SlideShare a Scribd company logo
1 of 18
Download to read offline
Tinjauan Pustaka
Macular Hole
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin/RSUDZA Banda Aceh
Disusun oleh :
Prastika Tiara Santi
Pembimbing :
dr. Sri Marlinda, M.Ked (Oph), Sp.M
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2020
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal, budi, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul “Macular
Hole”. Shalawat beriring salam kami sampaikan kepada nabi besar Muhammad
SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun tinjauan pustaka ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam
menjalankan kepaniteraan klinik senior pada bagian/SMF Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSUDZA Banda Aceh. Kami mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Sri Marlinda,
M.Ked (Oph), Sp.M yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan
dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan.
Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan kami terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.
Banda Aceh, September 2020
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 4
Anatomi ........................................................................................................... 4
Definisi ............................................................................................................ 5
Epidemiologi ................................................................................................... 6
Klasifikasi ........................................................................................................ 6
Faktor resiko .................................................................................................... 8
Patofisiologi ..................................................................................................... 9
Manifestasi klinis dan Diagnosis Klinis .......................................................... 11
Penegakan Diagnosis ....................................................................................... 13
Penanganan ...................................................................................................... 15
Prognosis ......................................................................................................... 16
Komplikasi ....................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18
4
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm. Dari seluruh
permukaan bola mata, hanya 1/6 bagian anterior yang tampak sedangkan 5/6 bagian
posterior terletak dan terlindung di dalam ruang orbita. Secara histologik, dinding
bola mata tersusun oleh 3 lapisan yaitu tunika fibrosa, tunika vaskulosa (uvea), dan
tunika nervosa (retina). Retina merupakan tempat reseptor visual dengan tiga
lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps,
yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input
visualnya) ialah: lapisan sel fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel
ganglion. Juga terdapat sel horizontal dan sel amakrin , keduanya membentuk jalur
lateral untuk mengatur sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke
sel bipolar dan ke sel ganglion. 1
Tunika fibrosa merupakan lapisan terluar bola mata, terdiri dari kornea di
bagian anterior, dan skleradibagian posterior. 1
Tunika vaskulosa merupakan lapisan tengah bola mata, dan terdiri dari
tiga bagian, dari posterior ke anterior: koroid, korpus siliaris, dan iris. 1
Tunika nervosa (retina) merupakan lapisan bola mata yang paling dalam,
melapisi 3/4 posterior bola mata dan merupakan awal jalur penglihatan. Dengan
oftalmoskop, melalui pupil dapat terlihat bayangan retina yang diperbesar serta
pembuluh darah yang berjalan pada permukaan anteriornya. Retina merupakan
satu-satunya tempat di dalam tubuh dimana pembuluh darah dapat diamati secara
langsung dan dievaluasi kelainan patologiknya. Selain pembuluh darah, terdapat
beberapa struktur lain yang dapat diamati; diskus optikus (blind spot, bintik buta),
tempat keluarnya nervus optikus dari bola mata, serta arteri dan vena sentralis retina
yang berjalan bersama nervus optikus. Retina terdiri dari epitel pigmen (bagian non-
visual) dan bagian neural (bagian visual). Epitel pigmen merupakan selapis sel
epitel yang mengandung pigmen melanin, terletak di antara koroid dan bagian
neural retina. Melanin pada koroid dan epitel pigmen menyerap cahaya sehingga
dapat mencegah pantulan dan penyebaran cahaya di dalam bola mata. Dengan
5
demikian ,bayangan yang terlihat jelas. Retina terdiri atas 10 lapisan. Bagian neural
retina merupakan hasil penonjolan otak. Bagian ini memproses data sebelum
dihantarkan oleh impuls saraf ke hipotalamus, kemudian ke korteks visual primer.
Terdapat tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana
terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan
input visualnya) ialah: lapisan-lapisan sel fotoreseptor, sel bipolar, dan sel ganglion.
Juga terdapat sel horizontal dan sel amakrin yang membentuk jalur lateral untuk
mengatur sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan
ke sel ganglion. 1
Definisi
Macular Hole atau lubang makula adalah robekan atau defek yang
terbentuk di makula retina yang terletak di tengah fovea, menyebabkan gangguan
penglihatan yang signifikan. Knapp merupakan orang pertama yang melaporkan
Macular Hole dengan penyebab traumatis pada tahun 1869. Istilah " Macular Hole
" digunakan oleh Ogilvie pada tahun 1900. 2,3
Macular Hole dengan ablasi retinal sering kali menjadi komplikasi
spesifik dari miopia derajat tinggi dengan staphyloma posterior (walaupun pada
beberapa pasien staphyloma ablasi retina dapat terjadi tanpa macular hole). 2
6
Epidemiologi
Lubang makula (MH) kadang-kadang dapat terjadi setelah trauma. Kasus
pertama MH traumatis dijelaskan oleh Knapp pada tahun 1869. Sementara MH
idiopatik lebih sering terjadi pada wanita tua lebih dari 65 tahun. MH traumatis
lebih sering ditemukan pada pria muda di awal dua puluhan. Karena MH traumatis
sering berkaitan dengan olahraga dan kecelakaan terkait pekerjaan, hal itu terjadi
terutama pada orang yang lebih muda. Insiden MHs traumatis adalah 1,4% pada
trauma bola mata tertutup dan 0,15% pada cedera bola mata terbuka. MH traumatis
juga dapat terjadi setelah cedera laser, trauma bedah, sambaran petir, dan kejutan
dengan arus listrik. Walaupun macular hole dapat disebabkan oleh trauma atau
inflamasi pada mata, sebagian besar macular hole disebabkan oleh penuaan, dan
paling sering terjadi pada dekade ke-6 sampai 8. Macular hole lebih banyak
dijumpai pada perempuan daripada laki-laki. 4
Pada populasi umum, prevalensi MH dilaporkan sekitar 3,3 per 1.000
orang. Hingga tahun 1991, MH dianggap sebagai kondisi yang tidak dapat diobati,
namun selama dekade terakhir, teknik bedah untuk menutup lubang dan
meningkatkan penglihatan telah dikembangkan. 2
Klasifikasi
Ada dua jenis lubang makula yang dapat diamati lubang makula idiopatik
(IMH), yang disebabkan oleh traksi vitreus pada arah anteroposterior dan tangensial
pusat foveal, dan lubang makula traumatis (TMH) yang biasanya disebabkan oleh
cedera tumpul mekanik dari mata. Namun, dalam literatur terbaru, istilah idiopatik
tidak digunakan lagi, karena traksi vitreous merupakan dasar terjadinya MH.2
Klasifikasi MH berdasarkan Gass didasarkan pada perkembangan bertahap dari
lubang makula sesuai dengan bagaimana vitreous memberikan traksi pada fovea
(Tabel 1)
7
Tabel. 1 Klasifikasi Macular Hole 2
Pada tahun 2013, The International Vitreomacular Traction Study (IVTS)
mengusulkan klasifikasi anatomi berdasarkan temuan Optical Coherence
Tomography (OCT), di mana MH dibagi menjadi primer atau sekunder berdasarkan
penyebab dan juga dengan ada atau tidak adanya perlekatan vitreous. Selain itu,
berdasarkan lebar linier yang diukur secara horizontal pada titik tersempit lubang,
maka diklasifikasikan menjadi kecil (≤250 µm), sedang (> 250 µm - ≤400 µm), dan
besar (> 400 µm). Namun, dalam publikasi baru-baru ini, menurut Soon et al., Ada
sedikit perbedaan antara 350 μm dan 450 μm MH, dimana 650 μm adalah jarak
yang terbesar. pada MH sedang antara 250 dan 650 μm. Mereka mencatat dalam
penelitiannya bahwa operasi standar untuk MH besar (> 650 μm) kurang berhasil,
dimana teknik seperti flap ILM dan teknik ekspansi retinal untuk aposisi lubang
makula (RETMA) dapat dipertimbangkan. Juga, dalam studi Yu et al., Mereka
menyimpulkan bahwa MH stadium 3, bukannya berdiameter lebih kecil dan durasi
8
gejala yang lebih pendek, memiliki fitur klinis dan morfologi yang serupa dengan
MH stadium 4 menurut klasifikasi Gass (1995). 2
Publikasi terbaru dari hasil konsorsium Epidemiologi Mata Eropa (E3)
mengusulkan untuk membakukan studi klasifikasi berbasis spektral-domain optical
coherence tomography (SD-OCT-) untuk penyakit makula, di mana MH
disubklasifikasi sebagai kecil (<250 μm), sedang (> 250 hingga ≤400 μm), dan
lubang makula besar (> 400 μm). Klasifikasi disingkat dengan akronim WISPERR,
yang meliputi 6 domain, lebar perlekatan vitreoretinal, perubahan antarmuka
vitreoretinal, bentuk, perubahan epitel pigmen, peningkatan titik terendah
perlekatan vitreus, dan perubahan intraretinal yang dipisahkan menjadi perubahan
retina dalam dan luar dari vitreomakular fokal attachment (VMA) dan traksi. Chun
et al, menyarankan untuk memodifikasi klasifikasi MH berdasarkan temuan OCT
menjadi 2 jenis MH berdasarkan tingkatan defek jaringan sebelum operasi
(perbedaan tergantung pada karakteristik khas sel Muller di fovea), dan sistem
klasifikasi ini menentukan pola penutupan dan hasil visual setelah operasi. MH
dibagi lagi menurut kerusakan jaringan menjadi tipe A: tipe dehiscent, lubang
makula dengan beberapa defek jaringan foveal luar dari dehiscence sentral (tipe A
adalah dominan retraksi fotoreseptor, di mana pseudokista foveal dan pemisahan
intrafoveal terjadi) dan tipe B: jenis robekan, lubang makula terjadi karena
hilangnya jaringan luar yang substansial sebagai akibat dari robekan Full Thickness.
Tahap 2 MH dibagi lagi menjadi 2-A dan 2-B, di mana tahap 1-A berlanjut ke tahap
2-A, dan tahap 1-B berlanjut ke tahap 2-B. OCT membantu tidak hanya
memvisualisasikan traksi vitreomacular tetapi juga perencanaan tindakan bedah.
Sangat penting untuk memperhatikan ukuran lubang karena ukurannya sangat
penting untuk prognosis visual dan penutupan anatomis. 2
Faktor Resiko
Faktor resiko MH yaitu usia, jenis kelamin, myopia tinggi yang dapat
menyebabkan ablasi makula retina, trauma tumpul, atau inflamasi pada mata,
Traksi cairan vitreus, Penyakit mata diabetes. 5,6,7
9
Patofisiologi
Temuan yang berbeda dijumpai tergantung pada tahapan MH. Sisa
kortikal vitreous, retinal glial, dan sel epitel pigmen retinal sering ditemukan pada
permukaan retinal. Komponen tersebut diduga menjadi penyebab traksi tangensial
pada fovea. Pada MH terdapat edema sistoid pada lapisan plexiform luar dan inti
bagian dalam serta penipisan lapisan fotoreseptor. Telah dihipotesiskan bahwa MH
disebabkan oleh traksi tangensial serta traksi vitreoretinal posterior anterior dari
hyaloid posterior pada parafovea sehingga MH merupakan komplikasi dari
pelepasan vitreous posterior (PVD) pada tahap paling awal. 5
Terdapat perdebatan mengenai asal usul traksi vitreous dalam patogenesis
pembentukan MH. Guyer & Green dan Johnson menyebutkan bahwa gaya traksi
dinamis yang dihasilkan oleh gerakan vitreous kortikal posterior selama rotasi mata
memiliki peran penting dalam proses terjadinya MH. Mori dkk, juga
menggambarkan mobilitas vitreous kortikal posterior, menggunakan sistem OCT.
Berdasarkan pemindaian baseline secara vertikal dan horizontal dari area yang sama
di fundus menggunakan sistem pelacakan mata. Sistem OCT memungkinkan
registrasi gambar dari area yang sama memungkinkan pencitraan longitudinal.
Gambar gabungan ini menunjukkan duplikasi vitreous posterior, yang
menunjukkan mobilitasnya. Dilaporkan bahwa kejadian duplikasi vitreus kortikal
pada mata dengan MH idiopatik adalah 92%, meningkat seiring dengan
perkembangan MH. Oleh karena itu, mereka mengusulkan bahwa peran gaya
dinamis terhadap perkembangan MH idiopatik lebih besar dari yang diperkirakan
sebelumnya. 2
Selain itu, IVTS pada tahun 2013 telah menyampaikan definisi lamellar
MH dan makula pseudohole berdasarkan temuan gambar B-scan OCT, seiring
kemajuan dari OCT memungkinkan untuk menjadikan berdasarkan penyebab,
ukuran lubang, dan ada atau tidak adanya adhesi vitreomacular serta temuan lain
seperti proliferasi epiretinal yang berkaitan dengan kejadian lubang lamelar. Dalam
studi terbaru, Romano et al, mengevaluasi kepadatan optik pigmen makula
(MPOD) dengan metode reflektansi fundus panjang gelombang, dan mereka
menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam MPOD antara mata
sehat dan mata dengan vitreoretinal interface syndromes (iERM atau MH) dalam
10
kasus MH, dan mereka mengamati pigmen makula di area yang sesuai dengan
permukaan lubang, yang terjadi sebagai akibat dari pembukaan fovea dan
perpindahan sentrifugal dari pigmen makula. 2,8
11
Perkembangan Macular Hole dapat dilihat pada gambar dibawah ini 9
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Klinis
Manifestasi klinis dibagi berdasarkan derajat dan klasifikasi dari MH.
Terdapat dua skema klasifikasi utama lubang makula yang digambarkan oleh Gass:
Tahap 1 MH (disebut juga impending macular hole), menunjukkan
hilangnya depresi foveal. Stadium 1A adalah pelepasan foveolar yang ditandai
dengan hilangnya kontur foveal dan bercak berwarna lipofuscin. Pemeriksaan OCT
menunjukkan hole stadium 1A adalah “pseudocyst”, atau pemisahan horizontal
dengan vitreous detachment dari perifoveal retina tapi tidak dari tengah fovea.
Keluhan yang dirasakan yaitu gangguan penglihatan yang meliputi hilangnya
penglihatan sentral (dengan tajam penglihatan 20/25-20/60) dan metamorphopsia.
Tahap 1B adalah detasemen foveal yang ditandai dengan cincin berwarna lipofuscin
pada tengah fovea. dijumpai adanya progresi “pseudocyst” posterior dan
12
menyebabkan robekan di lapisan luar foveal, dimana pinggirnya terdiri dari
lingkaran/cincin yang terlihat secara klinis. 5,6,10
Gambar. Macular Hole Stadium 1A, tampak Yellow Spot di fovea 10
Tahap 2 MH ditentukan oleh kerusakan progresi foveal pseudocyst
menjadi full thickness, dimana tractional break terjadi di ‘atap’ (inner layer
<400µm) pseudocyst. Tahap 2 ini dapat terjadi berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan setelah Tahap 1 MH. Pasien akan mengeluhkan penurunan lebih
lanjut dalam ketajaman visual. Dalam keadaan ini hyaloid posterior masih melekat
pada fovea berdasarkan analisis OCT. 5,6,10
Gambar. Macular hole stadium 2, vitreous melekat dan diameter hole < 400 μm 10
Tahap 3 MH adalah perkembangan lebih lanjut menjadi lubang berukuran
≥400 µm. Hampir 100% dari MH tahap 2 maju ke Tahap 3 dengan retina yang
sedikit menonjol visusnya semakin menurun berkisar antara 20/40 sampai 5/200.
Pinggiran makula keabu-abuan sering menunjukkan adanya cairan subretinal.
Hyaloid posterior terlihat terlepas di atas makula namun tetap melekat pada
opticdisc dengan atau tanpa operkulum di atasnya. 5,6,10
13
Gambar. Macular hole stadium 3, vitreous melekat dengan diameter hole ≥ 400
μm. Hole ini dikelilingi oleh penebalan retina dan cairan subretina 10
Tahap 4 MH ditandai dengan tahap 3 MH dengan detasemen vitreous posterior
lengkap dan cincin Weiss. 5,6,10
Gambar. Weiss ring 10
The International Vitreomacular Traction Study (IVTS) Group juga
membentuk klasifikasi traksi vitreomakuler dan lubang makula berdasarkan temuan
OCT dapat dilihat pada tabel berikut ini: 5,9
Penegakan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis dilakukan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat di jumpai keluhan seperti
pandangan kabur atau metamorphopsia yang ringan dan muncul sewaktu membaca
atau mengemudi, namun beberapa pasien dapat asymptomatis, tajam penglihatan
14
menurun yang bervariasi tergantung pada ukuran, lokasi, dan stadium macular hole
seperti yg dijelaskan pada manifestasi klinis.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan tajam penglihatan
pada pasien.
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan: 6,10
• Tes Grid Amsler biasanya akan menampilkan pusat distorsi non-spesifik
daripada skotoma.
• Tes Watzke – Allen Caranya dengan memproyeksikan cahaya slit sempit ke
arah macular hole secara vertikal dan horizontal dengan lensa 90 D atau 78
D. Lalu tanyakan pada pasien apakah garis yang dilihatnya tegak lurus atau
menyempit atau ada celah (break) di tengah
Gambar. Berbagai bentuk kelainan yang terlihat pada Watzke-Allen test,
yaitu celah (break), penyempitan di tengah, dan pelebaran cahaya slit-
lamp. Dua bentuk pertama diasosiasikan dengan macular hole. Dua bentuk
terakhir diasosiasikan dengan epiretinal membrane
• OCT merupakan Gold standard dalam mendiagnosis stadium–stadium
macular hole. Memberikan potongan retina dengan resolusi tinggi dan dapat
mengukur ketebalan retina. Berguna untuk mendiagnosis dan menetukan
stadium macular hole.
• FAF menunjukkan bercak foveolar yang sangat hiperfluoresen pada tahap 3
dan 4, dan punctate fluorescence di tahap 2.
• FA pada full thickness menunjukkan dinding yang baik di awal lubang
karena perpindahan xantofil dan atrofi RPE.
15
Penanganan
Penanganan terpenting untuk keberhasilan operasi MH adalah ketajaman
visual pre-operasi. Semakin baik Visual pasien pre-operasi, semakin tinggi pula
tingkat perbaikan visual dan penutupan anatomisnya. Selain itu, durasi gejala yang
singkat juga merupakan faktor penting untuk hasil visual yang lebih baik dan
penutupan anatomis MH. Tahap 1 MH dapat diselesaikan secara spontan namun,
perlu diawasi secara ketat. Tahap 2 dan lebih tinggi biasanya merupakan indikasi
untuk tindakan bedah, untuk hasil bedah yang lebih baik (anatomis dan
fungsional).2
A. Viterektomi
Vitrektomi untuk penutupan MH memiliki keberhasilan yang tinggi (85% -
100%). Jackson dkk, melaporkan studi database multisenter dari 1.045
pasien, di mana 48,6% mencapai keberhasilan visual pada 12 minggu pasca
operasi, dan meningkat menjadi 58,3% pada 52 minggu. Herneiss dkk.
melaporkan hasil setelah 1 tahun setelah vitrektomi pars plana (PPV), di
mana penutupan lubang makula dicapai pada 57 dari 59 pasien (97%), dan
peningkatan signifikan dalam penglihatan umum dan kualitas hidup. 2
B. Saat ini, peeling ILM menjadi teknik yang sering digunakan untuk operasi
MH bagi kebanyakan ahli bedah. Untuk pewarnaan ILM, digunakan
adjuvan seperti indocyanine green, triamcinolone acetonide, dan bright blue
G (BBG). 2
C. Gas Type dan Tamponade, Pertukaran cairan-udara dengan pertukaran gas
biasanya dilakukan, setelah vitrektomi dan peeling ILM. Tamponade gas
membantu dalam penutupan lubang dengan mencegah kebocoran cairan
trans-hole dari rongga vitreous, memompa epitel pigmen retinal untuk
mengeluarkan cairan subretinal, mengurangi edema retinal dengan
mengurangi aliran keluar uveal-scleral transretinal, juga menghasilkan gaya
tegangan permukaan antar muka. retina dan gelembung gas menarik tepi
lubang, membantu sel glial untuk bermigrasi untuk menutup celah dan
membentuk lapisan. 2
16
D. Posturing, Mempertahankan posisi menghadap ke bawah dengan
tamponade gas berguna dalam penutupan MH namun, hal ini tidak nyaman
untuk pasien dan dapat dikaitkan dengan komplikasi, seperti nyeri
punggung atau kelumpuhan saraf ulnaris. 2
E. Ocriplasmin adalah bentuk terpotong dari plasmin manusia dengan aktivitas
proteolitik vitreoretinal termasuk fibronektin dan laminin. Dimana
oriplasmin disetujui untuk pengobatan VMA simptomatik, termasuk
hubungan VMA dengan MH <400. Suntikan ocriplasmin intravitreal
tunggal (125 µg) menunjukkan resolusi yang lebih baik dari adhesi makula
(26,5 vs 10,1% pada kelompok plasebo) serta peningkatan tingkat
penutupan lubang makula non-bedah (40,6 vs 10,6% pada kelompok
plasebo). Ocriplasmin diterapkan sebagai injeksi intravitreal dan dengan
aktivasi matriks metaloproteinase-2 endogen menghasilkan presipitasi
pemisahan VR, dalam kasus pembentukan awal MH, dapat mengakibatkan
penutupan lubang. Ocriplasmin dilaporkan aman menurut uji coba fase III
namun, beberapa efek samping seperti floaters, fotopsia, dan penglihatan
kabur sementara dapat terjadi, dan efek tersebut terjadi karena efek
vitreolitik. 2
F. Vitrektomi Gauge
Bedah 27 G merupakan suatu teknik menggunakan instrumen dengan
diameter instrumen ∼0,35 mm. Namun, hasil visual dan hasil penutupan
dilaporkan sebanding untuk operasi ukuran sempit vs 20 G. Sakaguchi dkk
melaporkan bahwa operasi pengangkatan membran epiretinal tanpa
vitrektomi dapat dilakukan dengan sistem 27-gauge. 2
Prognosis
Sebanyak 50% kasus hole stadium 1 membaik secara spontan setelah
lepasnya perlengketan vitreofoveal dan hilangnya tarikan traksional secara
spontan.6,10
Hasil visual setelah vitrektomi pars plana sangat baik. Secara umum, lebih
baik ketajaman visual sebelum operasi menghasilkan ketajaman visual pasca
operasi yang lebih baik. Namun, mata dengan ketajaman visual sebelum operasi
17
yang lebih buruk sering mengalami peningkatan postoperatif absolut terbesar.
Sejumlah kecil lubang makula dapat muncul kembali setelah penutupan yang
berhasil dengan operasi awal. 5
Jika tidak ditangani, lubang makula dapat memburuk seiring waktu.
Lubang makula terjadi dalam tiga tahap: 11
- Detasemen foveal - sekitar 50 persen memburuk tanpa pengobatan.
- Partial Full Thickness- sekitar 70 persen akan memburuk tanpa
pengobatan.
- Full Thickness- sebagian besar akan memburuk tanpa perawatan.
Komplikasi
Komplikasinya hamper sama dengan semua mata yang menjalani
vitrektomi pars plana. Secara khusus, pada kasus MH ini berisiko lebih tinggi
mengalami robekan dan pelepasan retina. Vitreous yang paling melekat pada saraf
optik, makula, dan basa vitreous. Pasien dengan lubang makula mungkin secara
inheren memiliki vitreoretinal yang abnormal, dan dengan demikian, vitrektomi
memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya robekan retinal atau ablasi retinal. 5
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Wangko, Sunny. 2013. Histofisiologi Retina. Jurnal Biomedik (JBM), Vol;
5, No. 3, Suplemen.
2. Guzel Bikbova, Toshiyuki Oshitari, Takayuki Baba, Shuichi Yamamoto,
Keisuke Mori, 2019. Pathogenesis and Management of Macular Hole:
Review of Current Advances. Journal of Ophthalmology, Article ID
3467381, 7 pages, https://doi.org/10.1155/2019/3467381
3. Boyd, Kierstan. 2019. Macular Hole. EyeSmart; American Academy of
Ophtalmology.
4. Greg Budoff, Neelakshi Bhagat, Marco A. Zarbin. 2019. Traumatic Macular
Hole: Diagnosis, Natural History, and Management. Journal of
Ophthalmology, Article ID 5837832, 7 pages,.
https://doi.org/10.1155/2019/5837832
5. Omesh P. Gupta. 2020. Macular Hole. EyeWiki American Academy of
Ophtalmology
6. Bowling B. 2016. Viteromacular Interface Disorders dan Acquired Macular
Disorders. Dalam: Kanski’s Clinical Opthalmology. Edisi ke-8. Australia:
Elsevier Inc.
7. American Society of Retina Specialists. 2016. Retina Health Series Facts
from The ASRS. The Foundation of American Society of Retina Specialists.
8. Andrew P. Schachat, Srinivas R. Sadda, David R. Hinton, C.P. Wilkinson,
Peter Wiedemann. 2017. Ryan’s Retina, Edisi ke-6. Elsevier Inc
9. American Academy of Ophthalmology. Retinal Detachment and
Predisposing Lesions. Dalam: Basic and Clinical Science Course. Bagian ke-
12: Retina and Vitreous. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2019-2020. Hal. 338.
10. Rasyid, Meriana. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Idiopathic Macular
Hole. Tarumanagara Medical Journal Vol. 1, No. 1, 221-229.
11. Dubow, Burt. 2016. Macular Holes: Causes, Progression, and Surgery. All
About Vision

More Related Content

Similar to MacularHoleReview

Similar to MacularHoleReview (20)

Tugas epidemologi ablasio retina
Tugas epidemologi   ablasio retinaTugas epidemologi   ablasio retina
Tugas epidemologi ablasio retina
 
asuhan keperawatan ablasio retina
asuhan keperawatan ablasio retinaasuhan keperawatan ablasio retina
asuhan keperawatan ablasio retina
 
Tumor Orbita
Tumor OrbitaTumor Orbita
Tumor Orbita
 
Tumor Palpebra.docx
Tumor Palpebra.docxTumor Palpebra.docx
Tumor Palpebra.docx
 
Anatomi fisiologi mata dr.Adhita Dwi A
Anatomi fisiologi mata dr.Adhita Dwi AAnatomi fisiologi mata dr.Adhita Dwi A
Anatomi fisiologi mata dr.Adhita Dwi A
 
TIPUS 1 draft.docx
TIPUS 1 draft.docxTIPUS 1 draft.docx
TIPUS 1 draft.docx
 
Makalah alat indra
Makalah alat indraMakalah alat indra
Makalah alat indra
 
Sistem Pancaindera
Sistem Pancaindera Sistem Pancaindera
Sistem Pancaindera
 
Sistem Penginderaan
Sistem PenginderaanSistem Penginderaan
Sistem Penginderaan
 
Laporan PBL 1 Modul Hemiparesis
Laporan PBL 1 Modul HemiparesisLaporan PBL 1 Modul Hemiparesis
Laporan PBL 1 Modul Hemiparesis
 
Anatomi dan fisiologi alat penglihatan
Anatomi dan fisiologi alat penglihatanAnatomi dan fisiologi alat penglihatan
Anatomi dan fisiologi alat penglihatan
 
trauma pada mata
trauma pada matatrauma pada mata
trauma pada mata
 
Makalah gangguan sistem sensori persepsi penglihatan
Makalah gangguan sistem sensori persepsi penglihatanMakalah gangguan sistem sensori persepsi penglihatan
Makalah gangguan sistem sensori persepsi penglihatan
 
Preskas ablasio
Preskas ablasio Preskas ablasio
Preskas ablasio
 
Opthalmologi
OpthalmologiOpthalmologi
Opthalmologi
 
Opthalmologi
OpthalmologiOpthalmologi
Opthalmologi
 
Makalah anatomi dan fisiologi indra penglihatan
Makalah anatomi dan fisiologi indra  penglihatanMakalah anatomi dan fisiologi indra  penglihatan
Makalah anatomi dan fisiologi indra penglihatan
 
Makalah alat indra
Makalah alat indraMakalah alat indra
Makalah alat indra
 
Makalah alat indra
Makalah alat indraMakalah alat indra
Makalah alat indra
 
Makalah alat indra
Makalah alat indraMakalah alat indra
Makalah alat indra
 

More from prastika1

Tinjauan pustaka ektropion sikatrik
Tinjauan pustaka ektropion sikatrikTinjauan pustaka ektropion sikatrik
Tinjauan pustaka ektropion sikatrikprastika1
 
Tinjauan pustaka mooren's ulcer
Tinjauan pustaka mooren's ulcerTinjauan pustaka mooren's ulcer
Tinjauan pustaka mooren's ulcerprastika1
 
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amsler
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amslerPemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amsler
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amslerprastika1
 
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoresein
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoreseinPemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoresein
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoreseinprastika1
 
Vignet pulmo tika
Vignet pulmo tikaVignet pulmo tika
Vignet pulmo tikaprastika1
 

More from prastika1 (6)

Tinjauan pustaka ektropion sikatrik
Tinjauan pustaka ektropion sikatrikTinjauan pustaka ektropion sikatrik
Tinjauan pustaka ektropion sikatrik
 
Tinjauan pustaka mooren's ulcer
Tinjauan pustaka mooren's ulcerTinjauan pustaka mooren's ulcer
Tinjauan pustaka mooren's ulcer
 
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amsler
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amslerPemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amsler
Pemeriksaan lapangan pandang (tes konfrontasi dan amsler
 
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoresein
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoreseinPemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoresein
Pemeriksaan sensibilitas kornea dan inspeksi kornea fluoresein
 
Vignet pulmo tika
Vignet pulmo tikaVignet pulmo tika
Vignet pulmo tika
 
Esotropia
EsotropiaEsotropia
Esotropia
 

Recently uploaded

Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien Dewasa
Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien DewasaUpdate 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien Dewasa
Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien DewasaErdinataKusuma1
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxrittafarmaraflesia
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptRoniAlfaqih2
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptika291990
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusiastvitania08
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.pptDesiskaPricilia1
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/maGusmaliniEf
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatSyarifahNurulMaulida1
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptDwiBhaktiPertiwi1
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALMayangWulan3
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufalmahdaly02
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANYayahKodariyah
 

Recently uploaded (20)

Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien Dewasa
Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien DewasaUpdate 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien Dewasa
Update 2023 Tentang Sepsis Dan Syok Pada Pasien Dewasa
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusia
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
 

MacularHoleReview

  • 1. Tinjauan Pustaka Macular Hole Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin/RSUDZA Banda Aceh Disusun oleh : Prastika Tiara Santi Pembimbing : dr. Sri Marlinda, M.Ked (Oph), Sp.M BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2020
  • 2. 2 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan akal, budi, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul “Macular Hole”. Shalawat beriring salam kami sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya. Adapun tinjauan pustaka ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior pada bagian/SMF Mata Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSUDZA Banda Aceh. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Sri Marlinda, M.Ked (Oph), Sp.M yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan kami terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang. Banda Aceh, September 2020 Penulis
  • 3. 3 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2 DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 4 Anatomi ........................................................................................................... 4 Definisi ............................................................................................................ 5 Epidemiologi ................................................................................................... 6 Klasifikasi ........................................................................................................ 6 Faktor resiko .................................................................................................... 8 Patofisiologi ..................................................................................................... 9 Manifestasi klinis dan Diagnosis Klinis .......................................................... 11 Penegakan Diagnosis ....................................................................................... 13 Penanganan ...................................................................................................... 15 Prognosis ......................................................................................................... 16 Komplikasi ....................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18
  • 4. 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm. Dari seluruh permukaan bola mata, hanya 1/6 bagian anterior yang tampak sedangkan 5/6 bagian posterior terletak dan terlindung di dalam ruang orbita. Secara histologik, dinding bola mata tersusun oleh 3 lapisan yaitu tunika fibrosa, tunika vaskulosa (uvea), dan tunika nervosa (retina). Retina merupakan tempat reseptor visual dengan tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan sel fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel ganglion. Juga terdapat sel horizontal dan sel amakrin , keduanya membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion. 1 Tunika fibrosa merupakan lapisan terluar bola mata, terdiri dari kornea di bagian anterior, dan skleradibagian posterior. 1 Tunika vaskulosa merupakan lapisan tengah bola mata, dan terdiri dari tiga bagian, dari posterior ke anterior: koroid, korpus siliaris, dan iris. 1 Tunika nervosa (retina) merupakan lapisan bola mata yang paling dalam, melapisi 3/4 posterior bola mata dan merupakan awal jalur penglihatan. Dengan oftalmoskop, melalui pupil dapat terlihat bayangan retina yang diperbesar serta pembuluh darah yang berjalan pada permukaan anteriornya. Retina merupakan satu-satunya tempat di dalam tubuh dimana pembuluh darah dapat diamati secara langsung dan dievaluasi kelainan patologiknya. Selain pembuluh darah, terdapat beberapa struktur lain yang dapat diamati; diskus optikus (blind spot, bintik buta), tempat keluarnya nervus optikus dari bola mata, serta arteri dan vena sentralis retina yang berjalan bersama nervus optikus. Retina terdiri dari epitel pigmen (bagian non- visual) dan bagian neural (bagian visual). Epitel pigmen merupakan selapis sel epitel yang mengandung pigmen melanin, terletak di antara koroid dan bagian neural retina. Melanin pada koroid dan epitel pigmen menyerap cahaya sehingga dapat mencegah pantulan dan penyebaran cahaya di dalam bola mata. Dengan
  • 5. 5 demikian ,bayangan yang terlihat jelas. Retina terdiri atas 10 lapisan. Bagian neural retina merupakan hasil penonjolan otak. Bagian ini memproses data sebelum dihantarkan oleh impuls saraf ke hipotalamus, kemudian ke korteks visual primer. Terdapat tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan-lapisan sel fotoreseptor, sel bipolar, dan sel ganglion. Juga terdapat sel horizontal dan sel amakrin yang membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion. 1 Definisi Macular Hole atau lubang makula adalah robekan atau defek yang terbentuk di makula retina yang terletak di tengah fovea, menyebabkan gangguan penglihatan yang signifikan. Knapp merupakan orang pertama yang melaporkan Macular Hole dengan penyebab traumatis pada tahun 1869. Istilah " Macular Hole " digunakan oleh Ogilvie pada tahun 1900. 2,3 Macular Hole dengan ablasi retinal sering kali menjadi komplikasi spesifik dari miopia derajat tinggi dengan staphyloma posterior (walaupun pada beberapa pasien staphyloma ablasi retina dapat terjadi tanpa macular hole). 2
  • 6. 6 Epidemiologi Lubang makula (MH) kadang-kadang dapat terjadi setelah trauma. Kasus pertama MH traumatis dijelaskan oleh Knapp pada tahun 1869. Sementara MH idiopatik lebih sering terjadi pada wanita tua lebih dari 65 tahun. MH traumatis lebih sering ditemukan pada pria muda di awal dua puluhan. Karena MH traumatis sering berkaitan dengan olahraga dan kecelakaan terkait pekerjaan, hal itu terjadi terutama pada orang yang lebih muda. Insiden MHs traumatis adalah 1,4% pada trauma bola mata tertutup dan 0,15% pada cedera bola mata terbuka. MH traumatis juga dapat terjadi setelah cedera laser, trauma bedah, sambaran petir, dan kejutan dengan arus listrik. Walaupun macular hole dapat disebabkan oleh trauma atau inflamasi pada mata, sebagian besar macular hole disebabkan oleh penuaan, dan paling sering terjadi pada dekade ke-6 sampai 8. Macular hole lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada laki-laki. 4 Pada populasi umum, prevalensi MH dilaporkan sekitar 3,3 per 1.000 orang. Hingga tahun 1991, MH dianggap sebagai kondisi yang tidak dapat diobati, namun selama dekade terakhir, teknik bedah untuk menutup lubang dan meningkatkan penglihatan telah dikembangkan. 2 Klasifikasi Ada dua jenis lubang makula yang dapat diamati lubang makula idiopatik (IMH), yang disebabkan oleh traksi vitreus pada arah anteroposterior dan tangensial pusat foveal, dan lubang makula traumatis (TMH) yang biasanya disebabkan oleh cedera tumpul mekanik dari mata. Namun, dalam literatur terbaru, istilah idiopatik tidak digunakan lagi, karena traksi vitreous merupakan dasar terjadinya MH.2 Klasifikasi MH berdasarkan Gass didasarkan pada perkembangan bertahap dari lubang makula sesuai dengan bagaimana vitreous memberikan traksi pada fovea (Tabel 1)
  • 7. 7 Tabel. 1 Klasifikasi Macular Hole 2 Pada tahun 2013, The International Vitreomacular Traction Study (IVTS) mengusulkan klasifikasi anatomi berdasarkan temuan Optical Coherence Tomography (OCT), di mana MH dibagi menjadi primer atau sekunder berdasarkan penyebab dan juga dengan ada atau tidak adanya perlekatan vitreous. Selain itu, berdasarkan lebar linier yang diukur secara horizontal pada titik tersempit lubang, maka diklasifikasikan menjadi kecil (≤250 µm), sedang (> 250 µm - ≤400 µm), dan besar (> 400 µm). Namun, dalam publikasi baru-baru ini, menurut Soon et al., Ada sedikit perbedaan antara 350 μm dan 450 μm MH, dimana 650 μm adalah jarak yang terbesar. pada MH sedang antara 250 dan 650 μm. Mereka mencatat dalam penelitiannya bahwa operasi standar untuk MH besar (> 650 μm) kurang berhasil, dimana teknik seperti flap ILM dan teknik ekspansi retinal untuk aposisi lubang makula (RETMA) dapat dipertimbangkan. Juga, dalam studi Yu et al., Mereka menyimpulkan bahwa MH stadium 3, bukannya berdiameter lebih kecil dan durasi
  • 8. 8 gejala yang lebih pendek, memiliki fitur klinis dan morfologi yang serupa dengan MH stadium 4 menurut klasifikasi Gass (1995). 2 Publikasi terbaru dari hasil konsorsium Epidemiologi Mata Eropa (E3) mengusulkan untuk membakukan studi klasifikasi berbasis spektral-domain optical coherence tomography (SD-OCT-) untuk penyakit makula, di mana MH disubklasifikasi sebagai kecil (<250 μm), sedang (> 250 hingga ≤400 μm), dan lubang makula besar (> 400 μm). Klasifikasi disingkat dengan akronim WISPERR, yang meliputi 6 domain, lebar perlekatan vitreoretinal, perubahan antarmuka vitreoretinal, bentuk, perubahan epitel pigmen, peningkatan titik terendah perlekatan vitreus, dan perubahan intraretinal yang dipisahkan menjadi perubahan retina dalam dan luar dari vitreomakular fokal attachment (VMA) dan traksi. Chun et al, menyarankan untuk memodifikasi klasifikasi MH berdasarkan temuan OCT menjadi 2 jenis MH berdasarkan tingkatan defek jaringan sebelum operasi (perbedaan tergantung pada karakteristik khas sel Muller di fovea), dan sistem klasifikasi ini menentukan pola penutupan dan hasil visual setelah operasi. MH dibagi lagi menurut kerusakan jaringan menjadi tipe A: tipe dehiscent, lubang makula dengan beberapa defek jaringan foveal luar dari dehiscence sentral (tipe A adalah dominan retraksi fotoreseptor, di mana pseudokista foveal dan pemisahan intrafoveal terjadi) dan tipe B: jenis robekan, lubang makula terjadi karena hilangnya jaringan luar yang substansial sebagai akibat dari robekan Full Thickness. Tahap 2 MH dibagi lagi menjadi 2-A dan 2-B, di mana tahap 1-A berlanjut ke tahap 2-A, dan tahap 1-B berlanjut ke tahap 2-B. OCT membantu tidak hanya memvisualisasikan traksi vitreomacular tetapi juga perencanaan tindakan bedah. Sangat penting untuk memperhatikan ukuran lubang karena ukurannya sangat penting untuk prognosis visual dan penutupan anatomis. 2 Faktor Resiko Faktor resiko MH yaitu usia, jenis kelamin, myopia tinggi yang dapat menyebabkan ablasi makula retina, trauma tumpul, atau inflamasi pada mata, Traksi cairan vitreus, Penyakit mata diabetes. 5,6,7
  • 9. 9 Patofisiologi Temuan yang berbeda dijumpai tergantung pada tahapan MH. Sisa kortikal vitreous, retinal glial, dan sel epitel pigmen retinal sering ditemukan pada permukaan retinal. Komponen tersebut diduga menjadi penyebab traksi tangensial pada fovea. Pada MH terdapat edema sistoid pada lapisan plexiform luar dan inti bagian dalam serta penipisan lapisan fotoreseptor. Telah dihipotesiskan bahwa MH disebabkan oleh traksi tangensial serta traksi vitreoretinal posterior anterior dari hyaloid posterior pada parafovea sehingga MH merupakan komplikasi dari pelepasan vitreous posterior (PVD) pada tahap paling awal. 5 Terdapat perdebatan mengenai asal usul traksi vitreous dalam patogenesis pembentukan MH. Guyer & Green dan Johnson menyebutkan bahwa gaya traksi dinamis yang dihasilkan oleh gerakan vitreous kortikal posterior selama rotasi mata memiliki peran penting dalam proses terjadinya MH. Mori dkk, juga menggambarkan mobilitas vitreous kortikal posterior, menggunakan sistem OCT. Berdasarkan pemindaian baseline secara vertikal dan horizontal dari area yang sama di fundus menggunakan sistem pelacakan mata. Sistem OCT memungkinkan registrasi gambar dari area yang sama memungkinkan pencitraan longitudinal. Gambar gabungan ini menunjukkan duplikasi vitreous posterior, yang menunjukkan mobilitasnya. Dilaporkan bahwa kejadian duplikasi vitreus kortikal pada mata dengan MH idiopatik adalah 92%, meningkat seiring dengan perkembangan MH. Oleh karena itu, mereka mengusulkan bahwa peran gaya dinamis terhadap perkembangan MH idiopatik lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. 2 Selain itu, IVTS pada tahun 2013 telah menyampaikan definisi lamellar MH dan makula pseudohole berdasarkan temuan gambar B-scan OCT, seiring kemajuan dari OCT memungkinkan untuk menjadikan berdasarkan penyebab, ukuran lubang, dan ada atau tidak adanya adhesi vitreomacular serta temuan lain seperti proliferasi epiretinal yang berkaitan dengan kejadian lubang lamelar. Dalam studi terbaru, Romano et al, mengevaluasi kepadatan optik pigmen makula (MPOD) dengan metode reflektansi fundus panjang gelombang, dan mereka menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam MPOD antara mata sehat dan mata dengan vitreoretinal interface syndromes (iERM atau MH) dalam
  • 10. 10 kasus MH, dan mereka mengamati pigmen makula di area yang sesuai dengan permukaan lubang, yang terjadi sebagai akibat dari pembukaan fovea dan perpindahan sentrifugal dari pigmen makula. 2,8
  • 11. 11 Perkembangan Macular Hole dapat dilihat pada gambar dibawah ini 9 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Klinis Manifestasi klinis dibagi berdasarkan derajat dan klasifikasi dari MH. Terdapat dua skema klasifikasi utama lubang makula yang digambarkan oleh Gass: Tahap 1 MH (disebut juga impending macular hole), menunjukkan hilangnya depresi foveal. Stadium 1A adalah pelepasan foveolar yang ditandai dengan hilangnya kontur foveal dan bercak berwarna lipofuscin. Pemeriksaan OCT menunjukkan hole stadium 1A adalah “pseudocyst”, atau pemisahan horizontal dengan vitreous detachment dari perifoveal retina tapi tidak dari tengah fovea. Keluhan yang dirasakan yaitu gangguan penglihatan yang meliputi hilangnya penglihatan sentral (dengan tajam penglihatan 20/25-20/60) dan metamorphopsia. Tahap 1B adalah detasemen foveal yang ditandai dengan cincin berwarna lipofuscin pada tengah fovea. dijumpai adanya progresi “pseudocyst” posterior dan
  • 12. 12 menyebabkan robekan di lapisan luar foveal, dimana pinggirnya terdiri dari lingkaran/cincin yang terlihat secara klinis. 5,6,10 Gambar. Macular Hole Stadium 1A, tampak Yellow Spot di fovea 10 Tahap 2 MH ditentukan oleh kerusakan progresi foveal pseudocyst menjadi full thickness, dimana tractional break terjadi di ‘atap’ (inner layer <400µm) pseudocyst. Tahap 2 ini dapat terjadi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah Tahap 1 MH. Pasien akan mengeluhkan penurunan lebih lanjut dalam ketajaman visual. Dalam keadaan ini hyaloid posterior masih melekat pada fovea berdasarkan analisis OCT. 5,6,10 Gambar. Macular hole stadium 2, vitreous melekat dan diameter hole < 400 μm 10 Tahap 3 MH adalah perkembangan lebih lanjut menjadi lubang berukuran ≥400 µm. Hampir 100% dari MH tahap 2 maju ke Tahap 3 dengan retina yang sedikit menonjol visusnya semakin menurun berkisar antara 20/40 sampai 5/200. Pinggiran makula keabu-abuan sering menunjukkan adanya cairan subretinal. Hyaloid posterior terlihat terlepas di atas makula namun tetap melekat pada opticdisc dengan atau tanpa operkulum di atasnya. 5,6,10
  • 13. 13 Gambar. Macular hole stadium 3, vitreous melekat dengan diameter hole ≥ 400 μm. Hole ini dikelilingi oleh penebalan retina dan cairan subretina 10 Tahap 4 MH ditandai dengan tahap 3 MH dengan detasemen vitreous posterior lengkap dan cincin Weiss. 5,6,10 Gambar. Weiss ring 10 The International Vitreomacular Traction Study (IVTS) Group juga membentuk klasifikasi traksi vitreomakuler dan lubang makula berdasarkan temuan OCT dapat dilihat pada tabel berikut ini: 5,9 Penegakan Diagnosis Dalam penegakan diagnosis dilakukan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat di jumpai keluhan seperti pandangan kabur atau metamorphopsia yang ringan dan muncul sewaktu membaca atau mengemudi, namun beberapa pasien dapat asymptomatis, tajam penglihatan
  • 14. 14 menurun yang bervariasi tergantung pada ukuran, lokasi, dan stadium macular hole seperti yg dijelaskan pada manifestasi klinis. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan tajam penglihatan pada pasien. Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan: 6,10 • Tes Grid Amsler biasanya akan menampilkan pusat distorsi non-spesifik daripada skotoma. • Tes Watzke – Allen Caranya dengan memproyeksikan cahaya slit sempit ke arah macular hole secara vertikal dan horizontal dengan lensa 90 D atau 78 D. Lalu tanyakan pada pasien apakah garis yang dilihatnya tegak lurus atau menyempit atau ada celah (break) di tengah Gambar. Berbagai bentuk kelainan yang terlihat pada Watzke-Allen test, yaitu celah (break), penyempitan di tengah, dan pelebaran cahaya slit- lamp. Dua bentuk pertama diasosiasikan dengan macular hole. Dua bentuk terakhir diasosiasikan dengan epiretinal membrane • OCT merupakan Gold standard dalam mendiagnosis stadium–stadium macular hole. Memberikan potongan retina dengan resolusi tinggi dan dapat mengukur ketebalan retina. Berguna untuk mendiagnosis dan menetukan stadium macular hole. • FAF menunjukkan bercak foveolar yang sangat hiperfluoresen pada tahap 3 dan 4, dan punctate fluorescence di tahap 2. • FA pada full thickness menunjukkan dinding yang baik di awal lubang karena perpindahan xantofil dan atrofi RPE.
  • 15. 15 Penanganan Penanganan terpenting untuk keberhasilan operasi MH adalah ketajaman visual pre-operasi. Semakin baik Visual pasien pre-operasi, semakin tinggi pula tingkat perbaikan visual dan penutupan anatomisnya. Selain itu, durasi gejala yang singkat juga merupakan faktor penting untuk hasil visual yang lebih baik dan penutupan anatomis MH. Tahap 1 MH dapat diselesaikan secara spontan namun, perlu diawasi secara ketat. Tahap 2 dan lebih tinggi biasanya merupakan indikasi untuk tindakan bedah, untuk hasil bedah yang lebih baik (anatomis dan fungsional).2 A. Viterektomi Vitrektomi untuk penutupan MH memiliki keberhasilan yang tinggi (85% - 100%). Jackson dkk, melaporkan studi database multisenter dari 1.045 pasien, di mana 48,6% mencapai keberhasilan visual pada 12 minggu pasca operasi, dan meningkat menjadi 58,3% pada 52 minggu. Herneiss dkk. melaporkan hasil setelah 1 tahun setelah vitrektomi pars plana (PPV), di mana penutupan lubang makula dicapai pada 57 dari 59 pasien (97%), dan peningkatan signifikan dalam penglihatan umum dan kualitas hidup. 2 B. Saat ini, peeling ILM menjadi teknik yang sering digunakan untuk operasi MH bagi kebanyakan ahli bedah. Untuk pewarnaan ILM, digunakan adjuvan seperti indocyanine green, triamcinolone acetonide, dan bright blue G (BBG). 2 C. Gas Type dan Tamponade, Pertukaran cairan-udara dengan pertukaran gas biasanya dilakukan, setelah vitrektomi dan peeling ILM. Tamponade gas membantu dalam penutupan lubang dengan mencegah kebocoran cairan trans-hole dari rongga vitreous, memompa epitel pigmen retinal untuk mengeluarkan cairan subretinal, mengurangi edema retinal dengan mengurangi aliran keluar uveal-scleral transretinal, juga menghasilkan gaya tegangan permukaan antar muka. retina dan gelembung gas menarik tepi lubang, membantu sel glial untuk bermigrasi untuk menutup celah dan membentuk lapisan. 2
  • 16. 16 D. Posturing, Mempertahankan posisi menghadap ke bawah dengan tamponade gas berguna dalam penutupan MH namun, hal ini tidak nyaman untuk pasien dan dapat dikaitkan dengan komplikasi, seperti nyeri punggung atau kelumpuhan saraf ulnaris. 2 E. Ocriplasmin adalah bentuk terpotong dari plasmin manusia dengan aktivitas proteolitik vitreoretinal termasuk fibronektin dan laminin. Dimana oriplasmin disetujui untuk pengobatan VMA simptomatik, termasuk hubungan VMA dengan MH <400. Suntikan ocriplasmin intravitreal tunggal (125 µg) menunjukkan resolusi yang lebih baik dari adhesi makula (26,5 vs 10,1% pada kelompok plasebo) serta peningkatan tingkat penutupan lubang makula non-bedah (40,6 vs 10,6% pada kelompok plasebo). Ocriplasmin diterapkan sebagai injeksi intravitreal dan dengan aktivasi matriks metaloproteinase-2 endogen menghasilkan presipitasi pemisahan VR, dalam kasus pembentukan awal MH, dapat mengakibatkan penutupan lubang. Ocriplasmin dilaporkan aman menurut uji coba fase III namun, beberapa efek samping seperti floaters, fotopsia, dan penglihatan kabur sementara dapat terjadi, dan efek tersebut terjadi karena efek vitreolitik. 2 F. Vitrektomi Gauge Bedah 27 G merupakan suatu teknik menggunakan instrumen dengan diameter instrumen ∼0,35 mm. Namun, hasil visual dan hasil penutupan dilaporkan sebanding untuk operasi ukuran sempit vs 20 G. Sakaguchi dkk melaporkan bahwa operasi pengangkatan membran epiretinal tanpa vitrektomi dapat dilakukan dengan sistem 27-gauge. 2 Prognosis Sebanyak 50% kasus hole stadium 1 membaik secara spontan setelah lepasnya perlengketan vitreofoveal dan hilangnya tarikan traksional secara spontan.6,10 Hasil visual setelah vitrektomi pars plana sangat baik. Secara umum, lebih baik ketajaman visual sebelum operasi menghasilkan ketajaman visual pasca operasi yang lebih baik. Namun, mata dengan ketajaman visual sebelum operasi
  • 17. 17 yang lebih buruk sering mengalami peningkatan postoperatif absolut terbesar. Sejumlah kecil lubang makula dapat muncul kembali setelah penutupan yang berhasil dengan operasi awal. 5 Jika tidak ditangani, lubang makula dapat memburuk seiring waktu. Lubang makula terjadi dalam tiga tahap: 11 - Detasemen foveal - sekitar 50 persen memburuk tanpa pengobatan. - Partial Full Thickness- sekitar 70 persen akan memburuk tanpa pengobatan. - Full Thickness- sebagian besar akan memburuk tanpa perawatan. Komplikasi Komplikasinya hamper sama dengan semua mata yang menjalani vitrektomi pars plana. Secara khusus, pada kasus MH ini berisiko lebih tinggi mengalami robekan dan pelepasan retina. Vitreous yang paling melekat pada saraf optik, makula, dan basa vitreous. Pasien dengan lubang makula mungkin secara inheren memiliki vitreoretinal yang abnormal, dan dengan demikian, vitrektomi memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya robekan retinal atau ablasi retinal. 5
  • 18. 18 DAFTAR PUSTAKA 1. Wangko, Sunny. 2013. Histofisiologi Retina. Jurnal Biomedik (JBM), Vol; 5, No. 3, Suplemen. 2. Guzel Bikbova, Toshiyuki Oshitari, Takayuki Baba, Shuichi Yamamoto, Keisuke Mori, 2019. Pathogenesis and Management of Macular Hole: Review of Current Advances. Journal of Ophthalmology, Article ID 3467381, 7 pages, https://doi.org/10.1155/2019/3467381 3. Boyd, Kierstan. 2019. Macular Hole. EyeSmart; American Academy of Ophtalmology. 4. Greg Budoff, Neelakshi Bhagat, Marco A. Zarbin. 2019. Traumatic Macular Hole: Diagnosis, Natural History, and Management. Journal of Ophthalmology, Article ID 5837832, 7 pages,. https://doi.org/10.1155/2019/5837832 5. Omesh P. Gupta. 2020. Macular Hole. EyeWiki American Academy of Ophtalmology 6. Bowling B. 2016. Viteromacular Interface Disorders dan Acquired Macular Disorders. Dalam: Kanski’s Clinical Opthalmology. Edisi ke-8. Australia: Elsevier Inc. 7. American Society of Retina Specialists. 2016. Retina Health Series Facts from The ASRS. The Foundation of American Society of Retina Specialists. 8. Andrew P. Schachat, Srinivas R. Sadda, David R. Hinton, C.P. Wilkinson, Peter Wiedemann. 2017. Ryan’s Retina, Edisi ke-6. Elsevier Inc 9. American Academy of Ophthalmology. Retinal Detachment and Predisposing Lesions. Dalam: Basic and Clinical Science Course. Bagian ke- 12: Retina and Vitreous. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019-2020. Hal. 338. 10. Rasyid, Meriana. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Idiopathic Macular Hole. Tarumanagara Medical Journal Vol. 1, No. 1, 221-229. 11. Dubow, Burt. 2016. Macular Holes: Causes, Progression, and Surgery. All About Vision