IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
Garwo Omah Dowo.docx
1. Garwo Omah Dowo
Desclaimer : Semua plot, judul, nama, watak dan cerita yang ada di bawah ini hanya rekaan semata.
Mengangkat isu yang mungkin masih tabu di masyarakat. Bagi yang merasa kurang nyaman boleh di
skip saja.
***
Setro, 1944
Awalnya aku tidak paham. Kenapa wajah bapak tersenyum tapi mengernyit ketakutan. Sepanjang jalan
beliau hanya menggandeng tanganku kuat sekali. Sampai – sampai keringat memenuhi jarak di antara
jari – jari kami yang bertaut.
“Pak, Surti Capek.” Kataku waktu itu.
Kami telah berjalan 4 jam lebih dari desa. Sepeda satu – satunya kesayangan bapak sudah dijual
seminggu lalu waktu Tini sakit.
“Sebentar lagi nduk. Mau lihat kota Setro memang jauh.” Jawabnya sambil tersenyum. Tapi tidak
menyentuh matanya yang mendung.
Setro. Kota provinsi terbesar yang berjarak 30 kilo dari desaku. Kami menempuhnya dengan jalan kaki.
Karena tidak ada uang untuk menyewa andong apalagi kereta.
Kata Bapak kami akan berjalan – jalan di Setro. Melihat kota sibuk itu merupakan impianku sedari
kecil. Tak terkira betapa bahagianya saya ketika digandeng bapak kesana.
“Kenapa Siti tidak ikut pak? ibuk juga.”
Kali ini bapak terdiam sebelum mengatakan kalau Siti masih sakit. Dan ibu di rumah sedang
menjaganya.
Peluhku sudah berpayah – payah. Baju terbaik pemberian ibu kepala desa mulai lusuh karena keringat.
Sanggul minyak wangi rambut juga sudah luntur ketika berkali – kali aku mencoba tetap berjalan meski
kaki sudah kesemutan.
“Kaki Surti sakit pak.”
“Sabar nggeh nduk, itu tinggal di depan sebentar lagi. Sudah kelihatan rumahnya.”
Rumah? Rumah siapa yang sebagus itu? Terbuat dari batu bata pagarnya. Dindingnya menjulang tinggi
warna putih. Ada 3 lantai dengan jendela besar khas bangunan belanda disana.
Aku terpana. Kulihat bapak justru kehilangan senyumnya saat pelan kaki kami mendekati rumah
Panjang megah itu.
Tak lah ku ketahui, kalau saat itu, kami telah sampai di tempat yang akan kalian sebut dengan Omah
Dowo.
***
“Ayo nduk, salim sama bu Maya.”
Saya justru mengkerut di belakang tubuh ayah yang membungkuk hormat kepada Wanita cantik di
depan kami.
Entah kenapa tatapannya membuatku kurang nyaman apalagi ini tempat asing yang belum pernah saya
datangi. Tak pedulilah saya melihat pernak perniknya yang luar biasa cantiknya.
2. “Moh. Pak.” Jawabku pelan.
“Ndak papa, bu Maya orang baik.” Jawab bapak memegang tanganku. Menarikku melewati tubuhnya
untuk berdiri di depan Wanita asing yang mengamatiku dari ujung kaki sampai kepala.
“Pak, Surti mau pulang. Surti Lelah.” Jawabku setengah merengek.
Kukira berjalan – jalan di kota besar akan membuatku senang. Kukira aku akan berbelanja banyak hal
ketika sampai di Setro. Kukira aku akan jajan makan – makanan enak ketika bapak membawaku kesini.
Bu Maya kini melihatku semakin tajam.
“Umurnya benar 13?” Tanyanya terkesan datar.
“Enjih buk, niki Surti.” Jawab bapakku. Meski terdapat kepatuhan dalam nada suaranya, saya juga bisa
mendengar suara beliau yang justru seperti orang putus asa.
Pantang bagi kami memandang langsung orang kaya. Makanya bapak membungkukkan badannya
sedemikian rupa ketika bertemu dengan Bu Maya.
“Yo wis. Kak terimo anakmu. Ini bawaanmu.” Kata Wanita yang meski terkesan dingin dan kejam, tapi
saat itu, hanya di saat itu, saya melihat matanya melembut seolah menangis melihat keadaanku dan
bapak.
“Matur nuwun bu. Boleh saya bawa Surti jajan sebentar? Dari tadi dia ingin makan sate.” Kata bapakku
setelah menerima bungkusan kain putih dari Bu Maya.
Mendengar kata sate, saya langsung bersemangat lagi. Senyumku merekah begitu saja membayangkan
satu – satunya makanan yang hanya bisa kami rasakan ketika priyayi menyembelih sapi untuk qurban
setahun sekali.
Bapak ikut tersenyum ketika melihatku tersenyum.
Ia berpamitan kepada bu Maya dan menggandeng tanganku keluar.
Kami berjalan – jalan. Benar – benar jalan – jalan seperti yang selalu kuimpikan. Saya menarik tangan
bapak kesana – kemari untuk melihat hal – hal baru di kota besar ini. Yang tentunya tidak ada di desa
kecil kami.
Mulai dari pakaian orang – orangnya yang tidak mengenakan kemben atau jarik, tapi berdasi dan ada
kerahnya.
Sampai bangunan – bangunan besar yang menjulang seolah menutupi langit yang begitu luasnya.
Bapak hanya menurutiku. Beberapa kali kami berpapasan dengan tantara Jepang yang menatap kami
dengan senyum.
Saat itu aku berpikir, kalau tantara Jepang mungkin tidaklah sejahat yang dikatakan orang – orang. Tapi
bapak justru menunduk dan menggandengku menjauh. Memaksaku untuk berlindung di belakang
tubuhnya yang ringkih meski ia menunduk hormat kepada orang – orang berkulit pucat itu.
Setelah cukup lama berjalan. Atau saya yang sudah kelelahan menggandeng bapak kesana kemari,
akhirnya berhentilah kami di sebuah warung sate kelontong.
Dipesannya sepuluh tusuk sate yang baru dibakar sang penjual. Bapak menggiring piring penuh daging
itu kearahku.
“Nah, ini untuk Surti. Dari tadi kan ingin makan sate.”
3. Saya tersenyum. Kuambil setusuk dan menggigitnya dengan lahap. Itu adalah sate ternikmat yang
pernah saya makan.
Belum habis satu tusuk, kulihat bapak yang hanya diam saja memandangiku dengan raut muka sedih
tapi mulut yang seolah – olah dipaksa untuk tertawa.
“Bapak kenapa tidak makan?” tanyaku.
“Bapak tidak lapar.” Jawabnya.
Kukeluarkan plastic hitam yang sudah kubawa dari rumah.
“Pak, minta dibungkus saja satenya. Surti tidak habis. Ini nanti dimakan sama Tini sama ibuk di rumah
saja. Oleh – oleh dari Setro. Hehe.” Tawaku.
Entah kenapa, kali ini bapak memelukku. Menangis tersedu – sedu sampai pedagang sate memandang
kami dengan haru.
Saya yang tidak tahu apa – apa hanya menepuk – nepuk pelan punggung bapak sambil memasukkan
sate satu per satu ke dalam plastic.
***
“Surti, sekarang ini rumahmu.”
Aku tidak paham apa yang bapak ucapkan.
“Tinggal sama bu Maya sebentar ya. Bapak mau kerja dulu.” Lanjutnya lagi.
Bapak menyodorkan tangannya kearahku. Saya yang masih belum paham apa – apa hanya
menggenggam tangan itu dan salim. Kebiasaan kalau bapak atau ibuk mau pergi keluar.
Ibu selalu mengajariku agar nurut dengan orang tua. Bapak dan ibuk sudah kesusahan mencari uang,
dan jalan satu – satunya untuk meringankan beban mereka sebagai anak orang tidak punya seperti saya
dan Siti adalah dengan menjadi anak yang penurut.
Makanya saya tidak bisa mengatakan apa – apa kala itu. Hanya terdiam terpaku di depan pintu melihat
sosok bapak lambat laun melewati gapura depan yang menjulan begitu tingginya.
Tak lah kukatakan betapa takutnya aku sendirian di rumah orang yang tidak dikenal. Tak lah kukatakan
pada bapak saat itu kalau saya ketakutan dan ingin menangis pulang. Tak lah kukatakan aku ingin
menangis rewel sampai jempalitan agar bapak tidak meninggalkanku sendirian.
Tapi, saya harus manut. Kasian bapak dan ibuk yang sudah kesusahan.
Malam itu, aku masih menunggu bapak datang menjemput. Tidak tidur sama sekali di ranjang susun
yang sudah disediakan bu Maya.
Malam itu, aku masih bertanya – tanya seberapa lama bapak bekerja. Kapan ia akan menjemputku.
Malam itu, aku bernyanyi pelan nyanyian ibu hanya agar bisa menenangkan hati kalau bapak tidak akan
meninggalkanku sendirian disini.
Malam itu, yang rasanya panjang sekali, akhirnya berganti pagi kemudian malam lagi. Kemudian pagi
lagi.
Sampai bungkusan sate di plastic hitam berbau, nyatanya bapak tidak pernah datang menjemputku.
***
4. Kanzei, Jepang 1944
Kami dilarang mencuri. Seberapa keringpun tubuh saya atau adik – adik saya, ketika perang dilarang
melakukan Tindakan yang akan merugikan orang lain dari bangsa sendiri.
Saya tidak bisa apa – apa kala itu.
Sebagai tulang punggung keluarga setelah ayah tidak ada, saya yang harus menggantikannya untuk
melindungi tiga adik laki – lakiku yang masih kecil. Serta seorang ibu yang sudah tidak kelihatan lagi
paras bersihnya.
“Nama?”
“Sakamoto Kenji.” Jawabku kepada tentara paruh baya di bagian pendaftaran.
Kulihat bayangan ibu yang menggendong adik ketigaku di punggungnya, dan menenteng tangan adik
keduaku agar tidak tersesat di tengah lautan manusia. Kebanyakan hanya para Wanita dan anak – anak
saja yang datang kesana.
“Ikuti barisan didepan untuk mendapatkan seragam.” Lanjutnya.
Kutolehkan kepalaku untuk yang terakhir kali ke arah kerumunan yang terisak di belakang. Para Wanita
dan anak kecil yang sebentar lagi akan kehilangan ayah atau saudara mereka di medan laga.
Ibu tidak menangis. Adik ketigaku tidak terlihat karena tersembunyi di belakang tubuhnya. Adik
keduaku yang baru 3 tahun nampaknya tidak paham kenapa banyak orang menjerit sedih di kerumunan
seperti sekarang.
Adik tertuaku yang baru berusia 5 tahun nampak tegap. Ia tidak mengeluarkan satu tetespun air mata.
Wajahnya tegas dan kaku. Tapi nafasnya naik turun memburu seolah menyimpan sesak karena
kepergianku.
Setelah saya pergi. Dialah yang memiliki kewajiban untuk menjaga ibu dan kedua adikku yang lain.
Terakhi kali, kuberikan mereka dengan dua buah jagung kering setengah menghitam untuk pamitan.
Tidak ada tangis atau isakan dari mulut ibuku. Wajahnya sudah mati termakan susahnya kehidupan
setelah ayah tiada kembali pulang dari perang.
Kini anak pertamanya juga akan menyusul di belakang.
Umur saya kala itu baru 14 tahun. Tapi karena kewajiban kepada negara memanggil. Saya ikutlah kapal
yang akan membawa kami ke negara – negara untuk mempertahankannya dari barat. Kami akan
melindungi penduduk – penduduk itu agar tidak jatuh ke tangan penjajah lagi.
Setidaknya, Itu yang dikatakan komandan.
***