1. Tulisan ini membahas tentang mudik lahir dan batin. Mudik lahir merupakan perjalanan fisik ke kampung halaman, sementara mudik batin adalah kembali ke fitrah kemanusiaan sebagai persiapan menyambut Idul Fitri.
2. Mudik batin memerlukan persiapan rohani yang matang melalui evaluasi diri, perbaikan sikap sosial, dan menjadi manusia yang tenang ridho dengan cobaan.
3. Mud
1. 1
Mudik Lahir-Batin, Mungkinkah?
Oleh: Muhsin Hariyanto
Prolog
Ada beragam pertanyaan berkaitan dengan mudik: “Apa yang kita
rindukan dalam ritual mudik saat Lebaran? Suasana kampung halaman?
Tempat kita atau orang tua lahir? Tempat kita tumbuh dan menghabiskan
masa kecil? Atau, ada sesuatu yang lebih penting daripada semua itu?
Jawabnya: “hanya kita yang benar-benat tahu”.
Kita bisa menyaksikan, betapa orang ‘rela’ berjam-jam,bahkan
hingga berhari-hari di perjalanan, bahkan secara ajaib ikhlas menerima
kemacetan berkilo-kilometer untuk menuju kampung halaman. Mengapa?
Karena, kampung halaman adalah titik berangkat kita, tempat kita berharap
pulang dan menemukan lagi suasana asasi. Jadi, dalam titik ini, orang bisa
mudik menemukan relevansinya dengan Idul Fitri, yakni saat orang kembali
kepada fitrah kemanusiaan, setelah menempa diri selama sebulan pada bulan
Ramadhan, yang bagi setiap orang Islam tentulah ada harapan bagi mereka:
„berhasil melampaui ujian, mendapatkan maghfirah, dan kembali ke titik nol
jati diri sebagai muslim yang suci, yang oleh Kuntowijoyo – Allâhu Yarham
-- dalam sebuah tulisan pendeknya, secara batiniah ‘Idul Fitri‘ – dengan
budayaya mudiknya – bisa dikatakan sebagai momentum diri setiap manusia
untuk kembali ke ‘kampung halaman kemanusiaan‘.
Setiap orang – saat ini -- mungkin sudah berancang-ancang untuk
mudik ke kampung halaman. Semua persiapan dan bekal telah matang,
bahkan tiket mudik pun telah didapatkan. Mereka, bahkan sangat senang
ketika mendengar kabar bahwa kabar bahwa jalur mudik utama, pantai
utara Jawa, telah siap empat menjadi lajur, misalnya Atau, jalur selatan
tidak lagi berlubang-lubang seperti sedia kala. Mereka pun membayangkan
betatpa indahnya mudik mereka tahun ini akan lebih lancar, lebih aman, dan
bakal lebih cepat tiba di tujuan mereka. Tetapi, disamping kita bertanya
tentang kesiapan fisik, apakah persiapan ‘mudik batiniah‘ kita pun telah juga
sematang persiapan mudik fisik kita? Siapkah kita menjadi manusia di titik
nol, seperti saat kita pertama kali lahir sebagai manusia? Sebuah pertanyaaan
yang terlalu penting untuk dipersoalkan, karena persoalan ini lebih sulit
dijawab, utamanya bagi diri kita untuk bermuhasabah (melakukan evaluasi
diri). Hal ini menyangkut suasana hati, pikiran dan perasaan, bahkan sikap
mental kita sebagai seorang manusia. Kita, dalam hal ini tidak – dengan
mudah -- bisa membacanya, seperti ketika kita melihat jalan mulus sebagai
bukti kesiapan infrastruktur menghadapi arus mudik. Namun, kata para
ulama, bagi setiap orang yang memiliki hati yang bersih, “sebenarnya kita
bisa membacanya dalam berbagai wujud lahir perbuatan kita selama ini”.
2. 2
Apakah Mudik Ruhani Itu?
Para ulama menyatakan, bahwa “mudik ruhani“, yaitu kembali ke
fitrah kita tak dapat kita nilai hanya sekadar dari – misalnya -- jumlah rakaat
shalat yang kita lakukan setiap hari. Di luar itu, kita memerlukan parameter
kesalehan-kesalehan yang lain, termasuk di dalamnya kesalehan sosial diri
kita. Kita bisa melihat keseharian kita, sebelum mudik ke kampung halaman,
sebagai sarana pengukur kesalehan kita. Bagaimana cara kita mengendarai
sepeda, sepeda motor dan mobil kita, di saat kita berpapasan dengan
kendaraan lain, atau saat berebut lajur ketika jalan menyempit. Bahkan juga
ketika diri kita berada di kendaraan umum, sudah mampukah diri kita
berbagi tempat duduk, berbagi minuman, atau saat berbagi ruang yang
nyaman selama perjalanan? Karena, menyaksikan pengalaman saya pada
tahun-tahun lalu, justeru di jalan raya kita melihat perilaku-perilaku yang tak
menunjukkan suasana mudik batiniah dari para pemudik lahiriah. Aksi
saling serobot lajur, tindakan pengemudi yang ugal-ugalan, atau saling
memaki terjadi, bahkan di siang hari, saat kita sedang berpuasa dan
sebenarnya masih mengharapkan maghfirah dan rahmat Allah. Mulusnya
infrastruktur lalu lintas tidak jarang berbanding terbalik dengan keserakahan
perilaku pemudik-pemudik fisik.
Untuk memahami pengertian ‘mudik-ruhani‘, kita bisa menyimak
dengan seksama, misalnya, firman Allah dalam QS al-Fajr/89: 27-30,
اَياَهُت
َ
ّي
َ
أُس
ْ
فَاّنل
ُ
ة
َ
ّنِئَم ْطُم
ْ
ال﴿٧٢﴾ِعِجْارى
َ
لِإِكّ
ِبَرةَي ِاضَرةَي ِضْر
َ
ّم
﴿٧٢﴾ِل
ُ
خ
ْ
اد
َ
فِفيِداَبِع﴿٧٢﴾ِل
ُ
خ
ْ
ادَوِت
َ
ّنَج﴿٠٣﴾
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam surga-Ku.”
Dan, kemudian simaklah puisi Emha Ainun Najib berikut ini:
Rumah Kita
Kita bukan penduduk bumi,
kita adalah penduduk surga.
Kita tidak berasal dari bumi,
tapi kita berasal dari surga.
Maka carilah bekal untuk kembali ke rumah,
kembali ke kampung halaman.
3. 3
Dunia bukan rumah kita,
maka jangan cari kesenangan dunia.
Kita hanya pejalan kaki dalam perjalanan kembali kerumahnya.
Bukankah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat
rumahnya dan mereka mencari buah tangan untuk kekasih hatinya yang
menunggu di rumah?
Lantas, apa yang kita bawa untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia?
Dia hanya meminta amal shaleh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya
yang menanti di rumah.
Begitu beratkah memenuhi harapanNya?
Kita tidak berasal dari bumi,
kita adalah penduduk surga.
Rumah kita jauh lebih Indah di sana.
Kenikmatannya tiada terlukiskan,
dihuni oleh orang-orang yang mencintai kita.
Ada istri sholeha serta tetangga dan kerabat yang menyejukkan hati.
Mereka rindu kehadiran kita,
setiap saat menatap menanti kedatangan kita.
Mereka menanti kabar baik dari Malaikat Izrail.
Kapan Keluarga mereka akan pulang.
Ikutilah peta (al-Qur’an) yang Allah titipkan sebagai pedoman perjalanan.
Jangan sampai salah arah dan berbelok ke rumahnya iblis Laknatullah yaitu
neraka
Kita bukan penduduk bumi,
kita penduduk surga.
Bumi hanyalah perjalanan.
Kembalilah ke rumah
Kita akan bisa ‘mudik’ ke rumah kita, dengan satu cara:
“berupaya untuk menjadi nafsun muthmainnah” Siapakah Nafsun
Muthmainnah itu?
Buya HAMKA, dalam magnus opusnya: “Tafsir al-Azhar”,
menjelaskan tentang siapa yang disebut an-Nafs al-Muthmainnah dalam QS al-
Fajr/89: 27-30. Al-Quran sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh
oleh nafs atau diri manusia. Pertama an-Nafs al-Ammârah, yang selalu
mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang.
4. 4
Maka terlalu sering manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena
an-Nafs al-Ammârah ini, sebagaimana firman Allah dalam QS Yûsuf/12: 53,
اَّمَو
ُ
ئّ
ِرَب
ُ
أِس
ْ
ف
َ
نۚ
َ
نِإَس
ْ
فَاّنلةَار
َ
ّم
َ َ
َلِءو ُالّسِب
َ
ّلِإاَّمَمِحَر
ّ
ِبَرۚ
َ
نِإ
ّ
ِبَر
ور
ُ
ف
َ
غيمِحَر
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketika langkah seseorang manusia telah terdorong, tibalah
penyesalan diri atas tindakan cerobohnya. Itulah yang dinamai an-Nafs al-
Lawwâmah, yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”,
atau perasaan berdosa”. An-Nafs al-Lawwâmah ini dijadikan sumpah kedua
oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat,
sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qiyâmah/75: 2,
َ
ّلُم ِّس
ْ
ق
ُ
أِمْوَيِبِةَاّمَيِق
ْ
ال﴿١﴾
َ
ّلَوُم ِّس
ْ
ق
ُ
أِبِس
ْ
فَاّنلِةَاّمَو
َ
الّل﴿٧﴾
“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali (dirinya sendiri) [Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal
kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan].”
Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita
telah sampai kepada an-Nafs al-Lawwâmah, artinya kita telah tiba di
persimpangan jalan akan menjadi orang yang jelek atau akan menjadi orang
yang baik. Pengalaman mengajar diri,kita bisa menjadi orang yang
beruntung, karena bisa belajar dari pengalaman atau menjadi orang celaka,
karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang
dinamai penyeselan karena“keterlanjuran”.
Karena pengalaman dari dua tingkat nafs itu, kita dapat naik
mencapai “an-Nafs al-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai
ketenangan dan ketenteraman. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman
dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga
tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada
penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah
tahu pasti bahwa di balik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah
jiwa yang telah mencapai puncak keimanan! Karena telah matang oleh
berbagai ujian dan cobaan.
5. 5
Jiwa inilah yang memunyai dua sayap. Sayap pertama adalah
syukur ketika mendapat kenikmatan apa pun, bukan ‘menepuk dada’. Dan
sabar ketika mendapatkan musibah, bukan ‘mengeluh’. Yang keduanya telah
tersebut dalam QS al-Fajr/89: 15-16,
ا
َ
ّم
َ
أ
َ
ف
ُ
ان َنّسِ
ْ
اْلا
َ
ذِإاَّمُه
َ
َلَتْاب
ُ
هُبَر
ُ
هَّمَر
ْ
ك
َ
أ
َ
ف
ُ
هَمَّع
َ
نَو
ُ
ول
ُ
قَي
َ
ف
ّ
ِبَرِنَّمَر
ْ
ك
َ
أ
﴿١١﴾ا
َ
ّم
َ
أَوا
َ
ذِإاَّمُه
َ
َلَتْابَر
َ
د
َ
ق
َ
فِهْي
َ
ّلَع
ُ
ه
َ
قْزِر
ُ
ول
ُ
قَي
َ
ف
ّ
ِبَرِن
َ
ان
َ
ه
َ
أ﴿١١﴾
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka Dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku".
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata:
"Tuhanku menghinakanku"[ Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang
yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan
adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada QS al-Fajr/89: 15-16. Tetapi
sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-
Nya].”
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyîran)
ataupun khabar yang menakutkan (nadzîran). Jiwa inilah yang diseru oleh
ayat ini:
اَياَهُت
َ
ّي
َ
أُس
ْ
فَاّنل
ُ
ة
َ
ّنِئَم ْطُم
ْ
ال
“Wahai jiwa yang telah mencapai ketenteraman.” (QS al-Fajr/89: 27). Yang
telah menyerah penuh dan tawakkal hanya kepada Tuhannya, telah
memiliki ketenangan, karena telah mencapai keyakinan terhadap
perjumpaan dengan Tuhannya.
Berkata Ibnu ‘Atha’, dalam menafsirkan ayat ini: “yaitu jiwa yang
telah mencapai ma’rifah, sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya
walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya,
sebagaimana tersebut dalam QS ar-Ra’d/13: 38,
ْ
د
َ
ق
َ
لَوا
َ
ّن
ْ
ّلَسْر
َ
أَلُسُرن
ّ
ِّم
َ
كِّلْب
َ
قا
َ
ّن
ْ
ّلَّعَجَوْمُه
َ
لااجَوْز
َ
أةَّيّ
ِر
ُ
ذَوۚاَّمَو
َ
ن
َ
َك
ولُسَرِلن
َ
أَ ِت
ْ
أَيةَآيِب
َ
ّلِإِن
ْ
ذِإِبِ
َ
اّللۗ
ّ
ِ
ُ
كِللَج
َ
أابَتِك
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.
6. 6
Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu) [Tujuan ayat ini ialah pertama-tama
untuk membantah ejekan-ejekan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dari pihak
musuh-musuh beliau, karena hal itu merendahkan martabat kenabian. Keduanya
untuk membantah pendapat mereka bahwa seorang Rasul itu dapat menunjukkan
mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya bilamana diperlukan, bukan untuk
dijadikan permainan. Bagi tiap-tiap Rasul itu ada kitabnya yang sesuai dengan
keadaan masanya].”
Berkata Hasan al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan
Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman,
tenteramlah jiwanya – karena ridha -- terhadap Allah, dan tenteram pula
Allah – karena ridha -- terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah s.a.w., ‘Amr bin al-‘Ash (dalam hadis
mauqûf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus
Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu
bingkisan dari dalam surga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan
katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya,
dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Ruh dan Raihan. Tuhan
senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Ruh itu,
lebih harum daripada kasturi.”
ِعِجْارى
َ
لِإِكّ
ِبَرةَي ِاضَرةَي ِضْر
َ
ّم
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha (puas) dan diridhai.” (QS al-
Fajr/89: 28). Maknanya: “Setelah bersusah-payah dirimu dalam perjuangan
hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada
Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhanmu pun
ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepadaNya dengan
penuh sikap syukurmu dan tak pernah mengeluh, karena sikap sabarmu.
ِل
ُ
خ
ْ
اد
َ
فِفيِداَبِع
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (QS al-Fajr/89: 29). Di
sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf
perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi
dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, shidîqqin dan syuhadâ’. “Wa
hasuna ulâika rafîqâ”. Sebagaimana firman Allah,
7. 7
نَّمَوِعِطُيَ َ
اّلل
َ
ولُسَالرَوىـ
َ
ول
ُ
أ
َ
ف
َ
كِئَعَّمَينِ
َ
اَّلَمَّع
ْ
ن
َ
أُ َ
اّللمِهْي
َ
ّلَعَن
ّ
ِّم
َيّ
ِيِبَاّنلَيِقي
ّ
ِد ّ
ِالصَوِءا
َ
دَه
ُ
الّشَوَيِ ِاِل َالصَوَۚن ُّسَحَوىـ
َ
ول
ُ
أ
َ
كِئايقِفَر
“Dan barangsiapa yang tata kepada Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para
nabi, shiddîqîn [orang-orang yang amat teguh keyakinannya kepada kebenaran rasul,
dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam
QS al-Fâtihah/1: 7], orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS an-Nisâ’/4: 69)
ِل
ُ
خ
ْ
ادَوِت
َ
ّنَج
“Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr/89: 30). Di situlah kamu
berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada
Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga
mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati
manusia.
Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu an-nafs
diartikan dengan ruh manusia, dan rabbiki diartikan sebagai tubuh tempat
ruh itu bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai ruh yang telah mencapai
ketenteraman, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu
tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat
nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan
kepada qirâah (bacaan) Ibnu Abbas, Fî ‘Abdî, dan qirâah umum Fî ‘Ibâdî.
Khâtimah
Simpulan terpenting dari pembahasan di atas adalah: An-Nafs al-
Muthmainnah artinya Jiwa yang Tenang. Inilah jiwa/nafs yang tenang dan
tenteram karena senantiasa mengingat Allah. Jiwa/nafs yang tenang dan
tenteram karena senantiasa gemar berdekatan dengan Allah. Jiwa/nafs yang
tenang dan tenteram dalam ketaatan kepada Allah. Jiwa/nafs yang tenang
dan tenteram baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan nikmat.
Jika mendapatkan musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah. Jika kehilangan
sesuatu, ia tidak putus asa. Dan jika ia mendapatkan nikmat, ia tidak lupa
daratan.
Inilah jiwa/nafs yang tenang dan tenteram dalam kesempurnaan
iman. Tidak pernah tergoyahkan oleh keragu-raguan dan syubhat. Jiwa/nafs
yang rindu untuk bertemu dengan Tuhannya. Dan inilah jiwa/nafs yang
8. 8
ketika wafat dikatakan kepadanya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (QS al-Fajr: 27-28). Wallâhu
A’lamu bish-Shawâb.
Khâtimah
Dalam berpuasa Ramadhan, kita dipandu untuk menjadi orang
yang selalu bertindak bijak. Tetapi, setelah Ramadhan, kita boleh saja
bertanya: “Apakah kita – selama ini masih menjadi bagian dari tindakan-
tindakan itu?“ Ataukah ‘diri kita‘ – sebagai manusia produk puasa
Ramadhan -- sudah benar-benar berlepas diri dari perilaku yang tak pantas
dilakukan oleh setiap orang yang mengaku telah berpuasa Ramadhan itu?
Kita berharap, pernyataan Rasulullah saw yang menyatakan:
“Betapa banyak orang yang telah berpuasa, namun sama sekali tak
mendapatkan nilai puasanya selain lapar dan dahaga“. Sekalai lagi, mudah-
mudahan sama sekali tidak tidak seperti itu. Dan oleh karenanya, marilah
kita persiapkan diri kita untuk mudik ‘lahir-batin‘, dengan tidak hanya
berpakaian baru yang bisa kita kenakan atau tipe kendaraan yang kita naiki.
Kita mungkin tetap masih berdesak-desakan di atas kereta api atau bis
komunitas tanpa kursi, tetapi – dengan semangat sebagai muslim yang telah
berpuasa Ramadhan -- mudik kita bisa lebih mulia dibandingkan mereka
yang naik pesawat kelas utama dan bisnis, ketika kita menunjukkan perilaku
yang lebih fitri, selaras dengan spirit Idul Fitri, menjadi pemudik sejati:
“menjadi pemudik lahir-batin yang sadar akan makna mudik pasca puasa
Ramadhan“.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.