Makalah ini membahas etika dan prosedur berbicara dalam kelompok. Beberapa etika yang disebutkan antara lain menatap lawan bicara, suara harus terdengar jelas, menggunakan tata bahasa yang benar, tidak menggunakan nada suara tinggi, serta pembicaraan mudah dimengerti. Prosedur yang dijelaskan adalah tahapan dalam berbicara kelompok.
1. i
PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BERBICARA
ETIKA DAN PROSEDUR BICARA KELOMPOK
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan
Keterampilan Berbicara yang diampu oleh:
Cucu Reswati, M.Pd.
Disusun oleh :
Anggun Angel Pratiwi (032117079)
2. ii
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAKUAN
2018
3. iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT karena berkat
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah mengenai “Etika dan Prosedur
Berbicara Kelompok” untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Keterampilan Berbicara ini.
Dengan makalah ini kami bermaksud memberikan informasi mengenai etika
dan prosedur berbicara kelompok. Dalam penyelesaian makalah ini kami banyak
mendapatkan kesulitan, tapi tetap dapat menyelesaikannya. Kami yakin makalah
ini belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran demi
penyempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat.
Bogor, 13 September 2018
Penyusun
4. iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................5
1.3 Tujuan.......................................................................................................5
BAB II ISI
2.1 Etika Dalam Berbicara ..........................................................................6
2.2 Prosedur Dalam Berbicara .....................................................................14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................17
DAFTAR ISI
6. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua orang kecuali yang tuna wicara atau tuna rungu (bisu tuli) pasti
mampu berbicara. Namun tidak setiap orang mampu berbicara dengan baik dan
benar. Kalau bicara sekedar bicara, anak kecil pun bisa. Balita usia 2-3 tahun
sudah pandai berbicara, minimal dapat memanggil ayah ibunya. Bahkan tangisan
bayipun sebenarnya merupakan bentuk bicara juga.
Berbicara adalah mengeluarkan, menyusun kata-kata secara teratur melalui
lisan sehingga dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Bicara di sini diartikan
sebagai bentuk komunikasi, dengan bicara maka komunikasi dapat terjalin, Tetapi
berkata-kata tanpa artipun sebenarnya bicara juga, hanya saja belum dimasukan ke
dalam kategori komunikasi.
Kemampuan bicara menjadi penting dalam konteks menjalin hubungan
komunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangannya, bicara menjadi lebih
ruwet karena ada batasan-batasan etika dan aturannya. Bicara kemudian
terkotak-kotak oleh kepentingan dan maksud-maksud tertentu. Setiap aspek
kehidupan memiliki aturan dan etika tersendiri dalam berbicara.
Faktor utama dalam berbicara adalah bahasa. Makna bahasa sekarang lebih
luas lagi, bukan hanya merujuk pada suku bangsa tetapi sudah merambah pada
disiplin ilmu. Kita sekarang tidak hanya mengenal bahasa jawa, Madura, Sunda
dan sebagainya yang berdasarkan kesukuan, melainkan bahasa ekonomi, bahasa
politik dan sebagainya dalam lingkup disiplin ilmu. Selanjutnya, dari bahasa tadi
mempengaruhi etika dan aturan bicara. Antara bahasa hukum dan bahasa ekonomi
ada aturan dan etikanya sendiri, seperti halnya bahasa Jawa dan bahasa Sunda
yang di dalamnya tidak terpisahkan oleh adat istiadat dan budaya dari mana
bahasa itu berasal.
Dalam pergaulan etika berbicara itu penting, tidak boleh asal bicara. Semakin
tinggi tingkat pendidikan dan sosial, seseorang biasanya semakin tinggi pula
etikanya dalam berbicara. Kelas pendidikan dan sosial sering menjadi faktor
pembeda dalam berbicara. Antara bahasa tukang becak dan dosen jelas berbeda.
7. 2
Dan bial dibolak-balik kesannya akan semakin semrawut. Kesannya akan lain.
Seorang dosen dengan strata pendidikan tinggi rasanya tidak pantas berbicara
dengan gaya bahas tukang becak yang terbiasa kasar, cespleng dan tidak
mengenal unggah-ungguh. Sebaliknya, tukang becak akan menjadi lucu bila
memaksakan diri berbicara dengan langgam berbicara seorang dosen yang
cenderung ilmiah dan rumit dicerna orang biasa.
Tujuan utama berbicara adalah membuat lawan bicara mengerti apa yang
dikatakannya. Tidak peduli bahasa apa yang dipakai, punya ungguh-ungguh atau
tidak, yang penting orang yang diajak berbicara menangkap dengan jelas
maksudnya. Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan peradaban,
mengerti saja tidak cukup. Sekarang ini, disamping dapat dimengerti harus pula
mencerminkan etika, termasuk didalamnya adalah unggah-unggah. Apalagi di
dunia timur (oriental)yang sangat menghormati nilai-nilai kesopanan,
unggah-ungguh menjadi faktor yang tak boleh ditinggalkan. Khususnya di
masyarakat Jawa, Unggah-ungga memegang peranan sangat dominan. Bahkan
bahasa yang dipakaipun berlainan antara bicara kepada orang tua, adik, atasan dan
sebagainya. Orang akan semakin dihormati apabila tahu unggah-ungguh. Dan bila
unggah-ungguh itu dilanggar, adat-istiadat sudah menyiapkan sangsinya. Orang
yang tidak tahu sopan-santun dalam berbicara pasti akan dikucilkan selamanya
1.2 Rumusan Masalah
1. Etika apa saja dalam bicara kelompok?
2. Prosedur apa saja dalam bicara kelompok?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui etika bicara kelompok.
2. Mengetahui prosedur bicara kelompok.
8. 3
BAB II
ISI
2.1 Etika Berbicara
Etika berasal dari Bahasa Yunani ETHOS (jamak ta etha) yang berarti
kebiasaan. Selain etika dikenal juga Moral atau Moralitas yang dari bahasa Latin
MOS (jamak mores) yang juga berarti kebiasaan. Ada beberapa kata yang sama
artinya dengan etika, yakni budi pekerti, tata krama, akhlak, dan sopan santun.
Pengertiannya adalah berprilaku baik dan terpuji, tidak menyakitkan perasaan
orang lain.
Sebagai tingkah laku atau kegiatan lainnya, berbicarapun harus
memperhatikan etika atau sopan santun. Seseorang yang pandai berbicara bila
mengabaikan kesopanan dalam percakapan, menimbulkan pandangan yang buruk
atau kebosanan, bahkan kebencian. Dengan demikian, kepandaian berbicara harus
diimbangi dengan pengetahuan tentang tata kesopanan.
1. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara.
Yang harus anda perhatikan ketika berbicara adalah konsentrasikan diri anda
sepenuhnya kepada lawan bicara. jangan melihat ke arah lain sehingga membuat
lawan bicara tersinggung. Menatap lawan bicara sungguh-sungguh (bukan
mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang baik. Obyek anda adalah lawan
bicara bukan yang lain. Jangan tinggalkan etika ketika anda sedang
berkomunikasi dengan orang lain. Kita sendiri juga pasti tersinggung jika ada
orang lain mengajak bicara tiba-tiba memutar hidungnya ke tempat lain. Mau
menanggapi bicaranya saja sebenarnya sudah harus disyukuri, jangan malah
9. 4
berpindah hati. Bicara itu bukan hanya dengan mulut, tetapi juga dengan hati dan
seluruh tubuh kita kecuali kalau kita berbicara melalui telepon. Ketika berbicara
usahakan seluruh gerak tubuh kita mengarah ke lawan bicara sehingga kita tahu
bagaimana reaksi lawan bicara ketika membalas apa yang kita ucapkan. Kalau
pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu apakah lawan bicara tulus dengan
ucapannya atau tidak. Bisa jadi lawan bicara bilang setuju tetapi mimik wajahnya
dan kita tahu karena pandangan kita tidak tertuju kepadanya.
Pada saat berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental kita
sepenuhnya. Karena yang kita hadapi adalah manusia yang mempunyai perasaan,
bisa senang dan susah, bisa tersinggung dan marah-marah. Oleh sebab itu, baik itu
mimik maupun mata kita harus menampakan wajah yang bersahabat dan
sungguh-sungguh.
2. Suara Harus Terdengar Jelas
Disamping kita harus menatap lawan bicara, yang tak kalah pentingnya
adalah menata suara kita agar lawan bicara dapat menangkap dengan jelas apa
yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh terlalu terburu-buru dan jangan terlalu
pelan. Usahakan suara yang keluar bisa terdengar jelas agar lawan bicara dapat
terdengar apa yang kita ucapkan.
Karena kondisi tertentu seringkali kita tidak dapat mengontrol suara kita,
sehingga menjadi terlalu cepat. Lawan bicara merasa perlu menegaskan kembali
dengan bertanya balik, atau tidak ingin didengar orang lain, kita berusaha
merendahkan intonasi suara sehingga di relinga lawan bicara terdengar seperti
desis ular. Kedua-duanya bukan cara yang efektif dalam berbicara. Berbicara
dengan pelan tapi jelas terdengar. Tidak perlu terlalu keras tidak perlu terlalu
lemah. Yang perlu kita perhatikan pula adalah tingkat emosional kita. Bicaralah
ketika emosi kita sedang tidak konsentrasi. misalnya kalau kita sedang marah atau
sedih, usahakan agar kemarahan atau kesedihan tersebut tidak terlihat oleh lawan
bicara.
Percuma saja kita berbicara terburu-buru sampai nafas kita tersengal-sengal,
lawan bicara susah mengerti. Atau terlalu lembut seperti orang yang sedang
dirundung derita berkepanjangan, sehingga hanya terdengar seperti rintihan yang
menyayat hati. Oleh karena itu hindarilah berbicara terburu-buru atau terlalu pelan.
10. 5
Sebab dalam kondisi berbicara seperti itu, sulit untuk meninta respon yang
obyektif dari lawan bicara. Di samping tidak efektif, pembicaraan yang kurang
terdengar jelas di telinga lawan bicara kadang-kadang menimbulkan kejengkelan
bagi lawan bicara. Maunya ingin cepat-cepat selesai tetapi malah menimbulkan
persoalan baru yang tidak selesai-selesai. Tentunya ini akan merugikan diri kita
sendiri.
3. Gunakanlah Tata Bahasa yang Baik dan Benar
Bahasa dapat menunjukan kualitas kepribadian dan latar belakang seseorang.
Bahasa pegawai kantor, jelas berbeda dengan orang berjualan di pasar. Salah satu
unsur pembedanya terdapat dalam pemakaian tata bahasa yang digunakan. Bahasa
pegawai kantor jelas lebih punya etika dari pada orang pasar. Bahasa anak gaul
berbeda dengan bahasa ningrat keraton.
Sebelum berbicara sebaiknya kata-kata diatur terlebih dahulu. Jangan sampai
di tengah kalimat tiba-tiba putus karena kita tidak tahu apa yang akan kita
bicarakan. Dan tentunya tidak boleh menggunakan kata-kata yang kasar, apalagi
yang menyinggung hati lawan bicara. Kita harus mengetahui mana subyek, mana
predikat, obyek dan keterangan dalam sebuah kalimat. Kita harus tahu pula
bagaimana menempatkan perangkat kalimat pada tempat yang benar. jangan
sampai kita bingung dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya
dengan membolak-balik kedudukan subyek, predikat dan obyek sehingga menjadi
kalimat yang tidak beraturan.
11. 6
4. Jangan menggunakan Nada Suara yang Tinggi
Citra pegawai kantor adalah citra kesopanan artinya orang lain melihat
pegawai kantor sebagai orang yang tahu etika, punya tata-krama dan santun dalam
segala tindak-tanduknya. Sikap dan perilakunya mencerminkan orang
berpendidikan. Kesan tersebut akan semakin membekas ketika kita sedang
berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan dapat menilai, apakah kita
seorang pegawai kantor atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai, dan tata
bahasa, jelas berpengaruh besar di telinga pendengar.
Sebaiknya kita berbicara dengan kalimat yang jelas dan intonasi yang
sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan
bahwa kita bisa mengontrol intonasi dengan baik. Pakailah nada suara yang
datar-datar saja, sehingga setiap orang dapat mendengarnya dengan baik. Kalau
terlalu tinggi dikhawatirkan tidak semua pendengarnya dapat mendengar dengan
baik. Apalagi jika kita ditunjuk sebagai pembicara, nada suara harus benar-benar
dijaga. Sebab, pendengar dalam sebuah forum baik ceramah maupun diskusi
cenderung beragam.
Jika nada suara terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang tidak mungkin
sanggup berteriak selama satu jam terus-menerus. Apa yang kita bicarakan
sebaiknya dapat kita nikmati jangan malah menjadi beban. Disamping itu, kurang
beretika rasanya kalau kita berbicara dengan nada suara yang tinggi. Kecuali jika
12. 7
kita sedang membakar semangat para anak-anak muda untuk terjun ke medan perang. Dalam situasi yang biasa, aman dan tidak darurat,
Sebaiknya nada suara kita tidak terlalu tinggi.
5. Pembicaraan Mudah Dimengerti
Tujuan utama berbicara adalah untuk membuat lawan bicara mengerti apa yang sedang kita bicarakan. Oleh sebab itu, sebaiknya k ita
cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita harus pandai-pandai memilih lawan bicara, sebab hal ini berkaitan dengan bahasa yang kita
pakai. Jangan karena ingin dianggap sebagai pegawai kantor ke mana-mana kita selalu menggunakan bahasa tingkat tinggi. Kita harus
pandai menyesuaikan diri dengan kondisi dan latar belakang lawan bicara yang kita hadapi. Jangan terjebak oleh keinginan untuk menjaga
image atau gengsi sehingga mengorbankan lawan bicara. Pakailah bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Tidak penting anggapan
orang lain terhadap diri kita, yang penting adalah orang lain mengerti terhadap apa yang sedang kita bicarakan. Biarkan orang lain
menganggap diri kita bodoh, dan seolah-olah pitar mereka, itu hak mereka.
Sering kita mendengar ada orang berbicara dengan menggunakan bahasa yang tinggi. Padahal pendengarnya hanya para pedagang
yang tidak sempat mengikuti perkembangan jaman. Memang ia berhasil membangun kesan di tengah audiennya bahwa ia pembicara yang
pandai, Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka malah bingung.
Kita semua pasti punya pengalaman yang sama ketika mengikuti khotbah Jum'at. Ada khatib yang selama khotbahnya menggunakan
bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia. yakinkah anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut? Tipsnya
sebelum mengajak bicara, ketahuilah dulu siapa lawan bicaranya. Kalau memang lawan bicara lebih mudah mengerti dengan bahasa daerah,
maka kita harus menyesuaikan diri. Dari bahasa di atas semakin mengertilah kita bahwa ternyata berbicara itu tidak semudah yang kita
bayangkan. Tetapi penulis juga tidak sedang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar. Singkatnya, sebagai pegawai
kantor kita harus tetap menjaga dengan baik etika kita dalam berbicara.
13. 9
Berbicara yang sopan.
Dalam bukunya “sopan santun berbicara dan menyimak” M. Atar Semi
mengatakan setidaknya ada lima belas perilaku yang dinilai sopan dalam
berbicara. Perilaku tersebut ialah1
a) Adanya kesabaran.
Sikap sabar dalam percakapan sangatlah penting. Yang hadir atau terlibat
dalam suatu percakapan tidaklah kita sendiri. Melainkan ada lawan bicara, entah
terdiri dari satu atau beberapa orang. Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran
untuk tidak memotong pembicaraan orang lain, menunggu giliran bicara, dalam
menyimak lawan bicara menyampaikan gagasannya.
b) Tidak menunjukan rasa jemu.
Dalam menghadapi lawan bicara, kita tidak boleh menunjukan rasa jemu,
atau kesal. Walaupun yang dibicarakan itu tidak sesuai dengan pendapat atau
keinginan kita, namun kita tidak boleh menunjukan rasa jemu atau tidak suka
dengan apa yang dikatakan lawan bicara. Dengarkanlah uraian atau penjelasannya,
kalau ada yang dirasakan tidak enak atau tidak sesuai dengan pandangan kita,
dapat kita sampaikan dengan baik dan tenang pada saat giliran kita, dapat kita
ssampaikan dengan baik dan tenang pada saat giliran kita, dapat kita sampaikan
dengan baik dan tenang pada saat giliran kita bicara. Memperlihatkan rasa jemu
dan tidak sesuai menyinggung perasaan lawan bicara.
c) Tidak bicara terus menerus.
Dalam percakapan harus selalu diingat bahwa setiap orang mempunyai hak
dan kesempatan yang sama untuk berbicara mengemukakan pendapat. Oleh sebab
itu, sangat tidak sopan kalau berbicara tanpa menghiraukan kesempatan orang lain
atau lawan bicara untuk menyampaikan pendapatnya. Kalau kita memborong
kesempatan berbicara maka terlihat jelas bahwa kita adalah seseorang yang egois
yang mementingkan diri sendiri, serta suka merugikan orang lain. Kebiasaan ini
1 M. Atar Semi Sopan Sabtun, PenebarSwadaya,Depok,2002, hlm. 14.
14. 10
merupakan kebiasaan yang mencemarkan nama baik, dan terkesan sebagai orang
yang menjemukan atau serakah.
d) Tidak membicarakan diri sendiri.
Membicarakan diri sendiri dalam percakapan, baik mengenai kehebatan
maupun kekurangan kita, sampaikanlah hal itu sekadar saja, hanya sebagai bahan
perkenalan saja, bukan untuk membanggakan diri, seperti menceritakan kehebatan
atau keberhasilan orang tua dan saudara kita tidaklah baik, dan dapat
menimbulkan kesan bahwa kita itu somnong dan merendahkan martabat lawan
bicara. Orang yang menceritakan berbagai macam kehebatan dirinya dengan
maksud agar lawan bicara menjadi iri, kagum atau orang lain menghormatinya
adalah sikap yang tidak terpuji. Orang semacam ini ialah orang yang ingin
kelihatan hebat dengan menyandang nama orang lain.
e) Tidak menceritakan keburukan orang lain.
Kita boleh menceritakan orang lain, asal yang diceritakan itu tentang
kehebatannya. Orang lain yang dimaksud bukan orang yang mempunyai
hubungan keluarga. Yang tidak boleh ialah menceritakan aib atau keburukan
orang lain. Hal itu biasanya dinilai sebagai gosip atau menjurus fitnah. Dalam
agama pun hal itu dilarang, apalagi keburukan itu bukan atas kemauan orang yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, hindarilah kebiasaan menceritakan aib atau
keburukan orang lain sebagai bahan pembicaraan.
f) Tidak mengolok-olok orang lain dalam pembicaraan.
Dalam pembicaraan memang sering orang berusaha mencari bahan
pembicaraan yang dapat memancing tawa. Memang baik dalam percakapan
diselingi lelucon yang dapat menimbulkan kegembiraan dan kesegaran. Tetapi
yang harus dihindari ialah membuah bahan olokan itu orang lain. Biasanya yang
dijadikan olokan itu kelemahan orang lain. Akan lebih buruk lagi yang
diolok-olok itu termasuk salah seorang yang ikut dalam percakapan. Walaupun
maksudnya gurau, tetap saja hal semacam itu tidak boleh, karena tidak ada orang
yang mau dijadikan bahan tertawaan atau bahan olokan.
15. 11
g) Tidak berbicara untuk satu orang.
Kalau yang hadir dalam percakapan atau perbincangan terdiri atas banyak
orang, janganlah menunjukan pembicaraan hanya kepada seorang saja, tetapi
tunjukkanlah kepada semua orang.
h) Tidak bersenda gurau pada teman karib di depan umum.
Memang biasa, kalau dua orang yang bersahabat atau dekat, apalagi teman
lama bersenda gurau bila bertemu. Namun jangan sampai senda gurau itu
dilakukan didekat orang lain atau di depan umum. Kadang-kadang ada orang yang
dengan sengaja melakukan senda gurau di muka orang banyak untuk
memperlihatkan bahwa dia dekat dengan orang itu. Perilaku semacam itu
merupakan perilaku yang tidak baik. Walaupun teman akrab, namun tidak boleh
bergurau tidak pada tempatnya.
i) Tidak menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.
Bila diantara anggota percakapan ada yang tidak mengerti. Jangan
menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila di dalam percakapan yang
lebih dari dua orang ada diantaranya tidak mengerti dengan bahasa yang
digunakan. Untuk itu digunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Biasanya
kalau dua orang sahabat yang sekampung berbincang-bincang akan menggunakan
bahasa kampung halaman mereka. Namun apabila datang orang ketiga dalam
pembicaraan itu, sebaiknya beralih menggunakan bahasa yang dapat dipahami
bersama. Cara semacam ini dinilai sopan, karena ada usaha menghormati teman
mereka yang berasal dari daerah lain.
j) Tidak berbicara tentang kecabulan.
Sebaiknya hindari menyelipkan bahan percakapan yang berisi kecabulan atau
masalah seks, apalagi kalau yang hadir itu terdiri dari beberapa kelompok umur
dan terdiri dari dua jenis kelamin. Hal itu akan lebih sopan kalau kita tidak
menyimpangkan pembicaraan yang bersifat “pornografi” karena besar
kemungkinan ada diantara yang hadir tidak menyukai cara seperti itu.
16. 12
k) Mengambil topik pembicaraan yang disukai oleh sebagian besar peserta
percakapan.
Sebaiknya dalam percakapan yang terdiri dari banyak orang, pilihlah topik
pembicaraan yang menarik perhatian seluruh peserta, jangan memilih topik
pembicaraan yang hanya disukai oleh sebagian kecil anggota percakapan. Bila
yang tertarik atau menyukai topik pembicaran itu hanya sebagian kecil saja, dapat
membuat percakapan berat sebelah dan tidak meriah, karena yang terlibat
jumlahnya terbatas.
l) Tidak menyebutkan budi baik kita.
Perbuatan baik yang pernah kita lakukan kepada orang lain sebaiknya jangan
disebut-sebut dalam percakapan atau di depan umum, apalagi didepan orang yang
pernah kita tolong. Perbuatan itu akan ada pahalanya disisi Tuhan. Orang yang
pernah kita tolong tentu akan ingat dan berterima kasih. Tetapi hal itu
disebut-sebut orang banyak maka akan terlibatlah bahwa kegiatan itu dilakukan
bukan karena ikhlas melainkan untuk memperoleh balasan. Apabila budi baik dan
pertolongan yang ikhlas itu diberikan kepada orang lain, tidak perlu disebut
berulang-ulang.
m) Tidak bergaya sok tahu.
Apabila betul-betul mengetahui atau menguasai suatu masalah lalu kita
jelaskan kepada orang lain yang tidak tahu, hal ini merupakan perbuatan yang
sangat sopan dan terpuji. Tapi apabila ada orang yang menyatakan atau
memberikan keterangan tentang suatu yang sebenarnya dia sendiri tidak
menguasai hal itu sikap semacam ini merupakan penipu diri sendiri dan dapat
menyesatkan orang lain.
Banyak orang yang mempunyai sifat sok tahu dengan percakapan. Dengan
sikap jelek itu dia senantiasa hendak menjelaskan sesuatu hal seolah-olah dia
orang pintar dan banyak ilmu. Padahal tidak demikian. Sebaiknya sikap semacam
ini dihilangkan karena dapat merugikan orang lain dan merusak nama baik
sendiri.
17. 13
n) Tidak membicarakan paham politik atau agama di depan pembicaraan
yang pesertanya berbeda paham dan agama.
Boleh saja kita menggunakan topik pembicaraan tentang paham politik atau
agama, apabila peserta percakapan itu terdiri dari satu paham atau agama yang
sama. Tapi kalau dalam percakapan itu terdapat orang berbeda paham atau agama,
sebaiknya jangan memilih topik percakapan tentang paham politik atau agama.
Bila hal itu dibicarakan akan dapat merusak orang yang tidak sepaham dan
berbeda agama dengan kita. Biasanya pembicaraan mengenai itu cenderung
bersifat subjektif dan berat sebelah. Hal itu dapat merusak perasaan yang lain.
Topik percakapan yang menyangkut paham aliran politi, agama, atau ras sangat
sensitif sebaiknya dipilih suasana yang cocok untuk membicarakan hal atau topik
ini.
o) Tidak bersikeras dengan pendapat sendiri.
Dalam percakapan, tidak baik kalau kita berpendapat bahwa jalan pikiranlah
yang paling benar. Kita tidak boleh mengotot agar lawan bicara kita menerima
mentah-mentah pendapat atau pikiran kita. Walaupun pendapat kita itu benar,
namun kita jangan bersikeras untuk membeberkannya dan menyalahkan pendapat
lawan bicara. Harus disadari bahwa tidak ada suatu pendapat atau pandangan yang
selalu benar.
Berbicara tidak sopan.
Pada dasarnya sikap yang dinilai tidak sopan di dalam suatu percakapan ialah
sikap yang berlawanan dengan sikap sopan. Kalau kita menerapkan sikap sopan,
menghindari sikap tidak sopan atau sebaliknya. Bila kita mampu menghindari hal
tersebut, mudah-mudahan kita menjadi anggota percakapan yang diterima oleh
setiap pendengar yang hadir memang tidak mudah melakukannya. Tetapi kita
harus berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan dan menghindarkan aturan
tersebut.
RUBRIK PENILAIAN SISWA
Aspek Penilaian Nilai
18. 14
1. Ketepatan ucapan (lafal)
2. Penempatan tekanan, nada, jeda, dan durasi
3. Pemilihan diksi
4. Ketepatan sasaran pembicaraan dan kesediaan
menghargai pendapat orang lain
5. Sikap wajar, tenang, dan tidak kaku
6. Gerak-gerik, mimik yang tepat, dan pandangan mata
7. Kelancaran
8. Kenyaringan suara
9. Relevansi/penalaran, kreativitas, dan keruntutan
10. Penguasaan topik
Jumlah
Skor maksimal = 100
Perhitungan nilai akhir:
Nilai akhir pemerolehan skor: skor minimal= x skor ideal (100) = .....
2.2 Prosedur Berbicara.2
Prosedur adalah rangkaian tata pelaksanaan kegiatan yang diatur secara
beruutan, sehingga terbentuk urutan kegiatan secara bertahap dalam
menyelesaikan suatu tujuan. Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, seorang
pembicara harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Persiapan ini menyangkut
persiapan pokok pembicaraan yang akan dipilih dan hal – hal yang berhubungan
dengan kelengkapan bahan pembicaraan tersebut.
1. Memilih Topik Pembicaraan.
2 http://19putriyuniar.blogspot.com/2014/09/prosedur-dan-metode-berbicara.html
19. 15
Topik pembicaraan merupakan salah satu penunjang keefektifan berbicara.
Memilih topik pembicaraan ini merupakan kegiatan yang pertama sekali
dilakukan. Memilih topik berarti memilih apa yang akan menjadi pokok
pembicaraan. Topik diperoleh dari berbagai sumber, yaitu pengalaman,
pengamatan, pendapat penalaran, dan khayalan. Topik-topik ilmiah bersumber
dari pengalaman, pengamatan, dan penalaran.
Dalam memilih topik terutama dalam pembicaraan, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan :
a. Topik yang dipilih hendaknya menarik untuk dibicarakan. Topik yang
menarik akan menimbulkan kegairahan dalam berbicara. Hal ini juga merupakan
modal untuk menarik pendengar. Pilihan topik yang menarik merupakan modal
utama dalam keberhasilan berbicara. Topik ini akan lebih menarik apabila :
Merupakan maslah yang menyangkut persoalan bersama
Merupakan jalan keluar dari suatu persoalan yang tengah dihadapi
Mengandung konflik pendapat
Tidak melampaui daya tangkap pendengar, sebaliknya tidak terlalu mudah
untuk daya tangkap intelektual pendengar.
Masalah yang dibicarakan hendaknya dapat diselesaikan dalam waktu yang
disediakan.
b. Topik jangan terlalu luas dan jangan pula terlalu sempit. Topik yang terbatas
akan memudahkan kita mencari informasi, sehingga masalah dapat betul-betul
dikuasai dalam hal ini akan menumbuhkan kepercayaan pada diri pembicara.
c. Topik yang dibahas hendaknya ada manfaatnya bagi pendengar, baik untuk
menambah ilmu pengetahuan atau yang berkaitan dengan profesi.
d. Janganlah mengambil topik yang sama sekali tidak diketahui, bicarakanlah
topik yang diketahui dengan baik. Sehingga dapat merangsang pendengar.
Apabila topik telah ditemukan, seperti yang sudah diuraikan, topik itu harus
dibatasi. Topik yang terlalu luas tidak akan memberi kesempatan kepada kita
20. 16
untuk membahasnya secara mendalam, apalagi waktu untuk berbicara terbatas.
Sebaliknya topic yang sempit akan bersifat sangat khusus dan tidak banyak
manfaatnya bagi pendengar, kecuali kalau tujuannya hanya untuk melaporkan
sesuatu.
2. Menentukan Tujuan.
Membatasi topik dengan sendirinya belum membatasi maksud pembicaraan.
Oleh sebab itu, harus pula dirumuskan tujuannya. Perumusan tujuan ini akan
memberikan gambaran atau perencanaan menyeluruh yang akan mengarahkan
pembicara dalam menentukan atau memilih materi yang sesuai. Kesadaran kita
akan tujuan selama proses pembicaraan, akan menjaga keutuhan pembicaraan.
Pembicaraan tidak akan menyimpang kepada hal-hal yang tidak berhubungan
dengan pokok-pokok pembicaraan.
3. Mengumpulkan Bahan.
Jika tujuan sudah dirumuskan, tugas selanjutnya adalah mencari bahan atau
materi yang diperlukan. Yang dimaksud dengan bahan ialah semua informasi atau
data yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Bahan tersebut mungkin berupa
contoh-contoh, pengembangan, sejarah kasus, fakta, hubungan sebab-akibat,
pengujian atau pembuktian, angka-angka, kutipan-kutipan, dan lain sebagainya
yang dapat membantu pengembangan gagasan.
Bahan-bahan yang diperoleh dari berbagai sumber, sebaiknya dicatat dalam
kartu-kartu informasi. Kartu informasi ini sebaiknya dibuat dari kertas yang agak
tebal. Dalam kartu ini dicantumkan informasi dan sumber informasi. Kalau
sumbernya buku, cantumkan pengarang, judul buku, data penerbit, halaman,
kutipan atau catatan. Dalam hal ini, kartu-kartu informasi dapat menolong kita
mengingatkan bahan yang dibicarakan, misalnya dalam berdiskusi.
4. Menyusun kerangka.
Langkah terakhir dalam tahap persiapan ini adalah menyusun kerangka.
Dalam hal ini tujuan dan bahan penulisan menentukan bentuknya. Menyusun
kerangka berarti memecah topik kedalam subtopik dan mungkin selanjutnya
kedalam sub-subtopik yang lebih kecil. Sebelum menyusun kerangka yang lebih
21. 17
terperinci, kita dapat membuat kerangka kasar. Kemudian baru dipikirkan
perinciannya.
Kerangka ini menjadi pedoman bagi kita dalam berbicara. Sehingga dapat
berbicara sistematis. Kalau sebuah pembicaraan memerlukan persiapan secara
tertulis, misalnya dalam bentuk makalah, maka kerangka ini perannya sama
dengan menulis. Kerangka menjadi pedoman bagi penulis atau pembicara.
Dengan adanya kerangka pembicaraan akan terarah dan tersusun secara sistematis.
Apalagi bagi moderator dalam memberikan pengarahan.
22. 18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika berasal dari Bahasa Yunani ETHOS (jamak ta etha) yang berarti
kebiasaan. Selain etika dikenal juga Moral atau Moralitas yang dari bahasa Latin
MOS (jamak mores) yang juga berarti kebiasaan. Etika berbicara diantaranya
yaitu berbicara harus menatap lawan bicara, suara harus terdengar jelas,
gunakanlah tata bahasa yang baik dan benar, dam jangan menggunakan nada yang
tinggi. Dalam bukunya “sopan santun berbicara dan menyimak” M. Atar Semi
mengatakan setidaknya ada lima belas perilaku yang dinilai sopan dalam
berbicara. Perilaku tersebut ialah: adanya kesabaran, tidak menunjukkan rasa jemu,
tidak berbicara terus menerus, tidak membicarakan diri sendiri, tidak
menceritakan keburukan orang lain, tidak baik mengolok-olok orang lain dalam
pembicaraan, tidak berbicara untuk satu orang saja, tidak bersenda gurau pada
teman karib di depan umum, tidak menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing,
tidak berbicara tentang kecabulan, mengambil topik pembicaraan yang disukai
oleh sebagian besar peserta percakapan, tidak menyebutkan budi baik kita, tidak
bergaya sok tau, tidak membicarakan paham politik atau agama didepan
pembicaraan yang pesertanya berbeda paham dan agama, tidak bersikeras dengan
pendapat sendiri.
Prosedur adalah rangkaian tata pelaksanaan kegiatan yang diatur secara
beruutan, sehingga terbentuk urutan kegiatan secara bertahap dalam
menyelesaikan suatu tujuan. Prosedur kegiatan berbicara yaitu : Memilih topik
pembicaraan, menentukan tujuan, mengumpulkan bahan dan menyusun kerangka.