebih sempit dari yang seharusnya. Padahal,
sebenarnya padi bukanlah murni tanaman air, karena kenyataannya padi memang dapat juga
hidup dan berproduksi tinggi pada lahan darat. Dengan demikian, air bukanlah faktor mutlak
melainkan sebagai faktor pendukung. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesehatan tanah sawah tempat padi di tanam lebih baik bila tidak digenangi terus menerus
(Hanafiah et al., 2009). Dengan demikian, sebenarnya padi tidak memerlukan terlalu banyak
air seperti yang disangkakan dan justru akan lebih produktif bila air diberikan secara macak
dan terputus-putus. Menurut Prisilla et al. (2012), pemberian air irigasi dengan debit yang
berubah-ubah sangat penting bukan saja untuk perbaikan sistem irigasi, tetapi juga untuk
melindungi sumber air bagi masa depan.