H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.M.Hum., arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, Landjono bersama Arvinoor Siregar dan 1 orang lainnya, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Pasangan muda (ni komang ariani)
1. Suara Pembaruan
Minggu, 20 Januari 2008
Pasangan Muda
Cerpen: Ni Komang Ariani
Selalu terbetik rasa bangga di hatiku, bila kubayangkan, aku dan istriku barangkali adalah
satu dari sekian juta pasangan muda yang menghuni Jakarta. Orang bilang, Jakarta memang
surganya pasangan muda. Karena itulah, aku seringkali membenarkan diri untuk
membusungkan dada di depan teman-teman seangkatanku di kampung. Mereka yang
memilih mengayunkan pacul dan bergelut pada lumpur sawah penghabisan di desa kami.
Lebih-lebih, ibu mertuaku selalu mengatakan, aku adalah menantu yang paling ia sukai.
Menurut dia, dari semua rumah tangga anaknya, hanya rumah tangga kamilah yang
sederhana namun bahagia. Rumah tangga anaknya yang lain, tidak ada yang bener katanya.
Rumah tangga kakak sulung Laila, Leni, memang jauh lebih mewah daripada kami, namun
kabarnya mereka sering bertengkar. Hubungan persaudaraan antaranggota keluarga juga
kabarnya tidak hangat. Sementara rumah tangga adik Laila, Ranti malah lebih berantakan
lagi. Suaminya pemabuk dan penjudi, sementara Ranti hanya petugas jasa parkir di salah
satu mall. Seharian penuh Ranti terkurung dalam boks parkir di lantai basement yang
pengap. Tak heran bila ia sering marah-marah tak jelas apalagi dengan kelakuan suaminya
yang tidak bertanggungjawab.
Mertuaku itu tinggal bersama kami dan ialah yang memasak masakan terlezat untuk kami.
Ia tinggal di salah satu kamar dalam rumah kontrakan sempit yang kami sewa. Maklumlah,
kami hanyalah sepasang suami istri yang hanya bisa hidup pas-pasan di ibukota. Aku hanya
lulusan STM dan bekerja di bengkel resmi motor merek terkenal. Sementara istriku lulusan
SMA yang kini menjadi SPG counter voucher isi ulang. Bila ada rezeki berlebih, kami
sekeluarga cukup gembira dengan makan di warung tenda di pinggir jalan besar. Makan
sate ayam atau bebek goreng menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan istriku tiap Sabtu dan
Minggu.
Yah, janganlah membayangkan kami seperti kebanyakan pasangan muda yang menghuni
Jakarta. Jangan membayangkan sepasang dokter dengan pegawai bank, sepasang arsitek
dengan dosen, sepasang wartawan dengan marketing, yang mempunyai penghasilan jutaan
rupiah dan memiliki rumah mungil di kawasan Jabodetabek. Aku dan istriku cukuplah
disebut pasangan muda kelas dua saja.
Walau begitu, kami adalah pasangan yang bahagia. Kami adalah pasangan muda yang
menikmati manisnya rumah tangga yang harmonis. Aku dan istrinya banyak ngobrol dan
tertawa. Selain itu, kami adalah pasangan serasi. Soal yang satu itu, bolehlah aku
menyombong. Istriku cantik dan seksi. Tubuhnya langsing dan rambutnya panjang. Ia juga
rajin berdandan dengan alis yang dibentuk rapi. Sementara aku bolehlah dibilang cukup
tampan. Aku selalu tampak gagah dengan seragam montirku. Oh ya, perkenalkan namaku
Setyo dan Laila istriku.
Laila istriku adalah perempuan yang tidak pernah berhenti berpikir. Sejak kami pacaran di
kampung dulu, sampai saat-saat menjelang menikah, Laila selalu hadir dengan ide-idenya.
Akhir-akhir ini, Laila sering mengeluh prihatin akan nasib adiknya. Beberapa kali
kudengar, ia menasehati Ranti agar bercerai saja dengan suaminya yang bajingan. Laila
juga berjanji mencarikan pekerjaan sebagai SPG untuk Ranti. Pastilah tidak terlalu susah
baginya. Ranti sangat cantik. Kalau saja nasibnya beruntung, ia tidak kalah cantik dengan
2. model-model yang muncul di majalah atau TV. Ia juga cerdas. Sering dapat juara kelas
ketika sekolah dulu. Namun otaknya yang cerdas tidak disertai kemampuan bergaul yang
baik. Ranti pendiam dan pemurung. Ia yang semestinya bisa menjadi SPG mobil yang
digaji mahal, malah hanya bekerja sebagai petugas parkir yang terjebak dalam kotak
nerakanya. Ah, nasib orang memang susah ditebak.
Namun usul Laila untuk bercerai itu, tidak pernah disanggupi Ranti. Barangkali karena ia
sungguh-sungguh mencintai suaminya atau mungkin ia takut mendapat sebutan janda.
Entahlah. Keadaan ini membuat Laila sering terlihat termangu-mangu sambil mencangkung
di beranda rumah. Sampai suatu ketika, dari mulutnya meluncur sebuah ide.
"Saya ingin buka warung, Mas!" kata Laila
"Warung kecil yang menjual perlengkapan sehari-hari. Daerah sini terlalu jauh ke toko
terdekat, saya pikir bakal laku!" tambahnya lagi tanpa diminta.
"Lalu modalnya?"
"Ibu masih punya sepetak sawah di kampung yang sekarang digarap orang. Menurutnya,
lebih baik untuk modal saja. Ibu dan saya juga punya perhiasan peninggalan eyang yang
nilainya lumayan. Mungkin bisa kita gadaikan untuk pinjam modal. Begitu warungnya
jalan, langsung kita tebus!"
"Wah, pikiranmu sudah sejauh itu. Apa modalnya memang cukup untuk buka warung?"
"Cukup, Mas. Saya sudah hitung semua. Mas setuju?" tanyanya antusias.
"Aku sih setuju saja, Dik. Apalagi untuk kemajuan kita juga. Lalu pekerjaanmu sebagai
SPG?"
"Aku sudah minta izin pada bosku agar pekerjaanku digantikan Ranti. Ia setuju setelah
Ranti saya bawa menghadapnya. Maaf saya baru bilang ke Mas. Tadinya kalau Mas tidak
setuju, saya mau cari pekerjaan baru sebagai SPG. Kasihan Ranti, biar hidupnya lebih
senang!" jelas Laila panjang lebar. Aku semakin mengagumi istriku ini. Ia begitu cekatan
dan cerdas.
"Tentu saja aku setuju. Cuma saja, aku tidak bisa ikut membantu modalnya. Maklumlah,
aku sebatang kara dan tidak punya warisan apapun!" kataku memandang sayu.
Istriku hanya tersenyum mendengar suaraku terdengar sedih. "Nggak apa-apa, Mas. Mas
kan sudah bekerja untuk mencari nafkah untuk keluarga." Kata Laila menghibur hatiku. Ah
sungguh ia seorang Dewi yang diturunkan untukku. Aku berjanji untuk lebih rajin dan
bekerja keras, agar terus dapat memberinya nafkah.
Dan mimpi kamipun diwujudkan Laila dalam sebulan. Waktu terlama adalah menjual
sepetak sawah warisan Ibu Laila. Setelah ditawarkan ke sana ke mari, akhirnya seorang
kenalan baik bersedia membelinya dengan harga lumayan bagus. Itung-itung membalas
jasa Ayah Laila, kata kenalan baik itu. Mereka mengaku banyak berutang jasa pada Ayah
Laila yang terkenal murah hati dan ringan tangan.
Dan warung itu buka hari ini. Kami membuat syukuran kecil-kecilan dengan membuat nasi
tumpeng mungil untuk kami santap bertiga dan beberapa tetangga dekat. Maklumlah nasi
tumpeng biasa terlalu mahal buat kami dan juga rasanya terlalu wah untuk warung sekecil
ini. Kami sesaat hening, mensyukuri karunia-Nya.
3. Hari-hari berikutnya adalah saat kami bicara tentang warung dan warung. Hari ini laku tiga
sabun dan dua kilogram beras, beberapa permen dan satu korek api. Atau hari ini hanya
laku dua batang rokok. Atau kadangkala dengan gembira Laila bercerita hari itu laku 5
kilogram gula, mi instan 5 biji, 10 kilogram beras dan 3 bungkus rokok. Menurutnya, para
tetangga sudah mulai mengenal warungnya. Mereka mulai beralih dari toko yang jauh ke
warung Laila yang harganya tidak terpaut jauh. Apalagi Laila yang ramah dan ringan
tangan itu pasti gampang membuat pembeli menyukainya.
*
Aku menghirup kopiku dengan nikmat hari itu. Warung istriku telah berkembang dan
memberikan penghasilan yang lumayan kepada kami. Kadangkala bahkan lebih besar
daripada gajiku. Ia mulai membeli baju-baju kesukaannya dan sesekali membeli blus baru
buat Ibu dan Ranti, juga kemeja untukku. Ia juga menabung, katanya untuk anak kami yang
akan lahir nanti.
Kami duduk di beranda rumah sore itu. Warung sedang sepi dan aku mendapat jatah libur
dua hari. Hidup terasa nikmat betul. Berkali-kali kuhirup kopiku dengan tegukan pelan agar
kenikmatannya terasa lama.
Laila memperhatikanku dengan geli.
"Mas Setyo ini, ngopi kok sampai menghayati begitu?" katanya sambil tersenyum lebar.
"Ah kamu Dik, mengganggu saja. Aku kan sedang menikmati hidupku memiliki istri
seperti kamu!" kataku dengan nada serius.
Laila meleletkan lidahnya mengejekku. "Ah Mas, istri sendiri kok dipuji-puji. Ntar
didengar orang malu!" katanya sambil tersipu. Itulah Laila, amat kental dengan budaya
Jawa yang low profile. Ia selalu mengelak bila dipuji, padahal aku sangat bersungguh-sungguh.
Ia malah tersipu-sipu bahkan biasanya melangkah pergi meninggalkanku bila aku
katakan aku bersungguh-sungguh.
Tapi kali ini ia tidak pergi. Ia malah menatapku serius.
"Mas, mau dengar saya lagi ndak?" Katanya menunggu reaksiku
"Masalah apa Dik? Tentu saja aku mau dengar. Wong aku suamimu dan kamu istriku!"
"Saya ingin mencicil rumah ini."
"Wah...!" kataku tanpa bisa kucegah. "Apa kita mampu dan apa pemiliknya menjualnya?"
"Satu-satu dulu Mas. Saya sudah ngobrol dengan Bu Retno. Saya membujuknya untuk
menjual rumah ini. Awalnya dia bingung tapi lama-lama tidak keberatan. Sekarang kan
suaminya sudah pensiun. Ia butuh banyak uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia
malah berterima kasih pada saya karena menasihatinya. Sebelumnya ia bingung kemana
harus mencari tambahan uang, ia lupa pada rumah ini. Saya bilang kita mau mencicil,
sedikit demi sedikit dulu. Maklumlah keuangan kita belum begitu baik. Saya tawarkan
cicilannya tiga kali harga sewa setiap bulannya. Lumayan buat dia menutupi biaya hidup
sehari-hari. Kalau kita dapat rezeki lebih suatu kali, barulah dibayar cukup besar. Ia setuju.
Lagi pula Bu Retno memang baik, mengerti keadaan ekonomi kita.
4. Aku hanya bengong mendengar penjelasan Laila. "Kamu seperti tau semuanya, apa kamu
memang punya ilmu nujum!" kataku dengan kekaguman yang mengental pekat di mataku.
"Ah Mas ini !" Sekali lagi dengan senyum tersipu di wajahnya. "Saya kan hanya
memikirkan keluarga. Kelak kita akan punya anak. Rumah sendiri tentu lebih enak daripada
ngontrak!" Sekali lagi Laila menunjukkan wawasannya yang memandang jauh ke depan. Ia
seperti terus bergerak maju dengan mimpi-mimpi barunya. Ia, lebih daripada aku, benar-benar
mewakili semangat pasangan muda, yang terus bergerilya meraih mimpi-mimpinya.
Walaupun mimpi-mimpi kami, tentu saja, mimpi-mimpi kecil pasangan muda kelas dua.
"Setelah nyicil rumah, kira- kira apa selanjutnya ya Dik?" kataku menggodanya di
penghujung sore itu.
"Ah Mas, pelan-pelan dong. Satu-satu!" katanya. Tapi setelah memalingkan wajah, ia
memandang lurus ke depan. Memandang petak-petak rumah kontrakan yang bertebaran di
sekeliling kami. Memandang kerlip-kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi nun jauh di
sana. Mata itu dalam dan berbinar. Aku yakin Laila sedang merangkai satu lagi mimpi
baru. Mimpi kecil dari pojok Jakarta. * **