Modul ini membahas tentang komunikasi lintas budaya khususnya dengan budaya Jepang, mencakup komunikasi nonverbal, penggunaan aizuchi, dan etika saat berinteraksi dengan orang Jepang seperti saat berkunjung ke rumah mereka.
1. i
PENDALAMAN MATERI BAHASA JEPANG
MODUL 5 KEBUDAYAAN DAN KESUSASTRAAN JEPANG
(日本文化・文学)
KEGIATAN BELAJAR 4 IBUNKA KOMYUNIKESHON
Penulis
Ni Nengah Suartini, M.A., Ph.D.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2019
2. 1
DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini dibuat untuk keperluan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG),
sebagai materi untuk menambah pengetahuan tentang komunikasi lintas budaya,
khususnya dengan budaya Jepang. Seperti dipahami bersama bahwa pemahaman
terhadap budaya dari bahasa target sangat diperlukan dalam pembelajaran bahasa.
Melalui modul ini dibahas salah satu unsur budaya yaitu mengenai komunikasi
nonverbal dalam berkomunikasi dengan orang Jepang seperti misalnya gesture
(miburi, teburi), tatapan mata, sikap serta hal-hal lainnya yang bersifat nonverbal
pendukung kelancaran berkomunikasi. Selain itu, juga dibahas tentang pentingnya
penggunaan aizuchi dengan tepat yang berperan dalam berkomunikasi secara verbal.
Modul ini juga membahas tentang etika yang perlu diperhatikan saat berinteraksi
dengan orang Jepang. Misalnya saat berkunjung ke rumah orang Jepang, termasuk
juga etika menggunakan sumpit sebagai salah satu etika yang perlu diperhatikan di
meja makan saat menikmati makanan Jepang.
RELEVANSI
Materi yang diulas dalam modul ini merupakan pengetahuan umum dalam
bidang budaya dan etika dalam berinteraksi dengan orang Jepang. Meliputi
komunikasi nonverbal sebagai hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kesantunan dalam berkomunikasi. Sehingga pemahaman terhadap budaya Jepang,
etika dalam berkomunikasi dapat lebih menyempurnakan lagi kemampuan
berbahasa secara kontekstual.
3. 2
PANDUAN BELAJAR
Dalam mempelajari Ibunka Komyunikeeshon sebagai sebuah pengantar
tentang budaya dan etika dalam berkomunikasi dengan orang Jepang, tidak cukup
hanya sekedar dipahami, tetapi harus diterapkan. Bila tertarik untuk
mempelajarinya lebih mendalam, disarankan untuk membaca lebih lanjut referensi
yang tertera pada daftar pustaka.
4. 3
2. CAPAIAN PEMBELAJARAN
A) Menguasai prinsip-prinsip dasar komunikasi lintas budaya dan aplikasinya dalam
pembelajaran bahasa Jepang
B) Menguasai berbagai pengetahuan tentang bahasa dan budaya Jepang termasuk
advance materials yang berakaitan dengan bahasa dan budaya Jepang secara bermakna
yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi) dan
“bagaimana”(penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.
3. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
A) Memahami komunikasi nonverbal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi
dengan orang Jepang. Misalnya, tatapan mata, gesture (miburi, teburi), raut
wajah, dan sikap.
B) Memahami penggunaan aizuchi dan hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan
untuk menghindari kesalahpahaman dan mendukung kelancaran dalam
berkomunikasi.
C) Menerapkan etika saat menikmati hidangan di meja makan bersama orang
Jepang. Salah satunya adalah etika menggunakan sumpit.
5. 4
3. URAIAN MATERI
3.1. Komunikasi Nonverbal dalam Bahasa Jepang
Komunikasi nonverbal sangat diperlukan untuk menyempurnakan
komunikasi verbal dan menghindari kesalahpahaman. Semakin sedikit jumlah
orang yang diajak berkomunikasi, maka semakin besar peran komunikasi
nonverbal. Misalnya bila kita bandingkan saat percakapan dilakukan di tempat
umum, di atas podium dan percakapan yang dilakukan berdua, tentu akan
terlihat jelas bahwa komunikasi nonverbal lebih banyak terjadi saat percakapan
dilakukan berdua. Komunikasi nonverbal meliputi raut wajah, gerakan badan
atau gestur, kontak mata, suara, jarak bicara, jarak sentuh dan penampilan.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi nonverbal.
◼ Raut wajah. Orang Jepang tidak mudah menunjukkan ekspresi
wajahnya pada orang yang baru dikenal dan tempat umum.
Menunjukkan raut wajah yang membuat orang tidak nyaman di tempat
umum atau pada orang yang tidak begitu akrab dianggap tidak sopan.
◼ Gerakan badan atau gestur. Misalnya ojigi atau membungkukkan
badan sangat penting saat mengucapkan terima kasih, minta maaf dan
minta tolong). Ojigi juga berfungsi sebagai pengganti salam. Selain
itu ada juga gestur atau miburi yang harus dihindari agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya memperlihatkan telapak
kaki, menyilangkan kaki dengan ujung kaki mengarah ke lawan bicara,
mengupil, berbicara sambil menunjuk dengan telunjuk ke arah lawan
bicara tidak boleh dilakukan karena sangat tidak sopan. Termasuk juga
6. 5
membuang muka dari lawan bicara. Gestur lainnya yang tidak boleh
dilakukan saat lawan bicara sedang berbicara adalah tidak melirik jam
berkali-kali. Hal ini tidak sopan karena menimbulkan kesan bahwa
pembicaraannya membosankan, tidak tertarik dengan pembicaraan,
ingin segera mengakhiri percakapan. Hal lainnya yang perlu dihindari
adalah terlalu sering menggaruk kepala, menyibak rambut dan
menyisir rambut dengan jari. Berbicara dengan menyilangkan lengan
di dada maupun duduk dengan menyilangkan kaki juga merupakan
sikap yang tidak sopan. Berbicara membelakangi lawan bicara juga
tidak sopan. Saat berbicara atau memberikan salam sebaiknya
dilakukan berhadapan dengan lawan bicara. Menyerahkan sesuatu
dengan satu tangan juga tidak sopan, saat menyerahkan sesuatu harus
dilakukan dengan kedua tangan. Hal lainnya yang sering dilakukan
tanpa sengaja adalah menghela nafas dengan kesan mengeluh.
◼ Kontak mata. Kontak mata merupakan hal yang penting dalam
berkomunikasi. Dalam pribahasa Jepang sering disebut “Me wa
kokoro no mado” yang berarti tatapan mata dapat menunjukkan isi
hati orang. Kebanyakan orang Jepang tidak berbicara dengan
memandang mata lawan bicara. Biasanya mereka akan mengarahkan
pandangannya ke arah lain. Misalnya bagian wajah secara keseluruhan
atau sekitar leher. Melototi penampilan dan barang-barang yang ada
pada lawan bicara juga merupakan sikap yang tidak sopan karena
memberikan kesan ketidaknyamanan pada lawan bicara. Di tempat
umum (kereta, pusat keramaian dll) juga, orang Jepang menghindari
7. 6
menatap orang karena dianggap tidak sopan dan mengganggu ranah
pribadi orang yang bersangkutan.
◼ Jarak bicara dan sentuhan. Jarak berbicara berbeda tergantung pada
kedekatan dan tujuan komunikasi. Misalnya jarak umum (public
distance) 350cm lebih, jarak sosial (social distance)120-350cm, jarak
pribadi (personal distance) 45-120cm, dan jarak intim (intimate
distance) 0-45cm. Dalam budaya berkomunikasi pada orang Jepang
sangat jarang menyentuh bagian tubuh lawan bicara. Tetapi,
menyentuh kepala anak kecil sering dilakukan sebagai bentuk
menyatakan perhatian dan rasa sayang.
◼ Penampilan. Penampilan atau midashinami merupakan unsur
nonverbal yang juga penting karena menunjukkan rasa hormat
terhadap lawan bicara. Misalnya orang yang tidak menjaga
penampilannya dengan baik, tidak mencukur rapi kumis, jenggot,
jambang pada laki-laki, tidak menjaga kebersihan diri, tidak
mengenakan make up pada perempuan bisa dimaknai tidak
menghargai lawan bicara.
◼ Intonasi. Saat berbicara, tidak hanya diksi (pilihan kata) yang harus
kita perhatikan, tetapi juga intonasi dan volume suara. Berbicara
dengan nada yang tinggi dan suara yang keras terutama secara
Dalam memahami budaya Jepang, komunikasi nonverbal sangat diperlukan tidak
hanya untuk memperlancar komunikasi, tetapi juga untuk meminimalisasi
kesalahpahaman yang terjadi.
8. 7
3.2. Aizuchi
Saat berbicara dengan orang Jepang, aizuchi sangat berperan penting
karena menunjukkan makna bahwa pendengar memahami isi tuturan dan
menujukkan bahwa ia mendengarkan apa yang disampaikan oleh lawan bicara.
Aizuchi juga sekaligus berperan untuk menjembatani kelanjutan isi tuturan yang
hendak disampaikan oleh lawan bicara. Penggunaan aizuchi yang tepat mencirikan
bahwa orang tersebut pendengar yang baik, memiliki kepedulian terhadap isi
tuturan yang disampaikan lawan bicara. Berikut
Aizuchi memilki berbagai tujuan. Berikut merupakan ragam aizuchi yang
sering dipakai pada saat berkomunikasi dalam bahasa Jepang.
◼ Misalnya, aizuchi “Ee, Hee, Hoo” yang sering dipakai dan dimaknai sebagai
perasaan pendengar saat menyimak isi tuturan lawan bicara yang tidak bisa
atau kesulitan untuk diungkapkan dengan kata.
◼ Aizuchi “sousou”, “tashika ni”, “Naru hodo”, “Watashi mo sou omoimasu”,
“wakarimasu” “desu yo ne” dipakai persetujuan atas isi tuturan lawan bicara.
◼ Aizuchi “Un, un, sore de?” “Un, un sorekara dou natta no?” dipakai untuk
menunjukkan ketertarikan pada kelanjutan isi tuturan yang disampaikan.
◼ Aizuchi “Eee!? Uso desho!” “Eee!? Hontou ni!” “Uso” dipakai untuk
menunjukkan rasa terkejut dan terkesan agak berlebihan dari isi tuturan yang
disampaikan.
Bila dalam melakukan percakapan dengan orang Jepang, pendengar tidak
menggunakan aizuchi, akan menimbulkan kesan tidak terjalinnya komunikasi
dengan baik. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman karena dimaknai sebagai
ketidaktertarikan lawan bicara pada apa yang disampaikan oleh penutur. Aizuchi
9. 8
sangat berperan dalam percakapan lisan karena bermakna bahwa lawan bicara
merespon apa yang disampaikan oleh penutur.
3.3. Etika Saat Berinteraksi dengan Orang Jepang
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berinterkasi dengan orang
Jepang. Saat kita berada di Jepang, tentunya kita mengikuti kebiasaan orang Jepang.
Hal ini merupakan suatu yang biasa. Seperti dalam pribahasa dikatakan “Di mana
bumi di pijak, di situ langit dijunjung”. Dalam bahasa Jepang juga mengenal
pribahasa yang bermakna sama yaitu, “Go ni itte wa go ni shitagae”. Hal ini juga
diperjelas dengan pribahasa, “Hito no odoru toki wa odore” yang bermakna anjuran
untuk melakukan sesuatu yang sudah biasa dilakukan oleh orang kebanyakan.
Misalnya kebiasaan makan di restoran cepat saji. Di Indonesia, kebanyakan orang
setelah makan akan meninggalkan meja dalam keadaan berantakan dan penuh
dengan bekas alat makan yang kotor. Tetapi, bila di Jepang, setelah makan, sudah
menjadi etika harus merapikan sendiri bekas makan dan alat makan yang dipakai.
Dalam modul ini diberikan contoh lain yaitu saat berkunjung ke rumah orang
Jepang. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat berkunjung ke rumah
orang Jepang.
◼ Membuat janji terlebih dulu, lakukan konfirmasi bila sudah mendekati waktu
untuk berkunjung. Jepang memiliki budaya waktu monokrinik (monochronic
time) yaitu melaksanakan segala sesuatu sesuai jadwal yang sudah ditentukan.
Sehingga bisa kita pahami dalam budaya Jepang sulit menerima tamu yang
datang secara dadakan. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki budaya
waktu polikronik (polychronic time) yaitu lebih bertoleransi terhadap
10. 9
hubungan antarsesama dan hal-hal yang lainnya dibandingkan dengan jadwal
yang sudah ditentukan.
◼ Datanglah ke rumah tepat waktu. Bila kemungkinan akan terlambat segera
menghubungi menyampaikan perkiraan waktunya. Hindari membuat orang
menunggu melewati waktu yang sudah disepakati. Menepati janji dengan
menaati datang tepat waktu sangat penting dalam menjaga kepercayaan.
◼ Bila kita diundang untuk makan bersama di rumah orang Jepang, akan lebih
baik jika kita membawa bingkisan berupa makanan atau minuman yang bisa
dinikmati bersama. Hal ini untuk menunjukkan rasa terima kasih atas undangan
makan yang diberikan. Tidak perlu membawa oleh-oleh yang mahal. Biasanya
berupa minuman atau kue saja sudah cukup.
◼ Lepaskan sepatu sebelum memasuki ruangan dalam rumah. Lalu gunakan
sandal selop (surippa) untuk dalam ruangan yang telah disediakan. Sandal
selop disiapkan dengan posisi ujungnya menghadap masuk rumah.
◼ Letakkan sepatu dengan rapi dan ujung sepatu mengarah keluar pintu agar
dapat mempermudah memakai sepatu tersebut saat akan pulang menuju keluar
pintu.
◼ Bila menggunakan toilet, gunakan alas kaki yang telah disediakan di toilet dan
jangan gunakan alas kaki yang tersedia di toilet keluar dari toilet.
◼ Jangan habiskan minuman, bila tidak ingin menambah. Tuan rumah akan
menambahkan minuman bila melihat gelas tamunya kosong.
◼ Bila bertemu kembali dengan orang yang telah mengundang kita, hal pertama
yang diucapkan adalah menyampaikan terima kasih. Dalam budaya Jepang,
ada kebiasaan berterima kasih atas kebaikan yang sudah diterima dan ditambah
11. 10
dengan memberikan kesan dari kebaikan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
kita menghargai, tidak melakukan kebaikan tersebut.
◼ Tidak memberikan informasi yang bersifat pribadi seperti nomor telepon,
alamat orang yang kita kenal kepada orang lain tanpa izin yang bersangkutan.
Demikianlah hal-hal yang perlu diperhatikan saat kita berinteraksi dengan orang
Jepang. Pemahaman tentang etika dalam berinteraksi dengan orang Jepang sangat
penting untuk menjaga hubungan yang baik, menjaga kepercayaan dan
menghindari kesalahpahaman yang disebabkan karena perbedaan budaya.
3.4. Etika Saat Makan
Makanan merupakan bagian dari budaya, sering dikenal dengan istilah
budaya kuliner atau dalam dunia pariwisata juga dikenal dengan istilah gastronomi.
Pada saat makan tentunya kita akan mengikuti etika yang berhubungan dengan
budayanya. Berikut merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan saat kita makan
bersama orang Jepang.
◼ Misalnya adalah mengambil makanan dengan rapi, tanpa membuat hidangan
yang telah ditata menjadi berantakan. Hindari mengaduk, tidak mengambil
makanan dengan berbunyi dan tidak tercecer mengotori meja hidangan.
◼ Tidak mendahului makan, sebelum semua orang di meja makan lengkap dan
siap makan. Saat makan bersama, makan akan dimulai setelah semua yang
hadir siap.
◼ Sebelum makan akan diawali dengan “kanpai” atau bersulang. Gelas yang
telah diisi minuman untuk tidak boleh diminum sebelum kanpai dimulai dan
menunggu aba-aba untuk bersulang.
12. 11
◼ Kanpai identik dengan makanan beralkohol. Tetapi, tidak perlu memaksanan
bila kita tidak minum minuman yang beralkohol. Ungkapan yang tepat adalah
“nomenai” bukan “nomanai”. Kita bisa menolaknya dengan terus terang
mengatakan alasan usia, agama dan kesehatan. Misalnya bila belum berumur
20 tahun “Mada hatachi ni natte imasen (Saya belum berusia 20 tahun)”, bila
alasan agama “Shukyou teki ni osake o nomemasen (Secara agama saya tidak
boleh minum)” dan bila alasan kesehatan “Osake o nomuto, zutsuu ga hidoku
narimasu (Kalau minum, sakit kepala saya semakin parah)”. Orang Jepang
tidak akan memaksakan untuk minum alkohol.
◼ Tidak mengambil makanan dari piring hidangan dengan sumpit yang dipakai
untuk makan dan bagian ujung sumpit yang dipakai kira-kira 3cm. Sehingga,
bila diperhatikan akan terlihat kira-kira 3cm yang ada bekas makanannya dan
bagian lainnya bersih. Bila sumpit yang kena bekas makanan lebih dari 3cm
akan memberikan kesan jorok dan bisa berpengaruh terhadap selera makan
orang lain disekitarnya.
◼ Bila akan menambah nasi, jangan sampai mangkuk kosong. Sisakan nasi
sedikit, sekitar 1-2 suapan.
◼ Jagalah nasi agar tetap putih. Ambil lauk yang telah dihidangkan
diberbagai tempat sesuai dengan jenisnya tanpa membuat nasi putih
menjadi kotor.
◼ Jangan menuangkan miso shiru ke mangkuk nasi. Miso shiru tidak boleh
dicampurkan dengan nasi.
◼ Tidak berbunyi saat mengunyah makanan. Bunyi kunyahan pada saat
makan dianggap tidak sopan.
13. 12
◼ Tidak meletakkan siku di meja makan.
◼ Tidak menyilangkan kaki saat duduk di kursi.
◼ Tidak menggoyang-goyangkan kaki saat makan.
◼ Tidak mengambil makanan dari meja hidangan dengan menggunakan
sumpit yang dipakai untuk makan. Pakailah toribashi yaitu sumpit khusus
untuk mengambil makanan dari meja hidangan.
◼ Tidak boleh mengembalikan makanan yang sudah diambil dari meja
hidangan.
◼ Tidak menambahkan bumbu tambahan pada makanan yang sudah
dihidangkan. Hal ini sebisa mungkin dihindari agar tidak memberikan
kesan bahwa masakan yang dibuat rasanya masih kurang sehingga perlu
menambahkan rasa yang lain.
◼ Tidak terlalu memilih-milih dengan cara mengambil makanan yang hanya
disukai. Hal ini tidak boleh dilakukan karena sangat menunjukkan
ketidaksukaan terhadap jenis makanan tertentu.
◼ Tidak menyisakan makanan yang sudah diambil. Makanan yang diambil
harus dihabiskan. Mengambil makanan secukupnya yang bisa dimakan
karena bila menyisakannya akan memberikan kesan bahwa makanan
tersebut tidak enak dan tidak sopan menyisakannya.
14. 13
Gambar 3.1 Hidangan menu shoujin ryouri, makanan vegetarian. Setiap jenis
hidangan ditempatkan pada wadah yang terpisah.
3.5. Etika Menggunakan Sumpit
Sumpit merupakan alat makan yang utama dalam budaya kuliner Jepang.
Makanan Jepang sudah pasti disantap dengan menggunakan sumpit. Orang Jepang
akan merasa agak aneh bila melihat orang menyantap makanan Jepang dengan
menggunakan sendok saja seperti yang umum digunakan oleh orang Indonesia.
Misalnya, walau menikmati miso shiru (sup miso) sekali pun, orang Jepang
menggunakan sumpit. Tidak mungkin menggunakan sendok, walau hidangan
tersebut berkuah. Apa pun hidangannya, alat makannya pasti sumpit. Sumpit
digunakan untuk menikmati berbagai hidangan, dari makan nasi, ikan bakar bahkan
soup.
Sumpit di Jepang memiliki ukuran yang beragam yaitu 14,5cm, 16cm,
17,5cm, 19cm, 20cm, 21cm, 22cm, 23cm, 24cm, 25cm. Keragaman ukuran tersebut
15. 14
tergantung pada kegunaan, usia pemakai dan juga jenis kelamin pemakainya. Tetapi,
saat ini ukuran sumpit, terutama di rumah makan tidak lagi terlalu dibedakan.
Ukuran sumpit yang lebih sering dipakai adalah yang berukuran 22cm.
Selain ukuran yang beragam, sumpit juga memiliki berbagai jenis
tergantung fungsinya. Berikut akan diperkenalkan berbagai jenis sumpit. Misalnya
Saibashi yang merupakan sumpit yang dipakai untuk memasak. Ukurannya lebih
panjang dan lebih besar dari pada sumpit untuk makan.
Gambar 3.2 Saibashi (bawah) bila dibandingkan dengan sumpit untuk makan
(atas)
Sumpit juga memiliki perlengkapan tambahan di meja makan yaitu tempat
sumpit. Sumpit tidak boleh diletakkan di atas alat makan, wadah makanan dan juga
di atas meja begitu saja tanpa alas. Sumpit diletakkan melintang atau horizontal
seperti contoh photo 4.2.
16. 15
Gambar 3.3 Sumpit dan Hashioki
Iwaibashi merupakan sumpit yang dipakai pada saat perayaan atau pada
kesempatan yang istimewa. Misalnya pada saat menikmati hidangan tahun baru
atau Osechiryouri. Iwaibashi berbeda dengan sumpit yang dipakai sehari-hari.
Sumpit dalam kondisi masih baru dan dibungkus dengan kertas khusus. Selain itu,
kedua sisi dari sumpit tersebut bisa digunakan. Bila sumpit yang biasa, hanya satu
sisi yang bisa dipakai. Tetapi, iwaibashi tidak bisa digunakan berkali-kali. Sumpit
ini merupakan jenis sumpit sekali pakai.
Gambar 3.4 Iwaibashi
17. 16
Berikutnya adalah sumpit sekali pakai yang sering digunakan saat acara
makan-makan atau di warung mie, rumah makan yang dilengkapi dengan tulisan
nama rumah makan tersebut dalam bungkusnya. Juga pada saat kita membeli nasi
bekal (bentou), kasir akan memberikan sumpit. Tetapi, semakin giatnya kampanye
lingkungan membuat banyak rumah makan menggantikan waribashi dengan sumpit
yang bisa dicuci untuk digunakan kembali. Hal ini sangat bagus karena dapat
mengurangi sampah dan sekaligus menjaga lingkungan, penebangan pohon karena
sumpit ini berbahan dasar dari kayu.
Gambar 3.5 Waribashi
Dalam menggunakan sumpit, perlu kita pahami etikanya agar tidak
menimbulkan kesan tidak sopan dan menyebabkan kesalahpahaman di meja makan.
Ada banyak larangan dalam menggunakan sumpit atau disebut dengan kiraibashi.
Berikut akan diperkenalkan etika yang perlu diperhatikan untuk tidak dilakukan
saat menggunakan sumpit.
1. Ogamibashi : memegang sumpit sebelum makan sambil mencakupkan
tangan dan mengucapkan “Itadakimasu”. .
2. Sashibashi : menusuk makanan dengan sumpit.
3. Soroebashi: Memperbaiki pegangan sumpit di atas alat makan atau meja.
18. 17
4. Mochibashi: Memegang sumpit sambil memegang alat makan lainnya.
5. Yosebashi: Menggunakan sumpit untuk menggeser makanan.
6. Tatebashi : menancapkan sumpit secara vertikal pada hidangan. Sumpit
yang ditancapkan secara vertikal pada makanan merupakan sajen untuk
orang yang meninggal.
7. Sorabashi : membatalkan makanan yang sudah diambil dengan
mengembalikan makanan tersebut ke piring hidangan.
8. Araibashi : mengaduk-aduk menu berkuah (misalnya miso shiru) dengan
maksud untuk membersihkan ujung sumpit.
9. Watashibashi : meletakkan sumpit di atas alat makan.
10. Hashiwatashi : memindahkan makanan langsung dari sumpit ke sumpit.
Menyerahkan makanan dari sumpit ke sumpit tabu untuk dilakukan karena
mengingatkan pada saat mengambil tulang jenazah dari prosesi upacara
kremasi.
11. Yokobashi : menggunakan sumpit seperti sendok makan dengan cara
menempelkan dua sumpit untuk menyendok makanan.
12. Chigiribashi : menggunakan 2 batang sumpit secara terpisah, masing-
masing di tangan kiri dan kanan untuk memotong makanan.
13. Chigaibashi : menggunakan sumpit yang berbeda, tidak satu pasang.
14. Kakikomibashi: Menggunakan sumpit untuk mengaduk makanan di dalam
alat yang didekatkan ke mulut.
15. Neburibashi: menjilat sisa makanan yang ada di sumpit.
Sumpit merupakan salah satu bagian dari kehidupan sehari-hari budaya
Jepang. Sehingga “sumpit” juga digunakan dalam berbagai pribahasa yang
19. 18
menggambarkan kehidupan. Misalnya, Hashi o tsukeru yaitu mengambil sumpit.
Bila seseorang akan memulai untuk makan, maka hal pertama yang dilakukan
adalah mengambil sumpit sebagai alat makan. Pribahasa ini berarti mulai makan.
Hashi o oku yaitu meletakkan sumpit. Bila sumpit sudah diletakkan kembali ke
tempatnya merupakan tanda bahwa orang tersebut sudah selesai makan. Pribahasa
ini mengandung arti sudah selesai makan. Hashi yori omoi mono o motanai
“Ibarat seorang anak yang tidak pernah membawa sesuatu yang lebih berat dari
pada sumpit”. Makna pribahasa tersebut merupakan gambaran orang yang tidak
pernah susah karena dibesarkan dalam kemewahan dan dimanja keluarga.
Pribahasa ini juga sering digunakan untuk memberikan sindiran halus pada orang
yang tidak bisa mengerjakan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri, tetapi
meminta bantuan orang lain.
20. 19
RANGKUMAN
Pembelajaran bahasa sangat berkaitan erat dengan budaya. Sehingga
dalam pembelajaran bahasa asing sangat diperlukan kompetensi dalam komunikasi
lintas budaya. Komunikasi lintas budaya berperan untuk memahami budaya yang
berbeda dalam berkomunikasi. Komunikasi nonverbal juga berperan penting
seperti gestur, kontak mata, raut wajah, penampilan, dan jarak bicara agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
Hal lain yang juga berperan untuk memeperlancar komunikasi adalah
Aizuchi. Aizuchi menunjukkan bahwa kita memperhatikan apa yang dibicarakan
lawan bicara. Bagi pembelajar bahasa Jepang harus memperhatikan ketepatan
pemilihan aizuchi dan intonasi agar dapat memberikan tanggapan dengan benar.
Selain komunikasi nonverbal, pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat
tabu juga perlu dipahami dalam berinteraksi dengan orang Jepang. Misalnya adalah
etika menggunakan sumpit. Banyak hal yang tabu untuk dilakukan saat
menggunakan sumpit, seperti cara memegang yang salah, cara menggunakan yang
salah secara tidak sadar dilakukan karena kita tidak mempunyai budaya memakai
sumpit. Pelanggaran terhadap hal-hal yang tabu tentang penggunaan sumpit dapat
menimbulkan kesan negatif, memberikan makna kematian, tidak menghargai atas
makanan yang disajikan dll.
21. 20
DAFTAR PUSTAKA
Iwashita Noriko, 2001, Kankonsousai Jiten, Natsumesha, Tokyo. [岩下宣子, 2001,
『冠 婚葬祭辞典』, ナツメ社, 東京].
Shintani Takanori, Andrew P. Bourdelais, 2017, Eigotaiyaku de Yomu Nihon no
Shikitari, JIPPI Compact, Tokyo. [新谷尚紀・アンドリューP.ボーダ
レー『英語大訳で 読む日本のしきたり』じっぴコンパクト新書, 東
京].