1. REFRESHING
INDUKSI PERSALINAN
Disusun Oleh :
Tito Syahjihad 2013730114
Pembimbing :
dr. Riyadi, Sp.OG
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RUMAH SAKIT ISLAM SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
2. KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya Laporan Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik.
Refreshing ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase obsgyn Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam Sukapura.
Dalam penulisan Refreshing ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang
diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Riyadi, Sp.OG sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan Refreshing ini, tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang
bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.
Jakarta, July 2017
Penyusun
3. Tinjauan pustaka
A. Definisi induksi dan augmentasi
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi
persalinan spontan. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan
yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.1
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu
hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang
timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau
dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable.2
B. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial
berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan
kehamilan membahayakan ibu.2
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat
waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat
kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT),
insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler.3
.
C. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio Caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan
infeksi herpes genital aktif.1,4
4. Metode dan Syarat
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi/persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan
menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi
tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks
dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan
mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks
dapat dipakai skor Bishop. Berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil
diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu
sebelum melakukan induksi.1
5. Tabel. 2.1 Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop
Faktor
Nilai
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Penurunan -3 -2 -1 / 0 +1 / +2
Konsistensi Kuat Sedang Lunak
Posisi Posterior Pertengahan Anterior
.1
D. Pematangan servik
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia
dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan
zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1) Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan
intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara
lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan
kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat
serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan
serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks pada
wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi persalinan pada
wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7.2
6. Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk
pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi
terlentang, ujung suntikan yang belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan
gel dimasukkan tepat di bawah os serviks interna. Setelah pemberian, ibu
tetap berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis dapat diulang setiap 6 jam,
dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks.
Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan
datar, yang dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat
dari polyester. Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk
mengambilnya dari vagina. Pemasukannya memungkinkan dilepaskannya
obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel).1
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang
pada forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak
sama sekali, saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan
mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap
berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam
atau ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika
terjadi hiperstimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists
(1999) merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan
selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah
dikeluarkan.1
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:
Takisistol uterus diartikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode 10
menit.
Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang
berlangsung lebih lama dari 2 menit.
7. Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut
jantung janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin
bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya
persalinan spontan, maka penggunaannya tidak direkomendasikan.
Kontra indikasi untuk agen prostaglandin secara umum meliputi asma,
glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular.1
2) Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai
tablet 100 atau 200 μg. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk
pematangan serviks prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina.
Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang
ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi
persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di
University of Alabama.1,5
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan
serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50 μg dan
ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral atau
25 μg misoprostol per vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin
intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup
bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang baik.
Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan
dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki riwayat menjalani
seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1,
Mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih
lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam
sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat pertimbangan mengenai
risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun keduanya cocok
untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian
8. awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan
interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efektif.1.6
b. Secara mekanis atau tindakan
1) Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping
pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan.
Akan tetapi tindakan ini tidak boleh digunakan pada ibu yang mengalami
servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan.
Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis
(os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml).
Tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada
paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang
disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri dari
infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna
dan membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan
yang signifikan pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke
persalinan.1
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
Pasang speculum pada vagina
Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan
menggunakan cunam tampon.
Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau
maksimal 12 jam
Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian
lanjutkan dengan infuse oksitosin.6
9. 2) Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotik
higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada
keadaan dimana serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama
berhasil digunakan jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini
juga digunakan untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan
laminaria dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika
perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin.1
E. Induksi persalinan
Induksi persalinan dapat dilakukan dengan cara pemecahan ketuban, pemberian
oksitosin, pemberian obat misoprostol. Keberhasilan induksi persalinan tergantung
kondisi serviks yang matang, yang disebut servik matang adalah lembut, penipisan
lebih dari 50 % dan dilatasi 2 cm tau lebih. Menurut bishop ada 13 point scoring
untuk memperkirakan kemunginann klien dilakukan induksi persalinan. Sementara
itu menurut American collage of obstetrician and gynecologists jika pelvic score
mencapai 8 atau lebih induksi biasanya berhasil.
Di Indonesia, pelaksanaan induksi didasarkan pada scoring yang sedikit berbeda.
Ketentuan penilaian menurut saefuddin jika skor ≥ 6. Induksi cukup dilakukan
dengan oksitosin. Sedangkan jika skor ≤ 5, perlu dilakukan pematangan serviks
terlebih dahulu dengan pemberian prostaglandin atau pemassangan kateter foley.
1. Prostaglandin E1
Prostaglandin dapat diberikan intravena, peroral, intraservikal. Transvaginal.
Berbagai studi dilakukan untuk menentukan keefektifan penggunaan
prostaglandin. Prostaglandin yang diberikan secara intravena akan
mmenimbulkan efek samping yang parah terkait dengan pemberian sistemik.
Prostaglandin yang diberikan peroral lebih mudah dilakukan dan lebih diterima
oleh ibu, namun tampaknya cara tersebut lebih sulit untuk menghindari masalah
efek samping sistemik dan hiperstimulasi.
Penggunaan misoprostol melalui vaginal dan oral digunakan baik untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Hofmeyr dan rekan (2010)
10. melakukan kajian sistematis Cochrane agen untuk induksi persalinan. Mereka
melaporkan bahwa vagina misoprostol, diikuti oleh oksitosin jika diperlukan,
dibandingkan dengan oksitosin saja mengakibatkan kegagalan lebih sedikit dalam
waktu 24 jam.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mendukung konsep dasar
pemberian misoprostol. Penelitian tentang misoprostol sublingual dilakukan oleh
Shetty dan templeton (2002) menunjukan bahwa pada kelompok sunlingual lebih
banyak pasien melahirkan bayi dalam 24 jam dan induksi persalinan lebih singkat
secara bermakna bila ddiandingkan dengan kelompok oral. Hasil penelitan tesebut
juga menyatakan bahwa terjadi satu kasus hiperstimulasi uterus pada kelompok
sublingual. Dari uraian penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa misoprostol
sublingual tampak lebih efektif dan lebih diterima pasien dibandingkan dengan
misoprostol peroral. Oleh karena itu, misoprostol sublingual dapat
dipertimbangkan untuk induski persalina aterm, namun demikian penggunaannya
perlu perhatian sehubungan resiko kegagalan yang ditimbulkan yaitu perdarahan.
Penelitian lain dilakukan oleh ana, sabarudin, purwa, mose, kristad dan
nataprawira (1998) didpatkan jumlah perdarahan selama persalinan lebih banyak
pada kasus gagal induksi. Berdasrkan hasil penelitan tersebut dapat disimpulkan
bahwa penggunaan misoprostol mengakibatkan hipertstimulasi uterus yang
berakibat rupture uteri dan perdarahan akibat laserasi jalan lahir tersebut.
2. Oxytosin
Oksitosin sintetik adalah obat yang dapat meningkatkan kontraksi otot
polos uterus. Banyak obat yang memperlihatkan efek oksitosik, tetapi hanya
beberapa saja yang kerjanya cukup selektif dan dapat berguna dalam praktek
keperawatan. Obat yang bermanfaat itu ialah oxytocin (oksitosin) dan derivatnya,
alkaloid ergot dan derivatnya, dan beberapa prostaglandin semisintetik. Obat-obat
tersebut memperlihatkan respons bertingkat (graded respons) pada kehamilan,
mulai dari kontraksi uterus spontan, ritmis sampai kontraksi tetani.
Oksitosin sendiri merupakan hormon protein yang dibentuk di nukleus
paraventrikel hipotalamus dan disimpan di dalam dan dilepaskan dari hipofisis
posterior (Elizabeth J. Corwin, 2009: 292). Hormon ini dilepas oleh ujung-ujung
11. saraf di bawah perangsangan yang memadai; kapiler mengabsorpsi substansi ini
dan membawanya ke sirkulasi umum di mana akan membantu kontraksi otot
polos. Ketika efek oksitosin alami tidak cukup atau bila ada indikasi medis untuk
menginduksi persalinan, dipakai oksitosin sintetik dan beberapa prostaglandin.
Oksitosin sintetik yang tersedia, yakni Pitocin, Syntocinon, Induxin, Oxyla, Piton-
S, dan Tiacinon.
Mekanisme Kerja Obat
Oksitosin terikat pada reseptornya yang berada pada membran sel
miometrium, di mana selanjutnya terbentuk siklik adenosin-5-monofosfat
(cAMP). Cara kerja oksitosin adalah dengan menimbulkan depolarisasi potensial
membran sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membran sel, maka Ca++
dimobilisasi dari retikulum sarkoplasmik untuk mengaktivasi protein kontraktil.
Kepekaan uterus terhadap oksitosin dipengaruhi oleh hormon estrogen &
progesteron. Dengan dominasi pengaruh estrogen meningkat sesuai dengan umur
kehamilan, kepekaan uterus terhadap oksitosin meningkat. Selain itu kepekaan
uterus juga dipengaruhi oleh reseptor oksitosin, yang akan semakin banyak
dengan makin tua kehamilannya. Sensitifitas maksimal terhadap oksitosin dicapai
pada kehamilan 34-36 minggu.
Bersama dengan faktor-faktor lainnya oksitosin memainkan peranan yang
sangat penting dalam persalinan dan ejeksi ASI. Oksitosin bekerja pada reseptor
oksitosik untuk menyebabkan :
1. Kontraksi uterus pada kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung
padaotot polos maupun lewat peningkatan produksi prostaglandin
2. Konstriksi pembuluh darah umbilikus
3. Kontraksi sel-sel miopital (refleks ejeksi ASI). Oksitosin bekerja
pada reseptor hormon antidiuretik (ADH) untuk menyebabkan :
a. Peningkatan atau penurunan yang mendadak pada tekanan darah
diastolik karena terjadinya vasodilatasi
b. Retensin air
12. 4. Kontraksi tuba falopi untuk membantu pengangkutan sperma,
luteolitis (involusi korpus luteum)
5. Peranan neurotransmitter yang lain dalam system saraf pusat. (Hirst et
al, 1993).
Pelepasan oksitosin endogenus ditingkatkan oleh :
1. Persalinan
2. Stimulasi serviks vagina atau parudara
3. Estrogen yang beredar dalam darah
4. Peningkatan osmolalitas / konsentrasi plasma
5. Volume carian yang rendah dalam sirkulasi darah
6. Stress.
Pelepasan oksitosin disupresi oleh :
1. Alkohol
2. Relaksin
3. Penurunan osmolalitas plasma
Volume cairan yang tinggi dalam sirkulasi darah
Seperti yang dibahas, dalam kebanyakan kasus, preinduction pematangan
serviks dan induksi persalinan hanya sebuah kontinum. Dengan demikian,
"pematangan" juga akan merangsang kerja. Jika tidak, induksi atau augmentasi
dapat dilanjutkan dengan solusi oksitosin yang diberikan oleh pompa infus.
Oksitosin sintetik adalah salah satu yang paling sering obat yang digunakan di
Amerika Serikat. Itu adalah hormon polipeptida pertama disintesis, sebuah
prestasi bagi whichthe 1955 Hadiah Nobel di bidang kimia dianugerahi (du
Vigneaud, 1953). Oksitosin dapat digunakan untuk induksi persalinan atau untuk
augmentasi. Dengan penggunaan oksitosin, American College of Obstetricians
dan Gynecologists (2013b) merekomendasikan denyut jantung janin dan kontraksi
pemantauan mirip dengan yang untuk setiap riskpregnancy tinggi. Kontraksi
dapat dipantau baik oleh palpasi atau dengan cara elektronik.
Pemberian oksitosin intravena
13. Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas
uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin.
Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin
diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau
dosis tinggi (6 – 40 mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang
digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan
membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap
digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen
yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu
persalinan.1
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang
mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus oksitosin
untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:
Table 2.2 Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi
Regimen
Dosis awal Penaikan dosis Interval
(mU/menit) (mU/menit) (menit)
0,5 – 1,5 1 15 – 40
Rendah
2 4,8,12,16,20,25,30 15
14. 4 4 15
Tinggi
4,5 4,5 15 – 30
6 6 20 – 40
Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif
persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit.
Dan di Parkland Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin
dengan dosis tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan,
menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih
sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan
percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6
mU/menit memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps
yang lebih sedikit, pelahiran Caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan
menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis neonatorum.
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan
memberikan regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih
rendah. Di Parkland hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal
dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan
di Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2
mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4,
8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya
sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse.1
Lima unit oksitosin dalam 500 cc dextrose 5 % diberikan kecepatan awal
20 tetes permenit, dinaikan 5 tetes permenit setiap 15 menit sampai didapatkan his
yang memadai. Untuk grand multipara : kehamilan ganda dan bayi besar,
maksimal 40 tetes permenit.
15. 2. Induksi Amniotomi
Pemecahan ketuban dengan sengaja merupakan salah satu bentuk induksi
maupun akselerasi persalinan. Dengan keluarnya sebagian air ketuban terjadi
pemendekan otot Rahim sehingga otot Rahim lebih efektif berkontraksi. Pendapat
varney tersebut mendukung pernyataan saifuddin (2002) pemecahan ketuban
menimbulkan pembentukan prostaglandin yang akan merangsang persalinan
dengan meningkatkan kontraksi uterus. Dari pernyataan diatas tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemecahan ketuban dapat menjadi salah satu alternative
induksi persalinan.
Pemecahan ketuban harus dilakukan dengan memperhitungkan banyak hal
diantaranya adalah ada tidaknyaa plihidramnion, presentasi muka, tali pusat
terkemuka, vasa previa, adanya presentasi selain kepala. Presentasi bagian bawah
selain kepala kepala merupakan kontraindikasi dilakukannya amniotomi. Kepala
janin yang belum masuk pintu atas panggul dan janinkecil juga merupakan kotra
ondikasi dilakukannya amniotomi, karena kondisi tersebut menjadi factor
pemicu terjadinya prolapse tali pusat. Prolapse tali pusat dapat menimbulkan
asfiksia intra uterin akibat terjepitnya tali pusat antara panggul dan kepala janin.
Selain itu ketuban dan kulit ketuban merupakan sesuatu yang berfungsi
melindungi janin dalam Rahim, perlindungan terhadap infeksi dan perlindungan
terhdappa trauma. Pada daerah dengan insidensi HIV tinggi, selaput ketuban
dipertahankan untuk melindungi bayi dari infeksi. Pecahnya ketuban beresiko
terjadinya infeksi intrauterine (korioamnitis) sering terjadi akibat pecahnya
ketuban yang lama.
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi
pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan.
Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat
dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada
uji acak, Bacos dan Backstrom menemukan bahwa amniotomi saja atau
kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja. Amniotomi pada
dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1
sampai 2 jam, bahkan 1.5
16. 3. Stripping membrane
Stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau mamisahkan
selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi persalinan dengan
“stripping” membrane merupakan praktik yang umum dan aman serta
mengurangi insiden kehamilan lebih bulan tanpa meninkatkan ketuban pecah dini,
perdarahan dan infeksi. Penulis dari metaanalisis dari 22 percobaan termasuk
2.797 perempuan melaporkan bahwa membran stripping mengurangi jumlah
wanita yang yang belum melahirkan setelah 41 minggu tanpa meningkatkan risiko
infeksi. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari tengah
atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis.1
F. Akibat induksi persalinan
Tindakan induksi persalinan merupakan suatu tindakan yang bertujuan
merangsang kontraksi uterus sebelum tanda dan gejala persalinan spontan terjadi.
Akibat induksi persalinan adalah klien merasakan gangguan kenyamanan berupa
nyeri persalinan. Tindakan induksi persalinan meningkatkan kebutuhan obat
analgesic baik general maupun epidural berhubungan dengan nyeri yang dirasakan.
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun
setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,
hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada
induksi elektif.1,4
17. Daftar Pustaka
1. Cunningham, FG., et al. (2014). Obstetri Williams (Williams Obstetri). Edisi 24.
Jakarta : EGC.
2. Llewellyn, Derek. ( 2002 ). Dasar – Dasar Obstetri dan Ginekologi, edisi 6 (ed-6)
Jakarta : Hipokrates
3. Oxorn, H., Forte, W. (1990). Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan.
Yogyakarta : ANDI; YEM
4. Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
5. Sinclair, Constance (2010) Buku Saku Kebidanan. Meiliya, E. & Wahyuningsih, E.
eds. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Saifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo