Buku ini diterbitkan oleh Waspola bersama dengan Pokja AMPL Nasional pada tahun 2009, sebagai bagian penerapan 'manajemen pengetahuan'. Diharapkan dengan demikian akan terjadi proses berbagi pengetahuan diantara pemangku kepentingan.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Satu Visi Membumikan Kebijakan. Suatu Pembelajaran
1. K etidak berkelanjutannya fungsi sarana yang dibangun
di masyarakat adalah masalah klasik pembangunan air
minum dan penyehatan lingkungan sejak di era tahun 1970.
Hal tersebut sudah seharusnya menjadi pembelajaran bagi
semua pihak untuk melakukan perubahan (reformasi) agar
pembangunan yang dilakukan dapat berguna dan berkelan-
jutan. Pemerintah RI telah menyusun kebijakan bersifat
nasional yang dapat menjadi acuan pelaksanaan pembangu-
nan air minum dan penyehatan lingkungan. Penyusunan
kebijakan tersebut dilaksanakan melalui proyek Indonesia
Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action
Planning atau lebih dikenal sebagai WASPOLA.
Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkun-
gan Berbasis Masyarakat, yang diluncurkan pada tahun 2003
tersebut telah diimplementasikan di 9 provinsi dan 72
kabupaten/kota. Pendekatan komitmen yang ditawarkan,
antara lain melalui penguatan kapasitas mampu mendorong
Kelompok Kerja (Pokja) AMPL menjadi menjadi ujung
tombak dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional
AMPL di daerah. Bagi daerah hal ini menjadi suatu proses
penyegaran kembali dengan cara pandang yang baru. Membangun Komitmen Reformasi
Pembangunan Air Minum dan
Komunikasi yang cair dan intensif menjadi kunci keharmon-
isan antara pusat dan daerah, yang pada akhirnya mewujud-
kan terjadinya sinergi dengan berbagai pihak pemangku
Penyehatan Lingkungan
kepentingan lainnya.
Buku Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ini, pada dasarnya
menyajikan sebuah pembelajaran bagaimana upaya membu-
mikan Kebijakan Nasional menjadi suatu visi bersama. Tak
hanya sekedar menggambarkan proses perubahan Satu Visi Membumikan Kebijakan,
(reformasi), tetapi juga tantangan dan hambatan yang
melingkupinya selama proses “pembumian” Kebijakan Sebuah Pembelajaran
Nasional Pembangunan AMPL. Buku ini juga mengupas
bagaimana pola pikir dan persepsi yang berkembang dari
masing-masing pelaku di daerah, siapa saja yang terlibat,
bagaimana komitmennya, kelembagaan yang mengimple-
mentasikan kebijakan, dukungan dan kontribusi semua pihak
terkait, regulasi yang disediakan, inovasi dan penguatan
kapasitas yang dikembangkan, dukungan penganggaran dan
keberlanjutan implementasinya, baik ditingkat pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
sekaligus pemerintah desa/kelurahan, dan pemangku
kepentingan lain. Semoga dari pembelajaran ini, dapat
menjadi bagian dari upaya pencerahan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan pelayanan
AMPL yang berkelanjutan
2. Membangun Komitmen Reformasi
Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan
Satu Visi Membumikan Kebijakan,
Sebuah Pembelajaran
Diterbitkan oleh:
WASPOLA
Proyek Penyusunan Kebijakan dan Rencana Kegiatan
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
2009
BAPPENAS
3. Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Satu Visi Membumikan Kebijakan,
Sebuah Pembelajaran
Pengarah : Budi Hidayat
Gary Swisher
Supervisor : Sofyan Iskandar
Editor : Oswar Mungkasa
Tim Penulis : Iip D Yahya, Alma Arif, Wiwit Heris
Foto dan Desain : Wiwit Heris dan Agus Santosa
Kontributor : Dormaringan Saragih, Purnomo, Nasthain Gasba,
Nugroho Tomo, Subari , Husein Pasaribu,
Bambang Pujiatmoko, Syarifudin, Agus Priyatna,
Nur Apriatman, Udi Maadi, Ardi Adji
Diterbitkan oleh : WASPOLA
Edisi Pertama : April 2009
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan i
4. KATA PENGANTAR
Atas rahmat dan karuniaNya, akhirnya dokumentasi
pembelajaran dari pengalaman lapangan WASPOLA (Water Supply
and Sanitation Policy Formulation and Action Planning Project) bisa
diselesaikan dengan baik. Disadari bahwa banyaknya masukan
dan saran selama proses penyusunan buku ini, merupakan bentuk
perhatian dan apresiasi dari berbagai pihak terkait proses fasilitasi
di lapangan yang telah berjalan selama empat tahun ini. Untuk
itu terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
gagasan, saran maupun dukungan moril.
ii Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
5. Tulisan disajikan secara ringan, melalui berbagai sumber
informasi, data dan fakta yang diperoleh selama kunjungan
lapangan. Buku ini terdiri dari 5 (lima) bab yang mengupas
bagaimana perjalanan “membumikan” kebijakan, pola pendekatan
fasilitasi, membangun harmonisasi pusat dan daerah, pengalaman
empat daerah dan pembelajaran yang didapat, serta catatan kritis
untuk perbaikan ke depan. Selain itu juga dilengkapi dengan
contoh sukses (best practices) daerah mitra kerja WASPOLA.
Diharapkan dari dokumentasi pembelajaran ini, pembaca bisa
mencermati sejauh mana potret keberhasilan dan kelemahan
pendekatan fasilitasi yang dilakukan.
Buku ini masih jauh dari sempurna, karenanya masukan
dan saran membangun dari semua pihak tentu memberikan
kontribusi bagi perbaikan sehingga menjadikannya lebih bermakna.
Akhir kata, sekecil apapun manfaat yang didapat,
semogalah buku ini mampu menumbuhkan semangat perubahan
dihati pembaca dan menjadi inspirasi pembangunan AMPL yang
lebih baik, terutama pelayanan kepada masyarakat miskin ke
depan.
( Tim Penyusun)
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan iii
6. Didedikasikan kepada mereka, narasumber dan inspirator buku ini.
Fadel Mohammad (Gubernur Provinsi Gorontalo), Winarni Monoarfa (Kepala
Bapppeda Provinsi Gorontalo), Rusman Zakaria (Pokja AMPL Provinsi
Gorontalo), Arto Naue (Ketua DPRD Kabupaten Gorontalo), Isman Uge
(Pokja AMPL Provinsi Gorontalo) dan seluruh masyarakat Desa Olimo’o
Gusmal Dt. Rj. Lelo (Bupati Solok, Sumatera Barat), Hilda Osmiati Urbans
(Ketua DPRD Kabupaten Solok), Gemala Ranti (Pokja AMPL Sumatra Barat),
Mardan ( Pokja AMPL Kabupaten Solok), Ety Herawati (Ketua BPPA Jorong
Kampung Baru, Solok)
Siti Qomariah (Bupati Pekalongan, Jawa Tengah), Agung T. Prabowo dan
Sudardi (Pokja AMPL Jawa Tengah)
Hilman Nitiamidjaya (Sekda Provinsi Banten), Taufik Nuriman (Bupati
Kabupaten Serang), Karimil Fatah (Ketua Bappeda Provinsi Banten),
Nuryanto (Pokja AMPL Banten), Ida Nuraida (Pokja AMPL Kabupaten Serang),
Anwar Rusdi (Pokja AMPL Kabupaten Lebak)
Basah Hernowo, Oswar Mungkasa dan Nugroho Tri Utomo (Direktorat
Permukiman dan Perumahan Bappenas), Handy Legowo (Direktorat
Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Ditjen. Cipta Karya,
Departemen PU), Raymond M (Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen.
Cipta Karya, Deartemen PU), Zainal Nampira (Direktorat Penyehatan
Lingkungan, Ditjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Depkes), Rheida Pramudy dan Helda Nusi (Direktorat Fasilitasi dan Penataan
Ruang dan Lingkungan Hidup, Ditjen Bina Bangda, Depdagri), Rewang
Budiyana dan Togap Siagian (Direktorat Sumberdaya Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna, Ditjen PMD, Depdagri)
iv Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
7. SAMBUTAN
DEPUTI BIDANG SARANA DAN PRASARANA BAPPENAS
Syukur Alhamdulillah,
Allah SWT berkenan memberikan rahmat dan ridhoNya kepada
kita semua dalam menjalankan amanah sebagai mahkluk yang
diberi tanggungjawab untuk mengelola salah satu bidang
pembangunan yang sangat penting, yaitu air minum dan
penyehatan lingkungan (AMPL). Sektor ini menjadi kebutuhan
vital bagi semua orang dan berpengaruh terhadap aspek
pembangunan lainnya. Tetapi dalam kenyataan ternyata tidak
mudah menjadikan air minum dan penyehatan lingkungan menjadi
prioritas pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Walaupun demikian berbagai upaya pembangunan AMPL terus
digulirkan dan diperbaiki untuk meningkatkan pelayanan yang
lebih optimal kepada masyarakat.
Dari pembelajaran pembangunan AMPL, disadari bahwa
pendekatan yang lebih banyak mengandalkan aspek fisik tanpa
mengoptimalkan partisipasi masyarakat akan berakibat pada
rendahnya keberlanjutan karena tidak adanya rasa memiliki dari
masyarakat. Kondisi ini mendorong Pemerintah Indonesia
menginisiasi perubahan dalam pendekatan pembangunan AMPL
menjadi seoptimal mungkin melibatkan masyarakat yang tertuang
dalam 11 Prinsip Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis
Masyarakat. Proses penyusunan tersebut dilaksanakan melalui
WASPOLA (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and
Action Planning Project) yang didanai oleh AusAID dan dikelola
oleh WSP-EAP, World Bank.
Sampai saat ini, implementasi kebijakan melalui fasilitasi WASPOLA
telah menjangkau 9 propinsi dan 63 kabupaten/kota serta telah
menunjukkan hasil positif. Berkaca pada pengalaman implementasi
kebijakan AMPL diberbagai daerah, baik di propinsi maupun
kabupaten/kota ditemukan banyak pengalaman unik, terutama
bagaimana proses menerapkan aspek kebijakan menjadi aksi
nyata dalam pelayanan publik ini.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan v
8. Karenanya patutlah dihargai upaya untuk mendokumentasikannya
dalam bentuk buku pembelajaran ini. ”Pengalaman adalah guru
yang terbaik”, pengalaman WASPOLA ini menarik untuk dipelajari
karena telah memberi warna baru dalam pendekatan reformasi
AMPL dan harmonisasi pusat dan daerah, setidaknya dalam relasi
antara Kelompok Kerja AMPL Daerah dan Kelompok Kerja AMPL
Nasional. Termasuk juga menjembatani komunikasi donor dengan
daerah dalam konteks pembangunan AMPL.
Diharapkan dengan kumpulan pembelajaran ini, daerah dampingan
WASPOLA maupun daerah lainnya mendapatkan inspirasi untuk
melakukan perubahan- kearah yang lebih positif. Diharapkan juga
hasil pembelajaran ini dapat terinternalisasi dalam proses
pengambilan keputusan pembangunan AMPL oleh pemangku
kepentingan. Hal ini tentu akan memberi nilai positif terhadap
upaya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pencapaian
tujuan ketujuh pembangunan milenium (MDG), yaitu mengurangi
separuh proporsi penduduk yang belum mendapat akses air minum
dan sanitasi yang layak, pada tahun 2015.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
para pimpinan daerah dari provinsi maupun kabupaten/kota di
Provinsi Gorontalo, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Banten.
Tak lupa semua pihak yang turut membantu terbitnya buku ini,
terutama penyusun dan kontributor yang berasal dari Kelompok
Kerja AMPL Nasional, propinsi maupun kabupaten/kota, serta tim
WASPOLA atas segala kerja keras dan inisiatifnya untuk
terwujudnya buku ini
Jakarta, 1 April 2009
Dedy Supriadi Priatna
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, BAPPENAS
vi Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
9. DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Sambutan v
Daftar Isi vii
Daftar Singkatan x
Testimoni 1
Ringkasan Sajian 4
Bab I Satu Visi Membumikan Kebijakan 9
1.1 Konstruksi Lahirnya Kebijakan Nasional Pembangunan
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat
(AMPL-BM)
1.2 Pihak-pihak yang Terlibat 14
1.4 Implementasi Kebijakan Nasional 15
1.5 Manfaat Adanya Kebijakan 18
Bab II Mendekati Dengan Komitmen 21
2.1 Pola Pendekatan WASPOLA 21
2.2 Tawaran WASPOLA 23
2.2.1 Diseminasi Kebijakan sekaligus Penguatan Kapasitas 23
2.2.2 Implementasi Kebijakan 27
2.3 Dukungan WASPOLA 30
Bab III Membangun Harmonisasi Pusat dan Daerah 33
3.1 Potret Pokja AMPL Nasional 33
3.2 Harmonisasi dengan Daerah 34
3.3. Strategi Komunikasi Kebijakan 37
3.4 Sinergi Pelaku Sektor AMPL 39
3.5 Sinkronisasi Donor dan Kemitraan Proyek AMPL 41
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan vii
10. Bab IV Penyegaran Kembali dengan Cara Pandang Baru 43
4.1 Banten, Isu AMPL Menembus Semua Lini 44
4.1.1 Sosok Penggerak atau Kampiun 45
4.1.2 Melibatkan Berbagai Pihak 46
4.1.3 MURI untuk Jamban Sehat 48
4.2 Sumatera Barat, Kesinambungan Sebagai Kata Kunci 50
4.2.1 Dari WSLIC ke AMPL 51
4.2.2 Tiga Pilar Solok 52
4.2.3 Menularkan “ AMPL-isme “ 54
4.3 Gorontalo, Komunikasi Cair Menciptakan Lingkungan Kondusif 56
4.3.1 Komunikasi yang Cair 57
4.3.2 Bappeda yang Berperan 59
4.3.3 Relasi Eksekutif –Legislatif 60
4.4 Jawa Tengah, Melebur Ego Sektoral Menjadi Kebersamaan 61
4.4.1 Sinkronisasi Program 63
4.4.2 Membangun Hubungan Personal dan Institusional 64
4.5 Olimoo’o, Salah Satu Potret Desa AMPL-BM 65
4.5.1 Ketemunya Ruas dan Buku,
AMPL dan Kebutuhan Masyarakat 65
4.5.2 Prinsip Kebijakan “dibumikan” 67
4.5.2 Gotong Royong Membangun sarana AMPL 69
Bab V AMPL “ Never Ending Story” 75
5.1 Rangkuman Pembelajaran Daerah 75
5.2 Catatan Kritis untuk Perbaikan ke Depan 84
viii Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
11. Daftar Pustaka
Lampiran :
A. Sekilas Memahami Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-BM
B. Tahapan Penyusunan Renstra di Daerah
C. Kompilasi Pengalaman Terbaik Pokja AMPL
D. SK Pokja AMPL Sulawesi Tenggara
E. Peta Wilayah Kemitraan dan Kerjasama dengan Proyek Lain
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ix
12. DAFTAR SINGKATAN
AMPL-BL Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga
AMPL-BM Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat
APBD Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pembangunan dan Belanja nasional
APFI Aliansi Pendorong Fakta Integritas
AusAID Australian Agency for International Development
BAPEDALDA Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BAPPPEDA Badan Perencanaan Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah
BAPPPPEDA Badan Perencanaan dan Percepatan Pembangunan
dan Pengawasan Ekonomi Daerah
BAWASDA Badan Pengawasan Daerah
BAZ Badan Amil Zakat
BKD Badan Keuangan Daerah
BKKBN Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana
BPM Badan Pemberdayaan Masyarakat
BPPA Badan Pengelola Pemakai Air
BPR Bank Perkreditan Rakyat
BPS Badan Pusat Statistik
CLTS Community-Led Total sanitation
CWSH Community Water Supply, Sanitation and Health Project
DAK Dana Alokasi Khusus
DAU Dana Alokasi Umum
DEP. Departemen
DEPDAGRI Departemen Dalam Negeri
DEPKES Departemen Kesehatan
DEPKEU Departemen Keuangan
DEPKIMPRASWIL Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah
DEPSOS Departemen Sosial
DIKLAT Pendidikan dan Latihan
DIKNAS Pendidikan Nasional
DINKES Dinas Kesehatan
DINSOS Dinas Sosial
DIRJEN Direktur Jenderal
DISDIK Dinas Pendidikan
x Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
13. DISTAMBEN Dinas Pertambangan dan Energi
DIT. Direktorat
DITJEN Direktorat Jenderal
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral
FISRA Fisik dan Sarana
FPR dan LH Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup
Ha Hektar
IATPI Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia
IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah
ISSDP Indonesia Sanitation Sector and Development Program
JATENG Jawa Tengah
JUKLAK Petunjuk Pelaksanaan
JUKNIS Petunjuk Teknis
KAB Kabupaten
KIMPRASWIL/PU Permukiman dan Prasarana Wilayah/Pekerjaan Umum
Kimtaru Permukiman dan Tata Ruang
KLH Kementerian Lingkungan Hidup
KKN Kuliah Kerja Nyata
LAPAU Lembaga Pemantau Penyalur Aspirasi Umat
LPM Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MCK Mandi Cuci Kakus
MDGs Millennium Development Goals
MONEV Monitoring dan Evaluasi
MTV Meals Tips and Valet
MURI Musium Rekor Indonesia
MUSRENBANGDES Musyawarah Perencananaan Pembangunan Desa
MUSRENBANGNAG Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nagari
NTT Nusa Tenggara Timur
PAMSIMAS Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
PCI Project Concern International
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
PEMDA Pemerintah Daerah
PEMKAB Pemerintah Kabupaten
PERBUB Peraturan Bupati
PERDA Peraturan Daerah
PERDES Peraturan Desa
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan xi
14. PERGUB Peraturan Gubernur
PHBS Pendidikan Hidup Bersih dan Sehat
PILKADA Pemilihan Kepala Daerah
PKK Program Kesejahteraan Keluarga
PLH Penyuluh Lingkungan Hidup
PLP Penyehatan Lingkungan Pemukiman
PLSDN Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lingkungan Hidup dan Energi
PMD Pembangunan Masyarakat dan Desa
POKJA Kelompok Kerja
PP Peraturan Pemerintah
PP dan PL Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
PROLEGDA Proses Legislasi Daerah
PU Pekerjaan Umum
RANPERDA Rancangan Peraturan Daerah
RENSTRA Rencana Strategis
REPELITA Rencana Pembangunan Lima Tahun
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RRI Radio Republik Indonesia
SANIMAS Sanitasi oleh Masyarakat
SDA Sumber Daya Alam/Sumber Daya Air
SDM Sumber Daya Manusia
Sekda Sekretaris Daerah
SK Surat Keputusan
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SMS Short Messaging Service
SOE Statement of Expenditure
SOSBUD Sosial Budaya
STBM Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
SUBDIT Sub Direktorat
SUMBAR Sumatera Barat
TARKIM Tata Ruang dan Permukiman
TKPK Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
TUPOKSI Tugas Pokok dan Fungsi
UPS Unit Pengelola sarana
WASPOLA Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning
WSLIC Water Supply and Sanitation for Low Income Comunity
WSP-EAP Water and Sanitation Program-East Asia and the Pacific
xii Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
15. RINGKASAN SAJIAN
Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan Berbasis Masyarakat (biasa disingkat menjadi
Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-BM) lahir dari proses
pembelajaran pemerintah Indonesia dari pengalaman sebelumnya,
bahwa masalah mendasar pembangunan AMPL sejak tahun 1970
adalah tidak berkelanjutannya fungsi sarana yang dibangun.
Pengalaman ini mendorong Pemerintah Indonesia melakukan
perubahan (reformasi) pembangunan AMPL, agar pembangunan
yang dilakukan dapat berguna dan berkelanjutan dengan
berinisiatif menyusun kebijakan bersifat nasional yang dapat
menjadi acuan pelaksanaan pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan. Penyusunan kebijakan tersebut
dilaksanakan melalui proyek Indonesia Water Supply and Sanitation
Policy Formulation and Action Planning atau lebih dikenal sebagai
WASPOLA. Tujuan Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan
AMPL-BM adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
melalui pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan
lingkungan yang berkelanjutan.
Buku ini menggambarkan mengenai proses perubahan (reformasi),
tantangan dan hambatan yang melingkupinya selama proses
“pembumian” Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-BM,
bagaimana pola pikir dan persepsi yang berkembang dari masing-
masing pelaku di daerah, siapa saja yang terlibat, bagaimana
komitmennya, kelembagaan yang mengimplementasikan
kebijakan, dukungan dan kontribusi semua pihak terkait, regulasi
yang disediakan, inovasi dan penguatan kapasitas yang
dikembangkan, dukungan penganggaran dan keberlanjutan
implementasinya, baik ditingkat pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sekaligus pemerintah
desa/kelurahan, dan pemangku kepentingan lain.
Pada bab I diuraikan secara singkat bagaimana Kebijakan Nasional
AMPL –BM disusun sampai dengan proses adopsi dan
implementasi di daerah. Kunci keberhasilannya di uraikan
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan xiii
16. pada bab II yang mengupas pendekatan fasililitasi yang
dipergunakan tim WASPOLA, termasuk terobosan lokal yang
secara spesifik ditawarkan tim WASPOLA sehingga daerah bersedia
mengoperasionalisasikan kebijakan dalam pembangunan daerah.
Disisi lain harus diakui bahwa harmonisasi pusat dan daerah
menjadi pilar penting untuk menyangga keberlangsungan
reformasi tersebut dan ini dikupas dalam bab III. Sejak awal
pemerintah melalui Pokja AMPL Nasional menunjukkan
konsistensinya dalam mengawal implementasi Kebijakan Nasional
Pembangunan AMPL-BM di daerah, melalui upaya terobosan
strategis dalam mengkomunikasikan kebijakan, membangun
sinergi semua pelaku dan semua unsur pemangku kepentingan
melalui Jejaring AMPL, serta mengkoordinasikan kegiatan donor
di tingkat pusat agar terjadi pemerataan pembangunan AMPL
di daerah.
Penghormatan dan memperhatikan potensi dasar keragaman
antardaerah, adalah salah satu prinsip dalam pelaksanaan
pembangunan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
Otonomi Daerah. Kebijakan ini diimplementasikan dengan
menghargai prinsip pembangunan tersebut. Untuk itu dalam bab
IV diuraikan berbagai pembelajaran penting yang telah
berkembang di beberapa daerah mitra kerja WASPOLA seperti
Provinsi Gorontalo, Sumatera Barat, Banten, dan Provinsi Jawa
Tengah, yakni 4 (empat) dari 9 (sembilan) provinsi dampingan
WASPOLA, representasi keterwakilan dari berbagai keragaman
kondisi, potensi, budaya, geografis di Indonesia.
Provinsi Gorontalo misalnya, secara proaktif mengaitkan
pembangunan AMPL dengan capaian target MDGs bidang AMPL
dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karenanya
pembangunan bidang AMPL-pun memperoleh prioritas utama.
Sementara di Jawa Tengah pelaksanaan Kebijakan Nasional dilihat
sebagai penyegaran kembali dengan cara pandang baru atas
model pembangunan yang selama ini telah diterapkan. Tidak kalah
penting, Provinsi Banten telah mampu meleburkan ego sektoral
dalam melaksanakan pembangunan AMPL. Program AMPL telah
xiv Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
17. mengatasi hambatan birokrasi, mencairkan koordinasi, menjadi
pengikat kegiatan dan menciptakan jejaring (networking) dalam
konteks kerjasama antar instansi dan pemangku kepentingan di
daerah. Seperti Provinsi Gorontalo, Provinsi Banten-pun optimis
akan mampu mencapai target MDGs 2015. Provinsi Sumatra Barat
menitik beratkan kesinambungan dan koordinasi antarproyek
menjadi kunci keberhasilan. Sekalipun dibentuk belakangan,
kedudukan Pokja Provinsi ini cukup kuat dalam mengawal isu
AMPL, sekaligus menularkan AMPL-isme kepada pemimpin daerah
di kabupaten/kota di wilayahnya.
Pembangunan air minum bahkan dipandang sangat strategis di
Kabupaten Solok, karenanya diangkat sebagai isu politik yang
nyatanya mampu mengantarkan Ketua Pokja AMPL Kabupaten
Solok menjadi Bupati Solok. Komitmennya pun jelas, bahwa di
akhir masa jabatannya, prosentase masyarakat yang menikmati
air bersih harus meningkat atau semakin tinggi.
Tidak kalah menarik, di Kabupaten Gorontalo anggota Pokja AMPL
yang menjadi champion atau kampiun memfokuskan diri pada
penguatan kualitas dan kemampuan pengelolaan air minum di
desa. Mereka rajin bertemu masyarakat untuk mendengar dan
memberi masukan atas berbagai masalah pembangunan AMPL.
Mereka juga banyak mengalokasikan waktu untuk melakukan
kunjungan ke desa, dan itu dilakukan secara sukarela.
Kabupaten Pekalongan di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Serang dan Pandeglang di Provinsi Banten, memiliki catatan
tersendiri. Di Pekalongan, Bupati menunjukkan perhatian kuat
terhadap pembangunan AMPL. Pembangunan bidang AMPL terus
meningkat dengan bantuan dari provinsi maupun pusat yang
diparalelkan dengan peningkatan peran serta masyarakat.
Sementara di Kabupaten Serang, kemampuan menembus semua
lini menjadi ciri yang menonjol. Forum Musrenbangdes
(Musyarawah Perencanaan dan Pembangunan Desa), jambore
PKK, Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, mengakomodasi isu
dan program AMPL. Kerjasama dengan LSM, Universitas, dan
masyarakat termasuk kelompok perempuan, dibangun
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan xv
18. dengan baik. Di Kabupaten Pandeglang, capaian yang gemilang
justru di bidang sanitasi lingkungan dengan fokus pembangunan
jamban untuk keluarga miskin.
Di Kabupaten Gorontalo, ada desa Olimoo’o yang difasilitasi Pokja
AMPL Kabupaten untuk secara konsisten menerapkan Kebijakan
Nasional. Hasilnya memang berbeda dari pendekatan model lama.
Sarana dan layanan air bersih di desa ini berkelanjutan dan berguna
secara efektif. Jawa Tengah, tepatnya Desa Panti Anom,
Kabupaten Pekalongan, masyarakat sangat antusias berpartisipasi
membangun sarana air minum yang mereka sebut dengan PDAM
Desa. Pembangunan sarana air minum ini telah berhasil
memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan air yang dihadapi
selama ini. Kini sarana itu dikelola secara terstruktur dengan
sistem iuran yang dipatuhi bersama.
Berbagai inovasi telah dilakukan daerah selama proses
membumikan kebijakan, antara lain penyusunan Rencana Strategis
Pembangunan AMPL (Renstra AMPL), penegasan isu dan program
dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah),
dan penerapan Kebijakan Nasional dalam membangunan
infrastuktur di tingkat desa, dan lain-lain, yang secara umum
muaranya kepada terwujudnya pembangunan sarana
dan prasarana pembangunan AMPL yang berguna, efektif
dan berkelanjutan.
Dalam bab V yang merupakan bab terakhir buku ini, dirangkum
semua pembelajaran tersebut. Diharapkan dari pembelajaran
yang didapat WASPOLA akan menjadi inspirasi bersama dalam
pembangunan AMPL-BM kedepan, walaupun masih banyak
kendala dan kekurangan yang musti dikritisi bersama.
*****
xvi Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
19. TESTIMONI
Kebijakan Nasional AMPL di Mata Daerah
”Ketika menetapkan capaian target MDGs Provinsi Gorontalo,
saya memilih bidang air minum sebagai prioritas pembangunan
untuk mengentaskan kemiskinan….Air minum sangat penting
dan harus ditangani tersendiri.” (Ir. Fadel Muhammad, Gubernur
Gorontalo, wawancara di Jakarta,).
Fadel Mohammad
Gubernur Gorontalo
Senada dengan hal itu Gusmal, Bupati Solok menyatakan bahwa
“Dengan kecukupan air minum, masyarakat akan sehat. Sedangkan
masyarakat yang sehat akan mampu bekerja lebih produktif,
penghasilan warga akan meningkat dan dengan sendirinya akan
mampu membiayai pendidikan anak-anaknya”
Air minum dan penyehatan lingkungan atau biasa disebut AMPL,
nampaknya dinilai oleh Fadel Muhamamad dan Gusmal, sebagai
Gusmal Dt. Rj. Lelo
Bupati Solok salah satu variabel yang menentukan terwujudnya kesejahteraan
rakyat. Salah satu hal yang menarik adalah kepekaan mereka
melihat bahwa AMPL bisa menjadi titik sentuh yang tepat untuk
membangkitkan keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan. Air adalah kebutuhan vital semua orang, karenanya
apabila dilakukan pendekatan secara tepat maka semua orang
akan merasa berkepentingan dengan hal tersebut. Gusmal sangat
sadar bahwa partisipasi masyarakat adalah potensi penting yang
masih tersembunyi, sementara pada fihak lain pemerintah daerah
Gemala Ranti memiliki keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.
Pokja AMPL Sumatera Barat
Dengan menempatkan pemerintah sebagai fasilitator, ditunjang
dengan visi dan misi daerah yang jelas, capaian pembangunan
dengan sendirinya dapat menjadi lebih optimal.
Menurut Gubernur Gorontalo, yang kerap dipanggil dengan nama
Fadel itu, air minum merupakan salah satu infrastruktur strategis
pemerintahan daerahnya disamping pangan dan energi yang
cukup. Jika pembangunan ketiga komponen strategis tersebut
berhasil, maka bidang bidang lainnya, seperti: kesehatan dan
Ida Nuraida
Pokja Kabupaten Serang
pendidikan akan ikut terangkat dengan sendirinya. Program air
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 1
20. minum yang dicanangkan Fadel, sudah merupakan satu paket
dengan program penyehatan lingkungan. Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan (AMPL), menjadi paket komplit dengan
konsep berbasis masyarakat. Melalui program SANIMAS (Sanitasi
oleh Masyarakat) yang dikoordinasikan oleh Pokja AMPL Provinsi
dan Pokja Kabupaten Gorontalo, warga perkotaan di Gorontalo
menampakkan kesungguhannya dalam menangani sanitasi. Begitu
pula dengan penyediaan air minum, dimana sejak provinsi ini
diresmikan pada tahun 2000, warga di pedesaan, sesuai dengan
kondisi alam dan kemampuan pengelolaannya, sudah mulai
memperoleh kemudahan akses.
Pembangunan AMPL secara politik juga mempunyai nilai jual yang
sangat tinggi. Karenanya tidak mengherankan apabila bidang air
minum diangkat menjadi isu kampanye dalam Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) sebagaimana yang terjadi di Solok, Sumatera
Barat. Gusmal Dt. Rj. Lelo S.E.MM, mantan Ketua Pokja AMPL
Kabupaten Solok, sudah membuktikannya. Gusmal mengangkat
isu AMPL sebagai salah satu dari tiga program unggulan yang
patut diperjuangkan, selain pendidikan dan ekonomi. Di Kabupaten
Solok, pemenuhan kebutuhan air minum dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan. Sebelumnya warga yang terlayani hanya
9% pada tahun 2000, kini meningkat menjadi 38%. Hanya 12% yang
terlayani PDAM.
Penerapan Kebijakan Nasional yang menekankan masyarakat
sebagai pengambil keputusan dari seluruh proses pembangunan,
diharapkan akan mampu memecahkan masalah pemenuhan
kebutuhan air minum. “Semakin masyarakat terlibat dalam
pembangunan, aparat pemerintah semakin diringankan tugasnya,
dan akan semakin efektif dalam berperan sebagai fasilitator yang
akan memfasilitasi sejauh dan sebesar yang diperlukan” jelas Ida
Nuraida anggota Pokja AMPL Kabupaten Serang, Provinsi Banten
ketika ditemui penulis dalam suatu lokakarya AMPL.
Bagi Ida, melaksanakan sosialisasi Kebijakan Nasional adalah
”ibadah”. Dikatakan seperti itu, karena AMPL yang berbasis
masyarakat merupakan program untuk menolong masyarakat
2 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
21. miskin agar menjadi sehat dan sejahtera melalui pemenuhan
kebutuhan air minum. Karena itu, menurut Ida, pada saat
implementasi lapangan mutlak diperlukan komitmen moral,
sehingga aparat yang bekerja harus memiliki dedikasi yang tinggi.
Dalam bahasa Gemala Ranti, salah seorang anggota Pokja AMPL
Provinsi Sumatera Barat, “Program AMPL bukanlah lahan untuk
cari-cari tambahan uang. Program ini lebih untuk meningkatkan
kapasitas pribadi, membuka wawasan, dan memberi kemampuan
menggali pikiran diri sendiri dan orang lain terutama masyarakat
yang kita layani.”
Adanya gubernur yang menganggap penting pembangunan AMPL,
bupati yang peduli pada peningkatan angka pengguna air minum,
dan aparat yang sepenuhnya menyadari pentingnya pembangunan
AMPL berbasis masyarakat (AMPL-BM), tentu tidak muncul begitu
saja. Hal tersebut terbentuk karena ada kebijakan yang diluncurkan,
lalu ditangkap oleh gubernur yang visioner, diaplikasikan oleh
bupati yang peduli, dan difasilitasi oleh aparat yang gigih bekerja
tanpa pamrih. Dan dengan demikian Kebijakan Nasional
Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat menjadi semangat
dalam aksi pembangunan AMPL di daerah.
*****
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 3
22. 4 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
23. BAB I
SATU VISI MEMBUMIKAN
KEBIJAKAN
1.1 Konstruksi Lahirnya Kebijakan
Nasional Pembangunan Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat (AMPL-BM)
Selama 30 tahun lebih sejak REPELITA I, pengalaman
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan
(AMPL) lebih banyak diwarnai cerita kelam. Cukup
banyak investasi yang telah ditanam untuk membangun
sarana air minum dan penyehatan lingkungan melalui
berbagai proyek pembangunan baik yang dilakukan
oleh pemerintah, lembaga donor, maupun lembaga
swadaya masyarakat, tetapi cakupan pelayanan masih
saja rendah.
Banyak sarana terbangun yang rusak selang beberapa
saat setelah diserah terimakan, air tidak mengucur
setelah pembangunan selesai, sarana sanitasi yang
akhirnya tidak berfungsi, dan yang tidak kurang penting
sebagian besar sarana itu ternyata tidak tepat sasaran
bahkan sulit diakses oleh kelompok yang paling
membutuhkan, yaitu masyarakat miskin. Fakta ini
membuktikan, bahwa kita mampu melakukan
pembangunan namun belum mampu mengelola
keberlanjutan pembangunan.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 5
24. Rendahnya keberlanjutan sarana yang dibangun tersebut
dikarenakan pendekatan pembangunan AMPL yang diterapkan
pada masa itu masih bersifat top down dan tidak partisipatif. Hal
tersebut berakibat pada tidak adanya rasa memiliki terhadap
sarana yang dibangun karena masyarakat tidak dilibatkan dalam
seluruh proses pembangunannya. Masyarakat tidak memiliki
keterampilan teknis untuk melakukan pemeliharaan sebab tidak
dilatih untuk menguasai teknologi dari sarana yang diberikan. Pola
pikir sebagian besar masyarakat masih memandang air hanya
sebagai benda sosial, sehingga untuk mendapatkannya tidak
memerlukan pengorbanan atau biaya apapun. Sementara dilain
pihak belum tersedia kebijakan dan peraturan perundangan yang
mengatur pemanfaatan potensi tersembunyi yang dimiliki
masyarakat.
Pengalaman ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk
melakukan perubahan (reformasi) dalam melaksanakan
pembangunan AMPL, agar pembangunan yang dilakukan dapat
berhasil guna dan berkelanjutan. Akhirnya dengan hibah dari
Pemerintah Australia, pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia
berinisiatif menyusun kebijakan yang bersifat nasional yang dapat
menjadi pedoman dalam melaksanakan pembangunan air minum
dan penyehatan lingkungan. Inisiatif tersebut direalisasikan melalui
WASPOLA (Indonesia Water Supply and Sanitation Policy and Action
Planning Project) yang dikelola oleh Bank Dunia melalui Water and
Sanitation Program for East Asia (WSP-EAP).
Salah satu referensi penting dalam menyusun Kebijakan Nasional
Pembangunan AMPL BM ini adalah hasil Konferensi Internasional
mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang dilaksanakan di
Rio de Janeiro pada tahun 1992. Didalam konferensi tersebut di
sepakati untuk menerapkan prinsip Dublin dalam melaksanakan
pembangunan air minum, yang kemudian dikenal dengan Prinsip
Dublin-Rio. Pertama, air adalah sumber daya yang terbatas dan
rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan
lingkungan. Kedua, pembangunan dan pengelolaan air harus
berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna,
perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan. Ketiga,
perempuan memainkan peran utama dalam penyediaan,
pengelolaan, dan perlindungan air.
6 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
25. Keempat, air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh
penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi.
Tujuan Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-
BM adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan
yang berkelanjutan. Secara khusus bertujuan agar tercipta,
(1) keberlanjutan, meliputi keberlanjutan aspek pembiayaan,
teknik, lingkungan hidup, kelembagaan, dan sosial.
(2) penggunaan efektif, prasarana dan sarana yang tersedia
tepat tujuan dan sasaran, layak dimanfaatkan serta memenuhi
standar teknis kesehatan dan kelembagaan, juga memperhatikan
perubahan perilaku masyarakat serta kemampuan masyarakat
untuk mengelola prasarana dan sarana. Prasarana dan sarana
AMPL yang dibangun juga secara mudah dimanfaatkan oleh
masyarakat secara setara, tanpa membedakan tingkat sosial,
jenis kelamin, suku, agama, dan ras.
Gambar 1.1
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 7
26. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah terjadinya perubahan
paradigma dan pendekatan dari yang tadinya bersifat elitis,
teknokratis menjadi populis, partisipatif dengan melibatkan
semua pemangku kepentingan, yang bertumpu pada partisipasi
masyarakat, yakni menempatkan masyarakat sebagai pengambil
keputusan dan penentu keberlanjutan pembangunan. Sementara
disisi yang lain mengubah peran pemerintah yang dahulu hanya
sebagai penyedia menjadi juga berfungsi sebagai fasilitator
dalam proses pembangunan di wilayahnya.
Setelah melalui berbagai kajian, uji coba berbagai topik yang
relevan dengan substansi kebijakan, dan kemudian
mendiskusikannya kembali dengan berbagai pihak terkait, pada
tahun 2003 dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat atau
yang biasa disingkat sebagai Kebijakan Nasional Pembangunan
AMPL-BM dapat tersusun yang terdiri dari 11 butir-butir kebijakan.
8 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
27. 11 Butir Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
1. Air Merupakan Benda Sosial dan Benda Ekonomi
Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang jumlahnya terbatas. Selain itu untuk
mendapatkan atau memudahkan pemenuhannya perlu pengorbanan waktu,
tenaga, dan beaya.
2. Pilihan yang Diinformasikan sebagai Dasar dalam Pendekatan Tanggap Kebutuhan
Masyarakat pengguna berhak memperoleh informasi mengenai alternatif pelayanan
termasuk resiko dan keuntungannya, sehingga mereka dapat memilih jenis pelayanan
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
3. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Keberlanjutan pelayanan air minum sangat tergantung pada kelestarian sumber air.
Kegiatan ekonomi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dalam jangka panjang
akan merugikan masyarakat itu sendiri
4. Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Pembangunan AMPL harus memiliki dampak pada perubahan perilaku masyarakat
yang lebih bersih dan sehat. Upaya perubahan perilaku ditempuh melalui pendidikan
formal maupun informal yang diberikan sejak usia dini.
5. Keberpihakan pada Masyarakat Miskin
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan mengutamakan
pada memberikan pelayanan untuk masyarakat miskin.
6. Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Seluruh proses pembangunan AMPL harus menyertakan perempuan sebagi pengambil
keputusan dan pengelola sarana yang dibangun .
7. Akuntabilitas Proses Pembangunan
Seluruh proses pembangunan harus dipertanggungjawabkan baik dari aspek fisik,
administrasi, dan keuangan.
8. Peran Pemerintah sebagai Fasilitator
Penerapan prinsip tanggap kebutuhan menuntut perubahan peran pemerintah dari
penyedia (provider) menjadi fasilitator. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk
lebih mandiri.
9. Peran Aktif Masyarakat
Dalam melaksanakan pembangunan AMPL perlu adanya mekanisme yang demokratis
sehingga masyarakat bisa berperan secara aktif dalam pengambilan keputusan maupun
pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana
10. Pelayanan Optimal dan Tepat Sasaran
Prasarana dan sarana AMPL yang dibangun harus sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi masyarakat, dan haurus mudah diakses oleh semua anggota masyarakat,
utamanya kelompok miskin.
11. Penerapan Prinsip Pemulihan Biaya
Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan sarana, harus terpulihkan dan bisa
dipergunakan untuk memperbaharui dan mengembangkan sarana lebih lanjut.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 9
28. 1.2 Pihak-pihak yang Terlibat
Persetujuan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-BM pada
tahun 2003, ditandatangani oleh Deputi Bidang Sarana dan
Prasarana Bappenas Ir. E. Suyono Dikun, PhD, IPM, Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH.,
Ph.D, Dirjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah Ir. Budiman Arif, Dirjen Bina
Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri Drs. Seman
Widjojo, Msi., Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Depdagri
Dr. Ardi Partadinata, Msi., dan Dirjen Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Dr. Machfud Siddik,
MSc.
Seiring waktu, Kementerian Lingkungan Hidup mulai terlibat dalam
Pokja AMPL, sehingga pada masa sekarang enam departemen
telah menjadi pelaku kunci proses reformasi dan implementasi
Kebijakan Nasional di Indonesia. Pejabat eselon dua dari masing-
masing departemen memainkan peran strategis agar kegiatan
WASPOLA berjalan sesuai agenda. Pengorganisasiannya dilakukan
oleh Bappenas, dalam hal ini Direktorat Permukiman dan
Perumahan.
Selama proyek berlangsung, dukungan dana diperoleh dari AusAID,
sedangkan dalam pengelolaannya dilakukan oleh WSP-EAP yaitu
Divisi Program Air and Sanitasi dari Bank Dunia (World Bank),
melalui para fasilitatornya yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan fasilitasi untuk merancang proses agar reformasi
kebijakan sungguh-sungguh terjadi dan menjadi bagian arus utama
pembangunan. Dalam pelaksanaannya, kemitraan antara
pemerintah Republik Indonesia dengan AusAID dan WSP-
EAP/World Bank ini diwadahi melalui WASPOLA.
10 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
29. Untuk mendukung pekerjaan besar tersebut, Pemerintah pusat
membentuk unit kerja yang disebut sebagai Kelompok Kerja Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) di tingkat
nasional. Dalam kesehariannya, Pokja AMPL Nasional dan tim
WASPOLA bekerjasama dengan prinsip kemitraan. Kebutuhan
akan sumber daya disediakan oleh kedua belah pihak. Peran Pokja
AMPL Nasional adalah menjadi pelaku perubahan sekaligus
narasumber dalam pembangunan sektor AMPL baik di pusat
maupun daerah. Transfer pengetahuan global ke situasi lokal
(Indonesia) yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, menjadi
agenda penting dalam proses diskusi. Transformasi reformasi
kebijakan ke daerah kemudian menjadi agenda bersama yang
didesain bersama oleh Pokja AMPL Nasional dan WASPOLA.
1.3 Implementasi Kebijakan Nasional
Pada tahun 2004, dimulailah perjalanan “membumikan“ (baca:
mengimplementasikan) Kebijakan Nasional melalui proses adopsi
dan operasionalisasi di daerah. Esensi dari keberadaan kebijakan
ini adalah sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan sektor
AMPL bagi pemangku kepentingan. Dalam upaya operasionalisasi
kebijakan di daerah, WASPOLA memberikan bantuan teknis kepada
daerah yang berminat mengoperasionalisasikan kebijakan,
khususnya dalam penyusunan renstra pembangunan AMPL
daerah. Proses penjaringan minat yang dilakukan bersifat
pendekatan tanggap kebutuhan. Artinya, daerah yang dipilih
adalah yang benar-benar berminat dan menunjukkan komitmennya
dalam rangka operasionalisasi kebijakan. Komitmen ini dibuktikan
dengan surat minat yang ditandatangani oleh pimpinan daerah
(Bupati/Walikota) atau pimpinan/pejabat pengambil keputusan
di tingkat provinsi (Kepala Bappeda/ Sekretaris Daerah/Gubernur).
Proses fasilitasi menekankan pentingnya partisipasi seluruh mitra
kerja daerah, khususnya pokja daerah dalam pelaksanaan kegiatan
yang telah direncanakan bersama. Kegiatan yang dikembangkan
dalam proses fasilitasi daerah dapat dikategorikan dalam:
Pertama, pendalaman Kebijakan Nasional, yang ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman pemangku kepentingan (stakeholders)
daerah mengenai nilai penting dan relevansi Kebijakan Nasional
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 11
30. bagi pemecahan masalah pembangunan AMPL di daerah, dan
bagaimana penerapannya untuk memperbaiki kinerja
pembangunan AMPL. Pendalaman kebijakan tersebut meliputi
kajian keberlanjutan sarana AMPL di daerah, pengelolaan data
dan informasi AMPL di daerah, investasi dan alternatif pendanaan
dan diikuti dengan penilaian diri (self assesment). Berbagai contoh
kegiatan antara lain: lokakarya partisipatif, studi kasus, dan diskusi
tematik mengenai keberhasilan dan kegagalan pembangunan
AMPL, serta pengembangan rencana kerja dan strategi
pembangunan AMPL daerah.
Sasaran kegiatan ini tidak saja anggota Pokja daerah, tetapi juga
pelaku dan pengambil keputusan politik. Untuk kepentingan itu,
pelibatan anggota legislatif dalam diskusi dan dialog pendalaman
Kebijakan Nasional sangat positif dan bermanfaat. Tujuannya
adalah membangun komitmen dan optimalisasi tujuan, terutama
dukungan yang bersifat politis terhadap tatanan ataupun aspek
penting dalam pembangunan AMPL, yaitu dukungan kelembagaan,
pembiayaan, dan regulasi.
Tatanan aspek kelembagaan, tentu mengharuskan adanya instansi
yang bertanggung jawab secara jelas dalam proses pengembangan
kebijakan dan implikasinya. Pembentukan Pokja menjadi alternatif
yang rasional untuk menjembatani kepentingan sekaligus menjadi
media koordinasi dan kerjasama antarinstansi di daerah, baik
dalam rangka peningkatan kapasitas dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan AMPL. Tatanan
aspek pembiayaan, memerlukan ketersediaan, alokasi dan
pemanfaatan anggaran untuk pembiayaan kegiatan, baik untuk
hal yang bersifat fisik maupun non fisik, termasuk pelatihan.
Tatanan aspek regulasi memerlukan perangkat hukum jelas untuk
memayungi proses reformasi dan operasionalisasi Kebijakan
Nasional, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka
panjang. Terpenuhinya ketiga tatanan tersebut mutlak
memerlukan dukungan dari pihak legislatif .
Dalam konteks pendalaman ini, mitra kerja daerah diajak juga
memahami kaitan dan relevansi Kebijakan Nasional dengan regulasi
terkait, misalnya Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum; peran dan
pengaruh komitmen global pemerintah dalam MDGs;
12 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
31. strategi dan langkah praktis dalam mengintegrasikan substansi
kebijakan nasional ke dalam sistem perencanaan pembangunan
daerah, misalnya RPJM, SKPD sektor; implementasi prinsip
Kebijakan Nasional dengan pengembangan program berbasis
masyarakat disamping program investasi pembangunan AMPL
yang dikelola oleh lembaga, misalnya PDAM.
Kedua, penyusunan rencana pembangunan AMPL di daerah, dengan
membangun kesepakatan penyusunan rencana pembangunan
AMPL–BM dan diikuti dengan penyusunan dokumen renstra
(rencana strategi) AMPL-BM. Dalam penyusunan renstra, daerah
telah menerapkan pendekatan partisipatif dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan antara lain dengan sosialiasi,
maupun dialog atau konsultasi publik.
Renstra Pembangunan AMPL–BM yang telah dilegalisasi ini
kemudian menjadi acuan SKPD untuk melaksanakan pemantauan
dan evaluasi pembangunan AMPL di daerah. Hasil pemantauan
dan evaluasi menjadi sarana untuk mendapatkan tanggapan atau
umpan balik untuk perbaikan kinerja pembangunan AMPL,
termasuk dalam hal ini pemantapan rencana kerja Pokja AMPL ke
depan. Diakhir program pada tiap tahun selama masa
pendampingan, diselenggarakan Lokakarya Konsolidasi Hasil
Pelaksanaan Kebijakan. Review bersama/pemantauan ini sangat
penting dalam menilai keberhasilan pelaksanaan rencana kerja.
Diharapkan dengan demikian daerah akan terdorong secara
konsisten melaksanakan kebijakan.
Ketiga, membangun kemandirian. Pada tahap ini, diharapkan
kelompok kerja daerah dapat melanjutkan kegiatan yang telah
dirintis selama masa pendampingan. Kegiatan tersebut harus
merujuk kepada dokumen perencanaan yang telah disepakati.
Bagi daerah yang telah memiliki rencana strategis AMPL,
diharapkan dapat melanjutkan kegiatannya mengacu kepada
renstra tersebut.
Tolok ukur kinerja daerah dalam melaksanakan kebijakan Nasional
secara garis besar bisa dilihat dari tiga hal berikut :
Pertama, dukungan politis dari pimpinan daerah yang cukup kuat.
Indikasi ini dapat ditunjukkan dengan adanya keterlibatan pejabat
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 13
32. teknis dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaan kebijakan serta bentuk
legalitas terhadap kelembagaan kelompok kerja (pokja) melalui
SK pimpinan daerah, penyusunan Rencana Strategi (renstra)
Pembangunan AMPL, dan lebih lanjut adanya legalitas dalam
rangka memastikan Renstra AMPL ditindak lanjuti dalam program
pembangunan. Legalisasi renstra bisa berupa Peraturan Bupati
(Perbub), atau diupayakan untuk masuk dalam Prolegda (Proses
Legalisasi Daerah) sebagai proses penetapan rancangan peraturan
daerah (Ranperda) menjadi Perda.
Kedua, kelembagaan yang menandai kuatnya fungsi dan peran
Pokja AMPL. Indikasi ini ditunjukkan dalam bentuk inisiatif dan
inovasi pokja dalam upaya memastikan pelaksanaan kebijakan
benar-benar dilaksanakan dalam kerangka keberlanjutan
pembangunan AMPL melalui mekanisme koordinasi dan evaluasi
kegiatan.
Ketiga, dukungan pembiayaan yang memadai. Kondisi ini
ditunjukkan dalam bentuk alokasi dana operasional Pokja,
mobilisasi berbagai sumber pembiayaan dalam mendukung
operasionalisasi renstra pembangunan AMPL.
1.4 Manfaat Adanya Kebijakan
Lahirnya Kebijakan Nasional ternyata membuat Pemerintah lebih
serius mengelola pembangunan AMPL, termasuk menyatakan
kepada pihak donor yang berhubungan dengan pembangunan
AMPL agar mengadopsi Kebijakan Nasional. Ini menjadi daya
tawar pemerintah Indonesia dengan negara donor, dalam bahasa
Basah Hernowo (pada waktu itu menjabat Direktur Permukiman
dan Perumahan, Bappenas) dikatakan “Kita bisa sampaikan
kepada mereka, inilah kebijakan nasional kita. Kalau mau kita
negosiasi, kalau tidak, sorry, thank you for your help. Dengan cara
seperti ini kita akan lebih fokus.”
Basah Hernowo dan juga Pokja AMPL Nasional berharap agar
pembangunan AMPL di Indonesia sungguh-sungguh dapat didanai
oleh Pemerintah, melalui APBN dan APBD maupun sumber lain
yang bukan berasal dari hutang luar negeri. Akan tetapi hal itu
tampaknya masih sulit terwujud karena masih besarnya
14 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
33. kesenjangan pendanaan. Pengalaman menunjukkan alokasi
anggaran untuk AMPL dari berbagai sumber di luar hutang luar
negeri hanya berkisar 4 (empat) triliun rupiah per tahun, sementara
jika mengikuti target MDGs kebutuhan ideal pembangunan AMPL
per tahun adalah 10 sampai 14 trilyun.
Menurut Basah Hernowo, selain pemerintah pusat mencari dana
dari lembaga donor yang mau menerima Kebijakan Nasional, Pokja
AMPL Nasional dituntut bisa menerangkan kepada pemerintah
daerah mengenai pentingnya pembangunan AMPL sehingga
anggaran AMPL dalam APBD meningkat. Basah mencontohkan,
“Daripada beli kendaraan dinas baru, lebih baik anggaran AMPL
yang dinaikkan, misalnya dari kurang 3 persen APBD menjadi 8
persen. Kalau pemerintah daerah mau tapi beralasan tidak punya
uang, maka pemerintah pusat bisa membantu mencari jalan untuk
berbagi beban itu.”
Sebagai sebuah pegangan, Kebijakan Nasional Pembangunan
AMPL-BM pada akhirnya memang kembali pada keputusan
pemerintah daerah untuk menerima atau menolaknya, atau
menerima dengan berbagai penyesuaian sesuai kondisi,
karakteristik, dan kebutuhan masing-masing daerah. Maka pada
tataran implementasi di lapangan, ada yang menjadikannya sebagai
target pencapaian MDGs, ada juga yang menetapkan sebagai
program unggulan daerah, namun tetap diikat dengan tujuan
yang sama, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
akses AMPL. Pengalaman fasilitasi di daerah, sebagai langkah
awal, menunjukkan sangat penting kiranya membangun visi
bersama di depan, sehingga antara pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya mempunyai kesamaan pandangan
melaksanakan pembangunan AMPL.
Seiring berjalannya waktu, tim fasilitator WASPOLA yang banyak
berinteraksi dengan pejabat dan masyarakat di daerah menjadi
berperan sebagai ujung tombak dalam proses implementasi
kebijakan di daerah. Sejak tahun 2004 sampai dengan 2007
implementasi kebijakan terlaksana di 63 kabupaten /kota pada 9
provinsi. Dari proses ini terdapat sejumlah pembelajaran yang
bisa dirujuk, yang kemudian dituangkan dalam buku ini.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 15
34. 16 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
35. BAB II
MENDEKATI
DENGAN KOMITMEN
2.1 Pola Pendekatan WASPOLA
Sebagai orang Sulawesi Selatan, Nasthain Gasba relatif
menguasai karakter masyarakat di kepulauan Sulawesi.
Semua kota besar di Sulawesi sudah dikunjunginya.
Sebelum menjadi fasilitator WASPOLA, dia telah malang
melintang bersama LSM internasional memfasilitasi
masyarakat. Tak kurang dari 11 tahun pengalaman telah
menjadikannya profesional di bidang pengembangan
masyarakat dengan kegiatan berupa studi dan pelatihan
di bidang sosial, pendidikan, dan teknis sarana air bersih
dan sanitasi. Maka ketika bergabung sebagai fasilitator
WASPOLA pada tahun 2004, pengalaman tersebut
sudah lebih dari cukup di bidang AMPL.
Namun, ketika ditugaskan ke Gorontalo, Nasthain
berpikir keras mencari cara, agar mudah diterima di
provinsi itu. Selalu saja ada hal baru yang harus dipahami,
untuk mempermudah pelaksanaan tugas baru. Menjadi
akrab dengan kondisi sosial dan menyiapkan diri belajar
beberapa kosa kata dan logat bicara orang Gorontalo,
menjadi bagian penting. Hal lain yang tak kalah
pentingnya, mempelajari karakter pemerintahan
setempat untuk memulai strategi pendekatan yang
tepat. Mengingat bahwa mitra utama fasilitator
WASPOLA ini adalah pemerintah daerah, yang pada
umumnya birokratis dan hirarkis.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 17
36. Tantangan lainnya adalah bagaimana menyatukan berbagai dinas
atau SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, yang terbiasa
kerja sektoral menjadi lebur dalam suatu wadah koordinasi. Tidak
jarang terjadi perbedaan pendapat dari masing-masing SKPD,
tetapi Nasthain memandang ini wajar dalam suatu proses.
Beberapa kali pertemuan informal dan lokakarya, pada akhirnya
kebersamaan terbangun. Masing-masing SKPD mulai mampu
menempatkan perannya masing-masing dalam Kelompok Kerja
(Pokja) AMPL.
Dari pengalaman dua fasilitator sebelumnya di Gorontalo, Agus
Priatna dan Alma Arif, Nasthain juga belajar bahwa fungsi fasilitator
tidak sekedar konsultan. Lebih jauh dari itu, seorang fasilitator
adalah teman yang mau berbagi waktu, mau mendengar sekaligus
belajar dari mitra kerja daerah. Hasilnya tak banyak hambatan
berarti. Komunikasi yang dibangun membuat semua urusan dapat
berjalan lancar, tanpa ada batas hirarki sosial. Pendeknya,
komunikasinya menjadi cair.
Demikianlah kira-kira gambaran tim WASPOLA saat pertama kali
masuk ke daerah yang akan difasilitasi. Syarifuddin yang bertugas
di Sumatera Barat menambahkan bahwa ciri khas, sosial dan
geografis, setiap daerah menjadi tantangan bagi tim untuk
menemukan cara komunikasi dan pendekatan yang efektif.
Membentuk suasana ”rumah sendiri” (at home) harus dibangun
sedemikian rupa. Hambatan birokratis harus bisa dipecahkan
dengan pertemanan dan kekeluargaan dengan mereka yang
disiapkan menjadi kampiun AMPL di daerah ( baca: anggota Pokja
AMPL di daerah).
Tim WASPOLA yang datang ke daerah sebagai profesional dibekali
dan memiliki kemampuan membangun pendekatan yang lentur.
Bagi fasilitator WASPOLA, membangun komunikasi harus terjadi
dalam berbagai waktu dan kesempatan. Kemampuan ini menjadi
kekuatan untuk berinteraksi secara formal maupun informal.
“Terkadang kami memulai pembicaraan di warung kopi,” kata
Alma Arif, fasilitator yang kini bertugas di Provinsi NTT.
“Sebelum acara dimulai, biasanya saya mengajak mitra kerja untuk
bertemu malam harinya. Mereka senang karena bisa menyampaikan
dan bertanya berbagai hal dan saya menjadi pendengar yang baik,”
18 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
37. ujar Bambang Pujiatmoko yang cukup lama memfasilitasi Pokja
Provinsi Jawa Tengah.
“Karena intensitas yang tinggi, hubungan dengan mitra di daerah
bisa menjadi seperti saudara. Hal ini benar-benar sangat
memudahkan tugas saya di lapangan,” papar fasilitator untuk
wilayah Banten, Agus Priatna.
Selain pembentukan komunikasi yang cair, apresiasi terhadap tim
WASPOLA juga terbentuk karena komitmennya terhadap proses
penganggaran yang efisien dan transparan. Independensi
pendanaan memungkinkan WASPOLA tidak menjadi beban untuk
mitra di daerah.
Sikap itu tumbuh dan dijiwai oleh muatan Kebijakan Nasional,
yang mendorong semangat transparansi dan kejujuran. Karena
kepercayaan seperti itulah hubungan yang terjalin kemudian tidak
lagi dibatasi kepentingan kedinasan semata, tetapi juga
berkembang pola hubungan yang familiar dan hangat. Tim
WASPOLA selalu berusaha menjauhkan sikap kepura-puraan,
sebab prinsip kebijakan AMPL juga sangat menekankan pada
aspek ”keikhlasan” aparat daerah dalam membangun prasarana
dan sarana AMPL.
2.2 Tawaran WASPOLA
Apa sebenarnya yang ditawarkan WASPOLA melalui fasilitasi?.
Ada dua hal pokok yang ditawarkan, yaitu reformasi kebijakan
pembangunan AMPL dan komitmen pembangunan yang fokus
pada kebutuhan masyarakat. Reformasi kebijakan diawali di tingkat
pusat dan diimplementasikan ke daerah dengan pintu adopsi
kearifan lokal yang dibuka lebar. Implementasi kebijakan bertujuan
untuk memfasilitasi, mendukung, dan meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam melaksanakan dan memantau
pelaksanaan kebijakan AMPL.
2.2.1 Diseminasi Kebijakan Melalui Fasilitasi Partisipatif
Sebagai suatu pegangan bagi para pelaku pembangunan AMPL,
diseminasi kebijakan menjadi sangat penting untuk diupayakan
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 19
38. penyebarluasannya, agar dapat dipahami dan diterapkan oleh
daerah. Diseminasi ini menjadi kewajiban pemerintah, dalam hal
ini Pokja AMPL Nasional. Melalui proyek WASPOLA, diseminasi
dilakukan di tingkat pusat yang diperuntukkan bagi para pejabat
departemen terkait, lembaga donor, perguruan tinggi, dan para
pelaku lain di tingkat nasional. Juga dilakukan untuk pemerintah
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pada tingkat
daerah, provinsi dan kabupaten/kota juga melakukan diseminasi
untuk wilayahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhannya.
Kegiatan-kegiatan di daerah ini dikoordinasikan oleh Pokja AMPL
Daerah yang didukung oleh Pokja AMPL Nasional.
Diseminasi yang dilakukan tim WASPOLA tidak mengandalkan
pendekatan searah dengan sekedar menyampaikan apa itu
kebijakan Nasional, tetapi lebih diutamakan penguatan kapasitas
dengan mitra daerah dan menemukan nilai-nilai penting melalui
pembelajaran bersama. Langkah diseminasi diawali dengan
mengembangkan pemahaman mitra kerja mengenai isu
pembangunan AMPL di daerah. Mitra kerja diajak berpikir bersama
untuk mengidentifikasi persoalan atas pembangunan AMPL yang
tidak berkelanjutan dan tidak efektif, yang terjadi di daerahnya.
Proses ini memberikan dampak yang signifikan dan efektif kepada
pemangku kepentingan atas esensi Kebijakan Nasional dan
kaitannya dengan realitas isu pembangunan AMPL di daerah
mereka. Melalui lokakarya partisipatif, peserta mendiskusikan
dan menemukan akar masalahnya. Proses ini memberikan
pemahaman terhadap pentingnya penerapan pendekatan tanggap
kebutuhan, partisipasi aktif masyarakat, partisipasi perempuan,
tidak transparannya proses pembangunan, dan sebagainya
dalam pembangunan AMPL. Intinya proses internalisasi
jauh lebih penting daripada sekedar membangun pemahaman
tanpa diikuti dengan aksi.
Dukungan pimpinan daerah merupakan kunci penting dalam
diseminasi kebijakan, dan hal ini sangat disadari oleh tim WASPOLA.
Maka diawal proses diseminasi program dilakukan melalui
sosialisasi kepada pimpinan daerah, biasa disebut roadshow
kebijakan, yang dilakukan bersama Pokja AMPL Nasional. Tujuan
utama roadshow selain untuk memperkenalkan Kebijakan Nasional
Pembangunan AMPL-BM, adalah penggalangan dukungan
pimpinan daerah untuk memberikan ruang perubahan
20 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
39. pembangunan AMPL di daerahnya melalui pembentukan
kelompok kerja AMPL dengan anggota dari berbagai dinas/SKPD
terkait yang nantinya akan difasilitasi oleh tim WASPOLA. Dalam
prosesnya perjalanan roadshow ini banyak memberikan manfaat
untuk dukungan implementasi kebijakan kedepan terutama dari
sisi kelembagaan dan peraturan.
Pendekatan partisipatif tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi
tim WASPOLA konsisten menerapkan dalam kegiatannya. Dalam
lokakarya maupun pelatihan, sangat dihindari model yang elitis
dan satu arah, semua diskusi di lakukan dengan model dua arah
dan dialogis. Peserta yang kebanyakan terdiri dari para birokrat,
pertama-tama heran dan canggung ketika dalam diskusi kelompok
tidak menggunakan kursi, tetapi diajak ’melantai’ atau duduk
dilantai. Hal ini dimaksudkan agar para birokrat mulai terbiasa
dengan perannya sebagai fasilitator yang sesungguhnya. Bukan
kursi yang diperlukan, tetapi komitmen untuk berempati terhadap
situasi masyarakat dan semangat melayani, itu yang diperlukan.
Metode partisipatif yang digunakan adalah metode metaplan,
yaitu memetakan gagasan/pendapat bersama-sama. Tim
WASPOLA menggunakan intempel atau apa yang disebut
stickycloth, dimana peserta semuanya harus berbagi pendapat
dengan menuliskan pada kertas metaplan sehingga semua
berpartisipasi. Metode ini menjadi penting, mengingat tidak
semua peserta mempunyai keterampilan berbicara di depan
umum, apalagi masyarakat. Dengan metode ini semua
peserta harus menyumbangkan pendapatnya.
Tidak ada jawaban yang benar dan salah, karena metode ini
menganggap semua orang mempunyai kemampuan untuk
memecahkan masalah. Ini adalah konsekuensi pendekatan
partisipatif, memberikan ruang yang luas kepada semua peserta
untuk terlibat tanpa membedakan label kedudukan dan pangkat.
Pertama-tama banyak peserta dibuat heran dengan
lokakarya yang kegiatannya ’tempel menempel’. Bahkan
sering terdengar kelakar, kalau tidak tempel menempel
bukan WASPOLA. Tetapi konsistensi pendekatan tidak bisa
ditawar lagi. Lambat laun dalam proses di lapangan akhirnya
Pokja AMPL daerah mulai merasakan manfaat metode
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 21
40. diskusi partisipatif ini dan sudah fasih menerapkan dalam
kegiatan fasilitasi di daerah.
Metode ini pada dasarnya juga memperlihatkan peran
fasilitator bukanlah peran konsultan yang tahu segala-
galanya tetapi justru membuat semua orang berpendapat
dan merumuskan bersama-sama itulah intinya partisipasi.
Tidak jarang pula dilakukan dinamika kelompok
atau ice breaking untuk mencairkan suasana, dari formal
menjadi informal yang menjadi pintu masuk untuk memulai
kebersamaan dan membangun solidaritas antar peserta.
Dalam perjalanan fasilitasi selama kurun waktu 2004-2007,
terjadi perubahan dalam prosesnya. Pada tahun pertama
yang merupakan uji coba, kegiatan dilakukan di kabupaten
sebagai basis kegiatan, tanpa keterlibatan provinsi. Pada
tahun kedua, kegiatan fasilitasi dilakukan di kabupaten
dengan melibatkan provinsi sebagai pendamping
kabupaten. Pada tahun ketiga, fasilitasi difokuskan
di tingkat provinsi dan provinsi melakukan fasilitasi kepada
kabupaten. Pada tahun keempat, melanjutkan pola
pendekatan tahun ketiga yang lebih mengedepankan peran
provinsi dalam pendampingan kabupaten/kota.
Sedangkan peran pemerintah pusat lebih fokus kepada
peningkatan kapasitas kelompok kerja provinsi dengan
membekali pengetahuan dan keterampilan dasar dalam
fasilitasi implementasi Kebijakan Nasional. Penerimaan
Kebijakan Nasional tersebut harus terwujud dalam bentuk
meningkatnya kinerja pembangunan AMPL, yang sedikitnya
mencakup tiga aspek kunci yaitu: kelembagaan, regulasi
dan pembiayaan.
22 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
41. Road Map Diseminasi
Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL-BM
2.2.2 Penguatan Kapasitas Mitra Kerja Daerah
Dalam melaksanakan kegiatan implementasi kebijakan, WASPOLA
lebih menekankan pada peningkatan kapasitas mitra kerja daerah.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menawarkan Kebijakan
Nasional sebagai acuan pembangunan AMPL daerah dalam rangka
mencapai pembangunan AMPL yang berkelanjutan. Pendekatan
konvensional yang cenderung memandang dan mengutamakan
asas formal melalui penerbitan surat keputusan atau surat edaran
tentang pemberlakuan suatu kebijakan pemerintah pusat,
tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang utama. Kesediaan
daerah untuk menjadi mitra dalam melaksanakan kebijakan
lebih merupakan hasil dari proses fasilitasi.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 23
42. Melalui proses pendampingan di lapangan, tim WASPOLA
berusaha mengadvokasi mitra daerah sehingga muncul inisiatif
dari daerah sendiri untuk melaksanakan legislasi kebijakan di
daerah. WASPOLA lebih menitikberatkan bahwa esensi dari
adopsi kebijakan adalah terbentuknya kapasitas pengelola untuk
menerjemahkan kebijakan sesuai konteks, kebutuhan, dan tujuan
pembangunan daerah itu sendiri.
Dengan berbagai pendekatan, salah satunya menggunakan
metode metaplan yang lazim dipakai dalam teknik fasilitasi
partisipatif, pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak
pembangunan AMPL bukan hanya dibuka dan diperluas
wawasannya untuk menerima Kebijakan Nasional, tetapi juga
benar-benar memahami perannya sebagai fasilitator serta
memiliki kemampuan menjabarkannya menjadi berbagai strategi
pembangunan dan program yang berkelanjutan dalam bentuk
kegiatan yang lebih operasional.
Peran Pokja AMPL sebagai fasilitator di daerah ternyata mampu
memicu beberapa orang untuk tampil menjadi champion atau
kampiun pelaksanaan program pembangunan AMPL. Kampiun
adalah seseorang atau sekelompok orang yang menjadi garda
terdepan dari sebuah program pembangunan AMPL, baik di
tingkat masyarakat, pemerintahan ataupun institusi lainnya.
Diharapkan melalui wadah Pokja AMPL yang bersifat ad hoc
dan pembentukannya berdasar SK dari kepala daerah ini, akan
bermunculan para kampiun baik dari kabupaten/kota
maupun provinsi.
Anggota Pokja AMPL daerah tentu sangat membutuhkan
penguatan kapasitas yang terpadu sehingga nantinya mampu
menjalankan peran dan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan
AMPL. Penguatan kapasitas ini meliputi proses perubahan
pemahaman (paradigma) terhadap pembangunan AMPL yang
diikuti dengan perubahan sikap dalam hal ini kesepakatan dan
komitmen melaksanakan, serta ketrampilan memfasilitasi
pelaksanaan kebijakan di lapangan. Serangkaian lokalatih disiapkan
sebagai menú di tingkat nasional maupun di daerah untuk proses
penguatan kapasitas tersebut meliputi Lokalatih Pelaksanaan
Kebijakan, Penyusunan Rencana Strategi (Renstra) AMPL dan
beberapa pelatihan pendukung lainnya meliputi pelatihan
24 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
43. keterampilan fasilitasi seperti, MPA (Methodology for Participatory
Assesment), dan CLTS (Community-Led Total Sanitation).
Lokakarya pertama yang wajib diikuti oleh daerah adalah Lokakarya
Pelaksanaan Kebijakan dimana terjadi proses pembelajaran kepada
Pokja AMPL untuk memperoleh kesamaan pemahaman mengenai
pokok kebijakan dan strategi operasionalisasi di daerah
berdasarkan kondisinya. Lokakarya ini akan membantu daerah
dalam mengembangkan arah dan strategi keberlanjutan
pembangunan AMPL di daerah.
Kemampuan menyusun Renstra (rencana strategi) AMPL mutlak
harus dimiliki oleh semua daerah dampingan WASPOLA. Pelatihan
ini menjadi menu wajib dan langsung diselenggarakan di daerah
sehingga sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian daerah
memiliki kerangka tindak menuju keberlanjutan pembangunan
AMPL, yang meliputi rumusan visi dan misi pembangunan AMPL,
rumusan isu strategis AMPL dan program strategis dalam rangka
mengatasi isu tersebut, dan matriks renstra AMPL Daerah.
Penguatan sumber daya lokal adalah kunci keberlanjutan
pembangunan sehingga mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dasar fasilitasi menjadi faktor pendukung dalam
penerapan di lapangan. Pelatihan keterampilan fasilitasi
membantu mitra kerja daerah baik Pokja AMPL maupun
institusi terkait lainnya dalam mentransformasi substansi
kebijakan pembangunan AMPL di daerahnya. Semakin
banyak fasilitator handal semakin besar peluang daerah
untuk berkembang.
Dalam pembangunan AMPL, tidak jarang terjadi dominasi
dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sebagian
kecil masyarakat (biasanya kelompok elit) yang seringkali
tidak menguntungkan bagi kelompok lain, khususnya
masyarakat miskin. Tidak jarang bantuan yang datang ke
desa atau pelayanan yang ada di desa akhirnya tidak dapat
dinikmati oleh kelompok miskin.
Demikian juga dengan kelompok perempuan. Karenanya
diperlukan suatu pendekatan yang dapat memberikan
kesetaraan akses bagi seluruh lapisan masyarakat
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 25
44. (miskin, kaya, perempuan, laki-laki), dalam proses pengambilan
keputusan. Metode ini disebut dengan MPA yaitu Methodology
for Participatory Assessment. MPA sangat bermanfaat untuk
memperkuat kapasitas Kelompok Kerja AMPL daerah dalam
memfasilitasi kebijakan di daerah masing-masing. Aktivitas
partisipatifnya menjadi semangat untuk memotivasi kepedulian
dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program kebijakan
yang diterapkan.
Salah satu tawaran WASPOLA yang lain adalah metode CLTS yang
saat ini telah menjadi salah satu pilar program pembangunan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) -- gerakan sanitasi total
yang dipimpin masyarakat--merupakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat untuk analisis keadaan dan risiko pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh praktik buang air besar di
tempat terbuka. Dengan demikian terjadi perubahan cara pandang
dan menginisiasi perilaku sanitasi tanpa mengandalkan subsidi
dari luar. Saat ini STBM telah banyak diterapkan di berbagai daerah.
Titik bidik dari semua pelatihan atau kegiatan tersebut diatas,
adalah memperkuat kapasitas sumber daya manusia, mendorong
kapasitas sumber daya pelaku, kelembagaan dan mengembangkan
sistem yang mengoptimalkan partisipasi semua pemangku
kepentingan dalam pembangunan.
2.3 Dukungan WASPOLA
WASPOLA dalam perkembangannya berlangsung dalam dua tahap,
yaitu : tahap pertama yang dikenal sebagai WASPOLA 1, dilakukan
pada tahun 1998-2003, yang berfokus pada kajian dan
pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Sedangkan tahap
kedua atau WASPOLA 2 (2004-2008) yang menekankan pada
implementasi kebijakan dan diseminasi, yang dikembangkan
melalui empat komponen kegiatan, yaitu:
Pertama, Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) yang
merupakan langkah lanjutan dari WASPOLA 1. Dengan fokus pada
proses fasilitasi operasionalisasi Kebijakan Nasional baik untuk
tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Substansi materinya
adalah pendalaman Kebijakan Nasional, pemahaman permasalahan
pembangunan AMPL di daerah, kajian lapangan keberhasilan dan
kegagalan pembangunan AMPL, diskusi tematik hasil kajian
26 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
45. lapangan, pengelolaan data base AMPL, penyusunan Rencana
Strategis Pembangunan AMPL (Renstra AMPL) daerah, serta
pengembangan kerja mandiri untuk kegiatan lanjutan pada tahun
berikutnya.
Kedua, Reformasi kebijakan (Policy Reform), dengan fokus pada
pengembangan kebijakan pembangunan sektor AMPL yang
dikelola secara kelembagaan. Kajian dan arah kebijakan lebih
cenderung pada pengaturan kelembagaan. Materinya meliputi
kajian dan penyusunan kebijakan, pembelajaran pengelolaan
institusional. Kerjasama antarsektor menjadi faktor kunci untuk
merealisasikan gagasan ini, yang menginginkan adanya reformasi
pendekatan pembangunan dan peningkatan kapasitas pengelolaan
sektor AMPL di tingkat penyelenggaraan, terutama di perkotaan.
Ketiga, Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
dengan fokus untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan dan
mengembangkan inisiatif penyelenggaraan reformasi dan
perubahan pola pikir. Dilakukan melalui berbagai kegiatan
pengkajian, diseminasi, uji coba, kemitraan dan kerjasama,
pengelolaan informasi dan data, komunikasi dan studi banding.
Inisiatif studi banding dikembangkan melalui pertukaran
pengalaman antardaerah, antarprovinsi maupun antarnegara.
Sedangkan kegiatan strategi komunikasi untuk pembangunan
AMPL dilakukan melalui proses uji coba, pelatihan, produksi media
dan pendampingan di lapangan untuk memperkuat kapasitas
pelaku dalam merancang strategi komunikasi yang tepat sasaran
untuk mendorong akselerasi pembangunan AMPL.
Keempat, Manajemen Proyek (Project Management), merupakan
bagian yang memfokuskan pada penyelenggaraan dan dukungan
keuangan dan administrasi pengelolaan program secara
keseluruhan. Termasuk koordinasi dan komunikasi dengan Pokja
AMPL, Pokja Provinsi dan Pokja Kabupaten, serta mitra strategis
di tingkat nasional, daerah dan internasional.
Keempat komponen tersebut bekerja secara terintegrasi satu
sama lain dalam pelaksanaannya, terutama mendukung komponen
implementasi kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Prosesnya
memerlukan pendampingan yang intensif dan waktu yang tidak
sedikit. Tim WASPOLA belajar dari pengalaman lapangan yang
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 27
46. acapkali berbenturan dengan sistim birokrasi yang rumit, belum
lagi dengan karakteristik daerah yang sangat bervariasi dan
motivasi mitra kerja yang beragam. Hal itu sangat memerlukan
fleksibilitas waktu dan tenaga dari seorang fasilitator. Kerja
seorang fasilitator tidak cukup hanya mengandalkan keahlian di
bidangnya, diperlukan pendekatan lain yang lebih manusiawi yaitu
komitmen. Dan komitmen yang dimiliki tim fasilitator itu sendirilah,
yang menjadi kunci motivasi tumbuhnya komitmen dari mitra
kerja daerah. Nampaknya sesuatu yang sangat idealis, tetapi ini
adalah realita yang didapat di lapangan.
28 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
47. BAB III
MEMBANGUN
HARMONISASI PUSAT
DAN DAERAH
Bangunan komunikasi dalam proses fasilitasi WASPOLA
sengaja tidak dibuat dalam bentuk yang kaku. Namun
esensi tranformasi pemahaman antarpemangku
kepentingan tetap terjadi. Hal ini terbangun secara
alami dan mampu menjembatani kekakuan hubungan
birokrasi. Hal tersebut juga nampak dalam semangat
kerja Kelompok Kerja AMPL Nasional, sehingga
membantu upaya dalam rangka membangun
harmonisasi pusat dan daerah.
3.1. Potret POKJA AMPL
Nasional
Pokja AMPL Nasional, yang nota bene adalah penggagas
reformasi dan implementasi Kebijakan Nasional itu
sendiri, ternyata tidak mengambil posisi sebagai orang
yang tahu segalanya, tetapi secara cermat mendengar
ide dan curahan hati mitra daerah yang selanjutnya
mendiskusikan jalan keluarnya. Mendengar langsung
dari masyarakat juga adalah perilaku perubahan yang
ditampilkan oleh Pokja AMPL.
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 29
48. Pokja AMPL Nasional mulai dikenal tahun 1998 pada saat
dimulainya penyusunan Dokumen Kebijakan Nasional
Pembangunan AMPL-BM, kiprah dan keatifannya sangat dirasakan
sejak tahun 2002. Baru pada tahun 2005, ditebitkan Surat
Keputusan (SK) Tim Koordinasi Pembangunan AMPL Tingkat
Nasional. Pokja AMPL adalah wadah untuk melakukan koordinasi,
dialog dan sinergi peran pelaku dalam upaya mengawal dan
mempengaruhi proses pembangunan AMPL-BM sesuai dengan
prinsip Kebijakan Nasional AMPL-BM.
Saat ini lima departemen secara aktif ikut serta dalam Pokja AMPL
Nasional, diwakili oleh direktorat terkait, yaitu: Direktorat
Permukiman dan Perumahan Bappenas; Direktorat Kesehatan
dan Gizi Masyarakat, Bappenas; Direktorat Bina Program, Ditjen
Cipta Karya, Dep.Pekerjaan Umum; Direktorat Pengembangan
Air Minum, Direktorat Jendral Cipta Karya, Departemen Pekerjaan
Umum; Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan
Permukiman, Ditjen. Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum;
Direktorat Penyehatan Lingkungan Ditjen Departemen Kesehatan;
Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Ditjen.
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri;
Direktorat Fasilitasi Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang, Ditjen.
Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri; dan Asisten
Deputi Urusan Pengendalian dan Pencemaran Limbah Domestik
dan Usaha Kecil, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup. Fungsi koordinasi
Pokja AMPL Nasional dilakukan oleh Bappenas.
Karena besarnya kegiatan yang harus dilaksanakan, Pokja AMPL
Nasional pada saat ini lebih memerankan sebagai pusat informasi
dan dukungan kapasitas dalam pembangunan AMPL secara luas.
Pokja AMPL Nasional sangat berperan dalam menjalin kerjasama
dan berkoordinasi dengan berbagai pihak yang potensial, baik
lembaga donor, LSM internasional, proyek besar, dan lain-lain.
Walaupun demikian kepentingan daerah tetap menjadi agenda
utama Pokja AMPL Nasional.
3.2 Harmonisasi dengan Daerah
Mengawal implementasi Kebijakan Nasional di daerah merupakan
peran yang secara konsistensi dijalankan Pokja AMPL Nasional.
30 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
49. Hal ini dilakukan karena tanggap terhadap kebutuhan daerah yang
masih memerlukan kehadiran pihak pusat. Karenanya, dalam
kenyataan, Pokja AMPL Nasional menjadi dan harus sering naik-
turun pegunungan untuk melihat perkembangan proses fasilitasi
WASPOLA dalam implementasi kebijakan di daerah. Disadari
kemudian bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk
membangun hubungan harmonis dengan daerah, sehingga
tercipta empati dan solidaritas satu sama lain.
Perjalanan memutari punggung gunung terjal yang dihiasi tebing
curam seperti tak berujung, menjadi bagian pemandangan
perjalanan yang lazim di lakukan anggota Pokja. Tuntutan tugas
dan komitmen untuk melihat secara langsung tanggapan dan
prakasara masyarakat dalam pembanguan AMPL, mengharuskan
mereka bersabar. Oswar Mungkasa dari Pokja AMPL Nasional
mengatakan, “Biasanya kecemasan sepanjang perjalanan itu
berganti semangat dan kebanggaan ketika melihat bagaimana
Kebijakan Nasional dilaksanakan dan semangatnya
diwujudnyatakan di desa-desa terpencil,. Tentu saja, ini
berlangsung karena di daerah telah ada Pokja Daerah“. Hal
tersebut terjadi pada saat rombongan Oswar Mungkasa hampir
tersesat mengitari jalanan berliku di salah satu desa di kabupaten
Gorontalo.
Kehadiran Pokja Nasional di daerah, dirasakan benar manfaatnya
oleh para fasilitator kabupaten, baik Pokja AMPL Daerah maupun
tim WASPOLA, dan lebih-lebih masyarakat. ”Upaya kita benar-
dihargai” kata Rusman, Pokja AMPL Kabupaten Gorontalo.
Kehadiran Pokja Nasional, setidaknya menyemangati Pokja Daerah
dan komunikasi menjadi lebih lancar antara daerah dan Nasional.
Memang ada risiko lain yaitu adanya ekspektasi aparat daerah
terhadap WASPOLA dan Pokja AMPL Nasional menjadi semakin
tinggi.
Keberhasilan fasilitasi daerah dan hubungan harmonis fasilitator
WASPOLA dengan Provinsi dan Kabupaten/kota, tidak terlepas
dari dukungan penuh Pokja AMPL Nasional. Ini juga terbina dan
menguat antara Pokja Daerah dan Pusat. Tidak sekedar komunikasi
birokrasi formal, namun komunikasi personal yang juga cair.
Sebagai pemilik program, Pokja AMPL Nasional tidak saja memberi
dukungan penuh dalam aspek administrasi saja, misalnya surat
Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 31
50. menyurat dan undangan ditandatangani oleh Direktur Perumahan
dan Permukiman Bappenas, tetapi juga secara aktif mewarnai
substansi atau mengisi materi fasilitasi berbagai acara lokakarya
di daerah, termasuk membantu penyediaan anggaran yang sejak
tahun 2004 terus meningkat dari tahun ke tahun. Komitmen
anggota Pokja AMPL Nasionalpun juga diwujudkan dengan
kesediaan meluangkan waktu khusus mendampingi Pokja AMPL
daerah dalam melakukan audiensi dan road show untuk
memperkuat penggalangan dukungan dari pimpinan daerah
maupun legislatif, proses advokasi di berbagai daerah melalui
talk show di media massa dan sebagainya.
Sangat terasa partisipasi dari tokoh penting yang terlibat dalam
program WASPOLA, setidaknya terlihat dari level direktur (eselon
II) di masing-masing departemen yang terlibat pada waktu itu,
antara lain Basah Hernowo, Arum Atmawikarta (Bappenas), Joko
Muryanto, Susmono, Poedjastanto (Dep PU), Johan Susmono,
Sofjan Bakar (Depdagri), Hening Darpito dan Wan Alkadri (Depkes).
Sementara pada tataran teknis ada Oswar Mungkasa, Nugroho
Tri Utomo, Maraita Listyasari, Pungkas AB, Hadiat (Bappenas),
Indar Parawansa, Rheida Pramudhi, Helda Nusi, Rewang Budiyana,
Togap Siagian (Depdagri), Savitri Rusdiyanti, Rina Agustin, Tamin
MZ Amin, Bambang Purwanto, Essy Assiah, Raymond Marpaung,
Handy B. Legowo, Kati Andraini, Endang Setyaningrum (Dep PU),
Supriyanto, Zainal Nampira, Ismael, Sutjipto, Djoko Wartono
1
(Depkes), dan Iim Ibrahim (LH) ).
Mereka secara bersama-sama atau terpisah, dengan bersungguh-
sungguh mendampingi fasilitator WASPOLA, terutama di awal
musim fasilitasi. Dengan kehadiran anggota Pokja AMPL yang
mewakili pemerintah pusat itu, para pengambil kebijakan di daerah,
baik eksekutif maupun legislatif, menjadi lebih mudah memahami
dan menerima Kebijakan Nasional.
Untuk “membidik” pengambil kebijakan tertinggi di daerah,
kehadiran anggota Pokja itu menjadi mutlak. Apalagi, Pokja AMPL-
lah yang kemudian akan menindaklanjuti pembangunan setelah
program WASPOLA berhenti atau berganti. Dengan kehadiran
mereka di daerah pada awal fasilitasi, setidaknya dapat
memperoleh gambaran mengenai daerah bersangkutan. Informasi
langsung ini sangat penting untuk memudahkan pemetaan
1) Beberapa pejabat telah pindah tugas atau pensiun
32 Membangun Komitmen Reformasi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan