Perppu Mahkamah Konstitusi dikeluarkan untuk memperbaiki sistem pengawasan hakim konstitusi dengan membentuk badan pengawas tetap dan menambah persyaratan calon hakim konstitusi tidak boleh aktif dalam partai politik tujuh tahun terakhir. Namun, Perppu ini dinilai terlambat dikeluarkan dan substansinya kurang mendesak.
1. Perppu Mahkamah
Konstituti, Apa
Perlunya?
hal
2
Spirit Baru Jawa Timur
surabaya.tribunnews.com
surya.co.id
| JUMAT, 25 OKTOBER 2013 | Terbit 2 halaman
edisi pagi
Indonesiaku
SEMAKIN BESAR
SURYA Online - Indonesia
menjadi negara yang semakin
‘besar’ dan ‘luas’ menyusul
disetujuinya pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU)
pembentukan 65 daerah otonomi, 19 diantaranya berada
di Papua, meski Pemerintah
Pusat belum tentu mendukung
menjadi kota atau provinsi
baru, Kamis (24/10/2013).
RUU ini merupakan inisiatif
DPR berdasarkan aspirasi
masyarakat yang menuntut pemekaran wilayah di daerahnya.
Oleh sebab itu, Pemerintah
harus benar-benar hati-hati
dan mempertimbangkan
karena sebenarnya pemecahan
wilayah ini akan semakin
membuat rentan kekuatan
Republik ini.
Belum tentu DPR, yang
selalu mengatakan, atas nama
rakyat, padahal rakyat yang
mana, yang mengusulkan RUU
ini memiliki kapabelitas dan
akuntabilitas dalam memikirkan pemekaran wilayah. Sebab
belum tentu yang bersangkutan menguasai medan dan
mengenal karakteristik yang
akan dimekarkan. Selain itu,
apakah usulan tersebut pernah
diselidiki dari mana asalnya
dan memiliki motivasi apa
terhadap pemecahan wilayah
ini. Kekhawatiran lain, pemecahan atau pemekaran ini ada
penyusupan kepentingan yang
sengaja untuk memperlemah
peta koordinasi Pemerintah
Indonesia dan mempermudah
pemerataan pembangunan
itu tidak terjadi sehingga
gampang muncul gejolak di
daerah. Sistem desentralisasi
sekarang sebenarnya cukup
bagus, karena dana pemerintah bisa tersalurkan langsung
dan mengurangi birokrasi.
Namun lagi-lagi keimanan
penguasa daerah ternyata
tidak lebih bagus dari yang ada
di Pusat sehingga perjalanan
pemerintahan desentralisasi ini
menjadi tidak optimal dalam
membangun daerah. Jadi,
mengapa harus dipecah-pecah
bangsa ini?
Usulan RUU Pemekaran
Wilayah ini adalah produk
Komisi II DPR yang menurut
Wakil Ketua Komisinya,
Khatibul Umam Wiranu, DPR
lebih menekankan pertimbangan politik dan konstituennya.
Inilah yang menjadi keprihatinan karena jika hanya menguntuk memecah Indonesia.
Karena logika dan pepatah
mengatakan, mematahkan satu
sapu lidi lebih gampang dari
pada serumpun lidi.
Pengamat Otonomi Daerah
dari Institut Pemerintah Dalam
Negeri I Made Suwandi kepada
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (24/10/2013),
mengatakan,”Presiden tidak
harus menyetujuinya.”
Pemerintah, menurutnya,
akan meneliti sejauh mana
kesiapan teknis 65 daerah
otonomi yang diusulkan itu,
join facebook.com/suryaonline
termasuk kemampuan keuangan serta batas wilayahnya.
“Karena jika daerah belum
siap, akhirnya hasilnya menjadi
tidak bagus,” katanya.
Kesiapan yang dimaksud
I Made Suwandi tersebut
mungkin hanya menyangkut
masalah teknis dan material
daerah saja, namun sebenarnya tidak hanya itu saja yang
diperhitungkan, yakni masalah
keamanan negara.
Jika sekarang di Papua, yang
konon kabarnya masih belum
aman benar terhadap separatis
Papua Merdeka, sudah
mengalami pemekaran yang sedemikan
rupa dan Pemerintah
sulit mengendalikan,
apalagi nanti ditambah dengan 19 daerah
otonomi baru. Politik
devide et impera,
sebenarnya itulah
yang diterapkan
dengan bahasa baru
pemekaran tersebut.
Karena buktinya
banyak daerah baru
hasil pemekaran tidak
banyak berkembang
bahkan menjadi
ladang korupsi. Yang lebih penting sebenarnya bukan pemekaran daerahnya tetapi adalah
pemerataan dan transparansi
pembangunan ke daerahdaerah. Pasalnya, kesalahan
dimasa lampau, ketika sistem
sentralisasi Pemerintah, karena
edepankan dua pertimbangan
dasar pemikiran tersebut,
berarti DPR hanya memikirkan
kepentingan pribadinya sendiri,
tidak memikirkan kepentingan
bangsa dan negara yang lebih
luas. (wahjoe harjanto)
follow @portalsurya
2. 2
JUMAT, 25 OKTOBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com
Perppu Mahkamah Konstitusi
APA PERLUNYA ?
SURYA Online - Penerbitan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Mahkamah
Konstitusi (Perppu MK) oleh
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mendapat kritikan
berbagai kalangan.
Perppu MK yang ditandatangani 17 Oktober 2013 di
Istana Kepresidenan, Gedung
Agung, Jogjakarta, atau tiga
pekan pasca penangkapan
Akil Mochtar oleh KPK, dinilai
kehilangan esensi.
“Kalau keadaan mendesak
kan Presiden bisa mengeluarkan Perppu, tapi sayangnya ini
terlalu lama. Sudah kehilangan, memaksanya. Perppu
itu kan kegentingan yang
memaksa kalau pas malam itu
Akil ditangkap lalu besoknya
dikeluarkan Perpu, itu orang
bisa terima, tapi ini membuat
Perppu begini saja butuh waktu berminggu-minggu, tidak
jelas,” kata Pakar Hukum Tata
Negara Yusril Ihza Mahendra.
Yusril mengaku heran
dengan lamanya penerbitan
Perppu terkait MK. Sebab
sepengetahuannya, ahli hukum
Erman Raja Guk Guk mampu
menyusun Perppu dalam waktu
setengah jam.
Di sisi lain, urgensi Perppu
semakin berkurang karena
secara perlahan MK sudah
dalam perjalanan memulihkan
institusinya secara mandiri, di
mana suasana persidangan MK
semakin hari semakin tenang
join facebook.com/suryaonline
dibandingkan satu hari pascaAkil Mochtar ditangkap KPK.
Yusril menilai, Pemerintah
lebih baik melakukan revisi
Undang-Undang MK dengan
menitikberatkan kepada pengawasan Hakim MK ketimbang
mengeluarkan Perppu.
Namun apapun alasannya,
Perppu sudah ditandatangani
dan telah berlaku sejak diterbitkan. Selanjutnya legalitas
Perppu itu akan dihadapkan
kepada DPR yang memiliki
kewenangan untuk menerima
atau menolaknya.
Apabila diterima, maka
Perppu tentang MK akan
dimasukkan ke dalam Undang-Undang MK. Sebaliknya,
jika ditolak oleh DPR, Perppu
tersebut menjadi tidak berlaku dan wajib dibatalkan lagi
oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Dalam menguji Perppu,
DPR akan melihat dua hal
utama, yakni esensi Perppu
yang diterbitkan dalam hal
kegentingan yang memaksa
untuk dilakukan perubahan
atas sebuah Undang-Undang,
serta substansi dari Perppu itu
sendiri.
Berdasarkan penjelasan
Perppu yang diumumkan Menko Polhukam Djoko Suyanto di
Jogjakarta, 17 Oktober 2013,
terdapat tiga substansi Perppu
yang menggantikan atau menambahkan isi Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Ketiga poin tersebut
diantaranya, penambahan
persyaratan untuk menjadi
hakim konstitusi, memperjelas
mekanisme proses seleksi dan
pengajuan hakim konstitusi
serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.
Dalam substansi poin per-
tama dijelaskan bahwa untuk
mendapatkan hakim konstitusi
yang makin baik, syarat hakim
konstitusi, sesuai Pasal 15
ayat (2) huruf i ditambah,
tidak menjadi anggota partai
politik dalam jangka waktu
paling singkat 7 (tujuh) tahun
sebelum diajukan sebagai
calon hakim konstitusi.
Substansi poin kedua,
mekanisme proses seleksi dan
pengajuan hakim konstitusi
disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas
sesuai dengan harapan dan
opini publik, yang tercantum
pula dalam Pasal 19 Undang-
Undang MK.
Sementara substansi
poin tiga, perbaikan sistem
pengawasan yang lebih efektif
dilakukan dengan membentuk
Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang sifatnya
permanen dengan
tetap menghormati
independensi hakim
konstitusi.
Oleh karena itu
Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi dibentuk bersama oleh
Komisi Yudisial dan
MK dengan susunan
keanggotaan lima
orang, terdiri dari
satu orang mantan
hakim konstitusi,
satu orang praktisi
hukum, dua orang
akademisi yang salah
satu atau keduanya
berlatar belakang di
bidang hukum dan satu orang
tokoh masyarakat.
Ketiga poin itu berbeda
dengan Undang-Undang MK
yang berlaku selama ini yang
mengatur bahwa calon hakim
konstitusi tidak harus merupakan orang yang sudah tidak
menjadi anggota parpol selama
tujuh tahun, pengajuan calon
hakim konstitusi oleh MA, DPR
dan/atau Presiden dilakukan
tanpa uji kelayakan panel
ahli, serta hakim konstitusi
tidak memiliki badan/lembaga
pengawas yang sifatnya permanen. Perubahan substansi inilah
yang kelak diuji oleh DPR pada
masa sidang berikutnya. (ant)
follow @portalsurya