2. Oleh:
Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S
.
Editor:
Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc.
Diproduksi oleh
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Way Seputih-Way Sekampung
2014
BEST PRACTICES
PENGELOLAAN HUTAN DAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI
BERBASIS MASYARAKAT
3.
4. iii
KATA PENGANTAR
Penulisan buku Best Practices ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan
sebagian dari kegaitan Proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed
Management (SCBFWM) atau Penguatan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran
Sungai Berbasis Masyarakat. Sebagaimana diketahui, proyek ini telah dilaksanakan
sejak tahun 2010 dan akan berakhir pada tahun 2014 ini.
Secara umum, proyek SCBFWM untuk Regional Lampung telah menjalankan
fungsinya dengan baik sesuai dengan tujuan dan goals proyek yang termaktub dalam
dokumen proyek. Proyek ini berlokasi di Sub-DAS Way Besai, Kabupaten Lampung
Barat.
Kerja-kerja dari proyek SCBFWM telah meninggalkan tapak yang sangat positif
untuk proses pemulihan kawasan daerah aliran sungai. Sebelum proyek dimulai,
daerah Way Besai telah mengalami periode yang sulit akibat dari perusakan hutan yang
terjadi sejak tahun 70-80 an. Akibatnya, daerah ini menjadi daerah yang harus
dipulihkan. Namun demikian, sejak tahun 2010, secara perlahan daerah ini telah
berhasil mengalami pemulihan yang dicirikan dengan meningkatnya areal tutupan
hutan dan berkurangnya lahan sangat kritis. Hal ini memberikan hal yang menjanjikan
mengingat bahwa pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai selama ini sering
mengalami kegagalan.
Namun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa pemerintah dapat berpuas
diri atas perubahan positif tersebut. Karena, perubahan positif tersebut masih sangat
rentan untuk terganggu kembali bila upaya yang sistematis, terpadu, dan berkelanjutan
tidak dilakukan dengan baik. Buku ini, mungkin hanyalah cerita kecil dari upaya-upaya
tersebut.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung
mengucapkan terima kasih kepada kontributor penulisan buku ini, editor Prof.
Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D., regional fasilitator dan fasilitator lapang, serta pihak-
pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
5. iv
Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua baik bagi
praktisi, akadmisi, penggiat lingkungan dan kehutanan, serta masyarakat.
Kepala Balai Pengelolaan DAS
Way Seputih Way Sekampung
Ir. Muswir Ayub
6. v
SEKAPUR SIRIH
Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam keberlanjutan ekosistem saat
ini sedang mengalami kemunduran, terutama akibat dari tekanan penduduk dan
pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Upaya pemerintah, Lembaga Masyarakat dan
Organisasi Pencinta Lingkungan pun sudah dilakukan untuk mencegah dan
mengurangi degradasi lahan dan DAS tersebut. Namun kondisi DAS saat ini bahkan
semakin mengkhawatirkan. Pada musim hujan, banjir, longsor dan erosi sudah terjadi
dimana-mana, sebaliknya pada musim kemarau, kekekeringan pun melanda
Indonesia. Kejadian kontras tersebut seolah- olah sudah menjadi kejadian biasa yang
harus kita maklumi saja.
Kedepan, fungsi lahan dan DAS akan semakin besar dan berat dengan
meningkatnya kebutuhan pangan dan energi Indonesia akibat dari meningkatnya jumlah
penduduk dan meningkatnya pembangunan. Daerah Aliran Sungai kedepan bukan
hanya berperan dalam memasok kebutuhan air untuk meningkatkan produktivitas lahan
dan kebutuhan pembangunan lainnya, tetapi juga berperan dalam penyerapan karbon
dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Oleh karena itu, degradasi lahan dan DAS harus segera dikurangi dan kalau bisa
dihentikan. Namun upaya untuk mengurangi degradasi DAS tidak bisa dilakukan dengan
cara business as usual, tetapi diperlukan terobosan atau pendekatan yang berbeda dari
sebelumnya seperti program SCBFWM (Strengthening Community Based Forest
Management). Tujuan program ini bukan hanya menyangkut aspek lingkungan saja,
tetapi juga aspek sosial ekonomi suatu DAS. Pada tataran implementasinya pun
sudah melibatkan kekuatan sumberdaya lokal seperti komunitas, kelembagaan
dan sumberdaya alam. Program Strengthening Community Based Forest and Watershed
Management (SCBFWM) ini dilakukan di sub DAS hulu Way Besay, Lampung Barat dari
tahun 2010 sampai 2014. Hasil kerja selama empat tahun yang ditunjukkan dalam buku
ini merupakan bukti keberhasilan program pengelolaan DAS berbasis masyarakat.
Namun program ini tidak berdampak luas jika tidak ada keberlanjutannya. Oleh karena
itu, program ini perlu ditindaklanjuti dan diteruskan bahkan kalau bisa menjadi model
pengelolaan DAS lainnya. Tentu dengan dievaluasi lebih dahulu dan dikembangkan lagi .
Selamat!
Muhajir Utomo
8. vii
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR.................................................................................................... iii
SEKAPUR SIRIH............................................................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... x
I. PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Proyek....................................................................................... 1
1.2. Implementasi Proyek SCBFWM di Lampung................................................ 3
1.3. Tujuan dan Keluaran Proyek SCBFWM......................................................... 5
1.4. Manfaat dan Susunan Buku .............................................................................. 6
II. KONDISI SUB DAS WAY BESAI....................................................................... 8
2.1. Lokasi................................................................................................................... 8
2.2. Demografi ........................................................................................................... 8
2.3. Perubahan Penutupan Lahan............................................................................ 9
III. BEBERAPA MODEL PENGELOLAAN HUTAN DAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI BERBASIS MASYARAKAT .............................................. 21
Model 1. Pengelolaan Mikrohidro Berbasis Masyarakat Sebagai Bentuk
Model Energi Terbarukan di SUB DAS Way Besai (oleh Gandi, Fasilitator
Lokal SCBFWM Regional Lampung)........................................................................ 23
Model 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pembelajaran dari HKm
BinaWana dalam Melestarikan Hutan dan Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat (oleh Gilang Priyatno, S.Pd., Fasilitator Lokal SCBFWM Regional
Lampung)...................................................................................................................... 34
Model 3. Melalui Semangat Kewirausahaan Hutan Kelompok Wanita Tani
Melati “ Menjaring Manusia Setengah Dewa” dalam Melestarikan SUB
9. viii
DAS Way Besai (Oleh Idi Bantara S,Hut., M.Sc., Kasie Kelembagaan BP DAS
Way Seputih-Sekampung............................................................................................... 53
Model 4. Aksi Nyata Banjar Negara Sebagai Kabupaten Konservasi (oleh
Nurul Ardiana, Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak
Progo/Counterpart SCBFWM Regional Yogyakarta) ................................................... 64
IV. EXIT STRATEGI PROYEK SCBFWM REGIONAL LAMPUNG ............. 73
4.1. Pendahuluan........................................................................................................ 73
4.2. Cakupan Diskusi................................................................................................. 75
4.3. Kesimpulan ......................................................................................................... 85
V. PEMBELAJARAN................................................................................................... 87
10. ix
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 2.1. Distribusi penduduk, sumber pendapatan, dan rumah tangga miskin
Berdasarkan Kecamatan di Way Besai................................................... 8
Tabel 2.2. Data Tutupan lahan terkini di Way Besai.............................................. 9
Tabel 2.3. Laju Erosi di areal study .......................................................................... 11
Tabel 2.4. Luas lahan kritis di catchment Sub DAS Way Besai............................ 12
Tabel 2.5. Hasil Pengukuran Sedimen di lima lokasi yang berbeda...................... 14
Tabel 2.6. Titik-titik mata air dan potensi mikrohidro di areal study................... 15
Tabel 3.1. Data Pohon Tenam yang telah teriventarisir ........................................ 47
Tabel 4.1. Klaster kegiatan CBO mitra SCBFWM................................................. 79
Tabel 4.2. Bujet pemerintah daerah yang dialokasikan untuk Way Besai
Tahun 2014................................................................................................ 82
11. x
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai.......................................................... 2
Gambar 2.1. Perubahan kondisi lahan di Way Besai................................................ 21
Gambar 2.2. Peta areal lahan kritis di catchment area Sub Das Way Besai .......... 13
Gambar 2.3. Keberadaan sumber mata air di catchment area Sub Das Way
Besai ......................................................................................................... 16
Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak .......................................................................... 18
Gambar 2.5. Vegetasi agroforest berbasis kopi......................................................... 19
Gambar 3.1. Pembangunan mikrohidro tidak terlepas dari peran serta Bapak-
Bapak anggota kelompok HKm Rigis Jaya ......................................... 27
Gambar 3.2. Pembibitan Secara Swadaya oleh anggota KWT Rimba sejati.......... 28
Gambar 3.3. Gotong royong warga dalam pembangunan mikrohidro.................. 29
Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikrohidro............................... 30
Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam
Menjaga dan melindungi sumber mata air........................................... 30
Gambar 3.6. Kelompok Jaya Tani melakukan pemasangan mikro hidro .............. 31
Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat
Menonton televisi................................................................................... 32
Gambar 3.8. Tata perijinan Hutan Kemasyarakatan................................................. 37
Gambar 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada
Program HKm........................................................................................ 40
Gambar 3.10. Kondisi Lahan di pekon Tribudisyukur setelah adanya HKm ........ 41
Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan ................... 44
Gambar 3.12. Kegiatan Diskusi Binawana................................................................... 45
Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center........................ 46
Gambar 3.14. Kegiatan HPPH-L dalam menginventarisasi pohon tenam.............. 49
Gambar 3.15. Penangkaran Anggrek............................................................................ 50
12. xi
Gambar 3.16. Research/Penelitian oleh mahasiswa dan dosen dari Jepang............ 51
Gambar 3.17. Keuntungan usaha selama empat tahun terakhir (2010-2013).......... 57
Gambar 3.18. Beberapa produk usaha HHBK KWT Melati yang telah laku
Dipasaran................................................................................................. 62
Gambar 3.19. Semarak kelompok bersama Menteri Kehutanan .............................. 62
Gambar 3.20. Hutan Lindung Desa tempat berlindung satwa.................................. 62
Gambar 3.21. Pohon pelindung kopi yang mulai rimbun menjaga bumi ................ 62
Gambar 3.22. Pembinaan pengurus kelompok oleh Forum HKm Provinsi........... 62
Gambar 3.23. FGD bersama tim Pemerhati di Pondok HKm Center .................... 62
Gambar 3.24. Mikro hidro wujud jasa lingkungan hutan lestari .............................. 62
Gambar 3.25. Buah kopi robusta andalan hasil HKm................................................ 63
Gambar 3.26. Penghargaan KWT Melati dari Gubernur........................................... 63
Gambar 4.1. Struktur organisasi SCBFWM............................................................... 76
14. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh:
Zainal Abidin
1.1. LATAR BELAKANG PROYEK
ndang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang dimaksud
dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
Sementara pada Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
secara jelas menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas
DAS dengan sebaran proporsional.
Daerah Aliran Sungai (DAS) berperan vital dalam berkembangnya kebudayaan,
sehingga DAS selalu menjadi pusat dari tumbuhnya peradaban, termasuk tentunya
perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk yang terus meningkat, lama
kelamaan merubah keseimbangan harmonis antar manusia dengan sungai dan hutan
yang ada di sekitarnya. Semakin bertambah jumlah penduduk, semakin berat pula
tekanan yang dihadapi oleh DAS. Dalam jangka panjang, kualitas DAS dalam
memberikan pelayanan terhadap manusia maupun lingkungannya juga mengalami
kemunduran. Persoalan yang terakhir ini terjadi hampir di seluruh DAS di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra yang memiliki jumlah serta petumbuhan
penduduk yang relatif tinggi.
U
15. 2
Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai (Brown, Peterson, Kline-Robach,
Smith, dan Wolfson, 2000)
Sub DAS Way Besai dengan luas 97.671,92 ha merupakan bagian dari DAS
Tulang Bawang yang memiliki luas 982.282,25 ha. Dari keseluruhan luas DAS Tulang
Bawang, terdapat 22.454,45 ha areal yang tergolong sangat kritis, 93.557,05 ha kritis,
457.783,81 ha agak kritis, 242.250,52 ha potensial kritis dan hanya 122.783,62 ha yang
tidak kritis. Indikator kerusakan DAS tersebut ditunjukkan dengan nilai Q (rasio nilai
debit maksimum dan debit minimum) yang besar 62,42 (BP DAS WSS, 2011). Untuk
tahun 2013, areal kritis, khususnya di Sub-DAS Wah Besai sudah tidak ada lagi seperti
dilaporkan oleh tim Evaluasi DAS BPDAS WSS (Agustus 2014).
Kegiatan Strengthening Community Based Forest and Watershed Management
(SCBFWM) adalah pada bagian hulu Sub DAS Way Besai dengan luas area tangkapan
air (catchment area) 44.720 ha. Daerah hulu ini mecakup wilayah Kecamatan Way
Tenong, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Sumberjaya, Kecamatan Kebun Tebu,
dan Kecamatan Gedung Surian berpenduduk 77.877 jiwa yang sekitar 86% di
antaranya bekerja pada sektor pertanian. Apabila areal non kawasan hutan (APL)
seluas 25.743 (33%) dianggap sebagai lahan pertanian, maka kepadatan agraris Sub
DAS Way Besai adalah 3 orang per ha, atau dengan kata lain rata-rata kepemilikan
lahan pertanian di wilayah tersebut < 0,3 ha per orang. Sempitnya pemilikan lahan
menyebabkan tekanan terhadap lahan, baik pertanian maupun non pertanian (hutan
lindung dan taman nasional) sangat tinggi. Tekanan terhadap lahan tersebut
Batas DAS
Aliran Permukaan
Sungai
16. 3
menyebabkan penduduk mengopkupasi lahan untuk pertanian termasuk lahan di areal
hutan lindung. Akibatnya, erosi dan sedimentasi menjadi tinggi sehingga fluktuasi
debit Sub DAS Way Besai yang jauh diatas normal. Salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan Hutan Kemasyarakatan
(HKm) sejak awal tahun 2000. Saat ini terdapat 21 kelompok HKm di Lampung
Barat dengan izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakat selama 35 tahun.
Dalam rangka memperbaiki kondisi DAS di Indonesia, Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia dengan dukungan United Nations Development Programme (UNDP) dan Global
Environmental Facilities (GED) melaksanakan berbagai kegiatan dalam skema proyek
Penguatan Pengelolaan Hutan dan DAS Berbasis Masyarakat (Strengthening Community
Based Forest and Watershed Management). Proyek ini dilaksanakan pada 6 daerah pilot
proyek, yaitu: (1) DAS Gopgopan, Sumatra Utara, (2) Sub-DAS Way Besai, Provinsi
Lampung, (3) Sub-DAS Tulis, Yogyakarta-Jawa Tengah, (4) DAS Jangkok, Nusa
Tenggara Barat, (5) DAS Besiam-Noelmina, Nusa Tenggara Timur, dan (6) DAS Miu,
Palu, Sulawesi Tengah.
Program ini dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Namun
demikian, beberapa persiapan telah dilaksanakan sebelumnya yaitu persiapan calon
lokasi, penilaian, dan keputusan. Proyek ini didanai oleh Global Environmental Facilities
(GEF) dan UNDP, dengan pelaksana dan pemilik proyek adalah Direktorat
Pengelolaan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (DIRPEP DAS
dan PS) Kementerian Kehutanan. Menurut Dokumen Proyek, komitmen anggaran
yang disediakan untuk 5 tahun adalah US $ 7 juta.
1.2. IMPLEMENTASI PROYEK SCBFWM DI LAMPUNG
Kerja-kerja proyek SCBFWM selama ini dilaksanakan dalam rangka mencapai
sasaran proyek, yang meliputi:
A. Output 1. Meningkatnya kemampuan pengelolaan hutan dan daerah aliran
sungai berbasis masyarakat, dengan aktivitas sebagai berikut
1. Penyusunan database kondisi Sub-DAS Besai yang berisi informasi terkini kondisi
Sub-DAS Besai termasuk kondisi biofisik, sosial-ekonomi, kelembagaan,
kebudayaan, serta peran parapihak.
2. Kegiatan pelatihan-pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Jenis-jenis
pelatihan yang pernah dilaksanakan adalah: (a) participatory water monitoring/PWM, (b)
participatory landscape appraisal (PALA), (c) penyusunan manajemen plan, (d)
pelatihan pengolahan produk-produk kopi, (e) pengenalan perkebunan multistrata,
17. 4
(f) pelatihan pemintalan sutera alam, (g) recovering tanaman langka, (h) pelatihan
pengemasan produk-produk hasil hutan bukan kayu, dan (i) pelatihan
pengembangan keuangan mikro.
3. Pemberian hibah kecil kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka
mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan hutan dan DAS. Paket-paket
hibah kecil yang telah diberikan berupa: (1) fasilitasi pemberian 3 unit microhydro,
(2) fasilitasi konservasi hutan dengan silvopastur ternak kambing, (3) fasilitasi
peningkatan pelayanan air bersih berbasis masyarakat, (4) fasilitasi pembuatan
embung/cek dam untuk konservasi tanah dan air, (5) fasilitasi pembibitan tanaman
buah pala dan manggis, (6) fasilitasi pembuatan sipil teknis konservasi tanah seperti
pembuatan rorak, pembuatan teras, (7) fasilitasi penyusunan rencana umum dan
rencana operasional HKm serta pengembangan HKm Center, (8) fasilitasi perahu
karet untuk arung jeram dalam rangka meningkatkan ekoturisme, dan (9) fasilitasi
optimalasasi kelebihan air bersih dengan pembuatan kolam di pekarangan. Dalam
setiap paket hibah kecil, setiap kelompok masyarakat (Community Based Organization)
secara swadaya menyediakan, menanam, serta memelihara bibit tanaman sebanyak
5000 pohon dengan jenis tanaman yang dipilih oleh kelompok secara partisipatif.
Sampai dengan tahun 2014, telah ditanam sebanyak lebih dari 300000 bibit dengan
sukses tumbuh sebanyak 74%. Sementara untuk hibah kambing, hibah kecil telah
memberikan 237 ekor indukan dan 111 ekor anakan, sehingga total kambing yang
terfasilitasi adalah 348 ekor.
4. Penyusunan Model DAS Mikro yang berlokasi di Pekon Sindang Pagar, Kecamatan
Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat yang dilanjutkan dengan program
implementasi oleh Dinas Kehutanan, Bappeda dalam rangka mendukung
konservasi dan penyelamatan hutan desa di Pekon Sindang Pagar.
5. Fasilitasi kerjasama antara Pengelola Air Bersih dengan HKm dan pemong desa
dalam bentuk mekanisma manfaat pengelolaan hutan dan jasa air bersih di Pekon
Gunung Terang dan Rigis Jaya dengan HKm Hijau Kembali dan HKm Bukit Rigis.
6. Fasilitasi penguatan dan pembentukan forum seperti: (1) reorganisasi Forum HKm
Lampung, (2)pembentukan Forum DAS Way Besai Hulu, dan (3) Reorganisasi
Forum DAS Way Besai Hulu menjadi Forum DAS Lampung Barat
7. Publikasi hasil-hasil serta best practices proyek SCBFWM baik dalam bentuk buku,
bulletin, berita koran, televisi, serta booklet.
18. 5
B. Output 2 berupa dukungan pemerintah yang terukur, dengan aktivitas
sebagai berikut:
1. Pelatihan untuk pegawai negeri sipil dengan topik PWM dan PALA serta
metode menghitung kondisi air secara cepat. Pelatihan ini telah melibatkan 67
pegawai negeri sipil di tingkat kabupaten dan kecamatan
2. Dukungan pendanaan untuk kegiatan pengelolaan hutan dan daerah aliran
sungai serta lingkungan hidup
C. Output 3 koordinasi yang baik pada berbagai tingkat pemerintahan berupa
kegiatan
1. Rapat-rapat koordinasi para pihak baik pada tingkat kecamatan, kabupaten,
maupun provinsi. Workshop dan rapat juga memfasilitasi peran forum seperti
Forum Hutan Kemasyarakatan (HKm), Forum DAS Way Besai Hulu menjadi
Forum DAS Lampung Barat, dan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia (MKTI). Dari hasil rapat, beberapa aktivitas lanjutan dalam rangka
menyelesaikan persoalan tapal batas HKm telah berhasil dilaksanakan,
reorganisasi Forum HKm Provinsi terbentuk pada tahun 2012 dan Forum
DAS Lampung Barat tahun 2011 dan tahun 2014
2. Memfasilitasi beberapa peraturan daerah berupa draft (1) Pengelolaan hutan
berbasis masyarakat, (2) draft peraturan bupati tentang Jasa Lingkungan, (2)
draft peraturan pekon/desa tentang pengelolaan sumberday air, (3) penyusunan
RPDAS Terpadu DAS Tulang Bawang yang akhirnya terbit Peraturan Daerah
No 22 tahun 2014 Provinsi Lampung Tentang Pengelolaan DAS Terpadu
Provinsi Lampung, fasilitasi penyusunan dan diskusi monitoring dan evaluas
Hutan Kemasyarakatan.
1.3. TUJUAN DAN KELUARAN PROYEK SCBFWM
Tujuan Proyek SCBFWM yaitu :
1. Membantu pemerintah Indonesia mengurangi degradasi hutan dan lahan pada
wilayah Daerah Aliran Sungai
2. Memperkuat kelembagaan masyarakat dalam rangka mendorong inisiatif dan
partisipasi masyarakat
3. Memperkuat peran serta masyarakat dalam inisiatif pengelolaan hutan dan DAS
secara berkelanjutan
19. 6
Keluaran Proyek SCBFWM meliputi 4 sasaran, yaitu:
1. Penguatan pengelolaan hutan dan DAS Berbasis Masyarakat dimana masyarakat
yang miskin, tidak memiliki lahan, dan kaum perempuan ikut aktif di dalamanya
2. Meningkatnya dukungan pemerintah yang terukur pada pengelolaan hutan dan
DAS berbasis masyarakat
3. Meningkatnya koordinasi parapihak dalam pengelolaan hutan dan DAS Berbasis
Masyarakat pada berbagai tingkatan.
4. Meningkatnya kemampuan manajemen proyek dalam pengelolaan kegiatan
1.4. MANFAAT DAN SUSUNAN BUKU
Buku ini bermanfaat sebagai pembelajaran atas pengalaman sejati dari kegiatan
yang sebenarnya cukup kompleks karena kegiatan proyek ini melintasi berbagai
tingkatan dari kelompok masyarakat, pemerintah kecamatan, kabupaten, dan provinsi,
kelompok-kelompok swadaya masyarakat, entitas swasta, dsb. Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) memang sangat penting saat ini dengan seiring dengan semakin
menurunnya kemampuan DAS dalam menopang kehidupan. Berbagai kejadian
bencana alam yang terjadi belakangan ini ditengarai merupakan dampak langsung dari
kegagalan parapihak dalam mengelola Daerah Aliran Sungai.
Untuk peneliti, buku ini memberi manfaat tentang isu-isu yang muncul dalam
pengelolaan hutan dan DAS serta membantu menguraikan permasalahan penelitan
(problem statement). Dengan demikian, hal ini dapat memberikan inspirasi ide-ide
penelitian yang dapat dikembangkan pada saat ini maupun pada masa yang akan
datang.
Untuk pemerintah, buku ini memberi informasi tentang sebuah pendekatan yang
mungkin saja untu dijadikan model pengelolaan hutan dan DAS di wilayah lain.
Replikasi model dipercaya akan mempercepat proses pemulihan DAS dan Hutan di
Indonesia.
Buku ini akan mendiskusikan beberapa informasi praktik terbaik yang telah
dilaksanakan oleh proyek SCBFWM, khususnya di sisi kelompok-kelompok
masyarakat mitra SCBFWM. Buku ini disusun dengan pokok bahasan sebagai berikut
20. 7
1. Bab 1 Pendahuluan yang menguraikan latarbelakang proyek SCBFWM serta
intervensi dari proyek
2. Bab 2 Kondisi Way Besai menguraikan beberapa perubahan penting saat proyek
dimulai dan kondisi sekarang.
3. Bab 3 tentang best practices yang telah dilaksanakan oleh Kelompok-Kelompok
Masyarakat mitra SCBFWM dan Pengalaman dari Jawa Tengah
4. Bab 4 tentang Eksit Strategi Proyek SCBFWM, dan
5. Bab 5 Pembelajaran
21. 8
BAB II
KONDISI SUB-DAS WAY BESAI
Oleh
Ashadi Maryanto, Apriadi, dan Zainal Abidin
2.1. LOKASI
okasi Sub-DAS Way Besai berada sekitar 180 km dari Bandar Lampung dan
sekitar 60 km dari kota Liwa, Ibu kota Kabupaten Lampung Barat.
Dibutuhkan sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung menuju
Way Besai dan sekitar 2 jam dari Liwa ke Way Besai. Lokasi proyek ini umumnya
berbukit dengan ketinggian di atas 700 mdpl, yang menyebabkan daerah ini relatif
sejuk.
2.2. DEMOGRAFI
Penduduk di Sub-DAS Way Besai tersebar di lima kecamatan yaitu Kecamatan
Sumber Jaya, Air Hitam, Way Tenong, Kebun Tebu, dan Gedung Surian. Pada tahun
2011, jumlah keseluruhan penduduk di Way Besai ADALAH 92 ribu jiwa dimana
populasi tertinggi berada di Kecamatan Way Tenong dan populasi terendah berada di
Kecamatan Gedung Surian.
Tabel 2.1. Distribusi penduduk, sumber pendapatan, dan rumah tangga miskin
berdasarkan kecamatan di Way Besai
No Kecamatan Jumlah Sumber Pendapatan Jumlah
keluarga
miskinUsahatani
(Rp)
Non-usahatani
(Rp)
1 Kebun Tebu 17.615 531.670 895.817 971
2 Way Tenong 29.408 2.364.590 322.340 2.201
3 Air Hitam 16.290 1.429.130 2.500.000 883
L
22. 9
4 Sumber Jaya 21.182 1.152.010 269.167 1.446
5 Gedung
Surian
7.513 1.293.400 326.320 1.194
Total 92.008 6.695
Rata 1.354.160 862.729
Sumber: BP DAS 2011. Updating baseline data Sub-DAS Way Besai
2.3. PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN
Perubahan penutupan lahan digunakan untuk menilai laju deforestasi/degradasi
dengan menggunakan citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun
1986, 2002, 2009, dan 2013. Perubahan tutupan lahan dianalisis secara deskriptif yang
dilakukan dengan komparasi data penutupan/penggunaan lahan tahun 1986, 2002,
2009, dan 2013.
Berdasarkan hasil analisis citra satelit Landsat ETM, didapatkan data
penutupan/penggunaan lahan pada catchment area Sub DAS Way Besai seperti disajikan
terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.2. Data tutupan lahan terkini di Way Besai
No.
Jenis Tutupan Lahan Tahun 2012
Luas (ha) (%)
1. Hutan lahan kering sekunder 3409,65 7,62
2. Semak belukar 2415,10 5,40
3. Pertanian lahan kering 12,80 0,03
4. Padang rumput/ Semak belukar 35,26 0,08
5. Pemukiman 367,35 0,82
6. Lahan tergenang/sawah 674,99 1,51
7. Pertanian lahan kering campur
semak*
37.750 84,42
8. Badan air 53,42 0,12
Luas Total 44.720 100,00
*Catatan: semak sebagian besar merupakan agroforest kopi
Sumber: BPDAS WSS, 2014
23. 10
Data di atas menunjukkan bahwa usaha pertanian lahan kering campur semak
yang dalam ground chek merupakan lahan usaha kopi campuran (kopi agroforest)
merupakan areal yang paling luas mencapai 84,42% dari seluruh areal Sub-DAS Way
Besai. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha kopi merupakan tulang punggung
ekonomi keluarga sebagian besar masyarakat Way Besai.
Sementara itu berdasarkan penelitian data BPDAS WSS (2010) luasan hutan
mengalami penurunan dalam kurun waktu 1986 – 2002 sebesar 41%. Dalam kurun
waktu yang sama luas lahan untuk kopi campuran/kebun campuran meningkat
sebesar 25%, sedangkan luas lahan kopi monokultur turun sebesar 88%. Hasil ini
sejalan dengan hasil studi Verbist et al. (2004), pembukaan lahan hutan dengan tebas
bakar (slash and burn) banyak dilakukan untuk menyiapkan lahan yang akan ditanami
kopi pionir (kopi muda tanpa naungan) yang menjadi salah satu penyebab
berkurangnya 40% lahan hutan di Sumber Jaya dalam kurun waktu 1978 hingga 1990-
an. Mulai tahun 1990, kebun kopi tanpa naungan (kopi pionir) mulai berkembang
menjadi kebun kopi multistrata sederhana/kopi campuran dengan pohon naungan
(shade trees). Pada tahun 2000 jenis penggunaan lahan ini mencapai 30%. Hal ini
menunjukkan bahwa rehabilitasi lahan akan terjadi setelah fase ekstraksi dan degradasi
(Verbist, et al., 2004).
Menurut Verbist et al. (2004), faktor pendorong terjadinya alih guna lahan di
Sub Das Way Besai (khususnya Sumber Jaya) dibedakan atas faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal meliputi pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan
harga pasar internasional. Faktor internal meliputi inovasi teknis, pembangunan jalan
dan infrastuktur, pemungutan retribusi atau pajak, subsidi, konservasi tanah dan air,
serta pengaturan penguasaan tanah.
Potensi Erosi
Menurut Verbist, et al. (2004) deforestasi dan diikuti dengan konversi lahan
menjadi sistem tanam kopi terbuka (clean weeding) dari aspek lingkungan dipandang
tidak berkelanjutan dan dianggap sebagai faktor utama menurunnya ketersediaan air di
hilir sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS termasuk fungsi sebagai
pencegah/penahan erosi. Perubahan penggunaan lahan dalam jangka pendek terlihat
rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh
namun tidak untuk jangka panjang (Crook dan Clapp, 1988). Dampak yang sering
terlihat adalah bertambahnya lahan-lahan dengan tingkat kesuburan rendah,
meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi di sungai. Secara sederhana erosi diawali
dengan penghancuran agregat tanah (detachment) oleh butir hujan sehingga
menimbulkan aliran permukaan yang mengikis lapisan tanah dan diangkut ke tempat
yang lebih rendah dan kemudian terjadi sedimentasi di sungai, danau, waduk, dan laut.
24. 11
Dari penelusuran literatur secara mendalam diperoleh data laju erosi di areal catchment
area Sub Das Way Besai sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Laju erosi di areal studi
No. Lokasi Penelitian
Laju Erosi
(ton/ha/th)
Sumber
1. Sumberjaya 22,7 Afandi (2002)
2. Das Besai 49,93 Sihite (2001)
3. Tepus & Laksana 1,1 – 1,5 Dariah et al.,(2004)
4. W.Tebu & W.Petai 1,8 Dariah et al., (2004)
5 Way Ringkih 33 – 37 Widianto et al.,(2004)
6. Way Ringkih 7 – 11 Verbist et al., (2009)
Sumber: BPDAS WSS, 2011
Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa laju erosi di areal studi berkisar antara 1,1
sampai 49,93 ton/ha/th. Keragaman tersebut dinilai wajar mengingat keragaman
metode maupun site penelitiannya. Dapat pula mungkin disebabkan faktor-faktor
penentu erosi di tempat tersebut memang rendah seperti erodibilitas tanah yang
rendah. Selain itu secara umum sifat fisik tanah di daerah studi tergolong baik,
dicirikan oleh berat jenis tanah yang rata-rata kurang dari 0,9 g cm-3, dengan ruang
pori total mencapai 69 %, rata-rata persen pori drainase cepat/pori makro pada
kedalaman 0 – 10 cm mencapai 26 %, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm sebesar
20 %, dan pori air tersedia sekitar 15 – 16 %. Permeabilitas tanah pada lapisan atas (0
– 10 cm) sekitar 7 cm/jam, sedangkan permeabilitas pada lapisan bawah permukaan
(10 – 20 cm) sekitar 3 cm/jam (Dariah, et al., 2004).
Areal Lahan Kritis
Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik,
kimia, dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya
membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman, dan
kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan.
Untuk mengetahui kondisi lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai
digunakan data lahan kritis tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Data spasial
25. 12
lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan
parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No.
041/Kpts/V/1998 yang meliputi kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat
bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), dan kondisi pengelolaan (manajemen).
Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai disajikan pada Tabel 2.4,
sedangkan distribusi lahan kritis disajikan pada Gambar 2.1.
Tabel 2.4 Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai
Tingkat Kritis Lahan Luas Lahan
(ha)
2010 2013
Potensial Kritis 3.451,2 26.528,95
Agak Kritis 21.827,4 13.499,82
Kritis 16.455,6 2.666,58
Sangat Kritis 2.951,2 1.646,53
Tidak kritis 34,6 378,13
Jumlah 44.720 44.720
Sumber: BPDAS WSS, 2011 dan 2013
Gambar 2.1 perubahan kondisi lahan di Way Besai
0.00
5,000.00
10,000.00
15,000.00
20,000.00
25,000.00
30,000.00
2010 2013
Kritis
Sangat Kritis
Potensial Kritis
Agak Kritis
Tidak kritis
26. 13
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa pada Sub DAS Way Besai, pada periode 2010-
2013 persentase luas lahan dalam kategori agak kritis mengalami penurunan yang
cukup memadai dari 21,8 ribu ha menjadi sekitar 13 ribu hektar. Pada periode yang
sama, lahan kategori kritis juga mengalami penurunan yang sangat nyata dari 16,4 ribu
hektar menjadi hanya 2,6 ribu hektar. Sedangkan lahan tidak kritis/baik meningkat
dari hanya 34 ha menjadi sekitar 370 ha. Namun, yang patut diwaspadi adalah
meningkatnya lahan potensial kritis pada periode yang sama dari sekitar 3,4 ribu ha
menjadi 26 ribu hektar. Hal ini memberikan indikasi bahwa upaya pemulihan kawasan
Way Besai yang selama sudah cukup berhasil, memiliki potensi untuk menjadi kritis
kembali pada masa yang akan datang bila upaya-upaya pengendalian pengelolaan lahan
dan hutan tidak terus menerus dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para
pihak lainnya.
Pertanyaan menarik tentunya mengapa terjadi peningkatan areal potensial kritis.
Menurut observasi penulis, peningkatan tersebut diduga akibat meningkatnya aktivitas
budidaya pertanian pada beberapa spot areal masyarakat. Budidaya tersebut, secara
temporer sering menyebabkan kondisi lahan terbuka dan masuk kategori potensial
kritis. Setelah beberapa tahun, lahan tersebut akan mengalami proses recovery atau
menjadi lebih baik.
Oleh sebab itu, upaya pendampingan dari petugas penyuluh setempat serta
pengawasan melekat model HKm melalui Pamhut (Pengamanan Hutan) secara
swadaya perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.
Gambar 2.2 Peta areal lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai (Sumber:
BPDAS WSS, 2011)
27. 14
Sedimentasi
Keberadaan sedimen melayang (suspended load) di dalam air dapat diketahui dari
kekeruhannya. Semakin keruh air berarti semakin tinggi konsentrasi sedimennya. Pada
studi ini selain dilakukan pengukuran secara langsung mengenai keberadaan sedimen
melayang juga dilakukan studi literatur secara mendalam. Hasil pengukuran laju
sedimentasi di areal studi dari lima titik sampel yang berbeda disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Hasil pengukuran sedimen di lima lokasi yang berbeda
No Lokasi Sedimentasi
(mg/L)
Titik Lokasi
1. Way Air
Hitam
0,15 104025’04,046”BT 5004’33,060”LS
2. Way Besai I 0,15 104025’04,842”BT 5004’32,008”LS
3. Way Besai II 0,22 104027’12,283”BT 5005’44,559”LS
4. Way Petai 0,23 104028’40,584”BT 5000’33,372”LS
5. Way Ringkih 0,13 104025’23,160”BT 5001’41,196”LS
Rata-rata (SD) 0,18 (0,05)
Sumber: BPDAS WSS, 2011
Hasil pengukuran sedimentasi tersebut belum dapat diklasifikasikan ke dalam
kategori sedimentasi rendah, sedang, dan tinggi karena pengukuran yang dilakukan
sesaaat pada titik-titik pengamatan. Proses erosi (yang merupakan sumber muatan
sedimen) pada kenyataannya tidak hanya berlangsung dalam sesaaat, namun umumnya
bisa berkali-kali dalam setahun.
Mata Air dan Potensi Mikrohidro
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat
setempat, terdapat cukup banyak sumber-sumber mata air dan potensi mikrohidro
yang terdapat di lokasi penelitian. Survei lengkap terhadap seluruh sumber mata air
akan sangat memakan waktu dan biaya yang lebih besar, oleh karena itu tim geofisik
hanya merekam dan mengamati beberapa sumber mata air dan potensi mikrohidro
yang disajikan pada Tabel 2.6.
28. 15
Tabel 2.6. Titik-titik mata air dan potensi mikrohidro di areal studi
No Titik Koordinat Waktu
Pengamatan
Lokasi Keterangan
1. 104026’46,711”BT
5003’39,155”LS
06/10/2010 HKm Hijau
Kembali
Mata air
2. 104026’22,346”BT
5003’46,061”LS
06/10/2010 HKm Hijau
Kembali
Mata air
3. 104029’33,474BT
5000’33,020” LS
07/10/2010 HKm Mitra Wana
Lestari Sejahtera
Mata air
4. 104029’31,191”BT
5000’23,156”LS
07/10/2010 HKm Mitra Wana
Lestari Sejahtera
Mata air
5. 10402756,297”BT
4057’23,375”LS
08/10/2010 HKm Air Pakuan Mata air
6. 104030’51,198”BT
5001’36,651”LS
09/10/2010 HKm Bina Wana Mata air
7. 104°29`43.0”BT
05°01`41.2”LS
07/07/2011 HKm Laksana Jaya Potensi
mikrohidro
8. 104°29`56.6”BT
05°01`48.9”LS
07/07/2011 HKm Laksana
Bawah
Potensi
mikrohidro
9. 104°29`57.4”BT
05°01`49.6”LS
07/07/2011 HKm Simpang
Kodim
Potensi
mikrohidro
10. 104°35`31.3”BT
05°03`19.1”LS
08/07/2011 HKm Arum
Sejahtera
Potensi
mikrohidro
11. 104°34`02.5”BT
05°03`26.6”
08/07/2011 HKm Wana
Makmur
Potensi
mikrohidro
12. 104°35`05.1”BT
05°03`58.4”
08/07/2011 HKm Wana
Makmur
Potensi
mikrohidro
13. 104°35`48.3”BT
05°04`48.9”
08/07/2011 HKm Bantul Jaya Potensi
mikrohidro
14. 104°29`29.5”BT
05°02`19.5”
09/07/2011 HKm Mekarsari
Jaya
Potensi
mikrohidro
15. 104°29`30.6”BT
05°02`18.8”
09/07/2011 HKm Ulu Petai
Lestari
Potensi
mikrohidro
16. 104°26`52.4”BT
05°01`53.8”
10/07/2011 HKm Sumber Sari Potensi
mikrohidro
17. 104°29`12.8”BT
05°01`58.0”LS
10/07/2011 HKm Tritunggal Potensi
mikrohidro
18. 104°29`12.0”BT 11/07/2011 HKm Lirikan Potensi
29. 16
05°02`16.4”LS mikrohidro
19. 104°29`36.1”BT
05°02`15.3”LS
11/07/2011 HKm Lirikan Potensi
mikrohidro
20. 104°31.014”BT
05°00.329”LS
12/07/2011 Talang Senin1 Potensi
mikrohidro
21. 104°31.656”BT
05°00.168”LS
12/07/2011 Talang Senin2 Potensi
mikrohidro
22. 104°31.661”BT
05°01.586”LS
12/07/2011 Cipta Sari Potensi
mikrohidro
23. 104°31.973”BT
05°02.321”LS
12/07/2011 Cipta Mulya Potensi
mikrohidro
Sumber: BPDAS WSS, 2011
Gambar 2.3. Keadaan sumber mata air di catchment area Sub DAS Way Besai
(a) Mata Air 1 (HKm Hijau Kembali)
(b) Mata Air 2 (HKm Hijau Kembali)
(c) Mata Air Sumur 7 (HKm MWLS)
(d) Mata Air 3 (HKm MWLS)
(e) Mata air 4 (HKm Air Pakuan)
(f) Mata air 5 (HKm Bina Wana)
ba
dc
fe
30. 17
Jenis dan Penyebaran Vegetasi Alami dan Buatan
Hutan lindung Register 45 B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang
memiliki fungsi konservasi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Keberadaan
hutan lindung Register 45 B Bukit Rigis sangat berpengaruh terhadap Sub DAS Way
Besai karena letaknya berada di tengah-tengah dan hampir menutupi seluruh wilayah
Sub DAS Way Besai dan juga kehidupan masyarakat di sekitar.
Vegetasi yang ditemui di Sub DAS Way Besai terdiri dari vegetasi alami dan
buatan meliputi hutan dan semak belukar, vegetasi perkebunan (monokultur dan
campuran), dan vegetasi lahan basah. Vegetasi tersebut umumnya menyebar secara
sporadis, sehingga penyebarannya dapat dikatakan kontinyu di seluruh kawasan dalam
areal kegiatan penelitian.
Vegetasi Alami
Salah satu contoh vegetasi hutan (rimba) di areal kegiatan studi adalah di areal
perlindungan Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan Mitra Wana Lestari Sejahtera,
Pekon Simpang Sari, Kecamatan Sumber Jaya dan Kelompok Tani Hutan
Kemasyarakatan (HKm) Hijau Kembali, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way
Tenong.
Jenis pohon yang dapat dijumpai di areal perlindungan KMPH Mitra Wana
Lestari Sejahtera adalah berbagai pohon kayu hutan seperti: pohon tenam, medang,
surian, pasang, rukem, cemara, mengkudu, lulus, balam, lempaung, kayu are, benda,
serdang, mentru, semamung, berbagai jenis rotan, bambu betung, bambu kapur, aren
hutan, anggrek hutan, salak hutan, pisang hutan, serta buah-buahan hutan lainnya dan
jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui namanya oleh masyarakat setempat
(KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera, 2002).
Di areal yang dikelola oleh kelompok tani hutan kemasyarakatan (HKm) Hijau
Kembali, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, pohon yang dapat
dijumpai di areal perlindungan Hijau Kembali menurut masyarakat setempat adalah
berbagai pohon kayu hutan yang dikenal dalam bahasa lokal, seperti: medang tales,
medang tanduk, medang sengir, medang kuning telor, cemara batu, cemara kembang,
cemara mentru, tenam, batu, tenam sabut, tenam tembaga, meranti, kelampian, surian,
popohan, kiara, lanang, pasang, nikem, balam, lempaung, kayu are, sendawaran,
benda, semarilpot, serdang, semantung, babakolan, rotan mas, rotan semarnbo, rotan
belah kinjar, rotan slimit, rotan sabut, rotan cacing, rotan kunir, rotan suti, rotan
manu, bambu betung, bambu telur, bambu suling, bambu manis, anggrek rantai,
31. 18
anggrek kumpai, anggrek bawang, dan anggrek siumbar (KMPH Hijau Kembali,
2008).
Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak
Komunitas hutan (rimba) yang termasuk dalam kawasan hutan lindung hampir
merata di seluruh areal kegiatan studi. Jenis-jenis pohon yang relatif dominan dalam
kawasan hutan lindung, khususnya Register 45 B (Bukit Rigis) antara lain, adalah
tenam, medang, cemara, trembesi, rotan, bambu, pasang, matru, kilarang, dan berbagai
jenis pohon lainnya.
Jenis tumbuhan semak yang banyak ditemui di areal studi diantaranya adalah
harendong bulu, harendong bunga ungu, alang-alang (Imperata cilindrica), dom-doman
(Andropogon aciculatus), gelagah (Saccharum spontaneum), tales-talesan (Colocasia spp), putri
malu (Mimmosa pudica), jukut riut (Mimosa invisa), kirinyu (Euphatorium odoratum), saliara
(Lantana camara), jahe-jahean (Zingiberaceae), rumput teki (Cyperus rotundus), dan
tumbuhan merambat (Mikania spp). Contoh vegetasi semak belukar disajikan pada
Gambar di atas.
Vegetasi Buatan
Vegetasi buatan yang paling dominan adalah lahan perkebunan. Vegetasi
perkebunan menyebar secara sporadis pada tanah marga dan tanah negara (hutan
lindung). Jenis tanaman perkebunan yang ditanam adalah kopi (Coffea spp) dengan
sistem penanaman monokultur (kopi) dan campuran multi strata (kopi dengan
tanaman sisipan dan atau peneduh/pelindung), baik tanaman kayu-kayuan
(kehutanan) dan MPTS (multi purposes tree species). Tanaman sisipan yang dikembangkan
dalam kebun kopi campuran multi strata adalah duren, kemiri (Aleurites moluccana),
32. 19
petai (Parkia speciosa), pinang, alpukat (Persea americana), cempaka, suren, sonokeling
(Dalbergia latifolia), dan kayu hujan (Clereasedae).
Di kebun kopi, masyarakat juga menanam tanaman peneduh/pelindung yang
oleh masyarakat setempat disebut pohon bayangan. Pohon ini selain berfungi untuk
melindungi tanaman kopi dari sinar matahari yang berlebihan, terpaan angin dan
hujan, sekaligus dimanfaatkan sebagai media rambat tanaman lada, yaitu tanaman jenis
dadap. Tanaman lain yang juga banyak ditemukan di kebun kopi adalah nangka
(Artocarpus heterophyllus), pisang (Musa paradisiaca), kemiri (Aleurites moluccana), mangga
(Mangifera indica), dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan hasil inventarisasi dilapangan
(lokasi sumber pancuran tujuh, simpang kodim, dan hamparan air pakuan) jenis
tanaman yang ditemukan selain tanaman kopi, diantaranya adalah cempaka, kayu
afrika, pulai, durian, jengkol, nangka, dadap, medang, kayu hujan, dan alpukat.
Berdasarkan Tim PSDHBM Watala (2004) yang melakukan transek di Pemangku
Rigis Jaya II, ditemukan jenis-jenis tanaman seperti kopi, pisang, kalendra, cabe, kayu
hujan, alpukat, kemiri, dadap, jati, nangka, dan mahoni.
Gambar 2.5. Vegetasi agroforest berbasis kopi
Daftar Pustaka
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung. 2011.
Updating Baseline Data Sub-DAS Way Besai. BP DAS WSS. Bandar
Lampung
Dariah, A. F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi Dan Aliran
Permukaan Pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Kopi Di Sumberjaya,
Lampung Barat. World Agroforestry Center. Bogor.
33. 20
KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera, 2002. Profil Kelompok Masyarakat Pengelola
Hutan Mitra Wana Lestari Sejahter. Sumber Jaya
Verbist, B., A.E.D. Putra, S.Budidarsono. 2009. Factors driving land use change:
Effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung,
Sumatra. J. Agricultural Systems 85 (2005) 254–270
34. 21
BAB III
BEBERAPA MODEL PENGELOLAAN HUTAN
DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
BERBASIS MASYARAKAT
alam kurun 2010-2014, proyek SCBFWM telah melakukan berbagai
aktivitas bermitra dengan masyarakat dengan memperkenalkan peluang
inisiatif dalam pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Di antara
inisiatif masyarakat tersebut, termasuk di dalamnya:
1. Pengelolaan mikro hydro sebagai bagian dari strategi mempertahankan kondisi
hutan
2. Pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dalam rangka mempertahankan kondisi
hutan dan daerah aliran sungai
3. Upaya memperkuat ekonomi rumah tangga dan hutan sebagai strategi pengelolaan
hutan dan daerah aliran sungai berbasis masyarakat
Pada periode tersebut, proyek SCBFWM telah mengeluarkan anggaran Rp 1,5
milyar kepada 47 kelompok masyarakat dalam bentuk hibah kecil sebagai bagian dari
strategi membangun inisiatif masyarakat. Hibah kecil merupakan insentif kepada
masyarakat karena peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan daerah aliran
sungai.
Sebagai timbal balik, kelompok menyediakan upaya swadaya pembibitan,
pemeliharaan, dan penanaman, serta biaya inkinds minimal 10% dari nilai proposal
yang diajukan. Berdasarkan hasil penelusuran dokumen kontrak serta monitoring dan
evaluasi SCBFWM 2010-2014, jumlah pohon yang dibibitkan, ditanam, dan dipelihara
yang menjadi swadaya masyarakat selama periode 2010-2014 adalah lebih dari 300 ribu
pohon. Bila diasumsikan bahwa setiap bibit pohon bernilai Rp 2000, maka nilai
swadaya dari pembibitan saja adalah Rp 600 juta. Bila mengikuti skema KBR, dimana
setiap tanaman yang sukses diberikan kompensasi Rp 750 per pohon, maka nilai
keswadayaan masyarakat untuk penanaman mencapai Rp 200 juta. Total keswadayaan
dari segi penanaman adalah Rp 800 juta rupiah.
D
35. 22
Kemudian, sesuai dengan skema hibah kecil, kelompok masyarakat juga
diminta untuk membiayai beberapa aktivitas terkait pengelolaan hutan dan daerah
aliran sungai. Hasil rekapitulasi atas seluruh kontrak hibah kecil SCBFWM untuk 47
kelompok, jumlah inkinds yang menjadi komitmen kelompok dan tercantum dalam
kontrak adalah Rp 718 juta atau 48% dari nilai hibah kecil yang dialokasikan untuk
kelompok-kelompok masyarakat selama 2010-2014.
Dari uraian di atas, sejak 2010-2014 skema hibah kecil proyek SCBFWM telah
mampu mendorong upaya swadaya masyarakat dengan nilai sekitar Rp 1,518 miliar
dengan nilai hibah kecil dari proyek SCBFWM senilai Rp 1,5 miliar. Dengan
demikian, besaran nilai swadaya dan hibah SCBFWM relatif seimbang. Pembelajaran
dari angka-angka tersebut adalah bahwa sebenarnya, kelompok-kelompok masyarakat
memiliki modal sosial yang besar bila digali melalui pendampingan yang baik.
Faktor-faktor dari kesediaan masyarakat untuk melakukan swadaya dalam
rangka mendapatkan rewards hibah kecil adalah sebagai berikut:
1. Proses hibah kecil yang transparan dari pengelola proyek SCBFWM baik dari
aspek yang dibiayai, komitmen, pelaporan, keuangan, dsb.
2. Pendampingan dari fasilitator lapang serta regional fasilitator dari mulai sosialisasi,
penilaian,
3. Peran kelompok dan anggota dalam proses penyusunan proposal, gagasan, dan
pembiayaan yang transparan
4. Dukungan dari pihak terkait, khususnya pemerintah desa dan petugas penyuluh
lapangan
5. Pelaksanaan hibah kecil dimonitor secara reguler sehingga masyarakat merasa
menjadi bagian penting dari proses pelaksanaan hibah ini.
36. 23
MODEL 1
PENGELOLAAN MIKRO HIDRO BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI
BENTUK MODEL ENERGI TERBARUKAN DI SUB DAS WAY BESAI
Oleh:
Gandi
(Fasilitator Lapangan Program SCBFWM )
Latar Belakang
Pada umumnya masyarakat di wilayah kawasan hutan Kabupaten Lampung
Barat sudah mengunakan air bersih yang disalurkan melalui paralon dari sumber air
untuk konsumsi masyarakat yang berdomisili di sekitarnya. Namun untuk penerangan
listrik tidak semua wilayah dapat dilayani jaringan listrik baik oleh pemerintah maupun
swasta karena keterbatasan infrastruktur dengan lokasi yang sangat terpencil dan sulit
dijangkau. Padahal banyak sekali potensi yang dapat digunakan sebagai pembangkit
tenaga listrik secara mikro untuk kelompok masyarakat dengan jumlah tertentu. Secara
khusus sub DAS Way Besai ini berada di Kabupaten Lampung Barat dengan wilayah 5
Kecamatan yaitu Sumber Jaya, Kebun Tebu, Gedung Surian, Way Tenong, dan Air
Hitam, dimana masih ada wilayah pelosok yang belum menikmati listrik. Sehari-
harinya masyarakat di daerah pelosok masih menggunakan lampu minyak tanah untuk
kebutuhan penerangan pada malam hari.
Dengan kondisi tersebut program SCBFWM menawarkan peluang untuk hibah
kecil, untuk mendapatkan hibah ini kelompok masyarakat melakukan urun rembug
bersama dalam mengajukan usulan kegiatan untuk kebutuhan penerangan. Kelompok
yang diberikan hibah kecil antara lain KWT Rimba Sejati Pekon Rigis Jaya dan
kelompok Jaya Tani Pekon Suka Damai keduanya berada di Kecamatan Air Hitam,
sedangkan HKm Mardi Rukun Pekon Simpang Sari berada di Kecamatan Sumber
Jaya. Masing-masing kelompok masyarakat tersebut jauh dari jangkauan listrik PLN
karena kondisi wilayah yang sangat terpencil, keterbatasan infrastruktur dan dekat
dengan kawasan hutan lindung. Kelompok masyarakat ini dipilih melalui tim seleksi
juga verifikasi lapang, dan disetujui untuk mendapatkan hibah kecil (Small Grant
Programme) dalam rangka menuntaskan ide besar kelompok agar masyarakat yang
bermukim di daerah pedalaman namun di luar hutan lindung dapat juga menikmati
listrik dengan dikelola secara mandiri dan berkelanjutan (Buletin Bina DAS, 2011).
Dalam pelaksanaan program SCBFWM kelompok masyarakat ikut serta
menanggung biaya pembangunan mikro hidro secara swadaya selain dana hibah yang
37. 24
diberikan, dan kelompok masyarakat tersebut telah menunjukkan partisipasinya
mengadakan musyawarah, hasil dari musyawarah tersebut mendapatkan kesepakatan
yaitu, sanggup mengadakan material secara swadaya, sanggup menyediakan bibit
dalam melindungi sumber mata air serta menyediakan lokasi tempat mikro hidro.
Tujuan dan Hasil Yang Diharapkan
Tujuan dari kegiatan ini adalah memanfaatkan potensi air sebagai pembangkit
tenaga listrik (mikro hidro/Turbin), meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan
pelestarian hutan di sekitar pekon.
Sedangkan hasil yang diharapkan dengan dibangunnya mikro hidro
terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat setempat, adanya rencana kegiatan dan
aktifitas bersama dalam pelestarian SDA/Hutan untuk menjaga debit air,
terbangunnya kelembagaan yang kuat dan mampu menjadi penggerak masyarakat baik
secara ekonomi maupun sosial.
Manfaat
Manfaat sumber air yang tersedia untuk tenaga listrik, diharapkan akan lebih
memberikan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan sehingga kemudian
tergerak untuk melindungi potensi tersebut, di samping itu dengan dibangunnya mikro
hidro/turbin diharapkan akan menguatkan kelembagaan kelompok masyarakat karena
semangat kebersamaan, rasa memiliki, dan terbangunnya aturan bersama, sedangkan
dari segi ekonomi dengan dibangunnya mikro hidro/turbin juga akan memperkuat
permodalan usaha simpan-pinjam yang selama ini dilakukan. Adanya kesepakatan
untuk membayar jasa yang diterima dari mikro hidro maka dana tersebut dapat
digunakan untuk pemeliharaan, pelestaraian dan simpan pinjam. Dengan demikian
kelompok mampu mendorong tumbuhnya usaha produktif anggota dan berbagai
usaha baru yang berbasis listrik.
Apa itu Mikro Hidro dan Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air?
PLTMH merupakan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro,
yaitu alat yang menghasilkan listrik dengan menggunakan sumber tenaga air.
Sedangkan mikro menunjukkan ukuran kapasitas pembangkit yang berkapasitas kecil
yaitu antara 5 kW sampai 100 kW, cara kerja PLTMH secara sederhana yaitu air dalam
jumlah tertentu yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu menggerakkan kincir yang ada
pada turbin. PLTMH, kemudian putaran turbin tersebut digunakan untuk
menggerakkan generator (dynamo listrik). Listrik yang dihasilkan akan dialirkan
melalui kabel ke rumah-rumah. Jadi PLTMH mengubah tenaga gerak yang berasal dari
air menjadi listrik (Kristian. M dkk, 2010)
38. 25
PLTMH mempunyai beberapa bagian penting yang mendukung kemampuan
kerjanya. Peralatan penting yang ada antara lain :
1. Saluran Pengambilan (Intake)
Intake adalah penyadapan air bendungan sungai, atau dam atau danau ke
saluran air. Biasanya berada di bibir sungai ke arah hulu sungai, Pada pintu air
biasanya terdapat perangkap sampah.
2. Saluran Pembawa (Headrace).
Membawa air dari saluran pemasukan (Intake) kea rah bak pengendap
3. Bak Pengendap/Bak Penenang (Forebay)
Mengendapkan tanah yang terbawa dalam air sehingga tidak masuk ke pipa
pesat. Bak Pengendap sama dengan Bak penenang pada PLTMH kecil
4. Pipa pesat (Penstock)
Penstock adalah pipa yang membawa air jatuh ke arah mesin Turbin. Disamping
itu, pipa pesat juga mempertahankan tekanan air jatuh sehingga energi di dalam
gerakan air tidak terbuang. Air di dalam pipa pesat tidak boleh bocor karena
dapat mengakibatkan hilangnya tekanan air.
5. Rumah Pembangkit (Power House)
Power house adalah rumah tempat semua peralatan mekanik dan elektrik
PLTMH. Peralatan Mekanik seperti Turbin dan Generator berada dalam rumah
pembangkit, demikian pula peralatan elektrik seperti kontroler
6. Mesin PLTMH atau Turbin
Berada dalam rumah pembangkit, mesin ini mengubah tenaga air menjadi
mekanik (tenaga putar/gerak) Turbin termasuk alat mekanik, Turbin dengan
bantuan sabuk pemutar (v belt) memutar generator (dinamo besar penghasil
listrik) untuk mengubah tenaga putar/gerak menjadi listrik. Generator
termasuk alat mekanik.
7. Panel atau peralatan pengontrol listrik.
Biasanya berbentuk kotak yang di tempel di dinding. Berisi peralatan elektronik
untuk mengatur listrik yang dihasilkan generator. Panel termasuk alat elektrik
39. 26
8. Jaringan Kabel listrik
Kabel yang menyalurkan listrik dari rumah pembangkit ke rumah pelanggan
dengan bantuan tiang. (Kristian Mairi dkk, 2010)
Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air
Menurut Asdak (2004), dalam suatu sistem DAS, hutan di daerah hulu
merupakan “daerah penghasil air” untuk daerah di bawahnya dan diposisikan sebagai
zona konservasi air. Sumber mata air yang menjadi awal munculnya anak sungai dan
menentukan kontinuitas aliran sungai berada di wilayah ini. Stabilitas dan fluktuasi
aliran sungai sangat tergantung pada kualitas penutupan hutan. Sehingga apabila
terjadi kerusakan hutan maka konsekuensinya terjadi berbagai gangguan sistem DAS
seperti banjir, longsor dan kekeringan.
Faktor yang dinilai paling strategis dalam pencapaian tujuan kelestarian fungsi
hutan adalah pengembagan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya
yang muncul sebagai dampak dari hubungan timbal balik positif antara kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila pengelola hutan sukses mengembangkan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan maka sebagian besar persoalan yang
dihadapi sudah terpecahkan. Kunci dari kesuksesan pengembangan partisipasi
masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya adalah apabila hutan mampu
memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan
langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.
Salah satu fungsi hutan yang sangat vital bagi hajat hidup manusia adalah
sebagai pengatur tata air (water regulator). Hutan dan hasil air adalah dua hal yang tidak
bisa dipisahkan. Karena air, sebagai unsur utama dalam DAS, secara alamiah mengalir
dari hulu ke hilir dari atas menuju bawah, upaya pemecahan masalah dalam
pengelolaan DAS juga dimulai dari pengelolaan hutan di daerah hulu baik berkaitan
dengan persoalan biofisik maupun sosial ekonomi kelembagaan. Salah satu bentuk
kegiatan pemanfaatan hasil air yang dilakukan sebagai bagian dari upaya menjalin
hubungan baik hutan dan masyarakat yang ada di sekitarnya adalah dalam bentuk
pembangunan mikro hidro elektrik. Mikro hidro elektrik adalah pembangkit listrik
skala kecil (< 100 kW) yang digerakkan dengan menggunakan tenaga air,
(Hadinungroho dkk, 2006).
Siapa saja yang terlayani ?
Berikut beberapa kelompok penerima hibah kecil program SCBFWM di sub
DAS Way Besai yang diwujudkan dalam bentuk mikro hidro :
40. 27
a. KELOMPOK WANITA TANI RIMBA SEJATI
Kelompok Wanita Tani (KWT) Rimba Sejati dibentuk sebagai wadah untuk
tukar informasi antar anggota, tempat pelatihan dan membangun kebersamaan baik
dalam bidang sosial, agama, maupun ekonomi. KWT Rimba Sejati didirikan pada
tahun 2004 yang diinisiasi oleh Watala dan aparat Pekon Gunung Terang. Saat ini
kegiatan yang dilakukan adalah simpan pinjam, iuran kerja di kebun untuk membantu
pertanian dari awal sampai pasca panen. Dari iuran kerja inilah terkumpul modal yang
kemudian digulirkan untuk simpan pinjam. Sumber dana lainnya adalah arisan, dan
tabungan yang biasanya dibagikan pada saat hari raya. Kegiatan lainnya adalah
pengajian rutin. Jumlah anggota dari awal berdiri sampai sekarang tetap berjumlah 30
orang yang semuanya membantu suami yang mempunyai lahan garapan di areal HKm.
Keberadaan KWT ini sudah sangat membantu kegiatan ibu-ibu walaupun masih
sangat banyak keterbatasan. Untuk mengatur kegiatan kelompok diatur dalam aturan
internal kelompok yang masih sederhana ini. Pembuatan mikro hidro dirasakan
sebagai kebutuhan yang sangat mendesak yang dibutuhkan oleh anggota KWT Rimba
Sejati, mengingat sebelum adanya mikrohidro dari SCBFWM penerangan seluruh
anggota KWT Rimba Sejati adalah lampu Teplok dari minyak tanah
Menurut ibu Mariani ketua KWT Rimba Sejati, “dengan adanya mikro hidro
maka anak kami bisa belajar di rumah dan tidak perlu menggunakan lampu minyak
tanah lagi, dan kami sadar untuk menjaga kelestarian hutan sebagai sumber mata air
bagi kelangsungan hidup kami “.
Gambar 3.1. Pembangunan mikro hidro tidak terlepas dari peran serta bapak-
bapak anggota kelompok HKm Rigis Jaya
41. 28
Secara Ekonomi: Membantu menurunkan biaya pengeluaran untuk penerangan
seiring adanya kebijakan pemerintah yang menghapus subsidi minyak tanah sehingga
harga minyak tanah menjadi sangat mahal, bahkan mencapai Rp 12.000,- /liter. Jika
dalam waktu satu bulan satu anggota rata-rata menghabiskan minyak tanah sebanyak
10 liter, maka dana yang harus dikeluarkan utuk membeli minyak tanah dalam satu
bulan kira-kira sejumlah Rp 120.000,-.
Secara konservasi membantu meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya
menjaga dan memellihara lingkungan. Operasional mikrohidro tergantung dari
ketersediaan air, jika musim kemarau maka debit air berkurang yang mengakibatkan
listrik menjadi tidak normal. Jika musim penghujan bendungan cepat penuh dengan
sedimentasi pasir, sehingga dibutuhkan gotong royong untuk mengangkat pasir.
Gambar 3.2. Pembibitan secara swadaya oleh anggota kelompok KWT Rimba Sejati
Dengan adanya kenyataan yang demikian maka anggota kelompok mulai sadar
bahwa penanaman pohon perlu dilakukan agar kondisi air tetap stabil dan mengurangi
resiko pengikisan tanah oleh air sungai yang dapat menyebabkan penumpukan
sedimen.
b. KELOMPOK HKM MARDI RUKUN
Kelompok HKm Mardi Rukun merupakan kelompok HKm yang terletak di
Pekon Simpang Sari, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Kelompok
ini memiliki anggota sebanyak 405 orang dengan luas areal kerja Izin Usaha
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 706,5 Ha yang terdiri dari blok
budidaya 646,5 Ha dan blok hutan perlindungan seluas 60 Ha. Izin UPHKm sendiri
42. 29
diterbitkan oleh Bupati Kabupaten Lampung Barat pada bulan Februari tahun 2007
yang lalu. Lokasi HKm ini relatif terpencil dan salah satu persoalan yang dihadapi oleh
anggota adalah ketiadaan fasilitas listrik dari PLN. Atas dasar itulah, maka kelompok
HKm ini mengusulkan pembuatan sarana pembangkit mikro hidro. Usulan tersebut
meliputi pembelian turbin, pembuatan bak untuk terjunan, dan instalasi jaringan.
Sementara, untuk kegiatan fisik di lapangan, kelompok melaksanakannya secara
swadaya. Jumlah hibah yang diberikan adalah Rp 23 juta rupiah untuk pembelian
dinamo, turbin, kabel dan lampu. Sedangkan pemasangannya dilakukan secara gotong
royong. Hasil yang didapatkan adalah fasilitas listrik yang dapat melayani sekitar 20
kepala keluarga dimana masing-masing keluarga mendapat alokasi dua lampu.
Gambar 3.3. Gotong royong warga dalam pembangunan mikro hidro
Fasilitas ini benar-benar telah memberikan manfaat yang besar untuk
masyarakat yang memang berada pada lokasi yang agak terpencil. Menurut Pak Suroto
selaku pengurus kelompok HKm Mardi Rukun, “program ini sangat menyentuh bagi
kami dimana masyarakat yang berada dilokasi terpencil seperti ini tidak mampu
membangun mikro hidro kini melalui program SCBFWM bisa mendapatkan
penerangan listrik. Tantangan terbesar untuk HKm Mardi Rukun adalah bagaimana
fasilitas tersebut dapat tetap dikelola sehingga dapat berfungsi untuk jangka waktu
yang panjang. Tentunya hal ini membutuhkan ketekunan pengurus dalam memelihara
serta meningkatkan fasilitas yang telah didapat tersebut.”
Untuk memelihara turbin anggota kelompok memberikan iuran sebesar Rp.
10.000,- per/bulan, uang tersebut digunakan untuk memelihara mikro hidro dan
sisanya dimasukkan ke KAS kelompok.
43. 30
Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikro hidro
Sedangkan untuk menjaga sumber mata air di lokasi mikro hidro anggota
melaksanakan pembibitan secara swadaya, yang terdiri dari Cempaka, Karet, Jengkol,
dan Durian yang ditanam di lokasi anakan sungai tempat pembangunan mikro hidro,
diharapkan fasilitas hibah SCBFWM ini memberi manfaat yang berkelanjutan.
Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam menjaga
dan melindungi sumber mata air
C. Kelompok Jaya Tani
Kelompok Jaya Tani berada di pekon Suka Damai Kecamatan Air Hitam
Kabupaten Lampung Barat, kelompok ini berjumlah 17 orang yang berada diwilayah
lokasi terpencil dan jauh dari jangkauan listrik, melalui program SCBFWM tahun 2014
mereka difasilitasi untuk pembangunan mikro hidro yang dapat menerangi sebanyak
44. 31
17 kepala keluarga, dengan aturan yang diterapkan yaitu 1 kepala keluarga wajib
membayar iuran sebesar Rp. 10.000,- perbulan, sedangkan jika menggunakan televisi
mereka menambah iuran sebesar Rp, 15.000,- perbulan. Dalam melaksanakan
programnya kelompok ini mendapat fasilitas dari SCBFWM berupa I unit mikro hidro
dengan anggaran Rp. 23.000.000,-. Dengan adanya mikro hidro mereka sadar untuk
memelihara kawasan hutan dan sumber mata air. Sumber mata air yang bermanfaat
dalam hal penerangan, serta kebutuhan lainnya seperti : magic com, setrika listrik dan
TV sebagai media hiburan dan informasi bagi kelompok masyarakat di pekon Suka
Damai
Gambar 3.6. Kelompok Jaya Tani melakukan pemasangan mikro hidro
Dari pemasangan mikro hidro kelompok ini tidak kesulitan lagi mendapatkan
penerangan. Mayoritas masyarakat ini merupakan masyarakat pendatang yang berasal
dari Jawa Barat yang sudah lama menetap di pekon Suka Damai dengan ketiadaan
listrik.
45. 32
Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat menonton
televisi
Selama ini di wilayah sub DAS Way Besai telah ada seperangkat kelompok-
kelompok yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya kelompok-kelompok masyarakat
lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan
yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Peranan kelompok
masyarakat sangat penting untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan
sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan sekaligus sebagai
pemegang estafet pemeliharaan investasi pemerintah agar berkelanjutan.
Pengembangan kelembagaan lokal memang tidak mudah sebuah kelembagaan
bersama bisa berjalan dengan baik ada kesepakatan bersama dari seluruh stakeholders
untuk merumuskan tujuan bersama, karena pada esensinya kelembagaan dibentuk
untuk mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh stakeholders agar mengarah pada
tujuan yang sama. Kesepakatan itu penting untuk terbentuknya tujuan sosial untuk
memulai suatu kerjasama. Kerjasama timbul apabila individu menyadari mempunyai
tujuan yang sama/kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kebutuhan tersebut
(Soekanto, 1990).
Salah satu faktor pendorong bertumbuhnya kelembagaan lokal yang baik di sub
DAS Way Besai dalam kegiatan pembangunan mikro hidro di Kecamatan Air Hitam
dan Kecamatan Sumber Jaya adalah bahwa dengan adanya PLTMH maka ada kegiatan
rutin kelompok masyarakat yang menjamin kelompok ini tetap eksis seperti,
terbentuknya struktur pengurus kelompok yang disepakati bersama, adanya aturan
46. 33
kelompok yang telah disepakati bersama, adanya kegiatan rutin pemeliharaan turbin
dan sarana pendukungnya, adanya kegiatan penanaman pohon dan pemeliharaan
tanaman di saluran air dan cathchment area sungai menjadi sumber air penggerak turbin,
adanya iuran bulanan listrik, kelengkapan administrasi kelompok dan adanya rapat
rutin kelompok tiap bulan dan rapat tahunan.
Selain faktor pendorong tersebut di atas, hal yang paling penting bagi tumbuh
kembangnya kelembagaan lokal adalah karena adanya tujuan bersama yang jelas yang
dapat dirasakan langsung manfaatnya secara bersama-sama yaitu masyarakat dapat
menikmati listrik yang murah yang selama ini mereka damba-dambakan.
KESIMPULAN
1. Adanya mikro hidro tidak hanya menjadi sumber penerangan bagi masyarakat
daerah terpencil, namun juga menjadi sumber pendapatan kelompok dalam
mengelola keuangan yang diperoleh dari iuran pembayaran langganan listrik.
2. Pengembangan mikro hidro tidak hanya memberi dampak pada kesejahteraan
warga, namun juga dalam meningkatkan kualitas hutan dan DAS yang ada di
sekitar mereka, karena setiap anggota akan terdorong untuk melindungi hutan dan
DAS sebagai sumber energi terbarukan yang menggerakkan turbin mikro hidro.
3. Proses pendampingan kelompok masyarakat harus terus menerus dilakukan
walaupun kegiatan pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa
mengelola secara mandiri pembangunan mikro hidro yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buletin Bina DAS, 2011. Proyek Penguatan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis
Masyarakat. Jakarta
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Hadinugroho, H.Y.S, 2009. Membangun Desa Mandiri Energi dengan Hasil Air dari
Hutan. Booklet. Balai Penelitian Kehutanan Makasar.
Kristian Mairi, Laode Asir Tira, Iwanuddin, 2010. Penelitian Pengembangan Mikro
Hidro elektrik dengan pemanfaatan hasil air DAS di Sulawesi Utara. Balai
Penelitian Kehutanan Manado
Soekanto, S., 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. P.T. Raja grafindo Persada. Jakarta.
47. 34
MODEL 2
PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT, PEMBELAJARAN
DARI HKM BINAWANA DALAM MELESTARIKAN HUTAN DAN
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Oleh :
Gilang Priyatno,S.Pd
(Fasilitator Lapangan program SCBFWM)
Latar Belakang
Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pertama kali dikeluarkan pada tahun
1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen
Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional,
merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi
hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan
HKm masih sangat kecil. Lalu Menteri kehutanan mengeluarkan Keputusan No.
677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini
memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal
dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada
pemanfaatan hutan. Menteri Kehutanan juga merancang pelayanan kredit agar
masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan.
Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir
degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Kemudian Keputusan Menteri kehutanan tersebut di rubah dengan
mengeluarkan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini,
masyarakat diberi keleluasaan lebih besar dalam mengelola kawasan hutan. Namun
lagi-lagi keputusan tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya
kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat.
Keputusan-keputusan terhadap Kelompok Masyarakat di atas juga pada intinya
digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan
produksi yang tidak tercakup dalam kawasan HPH skala besar.
Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan
kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Permenhut No.P.18/Menhut-
II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-
48. 35
II/2011). Dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan petunjuk teknis
berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian
proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan
kemasyarakatan (IUPHKm).
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan
manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas
dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan
dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Ijin Usaha Pemanfaatan
Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan
diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Hutan Kemasyarakatan
diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar
hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.
Salah satu Kelompok Hutan Kemasyarakatan yang telah mendapatkan
(IUPHKm) adalah Kelompok Tani Hutan Bina Wana. Kelompok Tani Hutan (KTH)
“ Bina Wana” terlokasi di Desa Tribudisykur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten
Lampung Barat, Provinsi Lampung. KTH Bina Wana dibentuk sesuai SK Kepala
Desa Tribudisyukur nomer 141/08/SKPTS/2006,tanggal 3 Maret 2006 yang diketuai
Bapak Engkos Kosasih. Jumlah anggota kelompok pada saat pembentukan 25 orang,
sebagai Penyuluh Kehutanan pendamping Bapak Suwarman dan sebagai Instansi
Pembina adalah Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, perikanan dam kehutanan
(BP4K) Kabupaten Lampung Barat.
Tujuan
1. Menjelaskan kebijakan Menteri Kehutanan dalam mengelola HKm
2. Menguraikan proses dan pemebelajaran dari pelaksanaan HKM di Binawana
3. Mengidentifikasi pengaruh positif kegiatan HKM terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat di Pekon Tribudisyukur
49. 36
Prosedur Perijinan Dan Proses Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Hkm)
Pelaksanaan skema Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan
yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan
kemasyarakatan.
Untuk melaksanakan skema HKm ada empat perizinan yang dibutuhkan, yaitu
a. Permohon IUPHKM;
b. Penetapan Area Kerja HKm;
c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan
d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK-
HKm).
Permohonan IUPHKM diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam
bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di
dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk yang berlokasi lintas
kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan
IUPHKM, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja
yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas-batas perkiraan
luasan areal, dan potensi kawasan hutan).
Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan
hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat
setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan
ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi
sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan
ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang
Kehutanan
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin
usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan
lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm dapat diberikan kepada
kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan
yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat
50. 37
Keputusan Menteri. IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan
hutan.
IUPHKm pada HUTAN LINDUNG meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan
pada HUTAN PRODUKSI meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman
tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
IUPHKm dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk
kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang
merubah status dan fungsi kawasan hutan, Jika ketentuan ini dilanggar maka akan
dikenai sanksi pencabutan izin.
Gambar 3.8. Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan (Sumber: Partnership Policy
Paper No.4/2011, Mendorong Percepatan Program Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa)
IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang
sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Permohonan perpanjangan IUPHKm
diajukan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum
izin berakhir. IUPHKM dapat dihapus bila jangka waktu izin telah berakhir; izin
Gubernur
Bupati/Walikota
Kelompok
Masyarakat
Sketsa Areal Kerja
- Wilayah administrasi
- Potensi
- Batas Kawasan
Gubernur
Bupati/Walikota
Tim
Verifikasi
UPT
Menteri
Kehutanan
Gubernur
Bupati/Walikota
Tim
Verifikasi
Tim
Verifikasi
Pedoman
Verifikasi
Kepastian Hak &
Kesesuaian fungsi
Menteri Kehutanan
Menetapkan Areal Kerja
Menteri
Kehutanan
IUPHKM
IUPHHK HKm
Terima
Terima
Tolak
51. 38
dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; izin
diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi
izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang diberikan,
pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara ekologis,
kondisi hutan semakin rusak;
Permohonan IUPHHK HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah
berbentuk koperasi kepada Menteri. IUPHHK-HKm hanya dapat dilakukan areal
kerja yang berada di kawasan hutan produksi dan diberikan untuk kegiatan
pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakanhasilpenanamannya.
Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
berazaskan kepada: (a) manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
(b) musyawarah mufakat, dan (c) keadilan.
Oleh sebab itu, untuk melaksanakannya digunakan prinsip: (a) Tidak mengubah
status dan fungsi kawasan hutan, (b) Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan
dari kegiatan penanaman, (c) Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan
keanekaragaman budaya, (d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan
jasa, (e) Meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan, (f) Memerankan
masyarakat sebagai pelaku utama, (g) Adanya kepastian hukum, (h) Transparansi dan
akuntabilitas publik (i) Partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Harapannya, melalui pola pengelolaan lahan di Area Kerja Hutan
Kemasyarakatan, kelestarian hutan tetap terjaga dan pembaikan fungsi hutan dapat
ditingkatkan, serta manfaat penerapan sistem tanam multi guna (Multi Purpose Trees
Species) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tantangan
1. Yang menjadi sulit dalam pembiayaan jika pemerintah telah memberi status ijin
kepada HKm, padahal setelah mendapat ijin, masih banyak kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan seperti tata batas, rencana umum dan rencana operasional
yang sangat rumit, pengamanan areal, penataan tata usaha pemanfaatan hasil
hutan, dan laporan kerja pemanfatan hasil hutan kepada pemberi ijin. Serta adanya
rencana pemanfaatan kayu pada kawasan HP jika masyarakat ingin
memanfaatkannya. Beberapa kendala di masyarakat saat ini seperti kasus HKm di
Lampung Barat adalah sulitnya pengisian terhadap rencana umum dan rencana
operasional. Dengan kata lain, jika tidak ada dukungan dan fasilitasi dari pihak
ketiga seperti LSM, Perguruan Tinggi dan pemerintah daerah, pengisian rencana
umum dan rencana operasi HKm tidak dapat dilakukan oleh masyarakat pemegang
hak HKm.
52. 39
2. Ada juga persoalan ketidaksinergisan antara direktorat di Kemenhut untuk
mendorong pengembangan HKm. Misal antara Dirjen BPDAS-PS, BUK dan
Planologi terkhusus eselon tiga ke bawah belum sepaham dan ada kepentingan
tarik menarik dalam penetapan areal HKm. Ada upaya penyederhanaan proses
perijinan yang sebelumnya koordinatornya adalah Baplan sekarang ke BPDAS-PS
agar proses lebih terfokus dan mudah. Namun, ego sektoral juga masih terjadi
sebagai contoh dalam proses pemetaan kawasan masih terkendala juga di Baplan
khususnya mengenai standar peta. Menurut Baplan, banyak peta-peta pengajuan
calon lokasi HKm dianggap tidak mengikuti standar kemenhut. Saat ini memang
ada wewenang untuk verifikasi peta ke BPDAS dan BPKH, namun ada persoalan
kognisi sentralistik dan kebiasaan fasilitasi peta yang mendapat benefit pada
perusahaan, sebaliknya pada HKm tidak. Padahal seharusnya hal tersebut sebagai
tugas wajib yang telah diamanatkan oleh P.37 tahun 2007.
3. Kebijakan administrasi wilayah hutan; hingga saat ini belum ada kejelasan batasan
hak masyarakat dengan areal HP. Kesalahan pemetaan HP pada jaman orde baru
masih menjadi acuan dalam pencadangan areal HKm. Sehingga konflik legalitas
lahan belum terselesaikan. Banyaknya kepemilikan tanah masyarakat dimana secara
kesejarahan di areal HP belum tertuntaskan dengan baik. Oleh karena itu, masih
diperlukan kerjasama dengan pihak pemda dan BPN dalam menyelesaian
persoalan ini.
Kegiatan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat
Di tengah-tengah keprihatinan para aktivis lingkungan akibat ancaman
pemanasan global, di Lampung kini muncul harapan tumbuh dan berkembangnya
konservasi hutan berbasis masyarakat. Dengan mengusung semboyan”hutan lestari,
rakyat sejahtera”, sejak tahun 2000 lalu sebanyak 6.537 keluarga petani yang tinggal di
sekitar hutan lindung dan hutan produksi di Kabupaten Lampung Barat melaksanakan
program Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Mereka berinisiatif untuk kembali membangun hutan yang kondisinya sudah
kritis akibat perambahan liar dan illegal logging. Caranya, tetap mendayagunakan lahan
hutan kritis sebagai sumber penghasilan sekaligus melakukan konservasi.
Di lahan kritis itu, mereka menanam tanamam bertajuk rendah, bertajuk
sedang, dan bertajuk tinggi. Selain menjadi sumber kesejahteraan petani, kini kawasan
hutan lindung seluas 12 ribuan hektare di Register Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit
Tebak yang dulu kritis dan gersang berubah menjadi hutan yang kembali hijau.
53. 40
Gambar. 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada
program HKm ( koleksi Cucu Suryadi. 1997)
Dalam program itu, masyarakat diberi izin sementara selama lima tahun untuk
mengelola lahan kritis di hutan produksi dan hutan lindung. Syaratnya, mereka harus
membentuk kelompok dan melakukan konservasi hutan. Kelompok tersebut juga
harus memiliki sistem manajemen dan aturan organisasi yang baik.
Tiap tahun mereka akan dimonitor dan dievaluasi oleh sebuah tim yang terdiri
atas kepala desa, pengelola sumber daya alam (PSDA) kabupaten, kepala unit
penanggung jawab areal hutan, NGO lingkungan yang bertindak sebagai pendamping,
dan forum petani.
Untuk mendapatkan izin mengelola hutan, ada empat tahap yang harus dilalui
petani: pembentukan kelompok, penetapan wilayah kelola, pembuatan aturan dan
rencana kerja kelompok, dan pengajuan proposal perizinan. Tiap kelompok terdiri atas
50-an petani dengan luas garapan berbeda-beda.
Para anggota kelompok itu hanya punya hak kelola sehingga tidak boleh
memperjualbelikan lahan. Mereka akan dimonitor dan dievaluasi tiap tahun. Jika
evaluasi menunjukkan mereka gagal melakukan konservasi dan melanggar aturan,
izinnya dicabut.
54. 41
Gambar 3.10. Kondisi lahan di pekon Tribudisyukur setelah adanya HKM (koleksi Binawana
2010)
Pelaksanaan HKm di Lampung Barat merupakan salah daerah program
percontohan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pemerintah Lampung
Barat pula yang menjadi daerah pertama di Indonesia yang menerbitkan izin
pengelolaan hutan kepada masyarakat selama 35 tahun.
Saat ini, terdapat 50 kelompok HKM di lampung barat, 24 kelompok HKm
telah mempunyai Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) 35
tahun dan 26 kelompok masih dalm proses mendapatkan izin. Kelompok- kelompok
yang telah memgang izin mempunyai kewajiban sebagai pemegang izin, diantaranya:
1. melakukan penataan batas areal kerja;
2. menyusun rencana kerja;
3. melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan;
4. membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan;
5. menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada
pemberi ijin.
Kewajiban inilah yang membuat kelompok HKM meresa kesulitan untuk
melaksanakan. Contohnya saja kewajiban untuk menyusun rencana kerja selama 35
tahun dari mulai tahun izin di keluarkan yang biasa dikenal dengan Rencana Umum
dan Rencana Oprasional (RU/RO). Tidak semua kelompok mampu membuat dan
merancang rencana kerja secara swadaya sepenuhnya. Sementara batas penyusunan
55. 42
paling lambat hanya dua tahun setelah izin dikeluarkan. Sampai saat ini di Lampung
Barat hanya ada sembilan kelompok yang telah selesai membuat Rencana Umum dan
Rencana Oprasional. dan ada Enam kelompok yang mampu menyelesaikan RU dan
RO secara swadaya penuh dan mandiri yaitu kelompok KTH HKM MWLS ,
Binawana,Rigis Jaya,Setia Wana Bakti, Rimba Jaya, dan Air Pakuan. Dan kelompok
yang lain dapat menyelesaikan RU dan RO melalui fasilitasi dari pihak ketiga.
Contohnya Abung Jaya dan Wana Marga Rahayu Yang mendapat fasilitasi dari
program SCBFWM. Ini adalah salah satu tantangan kedepan bagi pelaku hutan
kemasyarakatan dan sektor yang membawahinya untuk memberikan solusi tidak hanya
membantu kelompok dalam memenihu kewajiban tapi juga membantu dalam
mengembangkan kelompok itu sendiri. Bantuan dari pihak ketiga sangat diperlukan
untuk mendukung tercapainya program pemerintah dalam meningkatkan fungsi
hutan, menjaga daerah aliran sungai dan menigkatjan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan tujuan penyelengaraan program HKM.
Sejarah Berdirinya KTH Hkm Bina Wana
Desa Tribudisyukur banyak memiliki potensi alam yang cukup besar,
banyaknya sumber daya alam, kawasan perlindungan dan pemanfaan. Namuan dibalik
potensi yang besar tersebut terdapat berbagai permasalahan yang ada antara lain:
maraknya penebangan liar, pemanfaatan dan dimana pada musim kemarau sulit air
bersih, produktivitas lahan menurun dan pendapatan masyarakat
berkurang.pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air,
dan belum maksimalnya pengembangan Aneka Usaha Kehutanan (AUK). Hal ini
tentunya banyak menimbulkan masalah,
Banyaknya lahan kritis di desa Tribudisyukur dan daerah lain sekitarnya
menimbulkan kerisauan dan kecemasan bagi Pak Engkos dan warga masyarakat
lainnya, karena hal ini menimbulkan lahan kritis, erosi dan kekeringan yang akan
merugikan kehidupan generasi penerus dimasa depan.
Dampak positif kegiatan yang telah dilakukan KTH Bina Wana antara lain :
1. Berkembangnya hutan rakyat swdaya seluas 334 Ha dengan memanfaatkan
bibit swadaya
2. Berkembangnya sub-sub kelompok tani HKm dan saat ini sudah terbentuk, 15
sub kelompok tani HKm.
3. Terbentuknya 3 kelompok wanita tani : KWT Melati, KWT Karya Mandiri,
KWT Triguna VI. Sesuai SK kepala desa nomor : 141/09/SKPTS-
PKK/SKP/II/2010, 5 kelompok tani : Dwi tunggal, Triguna IV,V, Triguna
56. 43
VI, Triguna iX, Purwa Mandiri, 1 kelompok karang taruan desa Tribudisyukur,
1 kelompok Himpunan Pemuda Peduli Hutan-lingkungan (HPPH-L) yang di
ketuai oleh Dian Dinata dengan jumlah anggota 47 orang.
4. Tersedianya hijauan makanan ternak berupa rumput, setaria dan rumput gajah.
5. Tersedianya air bersih untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan perikanan.
6. Tersususnnya peraturan desa tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya hutan dan air.
7. Berkembangnya aneka usaha kehutanan (AUK) yang dikelola kelompok wanita
tani bekerja sama dengan PKK desa Tribudisyukur.
8. Meningkatkan pendapatan minimum untuk petani HKm di Desa
Tribudisyukur,
Prestasi/penghargaan yang telah diperoleh Bina Wana
1. Juara 1 lomba Gerhan tingkat Kabupaten Lampung Barat tahun 2004
2. Juara 1 lomba Penghijauan dan Konservasi Alam tingkat Kabupaten
Lampung Barat tahun 2008
3. Juara 1 lomba Wana Lestari Kabupaten Lampung Barat tahun 2013
4. Juara 1 Wana Lestari Tingkat Provinsi Lampung tahun 2013
Tiga fungsi kelompok tani:
a. Kelas belajar
Kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) atau merubah sikap dan
perilaku serta tumbuh dan kembangnya kemandirian dalam berusaha yani sehingga
produktivitasnya meningkat, pendapatannya betambah serta kehidupannya yang lebih
sejahtera
b. Wahana kerja sama
Kelompok tani meerupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara
sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain.
Melalui kerjasama ini diharapkan usaha taninya akan lebih efisien serta lebih mampu
menghadapi ancaman, tantangan hambatan dan gangguan.
57. 44
b. Unit produksi
Usaha tani yang dilaksanakan oelh masing-masing anggota kelompok tani,
secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat
dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas,
kualitas maupun kontinuitas.
Proyek SCBFWM menjadi pihak ketiga yang mendukung dan membantu
penguatan penyelenggaraan program HKm. Selain membantu penguatan
penyelenggaraan HKm, SCBFWM juga membantu dalam hal pengembangan
kelompok HKm di Lampung Barat. Salah satunya dalah fasilitasi pembangunan pusat
informasi segala sesuatu tentang kegiatan dan kebijakan HKm yang biasa disebut
HKm Center. Kelompok yang menjadi perintis HKM Center adalah HKm Binawana.
Terwujudnya Pembangunan Hkm Center
Berlokasi di Pekon Tribudisyukur Kecamatan Kebun Tebu Kabupaten
Lampung Barat, HKm Center yang telah diresmikan oleh Menteri Kehutanan
H.Zulkifli Hasan,SE.MM pada awal tahun 2014 ini , memiliki luas 1,89 ha. Terdiri
dari lahan perikanan 40%, persawahan 10% dan kebun kolektif 50%.
Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan (koleksi Bina wana 2014)
Pada awalnya, tujuan didirikannya HKm Center ini adalah sebagai pusat
informasi segala sesuatu yang menyangkut dengan kegiatan Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Termasuk plot percontohan konservasi lahan dan lingkungan. Didirikan oleh
kelompok HKm setempat Yaitu HKm Binawana dan pemerintah setempat. Yang
dilatar belakangi dengan banyaknya kunjungan dari Kelompok lain yang ingin belajar,
tamu study banding dari provinsi lain, bahkan tamu mancanegara untuk penelitian
(research) dan sulitnya mencari tempat untuk pertemuan, maka HKm binawana
58. 45
Berinisiatif Untuk membuat suatu wadah tempat belajar yang dinamai “HKm
Center.”
Saat ini HKm Center telah memiliki sebuah gubuk pertemuan yang didanai
dari hibah kecil program SCBFWM tahun 2012. Gubuk ini dipergunakan untuk
pertemuan antar kelompok, pelatihan, workshop, maupun tempat rekreasi. Sementara
ini hanya bangunan ini yang dimiliki HKm center namun sangat bermanfaat dalam
penggunaannya.
Berbagai kegiatan yang dilakukan di HKm Center (pelatihan, pertemuan penilitian dan
diskusi-diskusi)
Gambar 3.12. kegiatan Diskusi (Binawana 2014)
Disamping itu, lahan HKm center telah banyak dimanfaatkan. Seperti;
pembibitan kayu oleh HKm Binawana, Kebun Pala wija, persawahan dan kebun
sayuran oleh kelompok wanita tani (KWT) melati, pembibitan benih dan pembesaran
ikan oleh himpunan pemuda peduli hutan dan lingkungan (HPPH-L).
Dengan melihat potensi yang ada kini HKm center menjadi harapan baru bagi
masyarakat setempat dalam memperbaiki sumber pendapatan. Mengingat penghasilan
utama dari masyarakat setempat adalah kopi yang seperti kita ketahui kopi panen satu
59. 46
kali dalam setahun. Dengan adanya HKm center diharapkan akan terciptanya
lapangan kerja baru. Terutama bagi para pemuda setempat. Mengingat banyaknya
produk maupun kerajinaan yang dimiliki masyarakat namun terkendala pemasaran.
Diharapkan dengan adanya HKm Center menjadi pemberi fasilitas pemasaran yang
tepat dan membantu dalam hal promosi produk.
Pemeliharaan serta pengembangan HKm Center saat ini diserahkan
sepenuhnya kepada Himpunan peduli Hutan dan Lingkungan (HPPH-L) dalam
naungan HKm binawana. Sebagai bentuk Usaha reorganisasi pengurus yang
berkelanjutan. Selain dijadikan sebagai plot percontohan, tempat pertemuan,
pelatihan dan kegiatan konservasi bagi seluruh kepentingan HKm. Upaya yang
sedang dilakukan adalah menjadikan HKm center sebagai tempat belajar bagi anak-
anak muda guna memberi pengetahuan lebih mengenai hutan dan lingkungan
disekitar mereka. Apa manfaat dan pentingnya menjaga hutan, mengenal beberapa
jenis tumbuhan, dan belajar bagaimanaa hubungan antara hutan dan keberlangsungan
hidup mahluk hidup.
Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center (koleksi Bina Wana
2012)
Binawana ikut serta menjaga keanekaragaman hayati melalui pemudanya
Selain tempat belajar, HKm Center juga dijadikan tempat pelestarian
tumbuhan langka. Seperti pohon tenam dan anggrek. Kedua tumbuhan ini sudah
sangat jarang ditemukan. Bina Wana Melalui Para pemudanya (HPPH-L) sesekali
selalu menjelajahi gunung guna mengidentifikasi berbagai jenis pohon yang terdapat
disana.
60. 47
Pada tahun 2014, Binawana melalui Himpunan Pemuda Peduli Hutan dan
Lingkungan (HPPH-L) nya mendapat giliran menerima hibah kecil (small green) dari
program SCBFWM. Fasilitasi ini di Gunakan untuk mendukung kegiatan
inventarisasi penangkaran dan pembibitan pohon langka Dalam hal ini manau dan
tenam . Fasilitasi yang diberikan berupa alat-alat pendukung seperti ;
GPS, DUM, Harnes, meteran, Senter, Pully fix, Carabiner, scrwo, Matras,
camera. Selain alat, fasilitasi juga berupa pelatihan Identifikasi Hewan langka dan
pelatihan navigasi penggunaan GPS dalam membuat titik koordinat dan tracking.
Tujuan utama fasilitasi ini adalah untuk menjaga kelestarian dan mengidentifikasi
keanekaragaman hayati yang ada di HL Register 45B.
Saat ini Binawana telah mengunventarisir pohon tenam sejumlah 12 pohon
tenam indukan dengan berbagai ukuran dan kondisi, selain itu penangkaran anggrek
dan pembibitan manau sebanyak 2000 batang, jengkol 1000 batang, jering 1000
batang, sengon smendo 800 batang dan bambu 200 batang. Kegiatan ini dilakukan
sebagai usaha partisipasi kelompok pemuda Binawana yaitu HPPH-L dalam kegiatan
konservasi lahan, menjaga kelestarian DAS dan menjaga keaneka ragaman hayati Bukit
Rigis Register 45 B.
Tabel 3.1. Data pohon tenam yang telah terinventarisir
No Pohon Tinggi
pohon
Titik Koordinat Kondisi Kode Pohon Kanopi Keliling Elevasi
1 Tenam 1 36 M EFE= 4 m
S= 050 01’39.5”
E= 1040 31’13.7”
Baik HPPH/T/01/
25/05/14
5,50 M 1,45 M Mpdl=1172
2 Tenam 2 52 M EFE= 4m
S= 050 01’39.0”
E=1040 31’11.2”
Baik HPPH/T/02/
25/05/14
3,3 M 1,53 M Mpdl= 1164
3 Tenam 3 64 M EFE= 5 m
S= 050 01’39.4”
E= 1040 31’11.0”
Baik HPPH/T/03/
25/05/14
5,6 M 1,64 M Mpdl= 1146
4 Tenam 4 67 M EFE= 5 m
S= 050 01’39.5”
E= 1040 31’10.4”
Baik HPPH/T/04/
25/05/14
6 M 1,67 M Mpdl= 1145
5 Tenam 5 40 M EFE= 6 m
S= 050 01’35.1”
E= 1040 31’08.9”
Baik HPPH/T/05/
25/05/14
3 M 1,5 M
Mpdl= 1181
6 Tenam 6 69 M EFE= 4 m Baik HPPH/T/06/ 13 M 6,5 M Mpdl= 1186
61. 48
S= 050 01’34.5”
E= 1040 31’08.2”
25/05/14
7 Tenam 7 50 M EFE= 3 m
S= 050 01’34.4”
E= 1040 31’03.5”
Baik HPPH/T/07/
25/05/14
8,3 M 2 M Mpdl= 1178
8 Tenam 8 67 M EFE= 3 m
S= 050 01’34.2”
E= 1040 31’02.7”
Baik HPPH/T/08/
25/05/14
4,9 M 2,2 M Mpdl= 1176
9 Tenam 9 38 M EFE= 3 m
S= 050 01’34.0”
E= 1040 30’58.6”
Baik HPPH/T/09/
25/05/14
4,6 M 9,0 M Mpdl= 1167
10 Tenam 10 45 M EFE= 5m
S= 050 01’32.1”
E= 1040 30’56.0”
Baik HPPH/T/10/
25/05/14
4 M 1,40 M Mpdl= 1150
11 Tenam 11 32 M EFE= 5 m
S= 050 01’32.0”
E= 1040 30’55.7”
Baik HPPH/T/11/
25/05/14
8 M 1,2 M Mpdl= 1150
12 Tenam 12 60 M EFE= 12 m
S= 050 01’32.7”
E= 1040 30’52.5”
Baik HPPH/T/12/
25/05/14
12 M 6,24 M Mpdl= 1123
13 Tenam 30 M EFE= 3 m
S= 050 01’42.0”
E.1040 30’46.3”
Baik HPPH/T/13/
25/05/14
7,6 M 1,82 M Mpdl= 998
63. 50
Gambar 3.15. Penangkaran anggrek
KESIMPULAN
Program hutan kemasyrakatan adalah program pemerintah yang tujuan
utamanya adalah untuk membantu mensejahterakan masyarakat, Dengan catatan tidak
merusak fungsi utama dari hutan itu sendiri. Oleh karena itu pemerintah
mengeluarkan izin kelola HKm kepada masyarakat disertai kewajiban-kewajiban
sebagai pemegang izin.
Bina Wana adalah contoh kongkrit dari program ini. Sebagai pemegang izin
Bina Wana berhasil melakukan program dan memenuhi segala kewajiban yang telah
ditetapkan pemerintah. Lahan hutan produksi dan hutan lindung yang dulu hanya
berupa semak belukar dan tidak berproduksi kini berubah menjadi lahan pertanian
kopi yang berkombinasi dengan berbagai tanaman bertajuk tinggi. sehingga dari
kejauhan terlihat sebagai hutan yang berfingsi dengan baik. Itu dikarnakan kegiatan
64. 51
konservasi dan menjaga keanekaragaman hayati yang terus dilakukan oleh kelompok
Bina Wana.
Sampai saat ini, kegiatan itu tidak putus dilakukan. Kemajuan Bina Wana
selangkah lebih maju dibandingkan kelompok lainnya. Dengan adanya HKm Center
Melalui fasilitasi program SCBFWM berbagai kegiatan telah dilakukan. Banyak
pelatihan, kegiatan penelitian dari berbagai intansi dan universitas. Tidak hanya dari
dalam negri tapi juga dari luar negri.
Gambar 3.16. Research/penelitan oleh mahasiswa dan dosen dari jepang (koleksi Bina Wana
2014)
Dengan melihat keadaan saat ini tidaklah salah jika Bina Wana adalah contoh
keberhasilan program HKm. Dari mulai merintis yang didasari keprihatinan terhadap
kesulitan ekonomi masyarakat hingga saat ini meraih berbagai penghargaan. Peran
seluruh masyarakat sangat besar, Peratin dan jajarannya sebagai aparat pemerintah,
Bapak-bapak sebagai pengurus dan pelaku HKm, ibu-ibu sebagai pengolah hasil dan
membentuk wanita tani (KWT) dan pemuda Bina Wana pun membentu kelompok
pemuda yang peduli hutan dan lingkungan semuanya membentuk kesinergian yang
sulit untuk ditemukan didaerah lain. Dan itulah kelebihan dari HKM Bina Wana
dibandingkan kelompok didaerah lainnya.
Mimpi menjadikan Pekon Tribudisyukur sebagai Pekon wisata dan Binawana
adalah pelopornya menjadi impian setiap masyarakat, Berbagai upaya dan usahapun
telah dilakukan.
65. 52
Daftar Pustaka
Kemitraan. 2011. Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa,
Partnership Policy Paper No.4/2011, diunduh dari www.kemitraan.or.id pada
tanggal 8 Juni 2014
PermenHut No.P.37/2007, Tata cara penyelenggaraan Hutan kemasyarakatan,Jakarta 2009.
Santosa. A. dan M.Silalahi, (2011), Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan
Kesiapannya dalam REDD+, FKKM, Bogor.
Sudarsono. D. dan Gunanto. 2009, Panduan Memfasilitasi Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan, Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta) dan MFP-
Kehati.
66. 53
MODEL 3
Melalui Semangat Kewirausahaan Hutan
Kelompok Wanita Tani Melati “Menjaring Manusia Setengah Dewa” dalam
Melestarikan Sub DAS Way Besai
Oleh
IDI BANTARA
BPDAS WAY SEPUTIH WAY SEKAMPUNG
Pandangan umum terhadap peran aktif wanita terhadap kelestraian hutan,
belum dipandang menjadi pemeran penting (isu gender), akan tetapi masih sebagai
pelengkap. Apalagi pandangan bahwa wanita tani hutan menjadi penggerak masih
sebagai angan-angan. Keadaan ini tidak mungkin dibiarkan selamanya, karena dalam
pembangunan manusia di negara kita meliputi antara lain pendidikan dan ketrampilan
masyarakat, interaksi hutan dan wanita tani merupakan hal yang tidak dapat
dilepaskan. Karenanya, peran wanita merupakan salah satu fakta, bahwa dalam
pengelolaan hutan, wanita adalah sangat strategis bagi percepatan pergerakan
partisipasi masyarakat terhadap hutan Indonesia.
Pemahaman secara sosial, perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah cukup lama dibahas, namun
implementasinya dalam perencanaan pembangunan masih sangat kurang, tentang
pengarus utamaan gender (PUG), tertuang dalam Inpres nomor 9 tahun 2000.
Melalui Inpres nomor 9 tahun 2000 diharapkan akan terjadi keadilan gender dalam
proses pembangunan nasional, termasuk pembangunan hutan.
A. Hutan Kemasyarakatan Propinsi Lampung
Sejarah hubungan antara masyarakat sekitar hutan dan hutan, menunjukan
hubungan keduanya merupakan satu kesatuan ekosistem yang satu sama lain
mempunyai saling ketergantungan (interdependency). Oleh karena itu, pengelolaan hutan
tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan unsur masyarakat yang mempunyai
keterkaitan dengan keberadaan hutan tersebut. Bagi masyarakat yang telah memahami
pentingnya hutan, mengartikan hutan mempunyai berbagai nilai manfaat yaitu
manfaat ekonomi, sosial dan ekologis. Manfaat ekologis hutan dirasakan melalui
fungsinya dalami penyediaan jasa lingkungan seperti pengaturan tata air, pengedalian
iklim mikro, habitat bagi kehidupan satwa liar dan sumber plasma nutfah yang tidak