Cerita ini menceritakan tentang seorang suami bernama Mas Poly yang jatuh cinta pada tetangganya, Gini. Dia mulai merayu Gini dengan memberikan puisi dan menceritakan kekurangan istrinya, Gami. Suami ini berencana menjadikan Gini istri keduanya. Namun rencananya gagal ketika Gini menikah dengan direkturnya dan Gami memutuskan bercerai karena tidak mau menjadi istri kedua.
1. Pikiran Rakyat
Sabtu, 02 Juni 2007
Perempuan Kedua
Cerpen: Labibah Zain
Perempuan berumah di ujung gang itu benar-benar membuat sekujur tubuhku tegang.
Cara bicaranya yang lembut, membuat aku kalang kabut. Sungguh aku tak mengira akan
jatuh cinta macam anak-anak SMA.
Aku bertemu perempuan itu, ketika menghindari tabrakan dengan ojek. Motor yang aku
kendarai dengan memboncengkan Dina, anak perempuanku itu, terjerembab di salah satu
got, dekat rumahnya. Tangis anakku yang meraung-raung, membuat perempuan itu datang
menawarkan bantuan. Gini, nama perempuan itu. Dia menggandeng Dina ke rumahnya
dengan kasih sayang seorang ibu.
Aroma sabun wangi badan Gini tercium tanpa sengaja olehku, ketika dia memberikan
secangkir air putih.
Sejak pertemuan itu, hidupku tak tenang. Aku mulai membanding-bandingkan keadaan
perempuan itu dengan Gami, istriku. Seandainya istriku bisa serapi Gini, pastilah aku
tambah betah di rumah. Seandainya perut istri serata Gini, pastilah aku tak harus mencari-cari
foto-foto wanita setengah telanjang di tabloid jalanan hanya untuk meningkatkan
gairahku di kasur. Tetapi, semua membuatku frustrasi. Begitu membuka mata, yang kulihat
hanyalah tubuh Gami yang mulai berlemak di sana-sini.
Otakku mulai berputar-putar tak karuan. Bagaimana cara agar aku bisa mengunjungi Gini
tanpa ada yang curiga. Sungguh! Dua hari tak bertemu Gini, membuatku seperti orang gila.
Mulailah kuatur rencana demi rencana untuk bisa menemuinya.
**
Kucukur habis bulu-bulu yang ada diwajahku. Kusemprotkan minyak wangi di tubuhku.
Ah, ternyata aku masih ganteng juga. Kutatap wajahku di cermin. Tak kalahlah dengan
Doni Damara, pikirku. Melihat penampilanku, istriku bertanya-tanya. Katanya, aku seperti
orang yang sedang puber kedua. Aku bilang saja, semuanya kulakukan karena aku harus
foto buat kartu identitas di kantorku besok pagi. Istriku pun tampak paham.
Aku tidak bohong. Memang besok paginya ada acara foto-foto untuk melengkapi kartu
identitas perusahaan. Hanya saja, sepulang dari kantor, aku mengajak Dina untuk
mengunjungi Gini.
Gini dan dua anaknya, Tono dan Tini menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dina
langsung bermain sepeda dengan mereka. Aku pun duduk berdua dengan Gini di ruang
tamu. Dari percakapan sore itu, aku tahu kalau Gini seorang pengajar bahasa Inggris di
salah satu lembaga bahasa. Satu ide melintas. Saat itu, aku meminta Gini untuk
memberikan kursus bahasa Inggris buat Dina, karena Dina berumur 4 tahun. Sudah saatnya
belajar bahasa Inggris. Gini setuju untuk memberi kursus Dina setiap hari Senin dan Rabu.
Ketika pulang ke rumah dan kurundingkan dengan Gami tentang kursus itu, dia tak
keberatan sedikit pun.
Sejak itu, hari Senin dan Rabu merupakan hari yang sangat kutunggu-tunggu. Kursus hanya
berlangsung selama satu jam saja, tetapi Dina selalu meminta untuk tinggal di rumah Gini
agak lama, karena dia ingin bermain bersama Tini dan Tono. Jadilah aku punya alasan
2. untuk ngobrol panjang lebar dengan Gini.
Berbicara dengan Gini, aku serasa menemukan masa mudaku lagi. Ternyata Gini suka
puisi. Lantaran bicara puisi-puisi Gibran, kami menjadi semakin akrab dan terbuka.
Gini juga bercerita tentang seorang duda, yang menjadi direktur lembaga bahasa tempat ia
bekerja itu, beberapa kali memintanya untuk menjadi istrinya. Bagi Gini, penampilan duda
itu tak menarik. Dia lebih suka lelaki yang suka menghadiahinya puisi, seperti almarhum
suaminya.
Tahu akan hal itu, aku pun getol menghadiahi satu puisi buat Gini setiap pagi. Puisi itu aku
serahkan sebelum aku pergi ke kantor. Sepulang kerja, aku pun sering mampir ke rumahnya
hanya untuk mencekoki Gini dengan kata-kata yang menghiba-hiba tentang penderitaanku
sejak menikahi Gami.
"Jangankan merawat anak dan suami, merawat diri pun dia tak mampu. Daster kumalnya
menjadi pemandanganku sehari-hari. Makanan hambar alakadarnya menjadi menuku
sehari-hari. Tempat tidur bau ompol anak, menjadi alas tidurku sepanjang malam.
Dengkuran istriku menjadi musik pengantar tidurku. Secangkir teh atau kopi sepulang kerja
hanyalah impian. Aku sangat menderita!"
Gini memandangku dengan muka murung. Sepertinya aku sudah berhasil menarik
simpatinya dengan rahasia-rahasia rumah tanggaku.
''Seandainya istriku itu adalah kamu, Gini.''
Pipi Gini merona. Matanya berkejapan. Aku merasa terbang ke langit ketujuh. Seperti
berdendang, kata-kata itu terus ku ulang-ulang.
Lama-kelamaan, aku punya keyakinan, kalau Gini juga menaruh perhatian terhadapku.
Oleh karenanya, dengan mengumpulkan segala keberanian, aku menyatakan cinta di
beranda rumahnya! Gini tersentak. Tetapi di wajahnya, aku melihat kebahagiaan yang
menggelegak.
Dia berkata, "Mas 'kan sudah punya istri...."
"Tapi kau 'kan tahu kalau aku menderita?"
"Selesaikan baik-baik hubungan Mas dengan Isteri. Kalau memang Mas tak bahagia, Mas
harus menceraikannya secara baik-baik atau minta izin kepadanya untuk menikahiku."
Aku bersorak. Masalah dengan istriku? Gampanglah diatur.
Dengan hati berbunga-bunga, aku pulang ke rumah. Begitu malam tiba, kutidurkan Dina
sebelum jamnya. Setelah itu, aku mulai mencumbui Gami seperti layaknya pengantin baru.
Usai bercinta, kubuatkan istriku mi goreng instant. Sepiring berdua kami makan bersama.
Selama dua minggu kami tampak mesra. Gami menatap curiga tetapi dia tampak bahagia.
Pada minggu ketiga, mulailah aku bercerita tentang banyaknya orang-orang yang perlu
disantuni. Anak yatim dan janda yang terlunta-lunta. Gami yang mudah tersentuh sangat
terharu, tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemukakan pintu surga bagi istri yang
merelakan suaminya menikahi janda miskin.
Dari tatapan matanya, aku tahu hatinya teriris. Tapi tekatku tak terkikis. Kupeluk dia. Di
3. telinganya, kubisikan betapa aku mencintai dia dan berjanji semuanya takkan berubah.
Istriku menatapku. Dia bilang, dia ingin bertemu Gini. Aku pun setuju. Kucium keningnya.
Kuusap-usap rambutnya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di
pelukanku.
**
Akhirnya di rumahku, kedua perempuan itu bertemu. Dari jendela rumahku, aku bisa
melihat kalau istriku tampak tegang dan Gini tampak salah tingkah. Tetapi, beberapa saat
kemudian mereka bersalaman, mulai bicara dan akhirnya tertawa-tawa. Sejak itu, keduanya
memang tambah akrab. Aku lega. Hajadku ada di depan mata!
**
Pagi ini, ketika aku hendak menyelipkan satu puisi di rumah Gini, aku mendapati rumah
Gini lengang. Suara keributan anak-anak Gini karena hendak bersiap-siap berangkat ke
sekolah, tak kudengar.
Kuketuk rumahnya berkali-kali. Tak ada yang menjawab. Aku semakin keras mengetuk
pintunya. Sepi!
Kugedor dan kugedor lagi pintunya. Kali ini, Ibu Karto, tetangga sebelah rumahnya,
muncul dan mengabarkan bahwa Gini dan anak-anaknya pulang ke kampung halaman
untuk mempersiapkan pernikahannya dengan direkturnya!
Gini, perempuan ranum yang hendak kujadikan istri keduaku, hendak menikah tanpa
memberitahuku sama sekali.
Kurasakan perasaan tersinggung mulai menggelegak di dadaku! Dalam keadaan limbung,
aku ingat istriku. Perempuan setia yang selalu menerimaku apa adanya. Boleh jadi
tubuhnya menjadi tak terawat, karena waktunya habis buat mengurus rumah tangga dan
uang belanja yang kuberikan dihabiskannya buat urusan keluarga daripada untuk dirinya
sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memeluk istriku dan meneriakkan betapa tak ada perempuan
lain yang lebih aku butuhkan di dalam hidupku selain dirinya.
Sepeda motor pun kukebut dengan kecepatan tak kira-kira. Sampai di rumah, kembali aku
terpana. Kudapati rumahku tak berpenghuni. Kuperiksa pot tanaman, tempat Gami biasa
menyimpan kunci kalau dia harus pergi. Di situ kutemukan kunci rumahku dan sepucuk
surat.
Mas Poly,
Merangkai kata, aku memang tak pandai tetapi semoga yang akan kusampaikan ini bisa
kau mengerti.
Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatiannya membuatku berbunga-bunga.
Tetapi kemudian aku sadar bahwa cinta itu seperti tanaman. Dia bisa mati kalau kita tak
merawatnya. Nah! Cinta yang kita bina sudah layu! Hampir mati! Kalau aku mencoba
merawat tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa yakin kalau dua-duanya tak mati?
Sedang merawat satu tanaman saja, aku tak bisa?
Oleh karenanya, aku memutuskan untuk merawat cinta kita dan mematikan cinta-cinta
4. yang lain. Bagiku keluarga berada di atas segala-galanya.
Tetapi, takdir bicara lain. Mas memilih hendak membawa tanaman lain dengan cara
menikah lagi. Bagiku, dua orang istri terlalu banyak dalam satu pernikahan dan susah
bagiku untuk berbagi perasaan. Daripada aku tertekan, akhirnya kuputuskan untuk
melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa berbahagia
dengan merawat satu cinta di keluarga masing-masing. Mas menikah dengan Gini. Aku
pun akan bahagia karena Mas Mono, tetangga kita yang pernah memberikan perhatiannya
kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa idahku.
Salam Gami ?
Aku merasa tubuhku dipukul-pukul dengan martil hingga lenyap terkubur rencana-rencanaku
sendiri. Kupandangi rumah Mono. Tiba-tiba, aku ingin membunuh perjaka tua
itu!***
Januari, 2007