1. Mata Kuliah
Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif
CEKAMAN KEKERINGAN
Di susun oleh :
ANDI TENRI IKA SARI
INDIRA ARDYAGARINI
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
2. BAB I
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan pokok bagi semua tanaman juga merupakan
bahan penyusun utama dari protoplasma sel. Di samping itu, air adalah komponen
utama dalam proses fotosintesis, pengangkutan assimilate hasil proses ini ke
bagian -bagian tanaman hanya dimungkinkan melalui gerakan air dalam tanaman.
Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Faktor-
Faktor lingkungan akan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tanaman. Respons
tanaman sebagai akibat faktor lingkungan akan terlihat pada penampilan tanaman.
Hal ini dapat terlihat langsung misalnya pada vegetasi hutan bakau yang tumbuh
di pantai berlumpur. Bakau mempunyai akar napas. Begitu pula tumbuhan yang
tumbuh pada ekosistem rawa, mempunyai akar papan. Hal ini dimaksudkan dan
memiliki makna bahwa tumbuhan dapat juga menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Begitu pula biasanya vegetasi yang tumbuh di sekitar ekosistem
tersebut juga spesifik atau tertentu. Karena hanya tumbuhan yang sesuai dan
cocok saja yang dapat hidup berdampingan.
Cekaman merupakan faktor lingkungan biotik dan abiotik yang dapat
mengurangi laju proses fisiologi. Tanaman mengimbangi efek merusak dari
cekaman melalui berbagai mekanisme yang beroperasi lebih dari skala waktu
yang berbeda, tergantung pada sifat dari cekaman dan proses fisiologis yang
terpengaruh. Respon ini bersama-sama memungkinkan tanaman untuk
mempertahankan tingkat yang relatif konstan dari proses fisiologis, meskipun
terjadinya cekaman secara berkala dapat mengurangi kinerja tanaman tersebut.
3. Jika tanaman akan mampu bertahan dalam lingkungan yang tercekam, maka
tanaman tersebut memiliki tingkat resistensi terhadap cekaman. Salah satu
cekaman yang dapat terjadi pada tumbuhan yaitu cekaman kekeringan.
Kekeringan merupakan suatu cekaman abiotik yang sangat serius yang
didefinisikan suatu keadaan kurangnya ketersediaan air, meliputi presipitasi dan
kuantitas kelembaban tanah dan distribusinya, selama siklus hidup tanaman, yang
menyebabkan terhalangnya ekspresi genetik secara keseluruhan pada hasil panen.
Cekaman kekeringan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam
budidaya beberapa tanaman di lahan kering karena ketersediaan air tidak selalu
terjamin sepanjang musim tanam, terutama pada musim-musim menjelang
kemarau (Yudiwanti et al., 2008).
Cekaman kekeringan yang terjadi selama tahap vegetatif dan reproduksi
telah menurunkan produksi biomassa pada kutivar padi sebesar 36–44%. Hal ini
menunjukkan bahwa cekaman abiotik menyebabkan kerugian dalam segi finansial
hingga beberapa juta dolar setiap tahun karena penurunan dan kegagalan panen.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dikaji lebih dalam lagi tentang
cekaman kekeringan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya cekaman
kekeringan tersebut.
4. BAB II
ISI
Kekeringan merupakan suatu cekaman abiotik yang sangat serius yang
didefinisikan suatu keadaan kurangnya ketersediaan air, meliputi presipitasi dan
kuantitas kelembaban tanah dan distribusinya, selama siklus hidup tanaman, yang
menyebabkan terhalangnya ekspresi genetik secara keseluruhan pada hasil panen.
Cekaman kekeringan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam
budidaya beberapa tanaman di lahan kering karena ketersediaan air tidak selalu
terjamin sepanjang musim tanam, terutama pada musim-musim menjelang
kemarau (Yudiwanti et al., 2008).
Tanaman yang terkena cekaman kekeringan ini maka secara perlahan akan
berkurang tingkat pertumbuhannya (Hassan et al., 2004) dan produktivitasnya
juga menurun (Arvin & Donelly, 2008). Jika cekaman kekeringan semakin
intensif terjadi, maka respon tanaman dapat dilihat secara jelas (Rains dalam
Hassan et al., 2004). Seperti yang dilaporkan Sorte et al., Lilley & Fukai dalam
Arvin & Donelly (2008), cekaman kekeringan yang terjadi selama tahap vegetatif
dan reproduksi telah menurunkan produksi biomassa pada kutivar padi sebesar
36–44%.
Hal ini menunjukkan bahwa cekaman abiotik menyebabkan kerugian
dalam segi finansial hingga beberapa juta dolar setiap tahun karena penurunan dan
kegagalan panen.
5. Ketahanan terhadap kekeringan didefinisikan sebagai suatu keadaan di
mana tanaman dapat meminimalisasi hilangnya air dari lingkungannya jika
dibandingkan dengan tanaman lain yang ditanam pada kondisi normal (Biswas et
al., 2002). Bioteknologi diharapkan dapat memberikan solusi dalam penyelesaian
masalah cekaman abiotik ini, salah satunya melalui penapisan awal secara in vitro.
Berdasarkan Hassan et al. (2004), teknik kultur jaringan dapat memberikan
harapan dalam perbanyakan dan penapisan dini tanaman tertentu dengan kondisi
lingkungan yang dapat dikontrol. Selanjutnya metode seleksi in vitro ini
menunjukkan keberhasilan dalam menghasilkan berbagai tanaman yang tahan
terhadap cekaman kekeringan.
Pembentukan Variasi Somaklonal
Variasi somaklonal adalah variasi genetik tanaman yang dihasilkan
melalui kultur jaringan atau kultur sel, yang meliputi semua variasi genetik yang
6. terjadi pada hasil regenerasi dari sel yang tidak berdiferensiasi, protoplas, kalus
maupun jaringan.
Variasi somaklonal dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik
untuk sifat-sifat yang berguna untuk tujuan pemuliaan tanaman. Selain itu, variasi
somaklonal juga merupakan sarana alternatif dalam pemuliaan tanaman untuk
menciptakan varietas-varietas baru yang resisten terhadap penyakit dan herbisida,
toleran terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim misalnya kekeringan (drought
tolerance) serta dapat memperbaiki kualitas maupun hasil dari tanaman
(Ignacimuthu et al. dalam Sunaryo, 2002).
Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan,
antara lain untuk sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara
tersebut bermanfaat bila dapat menambah komponen keragaman genetik yang
tidak ditemukan di alam serta mengubah sifat dari kultivar yang ada menjadi lebih
baik, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk
sendiri (Yudiwanti et al., 2008).
Variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat
pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe
kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau
tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro (Skirvin et al., dan Jain dalam Yunita,
2009).
Induksi Mutasi
Mutasi adalah perubahan genetik, baik perubahan pada gen tunggal,
sejumlah gen maupun susunan kromosom. Perubahan dapat terjadi pada setiap
7. bagian tanaman, khususnya bagian yang selnya aktif membelah (Micke dan
Donini dalam Yunita, 2009). Secara umum, mutasi dihasilkan oleh segala tipe
perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang diturunkan,
termasuk keragaman kromosom, sehingga menyebabkan terjadinya keragaman
genetik (Soeranto dalam Yunita, 2009).
Induksi mutasi dapat terjadi secara alamiah atau melalui teknik kimia atau
fisik. Induksi mutasi secara kimia atau fisik dapat memperluas keragaman genetik
tanaman melalui perubahan susunan gen yang berasal dari tanaman itu sendiri.
Mutasi spontan (alamiah) tidak mampu memberikan keragaman genetik secara
cepat dan akurat. Oleh karena itu, metode untuk menginduksi mutasi merupakan
masalah yang penting untuk diketahui dalam upaya perbaikan tanaman dan
meningkatkan produktivitas tanaman (Ahloowalia dan Maluszynsky dalam
Hemon, 2010).
Induksi mutasi menggunakan radiasi sinar X dan sinar gamma paling
banyak digunakan untuk mengembangkan varietas mutan. Hal ini terbukti dalam
kurun waktu 70 tahun terakhir, telah dihasilkan 2.250 varietas mutan di seluruh
dunia (Maluszynki et al. dalam Yunita 2009) Sekitar 89% dari 1.585 varietas yang
dilepas sejak tahun 1985 merupakan hasil induksi mutasi secara langsung, 64% di
antaranya dikembangkan dengan menggunakan sinar gama dan hanya 22%
dengan sinar X (Ahloowalia et al. dalam Yunita 2009).
Mutagen kimia merupakan senyawa kimia yang mudah terurai membentuk
radikal yang aktif, dapat bereaksi dengan asam amino sehingga terjadi perubahan
sifat. Bahan kimia yang termasuk mutagen kimia dan berguna dalam pemuliaan
8. tanaman adalah kelompok pengalkil seperti EMS, DES, etilin amina (EM), etil
nitroso urea (ENH), dan metil nitroso urea serta kelompok azida. Kelemahan
kelompok pengalkil adalah mudah terhidrolisis sehingga menjadi tidak aktif lagi
sebagai mutagen, selain bersifat toksik. Keadaan ini dapat digunakan untuk
menentukan waktu paruhnya. Selain itu, senyawa pengalkil sangat berbahaya bagi
manusia karena bersifat karsinogen, terutama etilin amina yang sangat mudah
menguap dengan titik didih 56°C/760 mm (Ismachin dalam Yunita 2009).
Seleksi In Vitro
Keragaman genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi
mutasi bersifat acak. Untuk mengidentifikasi keragaman somaklonal maupun
induksi mutasi ke arah perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi
in vitro. Pada teknik in vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti
kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan
dalam media kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian
somaklon yang diperoleh. Tanaman hasil regenerasi jaringan pada kultur in vitro
kemungkinan akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi
(Yunita, 2009).
Seleksi in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen,
tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena
itu, kombinasi antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan
alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter
yang spesifik (Kadir dalam Yunita 2009). Polyethylene Glycol (PEG) sebagai
Agen Penyeleksi terhadap Cekaman Kekeringan.
9. Seleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap
kekeringan dapat menggunakan agen seleksi berupa senyawa osmotik. Senyawa
ini dapat menyimulasi kondisi kekeringan di lapangan. Senyawa osmotik yang
paling banyak digunakan dalam simulasi cekaman kekeringan adalah
polyethylene glycol (PEG) (Santos & Ochoa dan Dami & Hughes dalam Yunita
2009). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat menyebabkan penurunan
potensi air secara homogen. Penggunaan PEG sebagai media seleksi tidak
membahayakan tanaman karena mempunyai berat molekul lebih besar dari 4 000.
Dengan demikian, kerusakan atau kematian tanaman pada simulasi menggunakan
senyawa PEG diyakini sebagai efek kekeringan, bukan efek langsung dari
senyawa PEG karena senyawa tersebut tidak diserap oleh tanaman (Dami &
Hughes dan Verlues et al. dalam Yunita 2009).
Polyethylene glycol (PEG) dengan berat molekul tinggi telah lama
digunakan untuk merangsang cekaman kekeringan pada tanaman (Ruf et al.,
Kaufman & Eckard, Corchete & Guerra, dalam Hassan et al. (2004)). PEG dengan
berat molekul tinggi merupakan agen osmotik yang inert yang bersifat
nonpenetrating yang mempunyai efek mengurangi potensial air dari larutan
nutrien dan tidak bersifat fitotoksin (Lawlor dalam Hassan et al. (2004). Menurut
Sakthivelu et al. (2008), aplikasi PEG dalam media regenerasi mempunyai efek
detrimental terhadap kebanyakan parameter yang berkaitan dengan regenerasi
planlet. Pada berbagai peneitian, PEG yang digunakan adalah PEG dengan berat
molekul 3 000 (Qadir & Al- Ka’abay, 2011), berberat molekul 6 000 (Sakthivelu
10. et al., 2008; Hassan et al., 2004; dan Biswas et al., 2002) dan berberat molekul
8000 (Arvin & Donelly, 2008).
Cekaman kekeringan in vitro yang diciptakan dengan menambahkan PEG
pada media MS0 dapat digunakan untuk mempelajari respon fisiologis tanaman
uji seperti panjang akar, panjang batang, dan interaksi biokimia dalam tanaman uji
tersebut. Penapisan in vitro berguna dalam menyeleksi kultivar tanaman tertentu
di dalam proses pemuliaan tanaman dalam cekaman abiotik semisal kekeringan.
Berikut akan diberikan contoh respon tanaman kedelai, tomat, kentang, padi,
jewawut, dan bunga matahari dengan perlakuan PEG.
Studi Kasus Penggunaan PEG sebagai Agen Penyeleksi terhadap Cekaman
Kekeringan
Efektivitas Polietilena Glikol untuk Mengevaluasi Tanggapan Genotipe
Kedelai terhadap Cekaman Kekeringan pada Fase Perkecambahan oleh
Widoretno, et al. (2002).
Perkecambahan benih kedelai menurun akibat meningkatnya konsentrasi
PEG pada media perkecambahan. Hal ini diduga terjadi akibat terhambatnya
proses pembelahan sel, pemanjangan sel, atau keduanya akibat cekaman
kekeringan yang disimulasikan dengan PEG. Menurunnya transportasi sukrosa
dari kotiledon ke poros embrio pada benih Cicer arientinum yang berkecambah
juga diamati dalampenelitian sebelumnya. Pada kedelai panjang hipokotil
kecambah lebih sensitif terhadap cekaman kekeringan dibandingkan dengan
panjang akar kecambah. Cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG
juga dilaporkan berpengaruh negatif terhadap panjang dan bobot kering epikotil
11. dan hipokotil kecambah C. arientinum. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa genotipe kedelai yang toleran dan yang peka cekaman kekeringan
mempunyai tanggap yang berbeda terhadap simulasi cekaman kekeringan oleh
PEG pada konsentrasi tertentu. Genotipe kedelai yang toleran cekaman
kekeringan (MLG2805) mempunyai indeks potensial tumbuh maksimum (PTM),
indeks daya berkecambah (DB), indeks bobot kering kecambah (BKK), dan
indeks panjang hipokotil (PH) yang tinggi. Sebaliknya, genotipe kedelai yang
peka (MSC8606) mempunyai indeks PTM, indeks DB, indeks BKK, dan indeks
PH yang rendah. Di antara empat indeks perkecambahan yang dapat digunakan
untuk menilai respons kedelai terhadap cekaman kekeringan, indeks BKK (PEG
10%) merupakan peubah yang tidak direkomendasikan mengingat pengukuran
BKK bersifat destruktif. Indeks DB tidak disarankan untuk digunakan mengingat
peubah perkecambahan ini biasanya digunakan untuk mengukur kualitas fisiologi
benih dalam media perkecambahan yang optimum. Indeks PTM pada konsentrasi
PEG 20% dan indeks PH pada konsentrasi PEG 5% merupakan peubah yang
dapat diamati dengan mudah dan dapat digunakan untuk menilai respons kedelai
terhadap cekaman kekeringan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa PEG
dapat menghambat proses perkecambahan kedelai yang ditandai dengan
menurunnya potensi tumbuh maksimum, daya berkecambah, bobot kering
kecambah, panjang akar, dan panjang hipokotil. Indeks PTM pada 20% PEG dan
indeks PH pada 5% PEG dapat digunakan sebagai media seleksi kedelai untuk
toleransi terhadap kekeringan di tingkat perkecambahan. Hasil evaluasi pada
benih kedelai tersebut mendukung data yang telah dilaporkan sebelumnya. Pada
12. pengujian benih cabai dan terong, penurunan daya berkecambah dalam media
dengan PEG dapat digunakan untuk menduga tanggap genotipe cabai dan terong
yang diuji terhadap cekaman kekeringan. Larutan PEG dengan potensial air -0.3
MPa diketahui optimum untuk menentukan tanggap genotipe cabai dan terong
terhadap cekaman kekeringan. Dalam kondisi ini, genotipe yang daya
berkecambahnya tinggi merupakan genotipe yang toleran, sedangkan yang rendah
merupakan genotipe yang peka terhadap cekaman kekeringan. Simulasi cekaman
kekeringan menggunakan PEG menjadi alternatif metode untuk menapis genotipe
yang toleran kekeringan. Metode ini mampu menapis genotipe kedelai toleran
kekeringan dengan cepat, memberikan lingkungan seleksi yang homogen, serta
mengevaluasi genotipe kedelai dalam jumlah banyak.
Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah hasil seleksi in vitro Pada media
polietilena glikol terhadap cekaman Larutan polietilena glikol oleh Hermon
(2009). Penyiraman tanaman kacang tanah dengan larutan PEG 15% nyata
menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dihasilkan dari ES hasil
seleksi in vitro dua siklus (seleksi berulang) pada media selektif PEG 15%
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan penghambatan
pertumbuhannya lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada
media selektif PEG 15% dan tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro.
Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) mempunyai tingkat
toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG. Seleksi ES dua siklus pada
media selektif PEG 15%menghasilkan individu galur kacang tanah agak toleran
dan toleran lebih banyak.
13. Penggunaan Polyethylen Glycol (PEG) sebagai Seleksi Ketahanan Kalus
dan Planlet Beberapa Varietas Tebu terhadap Sifat Kekeringan oleh Musa (2008).
Varietas R 579 memberikan pertumbuhan kalus dan planlet terbaik yaug
diperlihatkan pada parameter persentase kematian kalus, warna kalus, kecepatan
pembentukan akar dan jumlah anakan. Sedangkan varietas Philipina yang
memberikan tinggi tunas, jumlah akar, panjang akar dan pertumbuhan planlet
terbaik. Batas ketahanan varietas tebu terhadap cekaman kekeringan diperoleh
pada konsentrasi PEG 20 g/L, pada setiap penambahan konsentrasi PEG kalus dan
planlet mengalami penurunan pertumbuhan. Terdapat interaksi yang nyata antara
varietas dengan konsentrasi PEG yang diberikan terhadap kecepatan sifat kalus
dan planlet tebu. Varietas R 579 dengan konsentrasi PEG 0 g/L memberikan
pertumbuhan terbaik.
14. BAB III
PENUTUP
Cekaman kekeringan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam
budidaya beberapa tanaman di lahan kering karena ketersediaan air tidak selalu
terjamin sepanjang musim tanam, terutama pada musim-musim menjelang
kemarau.
Cekaman kekeringan yang terjadi selama tahap vegetatif dan reproduksi
telah menurunkan produksi biomassa pada kutivar padi sebesar 36–44%. Hal ini
menunjukkan bahwa cekaman abiotik menyebabkan kerugian dalam segi finansial
hingga beberapa juta dolar setiap tahun karena penurunan dan kegagalan panen.
Bioteknologi diharapkan dapat memberikan solusi dalam penyelesaian
masalah cekaman abiotik ini, salah satunya melalui penapisan awal secara in vitro.
teknik kultur jaringan dapat memberikan harapan dalam perbanyakan dan
penapisan dini tanaman tertentu dengan kondisi lingkungan yang dapat dikontrol.
Selanjutnya metode seleksi in vitro ini menunjukkan keberhasilan dalam
menghasilkan berbagai tanaman yang tahan terhadap cekaman kekeringan.
Variasi somaklonal juga merupakan sarana alternatif dalam pemuliaan
tanaman untuk menciptakan varietas-varietas baru yang resisten terhadap penyakit
dan herbisida, toleran terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim misalnya
kekeringan (drought tolerance)
15. DAFTAR PUSTAKA
Arvin, M.J. and J. Donnelly. 2008. Screening potato cultivars and wild species to
abiotic stresses using an electrolyte leakage bioassay. J. Agric. Sci.
Technol 10:33-42.
Biswas, J., B. Chowdhury, A. Bhattacharya, and A.B. Mandal. 2002. In vitro
screening for increased drought tolerance in rice. In Vitro Cell. Dev. Biol.
Plant. 38:525–530.
Hassan, N.S., L.D. Shaaban, E.S.A. Hashem, and E. Seleem. 2004. In vitro
selection for water stress tolerant callus line of Helianthus annus L. Cv.
Myak. Int. J. Agri. Biol. 6(1):1-18.
Hermon, A.F. 2009. Pertumbuhan tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro
pada media Polietilena Glikol terhadap cekaman larutan Polietilena
Glikol. Crop. Agro 2(1):1-7.
Hermon, A.F. 2010. Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dan seleksi in
vitro untuk identifikasi embrio somatik kacang tanah cv. lokal bima yang
toleran pada media Polietilena Glikol. Crop. Agro 3(1):65-71.
Kulkarni, M., and U. Deshpande. 2007. In vitro screening of tomato genotypes for
drought resistance using Polyethylene Glycol. Afr. J. Biotechnol 6(6):691-
696.
Musa, Y. 2008. Penggunaan Polyethylen Glycol (PEG) sebagai seleksi ketahanan
kalus dan planlet beberapa varietas tebu terhadap sifat kekeringan. J.
Agrivigor 7(2):130-140.
Qadir, L.H.A. and H.K. Al-Ka’aby. 2011. The effect of water stress on callus and
somatic embryos formation of rice (Oryza sativa L.) Cv. Jasmine cultured
in vitro. Journal of Basrah Researches (Sciences) 37(3):1-10.
Sakthivelu, G., M.K.A. Devi, P. Giridhar, T. Rajasekaran, G.A. Ravishankar, T.
Nedev, and G. Kosturkova. 2008. Drought-induced alterations in growth,
16. osmotic potential and in vitro regeneration of soybean cultivars. Gen.
Appl. Plant Physiology 34(1-2):103-112.
Sunaryo, W. 2002. Regenerasi dan Evaluasi Variasi Somaklonal Kedelai
(Glycine max (L.) Merrill) Hasil Kultur Jaringan serta Seleksi
terhadap Cekaman Kekeringan Menggunakan Simulasi Polyethylene
Glycol (PEG). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 160 hal.
Widoretno, W., E. Guhardja, S. Ilyas, dan Sudarsono. 2002. Efektivitas
Polietilena Glikol untuk mengevaluasi tanggapan genotipe kedelai
terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Hayati
9(2):33-36.
Yudiwanti, Sudarsono, H. Purnamawati, Yusnita, D. Hapsoro, A.F. Hemon, dan
S. Soenarsih. 2008. Perkembangan pemuliaan kacang tanah di Institut
Pertanian Bogor. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian. 19 November 2007. Puslitbangtan, Badan
Litbang Pertanian, Deptan. Malang. Hal 152-161.
Yunita, R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam
perakitan tanaman toleran cekaman abiotik. Jurnal Litbang Pertanian
28(4):142-148.