Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
PPN RESTITUSI
1. PEMERIKSAAN TERHADAP RESTITUSI PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
Diajukan sebagai tugas mata kuliah Audit Perpajakan
Disusun Oleh
Nama : Agus Kurniawan
NPM : MIA 1301010321
KELAS : A47
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MANDALA INDONESIA (STIAMI)
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
JAKARTA
2015
2. 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Definisi Pajak Pertambahan Nilai menurut Wiston Manihuruk di
dalam bukunya yang berjudul Pajak Pertambahan Nilai Pokok-Pokok
Perubahan Sesuai UU No.42 Tahun 2009 (2010:1) yaitu “Pajak
Pertambahan Nilai adalah Pajak atas konsumsi barang dan jasa di
Daerah Pabeanan yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur
produksi dan distribusi.”
Sedangkan Gunadi dalam buku Panduan Komprehensif PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) (2011:1) berpendapat bahwa ”PPN
merupakan pajak atas konsumsi (consumtion tax) yang dikenakan
terhadap setiap tingkat penyerahan Barang Kena Pajak auat Jasa kena
Pajak (multi stage level).”
PPN dikenakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP) di daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP) maupun pengusaha yang harusnya dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Sedangkan yang
dimaksud daerah pabean seperti yang dikutip dari buku Perpajakan
Edisi Revisi 2011 (2011:274) karangan Mardiasmo, yaitu:
“Daerah Pabeanan adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta
tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan landas
kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang
mengatur mengenai kepabean.”
3. 2. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek Pajak Pertambahan Nilai adalah Barang Kena Pajak (BKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP). Menurut Wiston Manihuruk di dalam
bukunya yang berjudul Pajak Pertambahan Nilai Pokok-Pokok
Perubahan Sesuai UU No.42 Tahun 2009 (2010:16) bahwa, “Barang
Kena Pajak (BKP) adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini”. Sedangkan “Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini”. Undang-Undang
yang dimaksud adalah UU No.42 Tahun 2009.
Menurut Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis dalam buku
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (2011:15), bahwa PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha; penyerahan barang dikenai pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak;
2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang
Kena Pajak tidak berwujud;
3) Penyerahan dilakukan di daerah pabean; dan
4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
4. b. Impor Barang Kena Pajak; pajak juga dipungut pada saat impor
Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat
Jendral Bea dan Cukai.
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha; penyerahan jasa yang terutang pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
2) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
3) Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha untuk
pekerjaannya. Termasuk dalam pengertian penyerahaan Jasa
Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk
kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-
cuma.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean; suatu penyerahan BKP tidak
berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak terkena PPN atau tidak
tergantung dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
1) Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud dinyatakan sebagai
piutang PKP.
2) Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud ditagih oleh PKP.
3) Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud diterima
pembayarannya baik sebagian atau seluruhnya oleh PKP.
5. 4) Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh PKP, dalam
hal saat-saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a) sampai
dengan huruf c) tidak diketahui.
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean; jasa yang berasal diluar daerah pabean yang
dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah.
f. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
g. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak; dan yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak tidak
berwujud “ adalah:
1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
kesastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau
model rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang,
atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial, atau hak
serupa lainnya.
2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
industrial, komersial, atau ilmiah.
3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah,
teknikal, industrial, atau komersial.
4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan
dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi pada angka 3, berupa:
6. a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada
masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa.
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau
radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel,
serat optik, atau teknologi yang serupa.
c) Pengunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh
spetrum radio komunikasi.
5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita
suara untuk siaran radio.
6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan
dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut diatas.
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa kena Pajak adalah
penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke Luar
Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar
pesanan atau permintaan dengan vahan dan atas petunjuk dari
pemesan di luar daerah pabean.
7. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan Barang kena Pajak diatur dalam Pasal 1A Ayat
(2) UU Nomor 18 Tahun 1983, sebagaimana diubah terakhir dengan
UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan Utang-piutang.
c. Penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke kantor cabang
atau sebaliknya dan antar kantor cabang dalam hal pihak-pihak
tersebut berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama
atau berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda
tetapi telah melakukan pemusatan tempat pajak terutang.
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ata (8) huruf b dan huruf c UU PPN.
3. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
a. Pengusaha Kena Pajak
8. Sebagaimana dinyatakan dalam pembahasan sebelumnya
bahwa penyerahan barang atau jasa yang dikenakan PPN
adalah penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena
Pajak (JKP) yang dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh pengusaha di dalam daerah pabean. Selanjutnya,
pengusaha yang dikenakan kewajiban PPN ini disebut dengan
Pengusaha Kena Pajak.
Menurut Mardiasmo dalam bukunya Perpajakan Edisi
Revisi 2011(2011:280), menyebutkan bahwa:
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya yang menghasilkan barang mengimpor,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan kan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Sedangkan dalam buku Panduan Komprehensif PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) karangan Gunadi (2011:25)
menyebutkan bahwa, Pengusaha Kena Pajak meliputi:
1) Pengusaha (orang pribadi atau badan) yang menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (termasuk ekspor)
yang dikenakan pajak berdasarkan UU Nomor 8 Tahun
1983, yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009.
Dalam hal ini, pengusaha yang memenuhi syarat ini
hukumnya wajib untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak.
9. Artinya, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahannya
untuk dikukuhkan menjadi PKP.
2) Pengusaha Kecil (orang pribadi atau badan) yang
menyerahkan BKP/JKP dan memilih menjadi Pengusaha
Kena Pajak.
Dalam hal ini, kepada pengusaha kecil tersebut dibebaskan
untuk memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak.
Artinya, hukumnya sukarela untuk menjadi Pengusaha Kena
Pajak.
a) Perluasan Pengertian PKP dan Bentuk Badan Lainnya
(Pasal 2 PP 143 Tahun 2000)
Pasal 2 PP Nomor 143 Tahun 2000 Jo PP Nomor 24
Tahun 2000 mengatur tentang perluasan pengertian
PKP dan bentuk badan lainnya (dalam rangka
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 13 Nomor
13 Tahun 1983, yang telah diubah terakhir dengan UU
Nomor 42 Tahun 2009, yaitu sebagai berikut:
(1) Pengusaha yang sejak semula bermaksud/berniat
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa
Kena Pajak (dalam tahap praoperasi/belum
berproduksi komersial). Artinya, perusahaan
tersebut belum memulai usahannya tetapi dari
kegiatan persiapan yang dilakukan, seperti
10. pembelian barang modal atau vahan baku, dapat
diketahui bahwa Pengusaha ini berniat melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
(2) Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation) yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa
Kena Pajak. Apabila Joint Operation tersebut hanya
sebagai alat koordinasi, sedangkan transaksi
penyerahan BKP/JKP dilakukan sendiri-sendiri oleh
peserta JO, JO tersebut tidak perlu dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian,
pengenaan PPN-nya juga cukup dilakukan sendiri-
sendiri oleh peserta JO.
b) Pengusaha Kecil
Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
68/PMK.03/2010 yaitu :
(1) Pengusaha Kecil yang telah melampaui batas PKP
wajib melaporkan usahannya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir bulan setelah bulan
terlampauinya batasan tersebut.
(2) Apabila kewajiban pelaporan usaha oleh pengusaha
tidak dilakukan maka Direktur Jendral Pajak dapat
mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau
11. surat tagihan pajak untuk masa pajak sebelum
pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai
Pengusaha Kena Pajak terhitung sejak saat jumlah
peredaraan bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)
(3) Kewajiban untuk memungut, menyetorkan, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh
Pengusaha Kecil yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana tersebut di
atas, dimulai sejak saat pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
b. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak dalam buku Panduan
Komprehensif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) karangan Gunadi
(2011:27) adalah sebagai berikut:
1) Melaporkan usahannya (mendaftarkan perusahannya) untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2) Memungut PPN/PPn BM yang terutang.
3) Menyetor PPN yang masih harus dibayar apabila dalam
suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
12. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta PPn BM yang
terutang.
4) Melaporkan penghitungan PPN/BM (menyampaikan SPT
Masa PPN/PPn BM).
PKP Kriteria Tertentu/WP Patuh (PMK-192/PMK.03/2007 Jo PER-
01/PJ/2008)
Kriteria Wajib Pajak tertentu/WP Patuh meliputi:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
dalam 3 (Tiga) tahun terakhir;
b. dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak
lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut;
c. SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya;
d. tidak mempunyai tunggakan Pajak untuk semua jenis pajak:
1) kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
2) tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang
diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir; dan
f. dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan
13. pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar
dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan audit harus :
1) disusun dalam bentuk panjang (long form report);
2) menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
g. Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan
publik, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis
paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk dapat
ditetapkan sebagai WP Patuh sepanjang memenuhi syarat pada
huruf a sampai huruf e, ditambah syarat:
- dalam 2 tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan
- apabila dalam 2 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah
dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap
jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%.
PKP Yang Dapat Ditetapkan Sebagai PKP Berisiko Rendah
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 71/MK.03/2010 Tentang Pengusaha Kena Pajak
Berisiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah, PKP harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
14. 1. Pengusaha Kena Pajak merupakan Perusahaan Terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham
disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, atau
2. Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang saham
mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah, atau
3. produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan angka 2, yang memenuhi persyaratan tertentu.
dengan syarat tambahan, ketiga kelompok PKP di atas tidak pernah
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam
jangka waktu 24 bulan terakhir.
Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh kelompok PKP dalam
angka 3 di atas adalah :
- tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN selama 12 bulan
terakhir
- nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling
sedikit 75% adalah produksi sendiri
- Laporan Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh
Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau
Wajar Dengan Pengecualian
Untuk dapat mendapatkan pengembalian pendahuluan, PKP juga
harus memenuhi kriteria dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 71/MK.03/2010 yaitu PKP harus melakukan
15. kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak
dipungut, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor
Jasa Kena Pajak.
4. Restitusi Dan Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai
Restitusi (pengembalian) dan kompensasi dapat dilakukan apabila
terjadi kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dikarenakan
jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah Pajak
Keluaran yang dipungut dalam suatu Masa Pajak.
Menurut Untung Sukardji dalam buku Pokok-Pokok Pajak
Pertambahan Nilai Indonesia (2011:186), penyebab terjadinya
kelebihan pembayaran Pajak Masukan disebabkan oleh PKP
melakukan:
a. ekspor BKP Berwujud atau BKP Tidak Berwujud
b. ekspor JKP
c. penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN
d. penyerahan BKP/JKP yang memperoleh fasilitas PPN Tidak
Dipungut
e. pembelian barang modal dalam tahap belum berproduksi
Pada prinsipnya atas kelebihan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran dikompensasi ke Masa Pajak berikutnya. Meskipun
16. demikian atas kelebihan Pajak Masukan tersebut juga dapat
direstitusi. Menurut Gunadi dalam buku Panduan Komprehensif
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) (2011:133), Restitusi PPN dapat
dilakukan:
a. Pada setiap Masa Pajak untuk transaksi :
1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud;
2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
3) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang Pajak Pertambahan Nilainnya tidak dipungut;
4) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang
Kena Pajak tidak berwujud;
5) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena
Pajak; dan/atau
6) Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
b. Pada setiap akhir Tahun Buku apabila terjadi kebihan Pajak
Masukan terhadap Pajak Keluaran untuk transaksi selain
penjelasan di atas. Bagi Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi
yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender.
Cara pengajuan permohonan pengembalian (Restitusi) :
17. a. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
Pajak dengan menggunakan :
b. SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang)
pada kolom "Dikembalikan (restitusi)"; atau
c. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan
(restitusi)" dalam SPT Masa PPN tidak diisi atau tidak
mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan
Pajak.
d. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada
KPP di tempat PKP dikukuhkan.
e. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu)
permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
5. Prosedur Penyelesain Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
a. Penelitian dan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP)
1. Penelitian dilakukan terhadap permohonan pengembalian
kelebihan Pajak yang diajukan oleh:
a) PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
UU KUP;
b) PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP; atau
c) PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4c) UU PPN. Penelitian oleh DJP dilakukan terhadap:
18. - kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
- kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-
lampirannya;
- kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
- kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh
Wajib Pajak.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh
PKP, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 bulan
sejak saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
Pajak.
3. Apabila jangka waktu 1 bulan tersebut telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak menerbitkan SKPPKP, permohonan
pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan dianggap
dikabulkan dan SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7 hari
setelah jangka waktu 1 bulan tersebut berakhir.
b. Tidak Diterbitkannya SKPPKP Terhadap PKP Beresiko Rendah
1. Terhadap PKP beresiko rendah, SKPPKP tidak diterbitkan
apabila :
19. a) hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak
memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang PPN;
b) hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
c) lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
d) pembayaran Pajak tidak benar.
2. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, terhadap PKP beresiko
rendah tersebut harus diberikan pemberitahuan secara tertulis
dengan menggunakan formulir lampiran PMK-72/PMK.03/2010
dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak; dari PKP ini
akan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B UU KUP.
c. Pemeriksaan dan SKP
1. Pemeriksaan dilakukan terhadap permohonan pengembalian
kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP selain:
a. PKP Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP),
b. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17 D UU
KUP),
c. PKP Resiko rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN).
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan Pajak harus menerbitkan
SKP paling lama 12 bulan sejak permohonan pengembalian
kelebihan Pajak diterima. Jangka waktu 12 bulan ini tidak berlaku
20. dalam hal terhadap PKP sedang dilakukanpemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
3. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan
dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir.;
d. Pemeriksaan Terhadap PKP Pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU
KUP, PKP Resiko Rendah
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan Pajak dapat melakukan pemeriksaan
kepada PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP, atau PKP yang
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17D UU KUP
2. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan; diterbitkan SKPKB,
PKP kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi persyaratan
tertentu wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
3. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB,
PKP berisiko rendah wajib membayar jumlah kekurangan Pajak
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar
21. 2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) UU KUP.