Dokumen tersebut membahas tentang stunting di Indonesia dan peran kesehatan lingkungan dalam penurunannya. Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang. Dokumen ini menjelaskan faktor-faktor penyebab stunting seperti sanitasi dan kebersihan lingkungan serta strategi penanggulangannya melalui program STBM dan PKGBM.
2. STUNTING DI INDONESIA
1
ANALISIS FAKTOR KESEHATAN LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN STUNTING
2
PERAN KESEHATAN LINGKUNGAN DALAM PENURUNAN MASALAH
STUNTING
3
HARAPAN
4
KERANGKA PENYAJIAN
3. STANTING
Masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu yang cukup
lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi
4. - Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting
nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010
(35,6%) dan 2007 (36,8%). Artinya, pertumbuhan tak
maksimal diderita oleh sekitar 8 juta anak Indonesia, atau satu
dari tiga anak Indonesia.
- Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-
negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam
(23%), dan Thailand (16%).
- Indonesia menduduki peringkat ke-5 dunia utk anak dgn
kondisi stanting
STUNTING DI INDONESIA
5. Proporsi balita menurut Status Gizi
(TB/U & BB/TB) Thn 2007-2013
Kecenderungan Provinsi: 2007-2013
Proporsi Balita Stunting
mengapa ???
Sumber : Riskesdas, 2013
6. STUNTING BISA DICEGAH !
1. Pemenuhan kebutuhan gizi yang cukup bagi ibu
hamil.
2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur
6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu
merupakan upaya yang sangat strategis untuk
mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas
sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
7. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan.
Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang
jika ada intervensi yang terfokus pada perubahan
perilaku dalam sanitasi dan kebersihan. Intervensi
sanitasi dan kebersihan dengan jangkauan 99%
dilaporkan berdampak pada berkurangnya diare
sebesar 30%, yang kemudian menurunkan prevalensi
stunting sebesar 2,4%.
9. Faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula
untuk kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak, karena
anak usia di bawah dua tahun rentan terhadap berbagai infeksi
dan penyakit.
2 ANALISIS FAKTOR KESEHATAN LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN STUNTING
Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan
binatang dapat menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi
tersebut, disebabkan oleh praktik sanitasi dan kebersihan
yang kurang baik, membuat gizi sulit diserap oleh tubuh.
Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan memicu
gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kpd perlawanan tubuh menghadapi
infeksi.
10. Sebuah riset menemukan bahwa semakin sering seorang
anak menderita diare, maka semakin besar pula
ancaman stunting untuknya.
Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan
mereka pun berkurang, sehingga asupan gizi makin
rendah. Maka, pertumbuhan sel otak yang seharusnya
sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak
menjadi terhambat.
Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting,
yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan fisiknya
terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang
dengan maksimal.
13. STUNTING
Anak-anak di Bangladesh yang terakses
air minum bersih, jamban, serta fasilitas
CTPS pertumbuhan tinggi badannya 50%
bertambah lebih tinggi dibanding anak
yang tidak mendapat akses tersebut
(Lin A, et al. dalam Environmental Health Perspectives ; vol 122)
Hygiene dan sanitasi yang buruk menyebabkan
gangguan inflamasi usus kecil yang mengurangi
penyerapan zat gizi & meningkatkan permeabilitas usus
yang disebut juga Environmental Enteropathy (EE)
dimana terjadi pengalihan energi, yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan tetapi akhirnya
digunakan untuk melawan infeksi dalam tubuh. (EHP vol.122)
14.
15. Antara 17 - 27% risiko stunting berkurang dengan
adanya perbaikan air minum dan sanitasi
• Hubungan positif antara penyediaan air minum, perbaikan sanitasi,
dan/atau hygiene berbanding lurus dengan pertumbuhan fisik telah
dilaporkan oleh beberapa penelitian bukan melalui percobaan.
• Keluarga mempunyai akses jamban dikaitkan dengan keluarga yang
melakukan BABS mengurangi kemungkinan stunting sebesar 23-44%
pada anak-anak usia 6-23 bulan
Perbaikan kondisi sanitasi menghemat pengeluaran
Rp 40 trilyun
• Pengurangan belanja rumah tangga Rp 1.35 juta per KK/tahun
• Pengurangan angka diare
• Peningkatan produktifitas
Kondisi dengan sanitasi yang baik
16. Desentralisasi; kesenjangan antar wilayah cukup tinggi
Monitoring dan evaluasi terpadu terhadap pelaksanaan program
terkait mutlak diperlukan
TANTANGAN PENANGGULANGAN STUNTING
Koordinasi seluruh stakeholder terkait di semua level dari pusat
hingga kabupaten sangat menentukan keberhasilan menjawab
tantangan
17. Upaya-upaya untuk mencegah dan
mengurangi gangguan secara
langsung.
Kegiatan ini pada umumnya
dilakukan oleh sektor kesehatan.
Kegiatannya antara lain berupa
imunisasi, PMT ibu hamil dan
balita, monitoring pertumbuhan
balita di Posyandu.
Sasaran : kelompok khusus (Ibu
Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak
0-23 bulan).
Kontribusi: 30%
Upaya-upaya utk mencegah dan
mengurangi gangguan secara
tidak langsung.
Berbagai keg. pembangunan
pada umumnya non-kesehatan.
Kegiatannya a.l: penyediaan
air bersih, perbaikan sanitasi,
keg. penanggulangan
kemiskinan, dan kesetaraan
gender.
Sasaran: masyarakat umum.
Kontribusi: 70%
INTERVENSI SENSITIF
INTERVENSI SPESIFIK
17
INTERVENSI penanggulangan STUNTING
18. Maharashtra
Extraordinary things can happen
Economic
Growth
Poverty
reduction
Nutrition and
Health Missions
Improved Program
Performance
Frontline
nutrition staff
recruited
Nutrition
spending
stunting fell from 37% to 24% in 7 years
www.globalnutritionreport.org
20. “pendekatan untuk merubah perilaku higiene
dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat
dengan metode pemicuan”
Stop Buang Air Besar Sembarangan
Cuci Tangan Pakai Sabun
Pengelolaan Air Minum dn Makanan Rumah Tangga
Pengamanan Sampah Rumah Tangga
Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
21. Arah Kebijakan
STBM merupakan alat untuk memadukan kegiatan teknis dan
non teknis agar perubahan perilaku higienis dan saniter dapat
terjadi secara berkesinambungan
Apapun Programnya, STBM pendekatannya baik di perkotaan
maupun di Pedesaan
STBM adalah pendekatan untuk merubah
perilaku higienis dan saniter melalui
pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan
Tanpa
Subsidi (utk
sarana
individual),
Masyarakat
sebagai
pemimpin,
Tidak menggurui/
memaksa
Totalitas
seluruh
komponen
Permenkes No. 3 tahun 2014 tentang STBM
22. Strategi STBM
Peningkatan
Kebutuhan
• Pemicuan Perubahan
perilaku
Peningkatan akses
sanitasi
• Pemasaran sanitasi
Menciptakan
Lingkungan yang
kondusif
• Regulasi
• NSPK
• Advokasi
• Fasilitasi
5 Pilar STBM
1. Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)
2. Cuci tangan Pakai sabun (CTPS)
3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT)
4. Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT)
5. Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLRT)
Permenkes No. 3 tahun 2014 tentang STBM
Memutus mata rantai penularan penyakit dan keracunan
25. PROYEK KESEHATAN DAN GIZI
BERBASIS MASYARAKAT (PKGBM)
untuk menurunkan prevalensi stunting
di 11 provinsi (64 kabupaten)
DILAKUKAN PENDEKATAN MELALUI
KOLABORASI GIZI DAN SANITASI
26. Sanitasi dalam
Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM)
•Pendekatan yang dipilih: Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
•Wilayah Proyek: 11 Provinsi, 64 Kabupaten, 499 kecamatan dan 704 Puskesmas
27. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS)
Cuci Tangan Pakai
Sabun (CTPS)
dengan air bersih
yang mengalir
Menggunakan
jamban sehat
Menggunakan
air bersih
Siapa yang
bertanggung
jawab terhadap
akses air bersih??
Siapa yang bertanggung
jawab terhadap
penyediaan akses
terhadap jamban sehat
di masyarakat??
Editor's Notes
Pada kesempatan yang berbahagia ini Saya sampaikan apresiasi kepada Gugus Tugas Tingkat Nasional - Gerakanan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi atas inisiatif dan kontribusinya dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan Sumber Daya Manusia termasuk didalamnya pembangunan kesehatan dan gizi di Indonesia. Saya berharap agar peran ini dapat semakin ditingkatkan di masa mendatang demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai bagian dari kesejahteraan masyarakat yang kita cita-citakan.
Pada kesempatan yang baik ini, Saya akan menyampaikan Keynote berjudul: Peran Gizi dalam Pembangunan Kualitas Hidup Manusia Indonesia.
Environmental enteropathy, also known as tropical enteropathy, is a condition (subclinical disorder) believed to be due to frequent intestinal infections.[1] There are often minimal acute symptoms.[1] There may be chronic problems with absorbing nutrients which may result in malnutrition and growth stunting in children.[1] It may be the chronic form of tropical sprue which is usually brief and presents with diarrhea.[1] Environmental enteropathy results in a number of changes in the intestines including: smaller villi, larger crypts (aclled crypt hyperplasia), increased permeability, and inflammatory cell build-up within the intestines. These changes result in poor absorption of food, vitamins and minerals - or "modest malabsorption".[2]
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2014 menyebutkan bahwa STBM adalah Pendekatan untuk merubah perilaku higienes dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara “pemicuan”. Pemicuan merupakan cara untuk mendorong perubahan perilaku higienis dan saniter individu atau masyarakat atas kesadaran sendiri dengan menyentuh perasaan, pola pikir, perilaku dan kebiasaan individu atau masyarakat. Setelah pemicuan perlu dilakukan pendampingan pasca pemicuan. Pendampingan dilakukan mulai tahap pra kosntruksi, konstruksi dan pasca konstruksi.
Sehubungan dengan hal tersebut STBM merupakan pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mendukung terjadinya perubahan perilaku mengacu kepada perilaku 5 pilar STBM (SBS, CTPS, PMMRT, PSRT, PLRT) pada semua program sanitasi baik skala individual, komunal, kawasan maupun skala kota.
Pengalaman membuktikan bahwa pembangunan sarana/prasarana/layanan sanitasi saja tanpa didukung pendekatan STBM menyebabkan banyak sarana/prasarana/layanan sanitasi skala komunal yang dibangun tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat.
Apabila pendekatan STBM dilakukan dengan benar dapat meningkatkan akses layanan sanitasi baik individual, komunal, kawasan maupun skala kota secara berkelanjutan.
Untuk Merubah perilaku terdapat 5 komponen perubahan perilaku yang harus ada antara lain:
Persepsi Resiko
Kemampuan dan keyakinan diri
Efektivitas Penyelesaian masalah
Sarana/Prasarana/Layanan Sanitasi
Dukungan dari keluarga, masyarakat, lingkungan, hukum
Apabila semua komponen sudah terpenuhi akan terjadi perubahan perilaku yang diharapkan.