Makalah ini membahas tentang periode keenam dalam perkembangan mazhab fiqih, yaitu periode tahrir, takhrij, dan tarjih. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab baru berupa matan, syarah, dan hasyiyyah yang menjelaskan pendapat para imam mazhab. Selain itu, muncul pula kitab-kitab fatwa untuk memberikan panduan hukum Islam mengenai permasalahan baru.
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
Makalah materi 6 (kel 4)
1. 1
MAKALAH
PERIODE KEENAM TAHRIR TAKHRIJ
DAN TARJIH
Di susun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : FIQIH
Dosen Pembimbing : Abdul Hamid Aly S.Pd M.Pd
Disusun Oleh :
1. Achmad Rizqi ( 21901083009 )
2. Navendra Aninditya DA ( 21901083002 )
3. Hosnia Wati ( 21901083030 )
4. Suci Fitriani ( 21901083033 )
Kelompok : 4
KELAS PBS 1
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2. 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PERIODE KEENAM :
PERIODE TAHRIR , TAKHRIJ DAN TARJIH DALAM MAZHAB FIQIH” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Abdul
Hamid Aly S.Pd M.Pd pada mata kuliah FIQIH, selain itu makalah ini juga bertujuan
untukmenambah wawasan tentang Pemahaman ilmu FIQIH di masyarakat luas bagi para
pembaca dan juga para penulis.
Saya mengucapka terimakasih kepada bapak Abdul Hamid Aly S.Pd M.Pd selaku
dosen di mata kuliah Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna , oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Malang,28 Septermber 2019
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4
1. Pemaparan Profil Penyusun................................................................ 4
2. Latar Belakang Masalah..................................................................... 5
3. Rumusan Masalah.............................................................................. 5
4. Tujuan................................................................................................. 6
5. Manfaat............................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 7
PERIODE KEENAM TAHRIR TAKHRIJ DAN TARJIH........................... 7
1. Munculnya Matan, Syarh dan Hasyiyah............................................... 8
2. Munculnya kitab kitab Fatwa................................................................10
3. Penetapan Undang Undang berdasarkan Madzab Fiqih Tertentu....... 10
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 17
1. Kesimpulan......................................................................................... 17
2. Daftar Pustaka..................................................................................... 18
4. 4
BAB I
PENDAHULUAN
1. PEMAPARAN PROFIL PENYUSUN
Dari Kiri :
1. Achmad Rizqi ( 21901083009 )
2. Hosnia Wati ( 21901083030 )
3. Suci Fitriani ( 21901083033 )
4. Navendra Aninditya DA ( 21901083002 )
5. 5
2. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sangatlah penting untuk
kitaketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah hukum
Islam,namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber
dandasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa
merasakanbetapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan
hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an
maupun Sunnah.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulamakita
terdahulu yang mempelajari, mengajakan serta menulis buku-buku tentang Islam
atausejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya hukum Islam itu
sendiri.Adapun judul makalah yang saya bahas dalam makalah ini adalah Sejarah
HukumIslam Sejak Kelesuan Pemikiran, Kebangkitan, dan Sekarang.
Dimana didalamnya membahas tentang perkembangan hukum Islam mulai pada masa
kelesuan pemikiransampai sekarang ini. Dimana setiap periode mempunyai krakter tersendiri
yang berbedadengan periode-periode lainnya. Dan di makalah ini kita berfokus kepada
perode keenam yaitu periode tahrir , takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Kami sebagai pemakalah mohon maaf, apa bila didalam makalah ini ada kesalahanbaik
dalam pengutipan, penulisan dan penyusunannya, kemudian saya mengharapkankritik dan
saran dari kawan-kawan sekalian terutama bapak pembimbing mata kuliah ini,demi untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kita mengharapridho dan
hidayahnya, mudah-mudahan makalah ini memberi manfaat bagi kta semua.
3. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana periode tahrir , takhrij dan Tarjih dalam mazhab fiqh ?
2. Bagaimana munculnya Matan, Syarh dan Hasyiyah ?
3. Bagaimana munculnya kitab kitab fatwa ?
6. 6
4. Bagaimana penetapan undang undang berdasarkan mazhab fikih tertentu ?
4. TUJUAN
1. Untuk mengetahui periode tahrir , takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh
2. Untuk mengetahui munculnya Matan , syarh Dan Hasyiyah
3. Untuk mengetahui munculnya kitab kitab fatwa
4. Untuk mengetahui penetapan undang undang berdasarkan mazhab fiqh tertentu
5. MANFAAT
1. Dapar mengetahui periode tahrir , takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh
2. Dapat mengetahui munculnya Matan , syarh Dan Hasyiyah
3. Dapat mengetahui munculnya kitab kitab fatwa
4. Dapat mengetahui penetapan undang undang berdasarkan mazhab fiqh tertentu
7. 7
BAB II
PEMBAHASAN
PERIODE KEENAM TAHRIR TAKHRIJ DAN
TARJIH
Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir,
takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam
mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai
dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Namun meskipun demikian, dimasa ini juga banyak bermunculan kitab-kitab Fiqih
sebagai dampak dari usaha para Ulama untuk mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para Imam mereka. Dan salah satu jenis produk kitab yang dihasilkan adalah kitab-
kitab fiqih muqoron, meskipun sebenarnya kitab-kitab tersebut adalah hasil ulasan pendapat-
pendapat Imam mereka tapi mereka juga memasukkan pendapat-pendapat madzhab lain
Sebagai contoh adalh kitab Al Majmu’ karangan Imam Nawawi, Al Mughni karangan
Ibnu Qudamah, Al Muhalla karangan Ibnu Hazm al Andalusi, Bidayatul Mujtahid karangan
Ibnu Rusyd dan Badai’ush Shonai’ karangan Al Kasani.
Pada masa itu ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan
oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill tidak ada lagi.
Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab
yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab
(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan kaidah-kaidah yang ada dalam mazhabnya).
Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri,
muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
8. 8
1. Munculnya Matan, Syarh dan Hasyiyah
- Matan تن م
Matan adalah suatu karangan tulisan yang merupakan kitab induk. Biasanya hanya
sebatas tulisan singkat dan padat yang disusun dalam beberapa bab maupun pasal. Matan
bisa berupa syair atau nadzom, bisa juga berupa kalam natsar atau prosa.
Contoh matan yang berupa nadzom atau syair adalah Matan Alfiyyah Ibnu Malik yang
dikarang dan ditulis oleh Syeikh Jamaluddin bin Abdillah bin Malik. Kitab ini memuat 1002
bait atau nadzom yang berisi tentang gramatika Arab atau nahwu shorof. Sedangkan contoh
matan yang berupa prosa adalah Al Ajurumiyyah yang juga berisi tentang tata bahasa Arab,
ditulis oleh Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Daud as Shonhaji.
Dalam dunia fiqih, salah satu karangan paling terkenal adalah matan Al Ghoyah Wat
Taqrib, atau yang biasa akrab disebut kitab Taqrib, karya Al Qodhi Abu Syuja'. Tiga matan
ini merupakan contoh kitab matan yang cukup populer dalam dunia pendidikan Islam. Dan
semakin bagus kualitas suatu kitab, semakin banyak perhatian ulama kepadanya dengan
membuat banyak syarah.
- Syarah شرح
Syarah adalah sebuah karya tulisan yang berisi tentang penjelasan, perincian dan
penafsiran dari suatu kitab induk. Bisa dibilang syarah merupakan perluasan pembahasan
dari suatu kitab induk (matan) yang penjelasannya lebih detail. Ulama yang menulis syarah
disebut dengan istilah As Syaarih شارح ال
Dalam penulisannya, syarah ditulis dalam beberapa tipe. Ada yang berbentuk Mazji,
dimana syarah ditulis dan diselipkan diantara matan sehingga seakan - akan merupakan satu
kitab. Biasanya syarah yang seperti ini penjelasannya tidak terlalu panjang lebar. Ada
syarah yang yang ditulis dengan menyebutkan kalimat - kalimat matan terlebih dahulu
hingga paragraf akhir pembahasan, baru kemudian ditulis penjelasan dari kalimat tersebut.
Biasanya matan ditulis tebal atau format dalam kurung untuk membedakannya dengan
syarah. Ada juga syarah tematik, yang hanya berisi penjelasan substansi tema tentang kitab
matan, sehingga tidak melulu menjelaskan perkata maupun perkalimat.
9. 9
Syarah suatu matan bisa juga disebut sebagai satu kitab yang mempunyai nama.
Beberapa contoh diantaranya adalah kitab Fathul Qorib, yang merupakan nama kitab yang
berupa syarah dari kitab matan Al Ghayah Wat Taqrib. Contoh lain adalah kitab Al Bahjah
Al Mardhiyyah karya Imam Suyuthi yang merupakan syarah dari kitab matan Alfiyah Ibnu
Malik. Namun ada juga syarah yang tidak mempunyai nama. Jadi penyebutannya hanya
dinisbatkan pada pemilik atau penulis syarah tersebut, atau langsung menyebutnya 'Syarah
kitab A (misalnya)'.
Mayoritas kitab syarah ditulis oleh ulama lain, baik yang hidup satu masa maupun
berabad - abad setelah kitab induk (matan) ada. Namun beberapa kitab syarah juga ada yang
ditulis sendiri oleh penulis kitab matan sekaligus. Sebagai contoh, kitab Ghoyatul Wushul
merupakan syarah dari kitab matan Lubbul Ushul. Keduanya sama - sama ditulis oleh
Syeikh Zakariya al Anshori.
- Hasyiyah ية ش حا
Hasyiyah adalah penjelasan, komentar maupun pelengkap daripada kekurangan -
kekrangan yang mungkin ada pada syarah, terkadang juga berupa komentar terhadap kitab
matan itu sendiri. Hasyiyah tidak mencakup keseluruhan isi kitab, namun hanya sebatas
bagian yang dikira penting saja. Biasanya hasyiyah hanya fokus pada pendalaman kalimat.
Dinamakan hasyiyah karena dulu ditulis pada sisi samping dan pojok suatu kitab.
Kebanyakan hasyiyah ditulis tidak untuk disebar dan dikomersilkan, namun hanya sebatas
catatan pribadi seorang ulama. Kemudian didapati oleh orang setelahnya dan baru dicetak
dan disebarluaskan.
2. Munculnya kitab kitab Fatwa
Semakin maju zaman, semakin banyak permasalahan yang perlu diatur dalam agama.
Islam adalah agama yang sempurna sehingga setiap masalah baru dapat merujuk kembali
kepada Alquran dan Sunah. Nah, tugas pemberi fatwa atau mufti untuk menginterpretasi
hukum-hukum Islam dari setiap masalah tersebut.
10. 10
Kedudukan fatwa teramat penting dalam kehidupan umat Islam. Andaikata tak ada
fatwa, umat Islam akan dilanda kebingungan dalam menentukan hukum suatu
permasalahan. Bahkan, bukan tak mungkin, mereka tanpa sengaja melakukan hal yang
haram lantaran tak jelasnya permasalahan hukum halal dan haram. Memberi patokan hukum
bagi umat, para pemberi fatwa berperan sebagai pewaris para Nabi dan Rasul.
Fatwa mulai diperlukan saat era kerasulan berakhir, yakni setelah wafatnya Rasulullah
SAW. Namun, keberadaan sahabat Rasulullah, para tabiin dan tabiut tabiin memudahkan
umat bertanya setiap permasalahan hukum Islam. Mereka berperan sebagai mujtahid yang
menentukan hukum Islam berdasarkan hasil ijtihad. Namun, perlu dibedakan antara ijtihad
dan fatwa. Ijtihad mengacu kepada para cendekiawan yang mencari pendapat mengenai
penerapan hukum.
Adapun fatwa mengacu pada peran sosial seorang mujtahid sebagai konsultan dalam
perkara hukum, hampir mirip dengan peran qadhi atau hakim. Saat itu, belum terdapat
lembaga fatwa. Masyarakat mengenal mufti sebagai perorangan yang terpilih dari kumpulan
cendekiawan.Pada awal abad ke-11 di era Kekhalifahan Turki Usmani, terdapat sebuah
kantor publik mufti yang diikutsertakan dalam ifta’ (tindakan menghasilkan fatwa).
Kemudian muncul istilah Syekh al-Islam di Kota Khurasan. Istilah tersebut ditujukan
kepada pimpinan ulama setempat yang berperan sebagai kepala para mufti. Di bawah
kekuasaan Dinasti Mamluk, seorang mufti dari setiap mazhab dilibatkan dalam proses
pertimbangan pengadilan di ibu kota provinsi. Inilah kali pertama mufti ikut serta dalam
lembaga negara.
Masih di era Kekhalifahan Turki Usmani, tepatnya di masa pemerintahan Sultan
Murad II (1421-1444, 1446-1451), istilah Syekh al-Islam digunakan secara resmi oleh
negara.Sultan menobatkan Syekh al-Islam menjadi pejabat tinggi, yakni kepala mufti
kerajaan. Ia menetapkan seorang mufti di setiap kota kemudian menggabungkan mereka
dalam sistem birokrasi serta mengorganisasi ifta' sebagai prosedur rutin negara.
3. Penetapan Undang Undang berdasarkan Madzab
Fiqih Tertentu
Dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Menurut Mustofa Ahmad Az Zarqo Paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
11. 11
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di
kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi
melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi
mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab
masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai
yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subyektivitas mazhab lebih
menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat
jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena
sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang
pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun
lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-
masing.
Ta’ashub dan taklid merupakan dua penyakit berbahaya yang cukup rumit untuk
ditangani. Keduanya merupakan pangkal hizbiyah dan ashabiyah (fanatisme golongan).
Hizbiyah dan ashabiyah akan mudah dilenyapkan apabila ta’ashub dan taklid ini
terkikis habis.
Sebenarnya, menurut nalar orang yang sedikit saja memiliki ilmu agama, keduanya
mudah difahami sebagai penyakit umat yang amat berbahaya, namun menurut waqi’
(kenyataan), ternyata tanpa disadari banyak orang yang termakan oleh penyakit ini. Tidak
hanya orang-orang awam, bahkan orang-orang yang cukup memiliki bekal sebagai juru
dakwah pun kadang-kadang ikut terjebak ke dalamnya. Dua buah penyakit umat yang cukup
mudah dimengerti tetapi sulit dihindari. Teori dengan prakteknya berbeda, prinsip ilmiah
dengan amaliahnya berlainan.
Syaikh Ali bin Hasan al-Atsari memberikan contoh sebagai berikut :
12. 12
“Kita lihat misalnya, seorang pemuda atau sekelompok pemuda, ketika diajak dialog
oleh seorang Thalib al-‘ilmi (pengkaji ilmu) tentang masalah fikriyah (berkaitan dengan
pola fikir) atau masalah dakwah…. Apabila pembicaraannya ternyata sesuai dengan apa
yang menjadi doktrin mereka…, selaras dengan apa yang mereka pegangi…, dan lawan
dialognya bisa menyepakati apa yang menjadi keyakinan dan kebiasaan mereka, maka
lawan dialognya itu akan dianggap sebagai saudara yang ikhlas, dihormati, dan disayangi
sepenuh hati.
Sebaliknya jika perkataan anda menyalahi prinsip pemikiran mereka atau menyalahi
beberapa sisi pendapat mereka…, mereka akan melancarkan perkataan-perkataan keji dan
melepaskan berbagai tuduhan kepada anda melalui sebuah busur yang menyebabkan satu
pleton orang kuat pun takkan berdaya menghadapinya.
Bahkan anda lihat, dengan tenangnya mereka sebar luaskan (fitnah keji) ini tanpa
kejelasan bukti sama sekali.
Contoh lain yang juga (nyata) ialah:
Bahwa da’i-da’i atau sosok-sosok tertentu lain yang ketokohannya sudah tertanam
dalam benak sebagian orang sebagai panutan, uswah serta suri tauladan yang dikagumi dan
dipercaya kata-katanya, ternyata dalam akal pikiran dan jiwa orang-orang yang mempunyai
semangat serta emosi menggebu itu, sosok-sosok pribadi tersebut telah menjadi lambang
kebenaran dan perkataannya menjadi dalil.Ini jelas penyelewengan besar.
Mereka, dengan bahasa lidah atau bahasa fakta, mengatakan: “Kita harus menghormati
da’i-da’i itu…, mereka adalah panutan kita!! Awas jangan diganggu…, jangan dibantah
atau dikritik!!”
Ini tentu sangat mengherankan… adakah di sana seorang manusia yang tak boleh
dikritik atau dibantah selain para nabi……
Kalau saja sebagian mereka sudi mengganti istilah penghormatan mereka (kepada
tokoh idolanya -pen.) dengan istilah pengkultusan, – disebabkan jeleknya keadaan mereka
yang sesungguhnya-, tentu akan lebih pantas dan lebih cocok dengan realita mereka.
Mengapa demikian…, sebab hanya dengan melakukan bantahan terhadap salah
seorang tokoh mereka, sekalipun dengan bahasa lembut dan tidak kasar saja…, sudah
mereka anggap sebagai tindakan jahat dan batil…
13. 13
Isyarat paling sederhana pun…, meski dilakukan dengan ramah…, tetap mereka
anggap sebagai tantangan nyata dan sebagai tindakan tak beradab… Bersamaan dengan
perbuatan-perbuatan rusak mereka yang bersumber dari prinsip-prinsip ashabiyah
(fanatisme golongan) yang jelek ini…, mengalir pulalah gelombang-gelombang tuduhan
(keji) terhadap orang-orang tak berdosa, serta tahdzir (peringatan agar manusia tidak
mendekat) terhadap orang-orang yang sebenarnya bersih. Bahkan (sammpai pada tingkat)
memutuskan silaturrahmi dengan orang-orang yang sebenarnya suci dan bertakwa.” [Lihat
Syaikh Ali Hasan al-Atsari, dalam muqadimah kutaib (kitab kecil) berjudul “Sual wa Jawab
Haula Fiqhi al-Waqi’, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, terbitan Daar al-Jalalain,
Riyadh, Saudi Arabia, cet. I, 1412 H/1992 M, hal.10-12].
Itulah beberapa contoh konkrit yang dikemukakan oleh Syaikh Ali Hasan tentang
betapa berbedanya antara teori yang dikuasai oleh seseorang mengenai tercelanya ta’ashub
dan taklid dengan kenyataan yang dilakukannya.
Demikianlah realita yang ada sekarang ini, ta’ashub dan taklid sudah menggejala di
mana-mana hingga ciri-ciri hizbiyah-pun menjadi akrab dengan banyak pribadi yang
mengaku anti hizby. Bahasa lidah mengingkari, namun bahasa fakta mengakui.
Imam Ibnul al-Qayyim rahimahullah, mengingatkan, menjelaskan dan memberi nasihat:
“Sepeninggal generasi-generasi terbaik umat ini, (disusul dengan lenyapnya para imam
abad ke IV H, dan perginya para pengikut angkatan pertama mereka) datanglah kemudian
generasi-generasi yang memecah belah agamanya. Mereka hidup bergolong-golongan dan
masing-masing bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Mereka telah memotong-motong
perkara agamanya menjadi berkeping-keping…
Segolongan orang menjadikan ta’ashub madzhabi (fanatisme madzhab) sebagai agama
yang dipegang erat-erat dan sebagai modal keyakinan yang digembor-gemborkan.
Sementara segolongan yang lain merasa puas dengan sikap taklid buta. Mereka
berpegang pada prinsip:
َُوندَتْقُم ْمِه ِارَثآ ٰىَلَع اَّنِإ َو ٍةَّمُأ ٰىَلَع َانَءاَبآ َانْدَج َو اَّنِإ
“Artinya : Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama
dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” [Az-Zukhruf/47 : 23]
14. 14
Dua golongan manusia: muta’ashib (fanatikus golongan) dan muqallid (orang yang
taklid) di atas sama-sama berada pada keadaan yang teramat jauh dari kebenaran yang
semestinya diikuti.
Rasanya tepat sekali jika ungkapan (ayat al-Qur’an al-Karim) berikut ditujukan kepada
mereka:
ِباَتِكْلا ِلْهَأ ِيِناَمَأ ََل َو ْمُكِيِناَمَأِب َْسيَل
“Artinya : (Apa yang dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong
dan bukan (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab” [An-Nisa’/4: 123]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) bahwa barangsiapa yang telah melihat
sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan jelas, maka ia tidak boleh
meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang.”
(Sementara itu) Abu Umar dan ulama-ulama lain mengatakan :
“Orang-orang telah bersepakat bahwa muqallid (orang yang taklid) tidak terhitung
sebagai ahli ilmu (agama). Dan ilmu (agama) ialah memahami al-haq (kebenaran) melalui
dalilnya.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Abu Umar rahimahullah, sebab manusia memang
tidak pernah berselisih pendapat bahwa ilmu ialah pemahaman yang dihasilkan dari dalil.
Adapun jika tanpa dalil maka namanya taklid!!!
Dua pernyataan ijma’ di atas (pernyataan imam Syafi’i tentang ijma’ berkenaan dengan
larangan ta’ashub, dan pernyataan Abu Umar tentang ijma’ berkenaan dengan taklid),
memberi pengertian bahwa orang yang ta’ashub (fanatik) terhadap hawa nafsu, serta orang
yang taklid buta adalah orang-orang yang tidak tergolong dalam kelompok orang-orang
berilmu. Mereka bukan pewaris nabi. Pewaris nabi hanyalah para ulama.
Bagaimana mungkin para muta’ashib (fanatikus golongan) dan para muqallid (orang
yang taklid) disebut pewaris nabi, sedangkan mereka sangat keras upayanya menolak ajaran
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam rangka mengikuti perkataan orang yang
15. 15
menjadi idolanya? Mereka habiskan umurnya guna berfanatik terhadap tokoh idamannya
dan untuk mengikuti hawa nafsu, sementara mereka tidak menyadari.
Demi Allah, sesungguhnya ini merupakan fitnah yang membutakan mata dan
mematikan hati. Anak-anak kecil tumbuh dalam bimbingan fitnah ini, dan dalam lingkaran
fitnah ini pula para orang tua merambati umur tuanya. Akhirnya al-Qur’an dihindari.
Begitulah qadha’ dan takdir Allah telah tertulis. Ketika bencana sudah sedemikian
besar dan meratanya sehingga kebanyakan orang tidak kenal lagi kecuali kebejatan ini, dan
kebejatan ini dianggapnya sebagai ilmu, maka pada saat demikian setiap pencari kebenaran
melalui sumbernya yang benar, akan dianggap sebagai maftun (orang yang telah terkena
fitnah). Setiap orang yang mengutamakan al-haq, akan dianggap dungu.
Orang-orang muta’ashib tadi akan senantiasa memasang berbagai jebakan guna
menjegal setiap yang berbeda pendapat dengan mereka seraya berkata kepada sesamanya:
“Kita kuatir kalau dia (pencari kebenaran tersebut -pen) akan mengganti agama kalian atau
akan membuat kerusakan di muka bumi.”
Oleh sebab itu, sesungguhnya siapa saja yang memiliki rasa harga diri, hendaknya
jangan pedulikan mereka dan jangan ridha terhadap apa yang ada pada mereka. Kalau
Sunnah Nabawiyah ditunjukkan kepadanya, ia segera bergegas mengambilnya dan tidak
berkutat membelenggukan dirinya pada mereka.
Tunggulah saatnya, ketika segala apa yang ada di dalam kubur dibangkitkan kembali,
ketika segala yang tersimpan di dada terbongkar, ketika kaki-kaki seluruh makhluk berdiri
sama rata di hadapan Allah, ketika tiap-tiap hamba melihat sendiri apa yang telah
dilakukannya, ketika antara orang-orang yang benar dapat terbedakan dengan orang-orang
yang batil, dan ketika orang-orang yang berpaling dari Kitabullah dan Sunnah Nabi
mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah para pendusta.” [Dinukil dari I’lam al-
Muwaqi’in: Ibnu al-Qayyim, tahqiq: Muhammad Muhyidin Abdu al-Hamid, terbitan Daar
al-Fikr, cet. III, 1397 H/1977 M, juz I hal. 7-8.]
Dengan demikian, agar orang tidak terjerumus pada sikap hizbiyah, maka ia harus
mewaspadai dan menghindar dari sikap ta’ashub dan taklid. Caranya ialah seperti apa yang
diungkapan oleh imam Ibnu al- Qayyim berikut ini:
16. 16
“Sesungguhnya hal yang paling pantas dan paling utama untuk orang saling berlomba
dan berpacu adalah meraih sesuatu yang bisa menjamin kebahagiaan hidup di dunia maupun
di akhirat dan bisa memberi petunjuk pada jalan yang menghantarkan pada kebahagiaan itu.
Nah, sesuatu itu adalah al-‘ilmu an-nafi’ (ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu agama
yang benar) dan amal shaleh. Tanpa keduanya tak bakal ada kebahagiaan bagi seorang
hamba, dan tanpa mengaitkan diri pada sarana-sarana yang bisa digunakan untuk
memperoleh keduanya, maka keselamatan tidak mungkin akan teraih.
Barangsiapa yang dianugerahi (oleh Allah) dua hal di atas, berarti dia sangat
beruntung. Sebaliknya bagi siapa saja yang diharamkan untuk memperoleh keduanya (ilmu
bermanfaat dan amal saleh), niscaya seluruh kebaikan diharamkan baginya.
Keduanya merupakan titik beda antara manusia-manusia terhormat dengan manusia-
manusia hina. Dengan keduanyalah akan terbedakan antara orang baik dengan orang jahat,
antara orang yang bertakwa dengan orang yang menyimpang….” [Ibid, hal. 5]
Dengan ilmu (dinul Islam) yang benar dan dengan amal saleh. Insya Allah orang akan
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan akan terhindar dari kesengsaraan. Juga akan
terhindar dari ruwetnya hizbiyah.
17. 17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai
dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam
mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai
dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Namun meskipun demikian, dimasa ini juga banyak bermunculan kitab-kitab Fiqih
sebagai dampak dari usaha para Ulama untuk mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para Imam mereka. Dan salah satu jenis produk kitab yang dihasilkan adalah kitab-
kitab fiqih muqoron, meskipun sebenarnya kitab-kitab tersebut adalah hasil ulasan pendapat-
pendapat Imam mereka tapi mereka juga memasukkan pendapat-pendapat madzhab lain
berupa matan , syarah dan hasyiyah.
Fatwa mulai diperlukan saat era kerasulan berakhir, yakni setelah wafatnya Rasulullah
SAW. Namun, keberadaan sahabat Rasulullah, para tabiin dan tabiut tabiin memudahkan
umat bertanya setiap permasalahan hukum Islam. Mereka berperan sebagai mujtahid yang
menentukan hukum Islam berdasarkan hasil ijtihad. Namun, perlu dibedakan antara ijtihad
dan fatwa. Ijtihad mengacu kepada para cendekiawan yang mencari pendapat mengenai
penerapan hukum.
Dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Menurut Mustofa Ahmad Az Zarqo Paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di
kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
18. 18
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi
melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan
diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing.
Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan
lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Daftar pustaka
https://id.scribd.com/doc/28546510/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam-Sejarah-Empat-
Mazhab-Fiqih
https://santrimaroko.blogspot.com/2018/12/penjelasan-terlengkap-seputar-
perbedaan.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/n0tw9o
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 23/Tahun II/Hal.37-40. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-761016]
https://almanhaj.or.id/1534-taashub-dan-taklid-pangkal-hizbiyah.html