2. Sikap bahasa adalah posisi
mental atau perasaan
terhadap bahasa sendiri
atau bahasa orang lain
(Kridalaksana, 2001:197).
3. Dalam bahasa Indonesia kata sikap
dapat mengacu pada bentuk
tubuh, posisi berdiri yang tegak,
perilaku atau gerak-gerik, dan
perbuatan atau tindakan yang
dilakukan berdasarkan pandangan
(pendirian, keyakinan, atau
pendapat) sebagai reaksi atas
adanya suatu hal atau kejadian
4. Sikap merupakan fenomena kejiwaan,
yang biasanya termanifestasi dalam
bentuk tindakan atau perilaku. Sikap
tidak dapat diamati secara langsung.
Untuk mengamati sikap dapat dilihat
melalui perilaku, tetapi berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa apa
yang tampak dalam perilaku tidak selalu
menunjukkan sikap. Begitu juga
sebaliknya, sikap seseorang tidak
selamanya tercermin dalam perilakunya.
5. Keadaan dan proses terbentuknya sikap
bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses
terbentuknya sikap pada umumnya.
Sebagaimana halnya dengan sikap, maka
sikap bahasa juga merupakan peristiwa
kejiwaan sehingga tidak dapat diamati
secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati
melalui perilaku berbahasa atau perilaku
tutur. Namun, dalam hal ini juga berlaku
ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur
mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula
sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya
tercermin dalam perilaku tutur.
6. Dibedakannya antara bahasa (langue)
dan tutur (parole) (de Saussure, 1976),
maka ketidaklangsungan hubungan
antara sikap bahasa dan perilaku tutur
makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap
bahasa cenderung mengacu kepada
bahasa sebagai sistem (langue),
sedangkan perilaku tutur lebih
cenderung merujuk kepada pemakaian
bahasa secara konkret (parole).
7. Lambert (1967) (dalam Chaer dkk. 2010: 198) menyatakan
bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu
Kognisi, komponen ini mencakup tingkat pemahaman,
keyakinan terhadap berbagai konsep bahasa Indonesia yang
menjadi objek, dan penilaian yang melibatkan pemberian
kualitas disukai atau tidak disukai, diperlukan atau tidak
diperlukan, baik atau buruk terhadap bahasa Indonesia
yang menjadi objek sikap
Afeksi, komponen ini mencakup tingkat perasaan tertentu
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan objek bahasa
Indonesia, seperti hal yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan, disukai atau tidak disukai, termasuk dalam
cakupan ini adalah rasa mantap, rasa tergerak, rasa kagum,
rasa bangga, rasa termotivasi, dan sejenisnya
Konasi, komponen ini mencakup semua kesiapan atau
kecenderungan perilaku untuk memberikan tanggapan
terhadap bahasa Indonesia yang menjadi objek sikap,
seperti mencakup tinggi rendahnya kecenderungan untuk
membantu, memuji, mendukung, menghindari hal yang
mengganggu, memfasilitasi, dan sejenisnya.
8. Edward (1957) mengatakan bahwa sikap
hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak
dominan, dalam menentukan perilaku.
Oppenheim (1976) dapat menentukan perilaku
atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967)
berdasarkan penelitiannya memberi
kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh
empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma
sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin
terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan
bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling
kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang
paling lemah. Jadi, jelas bahwa sikap bukan
satu-satunya faktor yang menentukan perilaku,
tetapi yang paling menentukan perilaku adalah
kebiasaan.
9. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan
tiga ciri sikap bahasa yaitu:
Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang
mendorong masyarakat suatu bahasa
mempertahankan bahasanya dan apabila
perlu mencegah adanya pengaruh bahasa
lain.
Kebanggaan Bahasa (Language Pride)
yang mendorong orang mengembangkan
bahasanya dan menggunakannya sebagai
lambang identitas dan kesatuan
masyarakat.
Kesadaran adanya norma bahasa
(Awareness Of The Norm) yang
mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun
merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu
kegiatan menggunakan bahasa (language
use).
10. Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat
yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh
adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan
atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial
dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Namun, menurut Lambert (1976)
motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua
hal, yaitu:
Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi
instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-
bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak
dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang
tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan
bahasa Jepang.
Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat
yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif).
Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-
bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai
kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya
digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada
kelompok etnik tertentu.
11. Selain itu, penggunaan bahasa asing yang
dicampurkan ke dalam bahasa Indonesia harus
diubah dengan mengganti istilah asing tersebut
dengan terus mencari padanan katanya. Hal ini
sesuai dengan yang dibuat oleh Komite Bahasa
yang menggariskan kebijakannya mengenai
pengembangan kosakata bahasa Indonesia
dengan ketentuan:
1. mencari kata dari bahasa Indonesia sendiri
2. jika tidak ada, mengambil dari bahasa
daerah
3. jika masih tidak ada, mengambil dari
bahasa Asia
4. jika tetap tidak ada, barulah mengambil dari
bahasa asing, khususnya Inggris
12. Menurut Pateda (1987), seorang pemakai bahasa
dikatakan bersikap positif apabila derajat bertindaknya
meningkat terhadap bahasa-bahasanya. Rasa tanggung
jawab seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu
bahasa ditandai beberapa hal sebagai berikut:
1. Selalu berhati-hati menggunakan bahasa tersebut.
2. Tidak merasa senang melihat orang memakai
bahasanya secara serampangan.
3. Memperingatkan dan mengoreksi pemakai bahasa lain
kalau ternyata membuat kekeliruan.
4. Perhatiannya tertarik kalau orang menjelaskan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa.
5. Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa
tersebut.
6. Bertanya kepada ahlinya kalau menghadapi persoalan
bahasa.
13.
14. Beberapa bentuk sikap negatif yang masih terjadi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain:
1. Bangga memperlihatkan kemahirannya berbahasa
Inggris, meskipun penguasaan bahasa Indonesianya
masih kurang.
2. Merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena
telah menguasai bahasa asing dengan fasih, sekalipun
penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna.
3. Merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing,
tetapi tidak pernah merasa malu apabila tidak
menguasai bahasa Indonesia.
4. Menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah
menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
15.
16. Adanya sikap negatif terhadap bahasa Indonesia
dapat diubah menjadi sikap bahasa Indonesia
yang positif. Hal ini selaras yang dikemukakan
Halim (dalam Chaer, 2010) bahwa cara yang
dapat ditempuh untuk mengubah sikap negatif
itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah
dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan
atas dasar pembinaan kaidah dan norma
bahasa, di samping norma-norma sosial dan
budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa
yang bersangkutan. Namun, keberhasilan
tersebut bergantung pada motivasi belajar yang
banyak ditentukan oleh sikap terhadap bahasa
yang sedang dipelajarinya.
17. Penggunaan Bahasa Indonesia
Pasal 26
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
dokumen resmi negara.
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
pidato resmi Presiden, Wakil Presiden,
dan pejabat negara yang lain yang
disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Pasal 29
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional.
(2) Bahasa pengantar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan bahasa asing untuk tujuan
yang mendukung kemampuan berbahasa
asing peserta didik.
(3) Penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk satuan pendidikan
asing atau satuan pendidikan khusus yang
mendidik warga negara asing.
Pasal 30
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
pelayanan administrasi publik di instansi
pemerintahan.
Pasal 31
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam nota kesepahaman atau perjanjian
yang melibatkan lembaga negara, instansi
pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang melibatkan pihak asing ditulis juga
dalam bahasa nasional pihak asing
tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Pasal 32
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam forum yang bersifat nasional atau
forum yang bersifat internasional di
Indonesia.
(2) Bahasa Indonesia dapat digunakan
dalam forum yang bersifat internasional
di luar negeri.
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam komunikasi resmi di lingkungan
kerja pemerintah dan swasta.
(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga
pemerintah dan swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang belum
mampu berbahasa Indonesia wajib
mengikuti atau diikutsertakan dalam
pembelajaran untuk meraih kemampuan
berbahasa Indonesia.
Pasal 34
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
laporan setiap lembaga atau
perseorangan kepada instansi
pemerintahan.
Pasal 35
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di
Indonesia.
(2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian
khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau
bahasa asing.
Pasal 36
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama
geografi di Indonesia.
(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi.
(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama
bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau
permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan,
merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki
oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia.
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah
atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah,
budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Pasal 37
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
informasi tentang produk barang atau jasa
produksi dalam negeri atau luar negeri yang
beredar di Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau
bahasa asing sesuai dengan keperluan.
Pasal 38
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam rambu umum, penunjuk jalan,
fasilitas umum, spanduk, dan alat
informasi lain yang merupakan
pelayanan umum.
(2) Penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat disertai bahasa daerah dan/atau
bahasa asing.
Pasal 39
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam informasi melalui media massa.
(2) Media massa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan bahasa daerah atau
bahasa asing yang mempunyai tujuan
khusus atau sasaran khusus.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sampai dengan Pasal 39 diatur dalam
Peraturan Presiden.
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan
Muslihah, N. N. (2015). Menumbuhkan Sikap Positif terhadap
Bahasa Indonesia melalui Pemahaman Makna Sumpah
Pemuda.
Mansyur, U. (2018). Sikap Bahasa dan Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Perguruan Tinggi.
Pusat Bahasa Al Azhar. (tanpa tahun). Sikap Bahasa
(Language Attitude). Dikases dari
https://pusatbahasaalazhar.com/hakikat-hakiki-
kemerdekaan/sikap-bahasa-language-attitude/