HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua
1. INTISARI
Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua
(Studi Kasus pada Suku Dani Kabupaten Jayawijaya)
Lalu M. Guntur Payasan WP1
, Nouvy H. Warou¹, Saleh Seran¹
Latar Belakang: semakin maraknya tuntutan pasien kepada tenaga kesehatan
maupun institusi pelayanan kesehatan dewasa ini dapat berdampak kepada penurunan
kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan, untuk itu diperlukan suatu mekanisme
penyelesaian sengketa kesehatan yang cepat dan memungkinkan terselesaianya
sengketa dengan biaya yang murah di Provinsi Papua karena Provinsi Papua
merupakan salah satu provinsi yang memiliki kewenangan tersendiri dalam sistem
peradilan Nasional yakni dengan adanya peradilan adat, hal ini terbukti dari adanya
peradilan adat tersebut dalam Pasal 50 dan 51 Undang-undang No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan di implementasikan dengan Peraturasn
Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat. Tujuan penelitian
untuk identifikasi penyelesaian sengketa kesehatan melalui Peradilan Adat di Provinsi
Papua khususnya di Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya. Metode penelitian dengan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil Penelitian tidak pernah terjadi
sengketa kesehatan di Kabupaten Jayawijaya dan memungkinkan terjadinya
penyelesaian sengketa kesehatan melalui peradilan adat di Suku Dani Kabupaten
Jayawijaya.
Kata Kunci: Sengketa Kesehatan, Peradilan Adat
1
Poltekkes Kemenkes Jayapura
2. Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat di Provinsi Papua
(Studi Kasus pada Suku Dani Kabupaten Jayawijaya)
I. Pendahuluan
Pluralisme hukum meliputi pula isu peradilan, dimana salah satunya adalah
eksistensi peradilan adat yang telah berkembang di Indonesia sejak sebelum
kemerdekaan di tahun 1945. Konstitusi Indonesia memang secara tertulis mengakui
dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2)
UUD 19451 . Sekalipun demikian, faktanya bisa berbeda ketika dihadapkan pada
kasus-kasus yang diselesaikan pada mekanisme khusus di tingkat lokal, seperti
peradilan adat. Secara yuridis, ketentuan tersebut memberikan landasan
konstitusional bagi arah politik hukum pengakuan hak-hak tradisional kesatuan
masyarakat hukum adat.
Peradilan adat dewasa ini menjadi perhatian karena secara Internasional di
akui eksistensinya, hal tersebut terbukti pada Pasal 15 ayat (2) Internasional
Convenant on civil and political right (ICCPR) menyebutkan bahwa “Nothing in
this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or
omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the
general principles of law recognized by the community of nations”. Kemudian
rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem
hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat
“obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal”
(sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena
sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan
ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap
kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Konggres PBB dinyatakan
sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
Disamping diakui secara Nasional dan Internasional, hukum adat telah
tumbuh jauh sebelum disahkannya Konstitusi Republik Indonesia sehingga tidak
ada alasan hukum adat melalui peradilan adat tidak diakui keberadaannya.
Terbatasnya pengakuan negara atas eksistensi dan hak-hak masyarakat adat di
Indonesia membuat aliansi ini mengeluarkan pernyataanya yang sangat krusial pada
tahun 1999 yaitu “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak Mengakui
Negara” (Herlambang, dkk, 2013).
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki kewenangan
tersendiri dalam peradilan adat, hal ini terbukti dari adanya pernyataan tegas
tentang peradilan adat pada Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menyebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan
hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc;
Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur
dengan Perdasi”.
3. Selanjutnya kekuasaan kehakiman dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua diatur pada:
Pasal 50
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan
Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat
tertentu.
Pasal 51
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat
hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan
perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara
berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang
memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang
berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat
pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang
bersangkutan.
(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara
atau kurungan.
(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak
dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut
ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan
persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak
oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum
Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.
Alasan-alasan tersebut diatas memungkinkan perlunya perlindungan dan
penerapan hukum yang berbeda bagi tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindakan yang
dilakukannya sepanjang sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan
standar prosedur operasional.
4. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien adalah suatu hubungan yang unik,
hubungan tersebut timbul karena adanya kepercayaan. Layaknya hubungan antar
manusia, maka di dalam hubungan pelayanan pasti dapat menimbulkan kekurangan
dan kelebihan, dalam arti ada keuntungan dan kerugian yang timbul pada saat
pelaksanaan dari pelayanan tersebut. Apalagi hubungan ini berkaitan dengan proses
penyembuhan penyakit dan/atau penyelamatan nyawa manusia. Sehingga bukan
tidak mungkin banyak harapan pasien tidak tercapai.
Harapan-harapan tersebut diatas yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dari
pasien yang nantinya dapat berimplikasi ke ranah hukum. Implikasi ini dapat
berupa tuntutan oleh pasien terhadap tenaga kesehatan, dan/ atau fasilitas pelayanan
kesehatan. Pasien menuntut sendiri atau didampingi oleh penasehat hukumnya.
Akhir-akhir ini sering kita dengar penuntutan terhadap tenaga kesehatan yang
dinilai tidak melakukan profesinya dengan baik. Tuntutan tersebut jelas akan
mempengaruhi aktivitas pelayanan yang ada di suatu daerah tidak terkecuali di
Provinsi Papua dikarenakan tenaga kesehatan tersebut harus bersedia tidak
memberikan pelayanan jika ia dipanggil oleh penegak hukum untuk memberikan
keterangan. Disamping hal tersebut sering ada kasus ditunggani oleh segelintir
orang untuk merusak citra tenaga kesehatan tersebut, karena bagaiamanapun tenaga
kesehatan menjual nama. Sekali nama tenaga kesehatan tersebut tercemar maka ia
tidak akan laku lagi di masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Provinsi Papua memungkingkan
penyelesaian sengketa kesehatan melalui Peradilan Adat sesuai Peraturan Daerah
Khusus Papua No. 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat di Papua dan kenyataan
dalam praktek penegakan hukum di Papua menunjukkan perkara pidana yang
ditangani oleh pengadilan negara yang keputusannya sudah berkekuatan hukum
tetap, namun pihak korban biasanya menuntut pelaku melalui pengadilan adat
dengan sanksi yang berat sehingga berdampak terhadap gangguan keamanan dan
ketertiban/ masyarakat di Papua.
Peradilan Adat dapat menangani perkara perdata adat dan perkaran pidana
adat antara warga adat di Papua. Azas dari peradilan adat tersebut diatas adalah
kekeluargaan, musyawarah mufakat, peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Menilik azas dari peradilan tersebut maka penyelesaian sengketa yang terjadi antara
tenaga kesehatan dengan pasien dapat dilaksanakan melalui peradilan adat. Hal
tersebut didukung juga Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yang mengamanatkan penyelesaian sengketa kesehatan melalui jalur
mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi diyakini dapat mempercepat
proses penyelesaian dan biaya ringan.
Secara yuridis formal peradilan adat dan penyelesaian sengketa kesehatan
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, Peraturan Daerah Khusus Papua No. 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan
Adat, namun dalam pelaksanaannya penyelesaian sengketa kesehatan melalui
peradilan adat di Papua belum pernah dilakukan, padahal cara tersebut dapat
menyelesaikan sengketa kesehatan dengan cepat, rahasia dan berkekuatan hukum
tetap.
Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengambil judul penelitian
“Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Peradilan Adat Di Papua” dengan fokus
penelitian Aturan Adat dan Sengketa Kesehatan.
5. II. Metode Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan
masalah di dalam penelitian ini dengan melakukan analisis terhadap data sekunder
terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan menganalisis terhadap data
primer (Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004)
Pendekatan yuridis normatif mengutamakan data sekunder yang meliputi
bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan), bahan hukum
sekunder (karya ilmiah, hasil penelitian yang lalu, literatur hukum), bahan hukum
tersier (kamus hukum, bibliografi, ensiklopedia, indeks).
Penggunaan pendekatan yuridis empiris tertuju kepada penerapan dan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di masyarakat yang berkenaan dengan
metode penyelesaian sengketa kesehatan di peradilan adat.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
1. Dasar Hukum Peradilan Adat di Suku Dani
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
d. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan jo UU No.39
Tahun 2014 Tentang Perkembunan
e. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
f. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
g. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
h. Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat
2. Identifikasi Kasus Sengketa Kesehatan di Suku Dani Kabupaten Jayawijaya
Peneliti melakukan wawancara pada beberapa informan untuk mengidentifikasi
kasus sengketa kesehatan di Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya, kesemua
informan menyatakan bahwa tidak pernah ada sengketa kesehatan di Kabupaten
Jayawijaya, baik oleh Pihak RSUD Wamena, Dinas Kesehatan, Keplosian
Resort Kab Jayawijaya dan Kepala Suku Dani..
3. Langkah-langkah Penyelesaian Sengketa Kesehatan di Suku Dani
Langkah-langkah penyelesaian sengekta kesehatan di Suku Dani, Kabupaten
Jayawijaya Papua sebagai berikut:
a. Pihak yang merasa dirugikan melaporkan ke dewan adat
b. Dewan adat merapatkan di kalangan dewan adat;
c. Dewan adat memanggil pihak yang melapor dan pihak terlapor;
d. Dewan adat dan para pihak menyepakati jadwal peradilan adat dan meminta
para pihak menyiapkan saksi-saksi;
e. Dewan adat menggelar perkara di peradilan adat dengan mendegarkan saksi-
saksi baik dari pihak perapor dan terlapor;
f. Pihak pelapor menyatakan besaran ganti rugi pada dewan adat;
g. Setelah mendengarkan saksi-saksi dan besaran ganti rugi oleh pihak pelapor
dewan adat menggelar rapat antara dewan adat dan meminta pendapat tetua
6. adat (pendapat tetua adat merupakan pendapat yang mutlak harus dipatuhi
oleh semua dewan adat);
h. Dewan adat memutuskan perkara (putusan hanya seputar ganti rugi dengan
babi untuk dilaksanakan bakar batu)
B. Pembahasan
1. Penyelesaian sengketa kesehatan melalui peradilan Adat pada Sistem Hukum
Indonesia
Peradilan Adat di Indonesia termasuk salah satu lembaga peradilan yang
diunifikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 tentang TindakanTindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Susunan,
Kekuasaan Dan Acara Pengadilan PengadilanSipil. Melalui undang-undang ini
Pemerintah secara tegas menentukan sikap mengenai keberadaan peradilan adat
dan kedudukan peradilan desa dalam sistim peradilan di Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (2) sub b Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951
menyatakan pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri
Kehakiman, dihapuskan segala Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in
rechtsreeks bestruurdgebied).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam sistem peradilan di Indonesia
tidak diakui adanya pengadilan adat. Sekalipun tidak diakui, namun dalam
kenyataannya banyak dikenal bentuk-bentuk peradilan adat pada berbagai
kalangan masyarakat hukum adat di tanah air. Menurut Hilman Hadikusuma
dalam kehidupan masyarakat peradilan adat itu masih hidup. Peradilan adat
mengikuti hukum adat yang berubah dari kehidupan masyarakat yang berubah
(Hilman H, 1989).
Demikian halnya Sajipto Raharjo mengemukakan bahwa walaupun
hukum nasional/hukum negara berupaya melenyapkan hukum adat (termasuk
peradilan adat ) melalui tindakan artifisial melalui konstruksi hukumnya, namun
the living law termasuk hukum adat tidak mati, namun tetap
tersimpan/terpendam/laten dalam sanubari kesadaran hukum masyarakat dan
menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan.
Dengan demikian, bila dikaji lebih mendalam lagi, maka akan terlihat
bahwa sebenarnya Peradilan Adat itu masih hidup dan tetap dipertahankan oleh
sebagian masyarakat hukum adat di Indonesia. Apalagi sekarang dengan
semangat otonomi daerah yang lebih memperkuat sifat lokalsentris dan
kedaerahan telah mendorong beberapa daerah untuk menghidupkan kembali
peradilan adat melalui legalitas Peraturan Daerah. Menurut Betty Sumarti,
setidaknya kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, telah memberikan ruang bagi euforia kebangkitan semangat lokalitas
dan otonomi desa (Betty Sumarti, 2007).
Semangat itu dapat memacu masyarakat hukum adat untuk kembali
menghidupkan peradilan adat, seperti disinggung oleh Bagir Manan bahwa,
ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di pandang sebagai dasar yang
memungkinkan membentuk atau menghidupkan kembali badan-badan peradilan
asli atau adat yang terkait dengan daerah otonom tertentu. Tetapi sesuia dengan
prinsip setiap bentuk peradilan adalah peradilan negara, maka pembentukan
peradilan adat hanya dapat dilakukan oleh negara dengan undang-undang bukan
7. atas inisiatif masing-masing daerah yang dibentuk dengan (melalui) Peraturan
Daerah (Bagir, M, 2004).
.Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa dewasa ini, dikenal pula adanya
sebelas bentuk pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun ad hoc.
Pengadilan adat yang memiliki kekhususan diatur dan diperkenalkan kembali
oleh Undang-Undang otonomi Khusus Papua. Semua lembaga peradilan atau
semi atau quasi peradilan itu memiliki kedudukan khusus dalam sistem hukum
nasional. Fungsinya adalah untuk menjamin agar hukum dan keadilan dapat
ditegakkan dan diwujudkan dengan sebaik-baiknya (Jimly, A, 2007).
Dengan semangat Otonomi daerah dan Otonomi Khusus mengembalikan
semangat menghidupkan kembali peradilan adat yang dilaksanakan secara
damai atas dasar musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu corak hukum
adat. Peradilan adat sebagai sa;ah satu kearifan local pada masyarakat adat di
Papua telah menunjukkan fungsi dan perannya (Hendrik, K, 2014).
2. Penyelesaian Sengketa di Suku Dani
Dari hasil wawancara dengan Ketua Dewan Adat Suku Dani, Kabupaten
Jayawijaya terkait penyelesaian sengketa kesehatan melalui Peradilan Adat di
Suku Dani Kabupaten Jayawijaya dapat dilaksanakan dengan syarat utamanya
adalah salah satu pihak yang bersengketa merupakan Masyarakat Suku Dani.
Dari pernyataan tersebut diatas sesuai dengan Pasal 8 ayat 1 dan 2
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara
perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga masyarakat
adat di Papua.
(2) Pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima
dan mengurus perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan
bukan orang asli Papua jika ada kesepakatan di antara para pihak.
Jika menganalisa ayat (2) pada peraturan tersebut diatas maka bisa saja
sengketa kesehatan termasuk seperti yang dimaksud pada ayat (2) dikarenakan
bahwa tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Jayawijaya tidak semuanya
orang asli Suku dani/ dan atau suku Papua.
3. Mekanisme Peradilan Adat di Suku Dani
Dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan ketua Dewan Adat Suku
Dani didapatkan langkah-langkah penyelesaian sengketa di Suku Dani sebagai
berikut:
a. Pihak yang merasa dirugikan melaporkan ke dewan adat
b. Dewan adat merapatkan di kalangan dewan adat;
c. Dewan adat memanggil pihak yang melapor dan pihak terlapor;
d. Dewan adat dan para pihak menyepakati jadwal peradilan adat dan meminta
para pihak menyiapkan saksi-saksi;
e. Dewan adat menggelar perkara di peradilan adat dengan mendegarkan saksi-
saksi baik dari pihak perapor dan terlapor;
f. Pihak pelapor menyatakan besaran ganti rugi pada dewan adat;
g. Setelah mendengarkan saksi-saksi dan besaran ganti rugi oleh pihak pelapor
dewan adat menggelar rapat antara dewan adat dan meminta pendapat tetua
8. adat (pendapat tetua adat merupakan pendapat yang mutlak harus dipatuhi
oleh semua dewan adat);
h. Dewan adat memutuskan perkara (putusan hanya seputar ganti rugi dengan
babi untuk dilaksanakan bakar batu)
4. Keuntungan dan Kerugian Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Hukum
Adat Suku Dani
a. Kelebihan
1) Proses cepat
Proses penyelesaian sengketa melalui peradilan adat di Suku Dani jauh
lebih cepat dari peradilan Negara. Peradilan adat bisa selesai kurang dari
1 bulan.
2) Informal
3) Yang bersengketa tidak ada yang merasa kalah
b. Kelemahan
1) Biaya mahal
Biaya dalam penyelesaian perkara yang nantinya dipakai untuk bakar batu
berkisar Rp. 200.000.000,00 hingga Rp. 1.000.000.000
2) Keputusan sering memenangkan pihak pelapor
Keputusan dewan adat di Suku Dani dominan memenangkan pihak
pelapor
3) Salah satu yang bersengketa adalah masyarakat Suku Dani
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Simpulan
1. Tidak pernah ada sengketa kesehatan di Kabupaten Jayawijaya;
2. Penyelesaian sengketa kesehatan memungkinkan melalui peradilan adat
sepanjang salah satu dari yang bersengketa merupakan suku Dani.
B. Saran
1. Perlu dibuat Perda turunan dari Perdasus No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan
Adat di Kabupaten Jayawijaya ;
2. Perlu penyuluhan hukum terkait terlalu mahalnya biaya penyelesaian sengketa
melalui peradilan adat di Suku Dani yang nantinya dapat mengurangi beban
tenaga kesehatan yang dikalahkan dalam peradilan tersebut;
3. Perlu pengembalian semangat peradilan adat dengan musyawarah mufakat
sehingga tidak dominan pelapor yang dimenangkan dalam peradilan adat di
Suku Dani.
Daftar Pustaka
A. G. Peters, ”Hukum Sebagai Proyek”. dalam A. A. G. Peters dan Koesriani
Siswosoebroto (editor), 1990. Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks
Sosiologi Hukum. Buku III. Sinar Harapan:Jakarta:
Ahmad Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum berdasarkan adat badamai pada
masyarakat Banjar dalam kerangka Sistem Hukum Nasional, disertasi pada
program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tahun
2007. Avaliabel from: http://ejournal.uii.ac.id diakses pada 10 Desember 2016
9. Aman Santoso, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis Dengan Analisa
Kualitatif, 2011. Semarang : FH UNTAG
Anonim a, 2013. Bakar Batu. Available from
http://cloud.papua.blogspot.com/vyjhj/8198764 diakses 15 November 2016
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta, 2007.
Betty Sumarti, Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari, Seri
Karya Mahasiswa Terseleksi, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM, Jogyakarta, 2007.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT Bhuana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta 2007
Khotibul, umam, 2010. Penyelesaian Sengketa di Luar pengadilan. Pustaka Yustisia.
Yogyakarta
Hendrik H. J. Krisifu. Peradilan adat di Papua. Jurnal Hukum dan Masyarakat volume
14 Nomor 3 Tahun 2014
Herlambang P, dkk, 2013. Laporan akhir tim pengkajian hukum tentang peluang
peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa masyarakat hukum adat dengan
pihak luar. Diakses pada Http://bpih.go.id, tanggal 16 Juni 2016
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV Miswar Jakarta, 1989.
Moleong, L.J. 2008. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Perdasus No. 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat di Papua
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalis
Indonesia, Jakarta
Safitri Hariyani, 2005. Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara
dokter dan pasien, Diadit Media, Jakarta
Satjipto Rahardjo, 2006Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta,
Soetrisno, 2010, Malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Sudantra, I Ketut. 2013. Dinamika pengakuan peradilan adat dalam politik hukum
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Disertasi: Universitas Brawijaya Malang
Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat,
Raja Gravindo Persada, Jakarta
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amandemen ke-empat
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan
Papua Barat
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan jo Pasal 39 Tahun 2014
Tentang Perkembunan
Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan