SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Jawa Pos 
Minggu, 01 Juli 2007 
Pintu yang Terkunci 
Cerpen: Azizah Hefni 
Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas 
mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu 
meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, 
mengambil tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia 
membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan 
menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti 
pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para murid. 
Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk 
mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai 
perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku 
melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. 
Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali 
hadir di rumah ini. 
Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. 
Seperti beberapa malam yang lalu. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak 
deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan 
kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa 
bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. 
Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, 
mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku, dan 
membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi 
sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia 
berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan. 
Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, 
banyak darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku 
seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. 
Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. 
Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Napasku 
terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu 
saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. 
Gelap yang sungguh pengap. 
*** 
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih 
berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. 
Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti 
ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang 
ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, 
kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apa pun. Aku tetaplah 
perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa 
bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat 
tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya 
dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya 
sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang 
bila berani lewati batas pintu.
Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. 
Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali 
aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa 
melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam 
gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap 
keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah 
sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak 
bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh. 
Telepon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki 
gagah itu yang meneleponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku 
bergegas menuju meja telepon. 
"Hallo?" 
"Ini aku, Gesti." 
Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh 
pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah 
hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali 
berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa 
berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan 
yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga --walaupun entah apakah itu-- 
yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku. 
"Aku melihat suamimu bersama seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja." 
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti 
memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku 
berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya 
hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat. 
"Dan...dan aku...." Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar 
biasa. "Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan..." Ketegangan itu memuncak. Aku 
seperti terdakwa yang sedang mendengarkan vonis hukuman mati dari majelis hakim. Satu-satu 
varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi 
yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. "...mereka memesan sebuah 
kamar hotel." 
Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya 
berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar 
kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku 
nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi aku tertahan sesuatu yang bulat dari 
bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca-pernikahan. 
Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan. Benar, semua menumpuk 
membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini 
memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. 
Aku tak betah. 
Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras 
dari tsunami yang melipat ratusan hektare daratan. Lebih sakit dari seribu Izrail mencabut 
ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau 
neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekadar 
melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh 
lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu. 
***
Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam 
dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki 
gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung 
meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, 
pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satu pun tidak. Aku hanya 
mengerti bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan 
makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu 
kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk 
rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. 
Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang berada dalam 
sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah. 
Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. 
Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam 
ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku. Aku istri yang dibelinya atas nama 
Tuhan. Dan, ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak 
ada yang lain. 
Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. 
Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan 
mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar 
hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah 
duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. 
Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh 
khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia! 
*** 
Malam kedua, ketiga, dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku 
mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah 
separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah 
mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selangkangan juga sudah tak 
mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi 
lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. 
Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai 
dan duduk tegang di bibir ranjang. 
Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah 
lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk. 
Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah kata pun, ia 
mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara 
pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail 
yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur 
begitu saja. Tanpa bilang, "Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!" 
Aku menelan ludah. 
*** 
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku 
terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernapas. 
Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai 
merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara 
denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi? 
Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu ia melangkah mencari hal 
dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, 
beberapa jam ke depan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa
suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, 
tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan. Budak. Bila tak lagi difungsikan, 
lantas? 
Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna. 
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak 
rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa 
bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, 
luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat. 
"Kau sudah tidak berguna!" Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang 
gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. "Pergi sekarang!!" 
Tanpa tahu apa pun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku 
membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja 
rias. Darah mulai mengalir lagi. 
Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan 
dengan keluguan air mata. Kukatakan, "Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang 
begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni 
tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku 
selalu terima dia mengunciku!" 
"Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas, pergi dari sini! Bahkan aku 
memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!" 
Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. 
Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata 
batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang 
kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya! 
*** 
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga 
baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. 
Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu. 
Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling 
menjelaskan keduanya. Ia datang dan pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas 
dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. 
Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya 
menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu 
ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing 
yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan, dan 
seterusnya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang 
terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotek 
kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau 
bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. 
Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya 
melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada 
jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu. 
Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap 
hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan 
hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan 
pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di 
ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk 
punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan 
mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki 
gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu 
tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah 
miliknya. 
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan 
wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi. 
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap 
dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air 
dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita 
dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan 
yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. 
Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru! 
*** 
Malang, 01 September 2006 
*) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja 
sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006
Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan 
pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di 
ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk 
punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan 
mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki 
gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu 
tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah 
miliknya. 
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan 
wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi. 
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap 
dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air 
dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita 
dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan 
yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. 
Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru! 
*** 
Malang, 01 September 2006 
*) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja 
sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006

More Related Content

What's hot

Mudah datang dan medah pergi
Mudah datang dan medah pergiMudah datang dan medah pergi
Mudah datang dan medah pergi
PT. AHLAKUL KARIM
 
Cerita ibu tunggal
Cerita ibu tunggalCerita ibu tunggal
Cerita ibu tunggal
Bigboy Zam
 
036. dewi dalam pasungan
036. dewi dalam pasungan036. dewi dalam pasungan
036. dewi dalam pasungan
Alen Pepa
 
Cerita bro
Cerita broCerita bro
Cerita bro
Ary Ain
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembang
desmin
 
Aku tdk lbh dulu ke surga
Aku tdk lbh dulu ke surgaAku tdk lbh dulu ke surga
Aku tdk lbh dulu ke surga
hernowo14
 
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surga
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surgaAku tidak-lebih-dulu-ke-surga
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surga
asaeah
 

What's hot (19)

Mudah datang dan medah pergi
Mudah datang dan medah pergiMudah datang dan medah pergi
Mudah datang dan medah pergi
 
Cerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantianCerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantian
 
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
 
Cerita ibu tunggal
Cerita ibu tunggalCerita ibu tunggal
Cerita ibu tunggal
 
036. dewi dalam pasungan
036. dewi dalam pasungan036. dewi dalam pasungan
036. dewi dalam pasungan
 
Cerita bro
Cerita broCerita bro
Cerita bro
 
Aku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamikuAku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamiku
 
Cerpen Pencuri Cahaya
Cerpen Pencuri CahayaCerpen Pencuri Cahaya
Cerpen Pencuri Cahaya
 
Cerita Dewasa Sensasi Mesum Bersama Sahabat Istriku
Cerita Dewasa Sensasi Mesum Bersama Sahabat IstrikuCerita Dewasa Sensasi Mesum Bersama Sahabat Istriku
Cerita Dewasa Sensasi Mesum Bersama Sahabat Istriku
 
Aku mencintaimu
Aku mencintaimuAku mencintaimu
Aku mencintaimu
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembang
 
Judul decak barito
Judul decak baritoJudul decak barito
Judul decak barito
 
Aku tersesat
Aku tersesatAku tersesat
Aku tersesat
 
The Unforgetable
The UnforgetableThe Unforgetable
The Unforgetable
 
[Ficlet] rain sound
[Ficlet] rain sound[Ficlet] rain sound
[Ficlet] rain sound
 
Aku tdk lbh dulu ke surga
Aku tdk lbh dulu ke surgaAku tdk lbh dulu ke surga
Aku tdk lbh dulu ke surga
 
Tidak lebih dulu ke surga
Tidak lebih dulu ke surgaTidak lebih dulu ke surga
Tidak lebih dulu ke surga
 
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surga
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surgaAku tidak-lebih-dulu-ke-surga
Aku tidak-lebih-dulu-ke-surga
 
Kata mutiara
Kata mutiaraKata mutiara
Kata mutiara
 

Viewers also liked

Viewers also liked (8)

Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
 
Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)
 
Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)
 
Sepekan di jakarta (asmadji as muchtar)
Sepekan di jakarta (asmadji as muchtar)Sepekan di jakarta (asmadji as muchtar)
Sepekan di jakarta (asmadji as muchtar)
 
Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)Timbunan sampah (edi supardi emon)
Timbunan sampah (edi supardi emon)
 
Teratai malam (nugroho sukmanto)
Teratai malam (nugroho sukmanto)Teratai malam (nugroho sukmanto)
Teratai malam (nugroho sukmanto)
 
Perempuan kedua (labibah zain)
Perempuan kedua (labibah zain)Perempuan kedua (labibah zain)
Perempuan kedua (labibah zain)
 
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
 

Similar to Pintu yang terkunci (azizah hefni)

Similar to Pintu yang terkunci (azizah hefni) (17)

Tukang urut di tepi danau (martin aleida)
Tukang urut di tepi danau (martin aleida)Tukang urut di tepi danau (martin aleida)
Tukang urut di tepi danau (martin aleida)
 
Ery
EryEry
Ery
 
Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)
 
Guruji.docx
Guruji.docxGuruji.docx
Guruji.docx
 
Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)
 
Pengenalan Karangan
Pengenalan KaranganPengenalan Karangan
Pengenalan Karangan
 
Monolog kasir kita.docx
Monolog kasir kita.docxMonolog kasir kita.docx
Monolog kasir kita.docx
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Karangan cerpen sendiri
Karangan cerpen sendiriKarangan cerpen sendiri
Karangan cerpen sendiri
 
Fifty Shades Darker (indonesia)
Fifty Shades Darker (indonesia)Fifty Shades Darker (indonesia)
Fifty Shades Darker (indonesia)
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Ghost Mother.docx
Ghost Mother.docxGhost Mother.docx
Ghost Mother.docx
 
Ng... (alex r)
Ng... (alex r)Ng... (alex r)
Ng... (alex r)
 
Sungai yang tenang (hudan hidayat)
Sungai yang tenang (hudan hidayat)Sungai yang tenang (hudan hidayat)
Sungai yang tenang (hudan hidayat)
 

More from Arvinoor Siregar SH MH

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Recently uploaded

Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Jual Obat Aborsi Apotik Jual Obat Cytotec Di Sorong
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
ssupi412
 
ucapan terima kasih untuk anak magang SMK
ucapan terima kasih untuk anak magang SMKucapan terima kasih untuk anak magang SMK
ucapan terima kasih untuk anak magang SMK
MitratunggalsentosaB
 

Recently uploaded (17)

UNIKBET : Bandar Slot Pragmatic Play Bisa Menggunakan Paytren Bonus Terbesar
UNIKBET : Bandar Slot Pragmatic Play Bisa Menggunakan Paytren Bonus TerbesarUNIKBET : Bandar Slot Pragmatic Play Bisa Menggunakan Paytren Bonus Terbesar
UNIKBET : Bandar Slot Pragmatic Play Bisa Menggunakan Paytren Bonus Terbesar
 
Popi99 Link Situs Slot Gacor Paling Gampang Menang 2024
Popi99 Link Situs Slot Gacor Paling Gampang Menang 2024Popi99 Link Situs Slot Gacor Paling Gampang Menang 2024
Popi99 Link Situs Slot Gacor Paling Gampang Menang 2024
 
Nila88 Link Situs Slot Anti Rungkad Paling Viral Hari Ini
Nila88 Link Situs Slot Anti Rungkad Paling Viral Hari IniNila88 Link Situs Slot Anti Rungkad Paling Viral Hari Ini
Nila88 Link Situs Slot Anti Rungkad Paling Viral Hari Ini
 
Popi99 Agen Situs Slot Gacor Server Luar Negeri Super Maxwin Malam Ini
Popi99 Agen Situs Slot Gacor Server Luar Negeri Super Maxwin Malam IniPopi99 Agen Situs Slot Gacor Server Luar Negeri Super Maxwin Malam Ini
Popi99 Agen Situs Slot Gacor Server Luar Negeri Super Maxwin Malam Ini
 
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
 
IDMPO : SERVER SLOT LUAR NEGERI DI JAMIN GACOR TERPERCAYA
IDMPO : SERVER SLOT LUAR NEGERI DI JAMIN GACOR TERPERCAYAIDMPO : SERVER SLOT LUAR NEGERI DI JAMIN GACOR TERPERCAYA
IDMPO : SERVER SLOT LUAR NEGERI DI JAMIN GACOR TERPERCAYA
 
Lim4D Agen Situs Slot Gacor Online Hari Ini Gampang Menang Terbaru
Lim4D Agen Situs Slot Gacor Online Hari Ini Gampang Menang TerbaruLim4D Agen Situs Slot Gacor Online Hari Ini Gampang Menang Terbaru
Lim4D Agen Situs Slot Gacor Online Hari Ini Gampang Menang Terbaru
 
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
 
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
 
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto CuanSakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
Sakai99 Agen Situs Slot Online Resmi Terpercaya Mudah Maxwin Auto Cuan
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
 
ucapan terima kasih untuk anak magang SMK
ucapan terima kasih untuk anak magang SMKucapan terima kasih untuk anak magang SMK
ucapan terima kasih untuk anak magang SMK
 
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
 
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin TerpercayaPapilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
Papilo99 Link Slot Online Gacor Hari Ini & Slot Mudah Maxwin Terpercaya
 
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
 
IDMPO SLOT MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA MASA KINI
IDMPO SLOT MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA MASA KINIIDMPO SLOT MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA MASA KINI
IDMPO SLOT MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA MASA KINI
 
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
 

Pintu yang terkunci (azizah hefni)

  • 1. Jawa Pos Minggu, 01 Juli 2007 Pintu yang Terkunci Cerpen: Azizah Hefni Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, mengambil tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para murid. Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali hadir di rumah ini. Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. Seperti beberapa malam yang lalu. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku, dan membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan. Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, banyak darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Napasku terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. Gelap yang sungguh pengap. *** Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apa pun. Aku tetaplah perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang bila berani lewati batas pintu.
  • 2. Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh. Telepon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki gagah itu yang meneleponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku bergegas menuju meja telepon. "Hallo?" "Ini aku, Gesti." Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga --walaupun entah apakah itu-- yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku. "Aku melihat suamimu bersama seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja." Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat. "Dan...dan aku...." Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar biasa. "Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan..." Ketegangan itu memuncak. Aku seperti terdakwa yang sedang mendengarkan vonis hukuman mati dari majelis hakim. Satu-satu varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. "...mereka memesan sebuah kamar hotel." Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi aku tertahan sesuatu yang bulat dari bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca-pernikahan. Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan. Benar, semua menumpuk membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. Aku tak betah. Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras dari tsunami yang melipat ratusan hektare daratan. Lebih sakit dari seribu Izrail mencabut ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekadar melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu. ***
  • 3. Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satu pun tidak. Aku hanya mengerti bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang berada dalam sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah. Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku. Aku istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Dan, ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak ada yang lain. Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia! *** Malam kedua, ketiga, dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selangkangan juga sudah tak mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai dan duduk tegang di bibir ranjang. Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk. Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah kata pun, ia mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur begitu saja. Tanpa bilang, "Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!" Aku menelan ludah. *** Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernapas. Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi? Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu ia melangkah mencari hal dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, beberapa jam ke depan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa
  • 4. suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan. Budak. Bila tak lagi difungsikan, lantas? Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna. Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat. "Kau sudah tidak berguna!" Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. "Pergi sekarang!!" Tanpa tahu apa pun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja rias. Darah mulai mengalir lagi. Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan dengan keluguan air mata. Kukatakan, "Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku selalu terima dia mengunciku!" "Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas, pergi dari sini! Bahkan aku memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!" Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya! *** Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu. Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling menjelaskan keduanya. Ia datang dan pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan, dan seterusnya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotek kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu. Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
  • 5. Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya. Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi. Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru! *** Malang, 01 September 2006 *) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006
  • 6. Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya. Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi. Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru! *** Malang, 01 September 2006 *) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006