Tiga kalimat:
Studi ini mengevaluasi aklimatisasi bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan untuk budidaya di laut terbuka. Pupuk ekstrak rumput laut alami memberikan pertumbuhan terbaik. Frekuensi pergantian media harian dan kepadatan 0,70-0,85 g/L terbukti optimal untuk aklimatisasi sebelum penanaman di laut.
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
Aklimatisasi Rumput Laut
1. Aklimatisasi Kultur Jaringan Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva
(Rhodophyata, Soliericeae) dalam Sistem Pembibitan di Laut Terbuka
Yoong Soon Yong, Wilson Thau Lym Yong, Vun Yee Thien, Su En Ng, Ann
Anton, Suhaimi Yassir
Institut Penelitian Bioteknologi, Universitas Malaysia Sabah
Jalan UMS, 88400 Kota Kinabula, Sabah, Malaysia
e-mail : wilsonyg@ums.edu.my
1. Pendahuluan
Industri pengolahan rumput laut memiliki permintaan tahunan dari 7,5-8,0
juta ton biomassa dengan sebagian besar berasal dari budidaya Malaysia pada
tahun 1978, industri ini telah meningkatkan kemajuan ekonomi yang signifikan,
khususnya di Sabah. Hal ini disebabkan oleh peran penting dari karagenan
diberbagai industri (Sade et al., 2006; Hayashi et al., 2010). Jenis rumput laut
yang banyak dibudidaya untuk produksi karagenan di Malaysia adalah
Kappaphycus alvarezii, Kappaphycus striatum, dan Eucheuma denticulatum
(McHugh, 2003; Phang, 2006; Sade et al., 2006).
Pemerintah Malaysia telah memperkenalkan program perubahan ekonomi
dan diidentifikasi budidaya rumput laut sebagai salah satu dari 131 proyek entry
point (EPPs) dibawah Nasional Key Ekonomi Areas (NKEAs), yang telah
ditargetkan dapat meningkatkan produksi rumput laut pada tahun 2020 mencapai
150,000 ton (ETP Handbook, 2012). Namun, target ini tampaknya sulit dicapai
dengan praktek budidaya saat ini. Saat ini, masalah yang dihadapi oleh
pembudidaya lokal adalah perubahan lingkungan yang tidak terduga atau
perubahan cuaca, serangan predator, penyakit dan epifit, dimana sebagian besar
kegiatan budidaya akan mengalami kendala dalam memperoleh bibit rumput laut
yang sehat untuk dibudidayakan (Mendoza et al., 2002; Hurtado et al., 2006;
Vairappan 2006; Vairappan et al., 2008; Hayarti et al., 2010).
Hasil kultur jaringan dan aklimatisasi dari rumput laut kultur jaringan ke
laut terbuka adalah sebuah pilihan untuk menyediakan bibit sehat dan bebas epifit,
untuk mengatasi masalah ini sekaligus mencapai tujuan nasional melalui budidaya
komersial (Bixler dan Porse, 2011). Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan
bahwa penerapan ekstrak komersial dari rumput laut coklat (Ascophyllum
nodosum) dalam budidaya K. alvarezii telah menghasilkan tingkat pertumbuhan
yang lebih tinggi dan mengurangi serangan epifit pada budidaya (Loureiro et al.,
2010; Borlongan et al., 2011). Meskipun, penelitian kultur jaringan Eucheuma
dan Kappaphycus sudah dimulai pada awal tahun 1990-an, diikuti dengan
optimasi media kultur, pengatur pertumbuhan rumput laut, dan bahkan kondisi
budidaya, tetapi penelitian aklimatisasi masih terbatas (Dawes dan Koch, 1991;
Baweja et al., 2009;.Yong et al., 2011,2014).
2. Penanaman langsung rumput laut hasil kultur jaringan ke laut terbuka
tanpa melalui fase aklimatisasi bibit rumput laut dapat menyebabkan shock dan
stres karena perubahan kondisi lingkungan yang mendadak akan menurunkan
ketahanan terhadap serangan penyakit dan epifit. Untuk mendapatkan tingkat
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi, sistem
pembibitan dianjurkan untuk menyediakan kondisi optimum untuk kultur rumput
laut sebelum melakukan adaptasi dilingkungan laut terbuka. Menurut Dunstan dan
Turner (1984), aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan perlu dilakukan
untuk menyesuaikan kondisi secara in vivo dan ex vivo. Dalam penelitian ini,
proses aklimatisasi untuk hasil kultur jaringan K. alvarezii dilakukan melalui
aplikasi pupuk (ekstrak rumput laut coklat). Pupuk terbaik diantara pupuk yang
diuji ditentukan dan diaplikasikan dalam penelitian aklimatisasi berikutnya yaitu
frekuensi perubahan media dan kepadatan kultur. Parameter yang dikontrol
selama aklimatisasi bibit, seperti nutrisi, salinitas, dan suhu, harus sesuai dengan
kondisi dialam untuk masa transisi agar rumput laut dapat beradaptasi dengan
lingkungan laut terbuka.
2. Bahan dan Metode
2.1 Persiapan Hasil Kultur Jaringan K. alvarezii untuk Aklimatisasi
Hasil kultur jaringan K. alvarezii yang dibudidayakan menurut Yong et
al. (2014), dibawah kondisi kultur optimal. Sampel bibit hasil kultur jaringan K.
alvarezii yang berkisaran 20±5 g dipilih untuk digunakan pada penelitian
aklimatisasi pembibitan di laut terbuka selama musim hujan. Dalam setiap siklus,
K. alvarezii dikultur di sebuah fiberglass berbentuk bujur sangkar dengan
kapasitas 220 L untuk 14 hari, dengan aerasi yang mengalir terus-menerus selama
masa percobaan. Menyaring air laut dengan kain filter dan memompa kedalam
tangki kultur sebelum digunakan untuk percobaan budidaya rumput laut. Salintas
berkisar antara 30 sampai 35 ppt dan suhu air laut berkisaran antara 25 sampai 40
ᵒC pada masing-masing tangki. Berat rumput laut K. alvarezii ditimbang dan
dicatat setiap minggu untuk laju pertumbuhan harian (LPH) ditentukan
menggunakan rumus LPH = {[(Wt / W0)^ (1 / t)]-1} × 100% sebagaimana yang
direkomendasikan oleh Yong et al. (2013). Laju pertumbuhan harian ditentukan
kemudian dianalisa lebih lanjut untuk perbedaan signifikan dengan ANOVA
dengan menggunakan software SPSS versi 16 (SPSS Inc.).
2.2 Aplikasi Pupuk (ekstrak rumput laut coklat)
Sebanyak empat pupuk yang dipilih berdasarkan sumber dari ekstrak
rumput laut dan ketersediaan di pasar Malaysia, yaitu Acadian Marine Plant
Extract Powder (AMPEP), Gofar 600 (GF), dan ekstrak rumput laut alami (NSE) .
3. AMPEP diekstrak dari A. nodosum (Hurtado et al., 2009), sedangkan GF dan NSE
adalah ekstrak campuran beberapa rumput laut coklat termasuk A. nodosum,
Sargassum, dan Laminaria dengan konsentrasi rasio berbeda sesuai dengan
produsen (Gofar Agro Specialties). Empat perlakuan yang diuji: (a) hanya
menyaring air laut (kontrol), (b) air laut yang disaring dan diperkaya dengan 3 mg
L-1
AMPEP, (c) air laut yang disaring dan diperkaya dengan 3 mgL-1
GF, dan (d)
air laut yang disaring dan diperkaya dengan 3 mg L-1
NSE. Konsentrasi pupuk
ditentukan pada awal percobaan dan selama pembaruan media. Untuk setiap
perlakuan, empat ulangan (n= 4) diuji, dan media diperbaharui setiap 3 hari.
Pupuk yang ditentukan kemudian diterapkan untuk penelitian optimasi parameter
berikutnya.
2. 3 Frekuensi Perubahan Media
Empat perlakuan diuji dengan menggunakan air laut yang disaring dan
diperkaya dengan NSE (dipilih berdasarkan percobaan sebelumnya) : (a)
perubahan media harian, (b) perubahan media setiap 3 hari sekali, (c) perubahan
media setiap 5 hari sekali, dan (d) perubahan media setiap 7 hari sekali. Frekuensi
perubahan media ditentukan kemudian diterapkan untuk tes kepadatan budidaya
berikutnya.
2. 4 Tes Kepadatan Budidaya
Percobaan yang dilakukan dengan air laut yang disaring dan diperkaya
dengan NSE, bersama-sama dengan perubahan media harian, yang dipilih
berdasarkan percobaan sebelumnya. Empat perlakuan yang diuji: (a) 0,40, (b)
0,55, (c) 0,70, dan (d) 0,85 g bibit L-1
. Kepadatan budidaya ditentukan pada awal
pengujian, dan rasio bibit untuk medium diatur melalui kuantitas bibit.
2. 5 Uji Coba Lapangan
Semua empat perlakuan yang diterapkan, bibit dibagi menjadi dua yaitu
sepuluh bibit K. alvarezii yang diaklimatisasi dan sepuluh bibit K. alvarezii yang
tidak diaklimatisasi (sebagai kontrol), berat masing-masing yaitu 45 ± 5 g, diuji
cobakan ke budidaya rumput laut yang terletak di Semporna, Sabah. Kedua
perlakuan yaitu aklimatisasi dan tidak diaklimatisasi bibit kultur jaringan K.
alvarezii yang ditanam di lokasi budidaya rumput laut menggunakan metode
longline. Sesudah 4 minggu dibudidayakan, rumput laut dipelihara kemudian
dipanen. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan rata-rata K. alvarezii
ditentukan untuk mengetahui keberhasilan pembibitan aklimatisasi bibit hasil
kultur jaringan ke laut terbuka. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis lebih
lanjut dengan perbedaan signifikan menggunakan ANOVA dengan menggunakan
software SPSS versi 16 (SPSS Inc).
4. 3. Hasil dan Pembahasan
3. 1 Efek Perlakuan Pemupukan
Dalam aklimatisasi K. alvarezii selama 2 minggu untuk memilih pupuk
terbaik di antara AMPEP, GF, dan NSE, hasilnya menunjukkan perbedaan yang
signifikan secara statistik pada tingkat pertumbuhan rumput laut K. alvarezii
sehari-hari (F (3,12) = 18,386, p< 0,05). Laju pertumbuhan harian tertinggi
dicapai dengan pemberian pupuk NSE pada budidaya rumput laut yaitu (5,94 ±
0,21% hari-1
), diikuti pemberian pupuk GF, AMPEP, dan kontrol masing-masing
perlakuan yaitu 5,19 ± 0,39, 4,55 ± 0,17, dan 4,32 ± 0,48% hari-1
seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Secara morfologi, tidak ada perbedaan jelas yang
diamati antara bibit K. alvarezii yang diperoleh dari masing-masing perlakuan.
Dengan demikian, NSE dipilih untuk studi aklimatisasi berikutnya.
Diantara pupuk yang diuji, hanya pupuk AMPEP yang telah dilaporkan
secara luas digunakan dalam percobaan budidaya Cottonii (Hurtado et al., 2009;
Hayashi et al., 2010). Sedangkan, tidak ada laporan literatur yang tersedia pada
penerapan pupuk GF dan NSE dalam budidaya rumput laut. Pupuk ini dipilih
berdasarkan kandungannya, yang terdiri dari ekstrak rumput laut coklat. Dengan
demikian, pupuk yang diyakini mengandung lebih banyak nutrisi alami
dibandingkan dengan nutrisi buatan (Baweja et al., 2009). Seperti dilansir
Hurtado et al. (2009), ekstrak A. nodosum mengandung makronutrien dan
mikronutrien yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan rumput laut K.
alvarezii. Dalam penelitian ini, penerapan pupuk NSE dalam media kultur
menunjukkan pertumbuhan K. alvarezii yang lebih baik.
Penelitian sebelumnya pada ekstrak A. nodosum dilaporkan memberikan
pengaruh positif pada pertumbuhan dan kesehatan K. alvarezii (Hurtado et al.,
2009; Loureiro et al., 2010, 2014; Borlongan et al., 2011). Penggunaan ekstrak A.
nodosum pertama kali dilaporkan oleh Hurtado et al. (2009), dengan
penerapannya dalam varietas kultur jaringan Kappaphycus. Penelitian oleh
Hurtado et al. (2009) menunjukkan bahwa, percobaan penambahan ekstrak A.
nodosum dalam media kultur dapat mempercepat pembentukan thallus dari
varietas Kappaphycus dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu, budidaya
Kappaphycus juga menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan
menurunkan serangan epifit setelah perendaman dalam ekstrak A.nodosum
(Loureiro et al., 2010; Borlongan et al., 2011). Selanjutnya, ekstrak A. nodosum
juga ditemukan efisien dalam meningkatkan pertumbuhan K. alvarezii sekaligus
mengurangi dan melindungi dari serangan Neosiphonia sp. (Borlongan et al.,
2011). Ekstrak rumput laut coklat juga berpotensi sebagai elisitor yang dapat
meningkatkan metabolit sekunder rumput laut dan pertahanan alami dari K.
alvarezii terhadap agen patogen serta dapat memperbaiki dampak negatif dari
paparan jangka panjang untuk oksidatif (Loureiro et al., 2012).
5. Dalam penelitian saat ini, K. alvarezii ternyata memiliki pertumbuhan
yang lebih baik ketika dibudidayakan dengan campuran ekstrak alga yaitu GF dan
NSE. Umumnya, lebih banyak variasi ekstrak alga akan memasok lebih luas
nutrisi ke tanaman. Ada sekitar 400 spesies Sargassum ditemukan di seluruh
perairan, dan Sargassum pertama kali dijelaskan hampir 200 tahun yang lalu oleh
Agardh pada tahun 1820 (Liu et al., 2012). Sekitar 200 senyawa bioaktif, seperti
meroterpenoids, phlorotannins, fucoidans, sterol, dan glikolipid yang telah
diidentifikasi dari genus ini. Sargassum merupakan sumber kaya akan
kandungan farmakologi yang disarankan dalam menjaga kesehatan dan sebagai
antiagen pathogen (Liu et al., 2012). Penggunaan Sargassum tidak terbatas pada
konsumsi manusia saja, tetapi sebagai promotor pertumbuhan tanaman juga
(Williams dan Feagin, 2010; Kumari et al., 2011, 2013.). Alginat dari Sargassum
sinicola telah dilaporkan dapat mempercepat pertumbuhan mikroalga Chlorella
sorokiniana (Yabur et al., 2007).
Laminaria juga memiliki sejarah dalam penentu kesuburan tanah berpasir
yang mengandung sedikit bahan organik (Haslam dan Hopkins, 1996). Peran
rumput laut sebagai penentu kesuburan tanah dikaitkan dengan mineralisasi
biologi rumput laut dan interaksi antara partikel tanah dan senyawa organik baik
yang berasal langsung atau tidak langsung dari rumput laut (Stephenson, 1968).
Thorsen et al. (2010), juga mengungkapkan keuntungan dari penggunaan
Laminaria dalam pertanian sebagai penyedia nutrisi, promotor perkecambahan
biji. Selain itu, Laminaria kaya akan senyawa bioaktif yang telah ditemukan
secara farmakologi sangat penting sebagai antimikroba, antitumor, antioksidan,
antiviral, antikoagulan, dan kegiatan lain yang mungkin berguna dalam mengobati
K. alvarezii yang terinfeksi penyakit ice-ice (Wang et al., 2010; Peng et al., 2012;
Saha et al., 2012; Kim et al., 2013).
Penerapan ekstrak rumput laut sebagai pupuk lebih murah dan ramah
lingkungan. Mempertimbangkan berbagai nutrisi dan pengatur pertumbuhan yang
dipasok dalam ekstrak rumput laut, dapat sepenuhnya diterapkan dan
menggantikan media buatan yang secara kimiawi diproduksi (Hurtado et al.,
2009). Ketika lebih banyak jenis ekstrak rumput laut yang dicampur bersama
dalam pupuk, lebih banyak varietas elemen berfungsi tersedia untuk
meningkatkan pertumbuhan yang lebih cepat dan sehat. Selain itu, masalah
seperti eutrofikasi dan perkembangan alga berbahaya, yang biasanya disebabkan
penggunaan pupuk buatan yang berlebihan sehingga penggunaan ekstrak rumput
laut sebagai pupuk lebih menguntungkan.
3.2 Frekuensi Perubahan Media
K. alvarezii dibudidayakan dengan media harian mencapai tingkat
pertumbuhan tertinggi (6,98 ± 0,12%) dan berbeda secara signifikan dari tiga
perlakuan lainnya (F (3,12) = 8,440, p<0,05) (Gambar 2). Secara morfologi, tidak
6. ada perbedaan nyata atau kelainan yang ditemukan pada bibit disemua perlakuan.
Jadi, untuk percobaan berikutnya, penambahan pupuk NSE dengan perubahan
media harian digunakan untuk menentukan kepadatan kultur yang optimal.
Frekuensi perubahan media sering dikaitkan dengan ketersediaan nutrisi
dalam media dan periode nutrisi yang akan digunakan. Seperti pada tahap
aklimatisasi, penambahan suplemen nutrisi secara manual harus diminimalkan
untuk menyiapkan eksplan rumput laut untuk beradaptasi dengan lingkungan
baru. Oleh karena itu, hanya pupuk yang ditambahkan, bukan media kultur
lengkap seperti yang digunakan dalam kultur jaringan. Ketersediaan nutrisi hanya
dapat dipertahankan dengan mengubah media, dan frekuensi perubahan media
menentukan kinerja pertumbuhan eksplan rumput laut. Selain itu, perubahan
media harian juga memperhatikan perubahan salinitas dalam pembibitan di laut
terbuka untuk mengatasi desalinasi karena pengendapan garam. Namun, frekuensi
perubahan menengah selalu digunakan sebagai variabel tetap, dari pada variabel
yang dimanipulasi dalam studi budidaya rumput laut lainnya yang di
publikasikan.
Aklimatisasi sel reproduksi K. striatum sebelum dipindahkan ke lapangan
dilakukan didalam tangki beton dengan sistem sirkulasi air untuk
mempertahankan konsentrasi nutrisi dalam media biakan seperti dilansir Luhan
dan Sollesta (2010). Frekuensi perubahan media yang tinggi juga menyiapkan
eksplan rumput laut untuk beradaptasi dengan kondisi laut alami. Namun, biaya
oprasional merupakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pembibitan
yang disiapkan untuk budidaya komersial.
3.3 Kepadatan Kultur
Dalam studi aklimatisasi selama 2 minggu, eksplan K. alvarezii
menunjukkan tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu 7,14 ± 0,30% hari-1
pada
kepadatan kultur 0,40 g L-1
yang berbeda nyata (F(3,24)= 50.227, p<0,05) dari
kultur kepadatan lainnya (Gambar 3). Namun, tidak ada perbedaan morfologi
yang diamati atau tanda penyakit di semua kultur.
Mirip dengan penelitian frekuensi perubahan media, penelitian kepadatan
kultur berkaitan erat dengan ketersediaan kandungan gizi dalam media. Seperti
dalam kepadatan budidaya yang lebih tinggi, nutrien tidak cukup untuk semua
eksplan dalam periode tertentu, dan pertumbuhan eksplan dapat terpengaruh.
Selain itu, penetrasi cahaya dapat dikurangi dari kepadatan eksplan rumput laut
(Manríquez-Hernández, 2013). Dengan menurunnya ketersediaan nutrisi dan
penetrasi cahaya yang lebih rendah, laju fotosintesis rumput laut cenderung
menurun, dan akhirnya, kepadatan kultur yang tinggi sebenarnya dapat
mengurangi produktivitas budidaya (Bidwell et al., 1985).
Kepadatan budidaya yang lebih tinggi juga dapat mengurangi aliran air di
dalam media, dan oleh karena itu, rumput laut akan mengalami kehabisan nutrisi.
7. Menurut Glenn dan Doty (1992), gerakan air mempengaruhi tingkat pertumbuhan
rumput laut dengan menurunkan ketebalan lapisan air yang tidak dibalik di sekitar
thallus, sehingga meningkatkan laju difusi bahan ke dalam dan keluar dari thallus.
Ketika kepadatan kultur meningkat, yang lebih lemah adalah difusi untuk masuk
dan keluarnya bahan ke pusat thallus, dan semakin besar kemungkinan kebutuhan
gerakan air, yang kemudian akan menyebabkan biaya oprasional yang lebih tinggi
dalam budidaya komersial.
3. 4 Uji Coba Lapangan
Di lapangan, tingkat pertumbuhan harian rata-rata dari K. alvarezii yang
diaklimatisasi secara signifikan lebih tinggi (F(1,4)= 12.108, p<0,05)
dibandingkan K. alvarezii yang tidak di aklimatisasi yaitu 3,91 ± 0,16 dan 3,56 ±
0,07 % hari-1
. Hasil ini lebih besar dari hasil yang dilaporkan oleh Yassir (2012),
yang mencatat 3,39 ± 0,18% hari-1
untuk budidaya K. alvarezii (Gambar 4).
Tingkat kelangsungan hidup aklimatisasi K. alvarezii adalah 83,33 ± 5,77%, yang
secara signifikan lebih tinggi (F(1,4)= 25.000, p<0,05) dibandingkan dengan K.
alvarezii yang tidak di aklimatisasi (50,00 ± 10,00%). Kami menyimpulkan
bahwa sebagian bibit K. alvarezii yang diaklimatisasi terlepas dari lokasi
budidaya karena gelombang kuat atau dikonsumsi oleh predator seperti penyu,
sedangkan K. alvarezii yang tidak diaklimatisasi diyakini dipengaruhi oleh epifit
dan penyakit ice-ice. Selain itu, tidak ada epifit yang diamati pada K. alvarezii
yang diaklimatisasi, sedangkan K. alvarezii yang tidak diaklimatisasi yang
dibudidayakan terserang oleh Neosiphonia sp. (Gambar 5).
Menurut Borlongan et al. (2011) dan Loureiro et al. (2012), infeksi epifit
dari K. alvarezii dapat dikurangi dengan penambahan pupuk ekstrak A. nodosum
pada media kultur, baik di laboratorium maupun budidaya rumput laut di laut
terbuka. Penambahan ekstrak A. nodosum pada media kultur K. Alvarezii secara
in vitro ditemukan mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan
(Loureiro et al., 2014). Dalam budidaya komersial, epifit tidak sepenuhnya dapat
dihilangkan. Menurut Vairappan et al. (2008), sekitar 90% dari budidaya
komersial di negara-negara penghasil rumput laut utama terserang infeksi epifit,
dan masih belum ada solusi efektif untuk menghilangkan epifit dari kegiatan
budidaya.
Terserangnya epifit pada rumput laut yang tidak daklimatisasi diyakini
disebabkan oleh stres karena perubahan lingkungan yang tiba-tiba dan
melemahnya ketahanan terhadap epifit. Menurut Vairappan (2006), wabah epifit
dan penyakit ice-ice lebih umum terjadi ketika rumput laut berada dalam kondisi
stres, terutama selama musim kering dan panas. Setelah terinfeksi oleh
Neosiphonia sp., produktivitas budidaya menurun sekitar 20%, dan kualitas
karagenan menurun juga (Vairappan et al., 2008). Dengan menerapkan kondisi
budidaya yang dioptimalkan di pembibitan laut terbuka, produksi K. alvarezii
8. yang diaklimatisasi ditemukan lebih menjanjikan dan menarik dibandingkan
dengan rumput laut yang umum dibudidayakan.
4. Kesimpulan
Kesimpulannya, aklimatisasi kultur jaringan K. alvarezii yang
menggunakan air laut yang disaring dengan penambahan NSE, perubahan media
harian, dan kepadatan kultur 0,40 g L-1
di pembibitan K. alvarezii hasil kultur
jaringan di laut terbuka ditemukan dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih
cepat dan tahan terhadap penyakit ice-ice dan epifit. Dengan mengacu pada hasil
budidaya, aklimatisasi bibit K. alvarezii hasil kultur jaringan berhasil dalam
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan ketahanan terhadap penyakit ice-
ice dan epifit. Temuan ini penting untuk aklimatisasi bibit rumput laut hasil kultur
jaringan sebelum digunakan sebagai bibit dalam industri budidaya komersial
rumput laut.