Penyajian tulisan sederhana tentang hukum syariat Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia beserta jenis hukumannya.
Pembahasan tulisan sederhana ini ditujukan untuk pegiat hukum terutama kalangan akademisi yang sedang belajar hukum.
semoga bermanfaat
1. 1. Tujuan Syariat Islam
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah
dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat
Islam, yaitu:
1) Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang
hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan
untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka
Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan
murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa
[4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2) Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum
qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah
membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan
dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal.
Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada
orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau
daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik
dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon
pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya.
Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3) Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah)
menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah
dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan
sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]:
219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa
perjudian.
4) Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam
telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh
dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
2. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional
(dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5) Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman,
karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang
tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan
yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta
dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta
kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk
mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor
yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman
berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam
menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
2. Sejarah berlakunya syariat Islam di Aceh
Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah hukum Islam yang sangat rumit di Aceh,
tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga
ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada
abad kesembilanbelas akhir, pengadilan formal dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yg
diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain. Sama seperti di belahan negeri Muslim
lainnya, hukum yang berlaku merupakan campuran dari Syari’at dan adat yang bervariasi
dari satu tempat ke tempat lain.
Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara
lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu
itu secara formal tidak ada pengadilan agama atau setidaknya tak ada pengadilan agama
yang diakui oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada dibawah wewenang
pengadilan kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus
lain seperti persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan
upaya pemerintah dalam rangka merebut kembali kepercayaan rakyat guna penyelesaian
konflik di Aceh. Memang dalam perjalanan panjang masyarakat Aceh, keberadaan Islam
menjadi sendi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.
Usaha menerapkan Syari'at Islam terus dilakukan oleh masyarakatnya melalui berbagai
upaya. Ini menunjukkan bahwa terdapat desakan yang begitu kuat yang muncul dari arus
bawah (masyarakat) agar pemerintah memberikan keluasan bagi masyarakat Aceh
menjalankan Syari'at Islam secara kaffah. Perjalanan Syari'at Islam di Aceh setelah
kemerdekaan RI mengalami pasang surut. Perubahan dan perkembangan kondisi sosial dan
3. politik Negara Republik Indonesia turut menjadi penentu tentang penyelenggaraan Syari'at
Islam di Aceh.
Pada masa awal kemerdekaan upaya pelaksanaan Syari'at Islam dilakukan dengan
pembentukan lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh. Karena tuntutan yang
terus menerus maka Gubernur Sumatera melalui surat kawat Nomor: 189 tanggal 13
Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh membentuk Pengadilan Agama
(Mahkamah Syar’iyah) dengan kewenangan yang penuh (tidak membutuhkan pengukuhan
dari Pengadilan Negeri) dan relatif lebih luas di bidang hukum keluarga yang meliputi
nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak, disamping perceraian dan pengesahan
perkawinan dan kewarisan.
Tahap baru pelaksanaan Syariat Islam di Aceh terjadi pada tahun 1959. Pada tahun ini-
seperti telah disinggung di atas-terjadi kesepakatan antara Dewan Revolusi DI/TII dengan
Wakil Pemerintah Pusat (populer dengan sebutan Missi Hardi) untuk mengakhiri
"Peristiwa Aceh", dan untuk ini dibuatlah Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
Nomor 1/Missi/1959. Dengan keputusan ini Provinsi Aceh mendapat sebutan baru: Daerah
Istimewa Aceh. Sebutan ini mengandung makna pemberian "… otonomi yang seluas-
luasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan." Namun,
Keputusan Perdana Menteri ini cenderung tidak efektif di lapangan karena Pemerintah
Pusat tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.
Pada tahun 1965 disahkan undang-undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
(UU Nomor 18 tahun 1965), tetapi kehadiran undang-undang ini tidak banyak bermanfaat
bagi Daerah Istimewa Aceh karena tidak memberi makna khusus tentang status
keistimewaan Aceh. Undang-undang ini menyamakan otonomi yang diberikan kepada
semua daerah Indonesia lainnya, sehingga hampir tidak ada arti dari keistimewaan itu
selain dari sekedar sebutan dan pengakuan tentang aspek historis istilah saja.
Pada masa Orde Baru, undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah diganti dengan
Undang-Undang Pemerintahan di Daerah, yaitu UU Nomor 5 tahun 1974. Dalam undang-
undang ini status keistimewaan Aceh menjadi lebih tragis lagi karena sama sekali tidak
dijelaskan. Masalah keistimewaan Aceh hanya disinggung sedikit di dalam penjelasan
pasal 93, yang intinya istilah Daerah Istimewa hanyalah sekedar sebutan bagi Provinsi
Aceh. Sedang mengenai otonomi yang luas di bidang agama, pendidikan, dan peradatan
yang diakui dalam Keputusan Perdana Menteri di atas, sudah ditiadakan, dan tidak disebut-
sebut lagi di dalam undang-undang baru. Otonomi yang akan diberikan kepada Aceh
adalah sama dengan yang akan diberikan kepada daerah lain, disesuaikan dengan keadaan
nyata di lapangan.[5] Dengan aturan ini, sekiranya dibandingkan dengan yang diperoleh
beberapa daerah lain maka otonomi di Aceh bisa jadi akan lebih sempit, karena disesuaikan
dengan keadaan nyata di lapangan.
Namun begitu, di dalam perjalanan sejarahnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh tetap
berusaha mengisi keistimewaan Aceh dengan berbagai Peraturan Daerah, Keputusan
Gubernur, atau instruksi Gubernur.
Dari rangkaian peraturan yang dikeluarkan Gubernur atau Pemerintah Daerah ini, ada
sebuah Peraturan Daerah yang tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu rancangan
Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh. Rancangan
ini disahkan DPRD pada tahun 1966 dan diajukan kepada Pemerintah Pusat ketika Menteri
Dalam Negeri dijabat Basuki Rahmat. Tetapi sebelum peraturan ini disahkan, Basuki
Rahmat meninggal dunia dan jabatan Menteri Dalam Negeri digantikan Amir Mahmud.
Beliau menolak menyetujui peraturan ini dengan alasan yang tidak jelas. Penolakan tidak
diberikan secara resmi dan tertulis, tetapi hanya secara lisan dalam sebuah upacara makan
malam di kediaman beliau sendiri, dihadapan beberapa orang tokoh Aceh yang diundang
khusus untuk itu, antara lain Gubernur Aceh berikut Ketua dan Wakil Ketua DPRD Aceh.
Kekecewaan masyarakat Aceh sebagaimana disebutkan di atas agaknya mulai terobati
ketika tanggal 4 Oktober 1999, Presiden BJ Habibi menandatangani UU Nomor 44 tahun
4. 1999,[6] tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat,
pendidikan, dan peranan ulama. Penyelenggara kehidpan beragama di daerah ini
diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari'at Islam bagi pemeluknya. Syari'at Islam
didefenisikan dengan tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 di atas merupakan peluang yuridis formal untuk
menerapkan Syari'at Islam sesuai yang diinginkan masyarakat Aceh, sejak bumi Iskandar
Muda digangggu Belanda itu.
Sementara itu pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minus nya UU tersebut, yang
terpenting mengenai penerapan Syariat Islam adalah membenarkan pembentukan
Mahkamah Syar'iyah, baik pada tingkat rendah (Sagoe) atauapun tingkat tinggi (Nanggroe)
yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syari'at yang berkaitan dengan
peradilan. Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang lain, yaitu,
Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Administarsi Negara, yang pembinaan
yudisialnya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam membuka
peluang bagi berlakunya hukum Islam di Nangroe Aceh Darussalam dalam kerangka
Negara kesatuan. Landasan Koseptual pemberian otonomi kepada provinsi Nangroe Aceh
Darussalam didasarkan kepada pertimbangan sejarah panjang keberadaan masyarakat
Aceh sebagai komunitas muslim yang selama ini dipandang mampu mewujudkan tatanan
kehidupan yang lebih demokratis, egaliter dan menjaga keseimbangan antara kepentingan
duniawi dan ukhrawi. Sebagai cermin dari semboyan masyarakat Aceh, yakni Adat bak po
Temunrenhoin, hukum bak Syah Kuala, Qonun bak Putro Phang, rensam bak Laksamana
( adat dari sultan, hukum dari ulama, qonun dari putra phang, rensam dari laksamana ).
Semboyan ini masih aktual dalam perspektif modern kehidupan berbangsa dan bernegara
dan relevan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kekhusussan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 ini yakni pemberian kesempatan yang
lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber
ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa,
kreativitas, dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh
dengan menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
UU No. 18 Tahun 2001, sebenarnya merupakan penegasan terhadap UU sebelumnya, yaitu
UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh yang memberikan kewenangan kepada Aceh untuk menyelenggarakan kehidupan
beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama
dalam penetapan kebijakan daerah yang di dasarkan pada Syariat Islam.
Semangat spiritualitas dalam menegakan hukum Islam (syari’at Islam Di Aceh juga tidak
terlepas dari teori-teori eksistensi hukum yang sudah diberlakukan sejak zaman penjajah
belanda, yaitu teori Receptio In complexu yang pada waktu itu dikeluarkan oleh snouck
hurgronje yang mengatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya
masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain.
Berbagai cara sudah ditempuh pemerintah untuk mendamaikan Aceh dan melepaskanya
dari konflik, namun hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda berakhirnya. Presiden
Habibi telah mencoba mengadakan pendekatan.dan menarik simpati msyarakat Aceh
dengan berbagai program pembangunan dan kemanusiaan. Demikian juga pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi konflik terus saja berlangsung, bahkan intensitasnya
lebih meningkat daripada sebelumnya, karena GAM sendiri terus melakukan konsolidasi.
Konsekuensinya sulit memprediksi masa depan Aceh, bahkan dalam masa pemerintahan
Presiden Megawati juga seperti itu. Bagi Indonesia mengizinkan Aceh mengadakan
referandum dengan opsi merdeka, dapat menyebabkan pemisahan diri Aceh dari Republik
5. Indonesia. Belajar dari pengalaman Timor Timur, hampir semua rakyat Indonesia percaya
bahwa mayoritas masyarakat Aceh akan memilih merdeka dari Indonesia, jika referandum
diadakan. Karena Aceh , secara historis merupakan bagian yang tk terpisahkan dari
republik ini, bahkan sumbangannya yang cukup besar terutama di awal kemerdekaan,
maka sulit kiranya Pemerintah Pusat melepaskan nya. Setelah gagalnya Kesepakatan
Penghentian Permusuhan (COHA/ Cessation of Hostilities Agrement) sejak awal 2003,
Pemerintah Pusat akhirnya menerapkan Operasi Militer Terpadu dengan Pemerintah
Darurat Militer di Aceh pada 19 Mei 2003 yang lalu.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (sejak 2004 hingga kini 2008) kondisi Aceh
sempat berstatus sebagai Darurat Sipil. Setelah terjadinya musibah 26 Desember 2004
(Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami) Pemerintah Pusat masih mengupayakan
pertemuan dengan pihak Gerakan Aceh Mereka) yang dilakukan Finlandia pada tanggal
15 Agustus 2005. Pada waktu itu terdapatlah Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah RI dan GAM, untuk sama-sama membuat lembaran
baru di Aceh. Puncak dari kesepakatan itu adalah lahirnya Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang ini
diatur banyak hal yang menyangkut sistem pemerintahan di Aceh, yang tentunya masih
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah gambaran beberapa
gejolak politik yang terdapat dalam sejarah Aceh untuk mendesakkan pemberlakuan
Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah tersebut.
3. Asas dan Hierarki hukum di Indonesia
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dalam Pasal 6 UU No.10 Th.
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan megandung asas sebagai
berikut :
pengayoman;
kemanusian;
kebangsaan;
kekeluargaan;
kenusantaraan;
bhinneka tunggal ika;
keadilan;
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Kemudian Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan sebagai mana dalam Pasal 7 UU No.10
Th. 2004 adalah :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.
6. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud diatas diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adapun jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud diatas diterangkan
dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Th. 2004 yang berbunyi sebagai berikut :
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,Badan Pemeriksa Keuangan,Bank Indonesia, Menteri,
kepala badan,lembaga,atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undangatau pemerintahatas
perintah undang-undang,Dewan Perwakilan RakyatDaerah Provinsi,Gubernur,Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
4. Qanun yang lahir sejak berlakunya Syariat Islam di Aceh
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih
dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil
langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk
disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah
itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Beberapa qanun yang telah disahkan (agustus 2005)
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah
ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah.
Ibadah dan syariat islam.
2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku
yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak
di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang
mem[roduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu
tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh
lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
5. Bentuk hukuman yang ada dalam Syariat Islam dan Bentuk Hukuman yang ada di
Indonesia
1. Bentuk hukuman yang ada dalam Syariat Islam
Bentuk Hukuman dalam Islam
Hudûd
Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara
syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya)
oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah
pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi
kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak
kejahatan berikut:
o zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika
ghayr muhshan/belum menikah]);
o homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);
o qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80
kali);
o minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
o murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
7. o membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak
merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong
tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak
membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.
o memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang
bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk
dihancurkan.
o Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang
telah memenuhi syaratuntuk dipotong).
Jinâyât
Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya
qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup
penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:
o Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;
o Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.
Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja,
sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan
sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât
tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak
menuntutnya.
Ta‘zîr
Ta’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah
hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan
secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang
di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi:
o pelanggaran terhadap kehormatan
o pelanggaran terhadap kemuliaan
o perbuatan yang merusak akal
o pelanggaran terhadap harta
o gangguan keamanan
o subversi
o pelanggaran yang berhubungan dengan agama.
o Sanksi ta‘zîr dapat berupa:
o hukuman mati
o cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali
o penjara
o pengasingan
o pemboikotan
o salib
o ganti rugi (ghuramah)
o peyitaan harta
o mengubah bentuk barang
o ancaman yang nyata
o nasihat dan peringatan
o pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân)
o pencelaan (tawbîkh)
o pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang
mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara
bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh
menjatuhkan sanksi di luar itu.
8. Mukhâlafât
Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara.
Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang
warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta
menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.
2. Bentuk hukuman yang ada di Indonesia
Berdasarkan Pasal 10 KUHP membagi hukuman menjadi dua bentuk, yakni;
1) hukuman pokok
a. Hukuman mati. Atas tindak pidana tertentu, undang-undang memberikan
kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap
seseorang pelaku tindak pidana sampai kebentuk penjatuhan hukuman
mati. Dapatnya dijatuhkan hukuman berupa hukuman mati itu misalnya
terhadap pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam UU
No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meskipun penjatuhan hukuman mati
terhadap pelaku tindak pidana melahirkan pandangan pro-kontra.
Pelaksanaan dari hukuman mati itu sebagaimana diatur UU
No.2/PNPS/1964.
b. Hukuman Penjara. Hukum penjara secara teknis memiliki batasan
maksimal dan untuk tindak pidana tertentu memiliki batas minimal.
Hukum penjara secara umum dapat dikenakan seumur hidup atau selama
waktu tertentu. Terkait dengan hukuman penjara selama waktu tertentu
yakni antara satu hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (Pasal 12
KUHP). Namun pada tindak pidana tertentu ada batas minimal, misalnya
dalam hal seseorang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi
melanggar Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999, maka kepada terdakwa
dijatuhikan hukuman minimal 4 tahun sebagai batas bawah. Artinya
seorang pelaku tindak pidana yang terbukti melanggar Pasal 2 UU
No.31Tahun 1999, pengadilan tidak boleh menjatuhkan hukuman penjara
kurang dari 4 tahun.
c. Hukuman Kurungan Baik hukuman penjara maupun hukuman kurungan,
keduanya adalah bentuk pemidanaan dengan menahan kebebasan
seseorang karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang
melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga KUHP tentang
Pelanggaran), atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa
dibayarkan [Pasal 30 ayat (2) KUHP]. Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai perbedaan hukuman kurungan dengan hukuman penjara akan
dibahas pada kesempatan lain.
d. Hukuman Denda. Dalam lapangan hukum pidana dikenal pula apa yang
disebut dengan hukuman denda yang dikenakan terhadap pelanggaran yang
diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP, jika
pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
e. Hukuman Tutupan. Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana
pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Penambahan pidana tutupan ini
didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang
Hukuman Tutupan ("UU 20/1946").
2) Hukuman tambahan
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam KUHP dikenal pula hukuman
tambahan disamping hukuman pokok. Adapun hukuman tambahan tersebut
antaranya adalah berupa;
o pencabutan beberapa hak yang tertentu;
9. o perampasan barang yang tertentu;
o pengumuman keputusan hakim.
Mencermati KUHP, maka terkait dengan hukuman tambahan, KUHP
sesunggunya tidak membatasi hukuman tambahan hanya seperti tersebut diatas
saja. Bahkan terlihat ada kecenderungan bentuk dari hukuman tambahan
berkembang sedemikian rupa, terutama dengan makin banyak ketentuan
pidana yang lahir diluar KUHP misalnya dalam UU No 31 Tahun 1999 yakni
dengan adanya hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Artinya bentuk-bentuk hukuman tambahan akan terus berkembang dan
tentunya akan sejalan dengan tindak pidana yang terjadi itu dalam bidang apa,
misalnya tindak pidana dalam bidang perikanan dan lain sebagainya.