Paragraf pertama membahas arti dan asal usul studi kawasan Islam. Studi Islam adalah kajian sistematis tentang agama Islam, termasuk ajaran, sejarah, dan praktiknya. Studi ini dilakukan oleh umat Islam untuk memahami agama, dan oleh non-Muslim sebagai ilmu pengetahuan.
Paragraf kedua membahas orientalisme dan oksidentalisme. Orientalisme adalah studi tentang Timur oleh Barat, yang awalnya bersikap k
1. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Dan Asal Usul Studi Kawasan Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi
Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini
sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam
kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan
sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-
beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran,
sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal:
1. Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri,
2. Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab
ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan
menjauhi semua larangan,
3. Islam bermuara pada kedamaian.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan
oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan
umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam
motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan
umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-
ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di
luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan
praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu
pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada
umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan
Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat
positif maupun negative.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum
orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur,
termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh
mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih
mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pengalaman ajaran agama Islam
dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di
antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah
terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa
bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
2. 4
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam
sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi
kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup
diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan
pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap
tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku
serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman.
Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan membeku dan
ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi
dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budya Islam, mendorong para Ulama’
tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan luar yang pada gilirannya
pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula
dalam studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan kajian yang
objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal bisa menjadi
berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul
mampu menjawab tantangan zaman.1
B. Orientalisme Dan Oksidentalisme
Orientalisme dan oksidentalisme adalah jebakan. Dorongan untuk mengafirmasi adanya
esensi "Orient (Timur)" dan esensi "Occident (Barat)". Dalam kebulatan bumi, suatu lokasi
dinyatakan Timur atau Barat jika dilihat dari satu titik tertentu, di mana pandangan lain mungkin
menyebutnya secara berbeda. Tugu Monumen Nasional, misalnya, disebut berada di Barat oleh
orang di Pulo Gadung, sedangkan orang di Grogol menyebutnya di Timur. Orang Indonesia
pantas menyebut Amerika Serikat negara Timur Laut, meskipun biasanya disebut sebagai negara
Barat. Disimak dari fenomena itu, konsep Timur dan Barat yang inheren dalam Orientalisme dan
Oksidentalisme, sejatinya kabur. Sedangkan Orientalisme dan Oksidentalisme tak lebih dari
sudut pandang.
a) Orientalisme : Melihat Islam Kritis
1. Defenisi Orientalis
Orientalisme berasal dari kata “orient”(bahasa Prancis) yang secara harfiah berarti Timur
dan secara geografis berarti dunia belahan Timur serta secara etimologi berarti bangsa-bangsa di
Timur.
Kata “orient” telah banyak diadaptasi ke berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa
Inggris. Sedangkan kata “oriental” adalah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat ke-
Timuran. Orientalist adalah pelaku yang menunjukkan kepada seorang ahli dalam bidang-bidang
yang berkaitan dengan ke-Timuran.
Kata “isme” menunjukkan kepada suatu faham, ajaran, cita-cita dan sikap. Jadi
orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan untuk menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan yang berkaitan dengannya.
1
Muhaimi,et al.,Kawasan Dan Wawasan Studi Islam (Jakarta:Kencana,2007) hal.1-3
3. 5
2. Perkembangan Orientalis
Penyelidikan yang dilakukan oleh para orientalis telah berlangsung selama beberapa abad
khususnya tentang Islam dan bangsa-bangsa Timur dalam beberapa bidang kajian.
Pertumbuhan orientalis tidak lepas dari peran para pendeta yang pada awalnya mencoba
untuk membuka jalan ke arah yang lebih luas. Mereka belajar ke negeri-negeri Islam di belahan
Timur, memperdalam ilmu pengetahuan untuk dibawa ke negeri mereka.
Pada masa itu, mereka yang belajar ke negeri-negeri Islam disebut sebagai murid-murid
yang datang dari negeri Barat ke negara-negara Islam yang lebih maju dalam berbagai bidang.
Namun pada umumnya mereka tidak merasa senang untuk disebut sebagai murid-murid yang
belajar ke negeri timur, mereka lebih senang untuk disebut sebagai ahli, yakni ahli ke-Timuran
(orientalis)
Orang-orang Barat yang mempelajari dunia Timur dimotivasi oleh agama. Bagaimanapun
juga, perang Salib telah meninggalkan pengaruh terhadap sikap kaum Kristen atas ummat Islam.
Di sisi lain ummat Kristen juga ingin menyebarkan agama mereka di tengah-tengah kalangan
ummat Islam.
Selain motivasi agama, munculnya orientalisme juga dimotivasi oleh perdagangan dan
politik. Negeri-negeri industri memerlukan untuk pemasaran hasil industri.
Mustafa as-Siba’i juga menyatakan bahwa ada empat motivasi khusus orientalis:
1. Dorongan ke-agamaan, misalnya para pendeta Katolik Roma.
2. Dorongan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje di Indonesia.
3. Dorongan politik.
4. Dorongan ilmiah artinya para orientalis ini ingin mempelajari tentang hal-hal yang
bersifat ke-Timuran untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di
Timur.
Kaum orientalis mempelajari apa yang mereka inginkan dengan pikiran bebas dan
terbuka. Beberapa faktor menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan jauh dari fakta yang
ada. Beberapa faktor tersebut antara lain bisa kita sebutkan sebagai berikut:
1. Wilayah Timur itu terlalu luas untuk dikuasai seseorang hingga ia layak mengklaim
dirinya sebagai orientalis. Secara jujur seorang ilmuan harus bisa membatasi wilayah
studinya hingga objek yang ia kajipun akan benar-benar ia kuasai. Dengan faktor ini,
orientalis inipun sekarang lebih banyak disebut dengan Islamicist, atau bahkan yang lebih
spesifik, yakni ahli ke-Indonesiaan.
2. Sumber yang tidak sepenuhnya benar yang dikaji oleh para orientalis.
3. Sumber terjemahan yang tidak memadai.
4. Banyak dari term-term yang dipakai bahkan tidak benar. Dahulunya orang Arab diartikan
oleh Orientalis sebagai orang yang menggunakan bahasa Arab dalam ritual Ibdahnya.
5. Selain itu, yang pantas kita sebutkan disini adalah kecenderungan-kecenderungan awal
yang mempengaruhi para peneliti.
Adapun hal-hal yang melatari perkembangan orientalis adalah:
1. Perang Salib.
2. Persentuhan pemikiran wilayah Barat dan Timur, dan Islam dengan Kristen khususnya.
Sejarah mencatat bahwa ada empat perguruan tertua di dunia Islam, yaitu: Nizhamiyah,
4. 6
al-Azhar, Qordova dan Qairawan. Perguruan ini telah lama mengundang ketertarikan
pelajar dari wilayah Barat.
3. Penulisan manuskrip Arab ke dalam bahasa Latin.
Penulisan ini telah berlangsung sejak abad ke-13 M hingga munculnya Renesains di
Eropa pada abad ke-14 M. hal tersebut berawal dari restu King Fredrick II di Sisilia meski
mendapat penolakan keras dari gereja Vatikan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga
didirikannya beberapa perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano dan
sebagainya.
3. Status Orientalis saat ini
Di zaman sekarang ini, kaum orientalis, baik sengaja ataupun tidak telah
mendiskriminasikan Islam. Akan tetapi, sebuah kajian yang dilaksanakan dengan serius dan
metode yang bisa dipertanggung jawabkan layak untuk dihormati, baik karya seorang muslim
ataupun tidak. Sebagai seorang pengkaji yang jujur, hendaklah mereka tidak lantas mengklaim
bahwa kajian mereka adalah yang paling benar.
Pada faktanya, kajian-kajian orientalis telah banyak menghasilkan kesimpulan yang
dinilai menyudutkan agama Islam. Usaha mereka dalam pengkajian ke-Islaman telah banyak
menghasilkan berupa buku, memberikan kuliah dan pelajaran di tengah kalangan ummat Islam.
Di berbagai negara Eropa, orientalis ini terus berkembang. Beberapa negara tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Prancis.
Di Institut Studi Islam di Paris telah dilakukan pengkajian-pengkajian tentang bahasa
Arab, kebudayaan, sejarah dan beberapa bidang lainnya.
2. Italia.
Negara dan bangsa Italis telah mempunyai kontak dengan kaum muslimin sejak dahulu.
Kemudian dengan usaha Vatikan, kebudayaan Arab dan beberapa kebudayaan lainnya terus
berkembang di Italia. Di Italia di kenal sebuah perpustakaan besar yaitu perpustakaan Vatikan
yang berisi buku-buku dari kerajaan Utsmani di Turki.
b) Oksidentalisme : Menjawab Islam Sejati
1. Pengertian Oksidentalisme
Karya Hanafi “Muqaddimat fi’Ilm al – Istighrab” ( Pendahuluan Ilmu Oksidentalisme )
membahas tentang pemikiran yang berkembang di Barat dan Sejarah Eropa. Ini mengandung
makna bahwa oksidentalisme sebagai suatu kajian tentang kebaratan atau hal – hal yang
berkaitan dengan barat. Pengertian oksidentalisme yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi adalah
mengkaji Barat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Barat baik itu budaya, ilmu, dan aspek
lainnya yang ditinjau dari sudut pandang Timur.
Oksidentalisme dijelaskan dalam “ The World University Encyclopedia” berasal dari kata
occident secara etimologi berarti Barat, dan secara geografis adalah belahan bumi bagian Barat.
5. 7
Kata occident diambil dari bahasa Latin, occidere, sebuah kata kerja yang artinya turun ( to go
down ). Sedang dalam bahasa arab, istilah yang sepadan maknanya dengan oksidentalisme
adalah “al istighrab” yang diambil dari kata “al Gharb”yang berarti barat.
Berpijak dari makna etimologi diatas, oksidentalisme yang terdiri dari kata “occident” (
barat ) dan “ism” ( paham atau aliran ) menujuk pada suatu pengertian faham atau aliran yang
berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia Barat: baik budaya, ilmu, dan
aspek –aspek lainnya.
A.Mukti Ali mengartikan oksidentalisme adalah teori – teori dan ilmu – ilmu tentang agama,
kebudayaan, dan peradaban Barat. Adapun pengertian suatu aliran atau faham yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah – masalah Barat, beserta
lingkungannya berdasarkan dan pendekatan metode ilmiah.
Selanjutnya Hanafi mengatakan bahwa oksidentalisme adalah kebalikan dari orientalisme.
Jika object kajian orientalisme adalah Timur, dan lebih khusus lagi adalah Islam, maka dalam
oksidentalisme yang menjadi object kajiannya adalah Barat. Ini, berarti, Hanafi melakukan
pembalikan paradigma subject – subject dalam orientalisme, yaitu Timur sebagai subject dan
Barat sebagai object.
2. Kelahiran Oksidentalisme
Pada abad 17 sampai dengan abad 18 M, adalah masa kemunduran bagi dunia islam.
Hilangnya rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat merupakan
fenomena yang menggenjala dan sekaligus sebagai pertanda bagi kemunduran Islam. Sebaliknya,
dunia Barat sedang mencapai prestasi di bidang sains dan teknologi. Raihan prestasi yang dicapai
mendorong Barat untuk memperluas wilayah pendudukan di berbagai negara yang menjanjikan
perekonomian.
Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dan melepaskan cengkraman koloni Barat,
dunia Islam ,terutama Mesir dan Turki mempelajari kemajuan – kemajuan Barat dibidang sains
dan teknologi. Untuk itu, beberapa delegasi dan pelajar dikirim ke Barat untuk belajar. Sekitar 2
abad bergurun kepada Barat dalam berbagai hal, belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada
kemajuan yang diharapkan. Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat masih
premature dan belum menemukan esensi dari kajian tersebut. Ketidakpuasan dari kajian tersebut
dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu:
1) Kajian yang masih sarat dengan bias dan subjektifitas.
2) Kajian yang ada tidak lebih dari sekedar promosi peradaban orang lain yang kering dari
kritisisme. 22
Kondisi kajian serupa dan hegemoni Barat memotivasi para pemikir Islam untuk melakukan
kajian terhadap kebaratan secara kritis.Pada mulanya kajian ini ditujukan kepada orientalisme.
Seperti kajian al Tibawi terhadap karya – karya orientalis dimana ia menyimpulkan bahwa kajian
keislaman yang dilakukan Barat dilatarbelakangi oleh motivasi missionaries Kristen dan tokoh
politik
Setelah dilakukan kajian ulang terhadap orientalisme, ia tidak lagi menjadi subject studi
yang menarik.Dampak lainnya para pengkaji ketimuran merasa tidak senang disebut
Orientalis,tetapi lebih senang disebut, misalnya Egyptolog atau Islamolog.
Dalam perspektif ini, Oksidentalisme menemukan momen kelahirannya . Oksidentalisme
merupakan ilmu masa depan yang berusaha merubah diskursus Arab – Islam kontemporer dalam
2.
Seyyed Hoesen Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (Bandung :Mizan,1994),hlm.125
6. 8
mempelajari Barat. Pemikiran Hanafi tersebut dikarenakan beberapa hal yang melatarbelakangi,
yaitu :
1) Terjadinya hubungan yang tidak seimbang antara Barat dan Timur.
2) Selama 200 tahun umat Islam ada dala keterbelakangan dan selalu bersikap taklid terhadap
Barat.
3) Transformasi pemikiran dari Barat ka dunia Islam selama ini hanya dilakukan dengan
penerjemahan karya – karya Barat.
Oksidentalisme dibangun buka untuk menguasai tetapi hanya ingin bebas untuk kemudian
bisa duduk dalam level yang sama antara Barat dan Tinur .
3. Tokoh – Tokoh Oksidentalisme
Tokoh – Tokoh oksidentalisme yang merupakan para pemikir dan pembaharu islam, yaitu :
Jamaluddin al-Afghani.
Dr. Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha
Dr.Muhammad Imarah
Dr.Hasan Hanafi
Nurcholish Madjid.M.A
Adian Husaini, M.A
.
Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat membantu atau menjembatani
kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari
akar kemajuan bangsa-bangsa barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga
timur keluar dari keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu
menghilangkan kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran
orang timur.
Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme
Berbicara plus dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan
peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di dunia ini
sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian oksidentalisme ada
kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang muncul.
Dampak positif dan negatif akibat oksidentalisme tergantung pada pribadi oksidentalis
itu sendiri. Seorang oksidentalis yang benar menurut penulis, ialah yang tidak terlalu terpengaruh
dengan kemajuan peradaban barat dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh
barat, boleh mengambil dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan
iman. karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masyarakat timur khususnya
ummat islam.
Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam berfikir, memfungsikan akal sebagai
anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua pokok pondasi dasar yaitu Al-qur'an dan Assunnah,
seagaimana ungkapan yang sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu
dibatasi oleh kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-
dengungkan dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!.
Dari berbagai sumber.....................
7. 9
C. ASPEK DAN PROBLEM PENDEKATAN STUDI ISLAM
Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut Parsudi Suparlan makna dari istilah “pendekatan”
adalah sama dengan “metodologi” yaitu “sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan
sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.” Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat di dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai
kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Untuk dapat hidup dan berkembang serta
lestari dalam masyarakat, agama harus menjadi kebudayaan bagi masyarakat. Karena setiap
masyarakat mememiliki kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan
lingkungan hidupnya guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi,
kebutuhan sosial dan kebutuhan adab yang integratif. Jadi pendekatan studi area merupakan
pendekatan yang meliputi bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta
pengetahuan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan
terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Problematika yang dihadapi pada
penelitian dengan menggunakan pendekatan studi area dalam Studi Islam dan Komunitas
Muslim., berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan diselidiki.
Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah yang
dijangkaunya, maka segala persiapan yang diperlukan untuk menerapkan studi area, juga
semakin besar.
Prospek pendekatan studi area, sebenarnya boleh dikatakan sangat baik. Hal ini
mengingat perlunya dibangun saling pengertian dan kerjasama antar komunitas muslim dunia
yang meliputi luas wilayah mencapai 31,8 juta km2
atau sebanding dengan 25 % daerah seluruh
wilayah dunia, memanjang mulai dari Indonesia di sebelah timur hingga Senegal di sebelah
barat, serta dari utara Turkistan hingga ke selatan Mozambik, dengan jumlah populasi umat
Islamnya 1.334.000.000 jiwa, mayoritas hidup di dunia Islam ( 1 miliar) dan selebihnya hidup
sebagai minoritas muslim ( 334.000.000). Minoritas muslim tersebut yang terbanyak berada di
India dan Cina.
Pada penelitian kasus Islam dan budaya lokal, persoalan akulturasi timbal balik antara
lingkungan budaya dan ekspresi keagamaan seseorang, maka ada perbedaan yang menarik antara
corak penyebaran Islam di Indonesia dan di Maroko. Kalau di Indonesia penyebaran Islam
dilakukan oleh para penyebar Islam cenderung damai dan akomodatif, sedangkan di Maroko
lebih bersifat oposisional, tegas, dan agresif. Seperti kata Geertz, “in Marocco civilization was
built on nerve; in Indonesia, on diligence” (Di Maroko, peradaban Islam dibangun di atas saraf,
di Indonesia, di atas ketekunan). Hal ini dapat kita lihat pada tokoh penyebar Islam di Indonsia
dan di Maroko. Sunan Giri atau Sunan Kalijaga di Indonesia, cenderung damai, rukun, tekun,
dan sinkretis, sementara Sidi Lahsen Lyusi atau Ali Hasan ibn Mas’ud al-Yusi di Maroko
menyebarkan Islam dengan pemahaman yang murni dan cenderung tidak kompromistis. Namun
mereka semua diakui oleh masyarakatnya masing-masing sebagai wakil yang sah bagi corak
keislaman di masing-masing wilayah tersebut. Di Indonesia pengakuan tersebut tercermin pada
pemberian gelar kehormatan Wali Songo, sedangkan di Maroko dengan gelar Sidi. Kedua gelar
kehormatan tersebut mengandung penghargaan sebagai Wali Allah yang sangat kental dan
dipercayai memiliki karomah (orang jawa abangan menyebutnya: keramat).
8. 10
Dari kasus yang telah dikemukakan di atas, ternyata perbedaan area dan lingkunan sosio-
kultural saling terkait erat dalam wujud dan semangat keberagamaan yang berbeda antara di
Indonesia dan di Maroko. Maroko yang merupakan negeri padang pasir yang tandus dan keras
dengan pola kehidupan sosial kesukuan yang kuat (tribalisme). Berbeda di Indonesia dengan
Pulau Jawa-nya yang merupakan daerah pertanian yang subur, damai, dan rukun. Fakta adanya
kaitan antara keadaan geografis, klimatologis, kesuburan tanah, kemelimpahan sumber daya
alam suatu daerah dengan watak penduduknya, telah lama menjadi kajian para sarjana muslim,
seperti Ibn Khaldun, dalam karyanya yang termasyhur, Muqaddimah, di situ Ibn Khaldun
membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing
terhadap watak penduduknya. Ia bahkan mengemukakan teorinya tentang pengaruh keadaan
suhu suatu daerah terhadap akhlaq serta perilaku orang-orang setempat. Syahristani, dalam
kitabnya yang juga amat terkenal, al-Milal wa an-Nihal, mengupas tentang teori peradaban
manusia yang dipengaruhi oleh letak geografisnya, menjadi Timur, Barat, Utara, dan Selatan.
Bangsa-bangsa Barat berbeda dengan bangsa-bangsa Timur, dan bangsa-bangsa yang berada di
belahan bumi utara berbeda dengan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi selatan. Ia juga
menyebutkan empat bangsa induk di dunia, yaitu Arab, Persia, India, dan Roma (Barat),
menurutnya Bangsa Arab dan India, keduanya memiliki kemiripan, yaitu keduanya cenderung
pada pengamatan ciri-ciri khusus dari suatu kenyataan dan membuat penilaian berdasarkan
pandangan mengenai substansi dan hakikat kenyataan itu melalui pertimbangan keruhanian.
Sedangkan Bangsa Persia dan Roma mempunyai kesamaan dalam kecenderungan melihat suatu
kenyataan dari tabiat luarnya, kemudian memberikan penilaian menurut ketentuan-ketentuan
kualitatif dan kuantitatif dengan pertimbangan berdasarkan keadaan secara fisik.
Penerapan pendekatan studi area dalam Studi Islam dapat menghindari terjadinya
kekeliruan dalam memandang keadaan Islam dan umatnya yang berada di belahan bumi yang
berbeda dari tempat di mana seorang pengamat itu berada. Penyelidikan melalui pendekatan ini
akan memperhatikan unsur tempat, objek, waktu, latar belakang, dan pelaku peristiwa tersebut.
Lewat pendekatan studi area, kita diajak menukik dari alam idealis menuju alam realistis-
fenomenologis, hingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan dan penilaian yang lebih objektif
terhadap fakta-fakta yang ditemukan terhadap suatu objek di suatu area.
Jadi manfaat mempelajari Pendekatan Studi Kawasan Islam antara lain :
1. Memberikan penjelasan tentang keadaan keislaman di suatu daerah menurut data dan fakta
yang ada, sehingga peneliti dapat melihat hal tersebut dengan penilaian yang mendekati
titik objektivitas. Contohnya, bagaimana muslim Indonesia memandang muslim India
bercorak sinkretis hinduistik yang kental, sehingga lebih menonjol kehinduannya dari
keislamannya, padahal kenyataannya tidak demikian, di sana mudah dijumpai komunitas
muslim bahkan dengan pengamalan agama yang sangat Islami sesuai Syari’at Islam.
Kemudian bagaimana cara muslim Indonesia menilai dengan nada keprihatinan terhadap
modernisasi dan sekularisme di Turki, yang mana sebenarnya hingga sekarang Turki
merupakan negeri muslim yang sangat kuat pengaruh Islamnya sehingga sulit menemukan
gereja di sana. Juga bagaimana misalnya, cara orang Turki dan Timur Tengah memahami
keadaan di Indonesia, mereka beranggapan bahwa sulit membedakan seorang muslim
dengan non-muslim di Indonesia, baik laki-laki maupun wanitanya. Menurut mereka, umat
Islam Indonesia sangat rentan pemurtadan, karena tidak adanya semangat dan gerakan-
9. 11
gerakan atau lembaga keislaman. Padahal di Indonesia, pengamalan Islam cukup semarak,
dan gerakan keislaman juga masih mudah dijumpai keberadaannya.
2. Mengenal dengan baik suatu budaya tertentu, sehingga kita mampu membedakan mana
nilai yang bersifat universal dan mana yang lokal dalam ajaran Islam.
3. Memunculkan kesadaran umat Islam mengenai pentingnya assimilasi dan akulturasi timbal
balik, sehingga umat Islam memiliki khazanah kebudayaan yang tinggi dan kaya.
4. Memungkinkan terbinanya kerjasama di bidang sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan,
bahkan pertahanan dan keamanan, untuk memajukan bidang-bidang tersebut melalui
penelitian-penelitian dengan pendekatan multidisipliner maupun interdisipliner dan
membentuk komunitas muslim dunia yang kuat dan mapan, sehingga disegani baik oleh
kawan maupun lawan.