SlideShare a Scribd company logo
1 of 43
Pendahuluan
Terdapat beberapa hal yang harus Saudara pahami mengenai pendidikan inklusif, yaitu bahwa:
 Pendidikan inklusif tidak sama dengan konsep pendidikan integrasi/terpadu.
 Pendidikan inklusif punya makna jauh lebih luas dari pada pendidikan integrasi.
 Pendidikan inklusif tidak sekedar memindahkan atau menempatkan penyandang
disabilitas/PDBK di sekolah reguler.
 Dalam pendidikan inklusif, semua anak harus diterima di sekolah tanpa syarat dan
program sekolah harus menyesuaikan kebutuhan anak. Sedangkan dalam pendidikan
integrasi anak baru dapat diterima di sekolah jika anak dapat menyesuaikan proram yang
ada di sekolah.
Pengertian Pendidikan Inklusif
Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra, India pada tahun 1998
yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.
1. lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat,
sistem nonformal dan informal.
2. mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
3. memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua
anak.
4. mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa,
status HIV/AIDS dll.
5. merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan
konteksnya.
6. merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang
inklusif.
Definisi berikutnya, Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan
bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya’.
Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif
Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan
pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita
yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini
sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal,
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai
dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan
suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban
untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak
berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku,
ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat
ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan
peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya,
atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik
yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.
Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif
Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa
implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi
pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait.
Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal
yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa
“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan
bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum
yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”. Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal
32 ayat (1) ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea
terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik”.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun
kejuruan, dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.”
Dalam penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, “Yang dimaksud dengan ‘pendidikan secara inklusif’ adalah pendidikan bagi peserta
didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang
Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.
Landasan Empiris Pendidikan Inklusif
Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan
penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak
efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan
Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman
sebayanya.
Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif
mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), Tahun 1948
b. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989
c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for
All) Tahun 1990
d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang
Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities)
e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on
Inclusive Education) Tahun 1994
f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on
Education for All) Tahun 2000
g. Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusi”
h. Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah
terhadap anak semestinya dipandang sebagai:
1. Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang
akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah
benar-benar untuk semua;
2. Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian
dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3. Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Prinsip Pendidikan Inklusif
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat
belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
a. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
b. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan
perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
c. Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik
belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan
keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup
anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk
terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan
minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam
Hermansyah, 2013).
Prinsip Pendidikan Inklusif
Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh
prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan
2. Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered).
3. Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas.
4. Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus.
5. Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat.
6. Pengakuan oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar.
7. Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan
perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared
responsibility.
Prinsip Pendidikan Inklusif
Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas
(2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai
berikut:
1. Prinsip motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar.
2. Prinsip latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan
contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal
mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya
tidak terlalu perlu bagi anak.
3. Prinsip hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan
strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
4. Prinsip individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam
menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan
perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat
perhatian dan perlakuan yang sesuai.
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup
juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun
pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari
daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
Setelah mempelajari materi mengenai hakikat pendidikan inklusif pada kegiatan ini, Saudara
diharapkan belum merasa puas dan berusaha untuk mengkaji dan mencari bahan referensi
lainnya untuk memantapkan pehamanan Saudara mengenai pendidikan inklusif. Dengan
berbekal berbagai hasil kajian dan bacaan yang telah dilakukan, Saudara diminta untuk
menuliskan hasil kajian dan kesimpulan Saudara mengenai pendidikan inklusif, sesuai dengan
poin-poin yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar
Pendidikan Inklusif
 Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
-----------------------------------------------------------------
Secara umum, Indeks Inklusi memberikan panduan untuk mendukung sekolah dalam proses
pengembangan sekolah inklusif berdasarkan sudut pandang pemerintah, peserta didik, orang
tua/wali dan anggota masyarakat lainnya. Indeks Inklusi dapat digunakan untuk mengukur
kualitas praktik pendidikan inklusif di sekolah melalui asesmen diri sekolah. Hasil asesmen
tersebut dapat digunakan untuk melakukan evaluasi ataupun menentukan prioritas
pengembangan sekolah inklusif.
Dimensi Membangun Budaya Inklusif terbagi dalam sub dimensi Membangun Komunitas dan
sub dimensi Membangun Nilai-Nilai Inklusif dengan indikator sebagai berikut:
A.1 Membangun Komunitas
Indikator:
A.1.1 Setiap orang merasa diterima.
A.1.2 Peserta didik saling membantu.
A.1.3 Staf sekolah berkolaborasi satu sama lain.
A.1.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
A.1.5 Ada kemitraan antara staf sekolah dan orang tua/wali.
A.1.6 Staf sekolah dan pimpinan daerah bekerja sama dengan baik.
A.1.7 Semua masyarakat sekitar terlibat di sekolah.
A.2 Membangun Nilai-Nilai Inklusif
Indikator:
A.2.1 Harapan yang tinggi untuk semua peserta didik.
A.2.2 Staf sekolah, pimpinan daerah, peserta didik dan orang tua/wali memiliki
pemahaman filosofi inklusi yang serupa
A.2.3 Peserta didik sama-sama dihargai.
A.2.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain sebagai manusia yang
memiliki perannya masing-masing.
A.2.5 Staf sekolah berusaha menghilangkan hambatan belajar dan hambatan partisipasi dalam
semua aspek sekolah.
A.2.6 Sekolah berupaya meminimalkan praktik diskriminatif
Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif
Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengembangkan Sekolah
untuk Semua dan Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman dengan indikator sebgai berikut:
B.1 Mengembangkan Sekolah untuk Semua
Indikator:
B.1.1 Pengangkatan dan promosi staf sekolah dilaksanakan secara adil.
B.1.2 Semua staf sekolah baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.3 Sekolah berusaha untuk menerima semua peserta didik dari wilayahnya.
B.1.4 Sekolah membuat bangun yang dapat diakses secara fisik oleh semua orang.
B.1.5 Semua peserta didik baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.6 Sekolah mengatur kelompok pengajaran agar semua peserta didik dihargai.
B.2 Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman
Indikator:
B.2.1 Semua bentuk dukungan dikoordinasikan.
B.2.2 Kegiatan pengembangan staf sekolah membantu staf sekolah untuk menanggapi
keragaman peserta didik.
B.2.3 Kebijakan 'kebutuhan pendidikan khusus' adalah kebijakan yang inklusi.
B.2.4 Kode Praktik/Panduan Praktik Kebutuhan Pendidikan Khusus digunakan untuk
mengurangi hambatan belajar dan hambatan partisipasi semua peserta didik.
B.2.5 Dukungan bagi mereka yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dikoordinasikan
dengan dukungan pembelajaran.
B.2.6 Kebijakan dukungan pada aspek perkembangan dan perilaku dikaitkan dengan
pengembangan kurikulum dan kebijakan dukungan pembelajaran
B.2.7 Penanganan disipilin yang berlebihan dikurangi.
B.2.8 Partisipasi kehadiran yang rendah dikurangi.
B.2.9 Perundungan diminimalisir
Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif
Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengatur Pembelajaran
dan Memobilisasi Sumber Daya dengan indikator sebgai berikut:
C.1 Mengatur pembelajaran
C.1.1 Pengajaran direncanakan dengan mempertimbangkan pembelajaran unruk semua peserta
didik.
C.1.2 Pelajaran mendorong partisipasi semua peserta didik.
C.1.3 Pelajaran mengembangkan pemahaman tentang perbedaan.
C.1.4 Peserta didik secara aktif terlibat dalam gaya pembelajaran mereka sendiri.
C.1.5 Peserta didik belajar secara kolaboratif.
C.1.6 Penilaian berkontribusi pada pencapaian semua peserta didik.
C.1.7 Disiplin di kelas didasarkan pada rasa saling menghormati.
C.1.8 Guru merencanakan, mengajar dan mereviu secara kolaboratif.
C.1.9 Guru bertanggungjawab untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta
didik.
C.1.10 Asisten pengajar mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik.
C.1.11 Pekerjaan rumah berkontribusi pada pembelajaran untuk semua.
C.1.12 Semua peserta didik mengikuti kegiatan di luar kelas.
C.2 Memobilisasi sumber daya
C.2.1 Perbedaan peserta didik digunakan sebagai sumber belajar mengajar.
C.2.2 Keahlian staf sekolah dimanfaatkan sepenuhnya.
C.2.3 Staf sekolah mengembangkan sumber daya untuk mendukung pembelajaran dan
partisipasi.
C.2.4 Sumber daya di masyarakat diketahui dan digunakan.
C.2.5 Sumber daya sekolah didistribusikan secara adil sehingga mendukung inklusi
Setelah mempelajari materi mengenai Indeks Inklusi, Saudara diharapkan dapat memahami
materi dengan baik dan dapat menuangkan pemahaman yang dimiliki dengan menjawab
pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di Folder Lembar Kerja - Konsep Dasar
Pendidikan Inklusif
 Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
ada kegiatan ini, Saudara akan mempelajari materi mengenai mekanisme layanan PDBK di
sekolah inklusif. Namun sebelum itu, Saudara diminta terlebih dahulu untuk memberikan
tanggapan atas kasus berikut.
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,
antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan
setempat. Pada beberapa sekolah, peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di
sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog. Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan
persyaratan di atas, sehingga menimbulkan hambatan bagi guru dalam melayani peserta didik
yang bersangkutan.
Menurut Saudara , mengapa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit atau
psikolog menjadi penting?
Persyaratan penerimaan peserta didik di sekolah untuk menyertakan surat keterangan hasil
asesmen dari rumah sakit atau psikolog menjadi suatu hal yang penting. Hal ini, bertujuan untuk
mengetahui kondisi awal (baseline) ABK sebagai pertimbagan panitia penerimaan siswa baru
dan kesiapan guru kelas atau GPK (Guru Pembimbing Khusus) ketika intervensi. Dengan
demikian, identifikasi dan asesmen bagi calon PDBK mutlak dilakukan.
Pendahuluan
Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Kedudukan peserta didik berkebutuhan khusus juga
dikuatkan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3,
yaitu:
1. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
2. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada
satuan pendidikan yang ditunjuk.
3. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif.
Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan
bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,
antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas
pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat
diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau
dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak
sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.
Prosedur Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Sebagai informasi, untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.
1. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal
penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan
menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan
penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) /
laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke
sekolah yang bersangkutan.
4. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai
penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan
tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa.
Penerimaan PDBK
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,
antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan
setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di
sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog.
Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga
menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk
kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat
sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih
ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.
Secara grafis mekanisme penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan dalam beberapa skema berikut.
Skema 1
Skema 2
Skema 3
Identifikasi
Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu
benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan
khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan
mengikuti pembelajaran.
Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau
hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang
diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi
yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang
dimilikinya.
Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak menunjukkan
karakteristik unik (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi
akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan.
Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening),
pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan
belajar.
Alat (instrumen) identifikasi anak berkebutuhan khusus (AIABK)disusun untuk mengetahui
kondisi dan asal usul peserta didik. Alat ini terdiri atas 4 (empat) format. Masing masing format
berisi tentang data dan informasi peserta didik yang diidentifikasi. Format 1 dan format 2
merupakan format yang berisi data pendukung AIABK, format 3 merupakan alat identidikasi
yang digunakan, dan format 4 adalah rekap hasil identifikasi.
Klik Disini untuk mengunduh Format Identifikasi.
Silakan unduh dan pelajari instrumen identifikasi diatas. Anda akan mempraktekkan penggunaan
intrumen tersebut pada tahap Penguasaan Ketrampilan.
Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki,
hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu
muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan.
Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi
anak itu.
Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:
1) asesmen berazaskan kurikulum (asesmen akademik), dan
2) asesmen berazaskan perkembangan (asesmen nonakademik), dan
3) asesmen kekhususan.
Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan
anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi
data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja.
Asesmen
Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya,
baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stakeholder melakukan hal-hal
sebagai berikut:
Peran guru
 Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik
 Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah
 Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua
ketika di rumah.
Peran Orang tua
 Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)
 Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog
 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat
Peran Kepala sekolah
 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat
 Melapor kepada Dinas pendidikan setempat
 Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi
 Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi
dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Peran Dinas Pendidikan
 Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan
oleh pihak sekolah.
 Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi,
Organisasi profesi.
 Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan
permohonan,
 Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan
inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh
tim verifikasi.
Intervensi
Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan
perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan
intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami
hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai akibat ketunaan. Intervensi dilakukan
setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.
Penempatan dan Tindak Lanjut
Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses
belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik
reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan
prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan
prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih
berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama peserta didik
lainya adalah cara yang sangat inklusif; non-diskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus
membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi
yang dibutuhkan.
enugasan
Setelah mempelajari materi mengenai layanan PDBK di sekolah inklusif,
Saudara diharapkan dapat memahami materi dengan baik dan dapat menuangkan pemahaman
yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan
Inklusif.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di Folder Lembar Kerja - Konsep Dasar
Pendidikan Inklusif
 Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
Istilah the most restrictive environment (lingkungan yang paling terbatas) and the least restrictive
environment (lingkungan yang tak terbatas) pada layanan ABK mengacu pada alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dimana, layanan pendidikan di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif memberikan layanan pendidikan bagi ABK yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan ditempatkan pada
lingkungan yang paling tidak berbatas (sekolah reguler) menurut potensi dan jenis/tingkat
kelainannya.
Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk
yaitu segregasi, integrase dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya
mengenai sistem kurikulum yang diterapkan. Untuk lebih jelasnya, silahkan cermati materi yang
disajikan pada halaman berikutnya.
Istilah the most restrictive environment (lingkungan yang paling terbatas) and the least restrictive
environment (lingkungan yang tak terbatas) pada layanan ABK mengacu pada alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dimana, layanan pendidikan di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif memberikan layanan pendidikan bagi ABK yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan ditempatkan pada
lingkungan yang paling tidak berbatas (sekolah reguler) menurut potensi dan jenis/tingkat
kelainannya.
Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk
yaitu segregasi, integrase dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya
mengenai sistem kurikulum yang diterapkan. Untuk lebih jelasnya, silahkan cermati materi yang
disajikan pada halaman berikutnya.
Sekolah Khusus
Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B),
SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-
E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan
khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem
sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis.
Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu
sampai tiga tahun.
Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang
dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal di asrama. Pengelolaan
asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat
persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun
juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk
tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB
untuk tunalaras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan
di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu,
SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar
daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
Sekolah Luar Biasa dengan Kelas Jauh
Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
Penyelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan
wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah
yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan
adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang
bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB- SLB di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh
tersebut sebagai afiliansi dari SLB terdekat sebagai sekolah induk.
Sekolah Luar Biasa dengan Guru Kunjung
Berbeda halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang tidak
siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK untuk melayani mereka belajar. Kegiatan
admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa
senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan
semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi
dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan bersaing
secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah
bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri.
Adapun Kelemahan adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa terpasung
dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja sehingga pada giliranya dapat
menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan
dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.
etelah mempelajari materi mengenai bentuk layanan segregasi pada kegiatan ini, Saudara
diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman
yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar
Pendidikan Inklusif.
Selanjutnya Saudara dipersilakan untuk mengunduh materi sebagai bahan bacaan dan
mengerjakan lembar kerja.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar
Pendidikan Inklusif
 Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengumpulan Tugas - Konsep Dasar Pendidikan
Inklusif.
Pendahuluan
Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut dengan istilah sekolah
terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal
anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada
kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan
klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai profesi
dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak berkebutuhan khusus
dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu mengikuti kegiatan di kelas tersebut
dan kurikulum yang digunakan sama dengan anak lainnya.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam
satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban
guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak
berkebutuhan khusus.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu
disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru
kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi
sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu:
a. Kelas Biasa
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
c. Bentuk Kelas Khusus.
Kelas Biasa
Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,
maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan
dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa
Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang
tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.
Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing
khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang sesuai.
Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk
memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini
sering disebut juga keterpaduan sebagian.
Kelas Khusus
ABK mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut
juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana
program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah
pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini
hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk
kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu
jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Pada kelas khusus, biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang
relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual (individualized
instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan kelas
khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/drop out atau untuk
menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus
bersifat fleksibel.
Kelas Khusus
Kelebihan kelas khusus adalah sebagai berikut:
 Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya.
Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa
berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan
berdampak baik pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat
pula kelak jika mereka telah dewasa.
 Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
 Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
 Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat
dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
 Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan
khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
 Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan
pendekatan individual atau kelompok kecil
Di samping kelebihan terdapat juga kelemahannya, antara lain adalah sebagai berikut:
 Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari
sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang
berdampak pada perkembangan belajarnya.
 Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk
bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.
 Sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai anak
berkebutuhan khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan
khusus dalam kelas khusus.
 Siswa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan
kurikulum yang ada.
Setelah mempelajari materi mengenai bentuk layanan integrasi/terpadu pada kegiatan ini,
Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil
pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep
Dasar Pendidikan Inklusif.
Selanjutnya Saudara dipersilakan untuk mengunduh materi sebagai bahan bacaan dan
mengerjakan lembar kerja.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan
Inklusif
 Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengumpulan Tugas - Konsep Dasar Pendidikan
Inklusif.
 Bentuk layanan pendidikan inklusif
 Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai semua peserta
didik termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik berada dalam
lingkungan yang sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu.
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum sekolah tersebut dengan dilakukan
modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan bagi semua peserta didik.
 Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam
sekolah/kelas umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah
anak-anak yang tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak
pada umumnya. (ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya
adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai dan menerima perbedaan, semua
bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing
dan diyakini semua anak dalam kelas bisa mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-
masing.
Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum
Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di sekolah
tersebut, tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan kondisi kelas
yang beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan mengadaptasi kurikulum ketika
terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Seringkali disebut dengan
kurikulum akomodatif atau juga kurikulum yang fleksibel.
Pada proses belajar dalam kelas dengan peserta didik yang beragam (inklusif) guru kelas atau
guru mata pelajaran bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kegiatan belajar. Tidak
menutup kemungkinan guru membutuhkan pertolongan GPK untuk merancang kegiatan
belajar sehingga semua anak bisa belajar dalam kelas yang sama.
HARI KE 3
Konsep Keberagaman Peserta Didik
Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir
Umpan Balik
Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, mungkin Saudara memperoleh hal-hal baru yang
dapat menambah pemahaman Saudara terkait dengan keberagaman peserta didik dan bagaimana
sikap yang dapat dilakukan terhadap peserta didik tersebut.
Ada beberapa peserta didik yang memiliki keberagaman seperti:
Keberagaman Fisik:
 Ada peserta didik yang tinggi, sedang, pendek untuk ukuran pada kelasnya
 Ada peserta didik yang gemuk. Sedang, kurus untuk ukuran pada kelasnya
 Ada peserta didik jenis kelamin dan perempuan
 Ada peserta yang memiliki kelengkapan dan fungsi standar pada anggota tubuhnya, ada juga
peserta didik yang memiliki hambatan dalam kelengkapan dan fungsi anggota tubuhnya.
Keberagaman Sensorik:
 Ada peserta didik yang memiliki penglihatan tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan penglihatan
 Ada peserta didik yang memiliki pendengaran tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan pendengaran
Keberagaman Sosial ekonomi dan demografis:
 Ada peserta didik dari keluarga kaya, sedang, miskin
 Ada peserta didik dari perkotaan dan pedesaan
 Ada peserta didik yang tinggal di perumahan dan masyarakat/perkampungan
Keragaman jenis lainnya:
 Ada peserta dengan hambatan perilaku dan emosi, kesulitan belajar spesifik, autis, dan
sebagainya
Kemudian Sikap dan tindakan yang harus lakukan guru terhadap keberagaman peserta didik:
 Menerima keragamaan peserta didik yang ada di kelas
 Memahami perbedaan unik setiap individu peserta didik
 Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik
 Memberikan kebutuhan layanan pembelajaran, khususnya bagi peserta didik yang
berkebutuhan khusus dengan tetap memberikan perhatian yang sama untuk kelas.
Untuk lebih jelasnnya, Saudara dapat mencermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya.
Pendahuluan
Peserta didik di sekolah inklusif beragam jenisnya, ada peserta
didik tipikal atau reguler dan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik tipikal adalah
peserta didik yang tidak memiliki hambatan siginifikan (berarti), pada sisi fisik, mental kognitif
maupun pada sensori, sehingga mereka dapat mengikuti pembelajaran secara klasikal tanpa
memerlukan layanan pendidikan secara khusus.
Peserta didik berkebutuhan khusus adalah individu yang memiliki hambatan signifikan, baik
pada fisik, mental, kognitif maupun sensorik, sehingga mereka memerlukan layanan kebutuhan
pendidikan khusus untuk dapat belajar bersama siswa reguler.
Perbedaan peserta didik tipikal dan peserta didik berkebutuhan khusus lebih tepat disebut sebagai
“keberagaman peserta didik”. Setiap peserta didik harus mendapatkan layanan pembelajaran
untuk meningkatkan “kualitas hidup peserta didik. Ada 4 hak peserta didik untuk mendapatkan
kualitas hidup, yaitu: to live, to love, to play, dan to work”.
Pengertian Keberagaman Peserta Didik
Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik
tersendiri, baik pada peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus
(PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1
mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2;
“Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan,
fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik
memiliki hak untuk belajar.
Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan
empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik
keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan
demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik
membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong
menolong antarsesama.
Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik
Kebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang
untuk dibuat sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus
menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi
setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki
hak yang sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.
Ada empat indikator kualitas hidup bagi setiap peserta didik, yakni sebagai berikut:
1. To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup
mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi
hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak
boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas inklusif”, tetapi keberadaan
peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam
mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.
2. To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti
kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak
dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan
sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.
3. To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang
sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam
diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah.
Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk memperoleh
kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.
4. To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk
mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya
menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan
khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi
harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan
pendidikannya.
Penugasan
Setelah mempelajari materi mengenai konsep keberagaman peserta didik pada
kegiatan ini, Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan
hasil pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 2. Kosep
Keberagaman Peserta Didik.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Keberagaman
Peserta Didik
 Setelah menyelesaikan LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Keberagaman Peserta Didik
Jenis Peserta Didik
Sekolah penyelengggara pendidikan inklusif adalah Lembaga pendidikan yang dihadirkan
dengan tujuan untuk membuka aksesibilitas semua warga masyarakat usia belajar untuk
memperoleh layanan pembelajaran tanpa terhalang oleh hambatan fisik, mental akademik,
sensorik dan kondisi sosial ekonomi. Keragaman peserta didik pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif sangat beragam, karena sekolah inklusif memberikan akses
yang terbuka bagi semua peserta didik.
Peserta didik di sekolah inklusif, ada tiga klasifikasi besar, yaitu:
1. Peserta didik tipikal atau reguler yaitu peserta didik yang tidak memiliki hambatan
tertentu, misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik dan hambatan lainnya yang
menyebabkan mereka mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran secara
klasikal.
2. Peserta didik berkebutuhan khusus yaitu peserta didik berkebutuhan khusus adalah
peserta didik yang memiliki kebutuhan belajar dan hambatan tertentu, seperti hambatan
penglihatan, pendengaran, intelektual, fisik, hambatan dengan autistik, dan lainnya
seperti anak hiperaktif, lamban belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku
tertentu.
3. Peserta didik berkebutuhan layanan khusus yaitu peserta didik dengan kebutuhan
layanan khusus yang mengalami hambatan secara eksternal, seperti anak korban bencana
alam, anak korban HIV, korban kekerasan rumah tangga dan lingkungan.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai seorang
anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan
masing-masing anak secara individual.
Dalam paradigma pendidikan, keberagaman peserta didik yang kebutuhan khusus sangat
dihargai karena setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap anak memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar
yang berbeda-beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan
yang disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis, psikologis,
sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik
dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury
yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda.
Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan
perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan
kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada
anak autis dan Attention Deficit Hiperaktif Disorder (ADHD). Konsep sosio-kultural mengenal
anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada
umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak
yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di
sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada
umumnya.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability,
impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing
istilah adalah sebagai berikut:
 Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari
impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam
batas normal, biasanya digunakan dalam level individu.
 Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur
anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.
 Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau
disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada
individu.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian
anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan
pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini
mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Alimin (2007) yang mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan
khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan
dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dengan kata
lain, lingkungan belajar, teknik, media, dan lainnya harus menyesuaikan dengan ABK.
Anak Berkebutuhan Khusus Temporer/Sementara
Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus temporer/sementara
(temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-
faktor lingkungan seperti:
a. anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan
dalam rumah tangga
b. mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya
c. mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru
dalam mengajar
d. anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami.
ABK Permanen dan Temporer
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-
anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari ketidak berfungsian salah satu
organ atau bagian tubuh tertentu. Misalnya, kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi
penglihatan, pendengaran, perkembangan kecerdasan atau kognitif yang rendah, gangguan fungsi
gerak atau motorik dan sebagainya. ABK yang temporer adalah sifat kebutuhannya bersifat
sementara dan dapat disebutkan dengan berbagai layanan yang tepat.
Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen
memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan-
kebutuhannya.
Anak dengan Hambatan Sensorik - Penglihatan (Tunanetra)
Menurut Gunawan (2011), anak dengan hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami
gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik
hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi
dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat
khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.
Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam
perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).
1. Low Vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih
mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter).
Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai
jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.
2. Hambatan penglihatan total
Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total
mereka yang tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau
pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa
mengetahui sumber cahayanya.
Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca
dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan
daily activities.
Anak dengan Hambatan Sensorik - Pendengaran (Tunarungu)
Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai kemampuan mendengar di
kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan
secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan
alat bantu dengar atau alat-alat lainnya.
Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah
hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara
fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran.
Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif,
sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara
verbal.
Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak
mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera
pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka
masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak
pada aspek-aspek berikut:
1. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum,
dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan
yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).
2. Aspek bicara dan bahasa
Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran
dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran
congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan
menggunakan alat bantu dengar.
Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran
biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Anak dengan Hambatan Sensorik - Pendengaran (Tunarungu)
Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai kemampuan mendengar di
kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan
secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan
alat bantu dengar atau alat-alat lainnya.
Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah
hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara
fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran.
Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif,
sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara
verbal.
Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak
mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera
pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka
masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak
pada aspek-aspek berikut:
1. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum,
dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan
yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).
2. Aspek bicara dan bahasa
Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran
dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran
congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan
menggunakan alat bantu dengar.
Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran
biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Menurut Gunawan (2011) anak mengalami
hambatan intelektual adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak
mengalami hambatan intelektual ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah
rata-rata. Berbagai istilah yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual,
selalu menunjuk pada keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia
kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.
Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda, maka untuk
kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami hambatan intelektual.
Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat
dikelompokkan.
1. Hambatan Intelektual Ringan
Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak
berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok mampu
didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak anak
mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas
IV SD Umum.
2. Hambatan Intelektual Sedang
Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah
dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual yang mempunyai fisik normal.
Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat
kelas 2 SD Umum.
3. Hambatan Intelektual Berat
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan
secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu
rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan
bantuan orang lain.
Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah
rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan
penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa
perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan
anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:
1. keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata- rata
2. ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif
3. hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan
usia 18 tahun.
Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif
tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga
mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari
gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.
1. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari
konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan terus
menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat
mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat
berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang
sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami
hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti; berpakaian,
makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk
mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan
intelektual ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang
mempunyai anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut.
Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan
intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.
Anak dengan Hambatan Fisik - Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)
Anak dengan Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)
Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gangguan
gerak adalah:
1. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat
atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari seperti berjalan
dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung.
2. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu memerlukan
observasi dan bimbingan medis.
Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu:
1. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system)
2. Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti
cerebral palsy yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan
spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan
pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain
mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi.
Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah
tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu
memenuhi kebutuhan gerak.
Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi
Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku
menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja,
sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan
dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan
pelayanan dan pendidikan secara khusus.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi
(behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
2. Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
3. Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi dan
perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.
Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja
(2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi
verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang
berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak.
Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-
ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan dalam
rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap pengalaman
sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Mengalami hambatan di dalam bahasa.
2. Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
3. Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
4. Kurang memiliki perasaan dan empati.
5. Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6. Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
7. Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8. Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
9. Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu
sebagai berikut:
a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism)
nak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa
Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat
istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan
tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya
(anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan
khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi
Gunawan, 2011).
Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain
penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain
motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat
istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua
anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual-
kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang
utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana
dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya
dengan baik.
h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)
Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD)
secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh
ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil
akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada anak atau
remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan
kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.
Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit atau
kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan
genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia
normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan
dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang
terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long
live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.
PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan
PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9,
dan sebagainya
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
a. Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya
b. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan
sebagainya.
Setelah mempelajari materi mengenai konsep keberagaman peserta didik pada kegiatan ini, Saudara
diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman yang
dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik.
 Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Kosep Keberagaman Peserta Didik
 Setelah menyelesaikan LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik, Saudara diminta untuk
mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Keberagaman Peserta Didik
Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas
Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Pengantar
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas
Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Penerima Manfaat Akomodasi yang Layak
1. Penerima manfaat Akomodasi yang Layak merupakan Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
2. Peserta Didik Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Akomodasi
yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas.
3. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
o Penyandang Disabilitas fisik;
o Penyandang Disabilitas intelektual;
o Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
o Penyandang Disabilitas sensorik:
a. disabilitas netra; dan/atau
b. disabilitas rungu dan/atau disabilitas wicara.
4. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dialami secara
tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Tenaga medis yang dapat menetapkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi dokter dan/atau dokter spesialis.
6. Dokter dan/atau dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat disediakan oleh
Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, Unit Layanan
Disabilitas, atau orang tua/wali Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
7. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) juga dapat
dibuktikan dengan kartu Penyandang Disabilitas yang dikeluarkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
8. Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh
lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan
menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan
ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan
layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan
oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak
Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk
menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik
Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
10.Bentuk Akomodasi yang Layak
11. Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a PP 13 tahun 2020 adalah sebagai berikut.
12.
13. *) Sumber: PP 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik
Penyandang Disabilitas.
Link : https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176054/PP_Nomor_13_Tahun_2020.pdf
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Fisik
Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Fisik adalah:
1. ketersediaan aksesibilitas untuk menuju tempat yang lebih tinggi dalam bentuk:
o bidang miring;
o lift; dan/atau
o bentuk lainnya.
2. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan
kondisi fisik Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter
dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. fleksibilitas proses pembelajaran;
4. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran, sesuai dengan kebutuhan;
5. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran;
6. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi;
8. asistensi dalam proses pembelajaran dan evaluasi; dan/atau
9. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas fisik untuk
mendapat layanan pendidikan.
ayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Intelektual
Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Intelektual adalah:
1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan
kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter
dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. fleksibilitas proses pembelajaran;
3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan;
4. fleksibilitas dalam perLrmusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran;
5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
6. penyesuaian rasio antara jumlah guru/dosen dengan jumlah Peserta Didik Penyandang
Disabilitas intelektual di kelas;
7. capaian pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing individu Peserta Didik Penyandang Disabilitas
intelektual;
8. penyediaan pengajaran untuk membangun keterampilan hidup sehari-hari, baik
keterampilan domestik, keterampilan berinteraksi di masyarakat, maupun di tempat
berkarya;
9. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi;
10. fleksibilitas masa studi;
11. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan/ruang relaksasi;
12. ijazah dan/atau sertifikat kompetensi yang menginformasikan capaian kemampuan
Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual dalam bentuk deskriptif dan angka;
dan/atau
13. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual untuk
mendapat layanan pendidikan
ayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Mental
Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Mental adalah:
1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan
kondisi mental Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter
dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. fleksibilitas proses pembelajaran;
3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan;
4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran;
5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
6. fleksibilitas masa studi sesuai dengan kondisi mental Peserta Didik Penyandang
Disabilitas berdasarkan keterangan medis;
7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi;
8. fleksibilitas waktu untuk tidak mengikuti pembelajaran pada saat Peserta Didik
Penyandang Disabilitas menjalani proses perawatan mental;
9. mendapatkan materi pembelajaran sebelum proses pembelajaran berlangsung;
10. fleksibilitas posisi duduk dan waktu istirahat saat mengikuti proses pembelajaran;
11. ketersediaan layanan tutorial oleh Pendidik atau Peserta Didik lainnya untuk membantu
dalam memahami materi pembelajaran;
12. pemberian bantuan pada saat Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental mengalami
kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pembelajaran;
13. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan/ruang relaksasi;
14. fleksibilitas dalam proses pembelajaran dan evaluasi;
15. fleksibilitas tempat pelaksanaan evaluasi; dan/atau
16. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental untuk
mendapat layanan pendidikan.
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Netra
Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Netra adalah:
1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan
kondisi sensorik netra Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan
dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. fleksibilitas proses pembelajaran;
3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan;
4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran;
5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
6. penerapan standar laman yang aksesibel dalam penggunaan teknologi, aplikasi, dan
peralatan berbasis teknologi baik dalam sistem pendaftaran, administrasi, proses belajar
mengajar, maupun evaluasi;
7. penyediaan denah timbul/maket yang menggambarkan lingkungan fisik sekolah/kampus
Lembaga Penyelenggara Pendidikan;
8. layanan pendampingan untuk orientasi lingkungan fisik sekolah/kampus Lembaga
Penyelenggara Pendidikan;
9. sosialisasi sistem pembelajaran termasuk sistem layanan perpustakaan di kampus
Lembaga Penyelenggara Pendidikan;
10. penyerahan materi pembelajaran/perkuliahan sebelum dimulai kegiatan
pembelajaran/perkuliahan;
11. penyesuaian format media atau materi pembelajaran serta sumber belajar yang aksesibel;
12. penyesuaian strategi pembelajaran untuk muatan pembelajaran khususnya matematika,
fisika, kimia, dan statistik;
13. modifikasi materi pembelajaran, pemberian tugas, dan evaluasi untuk muatan
pembelajaran khususnya olah raga, seni rupa, sinematograh, menggambar, dan yang
sejenisnya;
14. ketersediaan Pendidik atau alat media yang dapat membacakan tulisan yang disajikan di
papan tuiis/layar dalam proses belajar di kelas;
15. penyediaan sumber baca, informasi, dan layanan perpustakaan yang mudah diakses;
16. penyesuaian cara, bentuk penyajian, dan waktu pengerjaan tugas dan evaluasi termasuk
melalui:
o penyajian naskah dalam format braille terutama untuk naskah yang banyak
menggunakan simbol khusus seperti matematika, kimia, dan bahasa Arab;
o modifikasi penyajian soal yang menampilkan gambar dan bagan dalam bentuk
gambar timbul yang telah disederhanakan, deskripsi gambar, atau penggunaan
alat peraga;
o penyajian soal ujian dalam bentuk softcopy, yang dioperasikan dan dikerjakan
dengan menggunakan komputer bicara yaitu komputer yang dilengkapi perangkat
lunak pembaca layar;
o pembacaan soal ujian oleh petugas pembaca;
o perpanjangan waktu dalam penyelesaian tugas; dan
o perpanjangan waktu paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari waktu yang
ditentukan untuk pelaksanan evaluasi yang menggunakan format braille atau
dibacakan; dan/atau
17. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas netra untuk
mendapat layanan pendidikan.
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Rungu atau Wicara
Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Rungu atau Wicara
adalah:
1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan
kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang
Disabilitas wicara berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. fleksibilitas proses pembelajaran;
3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan;
4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran;
5. komunikasi, informasi, dan/atau instruksi dalam proses pembelajaran dan evaluasi
menggunakan cara yang sesuai dengan pilihan masing-masing Peserta Didik Penyandang
Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara;
6. pendampingan di kelas baik oleh juru bahasa isyarat maupun oleh juru catat jika Pendidik
tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat;
7. fleksibilitas pengerjaan tugas dan evaluasi menggunakan tulisan, presentasi lisan dengan
bantuan juru bahasa isyarat, presentasi video, animasi, dan bentuk audio visual lain;
8. fleksibilitas waktu pengerjaan tugas dan evaluasi;
9. modifikasi tugas dan evaluasi pelajaran bahasa asing yang dikonversi dalam bentuk tugas
tertulis;
10. fleksibilitas posisi duduk sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Peserta Didik
Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara dan posisi Pendidik
menghadap ke Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas
wicara dalam menyampaikan materi pembelajaran; dan/atau
11. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau
Penyandang Disabilitas wicara untuk mendapat layanan pendidikan.
Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan
penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang
disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan
dalam bentuk akomodasi yang layak.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
Peserta Didik Penyandang Disabilitas Ganda atau Multi
Pada Pasal 16,
1. Bentuk Akomodasi yang layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas ganda atau
multi berupa:
o Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas ganda atau
multi disediakan dalam bentuk kombinasi dari Akomodasi yang Layak bagi
ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai
dengan Pasal 15; dan
o komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk Peserta Didik
Penyandang Disabilitas netra dan Penyandang Disabilitas rungu menggunakan
bahasa isyarat raba.
2. Bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh
Menteri.
3. Menteri dalam menetapkan bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas yang mewakili Penyandang Disabilitas
netra dan Penyandang Disabilitas rungu.

More Related Content

What's hot

Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran Berdiferensiasi Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran Berdiferensiasi NurilFile
 
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptx
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptxaksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptx
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptxAlainDellon1
 
DISIPLIN POSITIF SMA NF.ppt
DISIPLIN POSITIF SMA NF.pptDISIPLIN POSITIF SMA NF.ppt
DISIPLIN POSITIF SMA NF.pptEdiSuryadi12
 
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdf
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdfTUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdf
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdfsaepuladnan
 
koneksi antar materi 2.1.pptx
koneksi antar materi 2.1.pptxkoneksi antar materi 2.1.pptx
koneksi antar materi 2.1.pptxyusnida5
 
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...Anita Juliani
 
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdf
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdfAksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdf
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdfDarwantiDarwanti3
 
Ppt strategi pembelajaran
Ppt strategi pembelajaranPpt strategi pembelajaran
Ppt strategi pembelajaranKhusnul Kotimah
 
PRINSIP KONTINUITAS.pptx
PRINSIP KONTINUITAS.pptxPRINSIP KONTINUITAS.pptx
PRINSIP KONTINUITAS.pptxssusere2d4df
 
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequenced
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequencedPpt pembelajaran terpadu tipe sequenced
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequencedCha-cha Taulanys
 
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyani
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyaniBagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyani
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyanidarma wati
 
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdf
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdfAksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdf
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdfMochamatKholiq1
 
Disiplin Positif Membuat Keyakinan Kelas
Disiplin Positif Membuat Keyakinan KelasDisiplin Positif Membuat Keyakinan Kelas
Disiplin Positif Membuat Keyakinan KelasMufidahMf
 
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptx
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptxAksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptx
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptxAgusBuntara1
 
Case based learning
Case based learning Case based learning
Case based learning Hani Atira
 

What's hot (20)

Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran Berdiferensiasi Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran Berdiferensiasi
 
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptx
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptxaksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptx
aksi nyata modul 1.1-alain d -edited faqih.pptx
 
DISIPLIN POSITIF SMA NF.ppt
DISIPLIN POSITIF SMA NF.pptDISIPLIN POSITIF SMA NF.ppt
DISIPLIN POSITIF SMA NF.ppt
 
CP,TP,ATP Kurmer (1).pptx
CP,TP,ATP Kurmer (1).pptxCP,TP,ATP Kurmer (1).pptx
CP,TP,ATP Kurmer (1).pptx
 
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdf
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdfTUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdf
TUGAS DEMONTRASI KONTEKSTUAL MODUL 3.1 _ASEP SAEPUL ADNAN (4).pdf
 
koneksi antar materi 2.1.pptx
koneksi antar materi 2.1.pptxkoneksi antar materi 2.1.pptx
koneksi antar materi 2.1.pptx
 
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...
PPT Interaktif Pembelajaran Matematika Materi Sistem Persamaan Linier Satu Va...
 
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdf
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdfAksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdf
Aksi Nyata Kesepakatan Kelas Disiplin Positif.pdf
 
Ppt strategi pembelajaran
Ppt strategi pembelajaranPpt strategi pembelajaran
Ppt strategi pembelajaran
 
PRINSIP KONTINUITAS.pptx
PRINSIP KONTINUITAS.pptxPRINSIP KONTINUITAS.pptx
PRINSIP KONTINUITAS.pptx
 
PJOK Kelas 8 BAB 9.pptx
PJOK Kelas 8 BAB 9.pptxPJOK Kelas 8 BAB 9.pptx
PJOK Kelas 8 BAB 9.pptx
 
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequenced
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequencedPpt pembelajaran terpadu tipe sequenced
Ppt pembelajaran terpadu tipe sequenced
 
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyani
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyaniBagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyani
Bagaimana menjadi guru yang baik.pptx mulyani
 
Konsep Pendidikan Inklusif
Konsep Pendidikan InklusifKonsep Pendidikan Inklusif
Konsep Pendidikan Inklusif
 
modul 1.1.a.5.2 pptx
modul 1.1.a.5.2 pptxmodul 1.1.a.5.2 pptx
modul 1.1.a.5.2 pptx
 
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdf
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdfAksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdf
Aksi Nyata Tugas 1.4.a.9 PMM.pdf
 
Disiplin Positif Membuat Keyakinan Kelas
Disiplin Positif Membuat Keyakinan KelasDisiplin Positif Membuat Keyakinan Kelas
Disiplin Positif Membuat Keyakinan Kelas
 
Berpikir tingkat tinggi
Berpikir tingkat tinggiBerpikir tingkat tinggi
Berpikir tingkat tinggi
 
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptx
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptxAksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptx
Aksi Nyata Keyakinan Kelas_compressed.pptx
 
Case based learning
Case based learning Case based learning
Case based learning
 

Similar to Inklusi 2.docx

Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...ZainulHasan13
 
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptx
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptxBAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptx
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptxDjahid1
 
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfPENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfErlinaAriSavelia
 
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfPENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfErlinaAriSavelia
 
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdf
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdfMODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdf
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdfSyaikhuna Al-Asyhi
 
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan NasionalUu No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan NasionalSuprijanto Rijadi
 
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003Uu sisdiknas no 20 tahun 2003
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003Reni Nazta
 
Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014Titin Sulistiawati
 
Best practice
Best practiceBest practice
Best practiceHati N
 
Sistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan nasionalSistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan nasionalirmasonghyekyo
 
Sesi 2. Profil Pendidikan di Indonesia
Sesi 2.   Profil Pendidikan di IndonesiaSesi 2.   Profil Pendidikan di Indonesia
Sesi 2. Profil Pendidikan di IndonesiaDaniel Saroengoe
 
Jurnal Hasil Telaah Literatur
Jurnal Hasil Telaah LiteraturJurnal Hasil Telaah Literatur
Jurnal Hasil Telaah LiteraturImam Nashokha
 
Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalSistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalDoanks
 
Sejarah Inklusi K1.pptx
Sejarah Inklusi K1.pptxSejarah Inklusi K1.pptx
Sejarah Inklusi K1.pptxSrTeklaCB
 

Similar to Inklusi 2.docx (20)

Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
Sharing Bimtek Guru Pembimbing Khusus Materi Hari ke-2 SMP Ibrahimy Sukorejo ...
 
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptx
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptxBAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptx
BAHAN TAYANG MATERI 1 KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF.pptx
 
Makalah ham pendidikan
Makalah ham pendidikanMakalah ham pendidikan
Makalah ham pendidikan
 
LIRP2-2016
LIRP2-2016LIRP2-2016
LIRP2-2016
 
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfPENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
 
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdfPENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
PENDIDIKAN INKLUSIF DAN GPK (1).pdf
 
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdf
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdfMODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdf
MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF MANDIRI.pdf
 
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan NasionalUu No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Uu No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional
 
pendidikan-inklusif2.ppt
pendidikan-inklusif2.pptpendidikan-inklusif2.ppt
pendidikan-inklusif2.ppt
 
Konsep pendidikan
Konsep pendidikanKonsep pendidikan
Konsep pendidikan
 
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003Uu sisdiknas no 20 tahun 2003
Uu sisdiknas no 20 tahun 2003
 
Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014Best practice kepala sekolah tahun 2014
Best practice kepala sekolah tahun 2014
 
Best practice
Best practiceBest practice
Best practice
 
Sistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan nasionalSistem pendidikan nasional
Sistem pendidikan nasional
 
Sesi 2. Profil Pendidikan di Indonesia
Sesi 2.   Profil Pendidikan di IndonesiaSesi 2.   Profil Pendidikan di Indonesia
Sesi 2. Profil Pendidikan di Indonesia
 
Jurnal Hasil Telaah Literatur
Jurnal Hasil Telaah LiteraturJurnal Hasil Telaah Literatur
Jurnal Hasil Telaah Literatur
 
Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalSistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan Nasional
 
pendidikan inklusif untuk AUD
pendidikan inklusif untuk AUD pendidikan inklusif untuk AUD
pendidikan inklusif untuk AUD
 
Sejarah Inklusi K1.pptx
Sejarah Inklusi K1.pptxSejarah Inklusi K1.pptx
Sejarah Inklusi K1.pptx
 
Bakti dan ujang.p
Bakti dan ujang.pBakti dan ujang.p
Bakti dan ujang.p
 

Recently uploaded

Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Shary Armonitha
 
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfGeologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfAuliaAulia63
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxzidanlbs25
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxmariaboisala21
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxrikosyahputra0173
 
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxMenggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxImahMagwa
 
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptx
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptxPENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptx
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptxheru687292
 

Recently uploaded (7)

Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
 
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfGeologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
 
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxMenggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
 
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptx
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptxPENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptx
PENGENDALIAN MUTU prodi Blitar penting untuk dimiliki oleh masyarakat .pptx
 

Inklusi 2.docx

  • 1. Pendahuluan Terdapat beberapa hal yang harus Saudara pahami mengenai pendidikan inklusif, yaitu bahwa:  Pendidikan inklusif tidak sama dengan konsep pendidikan integrasi/terpadu.  Pendidikan inklusif punya makna jauh lebih luas dari pada pendidikan integrasi.  Pendidikan inklusif tidak sekedar memindahkan atau menempatkan penyandang disabilitas/PDBK di sekolah reguler.  Dalam pendidikan inklusif, semua anak harus diterima di sekolah tanpa syarat dan program sekolah harus menyesuaikan kebutuhan anak. Sedangkan dalam pendidikan integrasi anak baru dapat diterima di sekolah jika anak dapat menyesuaikan proram yang ada di sekolah. Pengertian Pendidikan Inklusif Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra, India pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut. 1. lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. 2. mengakui bahwa semua anak dapat belajar. 3. memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. 4. mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, status HIV/AIDS dll. 5. merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. 6. merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif. Definisi berikutnya, Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya’. Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan
  • 2. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari. Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
  • 3. pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”. Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun kejuruan, dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.” Dalam penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, “Yang dimaksud dengan ‘pendidikan secara inklusif’ adalah pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi. Landasan Empiris Pendidikan Inklusif Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya. Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut: a. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), Tahun 1948 b. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989 c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990 d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities) e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994 f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000
  • 4. g. Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi” h. Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai: 1. Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua; 2. Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan 3. Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara. Prinsip Pendidikan Inklusif Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu: a. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok. b. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati. c. Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas. Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013). Prinsip Pendidikan Inklusif Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan 2. Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered).
  • 5. 3. Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. 4. Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. 5. Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. 6. Pengakuan oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar. 7. Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Prinsip Pendidikan Inklusif Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut: 1. Prinsip motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar. 2. Prinsip latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak. 3. Prinsip hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah. 4. Prinsip individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai. Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013). Setelah mempelajari materi mengenai hakikat pendidikan inklusif pada kegiatan ini, Saudara diharapkan belum merasa puas dan berusaha untuk mengkaji dan mencari bahan referensi lainnya untuk memantapkan pehamanan Saudara mengenai pendidikan inklusif. Dengan berbekal berbagai hasil kajian dan bacaan yang telah dilakukan, Saudara diminta untuk menuliskan hasil kajian dan kesimpulan Saudara mengenai pendidikan inklusif, sesuai dengan poin-poin yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif  Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
  • 6. ----------------------------------------------------------------- Secara umum, Indeks Inklusi memberikan panduan untuk mendukung sekolah dalam proses pengembangan sekolah inklusif berdasarkan sudut pandang pemerintah, peserta didik, orang tua/wali dan anggota masyarakat lainnya. Indeks Inklusi dapat digunakan untuk mengukur kualitas praktik pendidikan inklusif di sekolah melalui asesmen diri sekolah. Hasil asesmen tersebut dapat digunakan untuk melakukan evaluasi ataupun menentukan prioritas pengembangan sekolah inklusif. Dimensi Membangun Budaya Inklusif terbagi dalam sub dimensi Membangun Komunitas dan sub dimensi Membangun Nilai-Nilai Inklusif dengan indikator sebagai berikut: A.1 Membangun Komunitas Indikator: A.1.1 Setiap orang merasa diterima. A.1.2 Peserta didik saling membantu. A.1.3 Staf sekolah berkolaborasi satu sama lain. A.1.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain dengan hormat. A.1.5 Ada kemitraan antara staf sekolah dan orang tua/wali. A.1.6 Staf sekolah dan pimpinan daerah bekerja sama dengan baik. A.1.7 Semua masyarakat sekitar terlibat di sekolah. A.2 Membangun Nilai-Nilai Inklusif Indikator: A.2.1 Harapan yang tinggi untuk semua peserta didik. A.2.2 Staf sekolah, pimpinan daerah, peserta didik dan orang tua/wali memiliki pemahaman filosofi inklusi yang serupa A.2.3 Peserta didik sama-sama dihargai. A.2.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain sebagai manusia yang memiliki perannya masing-masing. A.2.5 Staf sekolah berusaha menghilangkan hambatan belajar dan hambatan partisipasi dalam semua aspek sekolah. A.2.6 Sekolah berupaya meminimalkan praktik diskriminatif Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif
  • 7. Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengembangkan Sekolah untuk Semua dan Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman dengan indikator sebgai berikut: B.1 Mengembangkan Sekolah untuk Semua Indikator: B.1.1 Pengangkatan dan promosi staf sekolah dilaksanakan secara adil. B.1.2 Semua staf sekolah baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah. B.1.3 Sekolah berusaha untuk menerima semua peserta didik dari wilayahnya. B.1.4 Sekolah membuat bangun yang dapat diakses secara fisik oleh semua orang. B.1.5 Semua peserta didik baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah. B.1.6 Sekolah mengatur kelompok pengajaran agar semua peserta didik dihargai. B.2 Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman Indikator: B.2.1 Semua bentuk dukungan dikoordinasikan. B.2.2 Kegiatan pengembangan staf sekolah membantu staf sekolah untuk menanggapi keragaman peserta didik. B.2.3 Kebijakan 'kebutuhan pendidikan khusus' adalah kebijakan yang inklusi. B.2.4 Kode Praktik/Panduan Praktik Kebutuhan Pendidikan Khusus digunakan untuk mengurangi hambatan belajar dan hambatan partisipasi semua peserta didik. B.2.5 Dukungan bagi mereka yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dikoordinasikan dengan dukungan pembelajaran. B.2.6 Kebijakan dukungan pada aspek perkembangan dan perilaku dikaitkan dengan pengembangan kurikulum dan kebijakan dukungan pembelajaran B.2.7 Penanganan disipilin yang berlebihan dikurangi. B.2.8 Partisipasi kehadiran yang rendah dikurangi. B.2.9 Perundungan diminimalisir Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif
  • 8. Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengatur Pembelajaran dan Memobilisasi Sumber Daya dengan indikator sebgai berikut: C.1 Mengatur pembelajaran C.1.1 Pengajaran direncanakan dengan mempertimbangkan pembelajaran unruk semua peserta didik. C.1.2 Pelajaran mendorong partisipasi semua peserta didik. C.1.3 Pelajaran mengembangkan pemahaman tentang perbedaan. C.1.4 Peserta didik secara aktif terlibat dalam gaya pembelajaran mereka sendiri. C.1.5 Peserta didik belajar secara kolaboratif. C.1.6 Penilaian berkontribusi pada pencapaian semua peserta didik. C.1.7 Disiplin di kelas didasarkan pada rasa saling menghormati. C.1.8 Guru merencanakan, mengajar dan mereviu secara kolaboratif. C.1.9 Guru bertanggungjawab untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik. C.1.10 Asisten pengajar mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik. C.1.11 Pekerjaan rumah berkontribusi pada pembelajaran untuk semua. C.1.12 Semua peserta didik mengikuti kegiatan di luar kelas. C.2 Memobilisasi sumber daya C.2.1 Perbedaan peserta didik digunakan sebagai sumber belajar mengajar. C.2.2 Keahlian staf sekolah dimanfaatkan sepenuhnya. C.2.3 Staf sekolah mengembangkan sumber daya untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi. C.2.4 Sumber daya di masyarakat diketahui dan digunakan. C.2.5 Sumber daya sekolah didistribusikan secara adil sehingga mendukung inklusi Setelah mempelajari materi mengenai Indeks Inklusi, Saudara diharapkan dapat memahami materi dengan baik dan dapat menuangkan pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di Folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif  Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.
  • 9. ada kegiatan ini, Saudara akan mempelajari materi mengenai mekanisme layanan PDBK di sekolah inklusif. Namun sebelum itu, Saudara diminta terlebih dahulu untuk memberikan tanggapan atas kasus berikut. Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah, peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog. Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas, sehingga menimbulkan hambatan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Menurut Saudara , mengapa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit atau psikolog menjadi penting? Persyaratan penerimaan peserta didik di sekolah untuk menyertakan surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit atau psikolog menjadi suatu hal yang penting. Hal ini, bertujuan untuk mengetahui kondisi awal (baseline) ABK sebagai pertimbagan panitia penerimaan siswa baru dan kesiapan guru kelas atau GPK (Guru Pembimbing Khusus) ketika intervensi. Dengan demikian, identifikasi dan asesmen bagi calon PDBK mutlak dilakukan. Pendahuluan Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Kedudukan peserta didik berkebutuhan khusus juga dikuatkan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3, yaitu: 1. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 2. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk. 3. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.
  • 10. Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas. Prosedur Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sebagai informasi, untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut. 1. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. 2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) / laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi. 3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan. 4. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Penerimaan PDBK Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog. Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk
  • 11. kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas. Secara grafis mekanisme penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan dalam beberapa skema berikut. Skema 1 Skema 2 Skema 3 Identifikasi
  • 12. Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan mengikuti pembelajaran. Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya. Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak menunjukkan karakteristik unik (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar. Alat (instrumen) identifikasi anak berkebutuhan khusus (AIABK)disusun untuk mengetahui kondisi dan asal usul peserta didik. Alat ini terdiri atas 4 (empat) format. Masing masing format berisi tentang data dan informasi peserta didik yang diidentifikasi. Format 1 dan format 2 merupakan format yang berisi data pendukung AIABK, format 3 merupakan alat identidikasi yang digunakan, dan format 4 adalah rekap hasil identifikasi. Klik Disini untuk mengunduh Format Identifikasi. Silakan unduh dan pelajari instrumen identifikasi diatas. Anda akan mempraktekkan penggunaan intrumen tersebut pada tahap Penguasaan Ketrampilan. Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak itu. Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) asesmen berazaskan kurikulum (asesmen akademik), dan 2) asesmen berazaskan perkembangan (asesmen nonakademik), dan 3) asesmen kekhususan. Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja.
  • 13. Asesmen Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stakeholder melakukan hal-hal sebagai berikut: Peran guru  Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik  Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah  Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di rumah. Peran Orang tua  Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)  Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog  Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat Peran Kepala sekolah  Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat  Melapor kepada Dinas pendidikan setempat  Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi  Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Peran Dinas Pendidikan  Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.  Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.  Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,  Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi. Intervensi Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai akibat ketunaan. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.
  • 14. Penempatan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama peserta didik lainya adalah cara yang sangat inklusif; non-diskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi yang dibutuhkan. enugasan Setelah mempelajari materi mengenai layanan PDBK di sekolah inklusif, Saudara diharapkan dapat memahami materi dengan baik dan dapat menuangkan pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di Folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif  Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif. Istilah the most restrictive environment (lingkungan yang paling terbatas) and the least restrictive environment (lingkungan yang tak terbatas) pada layanan ABK mengacu pada alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dimana, layanan pendidikan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memberikan layanan pendidikan bagi ABK yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas (sekolah reguler) menurut potensi dan jenis/tingkat kelainannya. Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk yaitu segregasi, integrase dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya mengenai sistem kurikulum yang diterapkan. Untuk lebih jelasnya, silahkan cermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya.
  • 15. Istilah the most restrictive environment (lingkungan yang paling terbatas) and the least restrictive environment (lingkungan yang tak terbatas) pada layanan ABK mengacu pada alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dimana, layanan pendidikan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memberikan layanan pendidikan bagi ABK yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas (sekolah reguler) menurut potensi dan jenis/tingkat kelainannya. Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk yaitu segregasi, integrase dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya mengenai sistem kurikulum yang diterapkan. Untuk lebih jelasnya, silahkan cermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya. Sekolah Khusus Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB- E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis. Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari: a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun. b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun. c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun. Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun. Sekolah Luar Biasa Berasrama Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
  • 16. Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput. Sekolah Luar Biasa dengan Kelas Jauh Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB- SLB di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh tersebut sebagai afiliansi dari SLB terdekat sebagai sekolah induk. Sekolah Luar Biasa dengan Guru Kunjung Berbeda halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang tidak siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK untuk melayani mereka belajar. Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut. Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri. Adapun Kelemahan adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja sehingga pada giliranya dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.
  • 17. etelah mempelajari materi mengenai bentuk layanan segregasi pada kegiatan ini, Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif. Selanjutnya Saudara dipersilakan untuk mengunduh materi sebagai bahan bacaan dan mengerjakan lembar kerja.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif  Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengumpulan Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif. Pendahuluan Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut dengan istilah sekolah terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu mengikuti kegiatan di kelas tersebut dan kurikulum yang digunakan sama dengan anak lainnya. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan khusus. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus. Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu: a. Kelas Biasa b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus c. Bentuk Kelas Khusus. Kelas Biasa Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
  • 18. konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian. Kelas Khusus ABK mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
  • 19. Pada kelas khusus, biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual (individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/drop out atau untuk menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel. Kelas Khusus Kelebihan kelas khusus adalah sebagai berikut:  Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak baik pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.  Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.  Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.  Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.  Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.  Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil Di samping kelebihan terdapat juga kelemahannya, antara lain adalah sebagai berikut:  Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang berdampak pada perkembangan belajarnya.  Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.  Sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai anak berkebutuhan khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan khusus dalam kelas khusus.  Siswa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Setelah mempelajari materi mengenai bentuk layanan integrasi/terpadu pada kegiatan ini, Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif. Selanjutnya Saudara dipersilakan untuk mengunduh materi sebagai bahan bacaan dan mengerjakan lembar kerja.
  • 20.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif  Setelah menyelesaikan LK 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengumpulan Tugas - Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.  Bentuk layanan pendidikan inklusif  Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai semua peserta didik termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik berada dalam lingkungan yang sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum sekolah tersebut dengan dilakukan modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan bagi semua peserta didik.  Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa mencapai prestasi sesuai kondisinya masing- masing. Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di sekolah tersebut, tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan kondisi kelas yang beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan mengadaptasi kurikulum ketika terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Seringkali disebut dengan kurikulum akomodatif atau juga kurikulum yang fleksibel. Pada proses belajar dalam kelas dengan peserta didik yang beragam (inklusif) guru kelas atau guru mata pelajaran bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kegiatan belajar. Tidak menutup kemungkinan guru membutuhkan pertolongan GPK untuk merancang kegiatan belajar sehingga semua anak bisa belajar dalam kelas yang sama.
  • 21. HARI KE 3 Konsep Keberagaman Peserta Didik Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir Umpan Balik Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, mungkin Saudara memperoleh hal-hal baru yang dapat menambah pemahaman Saudara terkait dengan keberagaman peserta didik dan bagaimana sikap yang dapat dilakukan terhadap peserta didik tersebut. Ada beberapa peserta didik yang memiliki keberagaman seperti: Keberagaman Fisik:  Ada peserta didik yang tinggi, sedang, pendek untuk ukuran pada kelasnya  Ada peserta didik yang gemuk. Sedang, kurus untuk ukuran pada kelasnya  Ada peserta didik jenis kelamin dan perempuan  Ada peserta yang memiliki kelengkapan dan fungsi standar pada anggota tubuhnya, ada juga peserta didik yang memiliki hambatan dalam kelengkapan dan fungsi anggota tubuhnya. Keberagaman Sensorik:  Ada peserta didik yang memiliki penglihatan tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki hambatan penglihatan  Ada peserta didik yang memiliki pendengaran tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki hambatan pendengaran Keberagaman Sosial ekonomi dan demografis:  Ada peserta didik dari keluarga kaya, sedang, miskin  Ada peserta didik dari perkotaan dan pedesaan  Ada peserta didik yang tinggal di perumahan dan masyarakat/perkampungan Keragaman jenis lainnya:  Ada peserta dengan hambatan perilaku dan emosi, kesulitan belajar spesifik, autis, dan sebagainya Kemudian Sikap dan tindakan yang harus lakukan guru terhadap keberagaman peserta didik:
  • 22.  Menerima keragamaan peserta didik yang ada di kelas  Memahami perbedaan unik setiap individu peserta didik  Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik  Memberikan kebutuhan layanan pembelajaran, khususnya bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan tetap memberikan perhatian yang sama untuk kelas. Untuk lebih jelasnnya, Saudara dapat mencermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya. Pendahuluan Peserta didik di sekolah inklusif beragam jenisnya, ada peserta didik tipikal atau reguler dan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik tipikal adalah peserta didik yang tidak memiliki hambatan siginifikan (berarti), pada sisi fisik, mental kognitif maupun pada sensori, sehingga mereka dapat mengikuti pembelajaran secara klasikal tanpa memerlukan layanan pendidikan secara khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus adalah individu yang memiliki hambatan signifikan, baik pada fisik, mental, kognitif maupun sensorik, sehingga mereka memerlukan layanan kebutuhan pendidikan khusus untuk dapat belajar bersama siswa reguler. Perbedaan peserta didik tipikal dan peserta didik berkebutuhan khusus lebih tepat disebut sebagai “keberagaman peserta didik”. Setiap peserta didik harus mendapatkan layanan pembelajaran untuk meningkatkan “kualitas hidup peserta didik. Ada 4 hak peserta didik untuk mendapatkan kualitas hidup, yaitu: to live, to love, to play, dan to work”. Pengertian Keberagaman Peserta Didik Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki hak untuk belajar.
  • 23. Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong antarsesama. Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik Kebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup. Ada empat indikator kualitas hidup bagi setiap peserta didik, yakni sebagai berikut: 1. To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif. 2. To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah. 3. To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah. 4. To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan pendidikannya. Penugasan
  • 24. Setelah mempelajari materi mengenai konsep keberagaman peserta didik pada kegiatan ini, Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Konsep Keberagaman Peserta Didik  Setelah menyelesaikan LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Keberagaman Peserta Didik Jenis Peserta Didik Sekolah penyelengggara pendidikan inklusif adalah Lembaga pendidikan yang dihadirkan dengan tujuan untuk membuka aksesibilitas semua warga masyarakat usia belajar untuk memperoleh layanan pembelajaran tanpa terhalang oleh hambatan fisik, mental akademik, sensorik dan kondisi sosial ekonomi. Keragaman peserta didik pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif sangat beragam, karena sekolah inklusif memberikan akses yang terbuka bagi semua peserta didik. Peserta didik di sekolah inklusif, ada tiga klasifikasi besar, yaitu: 1. Peserta didik tipikal atau reguler yaitu peserta didik yang tidak memiliki hambatan tertentu, misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik dan hambatan lainnya yang menyebabkan mereka mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran secara klasikal. 2. Peserta didik berkebutuhan khusus yaitu peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang memiliki kebutuhan belajar dan hambatan tertentu, seperti hambatan penglihatan, pendengaran, intelektual, fisik, hambatan dengan autistik, dan lainnya seperti anak hiperaktif, lamban belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku tertentu. 3. Peserta didik berkebutuhan layanan khusus yaitu peserta didik dengan kebutuhan layanan khusus yang mengalami hambatan secara eksternal, seperti anak korban bencana alam, anak korban HIV, korban kekerasan rumah tangga dan lingkungan. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
  • 25. Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dalam paradigma pendidikan, keberagaman peserta didik yang kebutuhan khusus sangat dihargai karena setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap anak memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda-beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan Attention Deficit Hiperaktif Disorder (ADHD). Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus. Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
  • 26.  Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu.  Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.  Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Alimin (2007) yang mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dengan kata lain, lingkungan belajar, teknik, media, dan lainnya harus menyesuaikan dengan ABK. Anak Berkebutuhan Khusus Temporer/Sementara Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus temporer/sementara (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor- faktor lingkungan seperti: a. anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga b. mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya c. mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar d. anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. ABK Permanen dan Temporer Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak- anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari ketidak berfungsian salah satu organ atau bagian tubuh tertentu. Misalnya, kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, perkembangan kecerdasan atau kognitif yang rendah, gangguan fungsi gerak atau motorik dan sebagainya. ABK yang temporer adalah sifat kebutuhannya bersifat sementara dan dapat disebutkan dengan berbagai layanan yang tepat.
  • 27. Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan- kebutuhannya. Anak dengan Hambatan Sensorik - Penglihatan (Tunanetra) Menurut Gunawan (2011), anak dengan hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus. Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind). 1. Low Vision Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak. 2. Hambatan penglihatan total Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa mengetahui sumber cahayanya. Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan daily activities. Anak dengan Hambatan Sensorik - Pendengaran (Tunarungu)
  • 28. Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat-alat lainnya. Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal. Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek berikut: 1. Aspek Motorik Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007). Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007). 2. Aspek bicara dan bahasa Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar. Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
  • 29. Anak dengan Hambatan Sensorik - Pendengaran (Tunarungu) Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat-alat lainnya. Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal. Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek berikut: 1. Aspek Motorik Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007). Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007). 2. Aspek bicara dan bahasa Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar. Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran
  • 30. biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita) Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita) Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus. Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda, maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan. 1. Hambatan Intelektual Ringan Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum. 2. Hambatan Intelektual Sedang Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum. 3. Hambatan Intelektual Berat Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.
  • 31. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita) Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu: 1. keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata- rata 2. ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif 3. hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita) Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut. 1. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan terus menerus. 2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru. 3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual berat. 4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala. 5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti; berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar. 6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam memberikan perhatian terhadap lawan main. 7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Anak dengan Hambatan Fisik - Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)
  • 32. Anak dengan Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa) Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah: 1. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari seperti berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung. 2. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu memerlukan observasi dan bimbingan medis. Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu: 1. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) 2. Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran. Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus. Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur: 1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
  • 33. 2. Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim. 3. Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan. Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Cenderung membangkang. b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah. c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu. d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum. e. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah. Anak Autis Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak. Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang- ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Mengalami hambatan di dalam bahasa. 2. Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial. 3. Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan. 4. Kurang memiliki perasaan dan empati. 5. Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak. 6. Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku. 7. Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri. 8. Keterbatasan dalam mengekspresikan diri 9. Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu sebagai berikut: a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function children with autism). b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle function children with autism). c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function children with autism) nak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa
  • 34. Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011). Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial. Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual- kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011): a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif. b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh. c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi. d. Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami. e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah. f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa. g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik. h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata. i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan. j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat. k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains. l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat. m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain. n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam. o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya. Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia) Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.
  • 35. Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini. PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah c. Kalau membaca sering banyak kesalahan PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia) a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia) a. Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya b. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya. Setelah mempelajari materi mengenai konsep keberagaman peserta didik pada kegiatan ini, Saudara diharapkan telah memahami materi tersebut dan dapat mengunjuk kerjakan hasil pemahaman yang dimiliki dengan menjawab pertanyaan yang disajikan pada LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik.  Lembar kerja dapat Saudara unduh di folder Lembar Kerja - Kosep Keberagaman Peserta Didik  Setelah menyelesaikan LK 2. Kosep Keberagaman Peserta Didik, Saudara diminta untuk mengunggah LK tersebut ke Pengiriman Tugas - Konsep Keberagaman Peserta Didik Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil.
  • 36. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Pengantar Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas Lakukan: Ikuti aktivitas sampai akhir Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Penerima Manfaat Akomodasi yang Layak 1. Penerima manfaat Akomodasi yang Layak merupakan Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
  • 37. 2. Peserta Didik Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas. 3. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: o Penyandang Disabilitas fisik; o Penyandang Disabilitas intelektual; o Penyandang Disabilitas mental; dan/atau o Penyandang Disabilitas sensorik: a. disabilitas netra; dan/atau b. disabilitas rungu dan/atau disabilitas wicara. 4. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Tenaga medis yang dapat menetapkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi dokter dan/atau dokter spesialis. 6. Dokter dan/atau dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat disediakan oleh Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, Unit Layanan Disabilitas, atau orang tua/wali Peserta Didik Penyandang Disabilitas. 7. Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) juga dapat dibuktikan dengan kartu Penyandang Disabilitas yang dikeluarkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 8. Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. 10.Bentuk Akomodasi yang Layak 11. Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a PP 13 tahun 2020 adalah sebagai berikut. 12. 13. *) Sumber: PP 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Link : https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176054/PP_Nomor_13_Tahun_2020.pdf Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak.
  • 38. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Fisik Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Fisik adalah: 1. ketersediaan aksesibilitas untuk menuju tempat yang lebih tinggi dalam bentuk: o bidang miring; o lift; dan/atau o bentuk lainnya. 2. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi fisik Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. fleksibilitas proses pembelajaran; 4. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran, sesuai dengan kebutuhan; 5. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran; 6. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi; 7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi; 8. asistensi dalam proses pembelajaran dan evaluasi; dan/atau 9. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas fisik untuk mendapat layanan pendidikan. ayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Intelektual Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Intelektual adalah: 1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • 39. 2. fleksibilitas proses pembelajaran; 3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan; 4. fleksibilitas dalam perLrmusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran; 5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi; 6. penyesuaian rasio antara jumlah guru/dosen dengan jumlah Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual di kelas; 7. capaian pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses pendidikan harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual; 8. penyediaan pengajaran untuk membangun keterampilan hidup sehari-hari, baik keterampilan domestik, keterampilan berinteraksi di masyarakat, maupun di tempat berkarya; 9. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi; 10. fleksibilitas masa studi; 11. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan/ruang relaksasi; 12. ijazah dan/atau sertifikat kompetensi yang menginformasikan capaian kemampuan Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual dalam bentuk deskriptif dan angka; dan/atau 13. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual untuk mendapat layanan pendidikan ayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Mental Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Mental adalah: 1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi mental Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. fleksibilitas proses pembelajaran; 3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan; 4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran; 5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
  • 40. 6. fleksibilitas masa studi sesuai dengan kondisi mental Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan medis; 7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi; 8. fleksibilitas waktu untuk tidak mengikuti pembelajaran pada saat Peserta Didik Penyandang Disabilitas menjalani proses perawatan mental; 9. mendapatkan materi pembelajaran sebelum proses pembelajaran berlangsung; 10. fleksibilitas posisi duduk dan waktu istirahat saat mengikuti proses pembelajaran; 11. ketersediaan layanan tutorial oleh Pendidik atau Peserta Didik lainnya untuk membantu dalam memahami materi pembelajaran; 12. pemberian bantuan pada saat Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental mengalami kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pembelajaran; 13. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan/ruang relaksasi; 14. fleksibilitas dalam proses pembelajaran dan evaluasi; 15. fleksibilitas tempat pelaksanaan evaluasi; dan/atau 16. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental untuk mendapat layanan pendidikan. Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Netra Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Netra adalah: 1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi sensorik netra Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. fleksibilitas proses pembelajaran; 3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan; 4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran; 5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi; 6. penerapan standar laman yang aksesibel dalam penggunaan teknologi, aplikasi, dan peralatan berbasis teknologi baik dalam sistem pendaftaran, administrasi, proses belajar mengajar, maupun evaluasi; 7. penyediaan denah timbul/maket yang menggambarkan lingkungan fisik sekolah/kampus Lembaga Penyelenggara Pendidikan;
  • 41. 8. layanan pendampingan untuk orientasi lingkungan fisik sekolah/kampus Lembaga Penyelenggara Pendidikan; 9. sosialisasi sistem pembelajaran termasuk sistem layanan perpustakaan di kampus Lembaga Penyelenggara Pendidikan; 10. penyerahan materi pembelajaran/perkuliahan sebelum dimulai kegiatan pembelajaran/perkuliahan; 11. penyesuaian format media atau materi pembelajaran serta sumber belajar yang aksesibel; 12. penyesuaian strategi pembelajaran untuk muatan pembelajaran khususnya matematika, fisika, kimia, dan statistik; 13. modifikasi materi pembelajaran, pemberian tugas, dan evaluasi untuk muatan pembelajaran khususnya olah raga, seni rupa, sinematograh, menggambar, dan yang sejenisnya; 14. ketersediaan Pendidik atau alat media yang dapat membacakan tulisan yang disajikan di papan tuiis/layar dalam proses belajar di kelas; 15. penyediaan sumber baca, informasi, dan layanan perpustakaan yang mudah diakses; 16. penyesuaian cara, bentuk penyajian, dan waktu pengerjaan tugas dan evaluasi termasuk melalui: o penyajian naskah dalam format braille terutama untuk naskah yang banyak menggunakan simbol khusus seperti matematika, kimia, dan bahasa Arab; o modifikasi penyajian soal yang menampilkan gambar dan bagan dalam bentuk gambar timbul yang telah disederhanakan, deskripsi gambar, atau penggunaan alat peraga; o penyajian soal ujian dalam bentuk softcopy, yang dioperasikan dan dikerjakan dengan menggunakan komputer bicara yaitu komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar; o pembacaan soal ujian oleh petugas pembaca; o perpanjangan waktu dalam penyelesaian tugas; dan o perpanjangan waktu paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari waktu yang ditentukan untuk pelaksanan evaluasi yang menggunakan format braille atau dibacakan; dan/atau 17. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas netra untuk mendapat layanan pendidikan. Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
  • 42. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Rungu atau Wicara Bentuk Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas Rungu atau Wicara adalah: 1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. fleksibilitas proses pembelajaran; 3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan; 4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran; 5. komunikasi, informasi, dan/atau instruksi dalam proses pembelajaran dan evaluasi menggunakan cara yang sesuai dengan pilihan masing-masing Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara; 6. pendampingan di kelas baik oleh juru bahasa isyarat maupun oleh juru catat jika Pendidik tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat; 7. fleksibilitas pengerjaan tugas dan evaluasi menggunakan tulisan, presentasi lisan dengan bantuan juru bahasa isyarat, presentasi video, animasi, dan bentuk audio visual lain; 8. fleksibilitas waktu pengerjaan tugas dan evaluasi; 9. modifikasi tugas dan evaluasi pelajaran bahasa asing yang dikonversi dalam bentuk tugas tertulis; 10. fleksibilitas posisi duduk sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara dan posisi Pendidik menghadap ke Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara dalam menyampaikan materi pembelajaran; dan/atau 11. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara untuk mendapat layanan pendidikan. Layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan ragam penyandang disabilitas agar peserta didik penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang adil. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 mengatur tentang AKomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik penyandang Disabilitas di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Peserta Didik Penyandang Disabilitas Ganda atau Multi Pada Pasal 16,
  • 43. 1. Bentuk Akomodasi yang layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas ganda atau multi berupa: o Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas ganda atau multi disediakan dalam bentuk kombinasi dari Akomodasi yang Layak bagi ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 15; dan o komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas netra dan Penyandang Disabilitas rungu menggunakan bahasa isyarat raba. 2. Bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Menteri. 3. Menteri dalam menetapkan bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas yang mewakili Penyandang Disabilitas netra dan Penyandang Disabilitas rungu.