arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasuarvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Cerita Lidya Si Gadis Desa Yang Berjuang Hidup Di Kota
1. Jawa Pos
Minggu, 08 Juli 2007
Teratai Malam
Cerpen: Nugroho Sukmanto
"Aku mengerti, kalau Mas tak mau menjengukku di Sukamiskin. Aku berjanji, ini terakhir
kali aku merepotkan. Tolong pulangkan adikku ke Singkawang! Aku hamil, tak ingin aku
melihat dia meratapi kakaknya yang diperlakukan lebih hina dari binatang."
Walau hanya terpancar dari kertas selembar, aku bisa merasakan. Saat menulis surat itu,
Lidya tidak menangis. Mungkin dia telah pasrah berada di puncak kepedihan. Tak seperti
biasanya --paling tidak tiga kali; sekali berhadapan, kedua melalui telepon, dan ketiga lewat
SMS-- dia tumpahkan kekesalannya dengan linangan air mata.
Sepengetahuanku dia hanya menangis karena kesal. Kadang sebagai ungkapan kesedihan.
Hanya sebentar, tidak pernah melepas tangis berlama-lama meratapi suratan. Karena,
meratap tidak menghadirkan jalan keluar. Meratap itu cengeng. Meratap itu resah. Meratap
itu lemah, tanda putus asa, tiada gairah. Itu yang dia camkan di dalam dada dan kepalanya.
Nasihatku saat pertama kali bertemu. Tetapi, tanpa nasihatku pun, perangainya selalu riang,
sebagai gadis yang terbiasa hidup sengsara di desa berbalut kemiskinan, permukiman
keturunan Tionghoa yang berbaur dengan masyarakat Dayak di Kalimantan.
Lidya, itu nama pemberianku. Di kampung dia dipanggil Ye Lian yang berarti "teratai
malam". Adalah harapan ayahnya, dia akan seperti teratai. Bunga lambang kesucian dan
kekuatan, yang selalu mengambang di atas air; penanda kehidupan, tetapi sekaligus
pendulang bencana. Dan, dia akan tegar dalam keadaan sesulit apa pun, yang dilambangkan
gelapnya malam.
"Mendiang Papa meminta aku dapat bertahan hidup dalam bencana dan kesulitan,"
tuturnya.
"Aku menangis karena kesal. Bukan karena sedih!" Dia menegaskan. Waktu itu aku marah
melihatnya menyeka genangan di sela kelopak matanya, saat disorot kamera.
"Mengapa gampang sekali kamu menangis di depan publik, sih? Memalukan!" hardikku
kemudian.
"Karena pembelaanku selalu sia-sia. Tak dapat membalas perlakuan yang semestinya tak
kuterima."
Ternyata kekesalannya melahirkan ganjalan menyumbat saluran pernapasan. "Dengan
menangis, ganjalan itu serasa mencair dan kemudian mengalir menggenangi kedua
mataku," kilahnya.
Aku pun terdiam dan bertambah yakin bahwa dia kuat, tegar, dan tabah. Tetapi kekuatan,
ketegaran, dan ketabahan yang dia miliki, tak pernah mampu menepis kenaifan seorang
perempuan, sehingga dia selalu mudah dipecundangi. Dasar perempuan udik! Begitulah
omelanku, setiap kali menyaksikan dia salah melangkah, lalu terjerembab. Tapi aku yakin
dia tidak dungu, hanya terlalu lugu.
Dia banyak teman, tetapi hampir semua mengkhianati. Dia banyak kenalan, tetapi hanya
ingin menikmati pesona diri yang dia miliki. Dan, yang memacari terakhir ini, tenggelam
oleh aura dan kharismanya, kemudian hanya berharap mendapat percikan materi. Materi
2. hadiah-hadiah suaminya, saat dia masih berstatus sebagai istri anak seorang taipan, pemilik
pabrik baja asal Kalimantan juga.
Saat dia menceritakan perceraiannya aku hanya dapat mengelus dada. Ternyata dia tidak
mensyukuri nikmat. Kehidupan mapan yang seharusnya dinikmati, dia korbankan demi
aktualisasi diri; menjadi pemain film, peragawati, merangkap sebagai penyanyi. Mungkin
dia lebih puas berpredikat sebagai seorang selebriti. Untuk itu aku merasa bersalah, karena
akulah yang mendorongnya agar berprestasi di bidang yang potensi dirinya bisa tampil,
menjalani pilihan profesi.
Memang bukan kemewahan dan bukan materi berlebihan yang pernah kuberikan. Hanya
sebatas mencukupi kebutuhan agar dia memiliki kemampuan dan pengetahuan saat terjun
di dunia fashion dan entertainment. Ternyata, peningkatan penguasaan bahasa sebagai alat
komunikasi, latihan peragaan busana dan olah vokal, serta kursus kepribadian yang dia
ikuti, mampu mengubah citra dirinya. Dari seorang gadis desa yang hanya berpendidikan
menengah rendah, menjadi salah seorang idola di dunia tarik suara dan primadona di
panggung peragaan busana. Namun, kegairahannya berprestasi ternyata telah melampaui
kesadaran akan kodratnya.
"Kamu telah mengingkari kodratmu sebagai perempuan, yang berkewajiban menjalani
kehidupan sebagai seorang istri, yang harus siap menjadi ibu. Bahagia dalam pengabdian
kepada suami dan keluarga," begitu saat itu aku mengingatkan.
"Tetapi apa salahnya sebagai istri aku tetap menekuni profesi?"
"Kehidupan bersahaja di lingkungan keluarga suamimu, tak akan menolerir sikap dan
tindakanmu. Mungkin suamimu tidak keberatan, karena dia berpendidikan, lulusan
universitas di negara liberal, Amerika. Tetapi aku kenal keluarganya, yang santun dan
sangat religius." Aku menambahkan, "Yang juga semestinya kamu syukuri, mereka sangat
menyayangi kamu."
"Iya sih, apalagi ibu mertuaku." Terlihat keharuan dan sedikit penyesalan di wajahnya.
Tetapi sekejap berubah menjadi ungkapan keheranan saat mengucapkan, "Tetapi ternyata
terbalik. Justru suamiku yang keberatan. Sementara keluarganya mendukung, asal aku
masih dapat menjaga diri, tidak melampaui batas-batas kesopanan dan juga tidak
menimbulkan citra yang mencederai nama baik keluarga."
"Karena alasan cemburu, kalau begitu! Atau dia menjadi sangat posesif setelah menikah."
"Memang lelaki selalu begitu?"
"Itu tanda dia sangat mencintaimu. Tetapi jangan terlalu naif, itu bisa juga berarti
ketidaksetujuan seluruh keluarga, yang diungkapkan lewat pernyataan dan sikap suamimu.
Kadang-kadang agar terlihat bijak, orang tua harus bersikap hipokrit."
"Aku tak mau menengok ke belakang, terus-menerus dihantui penyesalan. Yang sudah ya
sudah."
Kini Lidya harus menjalani hidup lajang lagi. Berstatus janda kembang. Kurasakan, tersirat
kekesalannya saat dia mengatakan, "Mas nggak mau menjadikan aku sebagai istri sih.
Kalau mau, dari dulu kan aku bisa konsentrasi menjalani profesi, sampai suatu saat aku
merasa siap hijrah ke Hongkong, sebelum ke Holywood."
"Poligami tak ada dalam kamus hidupku. Sedang menjadi wanita simpanan, memunculkan
citra yang tidak menunjang perjalanan karirmu." Aku tekankan lagi seperti yang pernah
kusampaikan kepadanya, dulu.
3. Lidya selalu berusaha terlihat tegar dan ceria. Tetapi, menatap ke depan, sendirian, dia
seperti kehilangan pegangan. Terkesan seperti wanita yang sedang menjajakan diri.
Menggelayuti lelaki, bergonta-ganti ke sana-kemari. Sampai suatu saat aku terkejut.
Sepertinya dia berpacaran dengan Bram, pemain tenis nasional yang beristrikan anak
seorang perwira tinggi polisi. Gila, aku bergumam saat membayangkan. Kalau istri Bram
tahu, celakalah keduanya.
Ternyata benar, SMS-SMS mereka terbaca istri Bram.
Saat kuterima telepon dari Lidya, aku sudah menduga, dia pasti akan berkeluh-kesah dan
berujung meminta saran.
"Mas, aku dikejar-kejar dan diancam."
"Oleh siapa?"
"Preman-preman suruhan istri Bram. Aku harus berbuat apa? Istri Bram minta bertemu."
"Temui saja! Selesaikan persoalannya."
"Pasti dia akan marah besar, lalu bisa berbuat seenaknya. Apa aku harus tinggal diam?!"
"Kalau kamu menantang itu bisa terjadi. Dan, perlawananmu akan sia-sia. Merendah saja.
Itu lebih baik!"
"Merendah bagaimana?"
"Mengaku saja sebagai pelacur."
"Gila, hina amat!"
"Percayalah, pengakuan sebagai wanita bayaran akan menyelamatkanmu." Lidya tak
menjawab.
"Kenapa kamu diam? Pasti kamu sedang menangis?!"
"Aku kesal. Bram ternyata bukan laki-laki. Mestinya dia yang harus menghadapi istrinya.
Bukan aku!"
"Kan dulu sudah kubilang, jangan pacaran dengan suami orang yang tak berpendirian."
"Kalau ditanya, aku harus mengatakan dibayar berapa?"
"5 juta sekali ketemu."
"Yang benar saja. Pemain sinetron dan presenter setingkat di bawahku saja, tarifnya 20 juta
sekali tampil!"
"Kalau tahu suaminya membayar mahal, dia tambah naik pitam. Sudahlah ikuti saja kata-kataku."
"Lalu kalau dia tanya tentang kata-kata mesra di HP suaminya yang sudah dia copy?"
"Bilang, itu yang menjawab adik atau asisten kamu yang sok tahu. Apa susahnya?!"
"Kenapa sih kamu dekat dengan Bram?" aku jadi ingin tahu.
"Dia menawari aku jadi freelance PR hotelnya yang akan dibangun di kawasan Mega
Kuningan. Eh, ujung-ujungnya dia hanya ingin mengajak kencan."
Pengakuan-pengakuan Lidya di hadapan istri Bram ternyata mampu meredam kemarahan.
Kecemburuan istri Bram beralih menjadi kekesalan kepada suaminya yang ternyata senang
"jajan" di luar rumah. Walaupun diliputi kemarahan, istri Bram masih bisa memaafkan,
karena hubungan Lidya dan suaminya hanya dilandasi transaksi kebutuhan penyaluran
4. birahi, bukan jalinan percintaan seperti yang semula dibayangkan.
Tetapi, kemarahan istri Bram yang telah reda, seketika meluap kembali, ketika mengetahui
Lidya masih berhubungan dengan suaminya.
"Mas, aku sedang menjalani interograsi di kantor polisi." Kutangkap SMS-nya.
"Kenapa?"
"Bram menuntut pengembalian pinjaman uangnya."
Lidya memang pernah bercerita. Tak lama berkenalan, Bram meminjamkan uang
kepadanya Rp 500 juta. Selesai interograsi, Lidya kutemui.
"Katanya bisa dikembalikan kapan saja?"
"Dia marah mendengar pemberitaan di koran yang mengatakan aku menolak ajakan untuk
menemaninya saat bertanding di Korea."
"Salahmu. Kenapa berkoar-koar?!"
"Bukan aku yang mengatakan. Shinta, dia terpancing wartawan! Sekarang kupecat dia.
Dasar asisten gila sensasi!" Lidya terlihat berang.
"Selesai persoalannya?"
"Belum. Lewat seminggu aku tak membayar dia akan memperkarakan sebagai tindak
pidana penggelapan."
"Kamu sudah punya uang untuk menutupnya?"
"Kalau terpaksa akan kujual berlian-berlian hadiah perkawinan ini. Tapi, aku akan rugi satu
miliar karena berlian itu tanpa surat-surat, harganya jatuh hingga separo."
"Surat-suratnya hilang?"
"Tidak. Disimpan Bram."
"Kenapa nggak kamu minta?"
"Mana mungkin dia mau memberikan. Apalagi sebentar lagi kasus ini akan mencuat di
media massa. Dia yang pengecut, aku yakin akan takut tersangkut. Sertifikat yang
dikeluarkan Rosenbloom Jewellry Store, London, pasti terlacak wartawan."
"Tetapi, aku curiga, ini ulah istri Bram, karena dia hanya mengirim pengacara dan preman-preman
yang dulu mencariku," Lidya menambahkan.
"Mungkin. Karena melibatkan persoalan harga diri. Tersinggung, suaminya ditolak tidur
oleh pelacur. Ha, ha, ha." Aku bercanda.
"Sialan ... Tapi bisa jadi!"
Seperti diduga, ternyata bukan Bram yang berinisiatif menuntut pengembalian uang yang
kupinjam itu, melainkan istrinya.
Akhirnya seperangkat hadiah perkawinan lepas untuk menyelamatkan Lidya dari penjara.
Tetapi, mendekam di hotel prodeo ternyata memang sudah garis tangannya.
Mendengar Lidya mengalami kerugian saat menyelesaikan utangnya, Bram meminta maaf
dan menawarkan sebuah kesempatan untuk meraih keuntungan sebagai kompensasi.
Caranya melalui transaksi pembelian uang rupiah seratus ribuan, yang dicetak dengan
nomor seri sama dengan yang telah beredar. Kabarnya, itu dilakukan sewaktu rezim Orde
Baru mendekati tumbang, saat pejabat-pejabat menyiapkan uang tunai untuk dibawa keluar
negeri. Pembelian yang sangat murah, membuat banyak orang tergiur, karena akan dengan
5. cepat membuahkan keuntungan berlipat ganda. Transaksi itu sebenarnya ilegal, karenanya
harus bekerja sama dengan teller bank bila penguangannya dilakukan secara besar-besaran,
saat menukarkannya menjadi mata uang asing.
Pembelian rupiah cetakan tak semestinya itu ternyata sedang dalam target polisi. Oleh
karenanya, saat Lidya tertangkap menawarkan ke beberapa relasinya yang tertarik
menempatkan dana, dia langsung ditahan. Salah satu investor yang ditawari adalah intel
polisi yang menyamar.
Mendengar nama suaminya tercantum dalam berita acara pemeriksaan, istri Bram marah
besar. Sudah dapat diduga, Lidya yang akan menjadi kambing hitam dan harus
dikorbankan. Dalam surat sebelumnya, Lidya menceritakan melalui SMS rekannya
sekamar.
"Sebelum dipindah ke Sukamiskin malam itu aku disekap dalam sel kosong. Sepertinya
sebuah ruang penyiksaan. Kedap suara. Menjerit pun tak ada gunanya. Bergantian preman-preman
itu memperkosaku. Aku menangis, bukan karena sedih. Karena kesal tak bisa
melakukan perlawanan."
Kini, membaca suratnya, aku meneteskan air mata. Bila tak ingat nasihat yang pernah
kuberikan, pasti tangisku akan menjadi ratap berkepanjangan, membayangkan betapa
mengenaskan nasibnya. Aku membayangkan Lidya meringkuk di dalam sel yang dingin
dan gelap. Kalau aku hanya membayar atas perceraian dan tuntutan kesibukan menjalani
profesi, Lidya harus membayar mahal saat berusaha meraih cita-cita karirnya.
Kemudian ingatanku mengais-ngais sebuah pepatah Indian yang akhirnya kuingat berbunyi,
"The soul would have no rainbow, if the eyes had no tears."
Aku berharap janin yang menghuni rahimnya bukan benih liar yang memperkelam jalan
hidupnya kelak. Melainkan persembahanku yang akan menjadi mentari, yang lahir dari
bias-bias air mata kebahagiaan. ***
Bintaro Jaya, 1 Juni 2007
6. cepat membuahkan keuntungan berlipat ganda. Transaksi itu sebenarnya ilegal, karenanya
harus bekerja sama dengan teller bank bila penguangannya dilakukan secara besar-besaran,
saat menukarkannya menjadi mata uang asing.
Pembelian rupiah cetakan tak semestinya itu ternyata sedang dalam target polisi. Oleh
karenanya, saat Lidya tertangkap menawarkan ke beberapa relasinya yang tertarik
menempatkan dana, dia langsung ditahan. Salah satu investor yang ditawari adalah intel
polisi yang menyamar.
Mendengar nama suaminya tercantum dalam berita acara pemeriksaan, istri Bram marah
besar. Sudah dapat diduga, Lidya yang akan menjadi kambing hitam dan harus
dikorbankan. Dalam surat sebelumnya, Lidya menceritakan melalui SMS rekannya
sekamar.
"Sebelum dipindah ke Sukamiskin malam itu aku disekap dalam sel kosong. Sepertinya
sebuah ruang penyiksaan. Kedap suara. Menjerit pun tak ada gunanya. Bergantian preman-preman
itu memperkosaku. Aku menangis, bukan karena sedih. Karena kesal tak bisa
melakukan perlawanan."
Kini, membaca suratnya, aku meneteskan air mata. Bila tak ingat nasihat yang pernah
kuberikan, pasti tangisku akan menjadi ratap berkepanjangan, membayangkan betapa
mengenaskan nasibnya. Aku membayangkan Lidya meringkuk di dalam sel yang dingin
dan gelap. Kalau aku hanya membayar atas perceraian dan tuntutan kesibukan menjalani
profesi, Lidya harus membayar mahal saat berusaha meraih cita-cita karirnya.
Kemudian ingatanku mengais-ngais sebuah pepatah Indian yang akhirnya kuingat berbunyi,
"The soul would have no rainbow, if the eyes had no tears."
Aku berharap janin yang menghuni rahimnya bukan benih liar yang memperkelam jalan
hidupnya kelak. Melainkan persembahanku yang akan menjadi mentari, yang lahir dari
bias-bias air mata kebahagiaan. ***
Bintaro Jaya, 1 Juni 2007