Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Perumahan sebagai Hak Asasi Manusia
1. Sekilas tentang
Perumahan sebagai Hak Asasi Manusia
Oleh Oswar Mungkasa*
Pembangunan perumahan di Indonesia telah berlangsung lama bahkan jauh
sebelum era kemerdekaan. Namun hasilnya masih belum dapat menuntaskan „backlog‟,
yang saat ini telah mencapai sekitar 8 juta rumah tangga yang belum menempati rumah
yang layak. Ditengarai salah satu faktor penyebabnya adalah masih kurangnya pemahaman
tentang pentingnya perumahan. Bahkan perumahan merupakan bagian dari hak asasi
manusia belum banyak yang menyadarinya. Tulisan ini merupakan bagian dari upaya
advokasi dengan mencoba menjelaskan konsep perumahan sebagai hak asasi manusia.
Dimulai dengan konsep hak asasi itu sendiri, kemudian perumahan sebagai bagian dari hak
asasi, dilengkapi dengan sejauh mana internalisasinya dalam peraturan di Indonesia.
Pengertian dan Ciri Pokok Hakikat HAM
HAM didefinisikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya, yang diberikan langsung oleh Tuhan. Jika hak tersebut terabaikan maka manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir
hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan
ditegakkan.
Beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu (i) HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun
diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis; (ii) HAM berlaku untuk semua
orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul
sosial dan bangsa; (iii) HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk
membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah
negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih,
2003).
Pengakuan Internasional
The International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya
disingkat CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM
Internasional (The International Bill of Rights) dengan maksud tidak lain adalah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia
seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan hidup sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang
paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang
dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja, makan, rumah, kesehatan,
pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia (available) bagi setiap
orang.
Pasal 11 Ayat (1) CESCR menyatakan bahwa The States Parties of the present
Covenant recognize the right of everyone to an adaquate standard of living for himlself and
his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continous improvement
of living conditions. The State Parties will take appropiate steps to ensure the realization of
2. this right, recognizing to this effect essential importannce of international co-operation based
on free consent. Terjemahan bebasnya adalah negara-negara Pihak pada Kovenan ini
mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan
keluarganya, termasuk kecukupan pangan, pakaian, perumahan yang layak dan atas
perbaikan kondisi penghidupan yang bersifat terus menerus. Negara-negara Pihak akan
mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan perwujudan hak ini.
Implikasi dari ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR di atas adalah bahwa bagi setiap
negara yang menjadi peserta atau meratifikasi kovenan ini (termasuk Indonesia), memiliki
kewajiban untuk mengakui hak setiap warga negara atas standar hidup yang layak yaitu
meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan perumahan serta senantiasa meningkatkan
perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus. Bahwa kata “recognize” atau
mengakui atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan standar hidup yang layak baik
kecukupan makanan, pakaian, dan perumahan tersebut memiliki makna membebani
kewajiban kepada negara yaitu “the obligation to respect” (kewajiban negara untuk
menghormati), “the obligation to protect” (kewajiban untuk melindungi), “the obligation to
promote (kewajiban untuk mensosialisasikan), “the obligation to fullfill” (kewajiban untuk
memenuhi) hak-hak yang terkandung dalam kovenan CESCR melalui langkah-langkah yang
nyata (Cekli Setya Pratiwi, 2009).
Konteks Indonesia
Sementara itu untuk menunjukkan penghargaan bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lain-
nya mengenai hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia secara sadar bahkan telah
mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia. Di samping itu, pengaturan mengenai hak asasi
manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai
hak asasi manusia.
Kita juga patut bersyukur bahwa jauh sebelumnya, konsep hak asasi manusia
sebenarnya telah tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia mulai dari
UUD 1945 yang awal sampai pada UUD 1945 amandemen. Khusus pada Perubahan Kedua
UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000, terdapat beberapa pasal
terkait HAM yang mengalami perubahan dan penambahan. Pada perubahan kali ini, UUD
1945 dinilai lebih rinci dalam mengatur dan menjamin perlindungan HAM dibanding
sebelumnya. Lebih jelasnya terkait dengan hak atas rumah, UUD 1945 khususnya Pasal
28H Ayat (1) disebutkan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Walaupun pemahaman „hak bertempat tinggal‟ bisa
saja sedikit berbeda, lebih luas atau lebih sempit, dibanding „hak atas perumahan”, yang
diterjemahkan sebagai seseorang dapat saja menghuni rumah meskipun dia tidak memiliki
rumah tersebut. Dalam kondisi sosial masyarakat yang komunal seperti di Indonesia, masih
banyak ditemui rumah tangga yang tinggal bersama dengan keluarga besarnya.
Konsep yang ada dalam UUD 1945 Pasal 28H tersebut sebenarnya hanya
mengulang ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang memang lebih dulu dibuat (satu tahun sebelum amandemen Pasal 28
dilakukan). Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, khususnya Bagian Kesatu Hak
Untuk Hidup Pasal 9 Ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan bahwa (1) Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya;
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia sejahtera, lahir dan batin;
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara secara
3. jelasnya yang mengacu pada perumahan adalah pasal 40 yang menyatakan setiap orang
berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Sebenarnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman masih lebih maju. Disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi dan teratur. Bahkan diatur lebih jauh lagi tidak hanya hak tetapi
juga kewajibannya, yaitu dalam ayat 2 disebut setiap warga negara mempunyai kewajiban
dan tanggungjawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan
permukiman. Jelas bahwa rumah yang layak menjadi hak setiap warga negara Indonesia.
Bahkan sejalan dengan perkembangan dunia internasional, pemerintah Indonesia
telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU
Nomor 11 Tahun 2005 sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk
kebutuhan akan perumahan.
Tanggungjawab Pemerintah
Berdasar komentar umum Nomor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya bahwa hak atas rumah sebagaimana hak asasi lainnya menghasilkan tiga tipe
kewajiban bagi negara yaitu kewajiban menghargai (to respect), kewajiban melindungi (to
protect), dan kewajiban memenuhi (to fulfil).
Kewajiban menghormati. Kewajiban ini mengharuskan negara tidak mengganggu baik
langsung maupun tidak langsung keberadaan hak atas rumah. Kewajiban termasuk
misalnya tidak membatasi akses kepada siapapun.
Kewajiban melindungi: mengatur pihak ketiga. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk
menghalangi campur tangan pihak ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas rumah.
Pihak ketiga termasuk individu, kelompok, perusahaan dan institusi yang dibawah kendali
pemerintah. Kewajiban termasuk mengadopsi regulasi yang efektif.
Kewajiban memenuhi: fasilitasi, promosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan
pemerintah mengambil langkah untuk memenuhi hak atas rumah.Hal ini sejalan dengan apa
yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat (4) bahwa pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara khususnya pemerintah. Bagaimana bentuk
tanggungjawabnya?. Hal tersebut diatur dalam pasal 27 Undang Undang Nomor 4 tahun
1992, yang menyebutkan bahwa pemerintah memberikan bimbingan, bantuan, dan
kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam
pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas
permukiman.
Bagaimana dengan pemerintah daerah? Sebenarnya penentu utama tercapainya
hak atas rumah sebagai hak asasi manusia berada ditangan pemerintah daerah. Komentar
Umum PBB Nomor 15 menegaskan bahwa pemerintah pusat harus memastikan bahwa pe-
merintah daerah mempunyai kapasitas baik sumber daya keuangan maupun sumber daya
manusia. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun ......... tentang
pembagian Kewenangan antara .....................
Indikator Pemenuhan Hak
Komite Hak Ekonomi Sosial Budaya memberikan penjelasan terhadap ketentuan
Pasal 11 CESCR tentang apa yang dimaksud ” adequate housing”. The Committee has
defined the term ”adequate housing” to the comprise security of tenure, availability of
services, affortability, habitability, accessibility, location and cultural adequacy.
Dengan demikian, terhadap kewajiban negara khususnya Pemerintah baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah
setidak-tidaknya dapat diukur menggunakan 6 (enam) indikator yaitu (1) sifat kepemilikan
4. haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanannya (availability of services), (3)
keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability), (4) kelayakan sebagai tempat
tinggal (habitability),(5) adanya peluang bagi setiap orang (accessibility), serta (6) kesiapan
lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy). Oleh karena itu, peraturan
daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak rumah atas
warga daerahnya tidak boleh sekedar memperhatikan satu atau dua indikator saja dari
keenam indikator di atas, melainkan seharusnya memperhatikan pemenuhan semua
indikator.
Agenda ke Depan
Pada kenyataannya, tidak mudah untuk memenuhi kewajiban pemerintah tersebut.
Sejumlah faktor dibutuhkan untuk memastikan rumah sebagai hak asasi terpenuhi. Pertama,
pemerintah harus memiliki regulasi dan intitusi yang efektif, termasuk otoritas publik yang
mempunyai mandat jelas yang dibekali sumber dana dan sumber daya manusia memadai.
Kedua, informasi dan pendidikan. Ini dibutuhkan untuk memastikan pembangunan
perumahan yang transparan dan bertanggungjawab. Masyarakat harus mengetahui dan
memahami hak mereka. Tentunya sebaliknya juga mereka harus tahu kewajibannya. Di lain
pihak, otoritas publik juga harus mengetahui kewajibannya. Ketiga, dialog multi pihak. Dialog
ini melibatkan berbagai pihak mulai dari swasta, LSM, masyarakat miskin, yang dapat
berkontribusi dalam proses perencanaan, pembangunan dan pengelolaan perumahan. Hal
ini dapat menjadikan otoritas publik lebih bertanggungjawab dan transparan. Keempat,
menjadikan pemerintah daerah sebagai ujung tombak. Seringkali aktor utama dari pem-
bangunan perumahan terlupakan. Berdasarkan regulasi yang ada, pemerintah daerah lah
yang saat ini menjadi pihak yang bertanggungjawab. Menjadi pertanyaan penting, sejauh
mana konsep rumah sebagai hak asasi manusia telah dipahami oleh pengambil keputusan
di daerah. Jika itu saja belum terlaksana, jangan berharap banyak bahwa resolusi PBB
tersebut akan berdampak bagi pengurangan angka backlog di Indonesia. Kelima,
internalisasi konsep rumah sebagai hak asasi manusia kedalam dokumen perencanaan
pemerintah daerah, semisal rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerh (RPJMD).
*bekerja di Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas
Tulisan ini dimuat di Majalah Inforum Edisi I Tahun 2010