1. Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh Martin Heidegger dan berfokus pada eksistensi individu.
2. Eksistensialisme berawal dari pertanyaan Soren Kierkegaard tentang bagaimana menjadi diri sendiri secara autentik.
3. Pendekatan pembelajaran eksistensialisme menekankan dialog antara guru dan siswa agar siswa dapat berpikir secara kritis.
3. Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938).
Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche.
Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri
?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada
suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan
sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan
sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan
tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah,
keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
4. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena membantu dalam
memberikan informasi tentang hakekat peserta didik sebagai dirinya sendiri baik secara
horisontal maupun secara vertikal. Disisi lain, kajian filosofis memberikan informasi yang
berkaitan dengan pengetahuan, sumber pengetahuan, nilai dan Seperti bagaimanakah
pengetahuan itu diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh nilai tersebut.
Pendidikan disisi lain tidak bisa melepaskan tujuan untuk membentuk peserta didik yang
memiliki nilai-nilai mulai spritual, agama, kepribadian dan kecerdasan. Pendidikan kita
tidak sekedar menempatkan siswa sebagai alat produksi. Peserta didik harus dipandang
sebagai sumber daya yang utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik,
suatu teori yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan
IPTEK bertujuan menupang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. pendidikan tidak
memiliki basis pengembangan budaya yang jelas.
5. Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog
merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses
pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi
penguasanya. Selanjutnya, buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya
tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan
dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana
antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat
untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer
tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan
menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
6. Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan
makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan
banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang
mereka suka. Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk
memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide
yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing
siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat
bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia.
Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan
penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya. Guru harus mampu
membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti,
guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas
dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang
mata pelajaran.
7. Peran guru dalam hal ini dapat
digambarkan ketika guru menyajikan
sejumlah teori sosial terhadap siswa-
siswanya. Dalam hal ini isi pelajaran
adalah sosiologi. Para siswa akan
merasa kebingungan jika sajian-sajian
teori itu tidak tepat sasaran dan tidak
sesuai dengan situasi sosial lingkungan
sekitarnya. Mereka harus berpikir dua
kali untuk mengasosiasikan teori
dengan kenyataan hidupnya dan
selanjutnya mencerna teori sajian guru.
8. Tiga masalah pokok yang melatarbelakangi keengganan
siswa untuk mempelajari sosiologi
1. masalah teknik pembelajaran yang tidak membutuhkan
motivasi siswa. Seharusnya proses pembelajaran itu dapat
memacu keingintahuan siswa untuk membedah masalah-
masalah seputar lingkungan sosialnya sekaligus dapat
membentuk opini pribadi terhadap masalah-masalah
tersebut. Disini, mereka bukan lagi dianggap kertas kosong
atau pribadi yang menerima secara pasif, pribadi yang tidak
mengetahui apa-apa, melainkan pribadi yang telah
berinteraksi dengan lingkungan dan berhak untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
9. 2. Eksistensi guru bukan sebagai fasilitator yang
membelajarkan siswa, melainkan pribadi yang mengajar
atau menggurui siswa. Kalau hal ini menjadi prioritas
dengan pembelajaran, maka kesan negatif yang bisa
mematikan kreatifitas siswa pun timbul. Peran aktif siswa
dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya
sangat diutamakan. Guru hanya memfasilitasi siswa guna
mengikuti pola-pola kognitif dan memperlihatkan konsep
pengetahuannya itu dapat berlaku benar untuk setiap
keadaan.
3. Penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang
kurang interaktif dan atraktif. Yang diharapkan dari siwa
adalah menyenangi pelajaran, merasa membutuhkan ilmu
itu serta dapat melaksanakan pesan pembelajaran. Siswa
dapat menterjemahkan isi pesan itu kedalam ranah-ranah
kognitif karena dari situlah sumber kompetensi baginya dan
haluan evaluasi bagi guru siswa dapat memilih keahlian
afektif dan psikomotorik yang bisa diukur.
10. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri,
melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Siswa
memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan
di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat
akan menghasilkan akibat, dimana siswa harus menerima akibat-akibat
tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena
setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan
mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan
untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila siswa mengambil tujuan
individu atau kelompok, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan
tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai
dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi