SlideShare a Scribd company logo
1 of 153
1
DAFTAR ISI
PARTAI BERKONFLIK
Marwan Mas 4
MENIMBANG KABINET KERJA
Komaruddin Hidayat 7
TORPEDO ATAS SUPREMASI HUKUM
Moh Mahfud MD 9
IDEOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA
Indra J Piliang 12
UTANG SEJARAH
Victor Silaen 15
KONSPIRASI MEMPERLEMAH GOLKAR DAN PPP
Bambang Soesatyo 18
RETAK PARPOL, DEMOKRASI UNTUK SIAPA?
Mardiansyah 21
KERATON (BELUM) HAMIL TUA
Anas Urbaningrum 24
TRADISI KEHATI-HATIAN KPK
Patra M Zen 28
PUTUSAN HASWANDI DALAM PRAPERADILAN HADI POERNOMO
Romli Atmasasmita 32
MENANTI KAPOLRI YANG BLUSUKAN
Edi Saputra Hasibuan 34
KISRUH HUKUM PRAPERADILAN
Moh Mahfud MD 37
REKONSTRUKSI SEJARAH PANCASILA
Faisal Ismail 40
URGENSI RADIKALISASI PANCASILA
Ma’mun Murod Al-Barbasy 43
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Sudjito 46
BUNG KARNO, PANCASILA, DAN ZAMAN KITA
2
M Alfan Alfian 49
CARA JOKOWI MELIHAT ASEAN
Tantowi Yahya 52
ERDOGAN, THE TURK
Muhammad Takdir 56
MASA DEPAN KPK
Romli Atmasasmita 59
TAFSIR BUNG KARNO
Sutia Budi 62
LAMPU KUNING KPK
Marwan Mas 65
KEMASKULINAN KPK
Anas Urbaningrum 68
JUDGE ARTIJO
Moh Mahfud MD 72
DANA KPK UNTUK KOMUNITAS ANTI-KORUPSI
Romli Atmasasmita 75
PERADILAN BERSIH DAN BERWIBAWA, KAPANKAH?
Sudjito 77
HARAPAN PADA KPK DI ERA NAWACITA
W Riawan Tjandra 80
DRAMA PERGANTIAN JABATAN
Chappy Hakim 83
PERTAHANAN NAN HILANG ARAH
Connie Rahakundini Bakrie 87
PERTARUHAN POLITIK PPP
Gun Gun Heryanto 91
GENDERANG PERANG PARTAI GOLKAR
Bambang Soesatyo 94
PEMERINTAH (KELIRU) MENOLAK REVISI UU KPK
Romli Atmasasmita 97
PREFERENSI AKTOR DALAM POLITIK LUAR NEGERI
Tantowi Yahya 100
3
CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN PENGUJIAN UU
Janedjri M Gaffar 103
PROFESIONALISME POLRI HARAPAN MASYARAKAT
Budi Gunawan 106
MENANTI POLRI PROFESIONAL
Edi Saputra Hasibuan 108
MENGAPA HARUS TAKUT PADA KPK?
Victor Silaen 111
REVISI UNDANG-UNDANG KPK
Marwan Mas 114
HUMAN ERROR DI KABINET KERJA
Bambang Soesatyo 117
UNTUK APA RESHUFFLE?
Jazuli Juwaini 120
JABATAN KOMISIONER KPK
Romli Atmasasmita 123
POLITIK DINASTI KOTOR, TAPI MK BENAR
Moh Mahfud MD 126
STATUS GAWAT DARURAT LEMBAGA PERADILAN
Frans H Winarta 129
KOKOHKAN DINASTI, CACAT NEGARAWAN MK
Laode Ida 131
JALAN TENGAH KONFLIK GOLKAR
Gun Gun Heryanto 135
MENGAWASI PILKADA SERENTAK
Saldi Isra 138
MELARANG PARSEL LEBARAN
Marwan Mas 142
TANTANGAN RHOMA
Iding Rosyidin 145
POLITIK NORMALISASI AMERIKA SERIKAT
Dinna Wisnu 148
KEKEBALAN TERBATAS BAGI PARA PENGAWAS
Adrianus Meliala 151
4
Partai Berkonflik
Koran SINDO
22 Mei 2015
Pesta demokrasi di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan wali
kota secara serentak dilakukan pada Desember 2015.
Tetapi, melihat kesiapan partai politik (parpol), terutama parpol yang sedang berkonflik, akan
menghadapi tantangan. Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapat
warning dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera menyelesaikan konflik
internalnya.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) secara tegas menyatakan tidak
mengikutkan parpol dalam pilkada yang memiliki kepengurusan ganda dan sedang beperkara
di pengadilan. Parpol yang boleh mendaftar pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati,
dan wali kota) pada 26-28 Juli 2015 adalah yang disahkan susunan pengurusnya oleh menteri
hukum dan hak asasi manusia (menkumham).
Bagi parpol yang sedang berseteru di pengadilan harus memenuhi salah satu dari dua syarat
legalitas. Pertama, parpol yang menang sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht) kemudian secara administratif disahkan kepengurusannya oleh menteri
hukum dan HAM (menkumham).
Kedua, melakukan perdamaian atau islah dan secara bersama membentuk satu kepengurusan.
Akta perdamaian dan susunan pengurus disampaikan ke pengadilan untuk menghentikan
sengketanya, dan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Batas waktu
penyelesaian konflik sebelum waktu pendaftaran pasangan calon.
Revisi Undang-Undang
Tetapi, ada gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar surat dukungan kepada bakal
pasangan calon kepala daerah ditandatangani oleh dua kubu sekaligus. Bagi Partai Golkar
ditandatangani oleh Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono. Begitu juga dengan PPP,
surat pengusulan pasangan calon ditandatangani Djan Faridz dan Romahurmuziy. Namun,
usulan itu dianggap oleh elite Partai Golkar kubu ARB tidak memungkinkan direalisasi
lantaran tidak diatur dalam UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) dan Peraturan KPU.
5
Sebetulnya usulan itu cukup realistis di tengah berburu waktu tahapan pilkada agar parpol
yang sedang berproses di pengadilan bisa ikut pilkada. Tetapi, karena Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta (18/5/2015) mengabulkan sebagian gugatan ARB, usulan agar dua
kubu bertanda tangan tidak lagi relevan. SK menkumham yang mengesahkan kepengurusan
Agung Laksono dinyatakan dicabut karena bertentangan dengan undang-undang.
Hakim PTUN juga menyatakan, untuk menghindari kevakuman hukum, DPP Golkar yang
sah dan menjalankan kinerja DPP Golkar adalah hasil Munas Riau 2009. Rupanya hakim
melakukan penafsiran ekstensif meskipun dianggap sebagai ultra-petita karena tidak diminta
pemohon, tetapi hal itu bisa disebut terobosan hakim untuk mengisi kekosongan hukum. Hak
Partai Golkar mengikuti pemilihan kepala daerah tetap dihargai dengan mengembalikan
kepengurusan pada hasil Munas Riau lantaran kepengurusan ARB dan Agung Laksono
belum ada yang sah secara hukum.
Gagasan lain yang berembus kencang di Senayan adalah revisi UU Pilkada dan UU Nomor
2/2011 tentang Partai Politik agar dua parpol bisa mengikuti pilkada. Hasil revisi nanti
menjadi payung hukum bagi KPU untuk mengubah PKPU mengenai syarat pendaftaran
pasangan calon bagi parpol yang bersengketa. Nomenklatur yang digagas, apabila sampai
pada batas waktu pencalonan belum ada satu kepengurusan yang dinyatakan menang dengan
putusan pengadilan inkracht, putusan terakhir pengadilan yang dijadikan dasar pengajuan
pasangan calon meskipun ada yang melakukan upaya hukum.
Tetapi, gagasan itu bukan hanya mendapat penolakan sebagian besar fraksi di DPR, malah
Presiden Jokowi juga tidak setuju dilakukan revisi. Apalagi pelaksanaan pilkada serentak
yang didesain begitu baik bisa terbengkalai. Jangan sampai polemik revisi berujung pada
penundaan pilkada serentak gelombang pertama. Mendagri juga memastikan 269 daerah
provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menggelar pilkada serentak.
Maka itu, jalan terhormat bagi parpol yang bersengketa adalah melakukan musyawarah dan
perdamaian. Mendahulukan kepentingan yang lebih besar jauh lebih berharga, apalagi
kepengurusan parpol di daerah tidak ada masalah. Mereka terseret konflik akibat perebutan
kekuasaan elite pusat. Meskipun kubu Agung Laksono punya hak melakukan banding ke PT-
TUN, akan lebih berharga jika kubu Agung Laksono menerima tawaran kubu ARB untuk
bersatu kembali.
Memang butuh ”sikap bijak dan negarawan” dengan memikirkan nasib kader yang ada di
daerah. Jangan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi pada sisi lain mematikan karier
politik kader di daerah yang hendak mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.
Berebut Layangan Putus
Sekiranya KPU konsisten dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
sampai 26 Juli 2015, atau tidak ada islah dengan membentuk satu kepengurusan baru, berarti
Partai Golkar dan PPP tidak ikut pilkada. Padahal, rakyat berharap pilkada serentak
6
gelombang pertama membawa paradigma baru dalam memilih pemimpin daerah. Sebab
lazimnya pesta demokrasi yang tergolong akbar, ujian yang paling krusial terletak pada
penyelenggaraan gelombang pertama. Apabila gelombang pertama berjalan lancar, sukses,
dan demokratis, akan menjadi preseden pada penyelenggaraan berikutnya.
Melihat kondisi Partai Golkar dan PPP yang tidak ada tanda-tanda untuk islah meskipun
putusan PTUN sudah mengabulkan gugatannya, perlu menyimak ungkapan Karyudi Sutajah
Putra (Suara Merdeka, (24/4/2015) dengan mengibaratkan ”berebut layang-layang putus”.
Ada kebiasaan anak-anak saat berebut layang-layang putus. Apabila ada salah seorang yang
berhasil mendapatkan layang-layang itu, yang lain akan merobeknya agar tidak ada yang
memanfaatkan layang-layang itu. Hanya karena kepentingan kekuasaan sekelompok elite di
pusat, kepentingan yang lebih besar di daerah hancur berantakan.
Pepatah klasik yang juga sering dijadikan instrumen pengingat bagi kelompok-kelompok
yang senang berseteru adalah ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Meskipun salah satu pihak
menang di pengadilan, belum tentu persoalan mendasar akan selesai. Boleh jadi kader yang
merasa kalah akan menggembosi pihak yang menang dalam pilkada.
Tanpa bermaksud mendramatisir persoalan, tentu kita meyakini akan ada solusi terhormat
dari Partai Golkar dan PPP. Bagaimana pun rakyat yang akan dirugikan kalau keduanya tidak
ikut pilkada sebab boleh jadi calon yang diajukan itu justru yang terbaik bagi rakyat. Semua
potensi konflik menjelang pilkada serentak harus dituntaskan sebab boleh jadi putusan
inkracht tidak keluar sebelum pendaftaran calon. Apalagi ada realitas perpolitikan di negeri
ini, jika salah satu pihak kalah dalam pertarungan, baik dalam pemilihan maupun pada proses
hukum, lebih banyak yang tidak legawa menerima kekalahan.
Maka itu, KPU harus tetap konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan seperti
yang diperlihatkan selama ini. Apakah putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan Partai
Golkar hasil Munas Riau yang berhak mengikuti pilkada? Tentu sangat bergantung pada
penafsiran KPU memaknai putusan itu, apakah berseberangan dengan Peraturan KPU atau
tidak. Rakyat hanya berharap agar semua energi yang ada seyogianya dipakai untuk
menyukseskan pilkada serentak. Termasuk menemukan solusi persoalan anggaran pilkada
yang tidak semua daerah punya kemampuan sama.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
7
Menimbang Kabinet Kerja
Koran SINDO
22 Mei 2015
Namanya saja Kabinet Kerja. Jadi yang mesti ditonjolkan adalah hasil kerjanya untuk
menyejahterakan rakyat. Tapi beberapa pengamat menilai daya beli masyarakat kian turun
dan sektor ekonomi di berbagai bidang juga tidak membaik.
Mengapa? Ada yang mengatakan karena koordinasi tidak berjalan bagus. Bisa jadi karena
hambatan struktur yang tidak pas, orang-orangnya yang kurang kapabel, atau pengaruh luar
yang menghambat. Luar itu bisa saja pengaruh luar negeri atau kekuatan partai politik
(parpol) yang tidak menempatkan kader terbaiknya duduk di kabinet. Atau memang kalangan
parpol mengalami defisit kader teknokrat yang bisa diandalkan duduk dalam jajaran kabinet.
Apa pun kritik yang dimunculkan, umur kabinet yang belum berjalan setahun memang masih
bisa dimaklumi dan rakyat masih sabar menanti untuk menunggu realisasi agenda dan jargon
Kabinet Kerja. Meski begitu pemahaman dan kesabaran masyarakat terbatas. Rakyat segera
ingin merasakan buah manis dari hasil pemilu yang lalu. Ongkos material dan sosial sudah
banyak terkuras untuk menghasilkan kabinet ini.
Kebutuhan sehari-hari yang dirasakan kian mahal akan mengubur kenangan dan harapan
indah saat-saat pemilu lalu terhadap jagonya. Para menteri yang memikul beban parpol akan
menjatuhkan kredibilitas parpol yang mengusungnya jika kinerjanya tidak bagus dan tidak
produktif.
Dengan dalih memenangi pemilu dengan formula 50+1, maka the winner takes all. Tapi
orang mempertanyakan, dengan demokrasi dan pemilu itu, yang mau diposisikan sebagai
pemenang apakah rakyat atau sebatas koalisi parpol pendukung? Jika rakyat dan kepentingan
umum yang diutamakan, kabinet bukanlah pembagian jatah bagi para kader dan wakil parpol,
melainkan kompetensi yang mesti ditonjolkan.
Sekiranya parpol tidak punya kader yang memenuhi syarat, ambil saja putra bangsa yang baik
dan tepat dari mana pun asalnya mengingat misi dan tugas mulia parpol ikut pemilu adalah
untuk menyejahterakan rakyat. Kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan parpol.
Mungkin saja itu yang dimaksudkan dengan kabinet gotong-royong, yaitu kabinet produk
demokrasi tetapi tetap memberikan ruang bagi putra bangsa terbaik untuk ikut mengatur
negara meskipun bukan dari lingkaran parpol pemenang pemilu selama yang dimajukan
semata demi kemajuan dan kebaikan negara dan rakyat.
8
Substansi dan fungsi demokrasi adalah untuk menjaring putra bangsa terbaik demi
kesejahteraan rakyat yang dijaring lewat parpol. Jangan dibalik, kepentingan dan selera
parpol mengalahkan kepentingan rakyat dengan merusak substansi demokrasi hanya dengan
menyandarkan suara terbanyak yang itu pun bisa dibeli dengan uang.
Demikianlah, kualitas demokrasi bisa rusak ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat
rendah. Ini juga terlihat pada hasil pilkada yang mayoritas mengecewakan. Kini salah satu
tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah mengembalikan kepercayaan kita pada sistem
demokrasi yang telah menjadi pilihan kita bagi masyarakat yang sangat majemuk ini.
Kembali pada Kabinet Kerja yang hasil kerjanya masih mengecewakan. Sebagai presiden
yang mengemban tanggung jawab tertinggi, Joko Widodo saya kira juga kecewa dengan
beberapa menteri yang disodorkan parpol pendukungnya. Dia sejak awal mungkin sekali
tidak setuju, tetapi tidak berdaya menolaknya. Dan ternyata kinerjanya tidak memuaskan
rakyat.
Kini saatnya untuk berbicara dengan parpol asalnya, apakah akan terus dipertahankan meski
rakyat kecewa atau siap-siap mencari penggantinya. Kalaupun diganti mungkin tidak
sekarang mengingat umur kabinet belum setahun. Meski begitu baik Presiden maupun parpol
koalisinya mesti bersiap-siap ketika pergantian beberapa sosok menteri harus dilakukan.
Janganlah kepentingan rakyat, negara, dan citra demokrasi dikorbankan hanya karena alasan
bagi-bagi jatah jabatan politik. Sekali lagi, parpol dan pemilu itu menempatkan kepentingan
rakyat sebagai prioritas dan alasan keberadaannya, bukan sebaliknya.
Di sini Presiden Jokowi diuji sikap dan komitmennya sebagai kepala negara yang majikannya
adalah rakyat. Parpol hanyalah mengantarkan dirinya sebagai presiden dengan mandat
melayani dan menyejahterakan rakyat, bukan parpol.
Saya bukan anti-parpol, tetapi tidak setuju jika demokrasi dan pemilu itu ujungnya hanya
bagi-bagi jabatan dengan mengorbankan kompetensi dan keberpihakan total pada
kepentingan rakyat banyak.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
9
Torpedo atas Supremasi Hukum
Koran SINDO
23 Mei 2015
Melihat situasi Indonesia sekarang ini: Sebenarnya lebih kuat mana antara politik dan
hukum? Supremasi hukum ataukah supremasi politik yang berlaku di Indonesia ini? Itulah
pertanyaan yang sering diajukan kepada saya baik saat memberi kuliah di kampus-kampus
maupun melalui forum-forum lain, termasuk media sosial.
Jawaban teoretisnya, sih, mudah. Menjawab yang mana pun pasti ada teorinya. Menurut
konstitusi Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya hukum selalu ditorpedo
oleh kekuasaan politik. Banyak ketentuan hukum yang ditabrak oleh kekuasaan politik dan
hukum menjadi tak berdaya.
Secara teoretis, memang tidak sulit memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Masalahnya apakah akan dilihat secara das Sollen (keharusan ideal) ataukah secara das Sein
(kenyataan yang ada di depan mata). Kalau secara das Sollen, karena Indonesia adalah negara
hukum maka tak bisa ditawar, hukumlah yang harus supreme. Supremasi hukum
menggariskan hidup bernegara yang semuanya harus berdasar hukum, tunduk pada hukum,
dan kalau ada konflik harus dikembalikan pada hukum. Tetapi secara das Sein, prinsip
supremasi hukum tidak selalu bisa muncul. Hukum kerap dikalahkan oleh politik sehingga
yang muncul dalam kenyataan adalah supremasi politik.
Munculnya supremasi politik di atas supremasi hukum sebagai das Sein itu pun ada
penjelasan teoretisnya, yakni kenyataan bahwa hukum adalah produk politik. Hukum dalam
artinya sebagai peraturan resmi, terutama sebagai peraturan perundang-undangan, merupakan
produk politik sebab hukum hanya bisa dibuat melalui keputusan politik.
Tidak ada satu pun hukum dalam arti sebagai peraturan resmi yang bisa berlaku sendiri tanpa
diberlakukan oleh keputusan politik. Semua aturan hukum berlaku karena keputusan
pemegang kekuasaan politik yang memberlakukannya. Pemberlakuan hukum oleh otoritas
politik itu terjadi dengan resultante atau kesepakatan baik karena musyawarah yang fair,
tukar-menukar kepentingan antaraktor politik maupun karena dominasi satu kelompok politik
pemenang.
Secara teoretis pula, karena hubungan antara politik dan hukum yang seperti itu, maka dalam
penyelenggaraan negara akan selalu terjadi tolak-tarik antara politik dan hukum dan dalam
tolak-tarik itu politik cenderung selalu menang. Mengapa? Karena energi politik selalu lebih
besar daripada energi hukum. Bagaimana pun, pembuatan dan pemberlakuan hukum sangat
bergantung pada kekuasaan politik. Itulah das Sein-nya, demikianlah faktanya.
10
Kalau politik sudah sampai pada tahap kalap maka hukum bisa ditabrak. Caranya bisa
bermacam-macam. Ada yang bermain kasar dengan menggunakan kekuasaan secara sepihak,
membuat tafsir hukum sendiri yang kemudian dipaksakan atas nama kekuasaan.
Bisa juga pemaksaan politik itu dilakukan secara lebih halus yakni mengubah aturan hukum
agar sesuai dengan kehendak kekuasaan politik. Jika suatu aturan hukum yang berlaku
menghambat kepentingan politik yang berkuasa, aturan hukum itu diubah dengan kekuasaan
politik agar bisa memuaskan syahwat politik para pemegang kekuasaan itu.
Pada masa lalu, bahkan banyak hukum atau peraturan perundang-undangan yang sengaja
dibuat untuk membenarkan satu keinginan penguasa yang sebenarnya tidak layak agar
menjadi layak dan tidak salah menurut ”formalitas” hukum. Jadi kalau secara teoretis saja
tidaklah sulit untuk menemukan teori dan menjelaskan fenomena tolak-tarik antara hukum
dan politik itu. Kalau ditanya, lebih supreme atau lebih kuat yang mana antara kedua
subsistem kemasyarakatan, politik dan hukum, tersebut maka jawabannya bisa bergantung
pada teori mana yang akan dipakai, das Sollen ataukah das Sein.
Namun, masalah lemahnya hukum di hadapan politik tidak bisa hanya dijelaskan teori-teori
yang relatif itu. Negara kita ini menganut prinsip supremasi hukum bukan hanya teori,
melainkan juga sebagai kesadaran etik dan moral. Itulah sebabnya ada pedoman etik dan
moral dalam kehidupan bernegara kita, yakni meskipun dalam faktanya hukum merupakan
produk resultante atau kesepakatan politik, tetapi jika hukum sudah ditetapkan, maka semua
harus tunduk pada hukum. Yang membuat hukum pun harus tunduk pada hukum yang
dibuatnya.
Di sinilah kita harus meletakkan pemahaman supremasi hukum dalam hidup bernegara yang
berdasar konstitusi. Pada titik ini, saat hukum sudah diberlakukan secara sah maka
kedigdayaan politik harus tunduk pada supremasi hukum.
Pertanyaan berikutnya: bagaimana jika terjadi konflik kepentingan yang kemudian
menimbulkan perbedaan penafsiran atas aturan hukum? Kalau itu yang terjadi maka
serahkanlah ke pengadilan agar diputus oleh hakim yang diberi otoritas memutus oleh negara.
Di dalam prinsip supremasi hukum siapa pun, termasuk pemerintah dan partai politik, harus
tunduk pada putusan pengadilan. Di mana pun di dunia ini berlaku kaidah hukmul haakim
yarfaul khilaaaf: putusan hakim mengakhiri konflik dan harus diikuti. Kalau kaidah ini tidak
diikuti, negara bisa kacau balau.
Bagaimana jika dilakukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan? Tentu saja boleh.
Supremasi hukum menyediakan jalan mulai dari banding, kasasi, sampai peninjauan kembali
(PK). Tetapi ada dasar etik, moral, dan rasionalitas publik (public common sense) dalam
upaya hukum itu. Ia tak boleh dilakukan atas dasar mau menang sendiri, akal-akalan,
mengulur-ulur waktu, dan sebagainya.
11
Apalagi kalau disertai upaya mempengaruhi hakim, baik dengan kekuatan politik maupun
kekuatan uang. Kalau itu yang dilakukan maka tak ada arti lain kecuali torpedo atas
supremasi hukum.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
12
Ideologi Birokrasi di Indonesia
Koran SINDO
25 Mei 2015
Pemikiran politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi, bagaimana
pun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca kolonial, termasuk sebagai
kekuatan politik utama.
Walau dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi kenyataannya
masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik. Dalam era demokrasi,
birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya memberikan hak memilih, bukan dipilih.
Penting diingat bahwa Belanda menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial
berupa pengerahan tentara, melainkan melalui birokrasi. Birokrasi Belanda bekerja dalam
masa perang dan damai. Dibandingkan dengan keluasan wilayah Indonesia, jumlah tentara
pendudukan sama sekali tidak sebanding. Tentara hadir ketika perang, itu pun dibatasi di
daerah-daerah tertentu secara bergiliran. Birokrasi Belanda sama sekali tak mau berperang di
seluruh area di Indonesia.
Sebagai kekuatan penting dalam menguasai Indonesia, baik penduduk maupun wilayahnya,
birokrasi menggunakan administrasi pemerintahan. Administrasi adalah ruh birokrasi.
Penguasaan penduduk dan wilayah itu dilakukan melalui perjanjian, baik perjanjian dagang
maupun perjanjian lain. Maka bisa dikatakan, Belanda menguasai Indonesia dengan
lembaran-lembaran kertas, bukan dengan peluru dan mesiu.
Dalam proses yang panjang, perjalanan birokrasi di Indonesia mengalami fase-fase yang
bergejolak. Baik akibat perubahan politik dan pemerintahan, maupun sentuhan
perkembangan lain, terutama teknologi informasi. Birokrasi mengalami perubahan, terutama
akibat pergantian elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Birokrasi mengalami tekanan apabila digunakan sebagai kekuatan politik. Padahal,
hakikatnya, birokrasi bekerja secara tenang tanpa ada tekanan politik. Tugas publik birokrasi
jauh lebih penting, ketimbang tugas politik yang lebih bersifat jangka pendek.
Bergerak ke Mana?
Dari sisi ideologi, belum begitu jelas, birokrasi Indonesia bergerak ke mana. Di negara-
negara lain yang ideologinya komunis, misalnya, birokrasi adalah perpanjangan tangan dari
partai politik. Di negara-negara sosialis, birokrasi menjalankan fungsi pemberdayaan publik,
lewat aksi-aksi sosial. Birokrasi adalah negara dan negara adalah birokrasi itu sendiri, dengan
13
keterlibatan secara bersamaan dengan partai politik dan militer. Birokrasi begitu melekat
dengan partai politik yang menguasai negara.
Birokrasi di negara-negara komunis—juga sosialis—adalah birokrasi yang bersifat tertutup.
Keputusan yang diambil hampir tidak diketahui dari mana sumbernya. Begitu pun
rekrutmennya tertutup, sama sekali tak dibuka kepada kalangan lain di luar birokrasi sendiri.
Bahkan, publik sulit mengetahui siapa saja yang menjadi pejabat di dalam struktur
pemerintahan. Yang diketahui hanyalah keputusan-keputusan yang diambil.
Dalam perkembangan sekarang, birokrasi di Indonesia terlihat tanpa memiliki ideologi yang
jelas. Birokrasi bisa saja dimasuki oleh kalangan lain atas nama rekrutmen terbuka. Proses
”buka-buka”-an dalam tubuh birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia mulai
terlihat liberal, dibandingkan dengan era sebelumnya.
Argumen yang digunakan adalah kemampuan para profesional di tempat lain, lebih baik
daripada birokrat. Padahal, swasta yang dijadikan sebagai sektor profesional itu punya target
yang berbeda dengan pemerintahan. Kalangan profesional (swasta) lebih ditujukan untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah sampai seberapa jauh birokrasi ini
direformasi? Sampai titik mana reformasi itu dilakukan? Apakah reformasi birokrasi itu
berarti membuka diri bagi masuknya kalangan non-birokrat ke dalam tubuh birokrasi,
sekalipun tidak dididik sebagai birokrat dalam sistem nilai yang baku? Birokrasi sebagai
pelayan publik tentu berbeda dengan pekerja profesional yang bekerja guna meraih
keuntungan semaksimal mungkin.
Juga, bagaimana dengan kewajiban birokrat-birokrat yang sudah pensiun dan menerima dana
pensiun? Apakah mereka juga masih memiliki sejumlah tanggung jawab terhadap
pemerintah? Dalam bentuk apa? Belum lagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka
miliki, tentunya bisa digunakan sebaik-baiknya guna kepentingan yang lebih luas.
Kajian Birokrasi
Sejumlah pertanyaan itu tentu penting untuk dikaji, mengingat reformasi birokrasi adalah
tema sentral yang penting, termasuk dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi menjadi satu-satunya unsur yang dibuat
kementeriannya, dalam rangka reformasi. Tidak ada unsur lain yang dibuatkan
kementeriannya, katakanlah polisi, militer, maupun penyelenggara negara lainnya.
Reformasi birokrasi idealnya hanyalah program yang bisa bersifat jangka pendek, jangka
menengah, ataupun jangka panjang, namun bukanlah proses yang berlangsung selamanya
tanpa batas akhir. Kalaupun ada perbaikan, sehingga berlangsung terus-menerus, tentu juga
memerlukan batas waktu, paling tidak dari sisi batas ideologi.
14
Di sinilah muncul masalah, apakah birokrasi Indonesia menganut sistem yang tertutup,
ataukah terbuka, atau setengah tertutup dan setengah terbuka? Salah satu contoh, kalangan
non-birokrat bisa masuk memimpin satu lembaga birokrasi, dengan cara rekrutmen secara
terbuka. Apakah sudah dipikirkan dampak-dampak jangka pendek, menengah, dan
panjangnya?
Padahal, sebagaimana kita ketahui, kehadiran politisi (partai-partai politik) dalam tubuh
birokrasi, juga berlangsung selama lima tahun. Mereka pun menempati posisi sebagai kepala
negara, kepala pemerintahan ataupun anggota parlemen. Politisi hanya memberikan warna
”ideologis” secara terbatas, baik dari sisi waktu atau pengaruh, bahkan hanya semata sebagai
warna ”program”, atau bahkan bisa saja hanya warna ”kebijakan”.
Politisi tidak bisa memberikan warna keseluruhan, mengingat birokrasilah yang berada di
dalam tubuh penyelenggara negara dan pemerintahan secara berketerusan. Apalagi, jumlah
jabatan politik terbatas dibandingkan dengan jumlah birokrasi itu sendiri.
Birokrasi selayaknya dilepaskan dari kepentingan partai-partai politik. Namun, birokrasi
tidak bisa mengabaikan sama sekali kehadiran partai-partai politik di alam demokrasi,
sehingga birokrasi perlu mempelajari partai-partai politik, baik dari sisi platform, program,
hingga kebijakan, sebagaimana juga politisi mempelajari seluruh nomenklatur sebagai
penyelenggara negara apabila memenangkan kontestasi.
INDRA J PILIANG
Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
15
Utang Sejarah
Koran SINDO
26 Mei 2015
Sampai kapankah mahasiswa Universitas Trisaksi akan terus melakukan aksi unjuk rasa
dalam rangka memperingati Tragedi 12 Mei 1998 yang telah mengorbankan beberapa senior
mereka pada masa silam yang kelam itu?
Mungkin tak akan pernah berhenti selama negara ini tidak menuntaskan prosesnya demi
pengungkapan kebenaran dan pencapaian keadilan. Itulah utang sejarah, yang membuat
perjalanan Indonesia ke depan niscaya terantuk-antuk karena dipaksa menghela beban berat
crime against humanity (kejahatan kemanusiaan) itu.
Terkait itu Ketua MPR Zulkifli Hasan mendesak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
untuk menuntaskan utang negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu
harus menjadi prioritas pemerintah dalam 4,5 tahun ke depan. ”Saya sepakat, 17 tahun (kasus
penembakan mahasiswa Universitas Trisakti) itu waktu yang sangat lama. Ini utang
pemerintah yang harus dituntaskan agar tidak lagi jadi beban generasi mendatang,” kata
Zulkifli (18/5).
Ia mengatakan, selama ini MPR ikut memfasilitasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat. MPR sudah beberapa kali bertemu Jaksa Agung, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga
swadaya masyarakat untuk membicarakan jalan keluar masalah itu. Seusai menggelar rapat
konsultasi lembaga tinggi negara di Istana Negara, 18 Mei itu, Zulkifli mengatakan, solusi
kasus pelanggaran HAM itu bisa melalui keputusan presiden. ”Caranya, tidak usah merevisi
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dulu. Itu terlalu lama. Presiden keluarkan
saja segera keppres untuk membentuk KKR dan memprosesnya,” katanya lagi.
Mengacu data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang masih menjadi
utang sejarah. Berkas itu terkait kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-
1985; Talang Sari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998;
kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I, dan Semanggi II; serta
Peristiwa Wasior dan Wamena (2003). Terkait itu, Jaksa Agung HM Prasetyo
mengungkapkan, melalui komisi gabungan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,
ada dua langkah penyelesaian yang bisa dilakukan yakni yudisial dan non-yudisial. Untuk
beberapa kasus lama, Prasetyo mengisyaratkan akan mengambil langkah non-yudisial karena
penemuan bukti, saksi, dan pelaku yang dinilai sulit dilakukan.
Sementara Komisioner Komnas HAM Siti Nur Laila menegaskan, dengan RUU KKR atau
keppres pembentukan komisi khusus penuntasan kasus pelanggaran berat HAM, harus ada
16
pengakuan kesalahan negara dan permintaan maaf negara dalam kasus kejahatan HAM masa
silam di Indonesia. ”Entah ini diselesaikan per kasus atau sekaligus sebagai kejahatan rezim
Orde Baru. Di sisi lain, hak para korban yang tidak puas bisa menuntut pidana dan perdata
atas kejahatan HAM yang dialaminya,” kata Nur Laila.
Akan halnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak pemerintah untuk
mewujudkan janji politik dan agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian
Pelanggaran HAM masa lalu. Pembentukan komite ini dinilai sebagai langkah paling realistis
daripada pengajuan RUU KKR ke DPR. ”Justru kita khawatir jika penyelesaian kasus HAM
masa lalu dilakukan dengan mengajukan RUU KKR lebih dahulu. Itu akan menjadi alat
negosiasi. Lalu kita akan mengulang perdebatan mengenai apa itu pengungkapan kebenaran,
apa itu rekonsiliasi di dalam pengertian umum RUU KKR,” kata peneliti Elsam, Wahyudi
Djafar (18/5).
***
Peluang menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkait dengan pelanggaran
berat HAM oleh negara (gross violation of human rights), sebenarnya mendapatkan
momentum emas selekas rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998. Berbagai
kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang dari
pembunuhan massal (genosida), pembunuhan misterius, penculikan, penganiayaan,
pemerkosaan, perusakan, perampasan harta benda, dan lainnya. Tindakan represif atas publik
yang dilakukan rezim militeristik itu bertumpuk memenuhi catatan sejarah perjalanan
Indonesia. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan
negara atas rakyatnya. Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan
bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa para pelakunya, dan ihwal di seputar tragedi-
tragedi kemanusiaan itu.
Selain itu, korban (termasuk keluarga korban) juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan
korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiannya perihal siapa pelaku yang telah
menjadikannya sebagai korban. Korban juga berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi (victims rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak atas
jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victims rights at guaranteeing non recurrence
violation). Namun, semua itu hanya dapat dipenuhi jika penguasa serius berupaya
menyelesaikan beban-beban masa silam yang kelam itu.
Sebaliknya, akan jauh lebih memuramkan dan menistakan martabat korban dan kemanusiaan
jika tragedi-tragedi itu dibiarkan berlalu begitu saja tanpa diketahui siapa dalang (aktor
intelektual) dan pelaku dari tragedi-tragedi kemanusiaan yang getir itu. Pemerintah dan wakil
rakyat akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the
crime of silent) jika akhirnya mereka ”terlibat persekongkolan” untuk melindungi para
pelaku.
17
Pertanyaannya, bagaimana cara mereka bersekongkol dan mengapa kita menilainya
demikian? Saat pemerintah dan wakil rakyat sepakat menyatakan bahwa kasus-kasus itu
bukan pelanggaran HAM berat. Bukankah karena itu maka upaya membentuk lembaga
negara khusus untuk menyelesaikannya selalu gagal dari era ke era?
Indonesia, era Orde Baru, tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang termasuk dalam
kategori pelanggar HAM peringkat tinggi. Pada 1998, Indonesia bahkan pernah ditempatkan
oleh Amerika Serikat pada peringkat pertama sebagai negara yang pemerintahnya, dengan
melalui agen-agennya, melakukan penganiayaan terhadap umat beragama serta membiarkan
atau tidak menyelesaikan secara serius peristiwa-peristiwa berdimensi SARA (suku, agama,
ras, dan antargolongan) yang merugikan umat beragama tersebut.
Kita malu dan tak mungkin membantahnya. Karena itulah, kita harus lebih serius
mereformasi diri di bidang ini. Demi keadilan dan terungkapnya kebenaran, agar dengan itu
kita bisa berdamai dengan masa silam.
Namun, kita prihatin, karena UU No. 27 Tahun 2004 yang melandasi pembentukan KKR
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir 2006 karena dinilai bertentangan
dengan UUD 45. Sejak itulah isu rekonsiliasi antara negara dan para korban pelanggaran
berat HAM masa silam itu nyaris terlupakan oleh pemerintah dan wakil rakyat di sepanjang
era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita tak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tak pernah melunasi utang sejarahnya karena
tak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Kita tak ingin para korban dan keluarga para
korban tragedi-tragedi kemanusiaan masa silam itu hidup merana terus sekarang dan ke
depan.
Kita ingin Indonesia di era baru ini melangkah pasti ke masa depan dengan segera menyusun
kebijakan-kebijakan khusus untuk menjawab tuntutan masa silam itu dengan melibatkan para
korban, lembaga-lembaga pemerhati HAM, dan pemerintah serta wakil rakyat untuk: 1)
membuat UU baru yang melandasi berdirinya KKR; 2) sementara UU tersebut belum ada,
Presiden segera menerbitkan keppres sebagai landasan untuk membentuk KKR; 3) memilih
sejumlah komisioner KKR yang kredibel dan berintegritas, serta menyediakan alat-alat
kelengkapan KKR sebagai sebuah lembaga kuasi negara (non-negara, tapi difasilitasi oleh
negara); 4) menyusun rencana-rencana kerja KKR hingga tahun 2019, yang kelak dapat
dilanjutkan jika agenda-agenda kerjanya belum selesai.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
18
Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP
Koran SINDO
27 Mei 2015
Kepastian langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan
banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar
makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional. Namun, konsekuensinya menjadi
sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik dalam negeri
gaduh.
Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan
HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu Munas Ancol, sejatinya tidak
merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang berlatar belakang sebagai kader Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pasalnya, konflik kepengurusan Partai Golkar merupakan
kepentingan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan
hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa
justru Menteri Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu?
”Menteri Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan
mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar Kepala Biro
Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5). Pengajuan banding
menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah nasional (Munas)
Ancol pimpinan AL dkk. sebagai pihak yang kalah atau dirugikan. Namun, jika kemudian
rencana pengajuan banding itu justru diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas
nama kepentingan Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi
bahwa sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan
wewenang Menteri Laoly.
Lalu, di mana posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas.
Memang, dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding.
Namun kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak
posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri Yasonna
menghentikan banding atas putusan PTUN itu.
Pertanyaan berikutnya tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu
tidak sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk. tetap memimpin Partai Golkar.
Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB)
akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi, salah satu target Menteri
Yasonna tercapai, yakni berlarut-larutnya konflik internal Partai Golkar.
19
Upaya lain untuk memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional,
juga terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya bersama
pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU) Pilkada. Banding
Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU Pilkada, jelas terlihat sebagai
upaya agar konflik PPP dan Golkar terus berkepanjangan.
Salah satu tujuan jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam
melakukan persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid,
takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai pilkada
tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun ini.
Perlawanan
PPP dan Golkar tentu tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri
Laoly bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan menjadi luka
sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar dan kader PPP. Jika
pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut memperuncing pertikaian internal
parpol, sudah barang tentu DPR akan mengambil sikap.
Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi konsekuensinya. Kegaduhan itu bisa saja
dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR akan berupaya
meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan intervensi pemerintah
terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR.
Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik tahu bahwa Presiden telah meminta
Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap
banding. Maka selama tidak ada tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly
melakukan banding, Golkar dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly.
Golkar dan PPP sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak
dapat mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di berbagai
daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput jika mereka menduduki
kantor KPU daerah.
Hari-hari ini, Golkar terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta
pengurus daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif terhadap
gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate, setelah PTUN
membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu Munas Ancol.
Kader Partai Golkar tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf
Kalla (JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak sekadar
bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai Golkar adalah keberanian
dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling legitimate memimpin kepengurusan
Partai Golkar?
20
Persoalan internal Partai Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri,
Presiden Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi
Indonesia Hebat (KIH). Kepengurusan Partai Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah
melalui Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di
Ancol, Jakarta, yang diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan
karenanya tidak legitimate. Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta,
dokumen, dan surat mandat palsu.
Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua
umum parpol anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas
Ancol itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke tahap
penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi, sehingga ada alat
bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat yang dipalsukan. Bahkan, tidak
lama lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang mengotaki
sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu itu.
Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol, berarti pemerintah
mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk. Lantas, bagaimana harus menjelaskan
kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh kesadaran menoleransi aksi kejahatan
politik seperti itu? Bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun
dengan susah payah kalau Munas abal-abal sebuah partai politik kemudian mendapat
legitimasi dari pemerintah?
Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti pemerintah tidak mau
mengakui kesalahannya. Dengan mempertahankan posisi seperti, pemerintahan Presiden
Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah terjebak akibat kepentingan sempit, yakni ingin
menghancurkan Golkar dan PPP. Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
21
Retak Parpol, Demokrasi untuk Siapa?
Koran SINDO
27 Mei 2015
Kisruh politik kerap melanda partai politik. Yang kita mafhum biasanya datang dari internal
partai itu sendiri, namun kini yang terpampang di hadapan kita justru tekanan politik dominan
dari luar partai yang kental akan kuasa pemerintah (abuse of power) mewarnai kisruh Partai
Golkar dan PPP.
Sejarah berulang, nafsu kuasa Orde Baru yang merasuki PDI waktu itu berakhir dengan
tragedi berdarah ”kudatuli” dan chaos partai politik. Situasi serupa menjelma pada konflik
Golkar dan PPP saat ini di mana politik kekuasaan menjadi panglima atas nama demokrasi.
Seyogianya, belum lama setelah pileg dan pilpres tahun lalu, rakyat rindu akan kehidupan
lebih baik melalui ”suara” yang telah dimandatkan kepada partai politik. Rakyat tidak pernah
membayangkan apalagi menginginkan wajah partai politik terbelah, konflik, pecah, gaduh
berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Tidak berlebihan kalau satu-satunya harapan publik
dari pemilu yang digelar tahun lalu adalah langkah maju bangsa ini mengatasi kemiskinan,
pengangguran, dan ketertinggalan lainnya melalui parameter sederhana: rakyat menjadi lebih
sejahtera.
Jangan sampai pemilu lima tahunan yang kita rasakan makin berkualitas ini hanya tercatat
sebagai laluan sejarah dan ritual politik semata namun kering akan nilai dan esensi demokrasi
yang harusnya bermakna ”demos” dan ”cratos”.
Parpol Pilar Demokrasi
Pilihan menjadi partai modern hampir menjadi role model semua partai politik peserta Pemilu
2014 dengan terjemahan platform dan keunikan perjuangan masing-masing. Di samping
kebutuhan zaman, partai politik modern merupakan pilihan sejarah sebagai bentuk adaptasi
dengan demokrasi kita yang terus berkembang.
Senada pula dengan Partai Perindo yang menasbihkan dirinya sebagai partai modern sejak
dideklarasikan 7 Februari lalu, tengah berupaya membangun partai dengan basis massa dan
kader. Partai modern yang menjiwai Partai Perindo bukanlah tanpa alasan, sedikitnya ada dua
latar belakang: (1) demokrasi membutuhkan harmoni antara agregasi suara rakyat dan
perjuangan politik yang substantif sehingga mampu melahirkan partai politik berkualitas; (2)
sejarah kelahiran bangsa Indonesia dimotori oleh para pemikir dan tokoh bangsa yang
progresif dan visioner, namun tetap realistik mencapai tujuan.
22
Oleh karena itu, kombinasi kuantitas dan kualitas dalam kemasan modernitas merupakan
otentifikasi sekaligus refleksi terbaik dari perjuangan partai politik. Kondisi parpol kekinian
(baca: dua parpol yang pecah/konflik) adalah situasi kritikal yang berbahaya bagi
keberlangsungan demokrasi itu sendiri meskipun riuh rendah politik tersebut bisa kita
letakkan dalam perspektif dinamika demokrasi partai politik modern.
Apa pun pijakan legitimasinya, demokrasi melalui instrumen partai politik tidak boleh
melenceng bahkan out of the track dari intisari kedaulatan di tangan rakyat. Pesan demokrasi
jelas menitikberatkan pada kuasa rakyat yang disalurkan melalui partai politik atau lebih
mudah kita kenal dengan nama keterwakilan politik. Walhasil, partai politik modern seperti
Partai Perindo berpandangan bahwa parlemen sebagai wujud perwakilan politik harus
dikelola secara amanah, akuntabel dan transparan. Hanya dengan prinsip-prinsip tersebut
maka jalan menuju parlemen yang konstruktif bisa ditegakkan. Dengan demikian, sangatlah
tidak produktif jikalau wajah partai politik kita ada retak dan rusak akibat pertarungan elite
internal partai politik maupun intervensi politik penguasa yang sudah pasti pada akhirnya
merugikan sang mandatori mutlak yang bernama rakyat.
Parpol yang kuat cikal bakal bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat dengan pijakan utama
pada kepentingan rakyat. Dan suatu panggilan sejarah bagi Partai Perindo untuk
membuktikan modernitas kepartaiannya dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Analogi
singkatnya, tatkala Partai Perindo mampu memainkan peran strategis melalui kader-kader
yang berkualitas dalam menyerap, menyalurkan dan juga memperjuangkan suara rakyat maka
inklusif penguatan parpol terwujud sejalan dengan terbentuknya ikatan ideologis maupun
pragmatis rakyat yang ”menghidupi” demokrasi.
Partai Perindo bersama partai politik lainnya turut andil mendorong jalan baru demokrasi
yang sehat diawali dengan potret diri partai politik yang solid, satu, utuh serta menjadikan
rakyat sebagai satu-satunya tujuan politik atau dalam ijtihad politik Partai Perindo dikenal
dengan istilah politik kesejahteraan.
Parlemen Konstruktif
Parlemen konstruktif sebagai jalan panjang menuju demokrasi yang sehat, setidaknya
mengandung arti: (1) menjalankan checks and balances kepada pemerintah dalam semangat
kebersamaan. Bersama bisa diartikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Pertama,
pada posisi mendukung sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah sepanjang
berpihak pada kepentingan rakyat dan kedua, berbeda sikap dengan cara memberikan
pandangan berbeda tidak sekadar kritik semata beroposisi, tapi konsisten secara aktif terlibat
dalam proses pengambilan keputusan politik sejak awal agar suatu kebijakan pemerintah
selalu bisa diperdebatkan secara konstruktif meski pada akhirnya tidak melulu sejalan dengan
sikap pemerintah, (2) menerjemahkan sepenuhnya fungsi partai politik sebagai sarana
komunikasi politik sekaligus pengatur konflik.
23
Peran (berbeda) sebagai oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi
kekuasaan. Partai politik oposan diperlukan karena baik dan benarnya politik harus
diperjuangkan dalam kontestasi politik serta diuji dalam wacana politik yang terbuka dengan
melibatkan publik.
Sejatinya, praktik kekuasaan yang dijalankan pemerintah haruslah teruji bernas untuk
kepentingan rakyat karena pengawasan melalui parlemen adalah satu bangunan (built in)
yang niscaya dalam era demokrasi. Maka pesan terpenting bagi para penguasa (baca:
pemerintahan Jokowi-JK) tidak perlu terlalu reaktif ketika wajah parlemen kita berdinamisir
dalam dua arus utama KMP dan KIH. Dinamika itu merupakan berkah bawaan bahkan
menjadi jamu yang mungkin terasa pahit, namun menyehatkan di kemudian hari.
Sikap kritis yang disuarakan parpol KMP harus diletakkan dalam porsi oposisi loyal di mana
kekritisan tersebut terjamin tidak akan keluar dari substansi nilai dan esensi demokrasi.
Loyalitas pada agenda besar kebangsaan, program-program kerakyatan menjadi pijakan
berpikir dan kerja-kerja politik baik oleh KMP maupun KIH. Lantas, mengapa penguasa
mesti gencar kerja keras mengondisikan mayoritas parpol di parlemen sebagai pendukung
pemerintah? Bukankah itu akan melemahkan demokrasi sekaligus mendegradasi fungsi-
fungsi parpol di mana semua aspirasi rakyat seolah dikanalisasi dalam keseragaman garis
politik penguasa.
Pelemahan demokrasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi apalagi nuansa intervensi politik lebih
menyeruak dalam kisruh partai Golkar dan PPP. Kalau sudah demikian boleh jadi
kemunduran sejarah bangsa di depan mata setelah hampir 17 tahun reformasi bergulir, alih-
alih demokrasi belum mampu dinikmati rakyat secara langsung menyentuh kehidupan sehari-
hari.
Saatnya kita jaga dan tumbuhkan cita-cita demokrasi yang bersumber pada makna kedaulatan
rakyat melalui representasi partai-partai politik karena pada hakikatnya di dalam tubuh parpol
yang sehat akan tumbuh demokrasi yang kuat.
MARDIANSYAH
Pengurus DPP Partai Perindo dan Ketua Umum DDMI (Dewan Dakwah Muslimin
Indonesia) DKI Jakarta
24
Keraton (Belum) Hamil Tua
Koran SINDO
28 Mei 2015
Salah satu isu pokok penyebab perselisihan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah
dinobatkannya GKR Pembayun sebagai puteri mahkota bergelar GKR Mangkubumi
Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi adalah nama
Sultan Hamengku Buwono X sebelum diwisuda sebagai putera mahkota dan identik dengan
nama pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Keseriusan Hamengku Buwono X menyiapkan puterinya disimbolkan dengan duduknya
GKR Mangkubumi di Watu Gilang, bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan
Senopati. Meskipun Sultan tidak menyebut secara eksplisit dan GKR Mangkubumi
menyatakan ”ojo nggege mongso” (jangan mendahului sesuatu sebelum waktunya), persiapan
suksesi sudah terlihat nyata.
Soalnya, sejarah Kesultanan Yogyakarta adalah sejarah kekuasaan laki-laki. Belum pernah
ada Raja Mataram perempuan, sejak didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede hingga
sekarang. Seluruh rangkaian sejarah Mataram adalah tentang kekuasaan raja, bukan ratu.
KGPH Yudhaningrat, salah satu adik Hamengku Buwono X, menyatakan, ”Memaksakan
GKR Mangkubumi menjadi puteri mahkota akan menghilangkan dinasti Hamengku Buwono
yang selama ini memimpin Keraton Yogyakarta. Pasalnya, Keraton Yogyakarta melanjutkan
khalifah Mataram yang berdasar pada nasab patriarki.” Bahkan adik Sultan yang lain, KGPH
Hadiwinoto, berani menyatakan bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja batal demi hukum.
Ratu dalam Sejarah
Sejarah mencatat Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga di sekitar Jepara, Jawa Tengah,
pada abad ke-7. Ratu Shima dikenal tegas dan adil dalam menegakkan hukum dan
menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya Kalingga mengalami kemajuan dan
kemakmuran.
Dalam sejarah Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, tersebutlah nama Ratu
Tribhuwana Tunggadewi. Menyusul kematian Raja Jayanegara yang tidak mempunyai
keturunan, tahta diserahkan kepada istri Raden Wijaya, Gayatri. Tetapi, karena Gayatri sudah
menjadi biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada puterinya, Dyah Gitarja, yang setelah
naik tahta bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1329.
25
Meski selama kekuasaannya ada beberapa pemberontakan, Tribhuwana dibantu Patih Gadjah
Mada berhasil memajukan dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah
Tribhuwana lengser (1351), anaknya, Hayam Wuruk, melanjutkan kekuasaan dan sukses
mencapai zaman keemasan.
Hayam Wuruk wafat pada 1389, tongkat kekuasaan diberikan kepada puterinya,
Kusumawardhani, meskipun pemerintahan dijalankan oleh suaminya, (”Bapak Negara”)
Wikramawardhana. Jadi, pemerintahan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 sudah mengenal
kepemimpinan perempuan, sekitar tujuh abad setelah Ratu Shima berkuasa di Kerajaan
Kalingga.
Dalam kebudayaan berbeda, sejarah ratu dapat ditemukan di Aceh pada abad ke-17.
Pascakematian Sultan Iskandar Tsani terjadilah perdebatan tentang siapa penggantinya.
Secara adat dan agama, ada tantangan berat terhadap kehadiran pemimpin perempuan, tetapi
atas pengaruh ulama besar Syiah Kuala diangkatlah Safiatuddin (istri Iskandar Tsani) sebagai
sultanah. Syiah Kuala berperan sebagai penasihat kerajaan, Kadi Malikul Adil.
Setelah Safiatuddin, ada tiga perempuan menjadi sultanah yakni Naqiatuddin, Zakiatuddin,
dan Kamalat Syah. Sejarah empat sultanah ini terjadi pada periode 1641-1699. Ini sejarah
terobosan kepemimpinan perempuan di tengah dominasi tradisi laki-laki yang kuat secara
budaya dan agama.
Pemerintahan ratu juga ditemukan di Kesultanan Bima. Pengganti Sultan Abdul Qadim Ma
Waa Taho yang memerintah 1742-1773 adalah Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga)
yang memegang tahta pada 1773-1795. Ratu Bima ini akhirnya dibuang oleh Inggris ke Sri
Lanka hingga mangkat.
Di Kerajaan Bone jumlah ratu lebih banyak lagi. Beberapa nama ratu yang bisa disebut
adalah We Banri Gau Arung Majang, We Tenri Pattuppu, We Batari Toja Daeng Talaga, We
Tenri Waru Pancai Tana, We Fatimah Banrigau, Sultanah Salima Rajiatuddin, dan Sultanah
Zainab Zakiatuddin. Nama-nama ratu tersebut memerintah di Bone, di antara raja dan sultan,
pada abad ke-15 sampai abad ke-19.
Di Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Mataram Islam yang bersistem patriarki sudah pernah
ada preseden perempuan sebagai wali Sultan. Ketika Hamengku Buwono V naik tahta dalam
usia balita, ada empat orang wali Sultan yang ditunjuk yakni Ratu Ageng (nenek Sultan),
Ratu Kencono (ibu Sultan), Mangkubumi, dan Diponegoro.
Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertugas mendidik dan membesarkan Sultan hingga dewasa,
sedangkan Mangkubumi dan Diponegoro menjalankan pemerintahan. Namun, tugas
manajemen pemerintahan sering diintervensi Patih Danurejo IV atas sokongan Ratu
Kencono. Inilah yang menjadi salah satu pemicu perlawanan Diponegoro.
Lahirkah Ratu Baru?
26
Jika tidak ada halangan, puteri mahkota sekarang adalah raja–tepatnya ratu–berikutnya.
Praktis satu kaki Pembayun sudah bergerak menuju tahta Keraton Yogyakarta. Meski
demikian, kaki satu lagi masih ”terikat” sejumlah tantangan.
Tantangan pertama dari internal Keraton sendiri. Apakah para adik Sultan Hamengku
Buwono X akan berhasil dirangkul untuk menerima Dawuh Raja? Jika persuasi Sultan
sukses, jelas ini akan melempangkan jalan bagi lahirnya Ratu Mataram. Jika tidak berhasil,
implikasi politik dari reaksi dan penolakan keluarga bisa menjadi masalah yang tidak sepele.
Atas nama mempertahankan tradisi, preseden suksesi masa silam bisa diangkat kembali oleh
para adik laki-laki Hamengku Buwono X. Dalam sejarah Keraton pernah terjadi suksesi dari
Hamengku Buwono V kepada adiknya, GRM Mustojo, untuk diangkat menjadi Hamengku
Buwono VI.
Sementara di Kasunanan Surakarta juga pernah terjadi suksesi dari Pakubuwono VI kepada
pamannya sebagai Pakubuwono VII dan kemudian dari Pakubuwono VII kepada kakaknya
untuk bertahta sebagai Pakubuwono VIII. Jauh sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma
menjadi raja setelah menggantikan adiknya, Adipati Martapura.
Tantangan kedua datang dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Diatur secara jelas di dalam
Pasal 18 ayat 1, UU No. 13 Tahun 2012 bahwa gubernur dan wakil gubernur yang
diamanahkan kepada Hamengku Buwono dan Paku Alam adalah laki-laki. UU tidak memberi
ruang opsi perempuan. Perda yang disahkan DPRD DIY akhir Maret juga menegaskan
perintah UU.
Kompleksitas politik akan lahir jika Keraton Yogyakarta dipimpin perempuan ketika
dihadapkan dengan aturan di dalam UU tersebut. Masalah ini hanya akan bisa diselesaikan
jika UU Keistimewaan Yogyakarta direvisi. Apakah revisi akan mendapatkan dukungan
keluarga Keraton, publik, dan DPR?
Tantangan ketiga berasal dari publik. Pemimpin Keraton juga pemimpin bagi masyarakat
Yogyakarta modern dan majemuk. Meskipun secara tradisi-kultural tidak mudah rakyat
Yogyakarta menerima kehadiran seorang ratu, tetapi zaman sudah bergerak dan membawa
banyak perubahan pengertian. Tafsir budaya Jawa tentang perempuan sebagai ”konco
wingking” (teman di belakang rumah) tidak lagi ketat dan keras.
GKR Mangkubumi juga diuntungkan oleh perkembangan konstruksi teologis Islam tentang
kepemimpinan yang makin cair dari bias gender. Penolakan terhadap pemimpin perempuan
tidak akan menjadi arus utama. Dalam konteks perubahan konstruksi berpikir Islam-Jawa itu,
dikotomi antara kehadiran raja atau ratu cenderung tidak lagi menonjol. Yang lebih dianggap
penting adalah apakah pemimpin itu diterima oleh publik dan cakap bekerja.
Tentu saja kompleksitas adat, tradisi, politik, dan bahkan mitos akan tetap menyertai proses
suksesi di Keraton Yogyakarta. Apakah akan lahir Ratu baru dan bagaimana proses
27
kelahirannya, jelas akan menjadi perhatian publik. Yang jelas Keraton Yogyakarta memang
sedang ”hamil”. Apakah tanda-tanda ini akan mengonfirmasi garis tangan GKR
Mangkubumi? Wallahu a’lam.
ANAS URBANINGRUM
Pengamat Politik
28
Tradisi Kehati-hatian KPK
Koran SINDO
28 Mei 2015
Fenomena kekalahan ketiga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan
praperadilan sebaiknya dievaluasi oleh pimpinan KPK. Hal ini bukan saja menunjukkan ada
ketidaktelitian pimpinan KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melainkan
juga merupakan ada realitas kekacauan logika dalam menilai dan menafsirkan alat bukti.
KPK tidak dapat mempertahankan perbuatan dan keputusannya dalam menetapkan Komjen
Pol Budi Gunawan (mantan kepala Lemdikpol, saat ini Wakapolri), Ilham Arief Sirajuddin
(mantan wali Kota Makassar), dan Hadi Poernomo (mantan ketua Badan Pemeriksa
Keuangan/BPK) selaku tersangka tindak pidana korupsi saat diuji di pengadilan.
Saat pengadilan mengabulkan praperadilan seorang yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai
tersangka, setidaknya ada dua masalah utama yang muncul yakni bukti permulaan dan
perampasan kemerdekaan jika tersangka ditangkap dan ditahan. Praperadilan adalah
mekanisme pengujian yang menjadi kewenangan pengadilan untuk menguji sah atau tidak
sahnya perbuatan penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan/penuntutan, dan penetapan tersangka, di samping untuk memeriksa permintaan
ganti kerugian dan rehabilitasi jika sebuah perkara tidak diajukan ke pengadilan.
Seperti kita ketahui, putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo
dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Mei 2015. Kritik terhadap putusan
tersebut tak ayal dilontarkan Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki.
Mantan ketua KPK Jilid I (2003-2007) ini menyatakan putusan hakim praperadilan telah
melampaui permohonan pemohon (Hadi Poernomo) dan bertentangan dengan UU serta
memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi
(SINDONEWS, 26/5/ 2015).
Artikel ini tidak akan memperdebatkan putusan praperadilan yang telah diketuk, tetapi
mengingatkan kembali tradisi kecermatan yang dibangun oleh para pimpinan KPK di awal
berjalannya lembaga ini.
Tradisi Kehati-hatian
Tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti. Bukti merupakan modal
paling utama bagi penyidik untuk mengetahui apakah benar telah terjadi tindak pidana dan
menemukan siapa tersangka yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam proses
penyidikan, seorang penyidik akan mengumpulkan bukti dengan cara memanggil saksi-saksi
29
yang dianggap mengetahui peristiwa tindak pidana, mengumpulkan bukti surat, dan meminta
pendapat ahli.
Dalam konteks penyidikan KPK, proses pencarian alat bukti ini tidak jarang terliput media
saat penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan melakukan penyadapan
yang dimiliki KPK juga digunakan untuk mendukung proses penyidikan yang dilakukan.
Pada masa awal berdiri KPK, Taufiequrrahman Ruki adalah seorang pimpinan KPK yang
mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak. Ruki bahkan pernah menyatakan, penyidik KPK
diminta untuk mencari lima alat bukti walaupun hukum acara hanya meminta dua alat bukti
untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kehati-hatian diperlukan karena KPK oleh
undang-undang tidak diperbolehkan menghentikan perkara yang telah berlangsung.
Tradisi kehati-hatian ini agaknya memudar belakangan. Gelar perkara yang seharusnya
dilakukan penyidik dan pimpinan KPK untuk menguji kebenaran dan kelengkapan alat bukti
bahkan ditinggalkan, sebagaimana dinyatakan oleh mantan penyidik KPK, Hendy F
Kurniawan, yang bertugas sejak 2008 sebelum mengundurkan diri pada 2012. Ketika
bersaksi dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, mantan penyidik KPK ini
menerangkan dirinya mundur karena pernah diminta pimpinan KPK untuk menetapkan
seseorang menjadi tersangka tanpa dua alat bukti (KORAN SINDO, 11/2/2015).
Ketika pimpinan KPK menetapkan seorang menjadi tersangka, pada dasarnya menunjukkan
kemampuannya untuk berdisiplin mengemukakan alasan-alasan hukum yang didapatkan
penyidik yang terjun langsung dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti. Kemampuannya
mengonstruksikan sebuah peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana berdasarkan alat bukti
yang lengkap. Serta, menunjukkan juga kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), dan
pengetahuannya (knowledge) menyeleksi alat bukti. Atau, bahkan meminta penyidik untuk
mencari lagi alat bukti lain agar lengkap sebelum menetapkan seseorang yang disangka
sebagai pelaku peristiwa tidak pidana itu.
Di sinilah mekanisme gelar perkara menjadi sentral dan tidak boleh dilewatkan. Dalam forum
gelar perkara ini, para penyidik dan pimpinan KPK seharusnya berdebat keras agar tidak
keliru langkah.
Perampasan Kemerdekaan
Tradisi yang agaknya masih tetap dilaksanakan adalah penahanan terhadap tersangka
sebelum yang bersangkutan dilimpahkan berkasnya ke pengadilan. Bahkan muncul istilah
”Jumat Keramat”, di mana seorang tersangka KPK ditahan setelah pemeriksaan pada hari
Jumat.
Penahanan apa pun bentuknya merupakan perampasan kemerdekaan. ”Beruntung” para
tersangka yang memenangkan gugatan praperadilan belum ditahan oleh KPK. Jika seseorang
telah ditetapkan menjadi tersangka, lalu ditahan, dan kemudian gugatan praperadilannya
30
dimenangkan oleh pengadilan, tentu menjadi masalah bagi penghormatan hak asasi yang
bersangkutan. Ilham Arief Sirajuddin dan Hadi Poernomo misalnya, walaupun tidak ditahan,
keduanya dicekal-dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Hal ini juga merupakan bentuk
perampasan kemerdekaan warga negara untuk bepergian.
Kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi amat penting agar tindakan perampasan
kemerdekaan terhadap yang bersangkutan tidak melanggar hak asasi. Dalam perspektif dan
disiplin hak asasi manusia, bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan seperti penahanan harus
didasarkan pada alasan hukum yang benar dan rasional. Kegagalan memenuhi persyaratan ini
merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Karena merupakan perampasan kemerdekaan, sejak tahun 1981 KUHAP melimitasi
kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan. Perintah penahanan atau penahanan
lanjutan bukanlah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Bukan juga untuk konsumsi
kehumasan atau bertujuan pencitraan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada adanya
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Karena itu, ”tradisi”
penahanan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewisde) juga perlu dievaluasi.
Evaluasi dan Kembalikan Tradisi
Kepentingan dan harapan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi
tersangka, melakukan penahanan, mencegah seseorang bepergian atau pun pemblokiran
rekening, didasarkan 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, agar kepercayaan terhadap upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga ini sebagai murni penegakan hukum tidak
pupus. Tidak sedikit kritik yang dilontarkan pengamat bahwa penetapan tersangka oleh KPK
juga dipengaruhi oleh motif-motif kepentingan di luar penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, supaya kekeliruan perilaku penyidik atau pimpinan KPK dapat segera diakhiri. Secara
mudah masyarakat menilai, jika polisi bintang tiga, mantan pejabat tinggi negara, atau
mantan pimpinan daerah saja dapat ditetapkan menjadi tersangka tanpa proses yang benar,
tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepada siapa pun. Masyarakat menginginkan
pimpinan KPK memberi pelajaran dan praktik yang benar di bidang penegakan hukum.
Ketiga, tentu saja agar hak asasi warga negara tidak ditunda atau bahkan dirampas tanpa
dasar hukum yang benar dan adil.
Evaluasi kelembagaan sudah sepatutnya dilakukan oleh KPK sendiri. Mengembalikan tradisi
kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi tugas penting pimpinan dan Plt. pimpinan
saat ini dan pimpinan KPK ke depan. Semangat dan gagasan kehati-hatian di tubuh KPK
yang diamanatkan undang- undang sebaiknya dijadikan tradisi (tradere) di lembaga ini, di-
transmit, dilanjutkan, dan dijaga keberlangsungannya.
31
PATRA M ZEN
Ketua Komite Bantuan Hukum, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia
32
Putusan Haswandi dalam Praperadilan Hadi
Poernomo
Koran SINDO
29 Mei 2015
Hiruk-pikuk kedua soal putusan praperadilan melawan KPK terjadi lagi satu hari setelah
hakim Haswandi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan KPK tidak sah
menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka.
Ada pertimbangan Hakim Haswandi yang membuat gelisah pimpinan KPK dengan
menyatakan bahwa putusan tersebut akan membuyarkan pemberantasan korupsi dengan
merujuk kepada 371 perkara korupsi yang telah in-kracht. Sejatinya dalam sistem kekuasaan
kehakiman di Indonesia tidak dianut yurisprudensi sebagai sumber hukum selain undang-
undang. Selain itu, kekhawatiran pimpinan KPK berlebihan karena putusan Haswandi tidak
dapat “diberlakukan” surut. Putusan Haswandi tidak retroaktif tetapi prospektif, itu pun jika
hakim lain mengikutinya. Tidak ada perlu ada reaksi yang berlebihan, apalagi dengan
mengatakan putusan Hakim Haswandi mendelegitimasi status PPNS yang terdapat di
kementerian/lembaga (K/L).
Jika pengamat dan pimpinan KPK cermat membaca permohonan pemohon praperadilan
(HP), di dalamnya ada permohonan terkait status penyelidik dan penyidik pada KPK. Seingat
penulis, permohonan a quo yang pertama dimasukkan ke PN Jaksel tidak tercantum soal
status penyelidik dan penyidik, tetapi dicantumkan dalam permohonan praperadilan yang
kedua. Jadi tidak ada putusan Hakim Haswandi yang bersifat ultra petita.
Dalam kaitan status penyelidik dan penyidik pada KPK, juga terdapat pemahaman keliru dari
pimpinan KPK. Lex specialis yang dimaksud dalam UU KPK merujuk pada aspek historis
dan teleologis mengenai latar belakang pembentukan KPK. Dalam hal ini hanya terkait
kewenangan komisioner KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP, bukan
terkait pada status pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut pada KPK. Alas hukum
mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 6 dan khususnya Pasal 12
UU KPK.
Sementara status penyelidik, penyidik, dan penuntut (P3) tetap merujuk pada KUHAP yang
merupakan “payung hukum” (umbrella act) proses beracara dalam perkara pidana termasuk
perkara tipikor. Jika di dalam UU KPK tidak ditegaskan status siapa P3, yang berlaku adalah
ketentuan a quo yang telah diatur dalam payung hukum tersebut. Tidak boleh ditafsirkan oleh
pimpinan KPK karena tidak diatur secara khusus, pimpinan KPK dapat menafsirkan dan
33
mengangkat sendiri karena proses peradilan harus mengikuti secara hierarkis dan secara
prosedural berpegang teguh pada sistem kodifikasi.
Dalam kaitan pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK (Pasal 43, 44 dan
Pasal 51 UU KPK) khususnya penyidik dan penuntut seharusnya dibaca terhubung pada
Pasal 39 ayat (3) UU KPK. Karena penyelidik, penyidik dan penuntut diberhentikan
sementara dari institusi asalnya sehingga harus ada yang mengangkat agar dapat menjalankan
fungsinya, yaitu pimpinan KPK. Bunyi Pasal 39 ayat (3) UU KPK jelas merujuk pada
ketentuan KUHAP mengenai siapa P3 sehingga institusi asalnya dimaksud adalah kepolisian
bagi penyelidik dan penyidik dan kejaksaan bagi penuntut.
Bahkan dalam UU KPK, fungsi jaksa penuntut hanya sebatas penuntutan bukan penyidikan;
posisi yang berbeda ketika jaksa berada dalam lingkungan kerja kejaksaan di mana sesuai
dengan bunyi UU Nomor 6 Tahun 2004, penuntut dapat melaksanakan fungsi penyidikan
dalam tindak pidana tertentu termasuk tipikor. Dalam UU KPK tidak ada ketentuan eksplisit
menyebutkan bahwa penuntut dapat melakukan fungsi penyidikan juga.
Berdasarkan uraian aspek hukum dari pertimbangan Hakim Haswandi, ketidakpuasan atau
keberatan pimpinan KPK seharusnya dijadikan bahan introspeksi internal KPK untuk
berbenah diri secara total. Pembenahan itu baik dari aspek manajemen perkara, proses
pengambilan keputusan melalui gelar perkara berdasarkan sistem kolektif-kolegial dan
menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada prinsip hukum “due process of
law“.
Diharapkan ke depan KPK menjalankan penegakan hukum secara bermartabat dalam
pemberantasan korupsi jika merujuk pada penetapan tiga tersangka yang tidak sah yang oleh
KPK selalu diikuti dengan proses pencekalan, pemblokiran, penyitaan yang mutatis mutandis
tidak sah. Akibat hukum putusan Haswandi, tindakan KPK terhadap tiga tersangka adalah
merupakan bentuk perampasan kemerdekaan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333
KUHP.
Putusan Hakim Haswandi hanya berdampak terhadap status penyelidik dan penyidik pada
KPK dan tidak ada kaitannya dengan status PPNS yang telah diatur di dalam beberapa UU
sektoral yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
34
Menanti Kapolri yang Blusukan
Koran SINDO
29 Mei 2015
Baru sekitar sebulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Jenderal Pol Badrodin Haiti
menjadi kapolri, masalah yang dihadapi kepolisian datang silih berganti. Mulai Polsek Limun
dibakar massa di Sarolangun, Jambi, kasus suap kasus narkoba yang melibatkan perwira
menengah Bareskrim Polri di Bandung, hingga penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan
yang dinilai banyak kalangan kontroversial.
Seminggu setelah dilantik, Kapolri kemudian melantik Komjen Pol Budi Gunawan menjadi
wakil kapolri (wakapolri) pada 22 April 2015. Kita harapkan pelantikan ini akan membawa
angin segar agar kinerja duet Badrodin-Budi Gunawan bisa saling bersinergi dan saling
melengkapi sehingga pelayanan Polri kepada masyarakat dapat ditingkatkan.
Sebelum dilantik Presiden, Kapolri Badrodin di hadapan Komisi III DPR RI mengemukakan
sejumlah programnya akan membawa perubahan pada wajah kepolisian untuk melayani dan
ingin melakukan revolusi mental walau dirinya hanya menjabat satu tahun lebih jadi kapolri.
Selalu Ada Harapan
Beberapa visi-misi Kapolri yang disampaikan Kapolri Badrodin adalah, pemantapan soliditas
dengan melakukan reformasi Polri dalam bidang SDM, sarana-prasarana, dan anggaran.
Kemudian, Kapolri ingin melaksanakan revolusi mental SDM melalui perbaikan sistem
rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan latihan, serta peningkatan pengawasan
di tubuh kepolisian.
Apa yang disampaikan Badrodin sangat terkait dengan situasi yang ada saat ini. Apalagi,
kemarin sempat terjadi polemik dalam pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Kita
sadar atau tidak sempat terjadi friksi dalam internal kepolisian. Untuk itu, kita mengharapkan
kepada kapolri dan wakilnya bisa membawa kesejukan dalam internal kepolisian dan bukan
sebaliknya. Soliditas Polri saat ini sangat dibutuhkan dalam mengujudkan visi-misi Badrodin.
Hal lain kita harapkan, Polri harus lebih terbuka untuk dikritisi, baik oleh pengawas internal
sendiri maupun eksternal Polri. Dalam catatan kami sebagai anggota Kompolnas, Kapolri dan
Wakapolri bukan pimpinan Polri yang anti-kritik. Untuk itu, semua kritikan masyarakat harus
kita jadikan masukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme Polri agar semakin
dicintai masyarakat pada masa mendatang.
35
Salah satu yang harus dibenahi adalah keinginan Presiden Jokowi melakukan revolusi mental
dalam melayani kepada masyarakat dan bukan untuk dilayani. Kita sadari, budaya untuk
melayani masih barang langka dalam pelayanan kepolisian. Kita harapkan semua kapolsek,
kapolres, dan kapolda sebagai garda terdepan di tengah masyarakat di daerah bisa
mengabdikan dirinya menjadi pelayan bagi masyarakat setempat.
Untuk menumbuhkan semangat untuk melayani pada tataran polisi pada tataran bawah, perlu
kiranya kehadiran Badrodin dan Budi Gunawan secara bergiliran turun ke markas polisi
hingga polsek sekalipun. Dalam catatan kami, kehadiran Badrodin di Polsek Limun yang
dibakar massa di Jambi, patut kita apresiasi.
Program lain Kapolri adalah memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dengan
landasan prinsip proactive policing dan problem oriented policing. Keinginan Kapolri di atas
bisa dilaksanakan dan diwujudkan apabila Kapolri betul-betul memfungsikan kehadiran
polmas di tengah masyarakat.
Program lain yang juga menjadi tekad Badrodin adalah memacu terbentuknya postur Polri
yang lebih dominan sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Program ini
tidaklah mudah dilakukan dalam waktu singkat. Program ini kemungkinan akan bisa
diwujudkan apabila kapolsek hingga kapolri memberikan contoh setiap saat selalu hadir di
tengah masyarakat. Harapan masyarakat terhadap Polri begitu besar. Masyarakat
menginginkan agar polisi hadir dalam 24 jam di tengah masyarakat. Kapan masyarakat butuh
polisi, dalam waktu cepat, polisi sudah hadir di tempat itu.
Kemudian, meningkatkan kemampuan deteksi untuk memahami potensi akar masalah
gangguan kamtibmas dan kemampuan memediasi dan solusi non-represif juga saat ini sangat
dibutuhkan kepolisian. Di berbagai daerah, sering terjadi konflik sosial. Kapolsek dan
kapolres wajib hukumnya berada di tengah masyarakat, apalagi ada kejadian yang menonjol.
Tidak jarang selama ini kita pantau kapolsek dan kapolres jadi “kodamar” (komandan dalam
kamar). Padahal, gangguan kamtibmasnya rawan gesekan.
Dalam catatan saya, jika saja polisi cepat menyelesaikan masalah antara polisi dan
masyarakat di Kecamatan Limun, Sarolangun, Jambi beberapa minggu lalu, massa tidak akan
membakar polsek setempat. Hal ini menjadi bukti, kapolsek dan kapolresnya di berbagai
daerah kalau mereka masih malas-malasan turun di tengah masyarakat.
Kemudian, masalah yang juga banyak disorot adalah bagaimana dalam meningkatkan
kemampuan penegakan hukum yang profesional, terutama penyidikan ilmiah guna menekan
empat jenis kejahatan. Ini juga kemarin merupakan bagian dari visi-misi Kapolri Badrodin.
Kasus penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan yang mendapat perhatian khusus dari
Presiden Jokowi dan penyimpangan yang dilakukan seorang perwira menengah berpangkat
AKBP dalam kasus narkoba, patut perlu kita renungkan; apakah Polri sudah melakukan
tugasnya secara profesional atau tidak.
36
Paling tidak, jika melihat visi-misi Kapolri tampaknya akan terwujud jika Wakapolri
mendukung Kapolri sepenuhnya. Duet Kapolri-Wakapolri yang saya kenal sebagai sahabat
sejak masuk Akpol seyogianya dapat mempercepat terwujudnya visi-misi Kapolri baru ini.
Dalam catatan kami, duet Kapolri dan Wakapolri ini kita dukung untuk dapat saling mengisi
dan melengkapi.
Kapolri sebagai sosok lapangan andal dan peringkat 1 Akpol (Adimakayasa 82). Beliau
empat kali menjadi kapolda (Banten, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur).
Sementara itu, sosok Wakapolri, bintang tiga yang dinilai brilian dalam konsep dan
manajemen. Bahkan, beliau salah satu arsitek dalam menyusun visi-misi beberapa kapolri
sebelumnya. Karena itu, tidak berlebihan bila Budi Gunawan dijuluki jenderal intelektual.
Jadi, keunggulan Kapolri-Wakapolri bila disatukan dapat membawa perubahan signifikan di
tubuh Polri. Kapolri dapat mewujudkan visi-misi yang terkait dengan eksternal, sementara
untuk internal diserahkan kepada Wakapolri untuk merealisasikannya. Kalau semua program
ini dapat diwujudkan, kepercayaan masyarakat terhadap Polri secara bertahap akan pulih.
Dan, tentu akan semakin baik antara kapolri dan wakapolri bila saling mengisi dan
melengkapi serta memberikan contoh lebih sering tampil di tengah masyarakat.
Semoga duet ini sungguh-sungguh membawa perubahan di tubuh Polri, sehingga
kekhawatiran sebagai elemen masyarakat terhadap Kapolri Badrodin dan Wakapolri Budi
Gunawan terjawab melalui kerja keras dan pengabdian yang tulus.
EDI SAPUTRA HASIBUAN
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI dan Kandidat Doktor Universitas
Borobudur
37
Kisruh Hukum Praperadilan
Koran SINDO
30 Mei 2015
Tak terbantahkan, beberapa vonis praperadilan atas penetapan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini telah menimbulkan kekisruhan atau
komplikasi hukum. Hakim Sarpin dan hakim Haswandi misalnya telah mengabulkan
permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dan Hadi Poernomo.
Pro dan kontra atas sebuah vonis sebenarnya biasa terjadi sehingga boleh saja orang setuju
atau tak setuju pada pembatalan atas penersangkaan Budi Gunawan, Hadi Poernomo, atau
Ilham Arief Sirajuddin. Namun, mereka telah melakukan upaya hukum dengan praperadilan
dan hakim telah mengabulkannya. Itu harus dihormati.
Tetapi, vonis-vonis atas perkara ini menimbulkan kisruh karena yang terjadi bukan hanya
pro-kontra atas kasus konkretnya, melainkan munculnya komplikasi konseptual atas
peraturan abstraknya. Dua hakim itu bukan hanya memutus kasus konkret, melainkan juga
secara tidak langsung melakukan pengujian (judicial review) atas isi UU dengan tidak
memberlakukan Pasal 77 KUHAP.
Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa penetapan status tersangka bukan termasuk objek
praperadilan, tetapi oleh dua hakim tersebut, demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa, tidak diberlakukan. Artinya, secara substantif dua hakim tersebut telah mereviu
UU karena isi UU yang abstrak tidak bisa diberlakukan terhadap kasus konkret yang
ditanganinya. Padahal, mereviu UU merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi
(MK). Timbullah dilema: pada satu sisi vonis itu melampaui kewenangan hakim karena telah
”merampas” wewenang MK dalam melakukan pengujian, tetapi pada sisi lain vonis yang
sudah inkracht tersebut mengikat, tidak bisa dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.
Khusus untuk penidakberlakuan Pasal 77 KUHAP komplikasinya memang telah ”terpaksa”
selesai karena pada 28 April 2015 MK telah memutus perkara No. 21/PUU-XII/2014 yang
menegaskan bahwa penetapan tersangka bisa diuji dalam praperadilan. Vonis MK ini pun
final dan berlaku seperti UU sehingga sekarang ini penetapan tersangka bisa dilawan dengan
upaya hukum melalui praperadilan. Problemnya hanya menjadi lebih teknis yakni Polri,
kejaksaan, KPK, dan pengadilan akan dibanjiri oleh ribuan permohonan praperadilan, bukan
hanya dalam kasus korupsi, melainkan dalam semua kasus pidana. Bukan hanya di Jakarta,
tetapi juga di daerah-daerah seluruh Indonesia.
***
38
Tetapi, komplikasi konseptual hukum ini muncul lagi setelah awal pekan ini hakim Haswandi
memutus permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang secara substantif juga menguji UU
karena tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu di dalam UU.
Mendasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP hakim Haswandi memutus bahwa
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pegawai yang bukan pejabat Polri dan
bukan dari kejaksaan sebagai pegawai negeri tertentu, tepatnya yang dilakukan oleh
penyelidik dan penyidik yang diangkat oleh KPK dari luar Polri dan kejaksaan, adalah tidak
sah. Padahal, selama ini, berdasar ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) KPK bisa
mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sebagai lex specialis.
Putusan praperadilan terbaru ini telah menimbulkan komplikasi baru secara konseptual
hukum karena dianggap mengacaukan hubungan keberlakuan antara hukum yang umum (lex
generalis) dan hukum yang khusus (lex specialis). Lebih dari itu, vonis hakim Haswandi ini,
karena erga omnes, telah menyentuh bukan hanya penyelidik dan penyidik KPK, melainkan
penyelidik dan penyidik yang diberi kewenangan oleh UU untuk menyelidiki dan menyidik
perkara-perkara tertentu seperti perkara keimigrasian, pelanggaran HAM berat, kehutanan,
pasar modal, otoritas jasa keuangan, perpajakan, lingkungan, perikanan, bea cukai, bahkan
penyelidik dan penyidik peradilan militer yang juga diatur dengan hukum khusus.
Berdasar vonis hakim Haswandi itu bisa ada puluhan ribu kasus yang menjadi bermasalah
dan tidak sah karena penyelidik dan penyidiknya bukan polisi atau jaksa. Untuk mengatasi
itu, ke depan lembaga legislatif harus mengaturnya melalui proses legislasi baru, tetapi untuk
tahap awal bisa didahului dengan segera dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA).
***
Meski begitu, di dalam kusut masai yang timbul akibat vonis praperadilan tersebut, saya
perlu mengemukakan dua catatan lain.
Pertama, meski seorang tersangka dinyatakan menang dalam praperadilan, bukan berarti
tersangka tersebut langsung lepas dari kasusnya. Menurut putusan MK No. 21/PUUXII/
2014, kasus yang bersangkutan bisa dilanjutkan asalkan diperbaiki dengan penyelidikan
dan/atau penyidikan baru yang sesuai dengan UU. Untuk KPK, hal ini tidak terlalu jadi
masalah karena di KPK, selain yang bukan jaksa dan polisi, sudah banyak juga penyelidik
dan penyidik yang memang berasal dari Polri dan kejaksaan.
Kedua, jangan bermimpi bahwa vonis praperadilan Hakim Haswandi ini bisa dijadikan
novum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) oleh mereka yang sudah
divonis dan sudah dihukum. Vonis hakim Haswandi ini tidak bisa dijadikan novum (bukti
baru) sebab menurut hukum novum itu adalah bukti yang sudah ada ketika yang bersangkutan
diadili di pengadilan, tetapi pada saat itu tidak diketemukan atau tidak diketahui. Novum tidak
39
bisa diambil dari keadaan atau peristiwa baru yang muncul sesudah vonis dijatuhkan dan
sudah inkracht.
Vonis Hakim Haswandi ini adalah baru yang, kalau terpaksa diberlakukan, hanya berlaku
untuk kasus-kasus sesudah palu vonis diketokkan.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
40
Rekonstruksi Sejarah Pancasila
Koran SINDO
1 Juni 2015
Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok
nasionalis muslim dan nasionalis netral agama berdebat serius di sidang-sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang BPUPKI
berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-16 Juli 1945.
Fokus perdebatannya adalah apa dasar falsafah negara Indonesia yang kemerdekaannya
segera diproklamasikan? Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya di
sidang BPUPKI dan mengusulkan Pancasila (lima prinsip) sebagai dasar falsafah negara:
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi,
Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.
Kemudian Panitia Sembilan (Panitia Kecil) mereformulasi Pancasila Soekarno sebagai
berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah rumusan resmi
Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945.
Banyak penulis tentang Pancasila selepas tumbangnya Orde Lama dan penatar P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru mengatakan bahwa Soekarno
bukanlah satu-satunya pencipta Pancasila. Mereka mengklaim Muhammad Yamin adalah
(juga) pencipta Pancasila. Dari sinilah muncul kontroversi tentang pencipta Pancasila itu.
***
Kontroversi sejarah tentang pencipta Pancasila terjadi sejak munculnya buku Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Buku ini berisi teks pidato tiga pembicara
(Soekarno, Soepomo, dan Yamin) yang disampaikan di sidang BPUPKI. Buku ini
mereproduksi teks pidato Yamin di mana dia menyebut dirinya mengajukan juga lima prinsip
sebagai dasar negara: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan
Kesejahteraan Rakyat. Konsep Pancasila versi Yamin ini mirip dengan Pancasila ciptaan
Soekarno.
Merujuk pada buku Naskah ini, BJ Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern
Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 di sidang
BPUPKI sering dikemukakan pada masa pasca-Soekarno bahwa pencetus Pancasila yang
41
sebenarnya adalah Yamin, bukan Soekarno. Inilah bukti bahwa buku Naskah versi Yamin itu
telah menimbulkan kontroversi sejarah yang besar.
Menanggapi kontroversi ini, Mohamad Hatta pada tahun 1980 menulis surat wasiat kepada
Guntur Soekarno Putra. Dalam surat wasiatnya, Hatta memberi kesaksian dan klarifikasi:
pada akhir Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, membuka sidangnya dan
mengajukan pertanyaan kepada peserta sidang, apakah dasar negara yang akan kita gunakan
untuk negara Indonesia Merdeka nanti?
Kebanyakan anggota BPUPKI tidak menanggapi persoalan ini karena takut memunculkan
masalah filosofis yang ruwet. Mereka langsung membahas konstitusi. Salah seorang anggota
BPUPKI yang menanggapi pertanyaan Radjiman adalah Bung Karno yang menyampaikan
pidatonya dengan judul “Pancasila”, lima prinsip, pada tanggal 1 Juni 1945, selama kurang
lebih satu jam. Pidatonya menarik perhatian para anggota BPUPKI dan mendapatkan tepuk
tangan yang luar biasa dari hadirin. Sidang komisi kemudian membentuk Komisi Kecil untuk
mereformulasi Pancasila yang diusulkan Bung Karno.
Hatta menegaskan, dia tidak pernah mendengar Yamin mengajukan lima prinsip (Pancasila)
dalam pidatonya di sidang BPUPKI. Hatta menyatakan, jika Yamin mengajukan lima prinsip
itu pasti dia mendengar dan memperhatikannya. Yamin tampaknya telah membuat catatan
berdasarkan wacana yang berkembang di sidang BPUPKI dan memasukkannya ke dalam
naskahnya dan kemudian mengklaimnya sebagai bagian isi pidatonya pada tanggal 29 Mei
1945.
Hatta yakin, Yamin telah “memfabrikasi” Pancasilanya ketika dia ditugasi Panitia Kecil
BPUPKI untuk menyusun Pembukaan UUD 1945 di mana dia memasukkan fabrikasi
Pancasilanya itu. Panitia Kecil tidak menerima rancangan Pembukaan UUD 1945 versi
Yamin karena rumusannya terlalu panjang. Kemudian ketika Yamin menyunting buku
Naskah-nya, dia memasukkan rancangan tersebut dan mengklaimnya sebagai lampiran
pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Hatta menuduh Yamin tidak jujur dan
telah mendistorsi fakta sejarah.
Memperkuat tudingan Hatta, Pringgodigdo juga menuduh Yamin telah memanipulasi (pinter
nyulap) fakta sejarah. Yamin sendiri dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia menegaskan, Pancasila adalah ciptaan Soekarno. Yamin tegas
menyatakan, “Istilah Pancasila pada awalnya ditempa dan digunakan oleh Bung Karno
dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima prinsip ini dinamakan Pancasila oleh Bung
Karno dalam pidatonya yang diajukan pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI di
rumah bersejarah, Gedung Pejambon, Jakarta.”
Sejumlah tokoh yang terlibat aktif di sidang BPUPKI seperti Wediodiningrat, RP Soeroso,
Sartono, KH Masjkur, Maria Ulfah, dan Ir. Rooseno memberi kesaksian bahwa Pancasila
berasal dari pidato Soekarno yang disampaikan di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
42
Tidak berarti bahwa Soekarno tidak pernah berkonsultasi dengan tokoh lain untuk memberi
nama bagi lima prinsip yang dia usulkan sebagai dasar negara. Soekarno mengakui, “Nama
lima prinsip itu bukan Panca Darma (lima kewajiban); namun saya namakan berdasarkan
pendapat teman kita yang ahli linguistik: Pancasila. ‘Sila’ berarti dasar atau prinsip, dan di
atas lima prinsip itu kita harus membangun Indonesia yang merdeka, kuat dan abadi.” Ahli
linguistik yang disebut Soekarno dalam pidatonya itu adalah Muhammad Yamin.
***
Ada buku/dokumen menarik berjudul Uraian Pancasila yang disusun oleh Komisi Lima:
Hatta (ketua), Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo.
Semua tokoh ini berpartisipasi aktif dalam sidang BPUPKI. Dalam buku Uraian Pancasila
ini ditegaskan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila.
Berbeda pendapat dengan pendapat Komisi Lima, beberapa penulis seperti Darji
Darmodiharjo dan Pringgodigdo mempunyai pandangan berbeda. Mereka berpendapat, 1 Juni
1945 bukan merupakan hari lahir Pancasila sebagai dasar negara, tetapi merupakan tanggal
lahir “istilah” Pancasila. Mereka berpendapat, hari lahir Pancasila adalah tanggal 18 Agustus
1945 ketika Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara dalam UUD 1945.
Menarik mencermati “fenomena Pringgodigdo”. Pringgodigdo, sebagai anggota Komisi
Lima, semula berpendapat bahwa hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Kemudian
Pringgodigdo mengubah pikirannya bahwa 1 Juni 1945 adalah tanggal lahir “istilah”
Pancasila, bukan hari lahir Pancasila itu sendiri. Pringgodigdo berdalil, Pancasila telah ada
berabad-abad lamanya dalam kehidupan rakyat Indonesia, karena itu tidak mungkin
ditetapkan tanggal lahirnya. Dia menegaskan, tidak perlu memperingati hari lahir Pancasila
setiap tanggal 1 Juni.
Sikap Pringgodigdo menuai reaksi keras dari teman-temannya di Komisi Lima. Sunario, atas
nama komisi, mengirim surat mempertanyakan ketidakkonsistenan pendapat Pringgodigdo
itu, tapi dia tidak menanggapi surat tersebut.
Pendapat Pringgodigdo dan Darmodiharjo bahwa 1 Juni 1945 hanyalah merupakan tanggal
lahir “istilah” Pancasila sama artinya bahwa Soekarno tidak mempunyai kontribusi apa-apa
kecuali istilah itu sendiri. Ini pendapat sangat naif. Soekarno, dengan gagasan Pancasilanya,
sebenarnya telah memberikan kontribusi sangat besar bagi fondasi unitas dan integritas
bangsa Indonesia. Ini fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
43
Urgensi Radikalisasi Pancasila
Koran SINDO
1 Juni 2015
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila.
Momentum ini diambil ketika Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai dasar
negara pada sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
tanggal 1 Juni 1945.
Saat itu Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar
negara yang dinamakan “Pancasila”: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri
Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Pada kesempatan lain, Soekarno menyebut bahwa sebagai ideologi negara, Pancasila digali
dan diramu dari pelbagai nilai positif yang berkembang di masyarakat. Sementara sedikit
berbeda, Mohammad Hatta menyebut bahwa Pancasila sebagai ideologi negara dibangun di
atas pilar-pilar ideologi besar dunia, seperti Islam, sosialisme, kapitalisme, dan humanisme.
Problem Kebangsaan
Disayangkan, sejak kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, keapikan Pancasila lebih banyak
dipahami serbaformal, tekstual, dan sedikit sekali upaya untuk menghadirkan Pancasila
secara kontekstual dan apalagi membumikannya di tengah-tengah masyarakat. Pancasila an
sich dipahami sebagai ideologi negara. Pancasila hanya menjadi bingkai (frame) dalam
melihat wawasan negara-bangsa dalam segala aspek, termasuk agama, sosial, nasionalisme,
ekonomi, politik, kemanusiaan, dan kebudayaan.
Dari sisi hukum, das sollen, Pancasila juga dipahami dan ditempatkan sebagai segala sumber
hukum dan karenanya produk hukum tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Sementara
das sein, Pancasila di(ter)campakkan begitu saja. Sekadar alat untuk “menakut-nakuti”
masyarakat, sebagaimana terjadi selama kurun waktu hampir 40 tahun (selepas Dekrit
Presiden 1959 sampai lengsernya Orde Baru 1998).
Pancasila dikenal dan hanya diperingati secara seremonial belaka setiap tanggal 1 Juni
sebagai hari lahir Pancasila. Sementara miskin sekali upaya-upaya untuk menghadirkan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Pancasila selalu “dikampanyekan” sebagai ideologi yang tangguh yang
berhasil mengalahkan komunisme sehingga dirasa penting adanya Hari Kesaktian Pancasila
yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pancasila sebagai dasar negara dalam arti bahwa
44
secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam
Pancasila dengan norma-norma kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara.
Jika mau jujur, realitas praksis saat ini, kita akan mendapati bahwa kebanyakan anak bangsa
saat ini yang tidak lagi mempunyai kebanggaan terhadap Pancasila. Bahkan tidak jarang pada
diri sebagian anak bangsa ini ada yang mencibiri Pancasila. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Keabstrakan Pancasila yang menyebabkan itu terjadi.
Sebagai ideologi, Pancasila nyatanya tidak mampu menjadi “jalan” (al-shirat) yang mampu
mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. Orde Baru telah berhasil, tidak
saja membuat bangsa ini a-historis, tapi juga a-ideologis yang berdampak hingga saat ini.
Misalnya secara simbolik, ada beberapa partai yang ada saat ini seakan emoh mengusung
secara tegas Pancasila sebagai ideologi partai.
Sementara secara praksis juga terjadi “persekongkolan” di antara para elite politik yang
bukan didasarkan pada “persekongkolan kebangsaan”, yang berbasis pada ideologi
(Pancasila) dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (maslahati al-ammah),
melainkan “persekongkolan kepentingan” yang bersifat pragmatis dan sesaat untuk
kepentingan segelintir atau sekelompok orang dengan mengabaikan kepentingan yang lebih
besar, yaitu kepentingan nasional (national interest).
Radikalisasi Pancasila
Menilik beragam problem kebangsaan yang terjadi saat ini, mendesak dan menjadi keharusan
untuk melakukan radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam konteks ini tentu dimengerti
sebagai bentuk transformasi dari sikap pasif, apatis atau masa bodoh pada sikap atau
aktivisme yang lebih radikal, revolusioner atau militan dalam memosisikan, memahami, dan
mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila.
Das sollen, sebagai ideologi Pancasila begitu apik, tetapi pada tataran das sein Pancasila tak
mampu diterjemahkan dengan baik, tidak mampu memberikan efek atau dampak positif yang
berarti bagi kemajuan bangsa. Pancasila hanya kumpulan sila-sila yang nyaris tak bermakna
apa pun. Pancasila hanya fasih ketika dipidatokan oleh pejabat-pejabat negara dari pusat
sampai daerah, tetapi gagap pada tataran aplikasi (action). Penerapannya penuh manipulasi,
bergantung pada kepentingan sesaat yang melingkupinya.
Realitasnya saat ini tengah terjadi kegersangan dan pendangkalan moral (akhlak), menipisnya
rasa nasionalisme dan rasa memiliki Indonesia di kalangan anak bangsa. Selain tentu
minimnya pendidikan agama, tidak adanya lagi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di
sekolah-sekolah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kegersangan moral dan
menipisnya rasa nasionalisme.
45
Sebagian besar masyarakat belum secara menyeluruh memahami makna kebinekaan
Indonesia. Kerap terjadinya konflik sektarian menunjukkan belum selesainya pemaknaan atas
kebinekaan bangsa kita. Di sinilah letak pentingnya untuk melakukan radikalisasi Pancasila.
Dalam konteks radikalisasi Pancasila, tentu tidaklah penting memperdebatkan soal posisi
Pancasila, apakah sebagai fondasi atau pilar. Yang lebih penting dari semuanya adalah
bagaimana kita mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila hadir dalam realitas kehidupan di
tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai Pancasila hadir dalam kehidupan bernegara. Pancasila
menjadi “kekuatan moral” bagi elite-elite politik negeri ini dalam membuat kebijakan-
kebijakan politik. Secara das sollen maupun das sein Pancasila harus bisa berjalan beriringan.
Pancasila sebagai ideologi negara harus diletakkan secara benar dalam praktik bernegara.
Setiap kebijakan negara harus sungguh-sungguh mencerminkan dan mendasarkan diri pada
nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila jangan lagi dibawa ke dalam bentuk yang
abstrak sehingga hanya akan ditafsir beragam tanpa bangunan fondasi tafsir yang memadai.
Pancasila mesti bisa menyentuh kehidupan sehari-hari dan sungguh-sungguh “membumi” di
dalam sanubari bangsa ini. Pancasila harus benar-benar dihadirkan pada ranah publik dengan
wajah yang “membebaskan” dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan
sebaliknya, berpihak bagi segelintir elite bangsa ini.
Upaya melakukan radikalisasi Pancasila tidak akan pernah berhasil tanpa adanya keteladanan
dari elite dan pimpinan negara ini, keteladanan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Apa
pun bentuk dasar negara Indonesia, jika tidak diamalkan, tak akan berarti apa pun. Di sinilah
dibutuhkan adanya keteladanan politik. Semoga!
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
46
Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Koran SINDO
3 Juni 2015
Kongres Pancasila VII diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada 30 Mei-1 Juni
2015. Acara serupa diselenggarakan di tempat lain, baik oleh pemerintah atau komunitas
tertentu.
Kita bersyukur, pada hari ulang tahunnya ke-70, Pancasila masih eksis di negeri ini. Mengapa
Pancasila tetap eksis, tak tergantikan isme lain? Karena kebenarannya. Sehubungan dengan
itu, bermodal tekad dan semangat kebangsaan, kita pertahankan Pancasila sebagai kebenaran
yang hidup. Maknanya, selagi masih ada kehidupan, di situ Pancasila dipastikan ada dan
difungsikan sebagai pandangan hidup.
Disayangkan, akhir-akhir ini muncul polemik tentang hari lahir Pancasila. Polemik itu
berpotensi memecah-belah bangsa. Pada saat lain, saya ingin berbagi pandangan untuk
menepis kerancuan pemikiran tidak sehat itu.
Untuk sejurus waktu, tulisan ini berkehendak memahamkan Pancasila pada tataran lebih
mendasar yakni sebagai pandangan hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup sudah ada
sejak awal kehidupan dan bukan lahir 1 Juni 1945 atau pun tanggal-tanggal lain. Eksistensi
dan kebenaran nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dikenali secara sosiologis-
antropologis.
Seraya mendasarkan pada pendapat Prof Dr Brandes, dikatakan oleh Bung Karno (1958),
tatkala Eropa masih hutan belukar belum ada Germanentum dan di sini (Indonesia) ketika itu
masih pra-Hindu justru sudah ada pola cocok tanam padi di sawah-sawah. Kehidupan
manusia Indonesia, digambarkan Bung Karno, berproses melalui empat saf yakni saf pra-
Hindu, saf Hindu, saf Islam, dan saf Imperialis.
Bung Karno berusaha menggali sedalam-dalamnya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Dari penggalian itulah, diperoleh lima hal yang menonjol pada semua saf kehidupan yakni
Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial. Lima
hal tersebut diyakini Bung Karno dapat dijadikan sebagai dasar statis dan leitstar dinamis
yang akan diterima dan di atasnya seluruh rakyat Indonesia bersatu-padu.
Melalui kursus-kursus Pancasila sebanyak enam kali, di-jelentreh-kan, bahwa sejak awal
kehidupan, manusia Indonesia sudah hidup di dalam alam ketuhanan. Di sanalah tempat
permohonannya dan tempat kepercayaannya. Dari sana pula setiap manusia memaksimalkan
budi luhur, budi pekerti, atau keadabannya.
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK
PILKADA SERENTAK

More Related Content

Similar to PILKADA SERENTAK

(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...ekho109
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016ekho109
 
Media Indonesia 21 Maret 2014
Media Indonesia 21 Maret 2014Media Indonesia 21 Maret 2014
Media Indonesia 21 Maret 2014hastapurnama
 
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]Attock Suharto
 
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110natal kristiono
 
Suara Merdeka 24 Februari 2014
Suara Merdeka 24 Februari 2014Suara Merdeka 24 Februari 2014
Suara Merdeka 24 Februari 2014hastapurnama
 
Ali R- Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ali R- Ambang Batas Pencalonan PresidenAli R- Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ali R- Ambang Batas Pencalonan PresidenUniversitas Trisakti
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...terry_herianta_tarigan
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015ekho109
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Ahmad Solihin
 
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusiPenyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusiindra wijaya
 
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan Hukum
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan HukumBeberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan Hukum
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan HukumYogyakarta State University
 
Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013Portal Surya
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxADITHYA ERLANGGA
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016ekho109
 

Similar to PILKADA SERENTAK (20)

(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
 
Media Indonesia 21 Maret 2014
Media Indonesia 21 Maret 2014Media Indonesia 21 Maret 2014
Media Indonesia 21 Maret 2014
 
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]
HAK_ANGKET_DAN_BYPASS_REZIM_JOKOWI[1]
 
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
 
Suara Merdeka 24 Februari 2014
Suara Merdeka 24 Februari 2014Suara Merdeka 24 Februari 2014
Suara Merdeka 24 Februari 2014
 
Ali R- Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ali R- Ambang Batas Pencalonan PresidenAli R- Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ali R- Ambang Batas Pencalonan Presiden
 
Makalah Polemik RUU Pilkada
Makalah Polemik RUU PilkadaMakalah Polemik RUU Pilkada
Makalah Polemik RUU Pilkada
 
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2.  P E M I L I H A ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A ...
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
 
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusiPenyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
 
Paper kwn
Paper kwnPaper kwn
Paper kwn
 
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan Hukum
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan HukumBeberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan Hukum
Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Konstitusi dan Hukum
 
Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
 
Ke Mana RUU PILKADA Berlabuh?
Ke Mana RUU PILKADA Berlabuh?Ke Mana RUU PILKADA Berlabuh?
Ke Mana RUU PILKADA Berlabuh?
 
Tugas p kn..
Tugas p kn..Tugas p kn..
Tugas p kn..
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
 
HARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONALHARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONAL
 

PILKADA SERENTAK

  • 1. 1 DAFTAR ISI PARTAI BERKONFLIK Marwan Mas 4 MENIMBANG KABINET KERJA Komaruddin Hidayat 7 TORPEDO ATAS SUPREMASI HUKUM Moh Mahfud MD 9 IDEOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA Indra J Piliang 12 UTANG SEJARAH Victor Silaen 15 KONSPIRASI MEMPERLEMAH GOLKAR DAN PPP Bambang Soesatyo 18 RETAK PARPOL, DEMOKRASI UNTUK SIAPA? Mardiansyah 21 KERATON (BELUM) HAMIL TUA Anas Urbaningrum 24 TRADISI KEHATI-HATIAN KPK Patra M Zen 28 PUTUSAN HASWANDI DALAM PRAPERADILAN HADI POERNOMO Romli Atmasasmita 32 MENANTI KAPOLRI YANG BLUSUKAN Edi Saputra Hasibuan 34 KISRUH HUKUM PRAPERADILAN Moh Mahfud MD 37 REKONSTRUKSI SEJARAH PANCASILA Faisal Ismail 40 URGENSI RADIKALISASI PANCASILA Ma’mun Murod Al-Barbasy 43 PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP Sudjito 46 BUNG KARNO, PANCASILA, DAN ZAMAN KITA
  • 2. 2 M Alfan Alfian 49 CARA JOKOWI MELIHAT ASEAN Tantowi Yahya 52 ERDOGAN, THE TURK Muhammad Takdir 56 MASA DEPAN KPK Romli Atmasasmita 59 TAFSIR BUNG KARNO Sutia Budi 62 LAMPU KUNING KPK Marwan Mas 65 KEMASKULINAN KPK Anas Urbaningrum 68 JUDGE ARTIJO Moh Mahfud MD 72 DANA KPK UNTUK KOMUNITAS ANTI-KORUPSI Romli Atmasasmita 75 PERADILAN BERSIH DAN BERWIBAWA, KAPANKAH? Sudjito 77 HARAPAN PADA KPK DI ERA NAWACITA W Riawan Tjandra 80 DRAMA PERGANTIAN JABATAN Chappy Hakim 83 PERTAHANAN NAN HILANG ARAH Connie Rahakundini Bakrie 87 PERTARUHAN POLITIK PPP Gun Gun Heryanto 91 GENDERANG PERANG PARTAI GOLKAR Bambang Soesatyo 94 PEMERINTAH (KELIRU) MENOLAK REVISI UU KPK Romli Atmasasmita 97 PREFERENSI AKTOR DALAM POLITIK LUAR NEGERI Tantowi Yahya 100
  • 3. 3 CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN PENGUJIAN UU Janedjri M Gaffar 103 PROFESIONALISME POLRI HARAPAN MASYARAKAT Budi Gunawan 106 MENANTI POLRI PROFESIONAL Edi Saputra Hasibuan 108 MENGAPA HARUS TAKUT PADA KPK? Victor Silaen 111 REVISI UNDANG-UNDANG KPK Marwan Mas 114 HUMAN ERROR DI KABINET KERJA Bambang Soesatyo 117 UNTUK APA RESHUFFLE? Jazuli Juwaini 120 JABATAN KOMISIONER KPK Romli Atmasasmita 123 POLITIK DINASTI KOTOR, TAPI MK BENAR Moh Mahfud MD 126 STATUS GAWAT DARURAT LEMBAGA PERADILAN Frans H Winarta 129 KOKOHKAN DINASTI, CACAT NEGARAWAN MK Laode Ida 131 JALAN TENGAH KONFLIK GOLKAR Gun Gun Heryanto 135 MENGAWASI PILKADA SERENTAK Saldi Isra 138 MELARANG PARSEL LEBARAN Marwan Mas 142 TANTANGAN RHOMA Iding Rosyidin 145 POLITIK NORMALISASI AMERIKA SERIKAT Dinna Wisnu 148 KEKEBALAN TERBATAS BAGI PARA PENGAWAS Adrianus Meliala 151
  • 4. 4 Partai Berkonflik Koran SINDO 22 Mei 2015 Pesta demokrasi di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara serentak dilakukan pada Desember 2015. Tetapi, melihat kesiapan partai politik (parpol), terutama parpol yang sedang berkonflik, akan menghadapi tantangan. Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapat warning dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera menyelesaikan konflik internalnya. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) secara tegas menyatakan tidak mengikutkan parpol dalam pilkada yang memiliki kepengurusan ganda dan sedang beperkara di pengadilan. Parpol yang boleh mendaftar pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) pada 26-28 Juli 2015 adalah yang disahkan susunan pengurusnya oleh menteri hukum dan hak asasi manusia (menkumham). Bagi parpol yang sedang berseteru di pengadilan harus memenuhi salah satu dari dua syarat legalitas. Pertama, parpol yang menang sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) kemudian secara administratif disahkan kepengurusannya oleh menteri hukum dan HAM (menkumham). Kedua, melakukan perdamaian atau islah dan secara bersama membentuk satu kepengurusan. Akta perdamaian dan susunan pengurus disampaikan ke pengadilan untuk menghentikan sengketanya, dan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Batas waktu penyelesaian konflik sebelum waktu pendaftaran pasangan calon. Revisi Undang-Undang Tetapi, ada gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar surat dukungan kepada bakal pasangan calon kepala daerah ditandatangani oleh dua kubu sekaligus. Bagi Partai Golkar ditandatangani oleh Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono. Begitu juga dengan PPP, surat pengusulan pasangan calon ditandatangani Djan Faridz dan Romahurmuziy. Namun, usulan itu dianggap oleh elite Partai Golkar kubu ARB tidak memungkinkan direalisasi lantaran tidak diatur dalam UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) dan Peraturan KPU.
  • 5. 5 Sebetulnya usulan itu cukup realistis di tengah berburu waktu tahapan pilkada agar parpol yang sedang berproses di pengadilan bisa ikut pilkada. Tetapi, karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta (18/5/2015) mengabulkan sebagian gugatan ARB, usulan agar dua kubu bertanda tangan tidak lagi relevan. SK menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono dinyatakan dicabut karena bertentangan dengan undang-undang. Hakim PTUN juga menyatakan, untuk menghindari kevakuman hukum, DPP Golkar yang sah dan menjalankan kinerja DPP Golkar adalah hasil Munas Riau 2009. Rupanya hakim melakukan penafsiran ekstensif meskipun dianggap sebagai ultra-petita karena tidak diminta pemohon, tetapi hal itu bisa disebut terobosan hakim untuk mengisi kekosongan hukum. Hak Partai Golkar mengikuti pemilihan kepala daerah tetap dihargai dengan mengembalikan kepengurusan pada hasil Munas Riau lantaran kepengurusan ARB dan Agung Laksono belum ada yang sah secara hukum. Gagasan lain yang berembus kencang di Senayan adalah revisi UU Pilkada dan UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik agar dua parpol bisa mengikuti pilkada. Hasil revisi nanti menjadi payung hukum bagi KPU untuk mengubah PKPU mengenai syarat pendaftaran pasangan calon bagi parpol yang bersengketa. Nomenklatur yang digagas, apabila sampai pada batas waktu pencalonan belum ada satu kepengurusan yang dinyatakan menang dengan putusan pengadilan inkracht, putusan terakhir pengadilan yang dijadikan dasar pengajuan pasangan calon meskipun ada yang melakukan upaya hukum. Tetapi, gagasan itu bukan hanya mendapat penolakan sebagian besar fraksi di DPR, malah Presiden Jokowi juga tidak setuju dilakukan revisi. Apalagi pelaksanaan pilkada serentak yang didesain begitu baik bisa terbengkalai. Jangan sampai polemik revisi berujung pada penundaan pilkada serentak gelombang pertama. Mendagri juga memastikan 269 daerah provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menggelar pilkada serentak. Maka itu, jalan terhormat bagi parpol yang bersengketa adalah melakukan musyawarah dan perdamaian. Mendahulukan kepentingan yang lebih besar jauh lebih berharga, apalagi kepengurusan parpol di daerah tidak ada masalah. Mereka terseret konflik akibat perebutan kekuasaan elite pusat. Meskipun kubu Agung Laksono punya hak melakukan banding ke PT- TUN, akan lebih berharga jika kubu Agung Laksono menerima tawaran kubu ARB untuk bersatu kembali. Memang butuh ”sikap bijak dan negarawan” dengan memikirkan nasib kader yang ada di daerah. Jangan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi pada sisi lain mematikan karier politik kader di daerah yang hendak mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Berebut Layangan Putus Sekiranya KPU konsisten dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sampai 26 Juli 2015, atau tidak ada islah dengan membentuk satu kepengurusan baru, berarti Partai Golkar dan PPP tidak ikut pilkada. Padahal, rakyat berharap pilkada serentak
  • 6. 6 gelombang pertama membawa paradigma baru dalam memilih pemimpin daerah. Sebab lazimnya pesta demokrasi yang tergolong akbar, ujian yang paling krusial terletak pada penyelenggaraan gelombang pertama. Apabila gelombang pertama berjalan lancar, sukses, dan demokratis, akan menjadi preseden pada penyelenggaraan berikutnya. Melihat kondisi Partai Golkar dan PPP yang tidak ada tanda-tanda untuk islah meskipun putusan PTUN sudah mengabulkan gugatannya, perlu menyimak ungkapan Karyudi Sutajah Putra (Suara Merdeka, (24/4/2015) dengan mengibaratkan ”berebut layang-layang putus”. Ada kebiasaan anak-anak saat berebut layang-layang putus. Apabila ada salah seorang yang berhasil mendapatkan layang-layang itu, yang lain akan merobeknya agar tidak ada yang memanfaatkan layang-layang itu. Hanya karena kepentingan kekuasaan sekelompok elite di pusat, kepentingan yang lebih besar di daerah hancur berantakan. Pepatah klasik yang juga sering dijadikan instrumen pengingat bagi kelompok-kelompok yang senang berseteru adalah ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Meskipun salah satu pihak menang di pengadilan, belum tentu persoalan mendasar akan selesai. Boleh jadi kader yang merasa kalah akan menggembosi pihak yang menang dalam pilkada. Tanpa bermaksud mendramatisir persoalan, tentu kita meyakini akan ada solusi terhormat dari Partai Golkar dan PPP. Bagaimana pun rakyat yang akan dirugikan kalau keduanya tidak ikut pilkada sebab boleh jadi calon yang diajukan itu justru yang terbaik bagi rakyat. Semua potensi konflik menjelang pilkada serentak harus dituntaskan sebab boleh jadi putusan inkracht tidak keluar sebelum pendaftaran calon. Apalagi ada realitas perpolitikan di negeri ini, jika salah satu pihak kalah dalam pertarungan, baik dalam pemilihan maupun pada proses hukum, lebih banyak yang tidak legawa menerima kekalahan. Maka itu, KPU harus tetap konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan seperti yang diperlihatkan selama ini. Apakah putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau yang berhak mengikuti pilkada? Tentu sangat bergantung pada penafsiran KPU memaknai putusan itu, apakah berseberangan dengan Peraturan KPU atau tidak. Rakyat hanya berharap agar semua energi yang ada seyogianya dipakai untuk menyukseskan pilkada serentak. Termasuk menemukan solusi persoalan anggaran pilkada yang tidak semua daerah punya kemampuan sama. MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
  • 7. 7 Menimbang Kabinet Kerja Koran SINDO 22 Mei 2015 Namanya saja Kabinet Kerja. Jadi yang mesti ditonjolkan adalah hasil kerjanya untuk menyejahterakan rakyat. Tapi beberapa pengamat menilai daya beli masyarakat kian turun dan sektor ekonomi di berbagai bidang juga tidak membaik. Mengapa? Ada yang mengatakan karena koordinasi tidak berjalan bagus. Bisa jadi karena hambatan struktur yang tidak pas, orang-orangnya yang kurang kapabel, atau pengaruh luar yang menghambat. Luar itu bisa saja pengaruh luar negeri atau kekuatan partai politik (parpol) yang tidak menempatkan kader terbaiknya duduk di kabinet. Atau memang kalangan parpol mengalami defisit kader teknokrat yang bisa diandalkan duduk dalam jajaran kabinet. Apa pun kritik yang dimunculkan, umur kabinet yang belum berjalan setahun memang masih bisa dimaklumi dan rakyat masih sabar menanti untuk menunggu realisasi agenda dan jargon Kabinet Kerja. Meski begitu pemahaman dan kesabaran masyarakat terbatas. Rakyat segera ingin merasakan buah manis dari hasil pemilu yang lalu. Ongkos material dan sosial sudah banyak terkuras untuk menghasilkan kabinet ini. Kebutuhan sehari-hari yang dirasakan kian mahal akan mengubur kenangan dan harapan indah saat-saat pemilu lalu terhadap jagonya. Para menteri yang memikul beban parpol akan menjatuhkan kredibilitas parpol yang mengusungnya jika kinerjanya tidak bagus dan tidak produktif. Dengan dalih memenangi pemilu dengan formula 50+1, maka the winner takes all. Tapi orang mempertanyakan, dengan demokrasi dan pemilu itu, yang mau diposisikan sebagai pemenang apakah rakyat atau sebatas koalisi parpol pendukung? Jika rakyat dan kepentingan umum yang diutamakan, kabinet bukanlah pembagian jatah bagi para kader dan wakil parpol, melainkan kompetensi yang mesti ditonjolkan. Sekiranya parpol tidak punya kader yang memenuhi syarat, ambil saja putra bangsa yang baik dan tepat dari mana pun asalnya mengingat misi dan tugas mulia parpol ikut pemilu adalah untuk menyejahterakan rakyat. Kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan parpol. Mungkin saja itu yang dimaksudkan dengan kabinet gotong-royong, yaitu kabinet produk demokrasi tetapi tetap memberikan ruang bagi putra bangsa terbaik untuk ikut mengatur negara meskipun bukan dari lingkaran parpol pemenang pemilu selama yang dimajukan semata demi kemajuan dan kebaikan negara dan rakyat.
  • 8. 8 Substansi dan fungsi demokrasi adalah untuk menjaring putra bangsa terbaik demi kesejahteraan rakyat yang dijaring lewat parpol. Jangan dibalik, kepentingan dan selera parpol mengalahkan kepentingan rakyat dengan merusak substansi demokrasi hanya dengan menyandarkan suara terbanyak yang itu pun bisa dibeli dengan uang. Demikianlah, kualitas demokrasi bisa rusak ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat rendah. Ini juga terlihat pada hasil pilkada yang mayoritas mengecewakan. Kini salah satu tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah mengembalikan kepercayaan kita pada sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan kita bagi masyarakat yang sangat majemuk ini. Kembali pada Kabinet Kerja yang hasil kerjanya masih mengecewakan. Sebagai presiden yang mengemban tanggung jawab tertinggi, Joko Widodo saya kira juga kecewa dengan beberapa menteri yang disodorkan parpol pendukungnya. Dia sejak awal mungkin sekali tidak setuju, tetapi tidak berdaya menolaknya. Dan ternyata kinerjanya tidak memuaskan rakyat. Kini saatnya untuk berbicara dengan parpol asalnya, apakah akan terus dipertahankan meski rakyat kecewa atau siap-siap mencari penggantinya. Kalaupun diganti mungkin tidak sekarang mengingat umur kabinet belum setahun. Meski begitu baik Presiden maupun parpol koalisinya mesti bersiap-siap ketika pergantian beberapa sosok menteri harus dilakukan. Janganlah kepentingan rakyat, negara, dan citra demokrasi dikorbankan hanya karena alasan bagi-bagi jatah jabatan politik. Sekali lagi, parpol dan pemilu itu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas dan alasan keberadaannya, bukan sebaliknya. Di sini Presiden Jokowi diuji sikap dan komitmennya sebagai kepala negara yang majikannya adalah rakyat. Parpol hanyalah mengantarkan dirinya sebagai presiden dengan mandat melayani dan menyejahterakan rakyat, bukan parpol. Saya bukan anti-parpol, tetapi tidak setuju jika demokrasi dan pemilu itu ujungnya hanya bagi-bagi jabatan dengan mengorbankan kompetensi dan keberpihakan total pada kepentingan rakyat banyak. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 9. 9 Torpedo atas Supremasi Hukum Koran SINDO 23 Mei 2015 Melihat situasi Indonesia sekarang ini: Sebenarnya lebih kuat mana antara politik dan hukum? Supremasi hukum ataukah supremasi politik yang berlaku di Indonesia ini? Itulah pertanyaan yang sering diajukan kepada saya baik saat memberi kuliah di kampus-kampus maupun melalui forum-forum lain, termasuk media sosial. Jawaban teoretisnya, sih, mudah. Menjawab yang mana pun pasti ada teorinya. Menurut konstitusi Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya hukum selalu ditorpedo oleh kekuasaan politik. Banyak ketentuan hukum yang ditabrak oleh kekuasaan politik dan hukum menjadi tak berdaya. Secara teoretis, memang tidak sulit memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Masalahnya apakah akan dilihat secara das Sollen (keharusan ideal) ataukah secara das Sein (kenyataan yang ada di depan mata). Kalau secara das Sollen, karena Indonesia adalah negara hukum maka tak bisa ditawar, hukumlah yang harus supreme. Supremasi hukum menggariskan hidup bernegara yang semuanya harus berdasar hukum, tunduk pada hukum, dan kalau ada konflik harus dikembalikan pada hukum. Tetapi secara das Sein, prinsip supremasi hukum tidak selalu bisa muncul. Hukum kerap dikalahkan oleh politik sehingga yang muncul dalam kenyataan adalah supremasi politik. Munculnya supremasi politik di atas supremasi hukum sebagai das Sein itu pun ada penjelasan teoretisnya, yakni kenyataan bahwa hukum adalah produk politik. Hukum dalam artinya sebagai peraturan resmi, terutama sebagai peraturan perundang-undangan, merupakan produk politik sebab hukum hanya bisa dibuat melalui keputusan politik. Tidak ada satu pun hukum dalam arti sebagai peraturan resmi yang bisa berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh keputusan politik. Semua aturan hukum berlaku karena keputusan pemegang kekuasaan politik yang memberlakukannya. Pemberlakuan hukum oleh otoritas politik itu terjadi dengan resultante atau kesepakatan baik karena musyawarah yang fair, tukar-menukar kepentingan antaraktor politik maupun karena dominasi satu kelompok politik pemenang. Secara teoretis pula, karena hubungan antara politik dan hukum yang seperti itu, maka dalam penyelenggaraan negara akan selalu terjadi tolak-tarik antara politik dan hukum dan dalam tolak-tarik itu politik cenderung selalu menang. Mengapa? Karena energi politik selalu lebih besar daripada energi hukum. Bagaimana pun, pembuatan dan pemberlakuan hukum sangat bergantung pada kekuasaan politik. Itulah das Sein-nya, demikianlah faktanya.
  • 10. 10 Kalau politik sudah sampai pada tahap kalap maka hukum bisa ditabrak. Caranya bisa bermacam-macam. Ada yang bermain kasar dengan menggunakan kekuasaan secara sepihak, membuat tafsir hukum sendiri yang kemudian dipaksakan atas nama kekuasaan. Bisa juga pemaksaan politik itu dilakukan secara lebih halus yakni mengubah aturan hukum agar sesuai dengan kehendak kekuasaan politik. Jika suatu aturan hukum yang berlaku menghambat kepentingan politik yang berkuasa, aturan hukum itu diubah dengan kekuasaan politik agar bisa memuaskan syahwat politik para pemegang kekuasaan itu. Pada masa lalu, bahkan banyak hukum atau peraturan perundang-undangan yang sengaja dibuat untuk membenarkan satu keinginan penguasa yang sebenarnya tidak layak agar menjadi layak dan tidak salah menurut ”formalitas” hukum. Jadi kalau secara teoretis saja tidaklah sulit untuk menemukan teori dan menjelaskan fenomena tolak-tarik antara hukum dan politik itu. Kalau ditanya, lebih supreme atau lebih kuat yang mana antara kedua subsistem kemasyarakatan, politik dan hukum, tersebut maka jawabannya bisa bergantung pada teori mana yang akan dipakai, das Sollen ataukah das Sein. Namun, masalah lemahnya hukum di hadapan politik tidak bisa hanya dijelaskan teori-teori yang relatif itu. Negara kita ini menganut prinsip supremasi hukum bukan hanya teori, melainkan juga sebagai kesadaran etik dan moral. Itulah sebabnya ada pedoman etik dan moral dalam kehidupan bernegara kita, yakni meskipun dalam faktanya hukum merupakan produk resultante atau kesepakatan politik, tetapi jika hukum sudah ditetapkan, maka semua harus tunduk pada hukum. Yang membuat hukum pun harus tunduk pada hukum yang dibuatnya. Di sinilah kita harus meletakkan pemahaman supremasi hukum dalam hidup bernegara yang berdasar konstitusi. Pada titik ini, saat hukum sudah diberlakukan secara sah maka kedigdayaan politik harus tunduk pada supremasi hukum. Pertanyaan berikutnya: bagaimana jika terjadi konflik kepentingan yang kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran atas aturan hukum? Kalau itu yang terjadi maka serahkanlah ke pengadilan agar diputus oleh hakim yang diberi otoritas memutus oleh negara. Di dalam prinsip supremasi hukum siapa pun, termasuk pemerintah dan partai politik, harus tunduk pada putusan pengadilan. Di mana pun di dunia ini berlaku kaidah hukmul haakim yarfaul khilaaaf: putusan hakim mengakhiri konflik dan harus diikuti. Kalau kaidah ini tidak diikuti, negara bisa kacau balau. Bagaimana jika dilakukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan? Tentu saja boleh. Supremasi hukum menyediakan jalan mulai dari banding, kasasi, sampai peninjauan kembali (PK). Tetapi ada dasar etik, moral, dan rasionalitas publik (public common sense) dalam upaya hukum itu. Ia tak boleh dilakukan atas dasar mau menang sendiri, akal-akalan, mengulur-ulur waktu, dan sebagainya.
  • 11. 11 Apalagi kalau disertai upaya mempengaruhi hakim, baik dengan kekuatan politik maupun kekuatan uang. Kalau itu yang dilakukan maka tak ada arti lain kecuali torpedo atas supremasi hukum. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 12. 12 Ideologi Birokrasi di Indonesia Koran SINDO 25 Mei 2015 Pemikiran politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi, bagaimana pun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca kolonial, termasuk sebagai kekuatan politik utama. Walau dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi kenyataannya masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik. Dalam era demokrasi, birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya memberikan hak memilih, bukan dipilih. Penting diingat bahwa Belanda menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial berupa pengerahan tentara, melainkan melalui birokrasi. Birokrasi Belanda bekerja dalam masa perang dan damai. Dibandingkan dengan keluasan wilayah Indonesia, jumlah tentara pendudukan sama sekali tidak sebanding. Tentara hadir ketika perang, itu pun dibatasi di daerah-daerah tertentu secara bergiliran. Birokrasi Belanda sama sekali tak mau berperang di seluruh area di Indonesia. Sebagai kekuatan penting dalam menguasai Indonesia, baik penduduk maupun wilayahnya, birokrasi menggunakan administrasi pemerintahan. Administrasi adalah ruh birokrasi. Penguasaan penduduk dan wilayah itu dilakukan melalui perjanjian, baik perjanjian dagang maupun perjanjian lain. Maka bisa dikatakan, Belanda menguasai Indonesia dengan lembaran-lembaran kertas, bukan dengan peluru dan mesiu. Dalam proses yang panjang, perjalanan birokrasi di Indonesia mengalami fase-fase yang bergejolak. Baik akibat perubahan politik dan pemerintahan, maupun sentuhan perkembangan lain, terutama teknologi informasi. Birokrasi mengalami perubahan, terutama akibat pergantian elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Birokrasi mengalami tekanan apabila digunakan sebagai kekuatan politik. Padahal, hakikatnya, birokrasi bekerja secara tenang tanpa ada tekanan politik. Tugas publik birokrasi jauh lebih penting, ketimbang tugas politik yang lebih bersifat jangka pendek. Bergerak ke Mana? Dari sisi ideologi, belum begitu jelas, birokrasi Indonesia bergerak ke mana. Di negara- negara lain yang ideologinya komunis, misalnya, birokrasi adalah perpanjangan tangan dari partai politik. Di negara-negara sosialis, birokrasi menjalankan fungsi pemberdayaan publik, lewat aksi-aksi sosial. Birokrasi adalah negara dan negara adalah birokrasi itu sendiri, dengan
  • 13. 13 keterlibatan secara bersamaan dengan partai politik dan militer. Birokrasi begitu melekat dengan partai politik yang menguasai negara. Birokrasi di negara-negara komunis—juga sosialis—adalah birokrasi yang bersifat tertutup. Keputusan yang diambil hampir tidak diketahui dari mana sumbernya. Begitu pun rekrutmennya tertutup, sama sekali tak dibuka kepada kalangan lain di luar birokrasi sendiri. Bahkan, publik sulit mengetahui siapa saja yang menjadi pejabat di dalam struktur pemerintahan. Yang diketahui hanyalah keputusan-keputusan yang diambil. Dalam perkembangan sekarang, birokrasi di Indonesia terlihat tanpa memiliki ideologi yang jelas. Birokrasi bisa saja dimasuki oleh kalangan lain atas nama rekrutmen terbuka. Proses ”buka-buka”-an dalam tubuh birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia mulai terlihat liberal, dibandingkan dengan era sebelumnya. Argumen yang digunakan adalah kemampuan para profesional di tempat lain, lebih baik daripada birokrat. Padahal, swasta yang dijadikan sebagai sektor profesional itu punya target yang berbeda dengan pemerintahan. Kalangan profesional (swasta) lebih ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah sampai seberapa jauh birokrasi ini direformasi? Sampai titik mana reformasi itu dilakukan? Apakah reformasi birokrasi itu berarti membuka diri bagi masuknya kalangan non-birokrat ke dalam tubuh birokrasi, sekalipun tidak dididik sebagai birokrat dalam sistem nilai yang baku? Birokrasi sebagai pelayan publik tentu berbeda dengan pekerja profesional yang bekerja guna meraih keuntungan semaksimal mungkin. Juga, bagaimana dengan kewajiban birokrat-birokrat yang sudah pensiun dan menerima dana pensiun? Apakah mereka juga masih memiliki sejumlah tanggung jawab terhadap pemerintah? Dalam bentuk apa? Belum lagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, tentunya bisa digunakan sebaik-baiknya guna kepentingan yang lebih luas. Kajian Birokrasi Sejumlah pertanyaan itu tentu penting untuk dikaji, mengingat reformasi birokrasi adalah tema sentral yang penting, termasuk dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi menjadi satu-satunya unsur yang dibuat kementeriannya, dalam rangka reformasi. Tidak ada unsur lain yang dibuatkan kementeriannya, katakanlah polisi, militer, maupun penyelenggara negara lainnya. Reformasi birokrasi idealnya hanyalah program yang bisa bersifat jangka pendek, jangka menengah, ataupun jangka panjang, namun bukanlah proses yang berlangsung selamanya tanpa batas akhir. Kalaupun ada perbaikan, sehingga berlangsung terus-menerus, tentu juga memerlukan batas waktu, paling tidak dari sisi batas ideologi.
  • 14. 14 Di sinilah muncul masalah, apakah birokrasi Indonesia menganut sistem yang tertutup, ataukah terbuka, atau setengah tertutup dan setengah terbuka? Salah satu contoh, kalangan non-birokrat bisa masuk memimpin satu lembaga birokrasi, dengan cara rekrutmen secara terbuka. Apakah sudah dipikirkan dampak-dampak jangka pendek, menengah, dan panjangnya? Padahal, sebagaimana kita ketahui, kehadiran politisi (partai-partai politik) dalam tubuh birokrasi, juga berlangsung selama lima tahun. Mereka pun menempati posisi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan ataupun anggota parlemen. Politisi hanya memberikan warna ”ideologis” secara terbatas, baik dari sisi waktu atau pengaruh, bahkan hanya semata sebagai warna ”program”, atau bahkan bisa saja hanya warna ”kebijakan”. Politisi tidak bisa memberikan warna keseluruhan, mengingat birokrasilah yang berada di dalam tubuh penyelenggara negara dan pemerintahan secara berketerusan. Apalagi, jumlah jabatan politik terbatas dibandingkan dengan jumlah birokrasi itu sendiri. Birokrasi selayaknya dilepaskan dari kepentingan partai-partai politik. Namun, birokrasi tidak bisa mengabaikan sama sekali kehadiran partai-partai politik di alam demokrasi, sehingga birokrasi perlu mempelajari partai-partai politik, baik dari sisi platform, program, hingga kebijakan, sebagaimana juga politisi mempelajari seluruh nomenklatur sebagai penyelenggara negara apabila memenangkan kontestasi. INDRA J PILIANG Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
  • 15. 15 Utang Sejarah Koran SINDO 26 Mei 2015 Sampai kapankah mahasiswa Universitas Trisaksi akan terus melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Tragedi 12 Mei 1998 yang telah mengorbankan beberapa senior mereka pada masa silam yang kelam itu? Mungkin tak akan pernah berhenti selama negara ini tidak menuntaskan prosesnya demi pengungkapan kebenaran dan pencapaian keadilan. Itulah utang sejarah, yang membuat perjalanan Indonesia ke depan niscaya terantuk-antuk karena dipaksa menghela beban berat crime against humanity (kejahatan kemanusiaan) itu. Terkait itu Ketua MPR Zulkifli Hasan mendesak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuntaskan utang negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu harus menjadi prioritas pemerintah dalam 4,5 tahun ke depan. ”Saya sepakat, 17 tahun (kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti) itu waktu yang sangat lama. Ini utang pemerintah yang harus dituntaskan agar tidak lagi jadi beban generasi mendatang,” kata Zulkifli (18/5). Ia mengatakan, selama ini MPR ikut memfasilitasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. MPR sudah beberapa kali bertemu Jaksa Agung, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk membicarakan jalan keluar masalah itu. Seusai menggelar rapat konsultasi lembaga tinggi negara di Istana Negara, 18 Mei itu, Zulkifli mengatakan, solusi kasus pelanggaran HAM itu bisa melalui keputusan presiden. ”Caranya, tidak usah merevisi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dulu. Itu terlalu lama. Presiden keluarkan saja segera keppres untuk membentuk KKR dan memprosesnya,” katanya lagi. Mengacu data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang masih menjadi utang sejarah. Berkas itu terkait kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982- 1985; Talang Sari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I, dan Semanggi II; serta Peristiwa Wasior dan Wamena (2003). Terkait itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan, melalui komisi gabungan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, ada dua langkah penyelesaian yang bisa dilakukan yakni yudisial dan non-yudisial. Untuk beberapa kasus lama, Prasetyo mengisyaratkan akan mengambil langkah non-yudisial karena penemuan bukti, saksi, dan pelaku yang dinilai sulit dilakukan. Sementara Komisioner Komnas HAM Siti Nur Laila menegaskan, dengan RUU KKR atau keppres pembentukan komisi khusus penuntasan kasus pelanggaran berat HAM, harus ada
  • 16. 16 pengakuan kesalahan negara dan permintaan maaf negara dalam kasus kejahatan HAM masa silam di Indonesia. ”Entah ini diselesaikan per kasus atau sekaligus sebagai kejahatan rezim Orde Baru. Di sisi lain, hak para korban yang tidak puas bisa menuntut pidana dan perdata atas kejahatan HAM yang dialaminya,” kata Nur Laila. Akan halnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak pemerintah untuk mewujudkan janji politik dan agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu. Pembentukan komite ini dinilai sebagai langkah paling realistis daripada pengajuan RUU KKR ke DPR. ”Justru kita khawatir jika penyelesaian kasus HAM masa lalu dilakukan dengan mengajukan RUU KKR lebih dahulu. Itu akan menjadi alat negosiasi. Lalu kita akan mengulang perdebatan mengenai apa itu pengungkapan kebenaran, apa itu rekonsiliasi di dalam pengertian umum RUU KKR,” kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar (18/5). *** Peluang menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkait dengan pelanggaran berat HAM oleh negara (gross violation of human rights), sebenarnya mendapatkan momentum emas selekas rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998. Berbagai kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang dari pembunuhan massal (genosida), pembunuhan misterius, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, perusakan, perampasan harta benda, dan lainnya. Tindakan represif atas publik yang dilakukan rezim militeristik itu bertumpuk memenuhi catatan sejarah perjalanan Indonesia. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan negara atas rakyatnya. Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa para pelakunya, dan ihwal di seputar tragedi- tragedi kemanusiaan itu. Selain itu, korban (termasuk keluarga korban) juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiannya perihal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban. Korban juga berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victims rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak atas jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victims rights at guaranteeing non recurrence violation). Namun, semua itu hanya dapat dipenuhi jika penguasa serius berupaya menyelesaikan beban-beban masa silam yang kelam itu. Sebaliknya, akan jauh lebih memuramkan dan menistakan martabat korban dan kemanusiaan jika tragedi-tragedi itu dibiarkan berlalu begitu saja tanpa diketahui siapa dalang (aktor intelektual) dan pelaku dari tragedi-tragedi kemanusiaan yang getir itu. Pemerintah dan wakil rakyat akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the crime of silent) jika akhirnya mereka ”terlibat persekongkolan” untuk melindungi para pelaku.
  • 17. 17 Pertanyaannya, bagaimana cara mereka bersekongkol dan mengapa kita menilainya demikian? Saat pemerintah dan wakil rakyat sepakat menyatakan bahwa kasus-kasus itu bukan pelanggaran HAM berat. Bukankah karena itu maka upaya membentuk lembaga negara khusus untuk menyelesaikannya selalu gagal dari era ke era? Indonesia, era Orde Baru, tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM peringkat tinggi. Pada 1998, Indonesia bahkan pernah ditempatkan oleh Amerika Serikat pada peringkat pertama sebagai negara yang pemerintahnya, dengan melalui agen-agennya, melakukan penganiayaan terhadap umat beragama serta membiarkan atau tidak menyelesaikan secara serius peristiwa-peristiwa berdimensi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang merugikan umat beragama tersebut. Kita malu dan tak mungkin membantahnya. Karena itulah, kita harus lebih serius mereformasi diri di bidang ini. Demi keadilan dan terungkapnya kebenaran, agar dengan itu kita bisa berdamai dengan masa silam. Namun, kita prihatin, karena UU No. 27 Tahun 2004 yang melandasi pembentukan KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir 2006 karena dinilai bertentangan dengan UUD 45. Sejak itulah isu rekonsiliasi antara negara dan para korban pelanggaran berat HAM masa silam itu nyaris terlupakan oleh pemerintah dan wakil rakyat di sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita tak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tak pernah melunasi utang sejarahnya karena tak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Kita tak ingin para korban dan keluarga para korban tragedi-tragedi kemanusiaan masa silam itu hidup merana terus sekarang dan ke depan. Kita ingin Indonesia di era baru ini melangkah pasti ke masa depan dengan segera menyusun kebijakan-kebijakan khusus untuk menjawab tuntutan masa silam itu dengan melibatkan para korban, lembaga-lembaga pemerhati HAM, dan pemerintah serta wakil rakyat untuk: 1) membuat UU baru yang melandasi berdirinya KKR; 2) sementara UU tersebut belum ada, Presiden segera menerbitkan keppres sebagai landasan untuk membentuk KKR; 3) memilih sejumlah komisioner KKR yang kredibel dan berintegritas, serta menyediakan alat-alat kelengkapan KKR sebagai sebuah lembaga kuasi negara (non-negara, tapi difasilitasi oleh negara); 4) menyusun rencana-rencana kerja KKR hingga tahun 2019, yang kelak dapat dilanjutkan jika agenda-agenda kerjanya belum selesai. VICTOR SILAEN Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
  • 18. 18 Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP Koran SINDO 27 Mei 2015 Kepastian langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional. Namun, konsekuensinya menjadi sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik dalam negeri gaduh. Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu Munas Ancol, sejatinya tidak merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang berlatar belakang sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pasalnya, konflik kepengurusan Partai Golkar merupakan kepentingan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa justru Menteri Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu? ”Menteri Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5). Pengajuan banding menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah nasional (Munas) Ancol pimpinan AL dkk. sebagai pihak yang kalah atau dirugikan. Namun, jika kemudian rencana pengajuan banding itu justru diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas nama kepentingan Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi bahwa sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan wewenang Menteri Laoly. Lalu, di mana posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas. Memang, dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri Yasonna menghentikan banding atas putusan PTUN itu. Pertanyaan berikutnya tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu tidak sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk. tetap memimpin Partai Golkar. Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi, salah satu target Menteri Yasonna tercapai, yakni berlarut-larutnya konflik internal Partai Golkar.
  • 19. 19 Upaya lain untuk memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional, juga terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya bersama pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU) Pilkada. Banding Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU Pilkada, jelas terlihat sebagai upaya agar konflik PPP dan Golkar terus berkepanjangan. Salah satu tujuan jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam melakukan persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid, takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai pilkada tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun ini. Perlawanan PPP dan Golkar tentu tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri Laoly bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan menjadi luka sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar dan kader PPP. Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut memperuncing pertikaian internal parpol, sudah barang tentu DPR akan mengambil sikap. Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi konsekuensinya. Kegaduhan itu bisa saja dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR akan berupaya meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan intervensi pemerintah terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR. Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik tahu bahwa Presiden telah meminta Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap banding. Maka selama tidak ada tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly melakukan banding, Golkar dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly. Golkar dan PPP sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak dapat mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di berbagai daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput jika mereka menduduki kantor KPU daerah. Hari-hari ini, Golkar terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta pengurus daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif terhadap gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate, setelah PTUN membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu Munas Ancol. Kader Partai Golkar tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak sekadar bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai Golkar adalah keberanian dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling legitimate memimpin kepengurusan Partai Golkar?
  • 20. 20 Persoalan internal Partai Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri, Presiden Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kepengurusan Partai Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di Ancol, Jakarta, yang diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan karenanya tidak legitimate. Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta, dokumen, dan surat mandat palsu. Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua umum parpol anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas Ancol itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi, sehingga ada alat bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat yang dipalsukan. Bahkan, tidak lama lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang mengotaki sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu itu. Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol, berarti pemerintah mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk. Lantas, bagaimana harus menjelaskan kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh kesadaran menoleransi aksi kejahatan politik seperti itu? Bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah kalau Munas abal-abal sebuah partai politik kemudian mendapat legitimasi dari pemerintah? Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti pemerintah tidak mau mengakui kesalahannya. Dengan mempertahankan posisi seperti, pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah terjebak akibat kepentingan sempit, yakni ingin menghancurkan Golkar dan PPP. Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan. BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
  • 21. 21 Retak Parpol, Demokrasi untuk Siapa? Koran SINDO 27 Mei 2015 Kisruh politik kerap melanda partai politik. Yang kita mafhum biasanya datang dari internal partai itu sendiri, namun kini yang terpampang di hadapan kita justru tekanan politik dominan dari luar partai yang kental akan kuasa pemerintah (abuse of power) mewarnai kisruh Partai Golkar dan PPP. Sejarah berulang, nafsu kuasa Orde Baru yang merasuki PDI waktu itu berakhir dengan tragedi berdarah ”kudatuli” dan chaos partai politik. Situasi serupa menjelma pada konflik Golkar dan PPP saat ini di mana politik kekuasaan menjadi panglima atas nama demokrasi. Seyogianya, belum lama setelah pileg dan pilpres tahun lalu, rakyat rindu akan kehidupan lebih baik melalui ”suara” yang telah dimandatkan kepada partai politik. Rakyat tidak pernah membayangkan apalagi menginginkan wajah partai politik terbelah, konflik, pecah, gaduh berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Tidak berlebihan kalau satu-satunya harapan publik dari pemilu yang digelar tahun lalu adalah langkah maju bangsa ini mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan lainnya melalui parameter sederhana: rakyat menjadi lebih sejahtera. Jangan sampai pemilu lima tahunan yang kita rasakan makin berkualitas ini hanya tercatat sebagai laluan sejarah dan ritual politik semata namun kering akan nilai dan esensi demokrasi yang harusnya bermakna ”demos” dan ”cratos”. Parpol Pilar Demokrasi Pilihan menjadi partai modern hampir menjadi role model semua partai politik peserta Pemilu 2014 dengan terjemahan platform dan keunikan perjuangan masing-masing. Di samping kebutuhan zaman, partai politik modern merupakan pilihan sejarah sebagai bentuk adaptasi dengan demokrasi kita yang terus berkembang. Senada pula dengan Partai Perindo yang menasbihkan dirinya sebagai partai modern sejak dideklarasikan 7 Februari lalu, tengah berupaya membangun partai dengan basis massa dan kader. Partai modern yang menjiwai Partai Perindo bukanlah tanpa alasan, sedikitnya ada dua latar belakang: (1) demokrasi membutuhkan harmoni antara agregasi suara rakyat dan perjuangan politik yang substantif sehingga mampu melahirkan partai politik berkualitas; (2) sejarah kelahiran bangsa Indonesia dimotori oleh para pemikir dan tokoh bangsa yang progresif dan visioner, namun tetap realistik mencapai tujuan.
  • 22. 22 Oleh karena itu, kombinasi kuantitas dan kualitas dalam kemasan modernitas merupakan otentifikasi sekaligus refleksi terbaik dari perjuangan partai politik. Kondisi parpol kekinian (baca: dua parpol yang pecah/konflik) adalah situasi kritikal yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri meskipun riuh rendah politik tersebut bisa kita letakkan dalam perspektif dinamika demokrasi partai politik modern. Apa pun pijakan legitimasinya, demokrasi melalui instrumen partai politik tidak boleh melenceng bahkan out of the track dari intisari kedaulatan di tangan rakyat. Pesan demokrasi jelas menitikberatkan pada kuasa rakyat yang disalurkan melalui partai politik atau lebih mudah kita kenal dengan nama keterwakilan politik. Walhasil, partai politik modern seperti Partai Perindo berpandangan bahwa parlemen sebagai wujud perwakilan politik harus dikelola secara amanah, akuntabel dan transparan. Hanya dengan prinsip-prinsip tersebut maka jalan menuju parlemen yang konstruktif bisa ditegakkan. Dengan demikian, sangatlah tidak produktif jikalau wajah partai politik kita ada retak dan rusak akibat pertarungan elite internal partai politik maupun intervensi politik penguasa yang sudah pasti pada akhirnya merugikan sang mandatori mutlak yang bernama rakyat. Parpol yang kuat cikal bakal bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat dengan pijakan utama pada kepentingan rakyat. Dan suatu panggilan sejarah bagi Partai Perindo untuk membuktikan modernitas kepartaiannya dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Analogi singkatnya, tatkala Partai Perindo mampu memainkan peran strategis melalui kader-kader yang berkualitas dalam menyerap, menyalurkan dan juga memperjuangkan suara rakyat maka inklusif penguatan parpol terwujud sejalan dengan terbentuknya ikatan ideologis maupun pragmatis rakyat yang ”menghidupi” demokrasi. Partai Perindo bersama partai politik lainnya turut andil mendorong jalan baru demokrasi yang sehat diawali dengan potret diri partai politik yang solid, satu, utuh serta menjadikan rakyat sebagai satu-satunya tujuan politik atau dalam ijtihad politik Partai Perindo dikenal dengan istilah politik kesejahteraan. Parlemen Konstruktif Parlemen konstruktif sebagai jalan panjang menuju demokrasi yang sehat, setidaknya mengandung arti: (1) menjalankan checks and balances kepada pemerintah dalam semangat kebersamaan. Bersama bisa diartikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Pertama, pada posisi mendukung sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah sepanjang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedua, berbeda sikap dengan cara memberikan pandangan berbeda tidak sekadar kritik semata beroposisi, tapi konsisten secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik sejak awal agar suatu kebijakan pemerintah selalu bisa diperdebatkan secara konstruktif meski pada akhirnya tidak melulu sejalan dengan sikap pemerintah, (2) menerjemahkan sepenuhnya fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik sekaligus pengatur konflik.
  • 23. 23 Peran (berbeda) sebagai oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Partai politik oposan diperlukan karena baik dan benarnya politik harus diperjuangkan dalam kontestasi politik serta diuji dalam wacana politik yang terbuka dengan melibatkan publik. Sejatinya, praktik kekuasaan yang dijalankan pemerintah haruslah teruji bernas untuk kepentingan rakyat karena pengawasan melalui parlemen adalah satu bangunan (built in) yang niscaya dalam era demokrasi. Maka pesan terpenting bagi para penguasa (baca: pemerintahan Jokowi-JK) tidak perlu terlalu reaktif ketika wajah parlemen kita berdinamisir dalam dua arus utama KMP dan KIH. Dinamika itu merupakan berkah bawaan bahkan menjadi jamu yang mungkin terasa pahit, namun menyehatkan di kemudian hari. Sikap kritis yang disuarakan parpol KMP harus diletakkan dalam porsi oposisi loyal di mana kekritisan tersebut terjamin tidak akan keluar dari substansi nilai dan esensi demokrasi. Loyalitas pada agenda besar kebangsaan, program-program kerakyatan menjadi pijakan berpikir dan kerja-kerja politik baik oleh KMP maupun KIH. Lantas, mengapa penguasa mesti gencar kerja keras mengondisikan mayoritas parpol di parlemen sebagai pendukung pemerintah? Bukankah itu akan melemahkan demokrasi sekaligus mendegradasi fungsi- fungsi parpol di mana semua aspirasi rakyat seolah dikanalisasi dalam keseragaman garis politik penguasa. Pelemahan demokrasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi apalagi nuansa intervensi politik lebih menyeruak dalam kisruh partai Golkar dan PPP. Kalau sudah demikian boleh jadi kemunduran sejarah bangsa di depan mata setelah hampir 17 tahun reformasi bergulir, alih- alih demokrasi belum mampu dinikmati rakyat secara langsung menyentuh kehidupan sehari- hari. Saatnya kita jaga dan tumbuhkan cita-cita demokrasi yang bersumber pada makna kedaulatan rakyat melalui representasi partai-partai politik karena pada hakikatnya di dalam tubuh parpol yang sehat akan tumbuh demokrasi yang kuat. MARDIANSYAH Pengurus DPP Partai Perindo dan Ketua Umum DDMI (Dewan Dakwah Muslimin Indonesia) DKI Jakarta
  • 24. 24 Keraton (Belum) Hamil Tua Koran SINDO 28 Mei 2015 Salah satu isu pokok penyebab perselisihan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah dinobatkannya GKR Pembayun sebagai puteri mahkota bergelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi adalah nama Sultan Hamengku Buwono X sebelum diwisuda sebagai putera mahkota dan identik dengan nama pendiri Kesultanan Yogyakarta. Keseriusan Hamengku Buwono X menyiapkan puterinya disimbolkan dengan duduknya GKR Mangkubumi di Watu Gilang, bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan Senopati. Meskipun Sultan tidak menyebut secara eksplisit dan GKR Mangkubumi menyatakan ”ojo nggege mongso” (jangan mendahului sesuatu sebelum waktunya), persiapan suksesi sudah terlihat nyata. Soalnya, sejarah Kesultanan Yogyakarta adalah sejarah kekuasaan laki-laki. Belum pernah ada Raja Mataram perempuan, sejak didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede hingga sekarang. Seluruh rangkaian sejarah Mataram adalah tentang kekuasaan raja, bukan ratu. KGPH Yudhaningrat, salah satu adik Hamengku Buwono X, menyatakan, ”Memaksakan GKR Mangkubumi menjadi puteri mahkota akan menghilangkan dinasti Hamengku Buwono yang selama ini memimpin Keraton Yogyakarta. Pasalnya, Keraton Yogyakarta melanjutkan khalifah Mataram yang berdasar pada nasab patriarki.” Bahkan adik Sultan yang lain, KGPH Hadiwinoto, berani menyatakan bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja batal demi hukum. Ratu dalam Sejarah Sejarah mencatat Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga di sekitar Jepara, Jawa Tengah, pada abad ke-7. Ratu Shima dikenal tegas dan adil dalam menegakkan hukum dan menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya Kalingga mengalami kemajuan dan kemakmuran. Dalam sejarah Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, tersebutlah nama Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Menyusul kematian Raja Jayanegara yang tidak mempunyai keturunan, tahta diserahkan kepada istri Raden Wijaya, Gayatri. Tetapi, karena Gayatri sudah menjadi biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada puterinya, Dyah Gitarja, yang setelah naik tahta bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1329.
  • 25. 25 Meski selama kekuasaannya ada beberapa pemberontakan, Tribhuwana dibantu Patih Gadjah Mada berhasil memajukan dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Tribhuwana lengser (1351), anaknya, Hayam Wuruk, melanjutkan kekuasaan dan sukses mencapai zaman keemasan. Hayam Wuruk wafat pada 1389, tongkat kekuasaan diberikan kepada puterinya, Kusumawardhani, meskipun pemerintahan dijalankan oleh suaminya, (”Bapak Negara”) Wikramawardhana. Jadi, pemerintahan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 sudah mengenal kepemimpinan perempuan, sekitar tujuh abad setelah Ratu Shima berkuasa di Kerajaan Kalingga. Dalam kebudayaan berbeda, sejarah ratu dapat ditemukan di Aceh pada abad ke-17. Pascakematian Sultan Iskandar Tsani terjadilah perdebatan tentang siapa penggantinya. Secara adat dan agama, ada tantangan berat terhadap kehadiran pemimpin perempuan, tetapi atas pengaruh ulama besar Syiah Kuala diangkatlah Safiatuddin (istri Iskandar Tsani) sebagai sultanah. Syiah Kuala berperan sebagai penasihat kerajaan, Kadi Malikul Adil. Setelah Safiatuddin, ada tiga perempuan menjadi sultanah yakni Naqiatuddin, Zakiatuddin, dan Kamalat Syah. Sejarah empat sultanah ini terjadi pada periode 1641-1699. Ini sejarah terobosan kepemimpinan perempuan di tengah dominasi tradisi laki-laki yang kuat secara budaya dan agama. Pemerintahan ratu juga ditemukan di Kesultanan Bima. Pengganti Sultan Abdul Qadim Ma Waa Taho yang memerintah 1742-1773 adalah Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga) yang memegang tahta pada 1773-1795. Ratu Bima ini akhirnya dibuang oleh Inggris ke Sri Lanka hingga mangkat. Di Kerajaan Bone jumlah ratu lebih banyak lagi. Beberapa nama ratu yang bisa disebut adalah We Banri Gau Arung Majang, We Tenri Pattuppu, We Batari Toja Daeng Talaga, We Tenri Waru Pancai Tana, We Fatimah Banrigau, Sultanah Salima Rajiatuddin, dan Sultanah Zainab Zakiatuddin. Nama-nama ratu tersebut memerintah di Bone, di antara raja dan sultan, pada abad ke-15 sampai abad ke-19. Di Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Mataram Islam yang bersistem patriarki sudah pernah ada preseden perempuan sebagai wali Sultan. Ketika Hamengku Buwono V naik tahta dalam usia balita, ada empat orang wali Sultan yang ditunjuk yakni Ratu Ageng (nenek Sultan), Ratu Kencono (ibu Sultan), Mangkubumi, dan Diponegoro. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertugas mendidik dan membesarkan Sultan hingga dewasa, sedangkan Mangkubumi dan Diponegoro menjalankan pemerintahan. Namun, tugas manajemen pemerintahan sering diintervensi Patih Danurejo IV atas sokongan Ratu Kencono. Inilah yang menjadi salah satu pemicu perlawanan Diponegoro. Lahirkah Ratu Baru?
  • 26. 26 Jika tidak ada halangan, puteri mahkota sekarang adalah raja–tepatnya ratu–berikutnya. Praktis satu kaki Pembayun sudah bergerak menuju tahta Keraton Yogyakarta. Meski demikian, kaki satu lagi masih ”terikat” sejumlah tantangan. Tantangan pertama dari internal Keraton sendiri. Apakah para adik Sultan Hamengku Buwono X akan berhasil dirangkul untuk menerima Dawuh Raja? Jika persuasi Sultan sukses, jelas ini akan melempangkan jalan bagi lahirnya Ratu Mataram. Jika tidak berhasil, implikasi politik dari reaksi dan penolakan keluarga bisa menjadi masalah yang tidak sepele. Atas nama mempertahankan tradisi, preseden suksesi masa silam bisa diangkat kembali oleh para adik laki-laki Hamengku Buwono X. Dalam sejarah Keraton pernah terjadi suksesi dari Hamengku Buwono V kepada adiknya, GRM Mustojo, untuk diangkat menjadi Hamengku Buwono VI. Sementara di Kasunanan Surakarta juga pernah terjadi suksesi dari Pakubuwono VI kepada pamannya sebagai Pakubuwono VII dan kemudian dari Pakubuwono VII kepada kakaknya untuk bertahta sebagai Pakubuwono VIII. Jauh sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi raja setelah menggantikan adiknya, Adipati Martapura. Tantangan kedua datang dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Diatur secara jelas di dalam Pasal 18 ayat 1, UU No. 13 Tahun 2012 bahwa gubernur dan wakil gubernur yang diamanahkan kepada Hamengku Buwono dan Paku Alam adalah laki-laki. UU tidak memberi ruang opsi perempuan. Perda yang disahkan DPRD DIY akhir Maret juga menegaskan perintah UU. Kompleksitas politik akan lahir jika Keraton Yogyakarta dipimpin perempuan ketika dihadapkan dengan aturan di dalam UU tersebut. Masalah ini hanya akan bisa diselesaikan jika UU Keistimewaan Yogyakarta direvisi. Apakah revisi akan mendapatkan dukungan keluarga Keraton, publik, dan DPR? Tantangan ketiga berasal dari publik. Pemimpin Keraton juga pemimpin bagi masyarakat Yogyakarta modern dan majemuk. Meskipun secara tradisi-kultural tidak mudah rakyat Yogyakarta menerima kehadiran seorang ratu, tetapi zaman sudah bergerak dan membawa banyak perubahan pengertian. Tafsir budaya Jawa tentang perempuan sebagai ”konco wingking” (teman di belakang rumah) tidak lagi ketat dan keras. GKR Mangkubumi juga diuntungkan oleh perkembangan konstruksi teologis Islam tentang kepemimpinan yang makin cair dari bias gender. Penolakan terhadap pemimpin perempuan tidak akan menjadi arus utama. Dalam konteks perubahan konstruksi berpikir Islam-Jawa itu, dikotomi antara kehadiran raja atau ratu cenderung tidak lagi menonjol. Yang lebih dianggap penting adalah apakah pemimpin itu diterima oleh publik dan cakap bekerja. Tentu saja kompleksitas adat, tradisi, politik, dan bahkan mitos akan tetap menyertai proses suksesi di Keraton Yogyakarta. Apakah akan lahir Ratu baru dan bagaimana proses
  • 27. 27 kelahirannya, jelas akan menjadi perhatian publik. Yang jelas Keraton Yogyakarta memang sedang ”hamil”. Apakah tanda-tanda ini akan mengonfirmasi garis tangan GKR Mangkubumi? Wallahu a’lam. ANAS URBANINGRUM Pengamat Politik
  • 28. 28 Tradisi Kehati-hatian KPK Koran SINDO 28 Mei 2015 Fenomena kekalahan ketiga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan praperadilan sebaiknya dievaluasi oleh pimpinan KPK. Hal ini bukan saja menunjukkan ada ketidaktelitian pimpinan KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melainkan juga merupakan ada realitas kekacauan logika dalam menilai dan menafsirkan alat bukti. KPK tidak dapat mempertahankan perbuatan dan keputusannya dalam menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan (mantan kepala Lemdikpol, saat ini Wakapolri), Ilham Arief Sirajuddin (mantan wali Kota Makassar), dan Hadi Poernomo (mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) selaku tersangka tindak pidana korupsi saat diuji di pengadilan. Saat pengadilan mengabulkan praperadilan seorang yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka, setidaknya ada dua masalah utama yang muncul yakni bukti permulaan dan perampasan kemerdekaan jika tersangka ditangkap dan ditahan. Praperadilan adalah mekanisme pengujian yang menjadi kewenangan pengadilan untuk menguji sah atau tidak sahnya perbuatan penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan, dan penetapan tersangka, di samping untuk memeriksa permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi jika sebuah perkara tidak diajukan ke pengadilan. Seperti kita ketahui, putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Mei 2015. Kritik terhadap putusan tersebut tak ayal dilontarkan Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki. Mantan ketua KPK Jilid I (2003-2007) ini menyatakan putusan hakim praperadilan telah melampaui permohonan pemohon (Hadi Poernomo) dan bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi (SINDONEWS, 26/5/ 2015). Artikel ini tidak akan memperdebatkan putusan praperadilan yang telah diketuk, tetapi mengingatkan kembali tradisi kecermatan yang dibangun oleh para pimpinan KPK di awal berjalannya lembaga ini. Tradisi Kehati-hatian Tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti. Bukti merupakan modal paling utama bagi penyidik untuk mengetahui apakah benar telah terjadi tindak pidana dan menemukan siapa tersangka yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam proses penyidikan, seorang penyidik akan mengumpulkan bukti dengan cara memanggil saksi-saksi
  • 29. 29 yang dianggap mengetahui peristiwa tindak pidana, mengumpulkan bukti surat, dan meminta pendapat ahli. Dalam konteks penyidikan KPK, proses pencarian alat bukti ini tidak jarang terliput media saat penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki KPK juga digunakan untuk mendukung proses penyidikan yang dilakukan. Pada masa awal berdiri KPK, Taufiequrrahman Ruki adalah seorang pimpinan KPK yang mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak. Ruki bahkan pernah menyatakan, penyidik KPK diminta untuk mencari lima alat bukti walaupun hukum acara hanya meminta dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kehati-hatian diperlukan karena KPK oleh undang-undang tidak diperbolehkan menghentikan perkara yang telah berlangsung. Tradisi kehati-hatian ini agaknya memudar belakangan. Gelar perkara yang seharusnya dilakukan penyidik dan pimpinan KPK untuk menguji kebenaran dan kelengkapan alat bukti bahkan ditinggalkan, sebagaimana dinyatakan oleh mantan penyidik KPK, Hendy F Kurniawan, yang bertugas sejak 2008 sebelum mengundurkan diri pada 2012. Ketika bersaksi dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, mantan penyidik KPK ini menerangkan dirinya mundur karena pernah diminta pimpinan KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dua alat bukti (KORAN SINDO, 11/2/2015). Ketika pimpinan KPK menetapkan seorang menjadi tersangka, pada dasarnya menunjukkan kemampuannya untuk berdisiplin mengemukakan alasan-alasan hukum yang didapatkan penyidik yang terjun langsung dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti. Kemampuannya mengonstruksikan sebuah peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana berdasarkan alat bukti yang lengkap. Serta, menunjukkan juga kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), dan pengetahuannya (knowledge) menyeleksi alat bukti. Atau, bahkan meminta penyidik untuk mencari lagi alat bukti lain agar lengkap sebelum menetapkan seseorang yang disangka sebagai pelaku peristiwa tidak pidana itu. Di sinilah mekanisme gelar perkara menjadi sentral dan tidak boleh dilewatkan. Dalam forum gelar perkara ini, para penyidik dan pimpinan KPK seharusnya berdebat keras agar tidak keliru langkah. Perampasan Kemerdekaan Tradisi yang agaknya masih tetap dilaksanakan adalah penahanan terhadap tersangka sebelum yang bersangkutan dilimpahkan berkasnya ke pengadilan. Bahkan muncul istilah ”Jumat Keramat”, di mana seorang tersangka KPK ditahan setelah pemeriksaan pada hari Jumat. Penahanan apa pun bentuknya merupakan perampasan kemerdekaan. ”Beruntung” para tersangka yang memenangkan gugatan praperadilan belum ditahan oleh KPK. Jika seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, lalu ditahan, dan kemudian gugatan praperadilannya
  • 30. 30 dimenangkan oleh pengadilan, tentu menjadi masalah bagi penghormatan hak asasi yang bersangkutan. Ilham Arief Sirajuddin dan Hadi Poernomo misalnya, walaupun tidak ditahan, keduanya dicekal-dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Hal ini juga merupakan bentuk perampasan kemerdekaan warga negara untuk bepergian. Kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi amat penting agar tindakan perampasan kemerdekaan terhadap yang bersangkutan tidak melanggar hak asasi. Dalam perspektif dan disiplin hak asasi manusia, bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan seperti penahanan harus didasarkan pada alasan hukum yang benar dan rasional. Kegagalan memenuhi persyaratan ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Karena merupakan perampasan kemerdekaan, sejak tahun 1981 KUHAP melimitasi kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan bukanlah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Bukan juga untuk konsumsi kehumasan atau bertujuan pencitraan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Karena itu, ”tradisi” penahanan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde) juga perlu dievaluasi. Evaluasi dan Kembalikan Tradisi Kepentingan dan harapan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melakukan penahanan, mencegah seseorang bepergian atau pun pemblokiran rekening, didasarkan 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, agar kepercayaan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga ini sebagai murni penegakan hukum tidak pupus. Tidak sedikit kritik yang dilontarkan pengamat bahwa penetapan tersangka oleh KPK juga dipengaruhi oleh motif-motif kepentingan di luar penegakan hukum dan keadilan. Kedua, supaya kekeliruan perilaku penyidik atau pimpinan KPK dapat segera diakhiri. Secara mudah masyarakat menilai, jika polisi bintang tiga, mantan pejabat tinggi negara, atau mantan pimpinan daerah saja dapat ditetapkan menjadi tersangka tanpa proses yang benar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepada siapa pun. Masyarakat menginginkan pimpinan KPK memberi pelajaran dan praktik yang benar di bidang penegakan hukum. Ketiga, tentu saja agar hak asasi warga negara tidak ditunda atau bahkan dirampas tanpa dasar hukum yang benar dan adil. Evaluasi kelembagaan sudah sepatutnya dilakukan oleh KPK sendiri. Mengembalikan tradisi kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi tugas penting pimpinan dan Plt. pimpinan saat ini dan pimpinan KPK ke depan. Semangat dan gagasan kehati-hatian di tubuh KPK yang diamanatkan undang- undang sebaiknya dijadikan tradisi (tradere) di lembaga ini, di- transmit, dilanjutkan, dan dijaga keberlangsungannya.
  • 31. 31 PATRA M ZEN Ketua Komite Bantuan Hukum, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia
  • 32. 32 Putusan Haswandi dalam Praperadilan Hadi Poernomo Koran SINDO 29 Mei 2015 Hiruk-pikuk kedua soal putusan praperadilan melawan KPK terjadi lagi satu hari setelah hakim Haswandi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan KPK tidak sah menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka. Ada pertimbangan Hakim Haswandi yang membuat gelisah pimpinan KPK dengan menyatakan bahwa putusan tersebut akan membuyarkan pemberantasan korupsi dengan merujuk kepada 371 perkara korupsi yang telah in-kracht. Sejatinya dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak dianut yurisprudensi sebagai sumber hukum selain undang- undang. Selain itu, kekhawatiran pimpinan KPK berlebihan karena putusan Haswandi tidak dapat “diberlakukan” surut. Putusan Haswandi tidak retroaktif tetapi prospektif, itu pun jika hakim lain mengikutinya. Tidak ada perlu ada reaksi yang berlebihan, apalagi dengan mengatakan putusan Hakim Haswandi mendelegitimasi status PPNS yang terdapat di kementerian/lembaga (K/L). Jika pengamat dan pimpinan KPK cermat membaca permohonan pemohon praperadilan (HP), di dalamnya ada permohonan terkait status penyelidik dan penyidik pada KPK. Seingat penulis, permohonan a quo yang pertama dimasukkan ke PN Jaksel tidak tercantum soal status penyelidik dan penyidik, tetapi dicantumkan dalam permohonan praperadilan yang kedua. Jadi tidak ada putusan Hakim Haswandi yang bersifat ultra petita. Dalam kaitan status penyelidik dan penyidik pada KPK, juga terdapat pemahaman keliru dari pimpinan KPK. Lex specialis yang dimaksud dalam UU KPK merujuk pada aspek historis dan teleologis mengenai latar belakang pembentukan KPK. Dalam hal ini hanya terkait kewenangan komisioner KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP, bukan terkait pada status pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut pada KPK. Alas hukum mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 6 dan khususnya Pasal 12 UU KPK. Sementara status penyelidik, penyidik, dan penuntut (P3) tetap merujuk pada KUHAP yang merupakan “payung hukum” (umbrella act) proses beracara dalam perkara pidana termasuk perkara tipikor. Jika di dalam UU KPK tidak ditegaskan status siapa P3, yang berlaku adalah ketentuan a quo yang telah diatur dalam payung hukum tersebut. Tidak boleh ditafsirkan oleh pimpinan KPK karena tidak diatur secara khusus, pimpinan KPK dapat menafsirkan dan
  • 33. 33 mengangkat sendiri karena proses peradilan harus mengikuti secara hierarkis dan secara prosedural berpegang teguh pada sistem kodifikasi. Dalam kaitan pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK (Pasal 43, 44 dan Pasal 51 UU KPK) khususnya penyidik dan penuntut seharusnya dibaca terhubung pada Pasal 39 ayat (3) UU KPK. Karena penyelidik, penyidik dan penuntut diberhentikan sementara dari institusi asalnya sehingga harus ada yang mengangkat agar dapat menjalankan fungsinya, yaitu pimpinan KPK. Bunyi Pasal 39 ayat (3) UU KPK jelas merujuk pada ketentuan KUHAP mengenai siapa P3 sehingga institusi asalnya dimaksud adalah kepolisian bagi penyelidik dan penyidik dan kejaksaan bagi penuntut. Bahkan dalam UU KPK, fungsi jaksa penuntut hanya sebatas penuntutan bukan penyidikan; posisi yang berbeda ketika jaksa berada dalam lingkungan kerja kejaksaan di mana sesuai dengan bunyi UU Nomor 6 Tahun 2004, penuntut dapat melaksanakan fungsi penyidikan dalam tindak pidana tertentu termasuk tipikor. Dalam UU KPK tidak ada ketentuan eksplisit menyebutkan bahwa penuntut dapat melakukan fungsi penyidikan juga. Berdasarkan uraian aspek hukum dari pertimbangan Hakim Haswandi, ketidakpuasan atau keberatan pimpinan KPK seharusnya dijadikan bahan introspeksi internal KPK untuk berbenah diri secara total. Pembenahan itu baik dari aspek manajemen perkara, proses pengambilan keputusan melalui gelar perkara berdasarkan sistem kolektif-kolegial dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada prinsip hukum “due process of law“. Diharapkan ke depan KPK menjalankan penegakan hukum secara bermartabat dalam pemberantasan korupsi jika merujuk pada penetapan tiga tersangka yang tidak sah yang oleh KPK selalu diikuti dengan proses pencekalan, pemblokiran, penyitaan yang mutatis mutandis tidak sah. Akibat hukum putusan Haswandi, tindakan KPK terhadap tiga tersangka adalah merupakan bentuk perampasan kemerdekaan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333 KUHP. Putusan Hakim Haswandi hanya berdampak terhadap status penyelidik dan penyidik pada KPK dan tidak ada kaitannya dengan status PPNS yang telah diatur di dalam beberapa UU sektoral yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
  • 34. 34 Menanti Kapolri yang Blusukan Koran SINDO 29 Mei 2015 Baru sekitar sebulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Jenderal Pol Badrodin Haiti menjadi kapolri, masalah yang dihadapi kepolisian datang silih berganti. Mulai Polsek Limun dibakar massa di Sarolangun, Jambi, kasus suap kasus narkoba yang melibatkan perwira menengah Bareskrim Polri di Bandung, hingga penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan yang dinilai banyak kalangan kontroversial. Seminggu setelah dilantik, Kapolri kemudian melantik Komjen Pol Budi Gunawan menjadi wakil kapolri (wakapolri) pada 22 April 2015. Kita harapkan pelantikan ini akan membawa angin segar agar kinerja duet Badrodin-Budi Gunawan bisa saling bersinergi dan saling melengkapi sehingga pelayanan Polri kepada masyarakat dapat ditingkatkan. Sebelum dilantik Presiden, Kapolri Badrodin di hadapan Komisi III DPR RI mengemukakan sejumlah programnya akan membawa perubahan pada wajah kepolisian untuk melayani dan ingin melakukan revolusi mental walau dirinya hanya menjabat satu tahun lebih jadi kapolri. Selalu Ada Harapan Beberapa visi-misi Kapolri yang disampaikan Kapolri Badrodin adalah, pemantapan soliditas dengan melakukan reformasi Polri dalam bidang SDM, sarana-prasarana, dan anggaran. Kemudian, Kapolri ingin melaksanakan revolusi mental SDM melalui perbaikan sistem rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan latihan, serta peningkatan pengawasan di tubuh kepolisian. Apa yang disampaikan Badrodin sangat terkait dengan situasi yang ada saat ini. Apalagi, kemarin sempat terjadi polemik dalam pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Kita sadar atau tidak sempat terjadi friksi dalam internal kepolisian. Untuk itu, kita mengharapkan kepada kapolri dan wakilnya bisa membawa kesejukan dalam internal kepolisian dan bukan sebaliknya. Soliditas Polri saat ini sangat dibutuhkan dalam mengujudkan visi-misi Badrodin. Hal lain kita harapkan, Polri harus lebih terbuka untuk dikritisi, baik oleh pengawas internal sendiri maupun eksternal Polri. Dalam catatan kami sebagai anggota Kompolnas, Kapolri dan Wakapolri bukan pimpinan Polri yang anti-kritik. Untuk itu, semua kritikan masyarakat harus kita jadikan masukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme Polri agar semakin dicintai masyarakat pada masa mendatang.
  • 35. 35 Salah satu yang harus dibenahi adalah keinginan Presiden Jokowi melakukan revolusi mental dalam melayani kepada masyarakat dan bukan untuk dilayani. Kita sadari, budaya untuk melayani masih barang langka dalam pelayanan kepolisian. Kita harapkan semua kapolsek, kapolres, dan kapolda sebagai garda terdepan di tengah masyarakat di daerah bisa mengabdikan dirinya menjadi pelayan bagi masyarakat setempat. Untuk menumbuhkan semangat untuk melayani pada tataran polisi pada tataran bawah, perlu kiranya kehadiran Badrodin dan Budi Gunawan secara bergiliran turun ke markas polisi hingga polsek sekalipun. Dalam catatan kami, kehadiran Badrodin di Polsek Limun yang dibakar massa di Jambi, patut kita apresiasi. Program lain Kapolri adalah memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dengan landasan prinsip proactive policing dan problem oriented policing. Keinginan Kapolri di atas bisa dilaksanakan dan diwujudkan apabila Kapolri betul-betul memfungsikan kehadiran polmas di tengah masyarakat. Program lain yang juga menjadi tekad Badrodin adalah memacu terbentuknya postur Polri yang lebih dominan sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Program ini tidaklah mudah dilakukan dalam waktu singkat. Program ini kemungkinan akan bisa diwujudkan apabila kapolsek hingga kapolri memberikan contoh setiap saat selalu hadir di tengah masyarakat. Harapan masyarakat terhadap Polri begitu besar. Masyarakat menginginkan agar polisi hadir dalam 24 jam di tengah masyarakat. Kapan masyarakat butuh polisi, dalam waktu cepat, polisi sudah hadir di tempat itu. Kemudian, meningkatkan kemampuan deteksi untuk memahami potensi akar masalah gangguan kamtibmas dan kemampuan memediasi dan solusi non-represif juga saat ini sangat dibutuhkan kepolisian. Di berbagai daerah, sering terjadi konflik sosial. Kapolsek dan kapolres wajib hukumnya berada di tengah masyarakat, apalagi ada kejadian yang menonjol. Tidak jarang selama ini kita pantau kapolsek dan kapolres jadi “kodamar” (komandan dalam kamar). Padahal, gangguan kamtibmasnya rawan gesekan. Dalam catatan saya, jika saja polisi cepat menyelesaikan masalah antara polisi dan masyarakat di Kecamatan Limun, Sarolangun, Jambi beberapa minggu lalu, massa tidak akan membakar polsek setempat. Hal ini menjadi bukti, kapolsek dan kapolresnya di berbagai daerah kalau mereka masih malas-malasan turun di tengah masyarakat. Kemudian, masalah yang juga banyak disorot adalah bagaimana dalam meningkatkan kemampuan penegakan hukum yang profesional, terutama penyidikan ilmiah guna menekan empat jenis kejahatan. Ini juga kemarin merupakan bagian dari visi-misi Kapolri Badrodin. Kasus penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan yang mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi dan penyimpangan yang dilakukan seorang perwira menengah berpangkat AKBP dalam kasus narkoba, patut perlu kita renungkan; apakah Polri sudah melakukan tugasnya secara profesional atau tidak.
  • 36. 36 Paling tidak, jika melihat visi-misi Kapolri tampaknya akan terwujud jika Wakapolri mendukung Kapolri sepenuhnya. Duet Kapolri-Wakapolri yang saya kenal sebagai sahabat sejak masuk Akpol seyogianya dapat mempercepat terwujudnya visi-misi Kapolri baru ini. Dalam catatan kami, duet Kapolri dan Wakapolri ini kita dukung untuk dapat saling mengisi dan melengkapi. Kapolri sebagai sosok lapangan andal dan peringkat 1 Akpol (Adimakayasa 82). Beliau empat kali menjadi kapolda (Banten, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur). Sementara itu, sosok Wakapolri, bintang tiga yang dinilai brilian dalam konsep dan manajemen. Bahkan, beliau salah satu arsitek dalam menyusun visi-misi beberapa kapolri sebelumnya. Karena itu, tidak berlebihan bila Budi Gunawan dijuluki jenderal intelektual. Jadi, keunggulan Kapolri-Wakapolri bila disatukan dapat membawa perubahan signifikan di tubuh Polri. Kapolri dapat mewujudkan visi-misi yang terkait dengan eksternal, sementara untuk internal diserahkan kepada Wakapolri untuk merealisasikannya. Kalau semua program ini dapat diwujudkan, kepercayaan masyarakat terhadap Polri secara bertahap akan pulih. Dan, tentu akan semakin baik antara kapolri dan wakapolri bila saling mengisi dan melengkapi serta memberikan contoh lebih sering tampil di tengah masyarakat. Semoga duet ini sungguh-sungguh membawa perubahan di tubuh Polri, sehingga kekhawatiran sebagai elemen masyarakat terhadap Kapolri Badrodin dan Wakapolri Budi Gunawan terjawab melalui kerja keras dan pengabdian yang tulus. EDI SAPUTRA HASIBUAN Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI dan Kandidat Doktor Universitas Borobudur
  • 37. 37 Kisruh Hukum Praperadilan Koran SINDO 30 Mei 2015 Tak terbantahkan, beberapa vonis praperadilan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini telah menimbulkan kekisruhan atau komplikasi hukum. Hakim Sarpin dan hakim Haswandi misalnya telah mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dan Hadi Poernomo. Pro dan kontra atas sebuah vonis sebenarnya biasa terjadi sehingga boleh saja orang setuju atau tak setuju pada pembatalan atas penersangkaan Budi Gunawan, Hadi Poernomo, atau Ilham Arief Sirajuddin. Namun, mereka telah melakukan upaya hukum dengan praperadilan dan hakim telah mengabulkannya. Itu harus dihormati. Tetapi, vonis-vonis atas perkara ini menimbulkan kisruh karena yang terjadi bukan hanya pro-kontra atas kasus konkretnya, melainkan munculnya komplikasi konseptual atas peraturan abstraknya. Dua hakim itu bukan hanya memutus kasus konkret, melainkan juga secara tidak langsung melakukan pengujian (judicial review) atas isi UU dengan tidak memberlakukan Pasal 77 KUHAP. Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa penetapan status tersangka bukan termasuk objek praperadilan, tetapi oleh dua hakim tersebut, demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak diberlakukan. Artinya, secara substantif dua hakim tersebut telah mereviu UU karena isi UU yang abstrak tidak bisa diberlakukan terhadap kasus konkret yang ditanganinya. Padahal, mereviu UU merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi (MK). Timbullah dilema: pada satu sisi vonis itu melampaui kewenangan hakim karena telah ”merampas” wewenang MK dalam melakukan pengujian, tetapi pada sisi lain vonis yang sudah inkracht tersebut mengikat, tidak bisa dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Khusus untuk penidakberlakuan Pasal 77 KUHAP komplikasinya memang telah ”terpaksa” selesai karena pada 28 April 2015 MK telah memutus perkara No. 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa penetapan tersangka bisa diuji dalam praperadilan. Vonis MK ini pun final dan berlaku seperti UU sehingga sekarang ini penetapan tersangka bisa dilawan dengan upaya hukum melalui praperadilan. Problemnya hanya menjadi lebih teknis yakni Polri, kejaksaan, KPK, dan pengadilan akan dibanjiri oleh ribuan permohonan praperadilan, bukan hanya dalam kasus korupsi, melainkan dalam semua kasus pidana. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah seluruh Indonesia. ***
  • 38. 38 Tetapi, komplikasi konseptual hukum ini muncul lagi setelah awal pekan ini hakim Haswandi memutus permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang secara substantif juga menguji UU karena tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu di dalam UU. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP hakim Haswandi memutus bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pegawai yang bukan pejabat Polri dan bukan dari kejaksaan sebagai pegawai negeri tertentu, tepatnya yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik yang diangkat oleh KPK dari luar Polri dan kejaksaan, adalah tidak sah. Padahal, selama ini, berdasar ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) KPK bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sebagai lex specialis. Putusan praperadilan terbaru ini telah menimbulkan komplikasi baru secara konseptual hukum karena dianggap mengacaukan hubungan keberlakuan antara hukum yang umum (lex generalis) dan hukum yang khusus (lex specialis). Lebih dari itu, vonis hakim Haswandi ini, karena erga omnes, telah menyentuh bukan hanya penyelidik dan penyidik KPK, melainkan penyelidik dan penyidik yang diberi kewenangan oleh UU untuk menyelidiki dan menyidik perkara-perkara tertentu seperti perkara keimigrasian, pelanggaran HAM berat, kehutanan, pasar modal, otoritas jasa keuangan, perpajakan, lingkungan, perikanan, bea cukai, bahkan penyelidik dan penyidik peradilan militer yang juga diatur dengan hukum khusus. Berdasar vonis hakim Haswandi itu bisa ada puluhan ribu kasus yang menjadi bermasalah dan tidak sah karena penyelidik dan penyidiknya bukan polisi atau jaksa. Untuk mengatasi itu, ke depan lembaga legislatif harus mengaturnya melalui proses legislasi baru, tetapi untuk tahap awal bisa didahului dengan segera dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). *** Meski begitu, di dalam kusut masai yang timbul akibat vonis praperadilan tersebut, saya perlu mengemukakan dua catatan lain. Pertama, meski seorang tersangka dinyatakan menang dalam praperadilan, bukan berarti tersangka tersebut langsung lepas dari kasusnya. Menurut putusan MK No. 21/PUUXII/ 2014, kasus yang bersangkutan bisa dilanjutkan asalkan diperbaiki dengan penyelidikan dan/atau penyidikan baru yang sesuai dengan UU. Untuk KPK, hal ini tidak terlalu jadi masalah karena di KPK, selain yang bukan jaksa dan polisi, sudah banyak juga penyelidik dan penyidik yang memang berasal dari Polri dan kejaksaan. Kedua, jangan bermimpi bahwa vonis praperadilan Hakim Haswandi ini bisa dijadikan novum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) oleh mereka yang sudah divonis dan sudah dihukum. Vonis hakim Haswandi ini tidak bisa dijadikan novum (bukti baru) sebab menurut hukum novum itu adalah bukti yang sudah ada ketika yang bersangkutan diadili di pengadilan, tetapi pada saat itu tidak diketemukan atau tidak diketahui. Novum tidak
  • 39. 39 bisa diambil dari keadaan atau peristiwa baru yang muncul sesudah vonis dijatuhkan dan sudah inkracht. Vonis Hakim Haswandi ini adalah baru yang, kalau terpaksa diberlakukan, hanya berlaku untuk kasus-kasus sesudah palu vonis diketokkan. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 40. 40 Rekonstruksi Sejarah Pancasila Koran SINDO 1 Juni 2015 Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok nasionalis muslim dan nasionalis netral agama berdebat serius di sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang BPUPKI berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-16 Juli 1945. Fokus perdebatannya adalah apa dasar falsafah negara Indonesia yang kemerdekaannya segera diproklamasikan? Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya di sidang BPUPKI dan mengusulkan Pancasila (lima prinsip) sebagai dasar falsafah negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Kemudian Panitia Sembilan (Panitia Kecil) mereformulasi Pancasila Soekarno sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah rumusan resmi Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945. Banyak penulis tentang Pancasila selepas tumbangnya Orde Lama dan penatar P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru mengatakan bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya pencipta Pancasila. Mereka mengklaim Muhammad Yamin adalah (juga) pencipta Pancasila. Dari sinilah muncul kontroversi tentang pencipta Pancasila itu. *** Kontroversi sejarah tentang pencipta Pancasila terjadi sejak munculnya buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Buku ini berisi teks pidato tiga pembicara (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) yang disampaikan di sidang BPUPKI. Buku ini mereproduksi teks pidato Yamin di mana dia menyebut dirinya mengajukan juga lima prinsip sebagai dasar negara: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Konsep Pancasila versi Yamin ini mirip dengan Pancasila ciptaan Soekarno. Merujuk pada buku Naskah ini, BJ Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 di sidang BPUPKI sering dikemukakan pada masa pasca-Soekarno bahwa pencetus Pancasila yang
  • 41. 41 sebenarnya adalah Yamin, bukan Soekarno. Inilah bukti bahwa buku Naskah versi Yamin itu telah menimbulkan kontroversi sejarah yang besar. Menanggapi kontroversi ini, Mohamad Hatta pada tahun 1980 menulis surat wasiat kepada Guntur Soekarno Putra. Dalam surat wasiatnya, Hatta memberi kesaksian dan klarifikasi: pada akhir Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, membuka sidangnya dan mengajukan pertanyaan kepada peserta sidang, apakah dasar negara yang akan kita gunakan untuk negara Indonesia Merdeka nanti? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak menanggapi persoalan ini karena takut memunculkan masalah filosofis yang ruwet. Mereka langsung membahas konstitusi. Salah seorang anggota BPUPKI yang menanggapi pertanyaan Radjiman adalah Bung Karno yang menyampaikan pidatonya dengan judul “Pancasila”, lima prinsip, pada tanggal 1 Juni 1945, selama kurang lebih satu jam. Pidatonya menarik perhatian para anggota BPUPKI dan mendapatkan tepuk tangan yang luar biasa dari hadirin. Sidang komisi kemudian membentuk Komisi Kecil untuk mereformulasi Pancasila yang diusulkan Bung Karno. Hatta menegaskan, dia tidak pernah mendengar Yamin mengajukan lima prinsip (Pancasila) dalam pidatonya di sidang BPUPKI. Hatta menyatakan, jika Yamin mengajukan lima prinsip itu pasti dia mendengar dan memperhatikannya. Yamin tampaknya telah membuat catatan berdasarkan wacana yang berkembang di sidang BPUPKI dan memasukkannya ke dalam naskahnya dan kemudian mengklaimnya sebagai bagian isi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945. Hatta yakin, Yamin telah “memfabrikasi” Pancasilanya ketika dia ditugasi Panitia Kecil BPUPKI untuk menyusun Pembukaan UUD 1945 di mana dia memasukkan fabrikasi Pancasilanya itu. Panitia Kecil tidak menerima rancangan Pembukaan UUD 1945 versi Yamin karena rumusannya terlalu panjang. Kemudian ketika Yamin menyunting buku Naskah-nya, dia memasukkan rancangan tersebut dan mengklaimnya sebagai lampiran pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Hatta menuduh Yamin tidak jujur dan telah mendistorsi fakta sejarah. Memperkuat tudingan Hatta, Pringgodigdo juga menuduh Yamin telah memanipulasi (pinter nyulap) fakta sejarah. Yamin sendiri dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menegaskan, Pancasila adalah ciptaan Soekarno. Yamin tegas menyatakan, “Istilah Pancasila pada awalnya ditempa dan digunakan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima prinsip ini dinamakan Pancasila oleh Bung Karno dalam pidatonya yang diajukan pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI di rumah bersejarah, Gedung Pejambon, Jakarta.” Sejumlah tokoh yang terlibat aktif di sidang BPUPKI seperti Wediodiningrat, RP Soeroso, Sartono, KH Masjkur, Maria Ulfah, dan Ir. Rooseno memberi kesaksian bahwa Pancasila berasal dari pidato Soekarno yang disampaikan di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
  • 42. 42 Tidak berarti bahwa Soekarno tidak pernah berkonsultasi dengan tokoh lain untuk memberi nama bagi lima prinsip yang dia usulkan sebagai dasar negara. Soekarno mengakui, “Nama lima prinsip itu bukan Panca Darma (lima kewajiban); namun saya namakan berdasarkan pendapat teman kita yang ahli linguistik: Pancasila. ‘Sila’ berarti dasar atau prinsip, dan di atas lima prinsip itu kita harus membangun Indonesia yang merdeka, kuat dan abadi.” Ahli linguistik yang disebut Soekarno dalam pidatonya itu adalah Muhammad Yamin. *** Ada buku/dokumen menarik berjudul Uraian Pancasila yang disusun oleh Komisi Lima: Hatta (ketua), Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo. Semua tokoh ini berpartisipasi aktif dalam sidang BPUPKI. Dalam buku Uraian Pancasila ini ditegaskan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila. Berbeda pendapat dengan pendapat Komisi Lima, beberapa penulis seperti Darji Darmodiharjo dan Pringgodigdo mempunyai pandangan berbeda. Mereka berpendapat, 1 Juni 1945 bukan merupakan hari lahir Pancasila sebagai dasar negara, tetapi merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila. Mereka berpendapat, hari lahir Pancasila adalah tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara dalam UUD 1945. Menarik mencermati “fenomena Pringgodigdo”. Pringgodigdo, sebagai anggota Komisi Lima, semula berpendapat bahwa hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Kemudian Pringgodigdo mengubah pikirannya bahwa 1 Juni 1945 adalah tanggal lahir “istilah” Pancasila, bukan hari lahir Pancasila itu sendiri. Pringgodigdo berdalil, Pancasila telah ada berabad-abad lamanya dalam kehidupan rakyat Indonesia, karena itu tidak mungkin ditetapkan tanggal lahirnya. Dia menegaskan, tidak perlu memperingati hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni. Sikap Pringgodigdo menuai reaksi keras dari teman-temannya di Komisi Lima. Sunario, atas nama komisi, mengirim surat mempertanyakan ketidakkonsistenan pendapat Pringgodigdo itu, tapi dia tidak menanggapi surat tersebut. Pendapat Pringgodigdo dan Darmodiharjo bahwa 1 Juni 1945 hanyalah merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila sama artinya bahwa Soekarno tidak mempunyai kontribusi apa-apa kecuali istilah itu sendiri. Ini pendapat sangat naif. Soekarno, dengan gagasan Pancasilanya, sebenarnya telah memberikan kontribusi sangat besar bagi fondasi unitas dan integritas bangsa Indonesia. Ini fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • 43. 43 Urgensi Radikalisasi Pancasila Koran SINDO 1 Juni 2015 Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini diambil ketika Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai dasar negara pada sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Saat itu Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara yang dinamakan “Pancasila”: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada kesempatan lain, Soekarno menyebut bahwa sebagai ideologi negara, Pancasila digali dan diramu dari pelbagai nilai positif yang berkembang di masyarakat. Sementara sedikit berbeda, Mohammad Hatta menyebut bahwa Pancasila sebagai ideologi negara dibangun di atas pilar-pilar ideologi besar dunia, seperti Islam, sosialisme, kapitalisme, dan humanisme. Problem Kebangsaan Disayangkan, sejak kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, keapikan Pancasila lebih banyak dipahami serbaformal, tekstual, dan sedikit sekali upaya untuk menghadirkan Pancasila secara kontekstual dan apalagi membumikannya di tengah-tengah masyarakat. Pancasila an sich dipahami sebagai ideologi negara. Pancasila hanya menjadi bingkai (frame) dalam melihat wawasan negara-bangsa dalam segala aspek, termasuk agama, sosial, nasionalisme, ekonomi, politik, kemanusiaan, dan kebudayaan. Dari sisi hukum, das sollen, Pancasila juga dipahami dan ditempatkan sebagai segala sumber hukum dan karenanya produk hukum tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Sementara das sein, Pancasila di(ter)campakkan begitu saja. Sekadar alat untuk “menakut-nakuti” masyarakat, sebagaimana terjadi selama kurun waktu hampir 40 tahun (selepas Dekrit Presiden 1959 sampai lengsernya Orde Baru 1998). Pancasila dikenal dan hanya diperingati secara seremonial belaka setiap tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Sementara miskin sekali upaya-upaya untuk menghadirkan nilai- nilai yang terkandung di dalamnya dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila selalu “dikampanyekan” sebagai ideologi yang tangguh yang berhasil mengalahkan komunisme sehingga dirasa penting adanya Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pancasila sebagai dasar negara dalam arti bahwa
  • 44. 44 secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara. Jika mau jujur, realitas praksis saat ini, kita akan mendapati bahwa kebanyakan anak bangsa saat ini yang tidak lagi mempunyai kebanggaan terhadap Pancasila. Bahkan tidak jarang pada diri sebagian anak bangsa ini ada yang mencibiri Pancasila. Mengapa hal ini bisa terjadi? Keabstrakan Pancasila yang menyebabkan itu terjadi. Sebagai ideologi, Pancasila nyatanya tidak mampu menjadi “jalan” (al-shirat) yang mampu mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. Orde Baru telah berhasil, tidak saja membuat bangsa ini a-historis, tapi juga a-ideologis yang berdampak hingga saat ini. Misalnya secara simbolik, ada beberapa partai yang ada saat ini seakan emoh mengusung secara tegas Pancasila sebagai ideologi partai. Sementara secara praksis juga terjadi “persekongkolan” di antara para elite politik yang bukan didasarkan pada “persekongkolan kebangsaan”, yang berbasis pada ideologi (Pancasila) dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (maslahati al-ammah), melainkan “persekongkolan kepentingan” yang bersifat pragmatis dan sesaat untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan nasional (national interest). Radikalisasi Pancasila Menilik beragam problem kebangsaan yang terjadi saat ini, mendesak dan menjadi keharusan untuk melakukan radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam konteks ini tentu dimengerti sebagai bentuk transformasi dari sikap pasif, apatis atau masa bodoh pada sikap atau aktivisme yang lebih radikal, revolusioner atau militan dalam memosisikan, memahami, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila. Das sollen, sebagai ideologi Pancasila begitu apik, tetapi pada tataran das sein Pancasila tak mampu diterjemahkan dengan baik, tidak mampu memberikan efek atau dampak positif yang berarti bagi kemajuan bangsa. Pancasila hanya kumpulan sila-sila yang nyaris tak bermakna apa pun. Pancasila hanya fasih ketika dipidatokan oleh pejabat-pejabat negara dari pusat sampai daerah, tetapi gagap pada tataran aplikasi (action). Penerapannya penuh manipulasi, bergantung pada kepentingan sesaat yang melingkupinya. Realitasnya saat ini tengah terjadi kegersangan dan pendangkalan moral (akhlak), menipisnya rasa nasionalisme dan rasa memiliki Indonesia di kalangan anak bangsa. Selain tentu minimnya pendidikan agama, tidak adanya lagi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kegersangan moral dan menipisnya rasa nasionalisme.
  • 45. 45 Sebagian besar masyarakat belum secara menyeluruh memahami makna kebinekaan Indonesia. Kerap terjadinya konflik sektarian menunjukkan belum selesainya pemaknaan atas kebinekaan bangsa kita. Di sinilah letak pentingnya untuk melakukan radikalisasi Pancasila. Dalam konteks radikalisasi Pancasila, tentu tidaklah penting memperdebatkan soal posisi Pancasila, apakah sebagai fondasi atau pilar. Yang lebih penting dari semuanya adalah bagaimana kita mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila hadir dalam realitas kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai Pancasila hadir dalam kehidupan bernegara. Pancasila menjadi “kekuatan moral” bagi elite-elite politik negeri ini dalam membuat kebijakan- kebijakan politik. Secara das sollen maupun das sein Pancasila harus bisa berjalan beriringan. Pancasila sebagai ideologi negara harus diletakkan secara benar dalam praktik bernegara. Setiap kebijakan negara harus sungguh-sungguh mencerminkan dan mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila jangan lagi dibawa ke dalam bentuk yang abstrak sehingga hanya akan ditafsir beragam tanpa bangunan fondasi tafsir yang memadai. Pancasila mesti bisa menyentuh kehidupan sehari-hari dan sungguh-sungguh “membumi” di dalam sanubari bangsa ini. Pancasila harus benar-benar dihadirkan pada ranah publik dengan wajah yang “membebaskan” dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan sebaliknya, berpihak bagi segelintir elite bangsa ini. Upaya melakukan radikalisasi Pancasila tidak akan pernah berhasil tanpa adanya keteladanan dari elite dan pimpinan negara ini, keteladanan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Apa pun bentuk dasar negara Indonesia, jika tidak diamalkan, tak akan berarti apa pun. Di sinilah dibutuhkan adanya keteladanan politik. Semoga! MA’MUN MUROD AL-BARBASY Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
  • 46. 46 Pancasila sebagai Pandangan Hidup Koran SINDO 3 Juni 2015 Kongres Pancasila VII diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada 30 Mei-1 Juni 2015. Acara serupa diselenggarakan di tempat lain, baik oleh pemerintah atau komunitas tertentu. Kita bersyukur, pada hari ulang tahunnya ke-70, Pancasila masih eksis di negeri ini. Mengapa Pancasila tetap eksis, tak tergantikan isme lain? Karena kebenarannya. Sehubungan dengan itu, bermodal tekad dan semangat kebangsaan, kita pertahankan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup. Maknanya, selagi masih ada kehidupan, di situ Pancasila dipastikan ada dan difungsikan sebagai pandangan hidup. Disayangkan, akhir-akhir ini muncul polemik tentang hari lahir Pancasila. Polemik itu berpotensi memecah-belah bangsa. Pada saat lain, saya ingin berbagi pandangan untuk menepis kerancuan pemikiran tidak sehat itu. Untuk sejurus waktu, tulisan ini berkehendak memahamkan Pancasila pada tataran lebih mendasar yakni sebagai pandangan hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup sudah ada sejak awal kehidupan dan bukan lahir 1 Juni 1945 atau pun tanggal-tanggal lain. Eksistensi dan kebenaran nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dikenali secara sosiologis- antropologis. Seraya mendasarkan pada pendapat Prof Dr Brandes, dikatakan oleh Bung Karno (1958), tatkala Eropa masih hutan belukar belum ada Germanentum dan di sini (Indonesia) ketika itu masih pra-Hindu justru sudah ada pola cocok tanam padi di sawah-sawah. Kehidupan manusia Indonesia, digambarkan Bung Karno, berproses melalui empat saf yakni saf pra- Hindu, saf Hindu, saf Islam, dan saf Imperialis. Bung Karno berusaha menggali sedalam-dalamnya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dari penggalian itulah, diperoleh lima hal yang menonjol pada semua saf kehidupan yakni Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial. Lima hal tersebut diyakini Bung Karno dapat dijadikan sebagai dasar statis dan leitstar dinamis yang akan diterima dan di atasnya seluruh rakyat Indonesia bersatu-padu. Melalui kursus-kursus Pancasila sebanyak enam kali, di-jelentreh-kan, bahwa sejak awal kehidupan, manusia Indonesia sudah hidup di dalam alam ketuhanan. Di sanalah tempat permohonannya dan tempat kepercayaannya. Dari sana pula setiap manusia memaksimalkan budi luhur, budi pekerti, atau keadabannya.