Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Bab II
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu
Susu merupakan salah satu pangan asal ternak yang memiliki kandungan
nutrisi tinggi sehingga menyebabkan mikroba mudah tumbuh dan berkembang. Susu
yang disimpan pada suhu kamar lebih dari 4 jam dan tidak segera disimpan dalam
cooling unit menyebabkan jumlah bakteri cepat berkembang akibatnya jumlah
coliform meningkat. Kandungan bakteri di dalam susu dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain ambing dan puting
susu, sedangkan faktor eksternal berupa kebersihan dari lingkungan sekitar. Secara
normal dalam saluran ambing sapi terdapat beberapa bakteri seperti Micrococcus,
Streptococcus dan Lactobacillus (Suwito dan Andriani, 2012).
Susu segar adalah air susu hasil pemerahan yang tidak dikurangi atau
ditambahkan bahan apapun yang diperoleh dari pemerahan sapi yang sehat. Susu
merupakan bahan minuman yang sesuai untuk kebutuhan hewan dan manusia karena
mengandung zat gizi dengan perbandingan yang optimal, mudah dicerna dan tidak
ada sisa yang terbuang. Selain sebagai sumber protein hewani, susu juga sangat baik
untuk pertumbuhan bakteri (Resnawati, 2010).
Susu merupakan sumber protein dengan mutu yang sangat tinggi, dengan
kadar protein dalam susu segar 3,5 %, dan mengandung lemak yang kira-kira sama
banyaknya dengan protein. Karena itu, kadar lemak sering dijadikan sebagai tolak
ukur mutu susu, karena secara tidak langsung menggambarkan juga kadar
proteinnya. Beberapa jenis sapi perah, khususnya dari Bos Taurus misalnya Jersey
2. dan Guernsey mampu memproduksi susu dengan kadar lemak mendekati 5 %
(Koswara, 2009).
2.2 Mutu Susu
Susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun
menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan
kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya
susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji
didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah
(Dwitania dan Swacita, 2013).
Susu kemasan yang mempunyai hasil uji negatif pada uji didih adalah karena
derajat asamnya masih dalam rentang normal. Susu masih dalam kondisi yang baik
dikarenakan kemasan susu yang digunakan masih dalam keadaan rapat sehingga
mencegah kontaminasi kembali selama penyimpanan. Hasil uji didih negatif ditandai
dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi, hal ini
dikarenakan susu masih dalam keadaan homogen (Dwitania dan Swacita, 2013).
Hasil kimia dan mikroba analisis sampel susu mentah yang berasal dari
pertanian organik dan konvensional sistem secara statistik dibandingkan. Empat
parameter dalam susu mentah, asam lemak bebas, konten urea, jumlah sel somatik
dan coliform jumlah bakteri, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara dua jenis produksi (Kourimska, dkk., 2014).
2.3 Enzim Schardinger
Enzim adalah polimer biologis yang tersusun dari serangkaian asam amino
dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap yang mengkatalisis reaksi
3. kimia. Kehadiran dan pemeliharaan satu set lengkap enzim penting untuk pemecahan
nutrisi untuk memasok energi dan kimia blok bangunan, perakitan blok-blok
bangunan menjadi protein, DNA, membran, sel dan jaringan serta memanfaatkan
energi untuk motilitas sel dan kontraksi otot. Dengan pengecualian dari beberapa
molekul RNA katalitik atau ribozim, dimana sebagian besar enzim adalah protein
(Murray dkk., 2003).
Enzim memiliki kekuatan katalitik yang luar biasa, yaitu dari katalis sintetik
dan anorganik. Enzim memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi untuk substrat. Enzim
mempercepat reaksi kimia dan berfungsi dalam larutan pada kondisi suhu dan pH.
Enzim adalah pusat untuk setiap proses biokimia. Bertindak di urutan terorganisir,
enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang mendegradasi nutrisi molekul,
melestarikan dan mengubah energi kimia, dan membuat makromolekul biologis dari
prekursor sederhana. Melalui aksi enzim regulasi, jalur metabolisme yang sangat
terkoordinasi untuk menghasilkan interaksi yang harmonis untuk mempertahankan
hidup (Nelson dan Cox, 2013).
Fungsi suatu enzim ialah sebagai katalis untuk proses biokimia
yang terjadi dalam sel maupun di luar sel. Suatu enzim dapat mempercepat
reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut
dilakukan tanpa katalis. Jadi enzim dapat berfungsi sebagai katalis yang
sangat efisien, di samping itu mempunyai derajat kekhasan yang tinggi. Seperti juga
katalis lainnya, maka enzim dapat menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia
(Poedjiadi dan Supriyanti, 2005).
Schardinger (1902) mengamati bahwa metilen biru akan tereduksi oleh
formaldehida dalam susu segar. Enzim yang bersangkutan dalam oksidasi senyawa
aldehida dikenal sebagai enzim Schardinger. Hopkins (1921) menemukan bahwa
4. ekstrak ragi tertentu dan jaringan hewan juga mereduksi metilen biru ketika ketika
ditambahkan ke dalam susu. Morgan, dkk.. (1922) mengidentifikasi substansi
hypoxanthine dan menunjukkan bahwa efek oksidasi oleh sistem mirip dengan yang
ada di dalam jaringan (Booth, 1953). Lebih lanjut Morgan menjelaskan bahwa susu
mengandung enzim yang mampu pengoksidasi xanthine dan hipoksantin bersamaan
dengan reduksi O2 menjadi H2O2 dan enzim ini disebut XO (Kostic, 2015). Data
menunjukkan bahwa penambahan substrat untuk enzim Schardinger susu dengan
adanya ion iodida radioaktif menginduksi pembentukan ikatan organik iodin
radioaktif (Booth, 1935).
Enzim sangat spesifik baik dalam mengikat substrat kiral dan mengkatalisis
reaksi. Stereospesifisitas ini muncul karena enzim, berdasarkan substrat kiral (protein
terdiri dari asam hanya L-amino), membentuk asimetris sisi aktif. Misalnya, tripsin
mudah menghidrolisis polipeptida terdiri dari asam L-amino tetapi tidak enzim yang
terdiri dari asam D-amino. Demikian juga, enzim yang terlibat dalam metabolisme
glukosa yang spesifik untuk residu D-glukosa. Enzim yang benar-benar
stereospesifik dalam reaksi mengkatalisasi. Hal ini mencolok ditunjukkan untuk
kasus dehidrogenase ragi alkohol oleh Frank Westheimer (Voet dan Voet, 2011).
2.4 Formaldehid
Formaldehid (CH2O) merupakan suatu campuran organik yang dikenal
dengan nama aldehid, membeku pada suhu < 92 °C dan mendidih pada suhu 300 °C.
Formaldehid pada awalnya disintesa kimiawan asal Rusia Alexander Butlerov pada
tahun 1859, tetapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867. Formaldehid dihasilkan
dengan membakar bahan yang mengandung karbon. Dalam atmosfer bumi,
formaldehid dihasilkan dari reaksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan
5. hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehid terdapat dalam bentuk gas,
larutan, dan padatan. Formaldehid yang digunakan dalam proses pembuatan
peralatan makan melamin adalah formaldehid dalam bentuk larutan yang dikenal
dengan nama formalin (Artha, 2007).
Formaldehid merupakan bahan kimia yang mudah menguap atau mempunyai
titik didih yang rendah. Pada suhu di atas 80 °C, jumlah molekul formaldehid yang
menguap semakin banyak dan molekul formaldehid yang terlarut dalam campuran
reaksi semakin menurun sehingga berdampak pada menurunnya konversi reaksi.
Dengan menurunnya konsentrasi, tumbukan antar molekul semakin berkurang
(Budi dan Buchori, 2013).
2.5 Metilen Biru
Metilen biru larut dalam kloroform, air, dan alkohol. Zat ini bersifat
bakteriostatik dan bakterisidal lemah. Sebagai antiseptik, zat ini tidak dianjurkan
lagi. Pemberian metilen biru yang terus-menerus dan lama dapat menimbulkan
anemia. Metilen biru bermanfaat untuk pengobatan methemoglobinemia idiopatik
dan pemberian vitamin C dosis tinggi. Metilen biru digunakan juga untuk uji adanya
bakteri anaerob dalam susu (Staf Pengajar Farmatologi, 2009).
Kapasitas adsorpsi dari abu dasar untuk mengadsorpsi metilen biru dari
larutan. Uji adsorpsi dilakukan dengan cara penentuan laju alir, penentuan
konsentrasi, dan pH optimum. Semakin meningkatnya konsentrasi metilen biru maka
semakin meningkat kapasitas adsorpsinya dan semakin meningkatnya laju alir dapat
menurunkan kapasitas adsorpsi adsorben terhadap metilen biru. Hal ini juga
ditunjukkan pada pH lainnya yaitu semakin menurunnya kapasitas adsorpsi pada
metilen biru seiring meningkatnya pH dari metilen biru (Pratiwi, dkk., 2010).