selama ini skema yang diperkenalkan adalah 3 R (Reuse, Reduce Recycle) kemudian dengan berkembangnya konsep ekonomi sirkuler maka berkembang pula skema lebih baru yang dikenal sebagai upcycling.
1. Sudah Saatnya Mengarusutamakan Upcycling
Oswar Mungkasa
Perubahan iklim sepertinya telah menjadi fenomena yang tidak terhindarkan sampai saat
ini. Upaya yang dilakukan belum banyak membawa hasil. Walaupun demikian tidak ada salahnya
tetap berupaya semaksimal mungkin.
Selama ini salah satu upaya pengurangan dampak perubahan iklim dalam konteks
pengelolaan sampah banyak berfokus pada kegiatan 3R atau Reuse, Reduce, dan Recycle.
Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama
ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah.
Sementara Recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk
baru yang bermanfaat. Skema 3R dipandang sebagai upaya yang lebih mudah dilakukan bahkan
oleh masyarakat sekalipun.
Secara umum, tahapan 3R adalah didahului dengan penggunaan kembali, pengurangan
produk sampah (Reduce), jika penggunaan kembali dan pengurangan sampah sudah tidak dapat
dilakukan baru dilakukan langkah daur ulang. Sehingga sebenarnya dalam upaya pengelolaan
sebisa mungkin untuk menggunakan Reduce atau Reuse terlebih dulu.
Namun dalam perkembangannya, saat ini mulai diperkenalkan pendekatan baru yang
melengkapi skema 3R, yaitu upcycling. Istilah upcycling sendiri tercatat mulai digunakan pada
tahun 1994 oleh Thornton Kay dalam artikelnya di SalvoNEWS yang mengutip Reiner Pilz,
insinyur asal Jerman. Lalu tahun 1999 Upcycling keluar sebagai judul buku Gunter Pauli sebagai
revisi edisi awal dari buku Upsizing yang dicetak tahun 1998.
Reiner Pilz memaknai upcycling sebagai proses transformasi barang yang sudah tidak
terpakai menjadi sesuatu yang lebih berguna dan seringkali bersifat lebih bagus daripada awalnya.
Tujuannya untuk mencegah pemborosan materi dengan memanfaatkan materi yang sudah ada.
Selain itu, juga berguna untuk mengurangi berbagai polusi yang dihasilkan dari proses produksi,
seperti pencemaran udara ataupun air (www.cleanomic.co.id). Upcycling juga merupakan langkah
nyata dalam mengurangi produksi sampah
Terkesan bahwa upcycling mirip dengan daur ulang (recycle). Namanya memang mirip
tapi pada dasarnya berbeda. Daur ulang (recycle), berupa upaya menjadikan barang yang tidak
2. digunakan menjadi barang lain yang berguna. Proses daur ulang, melibatkan proses penghancuran
barang kemudian dibentuk lagi menjadi barang baru. Material sampah seperti kertas, plastik atau
kaca harus mengalami perubahan bentuk. Kertas harus dihancurkan, dilelehkan menjadi bubur
kertas, dikeringkan baru bisa digunakan. Sementara plastik dan kaca bahkan lebih rumit.
Sedangkan upcycling, tanpa proses penghancuran atau peleburan barang tetapi mengubah
barang awal menjadi menjadi barang baru dengan bentuk yang bisa sedikit berbeda atau berbeda
sama sekali dengan nilai yang lebih tinggi. Upcycling lebih sederhana dari daur ulang karena lebih
mengedepankan kreativitas untuk memungsikan ulang benda tidak terpakai.
Beberapa contoh sederhana dari upcycling adalah memanfaatkan pakaian lama tapi masih
layak pakai menjadi pakaian yang lebih berkualitas dari nilai aslinya. Bola basket yang tidak
terpakai lagi dapat dibelah dua dan dimanfaatkan kembali menjadi wadah tanaman. Ranting kering
tidak perlu dibuang atau dibakar tapi dengan kreativitas tertentu dapat dijadikan gantungan untuk
aksesoris.
Pada dasarnya skema upcycling, merupakan bagian dari arus utama baru yang dikenal
sebagai Ekonomi Sirkular, yaitu sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional (buat, gunakan,
buang), ketika pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin,
menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan
bahan pada setiap akhir umur layanan
(www.wrap.org.uk).
Pada sistem ekonomi sirkular,
penggunaan sumber daya, sampah, emisi, dan
energi terbuang diminimalisir dengan menutup
siklus produksi-konsumsi dengan
memperpanjang umur produk, inovasi desain,
pemeliharaan, penggunaan kembali,
remanufaktur, daur ulang ke produk semula (recycling), dan daur ulang menjadi produk lain
(upcycling) (Wikipedia).
Secara skematis, perbedaan antara kondisi tanpa 3R, dengan daur ulang dan
sirkular/upcyling dapat di lihat pada gambar di atas. Pada konsumsi linier, barang dipergunakan
sekali pakai dan kemudian dibuang menjadi sampah, sementara pada daur ulang barang
https://upcyclemystuff.com/what-is-upcycling/
Konsumsi linier Konsumsi Sirkular
Konsumsi Daur Ulang
3. dipergunakan berkali kali tetapi akhirnya menjadi sampah juga. Berbeda dengan upcycling, yang
meniadakan sampah.
Dengan demikian, skema upcycling akan menjadi pilihan yang jauh lebih baik dari 3R
terkait diet karbon yang berujung pada upaya yang lebih efektif dalam penanganan perubahan
iklim.
Sebenarnya saat ini telah banyak bermunculan usaha di berbagai bidang yang menjadikan
upcycling basis produknya. Sebagai contoh, di dunia fashion, telah banyak perusahaan yang telah
secara jelas mengusung upcycling. Hal ini terlihat dari labelnya yang memberi informasi bahwa
bahannya berasal dari kain bekas pakai lainnya atau juga dari bahan lain seperti bahan kaca atau
plastik. Bahkan perusahaan besar pun seperti H&M atau Zara telah ikut bergabung. Dengan
demikian mulai terwujud kecenderungan baru bahwa menjaga lingkungan juga bisa melalui gaya
berpakaian (fashionable).
Selain dunia mode, bidang seni juga sudah banyak yang memanfaatkan konsep upcycling.
Lukisan dari bahan bekas pakai sudah bukan hal baru. Hasil kreasi seni instalasi bahkan banyak
memanfaatkan barang bekas pakai. Banyak lagi contoh yang lain, seperti usaha produk lampu yang
terbuat dari kristal atau logam daur ulang dan juga tekstil daur ulang dari tekstil lama yang tidak
dipakai lagi.
Jangan berpikir bahwa upcycling ini hanya cocok bagi usaha besar. Tentu saja tidak.
Bahkan dengan adanya pandemi Covid-19, kegiatan upcycling ini bisa menjadi salah satu jalan
keluar mengusir kebosanan. Misalkan seperti menjahit kembali pakaian yang rusak menjadi
barang baru, entah itu sarung bantal, atau sejenisnya.
Dengan demikian, upcycling sebagai bagian dari model ekonomi sirkuler memungkinkan
kita mengurangi konsumsi bahan, sampah, dan emisi dan pada saat yang sama mempertahankan
pertumbuhan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Secara ringkas, dapat dikatakan upcycling
mampu menjawab tantangan perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun disadari sepenuhnya bahwa upcycling ini belum termanfaatkan secara optimal.
Kegiatan yang berlangsung masih bersifat individual dan sporadis. Walaupun sebenarnya
Indonesia telah mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam Visi Indonesia 2045, dan telah
mengintegrasikannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020 - 2024.
4. Dibutuhkan upaya khusus agar kemudian upcycling dapat menjadi arus utama dalam
pengelolaan sampah di Indonesia. Untuk itu, tentunya beberapa langkah strategis perlu dilakukan
diantaranya
(i) Penyepakatan padanan kata dalam Bahasa Indonesia dari upcycling.
(ii) Pengenalan konsep upcycling secara luas termasuk kepada para pengambil keputusan di
pemerintahan.
(iii) Internalisasi konsep upcycling dalam dokumen pembangunan sampai ke tingkat provinsi,
kabupaten/kota sebagai kelanjutan pencantuman ekonomi sirkular dalam Visi Indonesia
2045 dan RPJMN 2020-2024
(iv) Pembentukan Forum Pemangku Kepentingan Upcycling di berbagai tingkatan mulai
nasional, provinsi sampai kabupaten/kota yang beranggotakan baik pemerintah maupun non
pemerintah (pentahelix)
(v) Penyusunan Grand Design Pengembangan Upcycling sebagai hasil konsensus dan menjadi
acuan para pemangku kepentingan dalam mengarusutamakan upcycling di Indonesia.
Dokumen ini setidaknya mencakup visi, misi, target, kebijakan dan strategi, peta jalan dan
rencana aksi. Penyusunan dokumen dilakukan secara kolaboratif melibatkan beragam
pemangku kepentingan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung.
(vi) Perubahan regulasi yang memungkinkan barang upcycling dapat mengikuti proses lelang
barang dan jasa,
(vii) Kerjasama dengan berbagai negara atau perusahan kampiun upcycling. Termasuk
pembelajaran dari praktik unggulan (best practices).
(viii) Pembangunan pusat upcycling pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang
dapat berfungsi sebagai sumber informasi. Selian itu juga menjadi tempat penyelenggaraan
pelatihan, lokakarya dan pertemuan berbasis masyarakat. Keberadaan pusat ini tidak harus
berdiri sendiri tapi dapat bergabung dengan pusat sejenis yang telah ada.
(ix) Penyelenggaraan kompetisi pada sekolah, universitas, industri, masyarakat umum.
Termasuk juga lomba karya tulis.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan potensi yang besar dari upcycling. Dengan
demikian, keberhasilan dalam mengarusutamakan upcycling dipercaya akan sangat membantu
upaya penanganan dampak perubahan iklim.