1. 1
Meraih Maghfirah Allah, Bagaimana Caranya?
Tidak sedikit manusia yang tidak sadar bahwa dirinya telah banyak
melakukan kesalahan dan dosa, sehingga di dalam dirinya banyak sekali
kotoran jiwa yang melekat dan mengotori hatinya. Mereka merasa nyaman,
karena ketidaksadaran mereka terhadap dosa yang telah mengotori jiwanya.
Padahal, sadar atau tidak, setiap manusia pasti memiliki motivator
pribadi ( البواعثالشخصية ) yang berjumlah tiga macam, yang selalu berkompetisi
dalam dirinya, yang disebut dengan istilah nafsun ammârah, nafsun
lawwâmah, dan nafsun muthmainnah.
Pertama, Nafsun Ammârah adalah dorongan untuk melakukan
pelanggaran dan kemaksiatan. Manusia paling saleh pun memiliki dorongan
ini, karenanya sudah dipastikan tidak ada manusia yang steril dari dosa.
Kedua, Nafsun Lawwâmah adalah nafs yang suka mengoreksi ketika
kita melakukan dosa atau kemaksiatan. Kalau kita berkhianat atau
berbohong, misalnya: “siapakah yang pertama kali mengingatkan bahwa
perbuatan tersebut salah? Tentunya diri kita sendiri.” Inilah yang disebut
dengan nafsun lawwâmah.
Ketiga, Nafsun Muthmainnah adalah dorongan untuk berbuat
kebaikan. Jiwa akan merasa tenteram kalau melaksanakan aturan-aturan
Allah SWT dan berbuat berbagai kebajikan. Manusia yang paling bejat
sekalipun memiliki nafsun muthmainnah. Karenanya, sebejat-bejatnya
manusia pasti pernah berbuat kebaikan. Hakikatnya, manusia itu hanîf
(cenderung pada kebaikan), karena itu manusia akan merasa tenang,
tenteram, dan bangga kalau sudah berbuat kebaikan. Sebaliknya, ia merasa
gelisah dan menyesal bila melakukan pelanggaran dan dosa.
Ketiga macam nafsu ini selalu berkompetisi. Apabila nafsun
muthmainnah1
memenangkan persaingan, akan lahir perbuatan baik dan
1
An-Nafs (Jiwa) adalah potensi yang terdapat dalam diri setiap manusia.
Semua orang akan mengalami perkembangan jiwanya, selaras dengan berjalannya
waktu. Setiap orang yang senantiasa berkesediaan untuk bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah, dirinya akan merasakan ketenangan dan ketenteraman dalam
jiwanya, tenang dan tenteram baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan
nikmat. Jika ia mendapatkan musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah dan jika
kehilangan sesuatu, ia tidak berputus asa. Bahkan jika ia mendapatkan nikmat, tidak
lupa diri, Ia senantiasa berada dalam sikap sabar dan syukur. Inilah yang oleh Allah
disebut sebagai an-Nafs al-Muthmainnah, jiwa yang tenang dan tenteram dalam
keimanan, dan tak pernah tergoyahkan oleh keragu-raguan (syubhat). Jiwa yang
senantiasa memiliki kerinduan untuk bertemu dengan Allah, Tuhan yang selalu ada
di dalam hatinya.
2. 2
mulia. Namun, kalau nafsun ammârah yang memenangkannya, akan lahir
perbuatan nista dan maksiat. Puasa Ramadhan melatih jiwa agar bisa
mengendalikan nafsun ammârah, bahkan bisa menundukkannya, sehingga
yang dominan dalam diri kita adalah nafsun muthmainnah.
Kalau kita klasifikasi, paling tidak ada lima tipe orang yang
terjerumus dalam “dosa”.
Pertama, orang yang suka meremehkan dosa, sebagaimana
disabdakan Rasulullah SAW,
"Janganlah kalian meremehkan dosa-dosa kecil karena hal itu dapat terkumpul pada
diri seseorang hingga membinasakannya." Dan sesungguhnya Rasulullah shallallâhu
'alaihi wasallam memberi perumpamaan hal itu seperti suatu kaum yang singgah di
padang pasir yang luas, lalu para pekerja kaum datang, seorang laki-laki pergi dan
kembali membawa kayu dan orang lainnya kembali pula membawa kayu hingga
mereka dapat mengumpulkan setumpuk kayu, lalu mereka menyalakan api dan
dapat mematangkan semua yang mereka lemparkan ke dalamnya.'' (HR Ahmad
bin Hanbal dari Abdullah bin Mas’ud, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal.
402, hadits no. 3818 dan HR ath-Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud, Al-
Mu’jam al-Kabîr, juz IX, hal. 62, hadits no. 10349)
Kedua, orang yang suka menunda taubat. Artinya taubat hanya
sebatas rencana dan cita-cita, tetapi tidak direalisasikan, sebagaimana firman
Allah,
ۚ
3. 3
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum
datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-
ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat,
yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah
datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”
(QS al-Munâfiqûn/63: 10-11).
Ketiga, orang yang mau bertaubat kalau ditimpa kesusahan atau
musibah. Orang seperti ini baru merasa butuh terhadap maghfirah (ampunan)
Allah kalau dia sudah terpuruk, sebagaimana firman Allah,
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.”
(QS Fushshilat/41: 51).
Keempat, orang yang berputus asa dari ampunan Allah, sehingga
merasa sudah “terlanjur ('kepalang’) berdosa'', sebagaimana firman Allah,
ۚ
ۚ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa2
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS az-Zumar/39: 53).
Kelima, orang yang sadar akan dosanya dan yakin akan ampunan
atau maghfirah Allah SWT sehingga bersungguh-sungguh dalam bertaubat.
Inilah tipe yang paling ideal dan inilah ciri orang takwa, sebagaimana firman
Allah,
2
Dalam konteks ini, simaklah kembali firman Allah dalam QS an-Nisâ/4:
48,
َ
ّ
نِإََه ّ
اّللََ
ه
لََرِف
ْ
غ
ه
يَن
ه
أََهكه ْ
ْشيََِهِبََرِف
ْ
غهيهوَاهمََ
ه
وندََ
ه
ذَٰ
ه
كِلَنهمِلََاء
ه
شهيۚنهمهوََ
ْ
كِ
ْ
ْشيََِ
ّ
اّللِبََِد
ه
ق
ه
فََىه ه
َت
ْ
افَاًم
ْ
ثِإَاًيمِظهعَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
4. 4
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri3
, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS
Āli ‘Imrân/3: 135).
Karena tidak ada manusia yang steril dari dosa, maka Allah
membuka pintu maghfirah atau ampunannya setiap saat. Dan Allah pasti
memberikan maghfirah pada hamba-hamba-Nya yang mohon ampun atau
bertaubat dengan sungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah,
ۖ
ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasûhâ
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan
orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami,
3
Yang dimaksud “perbuatan keji (fâhisyah)” ialah” “dosa besar yang
dampak negatifnya tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Sedang yang dimaksud dengan “menganiaya diri sendiri” ialah:
“melakukan dosa yang dampak negatifnya hanya menimpa diri sendiri, baik yang
(berskala) besar atau pun kecil.
5. 5
sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS at-Tahrîm/66: 8).
Pertanyaan selanjutnya adalah: “Apa doa yang seharusnya kita
ucapkan, ketika kita berkeinginan untuk memohon ampunan dari Allah?”
Jawabnya ‘sederhana’. “Berdoalah seperti ketika Rasulullah saw berdoa”.
Karena beliaulah yang paling tepat untuk kita jadikan sebagai uswah hasanah
(suri tauladan) kita dalam segala hal. Termasuk di dalamnya, ketika kita
berkehendak untuk meminta ampunan dari Allah SWT atas segala
kesalahan dan dosa kita.
Dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy dan Shahîh Muslim, kita bisa
menemukan sebuah hadits yang menjelaskan apa yang seharusnya kita
ucapkan ketika kita memohon ampunan kepada Allah atau istighfâr yang
sudah mencakup segala hal. Atau dengan kata lain: “sudah mencakup semua
permohonan ampunan dari segala macam kesalahan dan dosa yang pernah
kita perbuat.
Dari hasil penelusuran penulis, penulis temukan salah satu doa
yang diajarkan oleh Nabi kita (Nabi Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, yang senantiasa beliau ucapkan dalam rangka untuk memohon
ampuan dari Allah SWT. Dan sudah seharusnya bisa kita amalkan dalam
doa-doa kita sehari-hari. Karena kita tahu bersama bahwa kita adalah
manusia yang tidak luput dari kesalahan, baik tatkala bercanda atau bersikap
serius. Dan semoga dengan doa ini, Allah akan berkenan untuk
mengampuni dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita yang
pernah kita lakukan.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam biasa membaca doa permohonan
ampunan kepada Allah sebagai berikut:
(Allahummagh-firlî khathî-atî, wa jahlî, wa isrâfî fî amrî, wa mâ anta a’lamu bihî
minnî. Allahummagh-firlî jiddî wa hazlî, wa khatha-î wa ‘amdî, wa kulla dzâlika
‘indî)
“Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilan (kedunguan)-ku, sikapku yang
melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal
itu daripada diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang pernah kuperbuat
tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku
tidak sengaja maupun sengaja, ampunilah segala kesalahan yang pernah kulakukan”
(Hadits Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VII, hal. 105, hadits no.
6. 6
6399 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 80, hadits no. 7076, dari Abu
Musa al-‘Asy’ari)
Doa ini adalah doa yang mencakup segala macam (bentuk) istighfâr
(permohonan ampunan kepada Allah). Karena doa ini sifatnya umum,
mencakup semuanya dan disertai perincian dengan lafazh yang tegas.
Para ulama memahami makna bahwa doa ini adalah: Manusia
sadara bahwa dirinya pernah melakukan kesalahan dan dosa dalam beragam
bentuknya, yang oleh karenanya ia memohon ampunan dari Allah dengan
ungkapan doanya: ‘Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya (baik dosa kecil
maupun dosa besar). Ampunilah dosa yang muncul karena kejahilan
(kedunguan) diriku, karena sikap melampaui batas dalam segala hal. Ya Allah,
ampunilah dosaku, semuanya yang kuketahui maupun tidak kuketahui, yang
kuperbuat dalam keadaan serius atau bercanda, dan yang kuperbuat di kala
keliru (tidak sengaja) dan di kala sengaja. Aku mengakui semua dosa-dosa ini,
Ya Allah’.
Sedangkan kalimat doa yang terakhir “wa kulla dzâlika ‘indî”,
maksudnya adalah: “pengakuan kepada Allah bahwa kita adalah hamba
yang penuh dosa. Kita mengakui semua dosa itu sehingga timbullah rasa
‘hina’ (rendah diri) di hadapan Allah, maka kita pun memohon ampunan
dari setiap kesalahan dan dosa kita kepada-Nya.” Hal ini menunjukkan pada
diri kita, bahwa pengakuan seorang hamba terhadap dirinya bahwa ia penuh
dengan kekurangan – menurut penjelasan para ulama -- adalah salah satu
sebab diterimanya taubat dan diampuninya dosa setiap orang.
Oleh karenanya, saatnya kini “kita ucapkan dan renungkan doa ini”.
Bahkan, menurut penjelasan para ulama, ada satu pelajaran dari
doa ini yang perlu diperhatikan. Doa ini menunjukkan bahwa sudah
seharusnya seseorang ketika berdoa merenungkan maksud doa yang ia
panjatkan, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang amat besar pada
jiwanya. Hal ini akan menimbulkan kekhusyu’an, rasa tunduk dan ‘hina’
(rendah diri) di hadapan Allah. Dan inilah yang menunjukkan
kesempurnaan ibadah seseorang dalam beribadah kepada Allah.
Demikian penjelasan ringkas mengenai Upaya Untuk Meraih
Maghfirah Allah. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu bersedia
untuk memohon maghfirah-Nya, dan (semoga) Allah senantiasa berkenan
untuk mengabulkan doa-doa kita.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.