1. Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi
yang tertinggi di Indonesia. Penyakit yang disebut sebagai “ disease of theories “ ini masih
sulit untuk ditanggulangi. Preeklampsia dikenal dengan nama “Toksemia Gravidarum” yang
merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ yang ditandai adanya hipertensi, edema
dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8%
- 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih dari tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%, sebaliknya
kematian ibu dan bayi di negara-negara maju lebih kecil. Hal ini disebabkan karena di
1
2. negara-negara maju terdapat kesadaran untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan natal
secara rutin1
.
Korioamnionitis merupakan infeksi pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau
uterus yang timbul segera sebelum atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri1,2
.
Penelitian membuktikan bahwa insiden dari infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua
persalinan, penelitian lain mengemukakan insiden terjadi pada sekitar 5% kehamilan cukup
bulan3
. Korioamnionitis merupakan penyebab terpenting terjadinya peningkatan morbiditas
maternal dan mortalitas perinatal. Pada ibu juga dapat menyebabkan sepsis, endometritis
pasca persalinan dan infeksi luka4
. Korioamnionitis disebutkan sebagai salah satu faktor
penyebab utama dari persalinan preterm2
.
Penyakit jantung dapat menjadi salah satu faktor penyebab kematian ibu. Penyakit ini
berpengaruh sekitar 1 % pada kehamilan. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit, penyakit jantung adalah penyebab utama kematian pada wanita yang berusia 25
hingga 44 tahun. Gangguan jantung bervariasi tingkat keparahannya dan mempersulit sekitar
1% dari kehamilan serta memberikan kontribusi yang signifikan terhadap morbiditas dan
mortalitas ibu. Sebagai contoh dari Brasil, dilaporkan angka kematian ibu menjadi 2,7 %
dalam 1000 kehamilan dengan komplikasi penyakit jantung.
Setiap tahunnya diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh dunia
dimana 57% diantaranya merupakan kematian fetal atau intrauterine fetal death (IUFD).
Sekitar 98% dari kematian perinatal ini terjadi di negara yang berkembang. 5,6
. Kematian
janin dapat terjadi antepartum atau intrapartum dan merupakan komplikasi yang paling
berbahaya dalam kehamilan 7,8,9
. WHO dan American College of Obstetricians and
Gynecologist menyatakan Intra Uterine Fetal Death ( IUFD ) adalah kematian pada fetus
dengan berat lahir 500 gram atau lebih. 7
Menurut United States National Center for Health
Statistic, kematian janin atau fetal death dibagi menjadi Early Fetal Death, kematian janin
yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, Intermediate Fetal Death, kematian
janin yang berlangsung antara usia kehamilan 20-28 minggu dan Late Fetal Death, kematian
janin yang berlangsung pada usia lebih dari 28 minggu. Angka kematian janin termasuk
dalam angka kematian perinatal yang digunakan sebagai ukuran dalam menilai kualitas
pengawasan antenatal. Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial baik dari faktor fetal,
maternal, plasenta maupun iatrogenik dengan 25 – 35 % kasus tidak diketahui penyebabnya.
Untuk dapat menentukan penyebab pasti harus dilakukan pemeriksaan autopsi.
Pada laporan kasus ini, penulis akan menyajikan kasus mengenai seorang wanita 25
2
3. tahun G2P1A0 Hamil 38 minggu riwayat sc 1x dengan preeklamsia berat dan HELLP
Syndrome, sepsis susp. Korioamnionitis, CHF NYHA kelas II, dan janin IUFD.
BAB II
PEMBAHASAN UMUM
II. 1 PRE EKLAMPSIA DAN HELLP SYNDROME
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, oedema disertai proteinuria akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini
dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.
Pada preeklampsia terjadi defisiensi plasentasi. Terjadi kegagalan pada invasi
trofoblas, sehingga ‘perubahan fisiologis’ pada arteri spiralis tidak terjadi. Perubahan
hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis
segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu ditemukan pula
3
4. adanya hyperplasia tunika media dan thrombosis. Garis tengah arteri spiralis 40% lebih
kecil dibandingkan pada kehamilan normal, hal ini menyebabkan tahanan terhadap aliran
darah bertambah dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia.
Faktor risiko preeklampsia adalah:
1. Nullipara
2. Kehamilan ganda
3. Obesitas
4. Riwayat keluarga preeklampsia – eklampsia
5. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. Diabetes mellitus gestasional
7. Adanya trombofilia
8. Adanya hipertensi atau penyakit ginjal
II.1.1 Patofisiologi PEB
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila dianggap bahwa
spasmus arteriolar juga ditemukan diseluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa
tekanan darah yang meningkat nampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan
tahanan perifer, agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Telah diketahui bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin
yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Kurang
lebih sepertiga pasien dengan preeklampsia akan terjadi pembalikan ritme
diurnalnya, sehingga tekanan darahnya akan meningkat pada malam hari.
Pengendalian garam dan homeostasis juga meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu tapi pada derajat mana
hal ini terjadi adalah sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin dijumpai
adanya oedem. Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang
20%. Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin
merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia
maupun perdarahan otak.
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
4
5. pertanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-
rata berkurang 20% (dari 750 ml menjadi 600ml/menit) dan filtrasi glomerulus
berkurang rata-rata 30% (dari 170 menjadi 120ml/menit) sehingga terjadi
penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit
kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. Pada kehamilan normal renin
plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II dan aldosteron semuanya meningkat.
Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin dan
aldosteron, namun keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsi. Sperof (1973)
menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah iskemi uteroplasenter,
dimana terjadi ketidak seimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi sirkulasi darah plasentanya yang berkurang. Apabila terjadi
hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang mengakibatkan
vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah, disamping itu
angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin
sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus. Glomerulus filtration rate
(GFR) dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsi tapi karena hemodinamik
pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, maka nilai pada preeklampsi
masih diatas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat
juga menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada
GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan
pengeluaran protein, biasanya ringan sampai sedang, namun preeklampsia
merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada kehamilan.
Kematian ibu pada preeklampsi dan eklampsi biasanya oleh karena edema
paru yang menimbulkan dekompensasi cordis. Dapat dijumpai adanya edema dan
spasme pembuluh darah. Adanya perubahan peredaran darah dalam pusat
penglihatan dikorteks serebri atau dalam retina yang menimbulkan gejala skotoma,
diplopia dan ambliopia.
II.1.2 Manifestasi Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan
proteinuria. Pada waktu keluhan seperti oedema, sakit kepala, gangguan
penglihatan atau nyeri epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah
berat.
5
6. Kelainan dasar pada preeklampsi adalah vasospasme arteriol, sehingga tidak
mengherankan bila tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah
peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik mungkin merupakan tanda
prognostik yang lebih andal dibandingakan tekanan sistolik, dan tekanan diastolik
sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal.
Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dapat mendahului serangan
preeklampsia, dan bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda
pertama preeklampsia pada wanita. Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg
perminggu adalah normal tetapi bila melebihi dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg
dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus dicurigai.
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama disebabkan oleh
retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala edem non
dependen yang terlihat jelas, seperti kelopak mata yang membengkak, kedua
tangan atau kaki yang membesar.
Pada preeklampsia awal, proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak
ditemukan sama sekali. Pada kasus yang paling berat, proteinuria biasanya dapat
ditemukan dan mencapai 10 gr/lt. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian
dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya lebih belakangan daripada kenaikan
berat badan yang berlebihan.
Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak
sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran
kanan atas merupakan keluhan yang sering ditemukan preeklampsi berat, Keluhan
ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat oedem atau
perdarahan. Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan
sebagian atau total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan ptekie
pada korteks oksipital.
II.1.3 Klasifikasi
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi
dan proteinuria. Kriteria lebih lengkap digambarkan oleh Working Group of the
NHBPEP ( 2000 ) seperti digambarkan dibawah ini:
Disebut preeklampsia berat bila terdapat:
1. Tekanan darah >160 / 110 mmHg.
6
7. 2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) ≥ 2 gr / 24 jam, atau dipstick ≥ +2.
3. Trombosit < 100.000 / mm3
.
4. Hemolisis mikroangiopathi ( peningkatan LDH )
5. Peningkatan SGOT / SGPT.
6. Adanya sakit kepala hebat atau gangguan serebral, gangguan penglihatan.
7. Nyeri di daerah epigastrium yang menetap.
Problem Mild Pre-Eclampsia Severe Pre-Eclampsia
Blood Pressure >140/90 >160/110
Proteinuria 1+ (300 mg/24 hours) 2+ (1000 mg/24 hours)
Edema +/- +/-
Increased reflexes +/- +
Upper abdominal pain - +
Headache - +
Visual Disturbance - +
Decreased Urine Output - +
Elevation of Liver Enzymes - +
Decreased Platelets - +
Increased Bilirubin - +
Elevated Creatinine - +
Ii.1.4 Penanganan Peb (Preeklampsia Berat)
Untuk preeklampsia yang berat, dapat ditangani secara aktif atau konservatif.
Aktif berarti: kehamilan diakhiri atau diterminasi bersamaan dengan terapi
medikamentosa. Konservatif berarti: kehamilan dipertahankan bersamaan dengan
terapi medikmentosa.
1. Penanganan aktif
Ditangani aktif bila terdapat satu atau lebih kriteria berikut: ada tanda-
7
8. tanda impending eklampsia, HELLP syndrome, tanda-tanda gawat janin, usia
janin 35 minggu atau lebih dan kegagalan penanganan konservatif. Yang
dimaksud dengan impending eklampsia adalah preeklampsia berat dengan satu
atau lebih gejala: nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium dan kenaikan tekanan darah progresif.
Terapi medikamentosa:
a. Diberikan anti kejang MgSo4, cara pemberian: dosis awal 4 gr iv (40%
dalam 10 cc) dalam 15 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
sebanyak 6 gram per jam drip infus larutan RL. Syarat pemberian MgSO4:
frekuensi nafas > 16x/menit, tidak ada tanda-tanda gawat nafas, diuresis
>100 ml dalam 4 jam sebelumnya dan refleks patella positif. Siapkan juga
antidotumnya, yaitu: Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NACL 0,9% IV,
dalam 3 menit).
b. Antihipertensi: nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg oral. Bila dalam 2
jam belum turun, dapat diberikan 10 mg lagi.
c. Siapkan juga oksigen dengan nasal kanul 4-6 L /menit.
Terminasi kehamilan dapat dilakukan bila penderita belum inpartu,
dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter foley
atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak
terpenuhi atau ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
2. Penanganan konservatif
Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsia dengan kondisi janin baik, dilakukan penanganan
konservatif.
Medikamentosa: sama dengan penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila
tidak ada tanda-tanda preeklampsia berat, selambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini harus dianggap
sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera diterminasi. Jangan lupa
diberikan oksigen dengan nasal kanul 4-6 L/menit.
II.1.5 HELLP Syndrome
Sindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu
8
9. komplikasi pada preeklampsia – eklampsia berat. Kehamilan yang
dikomplikasikan dengan sindroma HELLP juga sering dikaitkan dengan keadaan –
keadaan yang mengancam terjadinya kematian ibu, termasuk DIC, oedema
pulmonaris, ARF, dan berbagai komplikasi hemoragik. Ciri – ciri dari HELLP
syndrome adalah nyeri ulu hati, mual dan muntah, sakit kepala, tekanan darah
diastolik ≥ 110 mmHg, menampakkan adanya oedema
HELLP syndrome dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian:
1. Mississippi, dibagi menjadi 3 kelas:
• Thrombositopenia
- Kelas 1: ≤ 50.000 / μl
- Kelas 2: > 50.000 ≤ 100.000 / μl
- Kelas 3: > 100.000 ≤ 150.000 / μl
• Disfungsi hemolisis - hepatis
- LDH ≥ 600 IU / L
- SGOT dan / atau SGPT ≥ 40 IU / L
- Ciri – ciri tersebut harus semua terdapat
2. Tennessee, dibagi menjadi 2 kelas:
• Complete
- Trombosit < 100.000 / μl
- LDH ≥ 600 IU / L
- SGOT ≥ 70 IU / L
• Parsial
- Hanya satu dari ciri – ciri di atas yang muncul
Penanganan sindroma HELLP pada dasarnya sama dengan pengobatan pada
preeklampsia – eklampsia berat, ditambah dengan pemberian kortikosteroid dosis
tinggi yang secara teoritis dapat berguna untuk :
1. Dapat meningkatkan angka keberhasilan induksi persalinan dengan
memberikan temporarisasi singkat dari status klinis maternal.
2. Dapat meningkatkan jumlah trombosit dan mempertahankannya secara
konvensional agar dapat dilakukan anestesi regional untuk persalinan vaginal
maupun abdominal.
9
10. Dosis yang digunakan untuk antepartum adalah dexametasone 2 x 10 mg
sampai persalinan. Sedangkan untuk post partum adalah 2 x 10 mg sebanyak 2
kali, dilanjutkan dengan 2 x 5 mg sebanyak 2 kali, setelah itu dihentikan.
II.2 KORIOAMNIONITIS
Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan
amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari
chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus
preterm.1
Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari
traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau
rektum dan menjalar ke uterus. Faktor resiko terjadinya korioamninitis adalah kelahiran
prematur atau ketuban pecah lama. Mycoplasma genital, seperti ureaplasma urealyticum
dan mycoplasma hominis (genital mycoplasma), organisme ini memicu efek reaksi
inflamasi mempengaruhi ibu dan fetus khususnya pada umur kehamilan preterm. Bakteri
anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti Gardnerella vaginalis
dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B Streptococcus (GBS 15 %) dan
bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli. Organisme-organisme ini merupakan
flora normal vagina dan flora normal enterik. Biasanya korioamnionitis disebabkan oleh
penyebaran secara hematogen ke placenta karena bakteri dan virus.3
10
11. Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi
korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya
disebabkan oleh infeksi secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia bawah
(cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi
iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang
menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi.
Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal
sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari
ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis
dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan
membrane dan persalinan aterm atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat
menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan
kerusakan pada serebral pada white matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral
palsy dan kelainan neurological jangka pendek dan jangka panjang lainnya. 3
Mekanisme
pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion, namun
mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi.
Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan
membrannya memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian
amnion dan fetus. Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir
yang merupakan flora normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen.3
Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain
demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar
dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala
tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa
dengan ultrasound dan kardiotokografi1
. Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi
sebagai demam pada ibu dengan suhu 38 celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan
pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya
disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh
takikardi ibu (> 100 x/menit) dan janin (> 160 x/menit), lokia berbau busuk, dan nyeri
tekan fundus. Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk
mendiagnosis korioamnionitis.3
11
12. Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur
pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya
dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila
tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu
dilakukan). Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis
dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan memperediksi kematangan paru.3
Kultur Pertumbuhan mikroba
Pewarnaan gram Bakteri atau leukosit
Kadar glukosa <15 mg/dl
IL-6 >7,9 mg/ml
Matrix metalloproteinase +
Jumlah leukosit >30/mm
Leukosit esterase Positif (dipstick)
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik,
dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Salah satu regimen korioamnionitis
adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis
awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari.
Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk
operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan
vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang
bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum. Bila janin
telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam (seksio
sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan.1
Berikan
uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah /
menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding
uterus.3
Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara
perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses
pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum
hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena
adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang
positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi
12
13. lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang terjadi.(3)
Paparan
infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan beberapa
komplikasi postnatal lainnya. Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan
inflamasi dapat menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers
yang muncul termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock,
pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan
kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.3
II.3 CHRONIC HEART FAILURE
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis akibat
penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan air yang
abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat terjadi dalam paru atau
sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal jantungnya pada sisi
kanan atau menyeluruh.10
II.3.1 Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban
akhir (afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kardiomiopati.11
Faktor-faktor yang mengganggu pengisian
ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal
jantung.
II.3.2 Klasifikasi
The New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas
fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
13
14. 2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.12
II.3.3 Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks,
biomarker, dan ekokardiografi Doppler. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut
Framingham Heart Study :
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
14
15. 5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
• Pemeriksaan Penunjang :
o Laboratorium Darah (darah lengkap, kimia darah)
o Elektrokardiogram Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG)
dapat menunjukkan bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia
o Foto thoraks untuk mengetahui ukuran dan bentuk siluet jantung, serta
edema di dasar paru- paru13
. Pada gagal jantung hampir selalu ada
dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan
pembesaran pada jantung.
II.3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung
baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki
prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi
serta beratnya kondisi. Medikamentosa yang dapat diberikan, yaitu:
a. Diuretik
Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif
yang tidak dapat dikontrol dengan retriksi natrium dan merupakan obat lini
terdepan untuk pengobatan hipertensi. Tidak satu diuretik pun merupakan
kontra indikasi dan yang paling sering digunakan adalah golongan diuretik
tiazid dan forosemid. Diuretik tidak boleh digunakan untuk profilaksis
terhadap toksemia atau pengobatan terhadap edema pedis.10,14
Diuretik
diberikan untuk mengurangi gejala-gejala dispnea nokturnal paroksismal dan
exertional dan edema perifer yang nyata dalam kehamilan. Sebuah diatesis
perdarahan dan hiponatremia telah dilaporkan pada neonatus dari ibu yang
15
16. telah mengkonsumsi diuretik thiazide selama kehamilan.
b. Vasodilator
Bila diperlukan pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload
dan preload emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan.
Rekomendasi yang kontroversi telah dibuat karena obat ini sangat efektif,
bekerja segera, dan mudah ditoleransi. Namun, nitroprusside natrium harus
digunakan hanya ketika semua intervensi lain telah gagal dan ketika itu sangat
penting untuk kesejahteraan ibu. ACE inhibitor merupakan kontra indikasi
pada kehamilan karena obat ini menambah risiko untuk terjadinya kelainan
pada perkembangan ginjal janin. Hingga kini, tidak ada data yang melaporkan
mengenai penggunaan losartin, valsartin, dan penghambat angiotensin II.10
c. Obat Penghambat Reseptor Adrenergik
Beta blockers umumnya aman dan efektif selama kehamilan, walaupun
mungkin ada tingkat peningkatan pembatasan pertumbuhan janin ketika
mereka diberikan. Propranolol, labetalol, atenolol, nadolol, dan metoprolol
diekskresikan dalam ASI.
d. Obat Anti Aritmia
Penghambatan nodus atrioventrikuler (AV node) kadang-kadang
diperlukan semasa kehamilan. Untuk itu dapat digunakan digoksin, penyekat
beta, dan penyekat kalsium. Obat ini umumnya lebih disukai untuk
menghindarkan penggunaan obat anti aritmia standar pada pasien semasa
kehamilan. Bila diperlukan untuk aritmia berulang atau untuk keselamatan ibu,
maka dapat digunakan.10
e. Antikoagulasi
Fenomena tromboembolik tidak jarang merupakan komplikasi CHF. Lebih
lanjut, pasien hamil bahkan tanpa penyakit jantung akan mengalami
peningkatan risiko untuk terjadinya thromboemboli. Sebagai contoh, kejadian
tromboemboli vena mungkin sebanyak 5 kasus dalam 1.000 kelahiran dan
selanjutnya meningkat setelah melahirkan.10,14
Bila diperlukan antikoagulan, sebagian penulis menganjurkan
menggunakan heparin untuk trimester pertama dan kemudian dilanjutkan
dengan pemberian warfarin pada lima bulan berikutnya, dan kembali lagi
menggunakan heparin sebelum melahirkan. Walaupun kehamilan yang sukses
dapat dicapai dengan cara ini, penulis memilih untuk menghindarkan
16
17. penggunaan warfarin selama kehamilan. Baik heparin atau warfarin tidak
disekresikan ke dalam ASI dan karena itu tidak menimbulkan efek
antikoagulan pada bayi yang menkonsumsi ASI. Akibatnya, kedua obat
tersebut dapat digunakan pada periode postpartum.14
II.4. INTRA UTERINE FETAL DEATH (IUFD)
WHO dan American College of Obstetricians and Gynecologist (1995)
menyatakan Intra Uterine Fetal Death ( IUFD ) ialah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih tau kematian janin dalam rahim pada kehamilan
20 minggu atau lebih. 15,16
Peningkatan usia maternal akan meningkatkan risiko IUFD.
Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50% lebih tinggi akan terjadinya IUFD
dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29 tahun. Risiko terkait usia ini cenderung
lebih berat pada pasien primipara dibanding multipara. Alasan yang mungkin dapat
menjelaskan sebagian risiko terkait usia ini adalah insiden yang lebih tinggi akan
terjadinya kehamilan multiple, diabetes gestasional, hipertensi, preeklampsia dan
malformasi fetal pada wanita yang lebih tua. Berat maternal pada kunjungan antenatal
care juga mempengaruhi risiko IUFD. Hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan
IUFD telah dilaporkan oleh Little dan Cnattingius. Stephansson dkk dalam studi kasus
kontrol terhadap 700 primipara dengan IUFD dan 700 kontrol melaporkan bahwa
primipara yang mengalami kelebihan berat badan(IMT 25-29,9) ternyata memiliki risiko
dua kali lipat akan terjadinya IUFD dibandingkan wanita dengan IMT ≤ 19,9. Risiko ini
akan jauh berlipat pada primipara obesitas (IMT ≥ 30). Faktor sosial seperti status
sosioekonomi dan edukasi juga mempengaruhi risiko terjadinya IUFD. Mereka yang
berada dalam status sosioekonomi rendah ternyata memiliki risiko dua kali lipat
menderita IUFD.15
II.4.1 ETIOLOGI
1. Intrauterine Growth Restriction (IUGR)
Hubungan berat badan kelahiran rendah dan kematian perinatal juga telah
ditegaskan. Janin IUFD juga rata-rata memiliki berat badan yang kurang dibanding
janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal ini disebabkan karena
proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi kausa yang sama dengan
insufisiensi plasenta. 15
IUGR diketahui berhubungan dengan kehamilan multipel,
17
18. kehamilan post term, malformasi kongenital, kelainan kromosom fetal dan
preeklampsia.
2. Penyakit Medis Maternal
Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dapat meningkatkan risiko IUFD. Sebagian
besar IUFD terkait diabetes terjadi akibat kendali glikemi yang tidak baik dan
komplikasi makrosomia, polihidramnion, restriksi pertumbuhan janin intrauterine
dan pre-eklampsia. Penyakit hipertensif (hipertensi gestasional, preeklampsia,
hipertensi kronis dan superimposed pre-eklampsia) merupakan komplikasi medis
yang sering dijumpai pada kehamilan dan memicu morbiditas dan mortalitas yang
bermakna. 15
3. Komplikasi Plasenta dan Tali pusat
Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke janin,
sehingga dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian.
Kompresi tali pusat. 17
Lilitan tali pusat juga pernah dilaporkan sebagai salah satu penyebab
kematian pada janin. Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan warna pada
tubuh janin yang berhubungan dengan keadaan hipoksia janin yaitu kekurangan
oksigen akibat tertekannya arteri umbilikalis. 17
18
19. Lilitan tali pusat. 17
Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta
adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus,
dilaporkan sebanyak 12 % menyebabkan IUFD. 18
4. Infeksi
Plasenta dan janin dapat terinfeksi baik melalui transmisi transplasental
(hematogen) maupun melalui ascending infection dari vagina. Proporsi IUFD
terkait infeksi dilaporkan berkisar 6-15 % dari seluruh kasus IUFD.
Korioamnionitis akibat infeksi kandida juga dipertimbangkan dapat memicu IUFD.
Kematian janin akibat sepsis maternal berat dengan trombosis pada plasenta dan
IUFD juga sering dilaporkan.15
Infeksi dapat memicu pecahnya ketuban sebelum
waktunya yang mengakibatkan persalinan pre-term bahkan dapat berakhir dengan
kematian janin.
II.4.2 KLASIFIKASI
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin dapat
dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: 16, 19
1. Golongan I : kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh (early
fetal death)
2. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal death)
3. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal death)
19
20. 4. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di atas.
II.4.3 DIAGNOSIS
1. Anamnesis :
• Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.
• Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
• Perut sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti ingin melahirkan
• Penurunan berat badan
2. Pemeriksaan Fisik :
• Inspeksi : Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih
rendah dari usia kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan
janin.
• Palpasi : Tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid. Tidak teraba
gerakan-gerakan janin.
• Auskultasi : Tidak terdengarnya denyut jantung janin pada pemeriksaan
ultrasonic Doppler merupakan bukti kematian janin yang kuat.
3. USG :
USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk
memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa
tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin dan cairan
ketuban berkurang.
II.4.4 PENATALAKSANAAN
1. Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai servik yaitu
a. Jika servik matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin
atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan amniotomi karena berisiko
infeksi
c. Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir (hanya
dilakukan pada kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC ( dua
atau lebih) dan letak lintang).
2. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan serviks
20
21. belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol:
a. Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi
50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan
melebihi 4 dosis.
3. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika.
4. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
5. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi
plasenta dan infeksi .
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Identitas Pasien :
• Nama : Ny. N
• Usia : 25 tahun
• Alamat : Jl. Pisangan baru timur RT 09/ RW 09, Matraman
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Pendidikan : Tamat SMP
• Status Pernikahan : Menikah
Identitas Suami :
• Nama : Tn. S
• Umur : 31 tahun
21
22. • Alamat : Jl. Pisangan baru timur RT 09/ RW 09, Matraman
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Cleaning service
• Pendidikan : Tamat SMP
• Status Pernikahan : Menikah
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 08 Desember 2013 pukul 00.00 di
bangsal Kebidanan RSUD Budhi Asih.
Keluhan utama
Os datang dengan keluhan terasa mulas dan perut terasa kencang sejak 7 jam SMRS.
Keluhan Tambahan : Keluar air-air ketuban dan darah, demam, sesak nafas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan mulas dan perut terasa kencang
sejak 7 jam SMRS, mules terasa makin lama makin sering (sekitar 2x dalam 10 menit dengan
durasi < 1 menit). Os mengaku keluar air ketuban 3 jam SMRS, tetapi sebelumnya sudah
sering keluar air-air sejak seminggu yang lalu namun tidak sebanyak yang sekarang, cairan
ketuban yang keluar berwarna kehijauan encer dan agak bau. Os juga mengaku keluar darah
sedikit dirasakan saat 3 jam SMRS. Os mengaku selama hamil pernah beberapa kali anyang-
anyangan ketika BAK, tetapi tidak diobati hanya dengan banyak minum bisa hilang dan BAK
normal lagi.
Os juga mengeluh demam tinggi tiba - tiba sejak 1 hari SMRS, demam terus menerus
dan tidak turun walaupun diberi obat. Os juga merasa sesak berbarengan dengan mules yang
dirasakan, sesak yang dirasakan terus menerus dan membaik dengan posisi pasien ½ duduk,
sesak tidak disertai dengan bunyi ngik-ngik, saat sesak juga Os merasa nyeri di ulu hatinya
serasa ingin muntah, Os tidak mengaku adanya batuk, pilek, sakit tenggorokan atau sering
sesak sebelumnya, Os hanya mengaku sering cape jika naik tangga atau berjalan jauh dan jika
tertidur lebih enak menggunakan bantal yang agak tinggi (2 bantal).
Os mengaku selama ini periksa kehamilan di puskesmas jatinegara 4 kali dan dirujuk
22
23. ke RSUD Budhi Asih karena tensi tinggi dan riwayat SC 1 kali, di RSUD Budhi Asih os telah
periksa kehamilan 4 kali. Os mengaku tensinya mulai tinggi saat usia kehamilan 8 bulan,
sebelumnya tensi normal baik saat hamil ataupun tidak hamil pada awalnya Os sering merasa
pusing tapi sekarang tidak dirasakan. Os mengaku kaki mulai bengkak saat usia kehamilan 9
bulan. Os tidak mengeluh adanya kejang.
Os mengaku ini kehamilannya yang kedua setelah 4 tahun menikah, anak pertama
laki-laki lahir tahun 2010 secara SC atas indikasi ketuban habis dengan berat 2700 gr. Os
pernah di USG pada tanggal 20 November 2013 di RSUD Budhi Asih dengan hasil USG
G2P1A0 hamil 35 minggu janin hidup intrauterin dengan letak oblique. Os mengaku tidak
pernah mengalami keluhan mual maupun muntah yang berlebihan serta perdarahan pada
kehamilan muda dan pada kehamilan tua os tidak pernah mengalami perdarahan. Os
direncanakan untuk menjalani operasi sectio caesarea (SC) pada tanggal 16 Desember 2013.
Riwayat menstruasi
• Menarche : 14 tahun
• Siklus haid : 28 hari
• Banyaknya : 2 pembalut/hari
• Nyeri haid : Tidak ada
• HPHT : 13 Maret 2013
• TP : 20 Desember 2013
Riwayat pernikahan
Os menikah 1 kali, saat ini usia pernikahan sudah 4 tahun.
Riwayat kehamilan
Os mengaku ini adalah kehamilannya yang kedua dan tidak pernah keguguran
sebelumnya. (G2P0A0).
Riwayat KB
Os mengaku menggunakan kontrasepsi suntik selama menikah, os mulai
menggunakan KB sejak anak pertama lahir dan berhenti saat ingin mempunyai anak lagi 1
tahun yang lalu, selama menggunakan KB os merasa menstruasi terganggu.
23
24. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, asma dan alergi terhadap makanan dan
obat tertentu disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga Os ada yang menderita penyakit diabetes mellitus yaitu kakeknya.
Hipertensi, Penyakit jantung, Asma disangkal
Riwayat Pembedahan
Os pernah menjalani operasi sectio cesaria pada tahun 2010
Riwayat Kebiasaan
Os menyangkal kebiasaan minum alkohol, merokok dan menggunakan obat-obatan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 08 Desember 2013 di Bangsal Kebidanan RSUD Budhi Asih.
Kesadaran : compos mentis
Keadaan gizi : obese grade III
Status gizi : BB 113 kg TB 158 cm IMT 45,2
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Nadi : 124 x/menit
Suhu : 39,3 0
C
Pernafasan : 32 x/menit
Status Generalis
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Paru : vesikuler +/+, rhonki basah halus+/+, tidak ada wheezing
Jantung : BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen : buncit, lemas, hati limpa tidak teraba, bunyi usus (+) normal, massa (-), nyeri
24
25. tekan (+) di epigastrium
Ektremitas : akral hangat, edema (+), capillary refill time < 2”
Status obstetri
• Inspeksi :
• Odema(-), chloasma gravidarum (-)
• Abdomen buncit arah memanjang, striae livide (-) linea nigra (+)
• Palpasi :
• Teraba his
• Leopold I : Fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus.
Tinggi fundus uteri 39 cm, teraba bagian bulat dan lunak.
• Leopold II : Sebelah kiri teraba bagian memanjang, teraba keras dan
datar. Pada bagian kanan teraba bagian kecil janin.
• Leopold III : Teraba bagian besar, bulat, keras dan melenting.
• Leopold IV : Teraba bagian janin belum masuk pintu atas panggul (PAP)
• Auskultasi : Denyut jantung janin (+) 192-199 x/menit (pukul 00.00 WIB),
denyut jantung tidak terdengar (pukul 05.45 WIB)
• Pemeriksaan dalam : Portio teraba tebal dan lunak, pembukaan sekitar 3 cm, teraba
ketuban dan kepala setinggi bidang Hodge I, tes Lakmus (+).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
• Hematologi rutin (7 Desember 2013)
• Hb 10,8 13 – 16 g/dl
• Ht 34 40 – 48 %
25
28. Kesan : tampak pembersaran jantung (CTR > 50%)
V. RESUME
Os datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan mulas dan perut terasa kencang
sejak 7 jam SMRS. Os mengaku keluar air ketuban 3 jam SMRS, tetapi sebelumnya sudah
sering keluar air-air sejak seminggu yang lalu namun tidak sebanyak yang sekarang, cairan
ketuban yang keluar berwarna kehijauan encer dan agak bau. Os juga mengaku keluar darah
sedikit dirasakan saat 3 jam SMRS. Os selama hamil beberapa kali mengalami anyang-
anyangan ketika BAK. Os juga mengeluh demam tinggi tiba - tiba sejak 1 hari SMRS,
demam terus menerus dan tidak turun walaupun diberi obat. Os juga merasa sesak
berbarengan dengan mules yang dirasakan, sesak yang dirasakan terus menerus dan membaik
dengan posisi pasien ½ duduk, Os merasa nyeri di ulu hatinya serasa ingin muntah, Os
mengaku sering cape jika naik tangga atau berjalan jauh dan jika tertidur lebih enak
menggunakan bantal yang agak tinggi (2 bantal).
Os mengaku selama ini periksa kehamilan di puskesmas jatinegara 4 kali di RSUD
Budhi Asih 4 kali. Os mengaku tensinya mulai tinggi saat usia kehamilan 8 bulan. Os
mengaku kaki mulai bengkak saat usia kehamilan 9 bulan. Os mengaku ini kehamilannya
yang kedua setelah 4 tahun menikah. Os direncanakan untuk menjalani operasi sectio
caesarea (SC) pada tanggal 16 Desember 2013.
• Tanda vital : TD 170/110, N 124x/menit, P 32x/menit, S 39,30
• Generalis : Paru : vesikuler +/+, rhonki basah halus+/+, wheezing (-)
Abdomen : nyeri tekan epigastrium (+)
Edema ekstremitas bawah (+)
Status obstetri :
• Palpasi :
• Teraba his
28
29. • Leopold I : Fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus.
Tinggi fundus uteri 39 cm, teraba bagian bulat dan lunak.
• Leopold II : Sebelah kiri teraba bagian memanjang, teraba keras dan
datar. Pada bagian kanan teraba bagian kecil janin.
• Leopold III : Teraba bagian besar, bulat, keras dan melenting.
• Leopold IV : Teraba bagian janin belum masuk pintu atas panggul (PAP)
• Auskultasi : Denyut jantung janin (+) 192-199 x/menit (pukul 00.00 WIB),
denyut jantung tidak terdengar (pukul 05.45 WIB)
• Pemeriksaan dalam : Portio teraba tebal dan lunak, pembukaan sekitar 3 cm, teraba
ketuban dan kepala setinggi bidang Hodge I, tes Laksmus (+).
• Laboratorium: Leukosit =
18.000, Trombosit = 120.000, SGOT = 86, Bakteri Urin +,
Albumine Urine +2
• Foto thoraks : Tampak pembesaran jantung
VI. DIAGNOSIS
G2P1A0 Hamil 38 minggu riwayat sc 1x dengan preeklamsia berat dan HELLP
Syndrome, sepsis susp. Korioamnionitis, CHF NYHA kelas II dan janin IUFD.
VI. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
1. IVFD Asering 20tpm
2. Injeksi Ceftriaxone 1 gram
29
30. 3. MgSO4 loading dose (bolus i.v) 4 gr selama 15 menit dilanjutkan maintenance
dose infus 6 gr dalam RL.
4. Nifedipin 10 mg 3 x 1 tab
Non medikamentosa
1. Pasang O2 10 L/menit
2. Lahirkan janin
VIII. LAPORAN OPERASI
Ekstraksi vakum dilakukan pada tanggal 08 Desember 2013.
1. Os terlentang dalam dengan posisi litotomi
2. Ditempelkan cup pada kepala bayi
3. Dilakukan ekstraksi vacum di kamar bedah
4. Jam 12.25 lahir bayi jenis kelamin perempuan dengan vakum ekstraksi BB 4100
gram ,PB 55 cm, terdapat lilitan tali pusat 3x di leher dan bayi tidak menangis
(bayi dinyatakan telah meninggal), ketuban hijau encer dan berbau tidak enak.
5. Jam 12.30 Plasenta dilahirkan lengkap dengan peregangan tali pusat terkendali.
Plasenta berat= 700gr, panjang= 22x20x20 cm
6. Dilakukan eksplorasi rongga uterus dan servik, dan tidak terlihat adanya robekan
7. Melakukan perawatan luka seperti biasa
8. Total perdarahan sekitar 400cc.
Instruksi pasca tindakan:
1. Infus 30 tpm
2. 6 jam pasca operasi obat diminum
3. Berbaring 24 jam setelah itu kateter urin dicabut
4. Terapi :
a. Inj. Ceftriaxone 2x1g
b. Inj. Metronidazole 2x500mg
c. Metilergometrin 3x1 tab
d. Paracetamol 3x500mg tab
30
31. e. Ferofort 1x1 tab
IX. FOLLOW UP
9 Desember 2013
S : sesak nafas (+), lochia 1 pembalut
O : KU: tampak sakit sedang (TD: 120/70 N: 130 x/menit, P: 36 x/menit, afebris),
kesadaran CM
Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Cor : S1S2 normal, murmur -, gallop –
Paru : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki +/+ (ronkhi basah halus)
Abd : bising usus +, nyeri tekan -
Ekst : akral hangat +/+, edema -/-
Status Obstetrik
TFU 2 jari di bawah umbilical, kontraksi baik
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A : NH 1 P2A0 post ekstraksi vakum atas indikasi riwayat sc 1x dengan preeklamsia
berat dan HELLP Syndrome, sepsis susp. Korioamnionitis, CHF NYHA kelas II,
janin IUFD
P :
o Konsul internist suspect CHF cek AGD, elektrolit dan foto thorax
o Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan dan balance cairan
o Diet rendah garam dan batasi cairan
o Infus asering 18 tpm
o Inj. Ceftriaxone 2x1g vial
o Inj. Metronidazole 2x500mg amp
o Metilergometrin 3x1 tab
31
32. o Paracetamol 3x500mg tab
o Ferofort 1x1 tab
o Inj. Furosemid 1x1 amp
10 Desember 2013
S : sudah tidak sesak lagi, lochia sedikit 1 pembalut tidak penuh
O : KU baik (TD 120/80 N 92 x/menit, P 24 x/menit, afebris), kesadaran CM
Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Cor : S1S2 normal, murmur -, gallop –
Paru : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki +/+
Abd : bising usus +, nyeri tekan -
Ekst : akral hangat +/+, edema -/-
Status Obstetrik
TFU 3 jari di bawah umbilical, kontraksi baik
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
Laboratorium:
• pH : 7,43 (7.35 – 7.45)
• pCO2 : 23 (35 – 45)
• p02 : 158 (80 – 100)
• HCO3 : 15 (21 – 28)
• Total CO2 : 16 (23 – 27)
• Saturasi O2 : 99 % (95 - 100)
• BE : -7,6 (-2,5 – 2,5)
A : NH 1 P2A0 post ekstraksi vakum atas indikasi riwayat sc 1x dengan preeklamsia
berat dan HELLP Syndrome, sepsis susp. Korioamnionitis, CHF NYHA kelas II dan
asidosis metabolik terkompensasi, janin IUFD.
32
33. P :
o Pindah rawat ke penyakit dalam
o Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan
o Diet rendah garam dan batasi cairan
o Infus asering 18 tpm
o Inj. Ceftriaxone 2x1g vial
o Inj. Metronidazole 2x500mg amp
o Metilergometrin 3x1 tab
o Paracetamol 3x500mg tab
o Ferofort 1x1 tab
o Inj. Furosemid 1x1 amp
BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Masalah pertama yang ditemukan pada pasien ini adalah sepsis ec
korioamnionitis. Diagnosis ini didukung dari anamnesis, yaitu:
1. Pasien yang mengalami demam tinggi mendadak 1 hari SMRS
Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi disuatu tempat, pada kasus ini proses
infeksi terjadi di plasenta, kemungkinan besar terjadi infeksi secara ascending yaitu
dari traktus urogenitalis ibu ke plasenta.
2. Pasien mengeluh beberapa kali anyang-anyangan selama kehamilan
Hal ini dapat merupakan sumber utama infeksi. Biasanya wanita yang mengeluh
anyang-anyangan menderita infeksi saluran kemih (ISK).
3. Pecahnya ketuban sejak 1 minggu SMRS yang berwarna hijau encer dan berbau.
Pecahnya ketuban disebabkan karena reaksi dari membran janin dan desidua basalis
terhadap infeksi dari traktus urogenitalis yang memproduksi mediator seperti
33
34. prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas matrix
degrading enzymes, sehingga menyebabkan selaput ketuban pecah dini.
Dengan pecahnya ketuban dapat terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
sehingga janin mengalami asfiksia atau hipoksia, hal ini menyebabkan pengeluaran
mekonuium pada janin dan akan bercampur dengan cairan amnion sehingga cairan
amnion berwarna hijau dan berbau.
Diagnosis ini ditunjang dengan pemeriksaan fisik yaitu suhu 39o
C, N 124x/menit, P
32x/menit, DJJ (+) 192-199 x/menit. Diagnosis ini dipertegas dengan adanya pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap dimana ditemukan kadar leukosit 18.000
mg/dL dan bakteri urin (+). Menurut penulis, untuk lebih memastikan diagnosis ini
sebenarnya bisa dilakukan pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan
amnion, tetapi pada kasus ini tidak dilakukan.
Masalah kedua yang ditemukan pasien ini adalah PEB dengan HELLP syndrome.
Diagnosis ini didukung dengan hasil anamnesis, yaitu:
1. Pasien mengalami kenaikan tensi darah sejak kehamilan 8 bulan
Dimana kenaikan tensi darah sistolik >= 160 mmHg, tekanan darah diastolik >= 110
mmHg. Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya
kegalalan invasi trofoblas yang menyebabkan spasme pembuluh darah a.spiralis dan
terjadi iskemia, sehimgga penaikan tekanan merupakan usaha agar oksigenasi jaringan
dapat tercukupi.
2. Bengkak pada kaki sejak umur kehamilan 9 bulan.
Telah diketahui bahwa pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah
sedangkan, aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur
retensi air dan natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap
protein meningkat. Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu.
Sehingga mudah terjadi oedem
3. Nyeri ulu hati
Merupakan keluhan yang sering ditemukan preeklampsi berat. Keluhan ini mungkin
disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat oedem atau perdarahan.
Diagnosis PEB dan HELLP syndrome ini ditunjang dengan hasil pemeriksaan fisik yaitu TD:
170/110, terdapat oedem non pitting dikedua ekstremitas bawah, dan nyeri tekan pada
epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan diagnosis dengan hasil
34
35. pemeriksaan laboratorium yaitu proteinuria +2 (hal ini disebabkan karena perununan cardiac
output yang menyebabkan penurunan GFR sehingga terjadi kebocoran),
Trombosit = 120.000, SGOT = 86.
Masalah ketiga pada pasien ini adalah CHF NYHA class II. Diagnosis ini ditegakkan
dari anamnesis yaitu, pasien mengeluh adanya sesak yang dirasakan terus menerus dan
membaik dengan posisi pasien ½ duduk, Os mengaku sering cape jika naik tangga atau
berjalan jauh dan jika tertidur lebih enak menggunakan bantal yang agak tinggi (2 bantal).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya tachicardia, ronkhi basah halus, oedema
ekstremitas. Diagnosis ini ditegakkan dengan pemeriksaan foto thoraks dimana kesan yang
didapat adalah adanya pembesaran jantung (CTR >50%)
Masalah keempat yang ditemukan adalah janin IUFD. Diagnosis ini ditegakkan ketika
tidak ditemukan adanya denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan doppler dan beberapa
jam sebelumnya terjadi gawat janin saat diperiksa menggunakan cardiotocography. Hal ini
dipastikan ketika janin lahir tidak ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Menurut penulis
kematian janin yang terjadi bisa dikarenakan faktor maternal yaitu ibu yang menderita
preeklamsia (hal ini bisa meningkatkan morbiditas pada janin karena janin mengalami
hipoksia) dan faktor plasenta yaitu korioamnionitis dan adanya lilitan tali pusat disekitar leher
sebanyak 3x yang dapat menyebabkan hipoksia sampai terjadinya IUFD.
Pengambilan keputusan untuk terminasi kehamilan dengan ekstraksi vakum menurut
penulis sudah tepat karena janin didalam tubuh ibu ini merupakan toksik bagi ibu jika tidak
segera dikeluarkan akan berbahaya bagi ibu. dan juga dikarenakan janin IUFD dapat
menyebabkan DIC dan berbagai macam komplikasi lainnya jika tidak segera dikeluarkan
maka terminasi kehamilan merupakan langkah yang tepat. Dan dilakukannya vacum ekstraksi
juga dirasakan tepat karena tidak ada indikasi untuk melakukan seksio cesarea.
35
36. DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, H. Pre-eklampsia dan eklampsia. Ilmu Kandungan edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2007. 281-301
2. William Obstetricss, 22 nd. “ Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and
Membranes”. 2007; chapter 36. New York : The McGraw-Hill Companies. Inc.
3. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the
internet) Diunduh tanggal 15 Januari 2013. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
4. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on
the internet) Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142
5. Agudelo AC, Beliza JM, Rossello LD. Epidemiology of Fetal Death in Latin
America. Acta Obstet Gynecol Scand 2000; 79: 371–8
6. Petersson K. Diagnostic Evaluation of Fetal Death with Special Reference to
Intrauterine Infection. Thesis dari Departement of Clinical Science, Divison of
Obstetrics and Gynecology, Karolinska Institutet, Huddinge University Hospital,
Stockholm, Sweden 2002.
7. Winknjosastro H. Ilmu Kebidanan Edisi III,cetakan enam. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008. 732-35.
8. Patel PK. Profile of Fetal Deaths in Dhahira Region, Oman. Oman Medical Journal
2008, ;23(1)
9. Mu J, Kanzaki T, Si X, Tomimatsu T, Fukuda H, Shioji M. Apoptosis and Related
Proteins in Placenta of Intrauterine Fetal Death in Prostaglandin F Receptor Deficient
Mice. Biology or Reproduction 2003;68:1968-74
10. Anwar, TB. Wanita Kehamilan dan Penyakit Jantung. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara: Usu Repository; 2004. hal. 1-33.
11. Sovndal, S, Jeffrey AT. Cardiovascular Disorders in Pregnancy. In Pearlman, MD.,
Judith ET., Pamela LD. Obstetrics & Gynecology Emergencies, Diagnosis and
Management, 1st
edition . New York. McGraw-Hill. 2004. p. 20.1-21.
12. Nasution, SA. Kehamilan Pada Penyakit Jantung. Dalam Sudoyo AW, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2007. Hal.1669-1672.
36
37. 13. Mochtar, R., Lutan Delfi. Sinopsis Obstetri, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1998. hal 137-41.
14. Lang, RM. Pharmacologic Management of Heart Failure in Pregnancy. [online].
[cited 2012 August 3]; Available from: URL:
http://cmbi.bjmu.edu.cn/uptodate/congestive%20heart
%20failure/Treatment/Pharmacologic%20management%20of%20heart%20failure
%20in%20pregnancy.htm.
15. Petersson K. Diagnostic Evaluation of Fetal Death with Special Reference to
Intrauterine Infection. Thesis dari Departement of Clinical Science, Divison of
Obstetrics and Gynecology, Karolinska Institutet, Huddinge University Hospital,
Stockholm, Sweden 2002.
16. Winknjosastro H. Ilmu Kebidanan Edisi III,cetakan enam. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008. 732-35.
17. Nucleus Medical Art Inc. Kennesaw, Georgia 30144, 1999 – 2009
18. Sarah D. McDonald, MD . Risk of Fetal Death Associated With Maternal Drug
Dependence and Placental Abruption A Population-Based Study. 1Department of
Obstetrics and Gynecology, McMaster University, Hamilton ON. 2007
19. Cuningham FG., Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth, JC., Wenstrom KD.
Williams Obstetrics Edisi ke 21. New York : McGraw-Hill 2001
37