Forum PRB DIY berhasil menyusun masukan untuk kerangka pengurangan resiko bencana pasca Hyogo Framework Agenda (HFA) 2015, salah satunya adalah perlunya komitmen pemerintah di tingkat nasional dan lokal untuk membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Masukan ini akan diserahkan ke UNISDR untuk dibawa ke konferensi pengurangan resiko bencana Asia di Thailand tahun 2014."
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
PRB DIY
1. Forum PRB DIY susun masukan untuk HFA 2
ORUM Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) Yogyakarta berhasil menyusun
masuk an soal ketangguhanFmasyarakat untuk kerangka pengurangan
resiko bencana pasca Hyogo Framework
Agenda (HFA) Pasca 2015. Salah satu dari
d e l a p a n p o i n p e n t i n g y a n g
direkomendasikan agar masuk dalam HFA 2
adalah perlunya komitmen pemerintah di
level nasional dan lokal untuk membangun
ketangguhan masyarak at dalam
menghadapiancamanbencana.
“Ketangguhan masyarakat dalam
menghadapi bencana tidak akan tercapai
jika tidak ada komitmen politik yang jelas
dari pemerintah,”ujar Staf Program Yakkum
EmergencyUnit(YEU),RanieHayuHapsari.
Ranie mengatakan masukan ini
merupakanhasildariFocusGroupDiscussion
(FGD) yang diadakan Forum PRB
Yogyakarta, 4 November 2013 lalu. Materi
ini akan menjadi masukan dari Indonesia
yang akan diserahkan kepada The United
Nations Office for Disaster Risk Reduction
(UNISDR). Selanjutnya UNISDR akan
membawa masukan dari berbagai negara
ke dalam Asian Ministerial Conference on
DisasterRiskReduction(AMCDRR)ke6yang
berlangsung di Thailand tahun 2014
mendatang.
Tujuh poin penting lainnya adalah
perlindungan sosial bagi masyarakatmiskin
yang terpapar bencana dalam skala kecil
namunsering,aksesinformasi,peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat,
penguatan kelembagaan total, kemitraan
masyarakat dengan pemerintah dan dunia
usaha dalam aksi pengurangan resiko
bencana di tingkat lokal, partisipasi anak,
lansia, penyandang disabilitas dalam
pengurangan resiko bencana, penggunaan
dan pengintegrasian kearifan lokal, dan
monitoring pelaksanaan kebijaksanaan
yang saling terkait dan relevan dengan isu
pengurangan resiko bencana di tingkat
lokal.
“Yang juga penting dalam masukan ini,
kami memasukkan indikator capaian yang
lebih implementatif dari pada dalam HFA I
(2005-2015),”ujarRanie.
Salah satu indikator yang lebih
implementatif ini adalah ada persentase
a l o k a s i b u d g e t u n t u k p r o g r a m
pengurangan resiko bencana di tingkat
komunitas. Indikator ini untuk melihat
sejuah mana pemerintah memberikan
perhatian kepada isu pengurangan resiko
bencana.
Sunarjo dari Perkumpulan IDEA
mengatakan hingga saat ini komitmen
pemerintah lokal masih sangat lemah. Rata-
rata alokasinya masih 0,5 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
“Seharusnya alokasi dana untuk
pengurangan resiko bencana minimal satu
persen,” ujar Sunarjo yang juga aktif di
ForumPRBDIYini.
Ia mengatakan tanpa ada dukungan
dana yang kuat maka masyarakat akan sulit
memiliki ketangguhan dalam menghadapi
bencana.
“Anggaran masih kecil karena karena
belum semua eksekutif dan legislatif
Media Informasi Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
www.prbdiy.net
LAYANG PRB merupakan media
komunikasi yang diterbitkan oleh Forum
PRB DIY dengan tujuan utama untuk
memberikan informasi sebanyak-
banyaknya, berkaitan dengan
pengetahuan penangulangan bencana
kepada masyarakat luas, khususnya
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
agar dapat meningkatkan kapasitas
dalam menghadapi risiko bencana.
Layang PRB telah terbit sejak tahun
2008 atas dukungan banyak pihak.
Meskipun tidak terbit secara rutin karena
keterbatasan sumber daya, kami tetap
berusaha menggalang dukungan dari
berbagai pihak untuk menerbitkan secara
berkala. Kami menganggap penting
terbitnya Layang PRB sebagai media
alternatif untuk memberikan berbagai
informasi penanggulangan bencana
khususnya bagi masyarakat. Apalagi DIY
merupakan daerah yang dikenal memiliki
Edisi November 2013
memiliki paradigma manajemen resiko.
Pardigmanya masih respon darurat,” tegas
Sunarjo.
Sementara itu, Ranie menambahkan
dalam usulan HFA 2 dari Indonesia ini juga
memuat best practice dari capaian
masyarakatdalampelaksanaanHFAI.
“Maksudnya agar bisa diduplikasi dan
disebarluaskan,”tambahRanie.
Ranie mengatakan Forum PRB
Yogyakarta juga menyusun kunci gender
untuk HFA 2. Namun kini laporannya masih
dalamtahappenyusunan.
HFA merupakan hasil dari The World
ConferenceonDisasterRiskReductionyang
berlangsung di Kobe, Hyogo Jepang, 18-22
Januari 2005. Hasilnya adalah panduan
internasional bagi negara-negara untuk
mengurangi resiko, kerentanan dan hazard
dari bencana. Dunia membutuhkan
panduan ini karena makin rentan bencana
akibat pertambahan penduduk, kerusakan
lingkungan, proses pembangunan yang
tidak terencana, perubahan iklim dan lain-
lain.
dari redaksi banyak potensi ancaman bencana seperti
gempabumi, tsunami,erupsi Gunung
Merapi, banjir lahar hujan, tanah longsor
dan sebagainya.
Pada kesempatan kali ini, Layang PRB
kembali hadir kehadapan anda semua
untuk menyajikan berbagai informasi
aktivitas penanggulangan bencana yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, baik
yang dilakukan oleh Pemerintah, LSM,
maupun komunitas masyarakat. Akan
ada tiga edisi yang akan diterbitkan
dalam tiga bulan kedepan atas dukungan
MRR UNDP.
Mudah-mudahan sajian informasi dari
kami dapat menjadi input positif bagi
pengetahuan masyarakat DIY untuk
senantiasa waspada dan siaga serta
meningkatkan kemampuan dalam
merespon peristiwa bencana.
Salam Siaga!
Redaksi
2. Penerbit: Forum PRB DIY. Penanggung Jawab: Frans Toegimin (Koordinator Forum PRB DIY).
Pemimpin Redaksi: Aris Sustiyono. Redaksi: Bambang Muryanto, Mart Widarto, Yugyas.
Administrasi: Donna Innafisa Alamat Redaksi: Gedung Kesbanglinmas DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Yogyakarta.
Website: www.prbdiy.net Email: layang.prb@gmail.com
Redaksi ”Layang PRB” menerima naskah opini sepanjang 2000 karakter.
dari redaksi
SEJATINYA kehidupan umat manusia tidak bisa lepas dengan kondisi alam
semesta. Bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan satu
kesatuan ciptaan Tuhan untuk menjadi sumber kehidupan semua makhluk.
Hubungan timbal balik semacam itu dapat disederhanakan sebagai hukum alam.
Terlepas dari kekayaan alam yang disediakan sebagai karunia Sang Pencipta,
akan tetapi ketika semua itu tidak dimanfaatkan dengan memperhatikan
kelestariannya, maka yang terjadi adalah kerusakan alam yang dapat menimbulkan
malapetaka bagi kehidupan manusia itu sendiri. Bencana bisa diartikan sebagai
salah satu fenomena alam yang mencerminkan perilaku umat manusia yang
kurang bijak dalam melakukan pengelolaan kekayaan alam.
Fenomena peristiwa bencana alam, dalam satu dasawarsa belakangan ini
menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan kita semua. Korban jiwa berjatuhan,
kerugian material yang tidak sedikit, dan beban psikis karena trauma menjadi risiko
yang paling nyata akibat bencana.Dampak bencana bisa menimbulkan
kemunduran bagi upaya pembangunan disuatu negara. Sebagai contoh misalnya
bencana gempabumi di DIY-Jateng pada tahun 2006 telah mengakibatkan
kerusakan infrastruktur sekitar Rp. 29 triliyun (Data BAPPENAS 2006). Apabila
dihitung dari total APBD per tahun yang selama ini itu ditetapkan tidak lebih dari
Rp. 1 triliyun maka asumsinya kita mengalami kemunduran 29 tahun. Pun demikian
dengan jumlah korban jiwa yang meninggal akibat tertimpa runtuhan bangunan
rumah yang cukup banyak mencapai hampir 6.000 jiwa.
Jika kita cermati secara mendalam atas data dampak bencana tersebut, faktor
yang paling banyak adalah bangunan infrastruktur rumah yang belum memiliki
standar ramah bencana gempabumi,sehingga banyak sekali yang mengalami
kehancuran. Mungkin saja kerugian materil dan korban jiwa tidak akan sebanyak
itu,apabila kesadaran pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan telah jauh-
jauh hari menjadi kebiasaan masyarakat.
Sejauh ini upaya penanggulangan bencana telah menjadi isu global dengan
menitik beratkan pada upaya pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, semua
pihak diharapkan secara bersama-sama terlibat dalam meningkatkan kapasitas
masyarakat terhadap ancaman bencana disekitarnya.
Peristiwa bencana di Indonesia khususunya di DIY terus saja meningkat setiap
tahunnya. Lantas apakah kita semua hanya akan pasrah dengan keadaan ancaman
bencana yang ada? Pertanyaan ini tentu saja akan beragam jawaban, bahkan
bencana yang kerapmendatangkan kematian masih ada sebagian masyarakat yang
mellihat dari satu sisi sebagai sebuah taqdir. Pernyataan tersebut tidak bisa
disalahkan, namun juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Soal kematian adalah
mutlak kuasa Illahi, akan tetapi bencana tidak sepenuhnya kuasa Illahi karena ada
campur tangan manusia yang bisa turut menimbulkan bencana. Penebangan
hutan, pembuangan sampah ke sungai, eksplorasi tambang yang
membabibutamerupakan beberapa contoh perilaku manusia yang bisa berujung
terjadinya bencana. Meskipun ada juga bencana alam yang bukan karena faktor
manusia tetapi murni faktor alam seperti badai topan/puting beliung, erupsi
gunungapi, gempabumi dan tsunami. Namun demikian semua itu jika dipelajari
secara arif dan bijak , risikonya bisa dikurangi.
Kita harus melihat bencana dari multiaspek tidak bisa hanya satu aspek saja,
karena bencana sebenarnya dapat dikenali dan dipelajari dengan ilmu
pengetahuan yang kita miliki. Maka dari itu penerapan ilmu pengetahuan bencana
tersebut dapat dijalankan dengan cara membudayakan sikap waspada dan siaga
terhadap ancaman bencana. Sekalipun kita tak bisa menghidari bencana,
setidaknya kita bisa mengurangi risiko bencana. Ibarat pepatah“sedia payung
sebelum hujan”maka budaya waspada dan siaga adalah tindakan kehati-hatian
yang disertai kemampuan untuk menghindari risiko yang lebih besar akibat
bencana.
Bersikap waspada dan siaga
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
INFO PRB
INDONESIA sangat rawan bencana. Setiap
tahun ribuan penduduk terdampak secara
langsung maupun tak langsung oleh
bencana alam; banyak keluarga yang
mengalami kerugian besar dan berjuang
untuk kembali hidup seperti semula. Indeks
Pemulihan Bencana ini menjadi alat yang
bisa digunakan untuk membantu
pemerintah dan para pemangku
kepentingan agar lebih bisa memahami
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat dan individu-individu ketika
mereka berusaha untuk kembali pulih
setelahbencana.
Berkaitan dengan itu, Pemerintah
Indonesia pada hari Rabu (27/11/2013),
meluncurkan Indeks Pemulihan
Bencana (Disaster Recovery Index)
yang pertama di dunia. Indeks ini
untuk mengukur pertumbuhan
pemulihan pada kelompok
masyarakat yang terdampak oleh
letusan Gunung Merapi pada tahun
2010danbanjirlaharpadatahun2011.
Indeks Pemulihan Bencana ini menjadi
alat yang dapat digunakan untuk
membantupemerintahdanparapemangku
kepentingan agar dapat memahami
berbagai tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat dan setiap individu ketika
mereka berusaha untuk kembali pulih
setelahbencana.
Menurut Frans Toegimin, Koordinator
Forum PRB DIY, bahwa Indeks Pemulihan
Bencana yang biasa disebut Longitudinal
Studi menggunakan 22 variabel untuk
melihat bagaimana masyarakat berangsur-
angsur pulih akibat letusan gunung berapi
dalam pemulihan infrastruktur, perumahan,
penghidupan dan struktur sosial ini
merupakan hasil kerjasama antara Badan
Nasional penanggulangan Bencana (BNPB),
Forum PRB DIY, Forum PRB JawaTengah dan
Survey Meter, dengan dukungan Badan PBB
untukPembangunan(UNDP).
"Ini merupakan kerja keroyokan, dari
BNPB, Survey Meter, UKSW, UNDP, dan
Forum PRB DIY dan Jateng. Masing-masing
memiliki peran yang saling mendukung
untuk keberhasilan pelaksanaan LS,"
ungkapFrans.
Pada peluncuran Indeks Pemulihan
Bencana ini, Direktur UNDP, Beate
Trankmann mengatakan, hal ini menandai
adanya suatu langkah besar bagi Indonesia
karena adanya kemajuan yang signifikan
dalam membangun institusi-institusi
manajemen bencana, peralatan,
metodologi, dan pendekatan pada tahun-
tahunterakhirini.
“Misi kami adalah membantu untuk
membangun kembali dengan lebih
baik, untuk memastikan bahwa di
masa depan masyarakat menjadi
lebih siap tidak hanya dalam
pengetahuan dan kesiagaan tetapi
juga dalam bentuk infrastruktur
seperti jalan raya, perumahan dan
sebagainya,”ucapBeate.
Indeks ini menggunakan data yang
dikumpulkan dari survei terhadap 1.290
keluarga, baik yang terdampak langsung
maupun tidak langsung oleh letusan
Gunung Merapi pada 2010 dan banjir lahar
pada2012yangsejakitumenerimabantuan
rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan
pada tahun 2012 di Kabupaten Sleman,
Magelang, Klaten dan Boyolali (Provinsi
JawaTengah/DIY).
Survei kedua yang akan dilaksanakan
pada Desember 2013 mendatang adalah
keluarga-keluarga yang disurvei pada 2012.
Pada survei kedua ini akan mengukur
ketahanan masyarakat pada tahun kedua
setelah program rehabilitasi dan
rekonstruksi. Oleh karenanya, indeks ini
a k a n m e m b e r i m a s u k a n b a g i
kesinambungan program rehabilitasi dan
rekonstruksi.*)
Launching Longitudinal Study
Indeks pemulihan bencana
pertama di dunia
Penerbitan ”Layang PRB” ini
didukung oleh:
3. Keterlibatan penyandang disabilitas
dalam pengurangan risiko bencana
Difabel di tengah bencana
3INFO PRB
INDONESIA dikenal sebagai negara rawan
bencana alam. Ratusan bahkan ribuan
kejadian bencana setiap tahun terjadi.
Bencanamenyebabkankerugianmateridan
non materi. Pemerintah dan LSM bekerja
keras dalam mengurangi dampak bencana
dengan meningk atk an k apasitas
masyarakat pada Pengurangan Risiko
Bencana (PRB). Salah satu hal penting yang
selama ini kurang mendapat perhatian
adalah keberadaan para penyandang
disabilitas dalam kaitannya dengan
kebencanaan. Dalam setiap aktifitas PRB
Keterlibatan mereka belum optimal baik
dalam perencanaan, membuat keputusan,
pelaksanaandanpengawasan.
Umumnya, keterlibatan kelompok
penyandangdisabilitasdalamPengurangan
Resiko Bencana (PRB) di Indonesia masih
rendah. Kelompok rentan yang menjadi
perhatian dari pelaku PRB lebih banyak
menyoroti permasalahan dan kebutuhan
anak-anak,lansiadanperempuan(termasuk
ibu hamil dan menyusui). Sementara
Indonesia telah turut menandatangani
kerangka aksi untuk pengurangan risiko
bencana global hingga tahun 2015 yang
dikenal dengan nama Hyogo Framework for
Action(HFA). Namundidalamkerangkaaksi
tersebut belum terlalu jelas memberikan
indikator untuk pelibatan dan perlindungan
bagipenyandangdisabilitas.
MDMC, YEU, PRY, Forum PRB DIY dan
SAPDA menyelenggarakan Fokus Group
Discussion (FGD) dengan berbagai
kepentingan pengurangan risiko bencana
(PRB). Kegiatan ini dilaksanakan pada
Sabtu, 30 November 2013 di Aula Kampus
Terpadu STIKES Aisyiyah Yogyakarta
(ringroad barat). FGD ini diikuti oleh
kelompok penyandang disabillitas
Yogyakarta,danjugapelakuPRBDIY.FGDini
d i s e l e n g g a r a k a n d a l a m r a n g k a
memperingati International Disability Day
2013yangjatuhpadatanggal3Desember.
Selain itu FGD ini menjadi agenda
menyaring rekomendasi usulan dalam HFA
2.Haliniberkaitandenganakanberakhirnya
HFA 2005-2015 maka proses penyusunan
HFA 2 mulai dilaksanakan dari tingkat lokal,
nasional, sub-reginal dan tingkat regional
dengan berdasarkan pada beberapa bidang
tematik dan lintas berbagai kelompok
pemangkukepentingan.
Menurut Ranie Hapsari,YEU, bahwa FGD
ini juga merupakan agenda penyaringan
usulanyangakandiolaholehTimForumFRB
yang selanjutnya akan menjadi dokumen
yang disatukan dalam laporan dari
IndonesiakepadaUNISDRAsiaPasifik.
”Tim Forum PRB DIY sedang menyusun
usulan HFA 2 yang terdiri dari Tujuh
indikator yang akan diselesaikan sampai
pertengahan Desember 2013 dan akan
disatukan dalam laporan dari Indonesia ke
UNISDRAsiaPasifik,”ungkapnya.
Rangkaian FGD ini terbagi menjadi dua
sesi di mana sesi pertama merupakan
diskusi singkat yang diawali dengan
penyampaian materi dari BPBD DIY
mengenai HFA dan Pusat Rehabilitasi
Yakkum (PRY) selaku perwakilan lembaga
yang banyak terlibat dalam disabilitas. Sesi
kedua dilanjutkan dengan FGD dimana
perserta akan terbagi menjadi empat
k e l o m p o k m e m b a h a s t e n t a n g
Ketangguhan Masyarakat khususnya bagi
penyandang disabilitas dalam PRB
khususnya pada bidang kunci Ketangguhan
Masyarakatuntukisudisabilitas.*)
BPBD Kabupaten Bantul aktif adakan simulasi
gempa dan tsunami di wilayah pesisir
Bantul. Jika ada gempa bumi berpusat di
dasar Laut Selatan, ada potensi tsunami
yang bisa menghancurkan wilayah tempat
tinggalpendudukdisekitarpesisir.
“Kondisi ini menjadi salah satu alasan
mengapa BPBD Kabupaten Bantul aktif
melakukan simulasi gempa bumi dan
tsunami,” ujar Kepala BPBD Kabupaten
Bantul,DwiDaryanto.
BPBD Kabupaten Bantul sengaja
melakukan simulasi gempa bumi dan
tsunami di wilayah pesisir karena wilayah ini
adalah yang paling rentan terhadap dua
jenisbencanaalamini.Apalagiwilayahyang
menjadi salah satu tujuan wisata di DIY dan
daerah pertanian yang subur ini memiliki
jumlahpendudukyangcukuppadat.
Pengalaman membuktikan gempa bumi
di Pangandaran, Jawa Barat pada 17 Juli
2006menyebabkantsunamiyangimbasnya
KABUPATEN BANTUL di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) adalah wilayah yang
paling parah terkena dampak gempa
bumi berkekuatan 5,9 skala richter yang
terjadi pada 27 Juli 2006. Sesar Opak yang
aktif menyebabkan gempa yang
mengguncang wilayah ini pada pagi hari.
Puluhan ribu rumah hancur dan ribuan
manusiatewas.
Peristiwa ini menjadi alasan utama
bagi Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul untuk
aktifmelakukansimulasicaramenghadapi
ancamanbencanagempabumi.
Apalagi kabupaten dengan wilayah
508,85 kilometer persegi ini menghadap
langsung ke Samudera Indonesia. Peta
sejarah geologi membuktikan ada banyak
titik gempa yang berada di perairan yang
tepatberadadiselatanwilayahKabupaten
juga mencapai pesisir di Kabupaten Bantul.
Puluhan warung yang berada di pesisir ini
terkena dampak gelombang tsunami. Jika
tsunami terjadi, diperkirakan air bah dari
laut bisa masuk hingga 500 meter dari garis
pantai.
“Kami melaksanakan simulasi gempa
bumi dan tsunami di sebelas desa yang
beradadiwilayahpesisirselatan,”jelasDwi.
Dwi menjelaskan paling tidak di setiap
desaitu,BPBDKabupatenBantulmelakukan
simulasi satu tahun sekali. Dalam simulasi
itu, warga dilatih untuk segera
menyelamatkan diri jika tanda bahaya
berbunyi setelah terjadi gempa bumi yang
berpotensi tsunami. Mereka harus segera
meninggalkan tempat dan berkumpul di
tempat titik kumpul yang sudah disepakati
bersama oleh penduduk di masing-masing
dusun.
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
“ M a s y a r a k a t m e l a k u k a n n y a
berdasarkanstandaroperasionalprosedur
(SOP) yang mereka buat sendiri, BPBD
Kabupaten Bantul hanya memfasilitasi
saja,”ujarDwi.
Menurut Dwi, masyarakat yang tinggal
dipesisirselatanmenyambutbaiksimulasi
ini. Bahkan mereka menginginkan
simulasi menghadapi ancaman bencana
alam ini bisa dilakukan sesering mungkin,
sebab mereka menyadari bahwa ancaman
tsunami memang benar bisa terjadi.
Kesadaran masyarakat yang sudah mulai
tumbuh ini tentu menjadi modal utama
untuk membentuk suatu masyarakat yang
tanggap dan tangguh untuk menghadapi
bencana.
Selainitu,masyarakatjugaikutdiminta
menjaga keberadaan gumuk pasir. Sebab
gumuk pasir yang langka ini dapat ikut
menjadi penghalang alam bagi bencana
tsunami. Ketinggian gumuk pasir bisa
mencapai 25 meter sehingga bisa
menjadi tanggul yang efektif untuk
menahangelombangtsunami.
4. 4
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
INFO PRB
KABUPATEN BANTUL adalah salah satu
wilayahdiDaerahIstimewaYogyakarta(DIY)
yang memiliki banyak potensi bencana.
Sesar Opak yang aktif dan melintasi wilayah
ini menyebabkan Kabupaten Bantul rawan
gempa bumi. Sebagian wilayahnya yang
berada di pesisir menyebabkan rawan
terkena tsunami, mengingat di Laut Selatan
banyak terdapat titik gempa. Sedangkan
bentang alam yang berbukit-bukit
menyebabkan adanya ancaman bahaya
tanahlongsor.
“Kami sudah melakukan kajian potensi
ancaman bencana alam. Kita fokus pada
ancaman gempa bumi dan tsunami,” ujar
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul,
DwiDaryanto.
Kabupaten Bantul memang mempunyai
pengalaman relatif baru dengan gempa
bumi. Juni 2006, gempa bumi meratakan
wilayah ini yang menyebabkan ratusan ribu
rumah hancur dan ribuan penduduk tewas.
Mereka juga sempat lari tunggang-
langgangketikaisutsunamimerebak.
Menurut Dwi, desa tangguh bencana
adalah desa yang masyarakatnya telah
mendapatkan pelatihan sehingga mereka
paham dan mengerti apa yang harus
dilakukan jika bencana alam terjadi. Hingga
kini, Kabupaten Bantul mempunyai enam
desa tangguh bencana, yaitu Gadingharjo,
Tirtoharjo,Gadingsari,Poncosari,Mulyodadi
danWonolelo.
“Sebagian besar desa ini berada di
sekitarwilayahpantaiselatan,”ujarDwi.
BPBD Kabupaten Bantul sengaja
memilih desa yang berada di sekitar pantai
karena mereka sangat terancam bahaya
tsunami. Pengalaman membuktikan gempa
bumi yang mengguncang Pangandaran
(Jawa Barat) tahun 2006 juga menyebabkan
tsunami yang gelombangnya mencapai
pesisirdiKabupatenBantul.
“Selain itu wilayah pesisir adalah wilayah
yang padat penduduknya, setiap dusun
rata-rata penduduknya 1000 jiwa. Di sana
Kota Yogyakarta adalah salah kota
ternyaman di Indonesia. Ini membuat
Yogyakarta menjadi kota berkepadatan
penduduk tinggi. Namun, kota ini juga
menghadapi multi hazard bencana, seperti
gempa, gunung berapi, kebakaran, dan
bencana metereologis. Untuk menghadapi
ancaman ini, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Yogyakarta
mempunyai kebijakan membentuk
KampungTangguhBencana(KTB).
“Hingga saat ini, kami mempunyai
sepuluh KTB di KotaYogyakarta,”ujar Kepala
Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD
KotaYogyakarta,BudiPurwono.
Budi mengatakan sepuluh KTB ini
merupakan pilot project yang tersebar di
tujuh kecamatan. Sepuluh KTB ini adalah
Sorosutan, Dagaran, Balirejo, Joyonegaran,
Gemblakan Bawah, Ledok Tukangan,
Lobaningratan, Terban, Jetisharjo dan
Sudagaran. Kampung sengaja dipilih
menjadi basis karena ini adalah satuan
masyarakatyangterkecil.
“Mayoritas kampung itu berada di
pinggiranSungaiCode,”tegasBudi.
Kampung-kampung di sepanjang
Sungai Code menjadi prioritas karena
Sungai Code menjadi aliran utama bagi
lahar hujan yang berasal dari Gunung
Merapi. Setiap kali pasca erupsi, lahar hujan
meluap dan menggenangi kampung-
kampung yang berada di pinggir sungai
yangmembelahKotaYogyakartaitu.
Melalui program KTB, BPBD Kota
Yogyakarta melakukan serangkaian
kegiatan seperti pendataan penduduk,
pemetaan ancaman resiko bencana,
sosialisasi, dan simulasi penanganan
ancaman bencana. Semua kegiatan ini
berlangsung dalam satu paket yang
lamanya antara delapan hingga sembilan
bulan.
Masing-masing kampung mungkin
mempunyai ancaman bencana yang
berbeda-beda. Namun tiga ancaman
bencana yang menjadi prioritas adalah
juga ada banyak wisatawan karena wilayah
pesisirjugamenjaditujuanwisata,”jelasnya.
Berdasarkan kajian BPPD Kabupaten
Bantul, jika terjadi tsunami maka air laut
diperkirakan akan masuk ke daratan sejauh
4 kilometer. Adapun wilayah yang akan
paling parah terkena dampak tsunami
adalahhingga500meterdarigarispantai.
Untungnya, di wilayah pesisir banyak
barrier alam sehinga bisa mengurangi
kekuatan gelombang tsunami, misalnya
sandune (gumuk pasir) yang mempunyai
ketinggian hingga 25 meter. Alasan ini pula
yang menjadi penyebab Kabupaten Bantul
mengeluarkan peraturan daerah yang
melarang siapa pun juga menambang
gumukpasir.
Selain itu, bukit-bukit yang berada di
sekitar pesisir juga menjadi hambatan alam
sehingga gelombang tsunami tidak akan
masuklebihjauhkedaratan.
“ K a m i m e l a k u k a n p e l a t i h a n
berkelanjutan kepada penduduk yang
tinggal di desa yang ditetapkan sebagai
desatangguhbencana,”ujarDwi.
Dengan pelatihanyangdilakukan secara
berkelanjutan ini, penduduk desa bisa
memahami potensi bencana yang berada di
wilayahnya. Ketika bencana alam terjadi,
mereka tahu apa yang harus dilakukan
untukmenyelamatkandiri
BPBDKabupatenBantuljugamemasang
sirine untuk memperingatkan masyarakat
apabila ada ancaman tsunami. Tempat titik
kumpulsementarajugatelahdisiapkan.
“Di tempat titik kumpul, kita bisa
memasang tenda. Yang penting dibangun
adalahfasilitasmandi,cucidankakus(MCK),”
ujarnya.
BPBD Kabupaten Bantul berharap Desa
Tangguh Bencana bisa membuat
masyarakat yang tinggal wilayah yang
rawan bencana menjadi tangguh. Bencana
alam yang mengintai tidak akan menjadi
persoalan karena masyarakat tahu cara
menghadapinyadenganbenar.*)
Kabupaten Bantul punya
enam desa tangguh bencana
Kota Yogyakarta punya sepuluh
kampung tangguh bencana
kebakaran,banjir,dananginputingbeliung.
“Pada akhirnya, kami melakukan
simulasi menghadapi ancaman bencana
untuk menguji apa yang sudah kami
latihkankepadamasyarakat,”ujarBudi.
Ia berharap dengan pelatihan ini,
masyarakat bisa mengambil tindakan awal
ketik a bencana terjadi, sebelum
pertolongandatang.
Ia menjelaskan masyarakat sangat
antusias menyambut program KTB. Ini juga
menjadi bagian dari wujud nyata
menjalankan semangat Segoro Amarto,
yaitu semangat gotong royong agawe
majuning ngayogyakarto yang menjadi
semboyanKotaYogyakarta.
Pelaksanaan simulasi penanganan
bencana juga melibatkan pihak lain, seperti
TNI, Polri, PMI dan seluruh potensi yang ada
dimasyarakat.
“Program KTB ternyata juga bisa
membangun kembali rasa kebersamaan
warga yang sudah mulai terkikis,” ungkap
Budidenganbahagia.
Kukuh, seorang pemuda warga
Sorosutan merasa senang mengikuti
simulasi menghadapi ancaman bahaya.
Mingu sore, awal Desember lalu ia bersama
puluhan warga lainnya mengikuti simulasi
ini. Ketika tanda bahaya berbunyi, mereka
segera melarikan diri dan berkumpul di titik
kumpulyangberadadisebelahmasjid.
“Saya senang karena bisa tahu cara
menghadapi ancaman bahaya lahar hujan,”
ujarnya.
Budi berharap dari serangkaian
pelatihan kepada masyarakat yang masuk
dalam KTB, pengalamannya dapat
dibukukan. Dengan demikian pengalaman
yangterdokumentasikaninidapatdipelajari
olehkelompokmasyarakatlainnya.
“Rencananya dalam tahun tahun 2014
ini, kami akan membuat 14 KTB baru,”
pungkasBudi.*)
5. 5
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
Dwi Daryanto
Kepala BPBD Kabupaten Bantul
PENGALAMAN gempa bumi
tahun 2006 yang
memporakporandakan
Kabupaten Bantul, membuat
pemerintah daerah ini serius
menjalankan kebijakan
pengurangan resiko bencana.
Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Bantul melakukan banyak
hal, termasuk merancang Peraturan
Daerah (Perda) tentang peran dunia
usaha dalam pengurangan resiko
bencana (PRB) pada tahun 2014.
“Kebijakan pengurangan resiko
bencana atau kesiapsiagaan sangat
penting karena bisa menekan jumlah
korban jiwa. Masyarakat Bantul tinggal
di wilayah yang rawan bencana,”ujar
Kepala BPBD Kabupaten Bantul, Dwi
Daryanto.
Kekhawatiran Dwi memang
beralasan, Bantul adalah wilayah rawan
gempa dan juga tsunami karena
memiliki wilayah yang berada di pesisir.
Gempa bumi berkekuatan 5,7 Skala
Richter tahun 2006 lalu menyebabkan
puluhan ribu rumah rata tanah dan
ribuan jiwa melayang.
Dengan alasan ini, BPBD Kabupaten
Bantul menempatkan pengurangan
resiko bencana sebagai prioritas
kebijakannya. BPBD menggunakan
memori masyarakat tentang bencana
gempa bumi 2006 sebagai pintu
masuknya. Dengan memahami karakter
potensi bencana yang berada di
lingkungannya, masyarakat siap
menghadapi bencana sehingga
kerugian jiwa dan materi bisa ditekan
serendah mungkin.
“Kami tidak terlalu sulit melakukan
sosialisai tentang kesiapsiagaan
bencana. Kami terus ingatkan kejadian
gempa bumi 2006 agar masyarakat tidak
lupa,”tegasnya.
Salah satu kebijakan penting yang
sedang digodok pemerintah Kabupaten
Bantul adalah Perda tentang peran
dunia usaha (swasta) dalam ikut serta
mendukung program PRB. Selama ini,
peran swasta baru terjadi saat bencana
telah terjadi. Padahal mereka juga bisa
mengambil peran penting dalam
mendukung program PRB.
“Alokasi dana dari pemerintah untuk
Bantul akan terbitkan
perda peran swasta dalam PRB
PRB belum besar, hanya
sekitar Rp 700 juta per tahun
sehingga pelaksanaan
kebijakan PRB belum
maksimal. Idealnya kami
mendapat Rp 1 hingga 2
milyar per tahun,”ungkap
Dwi.
Dengan demikian,
peranan swasta akan membuat program
PRB makin bagus. Jika terjadi bencana,
kerusakan yang melanda dunia usaha
pun bisa diminimalisir sehingga tidak
terlalu mengganggu jalannya
perekonomian. Apalagi Kabupaten
Bantul adalah sentra Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) yang menjadi salah
satu tulang punggung perekonomian
rakyat.
“Perda ini akan menjadi yang
pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta,”
ujar Dwi dengan bangga.
Sebagai contoh, melalui perda ini
dunia usaha bisa membantu pemerintah
membangun fasilitas hidran di wilayah
perkotaan. Ini penting guna mencegah
terjadinya bencana kebakaran di wilayah
perkotaan yang biasanya padat
penduduk.
Dalam menjalankan kebijakan
pengurangan resiko bencana, BPBD
Kabupaten Bantul tidak hanya fokus
pada gempa bumi saja. Namun juga
menjelaskan kepada masyarakat
tentang potensi bencana alam lainnya,
misalnya tsunami dan abrasi (karena
wilayah ini mempunyai garis pantai),
tanah longsor, kebakaran, kekeringan,
banjir dan lain-lain.
“Kami juga menjalankan program
Desa Tangguh Bencana,”ujar Dwi.
Dengan program Desa Tangguh
Bencana, ini masyarakat yang tinggal di
desa itu dilatih secara intensif untuk
mengenali potensi bencana alam yang
mengancam serta bagaimana cara
untuk menyelamatkan diri.
Selain itu pemerintah Kabupaten
Bantul juga mempunyai Perda No.1
tahun 2013 tentang Kesiapsiagaan
Bencana dan Peringatan Dini.
“Ini menjadi bukti bahwa pemerintah
Kabupaten Bantul sangat
memperhatikan soal pengurangan
resiko bencana,”tegas Dwi. **)
KOTA YOGYAKARTA yang memiliki luas
32,5 kilometer persegi dengan penduduk
sekitar 400 ribu adalah salah satu kota yang
terdapat penduduknya di Indonesia. Salah
satu ancaman bencana yang mengintai
wilayah kota yang padat penduduknya
adalahkebakaran.
“Setiap tahun rata-rata terjadi 50
kebakaran baik besar dan kecil di Kota
Yogyakarta,” ujar Kepala Seksi Pencegahan
dan Kesiapsiagaan, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Yogyakarta,
BudiPurwanto.
Di kawasan yang sangat padat
penduduknya, kebakaran bisa menjadi
bencana besar karena dengan cepat dapat
membakar seluruh wilayah tempat tinggal
penduduk. Selain membahayakan
kehidupan penduduk, kebakaran juga
menyebabkan kerugian material yang bisa
memiskinwarga.
“Sebagian besar dari penyebab
kebakaran di wilayah perkotaan adalah
akibat dari hubungan arus pendek listrik,”
tegasBudi.
Untuk mengatasi persoalan ini, BPBD
Kota Yogyakarta memberikan penjelasan
kepada masyarakat agar berhati-hati dalam
u r u s a n l i s t r i k . M i s a l ny a j a n g a n
menggunakanterminallistrikterlalubanyak
sebab bisa membuat kabelnya meleleh
yangbisamemicukebakaran.
“Kalau terjadi kebakaran akibat
hubungan pendek listrik, siram sumber
kebakaran dengan air. Tetapi pastikan dulu
untuk mematikan sumber listrik di meteran,”
unkap Budi menjelaskan sebagian materi
yangdiberikankepadamasyarakat.
BPBD KotaYogyakarta juga menjelaskan
soal cara menggunakan kompor gas yang
aman. Mereka memberi tahu tentang ciri-
cirijikagasmengalamikebocoran.
“Salah satu sasaran dari sosialisasi kita
adalah ibu-ibu yang tergabung dalam
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK),”
ujarBudi.
Kepala BPBD Kota Yogyakarta, Agus
Winarto juga giat memberikan sosialisasi
bagaimana cara menanggulangi bencana
kebakaran.
“Saya keliling terus dari sekolah-sekolah
hinggalembagapemasyarakatan,”ujarnya.
Selain itu BPBD juga menyiapkan 'hidran
kering' agar bisa menyalurkan air masuk ke
wilayah perkampungan penduduk yang
jalannya sempit sehingga tidak
memungkinkanmobilpemadamkebakaran
masuk.
BPBD Kota Yogyakarta juga serius
menyiapkan masyarakatnya yang tinggal di
sepanjang Sungai Code untuk menghadapi
bahaya lahar hujan yang berasal dari
Gunung Merapi. Dari tiga sungai yang
membelah Kota Yogyakarta, paling padat
adalah penduduk yang tinggal di sepanjang
SungaiCode.
“Sebabnya adalah Sungai Code yang
membelah tengah kota sehingga
penduduknyapalingpadat,”ujarBudi.
Untuk menghadapi bencana lahar
hujan, BPBD Kota Yogyakarta melatih
pendudukyangtinggaldisepanjangSungai
Code untuk menghadapi jika lahar hujan
tiba. Biasanya terjadi ketika hujan deras
turunpascaerupsiGunungMerapi.
“Kami juga menyiapkan pengeras suara
di beberapa titik untuk memperingatkan
penduduk agar segera menyelamatkan diri
jikalaharhujanakandatang,”jelasnya.
Pengeras suara ini terhubung dengan
pusat kendali operasi yang berada di Kantor
BPBD Kota Yogyakarta. Begitu mendapat
peringatan akan turunnya lahar dingin,
BPBD Kota segera memperingatkan melalui
pengeras suara itu agar masyarakat yang
tinggal di sepanjang Sungai Code
menyelamatkandiri.
“Dalam jangka panjang, kami berharap
masyarakat Kota Yogyakarta bisa tanggap
dansigapdalammenghadapisegalabentuk
ancamanbencana,”ujarnya.*)
BPBD Kota Yogyakarta latih
masyarakat hadapi ancaman
kebakaran dan lahar hujan
BPBD DIY
Jl. Kenari No. 14, Yogyakarta
Telp. (0274) 555584, 555585
Fax. (0274) 555326, 555452
BPBD Kabupaten Sleman
Jl. Candi Boko 1, Beran, Tridadi,
Sleman, 55511
Telp. (0274) 868504
Web: http://bpbd.slemankab.go.id
BPBD Kabupaten Kulon Progo
Jl. Sugiman Wates, Kulon Progo
Telp. (0274) 775113
Email: bpbd@kulonprogokab.go.id
BPBD Kabupaten Bantul
Jl. Wachid Hasyim, Sumuran, Palbapang, Bantul,
Yogyakarta, 55173
Email: pusdalops.bantul@gmail,
bpbd.kabbantul@gmail.com
Blog: http://bpbdbantul.blogspot.com
BPBD Gunungkidul
Kompleks Bangsal Sewokoprojo, Kabupaten
Gunungkidul
Telp. (0274) 394091
Email: bpbdgunungkidul@yahoo.co.id
Blog: http://bpbdgunungkidul.blogspot.com
ALAMAT PENTING
INFO PRB
6. OPINI6
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
Penulis adalah Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana
Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”
Yogyakarta.
Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno MT
Catatan tentang penyelenggaraan
penanggulangan bencana di indonesia
UU PB NO. 24/2007 memandatkan adanya
perubahan paradigma dalam penyelenggaraan
PB di Indonesia, dari tangap darurat ke
pengurangan risiko. Setelah lima tahun
pelaksanaan UU PB tersebut maka sudah
sepantasnya kita melihat praktik pelaksanaan
UU PB tersebut melalui hubungan peran antar
para pelaku kepentingan, sekaligus hubungan
antar perundangan yang mendasarinya, baik
yang terbit sebelum atau sesudah terbitnya UU
PB. Tentu pada akhirnya, kita mencoba mencari
jalan terbaik agar mandat tersebut terwujud:
masyarakat aman, sejahtera dan bermartabat.
Mandat Organisasi
Kehadiran BNPB merupakan mandat UU
24/2007 tentang PB dan PP 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB untuk menyelenggarakan
PB. BNPB merupakan lembaga pemerintah
yang memiliki mandat utama sebagai
penyelenggara PB tersebut melalui fungsi
koordinasi, komando dan pelaksana. Namun
demikian mandat penyelenggaraan PB secara
proporsional juga dimiliki oleh sektor-sektor
lain sesuai dengan tupoksi masing-masing.
Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian
Keuangan mempunyai mandat mengatur
hubungan dan ketersediaan sumberdaya di
pusat dan daerah dalam hal PB. Kementrian
Sosial, Kementrian Kesehatan, Kementrian
Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat
bencana. Pertanyaannya, apakah
perundangan-undangan yang menjadi acuan
tersebut secara substansial selaras dan
sinergis? Ternyata tidak.
Undang-undang yang disusun setelah UU
PB, rasanya belum melihat isu bencana
menjadi hal yang penting. Beberapa undang-
undang justru mempunyai unsur
ketidakselarasan dan bahkan mempunyai
hubungan saling asing. Beberapa contoh dapat
dikemukakan di sini, misalnya: pertama, UU
27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil yang disusun memberikan
pemaknaan“mitigasi bencana”(pasal 56) yang
berbeda dengan pengertian“mitigasi”di dalam
UU PB (pasal 1 ayat 6). Ha ini akan berimplikasi
pada perbedaan pengertian pada turunan
perundangan dan praktek penyelenggaraan PB
berbeda dengan kelaziman yang ada di BNPB.
Kedua, UU 7/2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial yang disusun belakangan telah
memastikan adanya tingkatan status konflik di
tingkat daerah, regional dan nasional. Bencana
akibat konflik sosial, juga merupakan relung
mandat BNPB; yang ironisnya belum ada
penentuan status tingkatan bencana. Sampai
kapan ya? Untuk memperjelas mandat daerah
dan pusat, tingkat status bencana ini perlu
ditegaskan.
Ketiga, UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang menggunakan mitigasi bencana
sebagai pertimbangan tindakan; namun belum
melakukan penyelarasan tata ruang
pengelolaan kawasan rawan bencana sebagai
bagian dari upaya pencegahan. Mandat
pencegahan dan analisis risiko sebagai upaya
pencegahan bencana dapat dilihat pada pasal
45, pasal 40, pasal 41 dan pasal 75 UU PB.
Keempat, UU 31/2009 tentang BMKG yang
menghasilkan produk komponen teknis untuk
mendukung sistem peringatan dini tidak
mempertimbangkan dan melandasi
kehadirannya dengan UU PB. Beberapa
pengertian terkait bencana seperti“mitigasi”
dan“adaptasi”lebih condong sebagai
pengertian dalam perubahan iklim.
Undang-undang yang hadir lebih dahulu
cenderung belum mempertimbangkan
bencana menjadi urusan pemerintah.
Peraturan di bawahnya yang muncul kemudian
juga belum menempatkan bencana menjadi
pertimbangan. Beberapa contoh dapat kita
tunjukkan di sini misalnya: pertama, UU
28/2002 tentang Bangunan Gedung Belum
diselarasakan standar bangunan gedung
dengan kecenderungan intensitas ancaman
yang berhubungan dengan kehadirannya di
dalam zona rawan ancaman yang berpengaruh
langsung terhadap kerusakan gedung (gempa)
atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan
risiko bencana (tsunami). Kedua, UU 7/2004
tentang Sumber Daya Air belum melihat
pengelolaan sumberdaya air dari sisi negatif
(ancaman) baik dari sisi kelebihan air (banjir)
maupun kekurangan air (kekeringan) sebagai
bagian dari upaya penyelenggaraan
pencegahan bencana. Ketiga, UU 34/2004
tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),
belum secara baik menjelaskan peran TNI
dalam kondisi aman khususnya bencana.
Keempat, UU 2/2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI); dalam
peraturan keduanya berhubungan saling asing,
walau prakteknya tidak demikian. Karena itu
peran Polri dalam PB perlu diatur lebih lanjut.
Fungsi Koordinasi
Ketidakselarasan undang-undang dalam PB
tersebut menjadikan Kementrian dan lembaga
dan yang menjalankan mandat PB seperti yang
tertulis dalam tupoksi sektornya sebagai
turunan atas perundangan sektornya tentu
bukan sebuah pelanggaran. Tetapi yang
menjadi permasalahan adalah ketika
penyelarasan dan koordinasi antar sektor
untuk pemwujudkan praktek yang baik tidak
dapat dilakukan. Apakah ke”baru”an, BNPB
sebagai pemilik mandat dan fungsi koordinasi
dalam PB terlihat ragu-ragu dan“sungkan”
menjalankan mandat tersebut? Di sisi lain
Kementrian dan Lembaga sebagai“aktor”
senior“enggan”melakukan koordinasi?
Kesulitan BNPB menjalankan mandat
mengkoordinasikan kementrian dan lembaga,
bila ditelusuri rasanya berawal dari Perpres
8/2008 tentang Pembentukan BNPB yang
“hanya”menempatkan BNPB sebagai lembaga
teknis non departemen yang dipimpin oleh
kepala setingkat mentri. Demikian juga bila
kita lihat, Perpres 24/2009 tentang Anggota
Unsur Pengarah PB dari Masyarakat Profesional
dan Perpres 59/2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah PB dari Instansi Pemerintah,
menempatkan unsur pengarah di bawah
kepala. Perpres ini menarik karena Perpres
8/2008 (26 Januari 2008) menempatkan unsur
pengarah BNPB“lebih rendah”dari BPLS
(Perpres 14/2007, revisi Perpres 40/2009).
Pada unsur pengarah BNPB terdiri dari
masyarakat profesional, ada semacam“down
grade”setelah melalui fit and proper test;
sedang dari sisi wakil pemerintah“hanya”diisi
pejabat eselon satu.
Permasalahan fungsi koordinasi ini
berlanjut dengan hadirnya Inpres No. 4 Tahun
2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir
dan Tanah Longsor. Substansi inpres ini pada
dasarnya menegaskan kembali fungsi
mengkoordinasikan kementrian dan lembaga
yang seharusnya dilakukan BNPB. Apakah
kehadiran Inpres ini dapat dimaknai sebagai
pernyataan atas ketidakmampuan semua
komponen kebencanaan untuk berkoordinasi?
Mampu mengkoordinasikan dan rela
dikoordinasikan?
Tata Kerja dan Pendanaan PB
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
ini hadir sebelum UU PB, sehingga belum
mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam
PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi
“mandat pokok”pendanaan untuk kegiatan PB
menjadi“anak tiri”di dalam perimbangan
keuangan pembangunan. Pendanaan PB di
daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal
yang sama pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan PB sering dianggap belum
jelas.
PP 22/2008 tentang Pendanaan PB dan PP
38/2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah dengan
Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota,
atau antara Pemerintah Daerah Provinsi
dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
masih belum bermakna. Salah satu perangkat
perundangan yang digunakan adalah PP
44/2012 tentang Dana Darurat. Peraturan
penggunaan dana darurat perlu
mengakomodir praktek-praktek penanganan
darurat yang memunculkan status kesiapan
darurat dan transisi darurat, dengan
mempertimbangkan implikasi yang ada.
Penyelenggaraan PB
Penyelenggaraan PB pada akhirnya
dilaksanakan oleh peraturan pemerintah dan
keputusan setingkat mentri dan lembaga.
Dalam pelaksanaannya masing-masing
kementrian dan lembaga membuat aturan
sendiri-sendiri, sebagai turunan atas
perundang-undangan di atasnya. Kondisi ini
memunculkan potensi ketidakselarasan dalam
pelaksanaan PB. Pertama, PP 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB tidak selaras dengan PP
No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana Di
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi
“mitigasi”dalam PP 64/2010 ini tidak sama
persis dengan definisi dalam PP 21/2008 dan
UU PB 24/2007. Oleh karenanya pelaksanaan
mitigasi bencana di pulau-pulau kecil perlu
koordinasi dengan bidang-bidang
penyelenggaraan PB secara umum.
Kedua, PP 39/2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial korban
bencana alam termasuk salah satu target
perlindungan sosial, dalam pelaksanaannya
memungkinkan tumpang tindih mandat PP
21/2009 tentang Penyelenggaraan PB.
Ketiga, PP 26/2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, tidak selaras
dengan UU 24/2007 tentang PB. PP RTRW
Menempatkan Kawasan Rawan Bencana
Geologi masuk dalam Kawasan Lindung
Nasional (pasal 51, 52, 53, 58). Hal ini
berimplikasi pada zonasi pemanfaatan ruang
untuk untuk pengurangan risiko sulit dilakukan
(pasal 71, 98, 102, 105).
Keempat, Perpres 8/2008 tentang
Pembentukan BNPB tidak selaras dengan
Perpres 99 / 2007 tentang Badan SAR Nasional.
Perpres tentang Badan SAR Nasional walau
mandatnya untuk pencarian dan pertolongan,
tidak mengacu pada UU PB, dan tidak ada
satupun kata“bencana”di dalam Perpresnya.
Ini berlanjut pada aturan di bawahnya Perka
BNPB 1/2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja BNPB dengan Perka Badan SAR Nasional
Nomor PER.KBSN-01/2008 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan SAR Nasional yang
masing-masing saling asing.
Kelima, Perka BNPB 17/2011 tentang
Pedoman Relawan PB tidak selaras dengan
Permensos RI No.82/HUK/2006 Tentang Taruna
Siaga Bencana. Ini memungkinkan status dan
prasarat relawan tumpang tindih sesuai
kepentingan sektor masing-masing.
Keenam, Perka BNPB 3/2010 tentang
Rencana Nasional PB 2010 – 2014 tidak selaras
dengan Permen PU 21/ PRT /M/2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan
Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan
Gempa Bumi dan Permen PU 22/PRT/M/2007
tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Rawan Bencana Longsor.
Ketujuh, Perka BNPB 13/2010 tentang
Pedoman Perencanaan, Pertolongan dan
Evakuasi perlu mempertimbangkan
Kepmenkes No 1653/Menkes/SK/XII/2005
tentang Pedoman Penanganan Bencana
Bidang Kesehatan. Dan kedelapan, Perka BNPB
2/2012 tentang Pedoman Pengkajian Risiko
Bencana tidak selaras dengan hasil analisis
risiko dan peta-peta hasil Badan Geologi ESDM.
Penutup: Bagaimana Sebaiknya?
Untuk mengurangi ketidakselarasan dalam
menjalankan mandat, maka dalam jangka
pendek BNPB perlu mengkaji kembali dan
memperbaiki perka-perka yang berpotensi
tidak selaras dengan peraturan kementrian/
lembaga lannya; serta proaktif untuk mengajak
kementrian terkait membuat kesepakatan
bersama. Selanjutnya untuk jangka menengah
dan panjang BNPB perlu mempersiapkan
perbaikan/pembaruan peraturan pemerintah
atau keputusan presiden yang dapat
mengadopsi permasalaan yang hadir karena
ketidakselarasan tersebut.
7. MERAPI adalah Gunungapi teraktif didunia,
setidaknya erupsi terakhir terjadi pada tahun
2010. Selain itu sebaran penduduk yang
bermukim di lingkar Merapipun berkembang
sangat pesat. Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kebencanaan
Geologi atau sering disebut BPPTKG sebagai
lembaga yang mempunyai peran konsentrasi
pengkajian aktivitas vulkanik Merapi, BPPTKG
mempunyai peran menginformasikan kepada
publik yang bertempat tinggal di Merapi,
sebagaipolaperingatandiniMerapi.
Setidaknya moda informasi dan
komunikasi yang digunakan oleh BPPTKG
berupa handy talki (HT), media sosial berupa
Facebook dan Twitter juga dimanfaatkan
s e b a g a i m o d a s e b a r a n i n fo r m a s i
perkembangan kondisi Merapi. Selain itu saat
ini BPPTKG sedang mengembangkan Sistem
Informasi yang berbasis penggunaan Pesan
pendek (SMS), sistem ini disebut Sistem
Informasi Kebencanaan Desa di Merapi
(SIKAD).
Program ini merupakan program BNPB
dengan Badan Geologi sebagai Program
Intensif Mitigasi Bencana Paska Erupsi Merapi
2010 yang diberi nama “Risk Analysis, Hazard
Assessment, Information based on early
warning system and communities Awereness
of Merapi” (RAHASIA Merapi). Salah satu sub
program kegiatannya yaitu Pengembangan
SistemInformasiKebencanaanDesadiMerapi
(SIKAD).
Program SIKAD Merapi ini merupakan
kerjasama antara BPPTKG dengan Combine
Resource Institution (CRI), didukung oleh
Perkumpulan LINGKAR dan IDEA dengan
difasilitasi oleh MRR-UNDP yang berlangsung
sejakbulanFebruari2012
SIKAD Merapi dibangun dengan
menggunakan teknologi Pesan pendek,
informasiyangberasalBPPTKGdikirimmelalui
SMS Broadcast kepada simpul informasi
warga yang berada di KRB 3 dan juga simpul
yang berada di sepanjang sungai yang
berhulu di Merapi. Simpul Informasi warga
mempunyai kewajiban menyampaikan
informasi menggunakan media warga yang
biasadigunakandidesanya.
Gagasan program Pembangunan Sistem
InformasiKebencanaanDesadiMerapi(SIKAD
Merapi) ini sebelumnya sudah dirintis oleh
kegiatan Pembangunan Sistem Informasi
Desa (SID) yang dilakukan oleh MRR UNDP
bekerja sama dengan CRI di 4 desa
percontohan.
Desa-desa percontohan tersebut yaitu
dijadikan sebagai desa percontohan yaitu
Desa Glagaharjo dan Kepuharjo di Kecamatan
Cangkringan, Kab. Sleman serta di Desa
SirahandanJumoyodiKecamatanSalam,Kab.
Magelang. Dua desa di Kabupaten Sleman
untuk merespon bencana erupsi Merapi 2010,
sedangkan dua desa di Kabupaten Magelang
untukmeresponbencanalaharhujan2011.*)
GUNUNG Merapi Setelah terjadi letusan freatik pada tanggal 18 November 2013, Merapi tidak
ada perubahan morfologi Merapi maupun aktivitas lainnya. Sesuai estimasi BPPTKG
Yogyakarta, diperkirakan masih ada 60 juta meter kubik material sisa erupsi Merapi 2010. Disisi
lainmusimhujanmasihterjadididaerahMerapi.
Pertanyaannya,apayangmenjadidasarterjadinyaLaharHujandiMerapi?
Banjir lahar hujan adalah kejadian yang diakibatkan oleh curah hujan dengan intensitas
tinggi bercampur dengan material lepas gunungapi hingga membentuk aliran. Meskipun
material lahar tersusun atas abu gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu
mengalir lebih deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa. Erupsi
gunungapi selalu menghasilkan deposisi material vulkanik berupa abu dan debris gunungapi
yangtertimbundilerengbadangunung.
Ternyata banjir lahar hujan terjadi bukan hanya tergantung dengan hanya satu faktor yaitu
curahhujansaja.Adabeberapafaktoryangmengakibatkanterjadinyabanjirlaharhujan.
1.KarakteristikmaterialMerapi
Merapi mempunyai material yang beragam bentuknya, Erupsi Merapi biasanya
meninggalkan material berbentuk bebatuan, pasir, Abu. Bahwa ada elemen material yang
menjadi faktor utama sebagai pelicin fragmen (bagian terpisah) batuan yg lebih besar dengan
pendorong air hujan yaitu abu vulkanik. abu vulkanik menjadi faktor pendorong dan pelicin
materiallainnyasehinggaterbawaolehaliranair.
Menurut Subandriyo, Kepala BPPTKG bahwa dengan melihat perkembangan karakter
material merapi, Material abu vulkanik berkurang sehingga material tidak mudah terbawa air
hujan. ”Ada perubahan karakteristik material Merapi. Material abu sudah berkurang sehingga
tidak mudah terbawa hujan. Ada kalanya hujan intensitas tinggi tapi tidak terjadi lahar hujan,"
paparnya.
2.CurahHujan
Terpantau dalam grafik pemantauan curah hujan yang dimiliki oleh BPPTKG ada
kecenderungancurahhujanmenurun.DalamcatatanBPPTKGbahwamaterialMerapitersebut
rentan menyebabkan lahar hujan jika terjadi hujan ekstrim dengan intensitas hujan lebih dari
100mm/hari.
3.MorfologialursungaiBerhuluMerapi
Setidaknya ada sebelas (11) sungai yang berhulu Merapi yang rawan terjadi banjir lahar
hujan, Kesebelas sungai itu antara lain Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali
Krasak,KaliPutih,KaliTrisik,KaliSenowo,KaliApudanKaliPabelan.
Kesebelas sungai ini sekarang dalam proses normalisasi, sehingga material yang
menumpuk dialiran sungai paska erupsi Merapi 2010 ini sekarang sudah berkurang. sehingga
mampu menampung material yang dibawa oleh banjir lahar hujan, dan tentunya
menghambat terjadinya aliran banjir lahar hujan. Untuk mengantisipasi potensi banjir lahar
hujan,BPPTKGmasihmemanfaatkansekitar20stasiunpemantauanyangtersebardi11sungai
yangrawanterjadibanjirlahardingin.
Ketiga faktor tersebut adalah komponen terjadinya banjir lahar hujan. Prediksi yang
diperkirakanadalahbulanJanuari-Februari2014adalahmenjadipuncakcurahhujansehingga
wargatetapmewaspadaidaerahaliransungaiuntukmengantisipasipotensilaharhujan.*)
Memahami banjir
lahar hujan Merapi
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
SIKAD Merapi
Sistem peringatan dini
menggunakan pesan pendek
7INFO PRB
SMS CENTER BPPTKG
08122 999 4144
Dewan Pengurus dan Pokja Forum PRB DIY
Periode 2012-2015
Koordinator Umum
Frans Toegimin
Koordinator Bidang II Manajemen Pengetahuan dan Peningkatan Kapasitas
Untung Triwinarso
Koordinator Bidang III Partisipasi dan Pelembagaan
Sunarjo
Koordinator Bidang IV Pengembangan Organisasi
Nurul S. Andriani
POKJA BIDANG I
Danang Samsu Rizal
Wawan Andriyanto
Saleh Abdullah
POKJA BIDANG II
Anik Septi Widyawati
Emi Dwi Suryanti
Dati Fatimah
F. Asisi S. Widanto
POKJA BIDANG III
M. Taufiq AR.
Kamal Firdaus
Mart Widarto
POKJA BIDANG IV
Yanuar P.
Ranie Ayu Hapsari
Anggoro Budi P.
8. 8 PROFIL
LAYANG PRB | Forum PRB DIY | EDISI NOVEMBER 2013
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah yang memiliki ragam ancaman
bencana dari erupsi Merapi, gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin ribut sampai
tsunami. Semampang dengan itu DIY pun diperkuat dengan adanya forum multi pihak
yang selalu membahas bagaimana DIY tangguh dalam menghadapi ancaman bencana
yang setiap saat mengintai. Forum multipihak tersebut adalah Forum Pengurangan Risiko
Bencana DIY (Forum PRB).
Forum PRB DIY terdiri dari berbagai disiplin konsentrasi dan berbeda pandangan,
membutuhkan sosok yang dapat menyatukan gagasan bersama dalam
membangun pengetahuan kebencanaan DIY.
Ketika menilik Forum PRB DIY, tidak lepas dari tangan dingin
seorang Frans Toegimin, pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah 59
Tahun yang lalu menjadi sosok penting Forum PRB DIY. Sosok
pria yang membiarkan pepohonan di rumanhya membesar dan
melakukan penghijauan yang menyejukan suasana tempat
tinggalnya, saat ini menjadi pucuk koordinasi seluruh elemen
pemangku kepetingan kebencanaan di DIY.
Frans Toegimin terpilih sebagai Koordinator Dewan Pengurus
Forum PRB DIY 2013-2016 pada tanggal 31 Januari 2013
dalam Kongres Anggota II Forum PRB DIY di Gedung UC
UGM. Dengan segudang pengalaman yang dimiliki terkait
dengan kegiatan bersama komunitas, serta banyaknya
anggota Forum PRB DIY, sosok Frans Toegimin diharapkan
dapat menahkodai platform DIY menjadi Center of Exelent
dalam upaya Penanggulangan bencana di Indonesia.
Pria yang penuh dengan kesederhanaan dan kerap tampil
low profile ini semakin dihormati oleh rekan dan kolega
ketika menjalankan aktivitasnya. Ia kerap menjadi penengah
ketika terjadi perbedaan pendapat diantara Dewan Pengurus
maupun anggota POKJA. Selain itu , ia juga kerap memediasi
dialog dengan Pemerintah terkait dengan ide atau gagasan
yang sampaikan anggota Forum PRB DIY.
Sekalipun telah memasuki usia senja, namun tidak melunturkan
semangat dan militansinya untuk melakukan berbagai
kegiatan yang memberikan manfaat bagi upaya
penanggulangan bencana di DIY khususnya. Jiwa muda
yang melekat dalam sosoknya tercermin dari dedikasinya
untuk senantiasa terlibat dalam kegiatian Forum PRB DIY.
Mudah-mudahan keberadaannya dalam dunia
kemanusian dan penanggulangan bencana dapat
menginspirasi anak-anak muda maupun pihak lainnya,
untuk terus konsisten melakukan kegiatan positif yang
dapat meningkat ketangguhan masyarakat di DIY dari
ancaman bencana. **)
Dedikasi tanpa batas untuk
Pengurangan Risiko Bencana
Frans ToegiminFrans Toegimin
Dedikasi tanpa batas untuk
Pengurangan Risiko Bencana