SlideShare a Scribd company logo
1 of 84
Download to read offline
1
FIQIH MUAMALAH
BUKU AJAR FIKIH
KELAS X MADRASAH ALIYAH
Penyusun
Dr. Rosidin, M.Pd.I
YAYASAN ALMAARIF SINGOSARI
MADRASAH ALIYAH ALMAARIF
SINGOSARI
2014
2
BAB I
HUKUM ISLAM TENTANG KEPEMILIKAN
A. KEPEMILIKAN
1. Pengenalan Istilah
Menurut bahasa, kepemilikan berarti penguasaan seseorang terhadap harta,
dalam artian hanya dirinya yang berhak melakukan pentasharufan terhadapnya.
Menurut istilah, kepemilikan berarti keterkhususan terhadap sesuatu yang
membuat orang lain tidak boleh mengambil-nya; dan menjadikan pemiliknya bisa
mentasharufkannya secara mendasar (ّ٤‫َا‬‫د‬ِ‫ت‬ِ‫ب‬ِ‫إ‬), kecuali ada suatu penghalang yang
ditetapkan oleh Syara’.
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
1) Al-Hadid: 7

(‫ٜد‬‫د‬‫احل‬:7)
7. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya [*]. Maka orang-orang
yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar.
[*] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang
bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah SWT.
manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum
yang telah disyariatkan Allah SWT. karena itu tidaklah boleh kikir dan
boros.
2) Hud: 61
(‫ٖٛد‬:16)
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-
Nya.
3) Al-An’am: 165


165. Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
3
4) Al-Baqarah: 29
(٠‫يبكس‬‫ا‬:99)
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
5) Al-Mulk: 15

(‫املًو‬:61)
15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-
Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
b. Dalil Hadits
ًَُّ٘‫ي‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ ِ١َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬َّ‫يص‬‫ا‬ َِِٔ ٌٍُ‫د‬َ‫ز‬ َِٔ‫ع‬َِٚٞ‫ف‬ ُ٤‫ّٔا‬‫ن‬َ‫س‬ُ‫ش‬ ُ‫س‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ ُُ٘‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ط‬ّٔ‫ف‬ ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ًَُّ٘‫ي‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬ ِّْٞ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬ََ ُ‫ت‬َِٚ‫ص‬ّٔ‫غ‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َُِ٘ٓ‫ع‬
.ِ‫ز‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ،ِ٤‫َا‬ُّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ،ِ‫أ‬ًّّٔٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِٞ‫ف‬ :ٍ١َ‫ث‬‫ّٔا‬ًَ‫ث‬.ِ‫ز‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ِ٤‫َا‬ُّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ِ‫إل‬ّٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ ُ٤‫ّٔا‬‫ن‬َ‫س‬ُ‫ش‬ ًَُُِِٕٛ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍ١َٜ‫ا‬َِٚ‫ز‬ ِٞ‫ف‬َٚ)ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬
.ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َْٚ‫ت‬‫ّٔا‬‫ك‬ِ‫ث‬ ُّٕ٘‫ي‬‫ا‬َ‫د‬ِ‫ز‬َٚ.)
Diriwayatkan dari seorang Sahabat RA yang berkata: Saya berperang bersama Nabi
SAW, lalu saya mendengar beliau bersabda: “Manusia bersekutu dalam tiga hal:
rumput liar, air dan api. Dalam redaksi lain: “Kaum muslimin bersekutu dalam rumput
liar, air dan api. [HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah. Para perawi
Hadits ini berstatus tsiqqah (dapat dipercaya)]
َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّٔ٠َِٚ‫س‬ُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ٢َِٝ‫خ‬َٜ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُِّٟ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ُّ٘ٔ‫ي‬ َ٢ِّٗٔ‫ف‬ ّٗ١َ‫ت‬ََِٝ ‫ّا‬‫ض‬ِ‫ز‬ّٔ‫أ‬ ‫َا‬ِٝ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ََِٔ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬
َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ََُِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬ََُٚ‫َا‬ٚ ُِّٞ٥‫ا‬ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ِِّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬
.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ
Diriwayatkan dari Yahya bin ‘Urwah dari ayahnya yang meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bumi mati (tanah kosong), maka bumi itu
menjadi miliknya”. *HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Darimi, Malik,
Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Nasa’i, al-Daruquthni, Ibn Abi Syaibah dan al-
Thabarani. Abu ‘Isa berkata: “Ini adalah Hadits Hasan Shahih].
3. Teori
a. Bisa-tidaknya suatu harta untuk dimiliki
Dalam kaitannya dengan bisa-tidaknya untuk dimiliki, harta terbagi
menjadi 3:
1) Harta yang sama sekali tidak bisa dimilikkan (al-Tamlik,
menjadikannya milik orang lain) dan tidak pula bisa dimiliki oleh diri
4
sendiri. Misalnya: jalan umum, jembatan, benteng, rel kereta api,
museum, perpustakaan umum, taman umum, dan lain-lain.
2) Harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dengan adanya sebab yang
ditetapkan oleh Syara’. Contoh: harta wakaf dan asset-aset Negara
(baitul maal). Oleh karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual maupun
dihibahkan. Jika roboh atau biaya perawatannya lebih tinggi daripada
keuntungan yang dihasilkan-nya, maka pihak pengadilan bisa
mengeluarkan izin agar harta wakaf itu ditukarkan.
3) Harta yang bisa dimiliki (al-Tamalluk) dan dimilikkan (al-Tamlik)
secara mutlak tanpa ada suatu syarat atau pembatasan tertentu.
b. Macam-macam Kepemilikan
1) Kepemilikan sempurna. Yaitu kepemilikan atas sesuatu secara
keseluruhan, baik zatnya (bendanya) maupun kemanfaatannya
(penggunaannya). Karakteristik kepemilikan sempurna adalah
kepemilikan yang mutlak, permanen yang tidak terbatasi oleh masa
tertentu dan tidak bisa digugurkan. Seseorang yang memiliki
kepemilikan sempurna terhadap sesuatu diberi kewenangan utuh
berupa kebebasan menggunakan, mengembangkan, menginvestasikan
dan melakukan pentasharufan terhadap sesuatu miliknya itu
sekehendak dirinya. Apabila si pemilik merusakkan apa yang ia miliki,
maka tidak ada denda apapun atas dirinya. Akan tetapi, ia terkena
sanksi agama (dosa), sebab merusakkan harta hukumnya adalah
haram.
2) Kepemilikan tidak sempurna. Yaitu kepemilikan sesuatu, akan tetapi
hanya zatnya (bendanya), atau kemanfataannya (penggunaannya) saja.
c. Macam-macam Kepemilikan Tidak Sempurna
Ada 3 macam kepemilikan tidak sempurna:
1) Kepemilikan terhadap sesuatu, akan tetapi hanya bendanya saja. Yaitu
sesuatu yang bendanya milik seseorang, sedangkan penggunaan dan
kemanfaatannya milik orang lain. Misalnya: Si A mewasiatkan untuk si
B bahwa si B boleh menempati rumah si A selama 3 tahun. Maka ketika
si A meninggal dunia, maka rumah itu, maksudnya bendanya tetap
milik ahli waris si A berdasarkan hak waris. Sedangkan penggunaan
dan kemanfaatannya adalah milik si B selama batas waktu yang
ditentukan. Jika batas waktu yang ditetapkan telah habis, maka
kemanfaatan rumah itu kembali menjadi milik ahli waris, sehingga
kepemilikan ahli waris terhadap rumah itu kembali sempurna dan
utuh.
2) Kepemilikan atas manfaat suatu barang yang bersifat personal atau
hak pemanfaatan dan penggunaan (haqqul intifa’). Ada lima sebab atau
faktor munculnya kepemilikan manfaat atau hak pemanfaatan dan
penggunaan, yaitu peminjaman (al-i’arah), penyewaan (al-ijarah),
pewakafan, wasiat dan pembolehan (al-ibahah). Contoh pembolehan
5
adalah seseorang mengizinkan kepada orang lain untuk mengonsumsi
makanan miliknya; juga seperti izin yang bersifat umum, seperti lewat
di jalan, duduk di taman, masuk ke sekolahan, dan lain-lain.
3) Kepemilikan atas manfaat yang bersifat kebendaan atau haqqul irtifaq.
Definisi haqqul irtifaq adalah sebuah hak yang ditetapkan atas suatu
harta tidak bergerak, demi kemanfaatan dan kepentingan harta tidak
bergerak lainnya yang dimiliki orang lain. Misalnya: hak atas air irigasi
(haqqusy-syirbi), hak kanal atau saluran air (haqqul majra), hak saluran
pembuangan air (haqqul masiil), hak lewat, hak bertetangga dan hak
karena berada di tempat bagian atas.
d. Sebab-sebab Kepemilikan Sempurna
1) Menguasai sesuatu yang statusnya mubah (bukan milik siapapun, al-
istila’ ‘alal mubah). Harta mubah adalah harta yang tidak masuk dalam
di dalam kepemilikan orang tertentu dan tidak ada suatu alasan yang
diakui oleh syara’, yang menghalangi untuk memilikinya. Contoh: air
yang terdapat di tempat sumbernya, rumput, kayu dan pohon di
tengah gurun, hasil buruan darat dan hasil tangkapan laut. Menguasai
sesuatu yang mubah memiliki empat bentuk: 1) Ihya’ al-Mawat
(menghidupkan lahan mati), yaitu mengolah dan memperbaiki lahan
yang mati dan kosong; 2) Berburu, yaitu meletakkan “tangan” atas
sesuatu yang mubah, yang tidak dimiliki oleh siapapun. Baik berburu
dalam bentuk sesungguhnya (al-istila’ al-fi’li), yaitu menangkap dan
memegangnya; atau dengan berburu dalam bentuk yang bukan
sesungguhnya, namun hukumnya sama dengan berburu dalam bentuk
sesungguhnya (al-istila’ al-hukmi). Dalam al-istila’ al-hukmi ini
disyarat-kan harus ada niat, maksud dan kesengajaan. Oleh sebab itu,
jika ada seekor burung bersarang dan bertelur di tanah seseorang,
maka itu menjadi milik orang yang pertama mengambilnya. Namun
jika si pemilik memang berniat dan sengaja menyiap-kan tanah untuk
sarang dan tempat bertelur burung tersebut, maka itu menjadi milik si
pemilik tanah; 3) Menguasai rerumputan (al-kala’) dan pohon lebat
(al-ajam). Al-Kala’ adalah rerumputan yang tumbuh dengan sendirinya
di atas tanah tanpa ditanam; sedangkan al-Ajam adalah pepohonan
lebat yang terdapat di hutan belantara atau tanah tidak bertuan; 4)
Menguasai kekayaan tambang (al-ma’adin) dan harta terpendam (al-
kunuz). Al-Ma’adin adalah kekayaan alam yang terdapat di dalam perut
bumi secara alami, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah, dan lain
sebagainya. Al-Kunuz adalah harta yang dipendam dan disimpan di
dalam bumi, baik pada era jahiliyah maupun pada era Islam. Harta
terpendam Islam adalah harta terpendam yang memiliki semacam
tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta itu dipendam
setelah kemunculan Islam, seperti tulisan kalimat syahadat atau
mushhaf, atau ayat al-Qur’an atau nama khalifah muslim. Sedangkan
6
harta terpendam jahiliyah adalah harta terpendam yang memiliki
tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta itu dipendam
sebelum era Islam, seperti pahatan gambar arca atau patung, atau
tulisan nama penguasa jahiliyah, dan lain sebagainya. Harta terpendam
Islam statusnya tetap menjadi milik si pemiliknya. Oleh karena itu,
tidak bisa menjadi milik orang yang menemukannya, akan tetapi
dikategorikan sebagai harta temuan (al-luqathah), sehingga si
penemunya harus mengumumkannya. Sedangkan harta terpendam
jahiliyyah, maka seperlimanya adalah untuk kas Negara (baitul mal),
sedangkan sisanya untuk si penemunya secara mutlak.
2) Akad-akad pemindah kepemilikan. Ada dua macam sebab kepemilikan,
yaitu ada yang berdasarkan persetujuan dan kerelaan si pemilik; dan
ada yang bersifat paksaan. Contoh akad yang berdasarkan persetujuan
adalah jual beli, hibah, wasiat dan sebagainya. Ini adalah sebab atau
sumber munculnya kepemilikan yang paling penting, paling umum dan
paling banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Karena akad-
akad tersebut memerankan aktivitas ekonomi yang mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia melalui jalur transaksi. Sedangkan
contoh akad yang bersifat paksaan adalah pencabutan kepemilikan
secara paksa dalam Syuf’ah. Misalnya: Ada sebidang tanah milik
bersama antara si A dan si B; sementara tanah itu belum dibagi dan
ditentukan tapal batasnya. Lalu si B menjual bagiannya kepada si C
dengan harga 100 misalnya, maka di sini si A memiliki hak Syuf’ah
untuk mengambil alih bagian si B yang dibeli si C itu secara paksa
dengan mengganti harga pembelian yang telah diserahkan si C, yaitu
100. Contoh lainnya adalah mengambil alih kepemilikan demi
kepentingan umum, yaitu mengambil alih kepemilikan suatu tanah
milik seseorang secara paksa dengan memberinya kompensasi sesuai
dengan harga yang adil untuk tanah itu, karena ada kondisi darurat
atau demi kemaslahatan umum, seperti untuk memperluas masjid,
memperluas jalan, dan sebagainya.
3) Al-Khalafiyah (pergantian kepemilikan). Al-Khalafiyah ada dua bentuk,
yaitu pergantian antara individu dengan individu yang lain, yaitu
pewarisan; dan pergantian antara sesuatu dengan sesuatu yang lain,
yaitu pendendaan (al-tadhmin).
4) Sesuatu yang muncul dan terlahir (terhasilkan) dari sesuatu yang
dimiliki. Maksudnya, bahwa apa yang terlahir atau terhasilkan (disebut
al-far’u) dari sesuatu yang dmiliki (disebut al-ashlu), maka itu adalah
milik si pemilik al-ashlu tersebut. Baik keterhasilan itu terjadi karena si
pemilik maupun terjadi secara alamiah. Oleh karena itu, orang yang
menggashab suatu lahan, lalu ia menanaminya, maka tanaman itu
adalah miliknya; karena tanaman itu adalah hasil pertumbuhan benih
miliknya yang ia taburkan. Namun ia berkeharusan untuk membayar
7
biaya sewa lahan tersebut dan membayar ganti rugi kepada si pemilik
lahan akibat penanaman tersebut. Adapun buah suatu pohon, anak
binatang, bulu domba dan air susunya, maka itu semua menjadi milik
si pemilik al-ashlu.
B. AKAD
1. Pengenalan Istilah
Secara etimologis, akad berarti mengikatkan antara dua sisi sesuatu, baik
berupa ikatan kongkret maupun abstrak; dari salah satu sisi maupun kedua sisi.
Secara terminologis, akad memiliki dua pengertian, yaitu pengertian umum dan
pengertian khusus.
Pengertian umum dari akad lebih dekat pada pengertian etimologis di atas dan
berlaku umum di kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah:
ٌُّّٕ‫ن‬‫َا‬َََّ‫ص‬َ‫ع‬ُ٤ِ‫س‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬٢ًَّٔ‫ع‬،ًِِِ٘‫ع‬ِ‫ف‬ْ٤‫َا‬َٛ‫ض‬َ‫ز‬َ‫د‬َ‫ص‬ٍ٠َ‫د‬‫َا‬‫ز‬ِ‫إ‬ِ‫ب‬ٍ٠َ‫د‬ِ‫س‬ّٔ‫ف‬َُِٓ،ِ‫ف‬ّٖ‫َق‬ّٖٛ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ن‬ِّّٔ‫ا‬َ‫ج‬‫َا‬‫ت‬ِ‫ح‬‫ا‬ّٔ‫ي‬ِ‫إ‬٢َِِٔٝ‫ت‬َ‫د‬‫َا‬‫ز‬ِ‫إ‬ِٞ‫ف‬ِِ٘٥‫ا‬َ‫ص‬ِِْ‫إ‬،ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ن‬ْ٤‫َا‬َٛ‫ض‬ٍَِِٔ‫ص‬ِ‫خ‬َ‫ش‬
ٍ‫د‬ِ‫ح‬‫َا‬ِّٚٚٔ‫ا‬ََِِِِٔٔٝ‫ص‬ِ‫خ‬َ‫ش‬.
“Segala sesuatu yang ingin dilaksanakan oleh seseorang, baik berasal dari keinginan satu
pihak saja –semisal wakaf– maupun berasal dari keinginan dua belah pihak –semisal jual
beli–”; baik berasal dari satu orang maupun dua orang”.
Pengertian khusus dari akad adalah:
ّٕ‫ط‬‫َا‬‫ب‬ِ‫ت‬ِ‫ز‬ِ‫إ‬ٍ‫ب‬‫َا‬‫ذ‬ِِٜ‫إ‬ٍٍُِٛ‫ب‬ّٔ‫ك‬ِ‫ب‬٢ًَّٔ‫ع‬ٍِ٘‫د‬ٍَٚ‫ع‬ُِٚ‫س‬ِ‫ص‬ََُ‫ت‬ِ‫ب‬ِ‫ج‬ُُُٜٙ‫س‬َ‫ث‬ّٔ‫ا‬ِٞ‫ف‬ًَِِ٘‫خ‬ََ
“Mengaitkan antara Ijab dengan Qabul sesuai dengan ketentuan Syariat yang pengaruhnya
ditetapkan (ketika) di lokasi”.
8
ُ‫ل‬ًَُّ‫ع‬َ‫ت‬ِّّٔ‫ال‬ّٔ‫ن‬ِ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫ا‬َِِٜٔ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫س‬َ‫خ‬ّٔ‫أل‬‫ِا‬‫ب‬‫ّا‬‫ع‬ِ‫س‬َ‫ش‬٢ًَّٔ‫ع‬ٍِ٘‫د‬َُٚ‫س‬ِّٖٗ‫ُظ‬ُُٜٙ‫س‬َ‫ث‬ّٔ‫ا‬ِٞ‫ف‬ٌَِ‫خ‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬
“Mengaitkan pernyataan salah satu pihak yang bertransaksi dengan pihak lainnya secara
Syar’i sesuai dengan ketentuan pengaruhnya terlihat (ketika) di lokasi”.
Pendek kata, akad merupakan perjanjian tertulis yang berisikan Ijab
(penawaran) dan Qabul (penerimaan).
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
1) Al-Ma’idah: 1
(٠‫٥د‬‫ا‬‫امل‬:6)
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
2) Al-Isra’: 34
(٤‫اإلضسا‬:43)
34. Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-
jawabannya.
3) Al-Mu’minun: 8
(َٕٛٓ‫املؤ‬:8)
8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.
b. Dalil Hadits
Pada dasarnya, dalil Hadits yang menyangkut akad sangat banyak. Hal ini
dikarenakan begitu banyaknya jenis akad dalam Islam, mulai dari jual beli,
hibah, musyarakah hingga perbankan Syariah. Semua dalil akad tersebut dapat
dijadikan sebagai dalil akad. Kendati demikian, berikut ini penyusun sajikan satu
contoh dalil Hadits terkait akad:
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ِّْٙ‫َد‬‫د‬ َِٔ‫ع‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ُّ٢َِْ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫ف‬َِٛ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ِٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ُِٔ‫ب‬ ُ‫ري‬ِ‫ج‬ّٔ‫ن‬ ‫َا‬َٓ‫ث‬َّ‫َد‬‫ح‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ‫اهلل‬ ٢ًََّ‫ص‬-:ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬...
ُ‫س‬ُ‫ش‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ًَُُِِٕٛ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬َِٚ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫ّا‬َ‫َا‬‫س‬َ‫ح‬ ٌََّ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ِّٚٔ‫أ‬ ّٗ‫ّٔال‬‫ال‬َ‫ح‬ ََّّ‫َس‬‫ح‬ ‫ّٗا‬‫ِط‬‫س‬َ‫ش‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ِِِِٗ‫ط‬ُِٚٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُ
َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬
Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani menceritakan Hadits dari ayahnya dari
kakeknya yang meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: … Dan kaum
muslim itu (menetapi) syarat-syaratnya, kecuali syarat yang mengharamkan perkara
halal; atau menghalalkan perkara haram”. *HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah,
Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim, al-Daruquthni dan al-Thabarani. Abu ‘Isa
berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih].
Secara garis besar, Hadits di atas menegaskan bahwa umat muslim
diperkenankan untuk memberikan syarat-syarat tertentu dalam akad yang
dilakukan; asalkan syarat-syarat tersebut tidak mengharamkan apa yang
dihalalkan Syariat, atau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Syariat.
9
3. Teori
a. Rukun Akad
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun akad ada tiga, yaitu
orang yang berakad (ْ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬) misalnya penjual dan pembeli, perkara yang menjadi
objek akad ( ْ‫د‬ِّٕٛ‫ك‬ِ‫ع‬ًَََِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ), misalnya barang dan harga, serta redaksi akad (ّ٘١َ‫ػ‬ِِٝ‫ص‬), yaitu
Ijab dan Qabul.
Menurut mazhab Hanafi, rukun akad hanya ada satu yaitu Ijab-Qabul atau
sesuatu yang menempati posisi Ijab-Qabul. Dengan kata lain, rukun akad adalah
segala sesuatu yang mencerminkan kesepakatan antara keinginan kedua belah
pihak yang bertransaksi, baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan.
Sedangkan orang yang berakad (‘aqid) maupun objek akad (ma’qud ‘alaih)
adalah konsekuensi logis dari adanya Ijab-Qabul.
Mazhab selain Hanafi mendefinisikan Ijab-Qabul sebagai berikut:
 Ijab adalah suatu pernyataan dari pemilik asal –semisal penjual–,
meskipun diucapkan lebih akhir;
 Qabul adalah suatu pernyataan dari pemilik berikutnya –semisal
pembeli–, meskipun diucapkan lebih awal.
Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan Ijab-Qabul sebagai berikut:
 Ijab adalah menetapkan suatu perbuatan tertentu yang menunjukkan
kerelaan, yang diucapkan pertama kali oleh salah seorang yang
berakad, baik berasal dari pemilik asal (‫)املًُو‬ –semisal penjual–
maupun pemilik berikutnya (‫)املتًُو‬ –semisal pembeli–;
 Qabul adalah suatu pernyataan yang diucapkan kali kedua, yang
menunjukkan kerelaan dan kesepakatannya dengan pernyataan
pertama (Ijab).
Jadi, definisi mazhab Hanafi lebih mengacu pada dimensi waktu, yaitu
pernyataan yang pertama kali muncul disebut dengan Ijab, sedangkan
pernyataan yang muncul berikutnya disebut dengan Qabul. Sedangkan definisi
mazhab non-Hanafi mengacu pada dimensi subyek, yaitu pernyatan yang
diucapkan oleh pemilik asal disebut dengan Ijab, sedangkan pernyataan yang
diucapkan oleh pemilik berikutnya disebut dengan Qabul, tanpa memedulikan
waktu terucapnya pernyataan tersebut.
Dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun dan syarat
hampir sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat (BW), yaitu:
1) Pihak-pihak yang berakad harus memiliki kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum. Dalam hukum positif disebut sebagai “Cakap”.
Kriteria “Cakap” menurut Buku I Pasal 2 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah adalah:
10
 Individu yang sudah berusia 18 tahun atau sudah pernah
menikah. Sementara bagi yang belum berusia 18 tahun dapat
mengajukan permohonan pengakuan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum melalui putusan pengadilan. Pendewasaan
tersebut dalam istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebut sebaga Handlichting. Sebaliknya, jika seseorang sudah
berusia 18 tahun atau sudah menikah, tetapi tidak cakap
melakukan perbuatan hukum (disebut muwalla atau dalam istilah
hukum perdata onder curatele atau di bawah pengampunan), dia
harus mendapatkan penetapan dari pengadilan untuk
pengangkatan seorang wali (pengampu). Wali inilah yang
nantinya akan mewakili orang tersebut untuk melakukan
perbuatan hukum.
 Badan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum, yang
tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
2) Objek akad harus amwal atau menawarkan jasa yang dihalalkan yang
dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dalam hukum positif, hal ini
disebut “causa yang halal” atau “sebab yang halal”. Dalam hukum
syariah, harus halal, tidak boleh haram!. Sementara dalam hukum
konvensional, ada hal yang dalam Islam dihukumi haram, masih bisa
dilakukan, contohnya perdagangan babi atau minuman keras.
3) Tujuan pokok akad. Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan
akad. Dalam hukum positif, hal ini disebut “hal tertentu”. Karena harus
ada tujuan tertentu dalam pembuatan suatu akad, objek yang
diperjanjikan harus diuraikan secara jelas. Hal ini bertujuan agar tidak
terjadi perselisihan mengenai objek yang diperjanjikan.
4) Adanya kesepakatan. Dalam hukum positif juga disebut syarat
“sepakat”. Kesepakatan dalam hukum positif dijadikan sebagai
landasan lahirnya setiap perjanjian dan harus diletakkan pada bagian
awal perjanjian. Kesepakatan ini juga merupakan salah satu syarat
mutlak dalam akad syariah. Bahkan dalam hukum kebiasaan
masyarakat Arab, kesepakatan tersebut harus dinyatakan secara lisan
dan tegas, seperti dalam jual beli, yang diekspresikan dengan kata-kata
“Saya jual” dan disambut dengan kata-kata “Saya beli”.
Dengan demikian, syarat sah akad adalah cakap, objeknya amwal (halal),
memiliki tujuan pokok dan adanya kesepakatan.
Rukun akad merupakan prasyarat penting yang harus ada dalam setiap
akad. Tidak adanya salah satu unsur dalam rukun akad tersebut dapat
mengakibatkan batalnya suatu akad. Dalam setiap akad syariah, rukun akad
yang harus ada adalah: subjek akad (aqid), objek yang diperjanjikan (al-ma’qud),
11
dan sepakat yang dinyatakan (shighatul ‘aqad atau lebih dikenal dengan Ijab
Qabul).
Syarat akad merupakan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu akad.
Seperti halnya syarat sah perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Barat, syarat pelaksanaan akad meliputi:
 Syarat subyektif atau pihak-pihak yang melaksanakan akad.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, subyek akad harus “cakap”
untuk melakukan perbuatan hukum dan sepakat untuk membuat suatu
akad.
 Syarat obyektif, atau syarat atas objek yang diperjanjikan dalam akad.
Dalam setiap akad, objek yang diperjanjikan harus amwal (halal).
Selain itu, objek harus merupakan barang yang secara prinsip sudah
dimiliki oleh pihak yang akan menyerahkan/menjualnya.
Pada akad syariah, penghimpunan dan penyaluran dana dilarang
mengandung unsur MAGHRIB, yaitu: MAisir (spekulasi atau judi), GHarar (tipu
muslihat), RIba (bunga) dan Bathil (kejahatan).
b. Prinsip-prinsip Akad
Berdasarkan telaah terhadap dalil-dalil al-Qur’an, Hadits maupun hasil
ijtihad para ulama, didapati banyak prinsip-prinsip akad dalam Syariat Islam. Ini
adalah daftar prinsip-prinsip akad Syariat:
 Sukarela (ikhtiyari)
 Menepati janji (amanah)
 Kehati-hatian (ikhtiyati)
 Tidak berubah (luzum)
 Saling menguntungkan
 Kesetaraan (taswiyah)
 Transparansi
 Kemampuan
 Kemudahan
 Iktikad baik
 Sebab yang halal
Sebagian besar sama dengan prinsip-prinsip dalam akad konvensional
(non-Islami), meskipun ada yang membedakan secara signifikan antara akad
Syariat dengan akad konvensional. Di antara perbedaan akad Syariat dengan
perjanjian konvensional adalah:
1) Tidak berubah (konstan). Yang dimaksud tidak berubah di sini adalah
nilai objek jual belinya (dalam hal perjanjian jual beli atau proporsi
bagi hasil [nisbah] dalam hal perjanjian kerja sama bagi hasil). Pada
konsep dasarnya, prinsip syariah tidak menganggap uang sebagai
komoditas. Oleh karena itu, tidak dikenal adanya prinsip time value of
money. Jadi, uang Rp. 1.000.000 pada hari ini dan uang Rp. 1.000.000
pada tiga tahun lagi, nilainya tetap sama. Dalam bank konvensional
uang Rp. 1.000.000 pada hari ini berbeda nilainya dengan uang Rp.
12
1.000.000 pada tiga tahun agi. Ini terjadi karena adanya konsep
“bunga”. Artinya, apabila tingkat bunga 10% per tahun, uang Rp.
1.000.000 pada hari ini nilainya sama dengan Rp. 1.300.000 pada tiga
tahun lagi (ditambah bunganya 30%).
Yenni adalah seorang pedagang mobil yang menjual mobil-mobilnya
baik secara tunai maupun kredit. Suatu hari, Putri membeli sebuah
mobil Marcedes Benz tahun 2010 warna hitam metalik dari Yenni
seharga Rp. 800 juta. Pada saat itu, Putri tidak memiliki uang tunai,
tetapi mampu membeli secara cicilan. Oleh karena itu, Putri memiliki
dua pilihan untuk membiayai keinginannya memiliki mobil. Pertama,
dia bisa menghubungi bank konvensional untuk meminta kredit
kepemilikan mobil. Atau pilihan kedua, menghubungi bank syariah
untuk membelikan mobil tersebut dan selanjutnya Putri akan membeli
mobil itu dengan cara pembayaran cicilan kepada bank syariah.
Apabila pembelian mobil tersebut dibiayai bank konvensional, Putri
harus membayar Rp. 800 juta ditambah bunga. Besarnya bunga
bergantung pada lamanya periode pembayaran cicilan. Semakin lama
periode cicilan, maka bunganya akan semakin besar. Dalam hal
bunganya 10% per tahun, apabila periode pembayaran cicilan 1 tahun,
total harga mobil adalah Rp. 880 juta. Apabila periode pembayaran
cicilan 2 tahun, total harga mobil adalah Rp. 960 juta. Apabila periode
pembayaran cicilan 3 tahun, total harga mobil adalah Rp. 1.040 milyar.
Dan seterusnya.
Sementara dalam konsep syariah, jika Putri membeli dengan cara
cicilan, harga yang harus dibayar Putri jumlahnya tetap (misalnya) Rp.
900 juta, yaitu harga mobil Rp. 800 juta ditambah laba bank Rp. 100
juta. Periode cicilan (jangka waktu pembayaran cicilan), apakah 1
tahun, 2 tahun, 3 tahun atau 4 tahun, tidak memengaruhi jumlah
pembayaran cicilan, yaitu Rp. 900 juta. Periode pembayaran cicilan
bergantung pada kesepakatan antara Putri sebagai nasabah dengan
bank syariah.
2) Transparan. Transparan artinya tidak ada tipu muslihat, semua hak
dan kewajiban masing-masing pihak diungkap secara tegas dan jelas
dalam akad perjanjian. Pengungkapan hak da kewajiban ini terutama
yang berhubungan dengan risiko yang mungkin akan dihadapi masing-
masing pihak. Dalam kasus Putri, bank syariah (sebagai penjual) harus
menyebutkan di awal perjanjian bahwa harga pokok mobilnya sebesar
Rp. 800 juta dan margin keuntungan yang diambil bank sebesar Rp.
100 juta. Hal seperti itu harus dinyatakan dalam akad. Misalnya, pada
akad murabahah, bank syariah selaku penjual harus menyebutkan
berapa harga pokok barang yang ditransaksikan dan berapa besar
margin keuntungannya.
13
BAB II
SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM
A. JUAL BELI
1. Pengenalan Istilah
Mengutip pendapat Wahbah al-Zuhailî, definisi jual beli secara bahasa adalah
proses tukar menukar barang dengan barang ( َُّٔ‫ك‬َ‫ب‬‫ا‬ًّّٕٔ١َ‫ش‬ٍِٝ٧ِ‫ب‬َ‫ص‬ٍِٝ٧ ).
Secara terminologi, jual beli menurut ulama Hanafi adalah tukar-menukar maal
(barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara tertentu. Atau, tukar
menukar barang yang bernilai dengan semacamnya dengan cara yang sah dan
khusus, yakni ijab-qabul atau mu’atha (tanpa ijab qabul). Dengan demikian, jual beli
satu dirham dengan satu dirham tidak termasuk jual beli, karena tidak sah. Begitu
pula, jual beli seperti bangkai, debu dan darah tidak sah, karena ia termasuk jual beli
barang yang tidak disenangi.
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengatakan bahwa jual beli adalah tukar-
menukar barang dengan barang, dengan maksud memberi kepemilikan.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni mendefinisikan jual beli dengan tukar-
menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima
hak milik.
Kata bay’ (jual beli) adalah pecahan dari kata baa’un (barang), karena masing-
masing pembeli dan penjual menyediakan barangnya dengan maksud memberi dan
menerima. Kemungkinan juga, karena keduanya berjabat tangan dengan yang lain.
Atas dasar itulah, jual beli (bay’) dinamakan syafaqah yang artinya transaksi yang
ditandai dengan jabat tangan.
Maksud dari maal (harta dan barang) itu sendiri, menurut ulama Hanafi, adalah
segala sesuatu yang disukai oleh tabiat manusia dan bisa disimpan sampai waktu
dibutuhkan. Sedangkan standar sesuatu itu disebut maal adalah ketika semua orang
atau sebagian dari mereka memperkaya diri dengan maal tersebut.
Ahmad Musthafa az-Zarqa mengkritik definisi maal di atas, lalu menggantinya
dengan definisi yang lain, yaitu maal adalah semua barang yang memiliki nilai
meterial menurut orang. Berdasarkan hal inilah maka menurut ulama Hanafi,
manfaat dan hak-hak tidak termasuk kategori maal (harta), sementara bagi
mayoritas ahli fikih, hak dan manfaat termasuk harta yang bernilai. Pasalnya,
menurut mayoritas ulama, tujuan akhir dari kepemilikan barang adalah manfaat
yang ditimbulkannya.
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
1) Al-Baqarah: 275
(٠‫يبكس‬‫ا‬:971)
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
14
2) Al-Baqarah: 282

(٠‫يبكس‬‫ا‬:989)
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.
3) Al-Baqarah: 198
(٠‫يبكس‬‫ا‬:698)
198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu.
4) Al-Nisa’: 29

(٤‫يٓطا‬‫ا‬:99)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
b. Dalil Hadits
ًََّ‫ص‬ ِ‫هلل‬‫ا‬ ٍُُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٌَِ٦ُ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ّٔ٠َ‫د‬ِ‫س‬ُ‫ب‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ٌُّّٕ‫ن‬ َٚ ِِٙ‫د‬َِٝ‫ب‬ ٌُِ‫د‬َّ‫يس‬‫ا‬ ٌََُُ‫ع‬ :ٍَ‫قا‬ ‫ُ؟‬ٌَ‫ط‬ّٖ‫ّٔف‬‫أ‬ ِّٚٔ‫أ‬ ُ‫ب‬َّٖٝ‫ّٔط‬‫أ‬ ِ‫ب‬ِ‫ط‬ّٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُّّٟٔ‫أ‬ :ًَََِّ‫ض‬ َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢
ِ‫ى‬َ‫ز‬ِ‫د‬َ‫ت‬ِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِٞ‫ف‬ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( ٍ‫ز‬ُِٚ‫س‬ِ‫ب‬ََ ٍ‫ع‬َِٝ‫ب‬ِٕ‫َا‬ُِِٜ‫إل‬‫ا‬ ِ‫ب‬ُ‫ع‬ُ‫ش‬ ِٞ‫ف‬ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ.)
Diriwayatkan dari Abu Burdah yang berkata: Rasulullah SAW ditanya, apakah pekerjaan
yang paling bagus atau paling utama?. Beliau bersabda: “Orang yang berwiraswasta
dan setiap jual beli yang baik *yakni tidak disertai unsur penipuan dan khianat+”. [HR.
Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Syu’ub al-Iman].
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ َّ٣ِ‫ز‬ِ‫د‬ُ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫د‬ِٝ‫ع‬َ‫ض‬ ‫َا‬‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّْ٢َِْ‫د‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫ح‬ِ‫ي‬‫ا‬َ‫ص‬ ِِٔ‫ب‬ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬ َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-:
ٍ‫ض‬‫َا‬‫س‬َ‫ت‬ َِٔ‫ع‬ ُ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬َُِّْ‫إ‬.)ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .
Dari Dawud bin Shalih al-Madani dari ayahnya yang berkata: Saya mendengar Abu Sa’id
al-Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan
suka sama suka”. *HR. Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah].
c. Ijma’
Kaum muslimin sepakat atas bolehnya melakukan jual beli dan kebijakan
memang mengharuskan adanya aktivitas jual beli ini, karena kebutuhan
manusia sehari-hari pada umumnya bergantung pada apa yang ada di tangan
kawannya, sedangkan kawan tersebut tidak memberikannya dengan cuma-
cuma kepada rekannya. Maka di dalam pensyariatan jual beli, terdapat sarana
15
yang sah untuk menggapai tujuan dengan cara yang sah, tanpa menzhalimi
orang lain.
d. Pendapat Ulama
Imam Syafi’i berkata: “Hukum asal seluruh jual beli adalah mubah, jika
disertai dengan kerelaan kedua belah pihak (penjual-pembeli) atas apa yang
mereka perjual-belikan, kecuali apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Jual beli
yang tercakup dalam larangan Rasulullah SAW, berarti hukumnya haram;
sedangkan jual beli yang tidak tercakup dalam larangan Rasulullah SAW, berarti
hukumnya mubah, atas dasar kebolehan jual beli yang disebutkan dalam
Kitabullah (al-Qur’an)”.
3. Teori
a. Rukun Jual Beli
Secara ringkas, ada tiga rukun jual beli menurut jumhur ulama (selain
Hanafiyah):
1) Orang yang berakad (ُ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬ّٖ‫ي‬‫ا‬): Meliputi Penjual (ُ‫ع‬ِ٥‫ا‬َ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬) dan Pembeli (ِِٟ‫س‬َ‫ت‬ِ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬)
2) Objek akad (ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ُ‫د‬ِّٕٛ‫ك‬ِ‫ع‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬): Meliputi Harga (ََُْٔ‫ث‬) dan Barang (ُٔ‫)َج‬
3) Pernyataan kesepakatan akad (١َ‫ػ‬ِّْٝ‫يص‬‫ا‬): Meliputi Penyerahan pihak
penjual (ُ‫ب‬‫َا‬‫ذ‬ِٜ‫إل‬‫)ا‬ dan Penerimaan pihak pembeli (ٍُُِٛ‫ب‬ّٔ‫ك‬ّٖ‫ي‬‫ا‬).
b. Jual Beli yang Diperselisihkan Hukumnya
Di antara bentuk jual beli yang masih diperselisihkan hukumnya di
kalangan ulama adalah jual beli Mu’athah (ّٕ١ّٔ‫ط‬‫َا‬‫ع‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬).
Pengertian jual beli Mu’athah adalah kedua pihak yang berakad sepakat
atas harga dan barang yang diperjual-belikan, kemudian saling serah-terima
tanpa disertai Ijab-Qabul; meskipun terkadang ada yang salah satu pihak yang
mengucapkannya. Contoh: Seorang pembeli mengambil barang dagangan,
kemudian dia menyerahkan uang kepada penjual; atau seorang penjual
menyerahkan barang dagangan kepada pembeli, lalu pembeli itu menyerahkan
uang kepadanya tanpa disertai kata-kata maupun isyarat; baik barang yang
diperdagangkan itu remeh-temeh (semisal jajanan) maupun berharga (barang
elektronik).
Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli Mu’athah ini. Berikut
ringkasan pendapat mereka:
1) Menurut pandangan yang unggul dalam madzhab Hanafi, Maliki dan
Hambali, jual beli Mu’athah hukumnya sah, apabila memang sudah
menjadi adat kebiasaan, yang menunjukkan kerelaan sekaligus
mewakili keinginan masing-masing pihak yang berakad. Jual beli
dinilai sah dengan segala hal yang menunjukkan adanya kerelaan,
karena sepanjang sejarah, umat manusia telah mempraktikkan jual beli
Mu’athah ini di pasar-pasar, dan tidak ada yang mengingkarinya.
16
2) Menurut sebagian madzhab Syafi’i, akad itu disyaratkan dengan
redaksi yang jelas; dengan Ijab dan Qabul; sehingga jual beli Mu’athah
hukumnya tidak sah, baik barang yang diperdagangkan itu remeh-
temeh maupun berharga. Karena Rasulullah SAW menyatakan bahwa
jual beli itu harus atas dasar kerelaan (‘an taradhin). Sedangkan
kerelaan itu merupakan sesuatu yang abstrak atau samar, sehingga
harus dibuktikan melalui pelafalan Ijab dan Qabul.
3) Menurut sebagian Syafi’iiyyah, seperti al-Nawawi, al-Baghawi dan al-
Mutawalli, jual beli Mu’athah hukumnya sah dalam setiap akad jual
beli, karena memang tidak ada ketentuan tegas yang mengharuskan
disertai dengan pelafalan (Ijab-Qabul). Jadi, permasalahan ini
dikembalikan lagi pada ‘Urf (adat kebiasaan masyarakat yang tidak
bertentangan dengan Syariat). Imam Nawawi berkata: “Ini adalah
pendapat yang terpilih untuk difatwakan”.
4) Menurut sebagian Syafi’iyyah lain, seperti Ibn Suraij dan al-Rawyani,
mengkhususkan kebolehan jual beli Mu’athah pada barang-barang
yang remeh-temeh. Sedangkan dalam jual beli barang-barang yang
berharga, hukumnya tidak sah.
c. Jual Beli yang Diharamkan
1) Jual beli secara gharar (penipuan)
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٢ََْٗ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫ز‬َ‫س‬َ‫ػ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َِٔ‫ع‬َٚ ِ٠‫َا‬‫ص‬َ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َِٔ‫ع‬
َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ َُِِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬.ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬
.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬
Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan
melemparkan kerikil (yakni jual beli dengan cara melempari barang yang dijual
dengan kerikil) dan jual beli dengan penipuan”. *HR. Muslim, Abu Dawud, al-
Nasa’i, al-Nasa’i, al-Darimi, al-Daruquthni, Malik, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi,
al-Thabarani dan Ibn Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Hadits riwayat Abu Hurairah
ini adalah Hadits Hasan Shahih].
Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim-nya: “Adapun
larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian
banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli. Oleh karena itu, Imam
Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul
Buyu’, yang dapat dimasukkan di dalamnya berbagai permasalahan yang
amat banyak tanpa batas, seperti jual beli budak yang kabur, jual beli
barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang
yang tidak dapat diserah-terimakan, jual beli barang yang belum menjadi
hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli
air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di
dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam
keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu
17
pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara
sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan,
semua jual beli itu bathil, karena bersifat gharar tanpa ada keperluan yang
mendesak”.
2) Jual beli barang najis – semisal khamar –
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ِ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫د‬ َِٔ‫ع‬-‫َا‬َُُِٗٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬-ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َ‫ع‬َُِ‫ض‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ََِٖٛٚ ِ‫ح‬ِ‫ت‬ّٔ‫ف‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َّ‫َا‬‫ع‬ ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ
ََّّ‫َس‬‫ح‬ ُّ٘ٔ‫ي‬ُٛ‫ض‬َ‫ز‬َٚ ًََّ٘‫ي‬‫ا‬ َِّٕ‫إ‬ :ّٔ١َّ‫َه‬ُِ‫ب‬ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ َٚ ُِّٟ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫س‬َُِ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬َِٝ‫ب‬
ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٍ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫د‬ ُ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬.)
Jabir bin ‘Abdillah RA meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW
bersabda pada tahun Fathul Makkah, ketika beliau sedang berada di Makkah:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar”. *HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihai,
al-Thabarani dan Ibn Abi Syaibah. Abu Isa berkata: “Hadits Jabir ini adalah Hadits
Hasan Shahih].
d. Jual Beli yang Dimakruhkan
Contoh jual beli yang dimakruhkan (makruh tahrim) adalah jual beli yang
dilakukan oleh laki-laki mukallaf pada saat adzan jum’at sudah berkumandang

(١‫اجلُع‬:9)
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
B. KHIYAR
1. Pengenalan Istilah
Khiyar dari segi bahasa bermakna mencari hal yang terbaik dari dua perkara
atau lebih. Khiyar menurut istilah adalah pihak yang berakad memiliki hak untuk
melangsungkan atau membatalkan akad.
Wahbah al-Zuhailî menyatakan bahwa pengertian khiyar adalah orang yang
berakad memiliki hak untuk melanjutkan ataupun membatalkan akad, jika khiyar
yang dimaksud adalah khiyar syarat, khiyar ru’yah atau khiyar ‘aib; atau orang yang
berakad diperkenankan untuk memilih salah satu dari barang yang diperjual-belikan,
jika khiyar yang dimaksud adalah khiyar ta’yin.
Hikmah diadakannya khiyar dalam akad adalah menegaskan keridhaan kedua
pelaku akad dalam mengadakan dan memberlakukan akad.
Terkadang seseorang, misalnya, membeli barang dagangan dan tidak melihat
adanya cacat ketika sedang berakad, kemudian tampak adanya cacat setelah itu.
Untuk keadilan, maka pembeli itu diberikan khiyar (hak menentukan pilihan) untuk
membatalkan atau mempertahankan akad.
18
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
Penyusun tidak mendapati dalil ayat al-Qur’an yang secara langsung
menjadi dasar hukum khiyar.
b. Dalil Hadits
َِٔ‫ع‬َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬-َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ّٕ‫هلل‬‫ا‬َ‫ع‬َُُِٓٗ‫ا‬-ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬-َ‫ص‬ًَّّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢َ‫ع‬ًََِِّٔٝ٘ٚ‫ض‬ًََِّ-َ‫ب‬َ‫ت‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ٍ‫د‬ِ‫ح‬‫َا‬ٚ ٌُّّٕ‫ن‬ ِٕ‫َا‬‫ع‬ِٜ‫ا‬
.ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ،‫ّٔا‬‫ق‬َّ‫ّٔس‬‫ف‬َ‫ت‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫ب‬ ‫َا‬َُُُِِِّٟٗٓ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬(ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬ََُٚ
‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ.)ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Penjual dan pembeli, masing-masing terikat khiyar atas rekannya, selama
keduanya belum perpisah [dari tempat akad]; kecuali jual beli khiyar [yakni
sudah disepakati adanya khiyar dalam jual beli yang dilangsungkan, maka khiyar
harus dipenuhi]” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Malik, Ahmad, Ibn
Hibban, al-Baihaqi, al-Daruquthni dan al-Thabarani].
ِ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ِّْٔ‫أل‬‫ا‬ ََِٔ ّٗ‫ُال‬‫د‬َ‫ز‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٢ّٔ‫ي‬ِ‫إ‬ ّٕٛ‫ه‬ِ‫ص‬َٜ ّ٘١َ‫ث‬ِّٛٔ‫ي‬ ِِْ٘‫ا‬َ‫ط‬ًِِ‫ب‬ ِ‫ت‬َْ‫ا‬ّٔ‫ن‬َٚ-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-:
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ُّ٘ٔ‫ي‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ َُٔ‫ب‬ِ‫ػ‬ُٜ ٍُ‫َا‬‫ص‬َٜ ّٔ‫ال‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ِ‫ب‬ َ‫ت‬ِّْٔ‫أ‬ َُِّ‫ث‬ ّٔ١َ‫ب‬ّٔ‫ال‬ِ‫خ‬ ّٔ‫ال‬ ٌِّٔ‫ك‬ّٔ‫ف‬ َ‫ت‬ِ‫ع‬َٜ‫ا‬َ‫ب‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ :ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬
ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬ِ‫إ‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫د‬ُ‫د‬ِ‫ز‬‫ّٔا‬‫ف‬ َ‫ت‬ِّّٖٓ‫خ‬َ‫ض‬ ِِٕ‫إ‬َٚ ّٖ‫ِو‬‫ط‬َِّٔ‫أ‬ّٔ‫ف‬ َ‫ت‬ِٝ‫ض‬َ‫ز‬ ِِٕ‫إ‬ّٔ‫ف‬ ٍٍ‫َا‬ّٝٔ‫ي‬ َ‫خ‬ّٔ‫ال‬َ‫ث‬ ‫َا‬َٗ‫ت‬ِ‫ع‬َ‫ت‬ِ‫ب‬‫ا‬ ٍ١َ‫ع‬ًِّٖ‫ض‬ ٌّّْٕ‫ن‬ ٢ِ‫ف‬ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ
.)ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar RA yang berkata: Saya mendengar bahwa
ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang gagap bicaranya, melapor kepada
Rasulullah SAW bahwasanya dia terus-menerus ditipu ketika jual beli. Maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Jika engkau berjual beli, maka katakan,
‘tidak boleh ada penipuan’. Selanjutnya engkau boleh khiyar dalam setiap barang
yang engkau beli selama tiga hari. Jika engkau rela, maka tahanlah barang itu;
dan jika engkau tidak berkenan, maka kembalikanlah” *HR. Ibn Majah, al-Baihaqi,
al-Daruquthni dan Ibn Abi Syaibah].
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ٍ‫س‬َِ‫َا‬‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ّٔ١َ‫ب‬ّٖ‫ُك‬‫ع‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ًٍِِِ‫ط‬ُُِ‫ي‬ ٌُِّ‫خ‬َٜ ّٔ‫ال‬َٚ ًِِِِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٛ‫خ‬ّٔ‫أ‬ ًُِِِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ
َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬ِ‫إ‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ُّ٘ٔ‫ي‬ َََُّ٘ٓٝ‫ب‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ْ‫ب‬َِٝ‫ع‬ ِِ٘ٝ‫ف‬ ‫ّا‬‫ع‬َِٝ‫ب‬ ِِ٘ٝ‫خ‬ّٔ‫أ‬ َِِٔ َ‫ع‬‫َا‬‫ب‬ْ‫ح‬ِِٝ‫خ‬َ‫ص‬ ْ‫ح‬ِِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ :ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬
.)َِِٔٝ‫خ‬َِّٝ‫يص‬‫ا‬ ِ‫ط‬ِ‫س‬َ‫ش‬ ٢ًَّٔ‫ع‬
‘Uqbah bin ‘Amir berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seorang
muslim adalah suadara muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim untuk
menjual kepada saudaranya, sesuatu yang mengandung cacat (aib), kecuali dia
menjelaskannya (terlebih dahulu). [HR. Ibn Majah, al-Baihaqi dan al-Hakim. Al-
Hakim berkata: Ini adalah Hadits Shahih menurut syarat (kriteria) Imam Bukhari
dan Muslim].
19
3. Teori
a. Jenis-jenis Khiyar
Wahbah al-Zuhailî menyatakan bahwa khiyar itu ada 17 macam. Namun
secara garis besar diringkas menjadi 5 macam: Khiyar Majlis, Khiyar Ta’yin,
Khiyar Syarat, Khiyar Ru’yah dan Khiyar ‘Aib. Berikut penjelasan detailnya:
1) Khiyar Majlis
Yaitu masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad memiliki
hak untuk membatalkan akad selama masih di tempat (majlis) akad dan
selama keduanya belum berpisah; atau salah satu pihak menawarkan
khiyar kepada pihak lainnya, lalu dia memilih untuk melanjutkan akad.
Ini artinya, akad baru dinilai sah (berlaku) seiring berakhirnya tempat
akad, entah dengan perpisahan antara kedua belah pihak yang berakad
maupun sudah ada kepastian khiyar antara melanjutkan atau membatalkan.
Adapun batasan ‘perpisahan’ antara kedua belah pihak didasarkan
pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat ketika menjalani transaksi
muamalah.
2) Khiyar Ta’yin
Yaitu orang yang berakad memiliki hak untuk menentukan salah satu
di antara tiga barang yang berbeda dari segi harga dan sifat yang
disebutkan ketika akad. Jika sudah ditentukan salah satunya, maka tempat
akad dapat diketahui setelah sebelumnya masih samar.
Misalnya: seorang penjual berkata kepada calon pembeli: “Saya jual
kepadamu salah satu dari dua baju ini – dan penjual menentukan harga
masing-masing baju – tetapi kamu harus menentukan baju yang hendak
kamu beli dalam waktu dua hari”. Lalu calon pembeli itu menjawab: “Saya
terima”. Berdasarkan Khiyar Ta’yin ini, pembeli berhak memilih salah satu
baju dan menjadikannya sebagai objek akad dengan harga yang telah
ditentukan untuknya.
3) Khiyar Syarat
Khiyar Syarat adalah khiyar milik salah satu pelaku akad, atau
keduanya, atau selain keduanya dalam mempertahankan akad atau
membatalkannya dalam jangka waktu tertentu. Khiyar ini dimiliki pelaku
akad dengan mensyaratkannya untuk dirinya atau pelaku lain
mensyaratkannya untuk dirinya. Misalnya: Penjual berkata kepada
pembeli: “Aku jual kudaku ini dan engkau memiliki hak khiyar selama tiga
hari”. Sebab adanya khiyar ini adalah disyaratkannya pada waktu akad oleh
salah satu pelaku akad. Karena itu, ia dinamakan khiyar syarat, yaitu khiyar
yang sebabnya adalah syarat.
Jangka waktu khiyar ini adalah tiga hari atau kurang. Ini adalah
pendapat mazhab Syafi’i dan Hanafi. Alasan pendapat ini adalah hadits yang
menjelaskan jangka waktu itu, karena khiyar syarat bertentangan dengan
konsekuensi akad yaitu mengikat, sehingga terbatasi dengan batas waktu
yang ditetapkan oleh nash, yatu tiga hari.
20
Khiyar Syarat dapat dilakukan pada akad-akad yang mengikat (lazim)
dan bisa dibatalkan, seperti jual beli dan sewa; namun tidak boleh
dilakukan pada akad-akad yang mengikat, yang tidak bisa dibatalkan,
seperti pernikahan dan perceraian. Begitu juga khiyar syarat tidak berlaku
pada akad yang tidak mengikat, seperti wadi’ah dan ‘ariyah.
4) Khiyar Ru’yah
Hak yang ditetapkan berdasarkan ketentukan Khiyar Ru’yah ini
dimiliki oleh salah satu pelaku akad untuk membatalkan atau meneruskan
akad menurut penglihatannya pada objek akad, jika ia tidak melihatnya
pada waktu akad atau sebelumnya, dalam waktu yang tidak terjadi
perubahan dalam akad.
Jika Anda membeli mobil dan Anda tidak melihatnya, maka Anda
memiliki Khiyar Ru’yah ketika melihatnya, antara membatalkan atau
meneruskan akad. Dalam hal ini tidak disyaratkan melihat seluruh objek
akad, jika melihat sebagian objek akad telah memberikan pengetahuan
yang memadai terkait objek akad tersebut.
5) Khiyar ‘Aib
Khiyar ‘Aib adalah hak yang dimiliki penerima pengalihan milik (yakni
pembeli) untuk membatalkan akad atau mempertahankannya karena aib
(cacat) yang ia dapati dalam kepemilikannya.
Cacat atau aib pada benda yang diakadkan yang mengakibatkan Khiyar
‘Aib adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga bagi para
pedagang atau orang-orang yang ahli di bidangnya; atau aib yang menurut
norma yang sehat dinilai bahwa benda yang diakadkan tidak terbebas dari
cacat; atau aib yang menghilangkan tujuan pada benda, dan hal itu
mengakibatkan berkurangnya nilai benda yang diakadkan.
C. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH (HARVEST-YIELD PROFIT SHARING)
1. Pengenalan Istilah
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari
hasil panen.
Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan Mukhabarah. Di antara keduanya
terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
 Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
 Mukhabarah : benih dari penggarap
Pendapat lain menyatakan bahwa secara bahasa, kata Muzara’ah berarti
kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut
istilah, pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan
syarat bagi hasil atau semisalnya.
21
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
Penyusun tidak mendapati dalil al-Qur’an yang secara tegas menjadi dasar
hukum akad Muzara’ah maupun Mukhabarah.
b. Dalil Hadits
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ٍ‫س‬‫َّا‬‫َب‬‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ِّٕٔ‫أ‬ َ‫س‬ََّٔ‫أ‬ ِِٔ‫ه‬ّٔ‫ي‬َٚ ّٔ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِّّْ‫َس‬‫خ‬ُٜ ِِّٔ‫ي‬ُٙ‫َا‬ََٚ‫ز‬( .ٍ‫ض‬ِ‫ع‬َ‫ب‬ِ‫ب‬ ُُِِٗ‫ط‬ِ‫ع‬َ‫ب‬ َ‫ل‬ّٕ‫ف‬ِ‫س‬َٜ
.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬
Ibn ‘Abbas RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW tidak mengharam-kan
Muzara’ah, akan tetapi beliau memerintahkan agar sebagian ... pada sebagian
yang lain. [HR. Al-Tirmidzi, al-Baihaqi dan al-Thabarani. Abu ‘Isa berkata: Ini
adalah Hadits Hasan Shahih].
َ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ُٙ‫َا‬ّٖٓ‫ي‬ّٔ‫أ‬َ‫ط‬ّٔ‫ف‬ ٌٍِ‫ك‬ِ‫ع‬ََ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ‫َا‬ًَّٖٓ‫خ‬َ‫د‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِ‫ب‬ِ٥‫ا‬َّ‫يط‬‫ا‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ْ‫ت‬ِ‫ب‬‫َا‬‫ث‬ ََِ‫ع‬َ‫ش‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ ِ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫ا‬
-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ َُِِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬ِٗ‫ب‬ َ‫س‬ّٖ‫َأ‬‫ب‬ ّٔ‫ال‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ِ٠َ‫س‬َ‫د‬‫َا‬‫ؤ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫ب‬ َ‫س‬ََّٔ‫أ‬َٚ ِ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ٢ََْٗ
َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ.)ُِّْٞ‫ا‬
Abdullah bin al-Sa’ib berkata: Kami mendatangi Abdullah bin Ma’qil, lalu bertanya
kepadanya tentang Muzara’ah. Lalu dia menjawab: Tsabit menduga bahwasanya
Rasulullah SAW melarang Muzara’ah dan memerintahkan Mu’ajarah. Dan Abdullah
bin Ma’qil berkata: Muzara’ah itu tidak mengapa. *HR. Muslim, al-Darimi, Ahmad,
Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Thabarani].
َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِِٙ‫ر‬َٖ َ‫ت‬ّٖ‫َن‬‫س‬َ‫ت‬ ِّٛٔ‫ي‬ َُِِٔ‫ح‬َّ‫يس‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ‫َا‬‫ب‬ّٔ‫أ‬ ‫َا‬ٜ ُّ٘ٔ‫ي‬ ُ‫ت‬ًّّٖٕ‫ك‬ّٔ‫ف‬ ْٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ُ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُٜ َٕ‫ّٔا‬‫ن‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬ ٍ‫س‬ُٚ‫ّٔا‬‫ط‬ َِٔ‫ع‬ُ‫ع‬ِ‫ص‬َٜ َُِِِّْٗ‫إ‬ّٔ‫ف‬ ّٔ٠َ‫س‬َّ٢ِ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َّّٕٔ‫أ‬ َُُٕٛ-
ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-َّ٢ِ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َّّٕٔ‫أ‬ ٍ‫س‬‫َّا‬‫َب‬‫ع‬ َِٔ‫ب‬‫ا‬ ٢ِِٓ‫ع‬َٜ ّٔ‫و‬ِ‫ي‬َ‫ر‬ِ‫ب‬ ًُُُِِِّٗٔ‫ع‬ّٔ‫أ‬ ٢َِْ‫س‬َ‫ب‬ِ‫خ‬ّٔ‫أ‬ ُٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ِ٣ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ .ِ٠َ‫س‬َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ٢ََْٗ-٢ًََّ‫ص‬
ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬-ُ‫ح‬ََُِٜٓ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ‫َا‬َُِّْ‫إ‬ ‫َا‬َِٗٓ‫ع‬ ََِٜ٘ٓ ِِّٔ‫ي‬.‫ّا‬ًَِّٕٛ‫ع‬ََ ‫ّا‬‫د‬ِ‫س‬َ‫خ‬ ‫َا‬ًَِّٗٝٔ‫ع‬ َ‫ر‬ُ‫خ‬ّٖ‫َأ‬ٜ ِّٕٔ‫أ‬ َِِٔ ُّ٘ٔ‫ي‬ ْ‫س‬َِٝ‫خ‬ ُٙ‫َا‬‫خ‬ّٔ‫أ‬ ِِّٕ‫ن‬ُ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬(
.)ًُِِِ‫ط‬َُ
Thawus meriwayatkan bahwasanya dia mempraktikkan Mukhabarah. ‘Amr
berkata: Saya berkata kepadanya: Wahai ‘Abdurrahman, sebaiknya engkau
meninggalkan praktik Mukhabarah ini, karena sesungguhnya para Sahabat
menduga bahwasanya Nabi SAW melarang Mukhabarah. ‘Amr menjawab: Saya
telah mendapatkan kabar dari orang yang paling alim di antara para Sahabat,
yakni Ibn ‘Abbas, bahwasanya Nabi SAW tidak melarang Mukhabarah. Hanya saja
Nabi SAW bersabda: Pemberian seseorang kepada saudaranya itu lebih baik
daripada mengambil bagian yang sudah ditentukan. [HR. Muslim].
3. Teori
Imam Bukhari menulis: “Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia
berkata: “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi
hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan
22
Muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, al-
Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga ‘Al dan Ibn Sirin.
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau
oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Imam Bukhari menuturkan: “Umar pernah memperkerjakan orang-orang untuk
menggarap tanah dengan ketentuan: jika Umar yang memiliki benih, maka ia
mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya, maka
mreka mendapatkan begitu juga”. Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan: “al-Hasan
menegaskan, ‘Tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di
antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan,
kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat al-Zuhri”.
D. MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN PORTION
OF YIELD)
1. Pengenalan Istilah
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Musaqah adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang
sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari
hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
Penyusun tidak mendapati dalil al-Qur’an yang secara tegas menjadi dasar
hukum akad Musaqah.
23
b. Dalil Hadits
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ٍ‫ع‬ِ‫ز‬َ‫ش‬ ِّٚٔ‫أ‬ ٍ‫س‬ََُ‫ث‬ َِِٔ ‫َا‬َِِٗٓ ُ‫ج‬ُ‫س‬ِ‫خ‬َٜ ‫َا‬َ ِ‫س‬َّّٖٓ‫ص‬ِ‫ب‬ َ‫س‬َ‫ب‬َِٝ‫خ‬ ٌَِّٖٔ‫أ‬ ٌَََ‫َا‬‫ع‬
‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َِٚ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬َُْٚٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ٝ
.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬
Ibn ‘Umar meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk
Khaibar dengan memberi (bagian) setengah dari hasil panen, baik berupa buah-buahan
maupun pertanian. [HR. Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Bahaqi,
al-Daruquthni dan Ibn Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih+.
ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-َ‫ز‬َُِ٘ٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬-ّْ٢ِ‫ب‬ًَِّٓ‫ي‬ ُ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ِّْٔ‫أل‬‫ا‬ ِ‫ت‬ّٔ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ق‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-.ٌَِٝ‫خ‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬ِْٓ‫ا‬َِٛ‫خ‬ِ‫إ‬ ََِٔٝ‫ب‬َٚ ‫َا‬ََِٓٓٝ‫ب‬ ِِِ‫ط‬ّٖ‫ّٔق‬‫ا‬ :
.‫َا‬ِٓ‫ع‬ّٔ‫ط‬ّٔ‫أ‬َٚ ‫َا‬ِٓ‫ع‬َُِ‫ض‬ ‫ّٕٛا‬‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ق‬ .ِ٠َ‫س‬ََُّ‫يج‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ ِِّٕ‫ه‬ّٕ‫ن‬ِ‫س‬ِ‫ص‬َُْٚ ّٔ١َُْٛ٦َُّٖ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬ّْٕٛ‫ف‬ّٖ‫َه‬‫ت‬ :‫ّٕٛا‬‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ك‬ّٔ‫ف‬ .ّٔ‫ال‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬(
.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ
Abu Hurairah RA berkata: Kaum Anshar berkata kepada Nabi SAW: “Bagilah pohon
kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami”. Nabi SAW menjawab: “Tidak”.
Kemudian mereka berkata: “Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang [HR.
Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Bahaqi, al-Daruquthni dan Ibn
Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih].
c. Dalil Hadits
Para Sahabat, Tabi’in dan imam mazhab sepakat atas kebolehan akad
Musaqah, yakni mengupah buruh untuk menyiram tanaman, menjaga dan
memeliharanya.
3. Teori
Akad Musaqah diperbolehkan terhadap segala pepohonan yang berbuah, seperti
kurma, anggur dan kelapa. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim
(pendapat lama) yang dipilih oleh para Syafi’iyyah Muta’akhkhirin. Sedangkan
menurut Qaul Jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i, akad Musaqah hanya diperkenan-
kan dalam pohon kurma dan anggur saja.
E. SYIRKAH/MUSYARAKAH (PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING
PARTICIPATION)
1. Pengenalan Istilah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
24
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
1) Al-Ma’idah: 2
:٠‫٥د‬‫ا‬‫(امل‬9)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
2) Al-Nisa’: 12
:٤‫يٓطا‬‫ا‬(69)
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu
3) Shad: 24

:‫(ص‬93)
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat
sedikitlah mereka ini".
b. Dalil Hadits
َِٜ‫س‬ُٖ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬‫ي‬‫ا‬ ُ‫ح‬ِ‫ي‬‫ا‬َ‫ث‬ ‫َا‬ّْٔ‫أ‬ ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ ًََّ٘‫ي‬‫ا‬ َِّٕ‫إ‬ :ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬ ِ‫هلل‬‫ا‬ ٍُُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َُِ٘ٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ ّٔ٠َ‫س‬ُِٔ‫خ‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِّٔٝٔ‫ه‬ِٜ‫س‬َّ‫ص‬
َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬َُِِِٗٓٝ‫ب‬ َِِٔ ُ‫ت‬ِ‫د‬َ‫س‬َ‫خ‬ َُْ٘‫ا‬َ‫خ‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ّٔ‫ف‬ َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬‫َا‬‫ر‬ََٖٚ :ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ
.)ِ‫د‬‫َا‬ِٓ‫ض‬ِ‫إل‬‫ا‬ ُ‫ح‬ِِٝ‫خ‬َ‫ص‬ ْ‫ح‬ِِٜ‫د‬َ‫ح‬
Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman:
“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah seorang di
antaranya tidak mengkhianati temannya. Jika dia mengkhianati temannya, maka Aku
keluar dari keduanya”. *HR. Al-Hakim, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Daruquthni. Al-
Hakim berkata: Ini adalah Hadts yang Shahih sanadnya].
ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّْ٢َُِِّٝ‫يت‬‫ا‬ َٕ‫َّا‬َٝ‫ح‬ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫خ‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِّٔٝٔ‫ه‬ِٜ‫س‬َّ‫يص‬‫ا‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ُ‫د‬َٜ :
َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ َٕ‫َا‬‫خ‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ّٔ‫ف‬ َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬.)ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬َُُِٗٓ‫ع‬ ‫َا‬َٗ‫ع‬ّٔ‫ف‬َ‫ز‬
Abu Hayyan al-Taimy meriwayatkan dari ayahnya yang berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Tangan (perlindungan) Allah di atas dua orang yang bersekutu, selama
salah seorang di antaranya tidak mengkhianati temannya. Jika dia mengkhianati
temannya, maka Allah beranjak dari keduanya”. *HR. Al-Daruquthni].
25
3. Teori
a. Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis:
1) Musyarakah Pemilikan. Musyarakah pemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan
satu aset oleh dua orang atau lebih.
2) Musyarakah Akad (Kontrak). Musyarakah akad tercipta dengan cara
kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang
dari mereka memberikan modal Musyarakah. Mereka pun sepakat
berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi
lima: al-‘Inan, al-Mufawadhah, al-A’mal, al-Wujuh, dan al-Mudharabah.
a) Syirkah al-‘Inan. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara
mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana
maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai
dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis
Musyarakah ini.
b) Syirkah al-Mufawadhah. Syirkah al-Mufawadhah adalah kontrak
kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Dengan demikian, syarat utama dari jenis Musyarakah ini adalah
kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
utang dibagi oleh masing-masing pihak.
c) Syirkah A’maal. Syirkah A’maal ini adalah kontrak kerja sama dua
orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua
orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama
dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam
sebuah kantor. Musyarakah A’maal ini kadang-kadang disebut
Musyarakah Abdan atau Sanaa’i.
d) Syirkah Wujuh. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang
atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli
dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka
26
berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan
kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis
Musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian
secara kredit berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak
ini pun lazim disebut sebagai Musyarakah Piutang.
e) Syirkah al-Mudharabah. Syirkah al-Mudharabah ini akan dibahas
pada sesi berikutnya.
27
F. MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
1. Pengenalan Istilah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam Murabahah, penjual harus memberi tahu harga
produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan
harga Rp. 10.000.000, lalu ia menambahkan keuntungan sebesar Rp. 750.000 dan ia
menjual kepada si pembeli dengan harga Rp. 10.750.000. Pada umumnya, si
pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon
pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar
keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau
memang akan dibayar secara angsuran.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa
disebut sebagai Murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab al-Umm,
Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-Aamir bisy-Syira’.
2. Dasar Hukum
3. Teori
Murabahah adalah skema pembiayaan dengan menggunakan metode transaksi
jual beli biasa. Dalam skema murabahah, bank membeli barang dari produsen,
kemudian menjualnya kembali ke nasabah ditambahkan dengan keuntungan yang
disepakati oleh bank dan nasbah.
a. Syarat Murabahah
1) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3) Kontrak harus bebas dari riba.
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian.
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak dipenuhi, pembeli
memiliki pilihan:
1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya,
2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang
yang dijual,
3) Membatalkan kontrak.
28
b. Aplikasi dalam Perbankan
Murabahah KPP umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan
untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri,
seperti melalui Letter of Credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena
sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan
dunia perbankan pada umumnya.
Kalangan perbankan Syariah di Indonesia banyak menggunakan
Murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal
kerja, padahal sebenarnya, Murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan
sekali akad (one short deal). Murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema
modal kerja. Akad Mudharabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini
mengingat prinsip Mudharabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.
c. Contoh Kasus
Putri adalah pengusaha tambang batu bara. Putri membutuhkan 50 unit
truk untuk kegiatan operasional tambangnya. Untuk mendanai pembelian 50
unit truk tersebut, Putri dapat memanfaatkan jasa bank syariah dengan skema
Murabahah.
Pertama-tama, dilakukan akad jual beli antara pengusaha dan bank. Ada
dua hal yang harus dinegosiasikan dalam akad jual beli ini, yaitu harga truk dan
jangka waktu cicilan.
Sebelum proses negosiasi dilangsungkan, pihak bank maupun pengusaha
sudah memiliki informasi harga beli truk dari produsen (dealer), misalnya Rp.
300 juta per unit. Berdasarkan informasi itu, bank dan pengusaha akan
melakukan negosiasi harga yang bersedia dibayar oleh pengusaha pada bank.
Misalnya, pengusaha dan bank setuju harga yang harus dibayar pengusaha
tersebut adalah Rp. 360 juta per unit.
Negosiasi kedua adalah jangka waktu pembayaran cicilan. Jangka waktu
pembayaran cicilan ini harus disepakati sejak awal, karena lamanya jangka
waktu pembayaran cicilan tidak mengubah harga truk yang harus dibayar oleh
pengusaha.
Contohnya:
 Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 1 tahun:
(Rp. 360 juta x 50 unit) : 12 bulan = Rp. 1,5 milyar
Jadi, total pembayaran, Rp. 1,5 milyar x 12 bulan = 18 milyar
 Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 2 tahun:
(Rp. 360 juta x 50 unit) : 24 bulan = Rp. 750 juta
Jadi, total pembayaran, Rp. 750 juta x 24 bulan = 18 milyar
29
 Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 3 tahun:
(Rp. 360 juta x 50 unit) : 36 bulan = Rp. 500 juta
Jadi, total pembayaran, Rp. 500 juta x 36 bulan = 18 milyar
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1) Jangka waktu pembayaran cicilan tidak mempengaruhi total harga
yang disepakati antara pengusaha dan bank, yaitu sebesar Rp. 18
milyar
2) Keuntungan bank dalam membiayai pengadaan truk tersebut juga
tidak dipengaruhi oleh jangka waktu pembayaran cicilan. Berapapun
lamanya jangka waktu pembayaran cicilan, laba bank dari penjualan
truk adalah:
Harga jual: Rp. 360 juta x 50 unit = Rp. 18 milyar
Harga beli: Rp. 300 juta x 50 unit = Rp. 15 milyar
Laba bank = Rp. 3 milyar.
3) Tidak terdapat unsur riba (bunga). Prinsip time value of money dalam
konteks bank syariah tidak berlaku. Jika begitu, pengusaha tentu akan
memilih jangka waktu pembayaran cicilan yang paling lama, karena
akan sangat menguntungkan bagi pengusaha. Benar! Akan tetapi, bank
boleh tidak sepakat, karena bagi bank akan sangat menguntungkan
kalau harga truk tersebut dibayar secepat mungkin. Oleh karena itu,
berhubung kepentingan bank dan pengusaha bertolak belakang, maka
dalam proses negosiasi akan terjadi keseimbangan (equilibrium)
kepentingan dalam masalah jangka waktu pembayaran cicilan.
Hal yang tidak boleh dilakukan oleh bank syariah adalah memberlakukan
opsi dalam proses negoisasi, misalnya:
1) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 1 tahun, harga truk Rp. 330
juta/unit.
2) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 2 tahun, harga truk Rp. 350
juta/unit.
3) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 3 tahun, harga truk Rp. 360
juta/unit.
Dalam prinsip syariah, jika ada “dua harga”, itu berarti mengarah ke riba
(bunga). Oleh karena itu, proses negoisasi pertama yang harus dilakukan oleh
kedua pihak adalah menegosiasikan masalah “harga”-nya terlebih dahulu.
Apabila harga sudah disepakati, barulah dinegosiasikan jangka waktu
pembayaran cicilan.
30
Prinsip jual beli dengan skema murabahah dapat dilakukan oleh nasabah
individu maupun badan usaha. Nasabah individu dapat menggunakan jasa bank
syariah untuk membiayai semua keperluannya, seperti pembelian tanah, rumah,
TV, kulkas dan komputer. Demikian juga dengan penguasaha. Pengusaha
apapun, baik pengusaha rental mobil, tamban, produsen rokok, sepatu,
developer maupun kontraktor, dapat menggunakan jasa bank syariah dengan
skema murabahah untuk mendanai pengadaan bahan baku ataupun asetnya.
Nilai transaksinya pun tidak dibatasi, dari jutaan sampai ratusan milyar
sepanjang bank memiliki kemampuan untuk itu.
d. Murabahah pada Bank Syariah vs. Kredit Investasi pada Bank
Konvensional
Jika Putri memilih membiayai pengadaan truknya dengan kredit investasi,
bank konvensional akan memberikan daftar harga dan pembayaran cicilan
bulanannya. Apabila tingkat bunga 10% flat per tahun, pembayaran cicilan
selama 2 tahun dalam daftar pembayaran cicilan menunjukkan jumlah sebesar
Rp. 750 juta per bulan. Jadi, sama persis dengan pembayaran cicilan pada bank
syariah. Perbedaannya adalah:
1) Semakin lama periode pembayaran cicilan di bank konvensional, total
harga yang harus dibayar Putri akan makin besar karena bunganya
semakin banyak. Sedangkan di bank syariah, berapapun lamanya
periode pembayaran cicilan yang disepakati, tidak menambah total
harga. Dalam prinsip syariah, harga tetap karena tidak ada bunga.
2) Apabila pengusaha tidak dapat melunasi kewajiban sesuai kesepakatan
karena sebab force majeur (faktor yang tidak dapat dikendalikan),
misalnya pengusaha baru sanggup melunasi dalam waktu 5 tahun,
bank konvensional tetap akan menambahkan bunga sebesar 10% x 5
tahun = 50%. Jadi, total harga yang harus dibayar oleh Putri adalah:
Kredit: Rp. 300 juta x 50 unit = Rp. 15 milyar
Bunga: 50% x Rp. 15 milyar = Rp. 7.5 milyar
Total harga dalam lima tahun = Rp. 22.5 milyar
Sedangkan di bank syariah, total kewajiban pengusaha selama 5 tahun
tetap sebesar Rp. 18 milyar sebagaimana yang sudah disepakati di
awal perjanjian.
e. Yang bisa Dibiayai Menggunakan Skema Murabahah
Walaupun bentuk dasarnya adalah jual beli, pembiayaan dengan
menggunakan skema murabahah ini dapat diperuntukkan bagi rencana
31
pembelian apapun. Dalam praktik dan perkembangannya, akad murabahah
biasanya digunakan untuk:
1) Perjanjian Pembiayaan Investasi
2) Perjanjian Pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor
3) Perjanjian Pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah
4) Perjanjian Take Over KPR dengan Skema Ijarah Muntahiyah Bi al-
Tamlik (IMBT).
f. Syarat Jual Beli Syariah Secara Umum
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ditetapkan mengenai syarat
umum yang harus dipenuhi dalam setiap konsep jual beli yang dijadikan dasar
dalam pembuatan akad murabahah, akad salam dan akad istishna’:
1) Objek yang diperjual-belikan harus terhindar dari cacat. “Cacat” yang
dimaksud di sini, sebagaimana diatur dalam hukum positif, adalah
“cacat” yang tersembunyi. Apabila kondisi cacat tersembunyi diketahui
oleh pembeli dan disetujui, proses jual beli tetap sah.
2) Kriteria objek jelas (jenis, kualitas, kuantitas, nilai/harga). Misalnya
yang diperjualbelikan adalah mobil Kijang. Harus duraikan dengan
jelas spesifikasi mobil Kijang tersebut, yaitu jenis Kijang LG atau LGX,
buatan tahun berapa, warnanya apa, dan seterusnya.
3) Tidak mengandung unsur paksaan, tipuan dan mudharat.
32
G. MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT)
1. Pengenalan Istilah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (Shaahibul Maal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2. Dasar Hukum
a. Dalil al-Qur’an
1) Al-Muzzammil: 20

(ٌَ‫املص‬:92)
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah
b. Dalil Hadits
3. Teori
a. Jenis-jenis al-Mudharabah
Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
1) Mudharabah Muthlaqah. Yang dimaksud dengan transaksi Mudharabah
Muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara Shahibul Maal dan
Mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan
fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan If’al
ma Syi’ta (lakukan sesukamu) dari Shahibul Maal ke Mudharib yang
memberi kekuasaan dangat besar.
2) Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga
dengan istilah restricted Mudharabah/ specified Mudharabah adalah
kebalikan dari Mudharabah Muthlaqah. Si Mudharib dibatasi dengan
batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini
33
seringkali mencermnkan kecenderungan umum si Shahibul Maal
dalam memasuki jenis dunia usaha.
b. Praktik al-Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Pengertian Mudharabah secara umum adalah kerja sama antara pemilik
dan atau penanam modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
Dalam konteks deposito, giro atau tabungan syariah, yang disebut pemilik
atau penanam modal adalah nasabah/deposan, dan bank bertindak selaku
pengelola modal (shahibul mal). Berbeda dengan prinsip wadi’ah, prinsip
Mudharabah mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang harus ditaati
oleh deposan atau nasabah, misalnya adanya saldo minimal tabungan yang tidak
boleh diambil nasabah.
Periode dalam deposito syariah sama dengan deposito pada bank
konvensional, yaitu berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, atau 12 bulan. Rasio
pembagian keuntungan (nisbah) antara deposan/nasabah ditentukan di awal
pembukaan deposito atau tabungan.
Bagaimana kalau bank merugi?
Deposan atau nasabah juga akan menanggung kerugian sesuai proporsi
nisbah. Tetapi dalam praktiknya, hal ini belum pernah terjadi. Bahkan, bukti
empiris menunjukkan bahwa imbal jasa deposito atau tabungan syariah lebih
besar dibandingkan dengan bunga deposito atau tabungan pada bank
konvensional.
Sebagai perbandingan, marilah kita lihat skema di bawah ini: Kerja sama
Mudharabah tidak hanya terbatas pada produk deposito atau giro, tetapi juga
bisa diperuntukkan bagi kerjasama dalam bentuk bentuk lainnya, seperti kerja
sama untuk melakukan pekerjaan atau proyek tertentu.
c. Akad Mudharabah untuk Deposito, Giro dan Tabungan
Peraturan Bank Indonesia memberikan syarat minimum akad yang berbeda
antara deposito dan tabungan dengan giro. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
sifatnya, yaitu giro lebih ditujukan bagi kegiatan usaha nasabah, sedangkan
deposito dan tabungan diperuntukkan bagi investasi.
Syarat minimum akad
Dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia, syarat minimum yang harus
dicantumkand alam akad Mudharabah untuk tabungan dan deposito adalah:
1) Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu bank dan deposan
atau penabung. Bank bertindak selaku pengelola dana (mudharib),
sementara nasabah bertindak selaku pemilik dana (shahib al-mal).
Jadi, dana yang disetorkan oleh nasabah ke dalam rekening
mudharabah (dalam bentuk giro, deposito ataupun tabungan) akan
dikelola oleh bank dengan sedemikian rupa, yang kemudian hasilnya
akan dibagikan kepada nasabah sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati di awal.
34
2) Dananya harus disetor penuh. Jadi, tidak diperbolehkan pemberian
dana dalam bentuk cicilan atau bertahap. Apabila seorang calon
deposan akan mendepositokan uangnya sebesar Rp. 10.000.000, calon
deposan itu harus menyetorkan secara langsung. Tidak boleh disetor
Rp. 5.000.000 kemudian sisanya akan dicicil setiap bulan senilai Rp.
1.000.000.
3) Pembagian keuntungan dalam nisbah. Pembagian keuntungan
dibuatkan prosentase pembagiannya, misalnya 6:4, yang besarnya
ditentukan di awal.
4) Pada tabungan, nasabah wajib menginvestasikan dana minimum
tertentu. Tidak seperti tabungan wadi’ah, pada tabungan yang
menggunakan skema mudharabah akan ditetapkan adanya saldo
minimum dalam rekening nasabah. Misalnya, minimum saldo sebesar
Rp. 1.000.000. Artinya, jika sewaktu-waktu nasabah akan menarik
dananya, dalam rekening mudharabah tersebut harus tetap ada dana
mengendap minimal sebesar Rp. 1.000.000.
5) Nasabah tidak boleh menarik dana di luar kesepakatan. Walaupun
sifatnya tabungan (bukan deposito misalnya), karena yang digunakan
adalah skema mudharabah, dana yang ditabungkan tersebut akan
digunakan oleh bank untuk diinvestasikan kembali ke dalam berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan
pihak lain. Oleh karena itu, nasabah tidak boleh mengambil dana
tersebut sewaktu-waktu. Harus ditetapkan akan ditabung oleh
nasabah yang bersangkutan dalam jangka waktu yang telah disepakati
di awal akad (misalnya 1 bulan, 3 bulan atau 12 bulan).
6) Biaya operasional dari nisbah bank. Jadi, dalam pembagian nisbah
antara bank dan nasabah, sudah ditentukan bahwa pembagian
keuntungan (nisbah) yang diterima oleh bank, sudah termasuk biaya
operasional bank dalam memelihara rekening tabungan atau deposito
tersebut. Hal ini berbeda dengan mudharabah untuk giro yakni biaya
operasional bank dibagi antara bank dan nasabah berdasarkan nisbah.
7) Bank tidak boleh mengurangi hak nasabah.
8) Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, pada dasarnya tidak ada
jaminan dari bank dalam penyimpanan dana nasabah di bank syariah.
Walaupun begitu, jika penjaminan tersebut dilakukan oleh pemerintah
(dalam hal ini Penjamin Simpanan), hal tersebut diperbolehkan
asalkan tidak diatur secara khusus dalam akad mudharabah untuk giro
dan tabungan.
Berbeda dengan tabungan dan deposito, ada beberapa syarat minimum
akad mudharabah untuk giro yang tidak diatur dalam tabungan dan deposito,
yaitu:
35
1) Harus ada kegiatan usaha (dharabah) dari nasabah.
2) Pembagian keuntungan dihitung dari saldo terendah.
3) Biaya operasional tidak dibebankan pada bagian keuntungan (nisbah)
bank, melainkan biaya operasional ditanggung bersama berdasarkan
nisbah.
Satu hal yang menarik dalam peraturan Bank Indonesia dalam tabungan,
giro dan deposito dengan menggunakan skema mudharabah adalah bank tidak
boleh mengurangi hak nasabah. Dalam Fatwa Dewan Nasional juga ditetapkan
bahwa bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Artinya, tidak ada perubahan
nisbah sewaktu-waktu seperti ketentuan mengenai suku bunga mengambang
(floating), yakni bank dapat sewaktu-waktu mengubah tingkat suku bungan
tabungan berdasarkan ketentuan suku bunga yang berlaku pada saat itu.
Potensi Risiko dalam Skema Mudharabah pada Giro, Deposito dan
Tabungan
Dalam skema mudharabah untuk giro, deposito dan tabungan, terdapat
potensi risiko yang mungkin dihadapi oleh pihak bank:
1) Risiko likuiditas, yang disebabkan oleh fluktuasi dana yang ada di rekening
giro relatif tinggi dan bank setiap saat harus memenuhi kewajiban jangka
pendek tersebut.
2) Risiko pasar, yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar untuk giro dalam
valuta asing.
3) Risiko displacement (commercial displacement risk), yang disebabkan oleh
adanya potensi nasabah memindahkan dananya karena adanya tingkat
bonus atau bagi hasil riil yang lebih rendah dari tingkat suku bunga yang
ada. Apa yang dimaksud displacement? Dalam praktik, terkadang nisbah
bagi hasil untuk giro, deposito ataupun tabungan mudharabah pada bank
syariah nilainya lebih kecil daripada suku bunga yang berlaku di bank
konvensional. Ini, antara lain, karena tingkat penetapan nisbah tidak
bersifat floating (tidak dapat berubah sewaktu-waktu), sedangkan tingkat
suku bunga pada bank konvensional umumnya bersifat floating. Oleh
karena itulah, ada kemungkinan nasabah memindahkan dana yang
disimpannya di rekening mudharabah ke rekening bank konvensional.
Sebagaimana konsep wadi’ah untuk tabungan dan giro, dalam praktiknya
terkadang bank syariah tetap memungut sejumlah biaya administrasi tertentu
untuk dapat tetap memelihara rekening nasabah, seperti memberikan fasilitas
kemudahan berupa fitur-fitur tertentu, seperti ATM, e-payment, e-banking dan
telephone banking. Ini terutama berlaku bagi bank syariah yang masih memiliki
bisnis konvensional dengan fitur-fitur kemudahan bagi nasabah dianggap
sebaga fasilitas. Jadi, wajar kiranya jika nasabah dibebani biaya tertentu untuk
dapat menikmatinya.
36
Penghimpunan Dana (Funding) Perbankan Syariah
1) Skema Wadi’ah. Wadi’ah adalah salah satu produk bank syariah yang
berarti penitipan dana antara pihak pemilik dana dan pihak penerima
titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Nasabah tidak berhak
mendapatkan hasil apapun, akan tetapi dapat mengambil dananya kapan
pun dia kehendaki.
2) Skema Mudharabah. Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana
atau penanam modal dan pengelola modal (bank) untuk melakukan usaha
tertentu dalam pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP
FIQIH KELAS 10 LENGKAP

More Related Content

What's hot

Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahIstihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahrisky13
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabihqoida malik
 
Pengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointPengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointNenk Ajalah
 
Presentasi Power Point Thaharah
Presentasi Power Point ThaharahPresentasi Power Point Thaharah
Presentasi Power Point Thaharahjannahere
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhSuya Yahya
 
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)Khusnul Kotimah
 
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al qur’an
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al  qur’anKedudukan dan fungsi hadits terhadap al  qur’an
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al qur’anVia Dewi Syahara
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ibnu Ahmad
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Miftah Iqtishoduna
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyadMarhamah Saleh
 

What's hot (20)

Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahIstihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
 
Ppt tasawuf
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
 
Ppt shalat jenazah
Ppt shalat jenazahPpt shalat jenazah
Ppt shalat jenazah
 
PPT Sholat Sunnah
PPT Sholat SunnahPPT Sholat Sunnah
PPT Sholat Sunnah
 
Presentasi Fiqh Zakat
Presentasi Fiqh ZakatPresentasi Fiqh Zakat
Presentasi Fiqh Zakat
 
5 tema-tema besar fiqih
5 tema-tema besar fiqih5 tema-tema besar fiqih
5 tema-tema besar fiqih
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabih
 
Pengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpointPengurusan jenazah powerpoint
Pengurusan jenazah powerpoint
 
Zakat dan hikmahnya
Zakat dan hikmahnyaZakat dan hikmahnya
Zakat dan hikmahnya
 
Presentasi Power Point Thaharah
Presentasi Power Point ThaharahPresentasi Power Point Thaharah
Presentasi Power Point Thaharah
 
Sifat-sifat Allah
Sifat-sifat AllahSifat-sifat Allah
Sifat-sifat Allah
 
Ushul fiqh ppt
Ushul fiqh pptUshul fiqh ppt
Ushul fiqh ppt
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
 
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
PPT Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah (Ulumul Qur'an 1)
 
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al qur’an
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al  qur’anKedudukan dan fungsi hadits terhadap al  qur’an
Kedudukan dan fungsi hadits terhadap al qur’an
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
 
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
Qiyas-Ushul Fiqh Powerpoint (Miftah'll Everafter)
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
 
Thaharah
ThaharahThaharah
Thaharah
 
Ppt shalat idain
Ppt shalat idainPpt shalat idain
Ppt shalat idain
 

Similar to FIQIH KELAS 10 LENGKAP

Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan WakafPengelolaan Wakaf
Pengelolaan WakafBayu Adi
 
Pengertian wakaf
Pengertian wakafPengertian wakaf
Pengertian wakafAbdul Aziz
 
Wakaf (Syifadhila)^^
Wakaf (Syifadhila)^^Wakaf (Syifadhila)^^
Wakaf (Syifadhila)^^Syifa Dhila
 
Hukum islam tentang wakaf
Hukum islam tentang wakafHukum islam tentang wakaf
Hukum islam tentang wakafRohman Efendi
 
Modul Pengenalan Wakaf
Modul Pengenalan WakafModul Pengenalan Wakaf
Modul Pengenalan WakafKonsultan Blog
 
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamBab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamwahyudinia112
 
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptx
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptxWAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptx
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptxMUSTAINMAS
 
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfBahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfrizkihapiz
 
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"Pendidikan Agama Islam "Wakaf"
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"Syifa Sahaliya
 
teori harta dalam islam.pdf
teori harta dalam islam.pdfteori harta dalam islam.pdf
teori harta dalam islam.pdfBobbyPratama18
 
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp021sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02Hamzah Robbani
 
Sistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamSistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamMuhammad Jamhuri
 

Similar to FIQIH KELAS 10 LENGKAP (20)

Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan WakafPengelolaan Wakaf
Pengelolaan Wakaf
 
Akad
AkadAkad
Akad
 
Wakaf dalam islam
Wakaf dalam islamWakaf dalam islam
Wakaf dalam islam
 
Pengertian wakaf
Pengertian wakafPengertian wakaf
Pengertian wakaf
 
Materi bab 6
Materi bab 6Materi bab 6
Materi bab 6
 
Wakaf (Syifadhila)^^
Wakaf (Syifadhila)^^Wakaf (Syifadhila)^^
Wakaf (Syifadhila)^^
 
Materi bab 6
Materi bab 6Materi bab 6
Materi bab 6
 
Hukum islam tentang wakaf
Hukum islam tentang wakafHukum islam tentang wakaf
Hukum islam tentang wakaf
 
Modul Pengenalan Wakaf
Modul Pengenalan WakafModul Pengenalan Wakaf
Modul Pengenalan Wakaf
 
Wakaf
WakafWakaf
Wakaf
 
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islamBab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
Bab 7 kepemilikan (milkiyah) dalam islam
 
Konsep kepemilikan
Konsep kepemilikanKonsep kepemilikan
Konsep kepemilikan
 
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptx
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptxWAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptx
WAKAF Dr. MUNIR, M.Hum.pptx
 
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdfBahanajar_1609920355 (3).pdf
Bahanajar_1609920355 (3).pdf
 
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"Pendidikan Agama Islam "Wakaf"
Pendidikan Agama Islam "Wakaf"
 
Wakaf
WakafWakaf
Wakaf
 
teori harta dalam islam.pdf
teori harta dalam islam.pdfteori harta dalam islam.pdf
teori harta dalam islam.pdf
 
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp021sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
1sistemkepemilikandalamislam 100428030444-phpapp02
 
Sistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islamSistem kepemilikan dalam islam
Sistem kepemilikan dalam islam
 
15 wakaf
15 wakaf15 wakaf
15 wakaf
 

Recently uploaded

Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfGeologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfAuliaAulia63
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxmariaboisala21
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptAhmadSyajili
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxrikosyahputra0173
 
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxMenggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxImahMagwa
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxzidanlbs25
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiCristianoRonaldo185977
 

Recently uploaded (7)

Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdfGeologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
Geologi Jawa Timur-Madura Kelompok 6.pdf
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
 
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptxMenggunakan Data matematika kelas 7.pptx
Menggunakan Data matematika kelas 7.pptx
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
 

FIQIH KELAS 10 LENGKAP

  • 1. 1 FIQIH MUAMALAH BUKU AJAR FIKIH KELAS X MADRASAH ALIYAH Penyusun Dr. Rosidin, M.Pd.I YAYASAN ALMAARIF SINGOSARI MADRASAH ALIYAH ALMAARIF SINGOSARI 2014
  • 2. 2 BAB I HUKUM ISLAM TENTANG KEPEMILIKAN A. KEPEMILIKAN 1. Pengenalan Istilah Menurut bahasa, kepemilikan berarti penguasaan seseorang terhadap harta, dalam artian hanya dirinya yang berhak melakukan pentasharufan terhadapnya. Menurut istilah, kepemilikan berarti keterkhususan terhadap sesuatu yang membuat orang lain tidak boleh mengambil-nya; dan menjadikan pemiliknya bisa mentasharufkannya secara mendasar (ّ٤‫َا‬‫د‬ِ‫ت‬ِ‫ب‬ِ‫إ‬), kecuali ada suatu penghalang yang ditetapkan oleh Syara’. 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an 1) Al-Hadid: 7  (‫ٜد‬‫د‬‫احل‬:7) 7. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya [*]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. [*] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah SWT. manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah SWT. karena itu tidaklah boleh kikir dan boros. 2) Hud: 61 (‫ٖٛد‬:16) Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada- Nya. 3) Al-An’am: 165   165. Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
  • 3. 3 4) Al-Baqarah: 29 (٠‫يبكس‬‫ا‬:99) 29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. 5) Al-Mulk: 15  (‫املًو‬:61) 15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada- Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. b. Dalil Hadits ًَُّ٘‫ي‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ ِ١َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬َّ‫يص‬‫ا‬ َِِٔ ٌٍُ‫د‬َ‫ز‬ َِٔ‫ع‬َِٚٞ‫ف‬ ُ٤‫ّٔا‬‫ن‬َ‫س‬ُ‫ش‬ ُ‫س‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ ُُ٘‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ط‬ّٔ‫ف‬ ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ًَُّ٘‫ي‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬ ِّْٞ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬ََ ُ‫ت‬َِٚ‫ص‬ّٔ‫غ‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َُِ٘ٓ‫ع‬ .ِ‫ز‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ،ِ٤‫َا‬ُّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ،ِ‫أ‬ًّّٔٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِٞ‫ف‬ :ٍ١َ‫ث‬‫ّٔا‬ًَ‫ث‬.ِ‫ز‬‫َّا‬ٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ِ٤‫َا‬ُّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ِ‫إل‬ّٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ ُ٤‫ّٔا‬‫ن‬َ‫س‬ُ‫ش‬ ًَُُِِٕٛ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍ١َٜ‫ا‬َِٚ‫ز‬ ِٞ‫ف‬َٚ)ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َْٚ‫ت‬‫ّٔا‬‫ك‬ِ‫ث‬ ُّٕ٘‫ي‬‫ا‬َ‫د‬ِ‫ز‬َٚ.) Diriwayatkan dari seorang Sahabat RA yang berkata: Saya berperang bersama Nabi SAW, lalu saya mendengar beliau bersabda: “Manusia bersekutu dalam tiga hal: rumput liar, air dan api. Dalam redaksi lain: “Kaum muslimin bersekutu dalam rumput liar, air dan api. [HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah. Para perawi Hadits ini berstatus tsiqqah (dapat dipercaya)] َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّٔ٠َِٚ‫س‬ُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ٢َِٝ‫خ‬َٜ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُِّٟ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ُّ٘ٔ‫ي‬ َ٢ِّٗٔ‫ف‬ ّٗ١َ‫ت‬ََِٝ ‫ّا‬‫ض‬ِ‫ز‬ّٔ‫أ‬ ‫َا‬ِٝ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ََِٔ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ََُِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬ََُٚ‫َا‬ٚ ُِّٞ٥‫ا‬ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ِِّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬ .)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ Diriwayatkan dari Yahya bin ‘Urwah dari ayahnya yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bumi mati (tanah kosong), maka bumi itu menjadi miliknya”. *HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Darimi, Malik, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Nasa’i, al-Daruquthni, Ibn Abi Syaibah dan al- Thabarani. Abu ‘Isa berkata: “Ini adalah Hadits Hasan Shahih]. 3. Teori a. Bisa-tidaknya suatu harta untuk dimiliki Dalam kaitannya dengan bisa-tidaknya untuk dimiliki, harta terbagi menjadi 3: 1) Harta yang sama sekali tidak bisa dimilikkan (al-Tamlik, menjadikannya milik orang lain) dan tidak pula bisa dimiliki oleh diri
  • 4. 4 sendiri. Misalnya: jalan umum, jembatan, benteng, rel kereta api, museum, perpustakaan umum, taman umum, dan lain-lain. 2) Harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dengan adanya sebab yang ditetapkan oleh Syara’. Contoh: harta wakaf dan asset-aset Negara (baitul maal). Oleh karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual maupun dihibahkan. Jika roboh atau biaya perawatannya lebih tinggi daripada keuntungan yang dihasilkan-nya, maka pihak pengadilan bisa mengeluarkan izin agar harta wakaf itu ditukarkan. 3) Harta yang bisa dimiliki (al-Tamalluk) dan dimilikkan (al-Tamlik) secara mutlak tanpa ada suatu syarat atau pembatasan tertentu. b. Macam-macam Kepemilikan 1) Kepemilikan sempurna. Yaitu kepemilikan atas sesuatu secara keseluruhan, baik zatnya (bendanya) maupun kemanfaatannya (penggunaannya). Karakteristik kepemilikan sempurna adalah kepemilikan yang mutlak, permanen yang tidak terbatasi oleh masa tertentu dan tidak bisa digugurkan. Seseorang yang memiliki kepemilikan sempurna terhadap sesuatu diberi kewenangan utuh berupa kebebasan menggunakan, mengembangkan, menginvestasikan dan melakukan pentasharufan terhadap sesuatu miliknya itu sekehendak dirinya. Apabila si pemilik merusakkan apa yang ia miliki, maka tidak ada denda apapun atas dirinya. Akan tetapi, ia terkena sanksi agama (dosa), sebab merusakkan harta hukumnya adalah haram. 2) Kepemilikan tidak sempurna. Yaitu kepemilikan sesuatu, akan tetapi hanya zatnya (bendanya), atau kemanfataannya (penggunaannya) saja. c. Macam-macam Kepemilikan Tidak Sempurna Ada 3 macam kepemilikan tidak sempurna: 1) Kepemilikan terhadap sesuatu, akan tetapi hanya bendanya saja. Yaitu sesuatu yang bendanya milik seseorang, sedangkan penggunaan dan kemanfaatannya milik orang lain. Misalnya: Si A mewasiatkan untuk si B bahwa si B boleh menempati rumah si A selama 3 tahun. Maka ketika si A meninggal dunia, maka rumah itu, maksudnya bendanya tetap milik ahli waris si A berdasarkan hak waris. Sedangkan penggunaan dan kemanfaatannya adalah milik si B selama batas waktu yang ditentukan. Jika batas waktu yang ditetapkan telah habis, maka kemanfaatan rumah itu kembali menjadi milik ahli waris, sehingga kepemilikan ahli waris terhadap rumah itu kembali sempurna dan utuh. 2) Kepemilikan atas manfaat suatu barang yang bersifat personal atau hak pemanfaatan dan penggunaan (haqqul intifa’). Ada lima sebab atau faktor munculnya kepemilikan manfaat atau hak pemanfaatan dan penggunaan, yaitu peminjaman (al-i’arah), penyewaan (al-ijarah), pewakafan, wasiat dan pembolehan (al-ibahah). Contoh pembolehan
  • 5. 5 adalah seseorang mengizinkan kepada orang lain untuk mengonsumsi makanan miliknya; juga seperti izin yang bersifat umum, seperti lewat di jalan, duduk di taman, masuk ke sekolahan, dan lain-lain. 3) Kepemilikan atas manfaat yang bersifat kebendaan atau haqqul irtifaq. Definisi haqqul irtifaq adalah sebuah hak yang ditetapkan atas suatu harta tidak bergerak, demi kemanfaatan dan kepentingan harta tidak bergerak lainnya yang dimiliki orang lain. Misalnya: hak atas air irigasi (haqqusy-syirbi), hak kanal atau saluran air (haqqul majra), hak saluran pembuangan air (haqqul masiil), hak lewat, hak bertetangga dan hak karena berada di tempat bagian atas. d. Sebab-sebab Kepemilikan Sempurna 1) Menguasai sesuatu yang statusnya mubah (bukan milik siapapun, al- istila’ ‘alal mubah). Harta mubah adalah harta yang tidak masuk dalam di dalam kepemilikan orang tertentu dan tidak ada suatu alasan yang diakui oleh syara’, yang menghalangi untuk memilikinya. Contoh: air yang terdapat di tempat sumbernya, rumput, kayu dan pohon di tengah gurun, hasil buruan darat dan hasil tangkapan laut. Menguasai sesuatu yang mubah memiliki empat bentuk: 1) Ihya’ al-Mawat (menghidupkan lahan mati), yaitu mengolah dan memperbaiki lahan yang mati dan kosong; 2) Berburu, yaitu meletakkan “tangan” atas sesuatu yang mubah, yang tidak dimiliki oleh siapapun. Baik berburu dalam bentuk sesungguhnya (al-istila’ al-fi’li), yaitu menangkap dan memegangnya; atau dengan berburu dalam bentuk yang bukan sesungguhnya, namun hukumnya sama dengan berburu dalam bentuk sesungguhnya (al-istila’ al-hukmi). Dalam al-istila’ al-hukmi ini disyarat-kan harus ada niat, maksud dan kesengajaan. Oleh sebab itu, jika ada seekor burung bersarang dan bertelur di tanah seseorang, maka itu menjadi milik orang yang pertama mengambilnya. Namun jika si pemilik memang berniat dan sengaja menyiap-kan tanah untuk sarang dan tempat bertelur burung tersebut, maka itu menjadi milik si pemilik tanah; 3) Menguasai rerumputan (al-kala’) dan pohon lebat (al-ajam). Al-Kala’ adalah rerumputan yang tumbuh dengan sendirinya di atas tanah tanpa ditanam; sedangkan al-Ajam adalah pepohonan lebat yang terdapat di hutan belantara atau tanah tidak bertuan; 4) Menguasai kekayaan tambang (al-ma’adin) dan harta terpendam (al- kunuz). Al-Ma’adin adalah kekayaan alam yang terdapat di dalam perut bumi secara alami, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah, dan lain sebagainya. Al-Kunuz adalah harta yang dipendam dan disimpan di dalam bumi, baik pada era jahiliyah maupun pada era Islam. Harta terpendam Islam adalah harta terpendam yang memiliki semacam tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta itu dipendam setelah kemunculan Islam, seperti tulisan kalimat syahadat atau mushhaf, atau ayat al-Qur’an atau nama khalifah muslim. Sedangkan
  • 6. 6 harta terpendam jahiliyah adalah harta terpendam yang memiliki tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta itu dipendam sebelum era Islam, seperti pahatan gambar arca atau patung, atau tulisan nama penguasa jahiliyah, dan lain sebagainya. Harta terpendam Islam statusnya tetap menjadi milik si pemiliknya. Oleh karena itu, tidak bisa menjadi milik orang yang menemukannya, akan tetapi dikategorikan sebagai harta temuan (al-luqathah), sehingga si penemunya harus mengumumkannya. Sedangkan harta terpendam jahiliyyah, maka seperlimanya adalah untuk kas Negara (baitul mal), sedangkan sisanya untuk si penemunya secara mutlak. 2) Akad-akad pemindah kepemilikan. Ada dua macam sebab kepemilikan, yaitu ada yang berdasarkan persetujuan dan kerelaan si pemilik; dan ada yang bersifat paksaan. Contoh akad yang berdasarkan persetujuan adalah jual beli, hibah, wasiat dan sebagainya. Ini adalah sebab atau sumber munculnya kepemilikan yang paling penting, paling umum dan paling banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Karena akad- akad tersebut memerankan aktivitas ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia melalui jalur transaksi. Sedangkan contoh akad yang bersifat paksaan adalah pencabutan kepemilikan secara paksa dalam Syuf’ah. Misalnya: Ada sebidang tanah milik bersama antara si A dan si B; sementara tanah itu belum dibagi dan ditentukan tapal batasnya. Lalu si B menjual bagiannya kepada si C dengan harga 100 misalnya, maka di sini si A memiliki hak Syuf’ah untuk mengambil alih bagian si B yang dibeli si C itu secara paksa dengan mengganti harga pembelian yang telah diserahkan si C, yaitu 100. Contoh lainnya adalah mengambil alih kepemilikan demi kepentingan umum, yaitu mengambil alih kepemilikan suatu tanah milik seseorang secara paksa dengan memberinya kompensasi sesuai dengan harga yang adil untuk tanah itu, karena ada kondisi darurat atau demi kemaslahatan umum, seperti untuk memperluas masjid, memperluas jalan, dan sebagainya. 3) Al-Khalafiyah (pergantian kepemilikan). Al-Khalafiyah ada dua bentuk, yaitu pergantian antara individu dengan individu yang lain, yaitu pewarisan; dan pergantian antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, yaitu pendendaan (al-tadhmin). 4) Sesuatu yang muncul dan terlahir (terhasilkan) dari sesuatu yang dimiliki. Maksudnya, bahwa apa yang terlahir atau terhasilkan (disebut al-far’u) dari sesuatu yang dmiliki (disebut al-ashlu), maka itu adalah milik si pemilik al-ashlu tersebut. Baik keterhasilan itu terjadi karena si pemilik maupun terjadi secara alamiah. Oleh karena itu, orang yang menggashab suatu lahan, lalu ia menanaminya, maka tanaman itu adalah miliknya; karena tanaman itu adalah hasil pertumbuhan benih miliknya yang ia taburkan. Namun ia berkeharusan untuk membayar
  • 7. 7 biaya sewa lahan tersebut dan membayar ganti rugi kepada si pemilik lahan akibat penanaman tersebut. Adapun buah suatu pohon, anak binatang, bulu domba dan air susunya, maka itu semua menjadi milik si pemilik al-ashlu. B. AKAD 1. Pengenalan Istilah Secara etimologis, akad berarti mengikatkan antara dua sisi sesuatu, baik berupa ikatan kongkret maupun abstrak; dari salah satu sisi maupun kedua sisi. Secara terminologis, akad memiliki dua pengertian, yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian umum dari akad lebih dekat pada pengertian etimologis di atas dan berlaku umum di kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah: ٌُّّٕ‫ن‬‫َا‬َََّ‫ص‬َ‫ع‬ُ٤ِ‫س‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬٢ًَّٔ‫ع‬،ًِِِ٘‫ع‬ِ‫ف‬ْ٤‫َا‬َٛ‫ض‬َ‫ز‬َ‫د‬َ‫ص‬ٍ٠َ‫د‬‫َا‬‫ز‬ِ‫إ‬ِ‫ب‬ٍ٠َ‫د‬ِ‫س‬ّٔ‫ف‬َُِٓ،ِ‫ف‬ّٖ‫َق‬ّٖٛ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ن‬ِّّٔ‫ا‬َ‫ج‬‫َا‬‫ت‬ِ‫ح‬‫ا‬ّٔ‫ي‬ِ‫إ‬٢َِِٔٝ‫ت‬َ‫د‬‫َا‬‫ز‬ِ‫إ‬ِٞ‫ف‬ِِ٘٥‫ا‬َ‫ص‬ِِْ‫إ‬،ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ن‬ْ٤‫َا‬َٛ‫ض‬ٍَِِٔ‫ص‬ِ‫خ‬َ‫ش‬ ٍ‫د‬ِ‫ح‬‫َا‬ِّٚٚٔ‫ا‬ََِِِِٔٔٝ‫ص‬ِ‫خ‬َ‫ش‬. “Segala sesuatu yang ingin dilaksanakan oleh seseorang, baik berasal dari keinginan satu pihak saja –semisal wakaf– maupun berasal dari keinginan dua belah pihak –semisal jual beli–”; baik berasal dari satu orang maupun dua orang”. Pengertian khusus dari akad adalah: ّٕ‫ط‬‫َا‬‫ب‬ِ‫ت‬ِ‫ز‬ِ‫إ‬ٍ‫ب‬‫َا‬‫ذ‬ِِٜ‫إ‬ٍٍُِٛ‫ب‬ّٔ‫ك‬ِ‫ب‬٢ًَّٔ‫ع‬ٍِ٘‫د‬ٍَٚ‫ع‬ُِٚ‫س‬ِ‫ص‬ََُ‫ت‬ِ‫ب‬ِ‫ج‬ُُُٜٙ‫س‬َ‫ث‬ّٔ‫ا‬ِٞ‫ف‬ًَِِ٘‫خ‬ََ “Mengaitkan antara Ijab dengan Qabul sesuai dengan ketentuan Syariat yang pengaruhnya ditetapkan (ketika) di lokasi”.
  • 8. 8 ُ‫ل‬ًَُّ‫ع‬َ‫ت‬ِّّٔ‫ال‬ّٔ‫ن‬ِ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫ا‬َِِٜٔ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫س‬َ‫خ‬ّٔ‫أل‬‫ِا‬‫ب‬‫ّا‬‫ع‬ِ‫س‬َ‫ش‬٢ًَّٔ‫ع‬ٍِ٘‫د‬َُٚ‫س‬ِّٖٗ‫ُظ‬ُُٜٙ‫س‬َ‫ث‬ّٔ‫ا‬ِٞ‫ف‬ٌَِ‫خ‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬ “Mengaitkan pernyataan salah satu pihak yang bertransaksi dengan pihak lainnya secara Syar’i sesuai dengan ketentuan pengaruhnya terlihat (ketika) di lokasi”. Pendek kata, akad merupakan perjanjian tertulis yang berisikan Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan). 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an 1) Al-Ma’idah: 1 (٠‫٥د‬‫ا‬‫امل‬:6) 1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. 2) Al-Isra’: 34 (٤‫اإلضسا‬:43) 34. Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung- jawabannya. 3) Al-Mu’minun: 8 (َٕٛٓ‫املؤ‬:8) 8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. b. Dalil Hadits Pada dasarnya, dalil Hadits yang menyangkut akad sangat banyak. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya jenis akad dalam Islam, mulai dari jual beli, hibah, musyarakah hingga perbankan Syariah. Semua dalil akad tersebut dapat dijadikan sebagai dalil akad. Kendati demikian, berikut ini penyusun sajikan satu contoh dalil Hadits terkait akad: ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ِّْٙ‫َد‬‫د‬ َِٔ‫ع‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ُّ٢َِْ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫ف‬َِٛ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ِٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ُِٔ‫ب‬ ُ‫ري‬ِ‫ج‬ّٔ‫ن‬ ‫َا‬َٓ‫ث‬َّ‫َد‬‫ح‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ‫اهلل‬ ٢ًََّ‫ص‬-:ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬... ُ‫س‬ُ‫ش‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ًَُُِِٕٛ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬َِٚ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫ّا‬َ‫َا‬‫س‬َ‫ح‬ ٌََّ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ِّٚٔ‫أ‬ ّٗ‫ّٔال‬‫ال‬َ‫ح‬ ََّّ‫َس‬‫ح‬ ‫ّٗا‬‫ِط‬‫س‬َ‫ش‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ِِِِٗ‫ط‬ُِٚٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬.)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani menceritakan Hadits dari ayahnya dari kakeknya yang meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: … Dan kaum muslim itu (menetapi) syarat-syaratnya, kecuali syarat yang mengharamkan perkara halal; atau menghalalkan perkara haram”. *HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim, al-Daruquthni dan al-Thabarani. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih]. Secara garis besar, Hadits di atas menegaskan bahwa umat muslim diperkenankan untuk memberikan syarat-syarat tertentu dalam akad yang dilakukan; asalkan syarat-syarat tersebut tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Syariat, atau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Syariat.
  • 9. 9 3. Teori a. Rukun Akad Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun akad ada tiga, yaitu orang yang berakad (ْ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬) misalnya penjual dan pembeli, perkara yang menjadi objek akad ( ْ‫د‬ِّٕٛ‫ك‬ِ‫ع‬ًَََِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ), misalnya barang dan harga, serta redaksi akad (ّ٘١َ‫ػ‬ِِٝ‫ص‬), yaitu Ijab dan Qabul. Menurut mazhab Hanafi, rukun akad hanya ada satu yaitu Ijab-Qabul atau sesuatu yang menempati posisi Ijab-Qabul. Dengan kata lain, rukun akad adalah segala sesuatu yang mencerminkan kesepakatan antara keinginan kedua belah pihak yang bertransaksi, baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Sedangkan orang yang berakad (‘aqid) maupun objek akad (ma’qud ‘alaih) adalah konsekuensi logis dari adanya Ijab-Qabul. Mazhab selain Hanafi mendefinisikan Ijab-Qabul sebagai berikut:  Ijab adalah suatu pernyataan dari pemilik asal –semisal penjual–, meskipun diucapkan lebih akhir;  Qabul adalah suatu pernyataan dari pemilik berikutnya –semisal pembeli–, meskipun diucapkan lebih awal. Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan Ijab-Qabul sebagai berikut:  Ijab adalah menetapkan suatu perbuatan tertentu yang menunjukkan kerelaan, yang diucapkan pertama kali oleh salah seorang yang berakad, baik berasal dari pemilik asal (‫)املًُو‬ –semisal penjual– maupun pemilik berikutnya (‫)املتًُو‬ –semisal pembeli–;  Qabul adalah suatu pernyataan yang diucapkan kali kedua, yang menunjukkan kerelaan dan kesepakatannya dengan pernyataan pertama (Ijab). Jadi, definisi mazhab Hanafi lebih mengacu pada dimensi waktu, yaitu pernyataan yang pertama kali muncul disebut dengan Ijab, sedangkan pernyataan yang muncul berikutnya disebut dengan Qabul. Sedangkan definisi mazhab non-Hanafi mengacu pada dimensi subyek, yaitu pernyatan yang diucapkan oleh pemilik asal disebut dengan Ijab, sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pemilik berikutnya disebut dengan Qabul, tanpa memedulikan waktu terucapnya pernyataan tersebut. Dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun dan syarat hampir sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat (BW), yaitu: 1) Pihak-pihak yang berakad harus memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum positif disebut sebagai “Cakap”. Kriteria “Cakap” menurut Buku I Pasal 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah:
  • 10. 10  Individu yang sudah berusia 18 tahun atau sudah pernah menikah. Sementara bagi yang belum berusia 18 tahun dapat mengajukan permohonan pengakuan cakap untuk melakukan perbuatan hukum melalui putusan pengadilan. Pendewasaan tersebut dalam istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebaga Handlichting. Sebaliknya, jika seseorang sudah berusia 18 tahun atau sudah menikah, tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum (disebut muwalla atau dalam istilah hukum perdata onder curatele atau di bawah pengampunan), dia harus mendapatkan penetapan dari pengadilan untuk pengangkatan seorang wali (pengampu). Wali inilah yang nantinya akan mewakili orang tersebut untuk melakukan perbuatan hukum.  Badan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum, yang tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 2) Objek akad harus amwal atau menawarkan jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dalam hukum positif, hal ini disebut “causa yang halal” atau “sebab yang halal”. Dalam hukum syariah, harus halal, tidak boleh haram!. Sementara dalam hukum konvensional, ada hal yang dalam Islam dihukumi haram, masih bisa dilakukan, contohnya perdagangan babi atau minuman keras. 3) Tujuan pokok akad. Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Dalam hukum positif, hal ini disebut “hal tertentu”. Karena harus ada tujuan tertentu dalam pembuatan suatu akad, objek yang diperjanjikan harus diuraikan secara jelas. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan mengenai objek yang diperjanjikan. 4) Adanya kesepakatan. Dalam hukum positif juga disebut syarat “sepakat”. Kesepakatan dalam hukum positif dijadikan sebagai landasan lahirnya setiap perjanjian dan harus diletakkan pada bagian awal perjanjian. Kesepakatan ini juga merupakan salah satu syarat mutlak dalam akad syariah. Bahkan dalam hukum kebiasaan masyarakat Arab, kesepakatan tersebut harus dinyatakan secara lisan dan tegas, seperti dalam jual beli, yang diekspresikan dengan kata-kata “Saya jual” dan disambut dengan kata-kata “Saya beli”. Dengan demikian, syarat sah akad adalah cakap, objeknya amwal (halal), memiliki tujuan pokok dan adanya kesepakatan. Rukun akad merupakan prasyarat penting yang harus ada dalam setiap akad. Tidak adanya salah satu unsur dalam rukun akad tersebut dapat mengakibatkan batalnya suatu akad. Dalam setiap akad syariah, rukun akad yang harus ada adalah: subjek akad (aqid), objek yang diperjanjikan (al-ma’qud),
  • 11. 11 dan sepakat yang dinyatakan (shighatul ‘aqad atau lebih dikenal dengan Ijab Qabul). Syarat akad merupakan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu akad. Seperti halnya syarat sah perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat, syarat pelaksanaan akad meliputi:  Syarat subyektif atau pihak-pihak yang melaksanakan akad. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, subyek akad harus “cakap” untuk melakukan perbuatan hukum dan sepakat untuk membuat suatu akad.  Syarat obyektif, atau syarat atas objek yang diperjanjikan dalam akad. Dalam setiap akad, objek yang diperjanjikan harus amwal (halal). Selain itu, objek harus merupakan barang yang secara prinsip sudah dimiliki oleh pihak yang akan menyerahkan/menjualnya. Pada akad syariah, penghimpunan dan penyaluran dana dilarang mengandung unsur MAGHRIB, yaitu: MAisir (spekulasi atau judi), GHarar (tipu muslihat), RIba (bunga) dan Bathil (kejahatan). b. Prinsip-prinsip Akad Berdasarkan telaah terhadap dalil-dalil al-Qur’an, Hadits maupun hasil ijtihad para ulama, didapati banyak prinsip-prinsip akad dalam Syariat Islam. Ini adalah daftar prinsip-prinsip akad Syariat:  Sukarela (ikhtiyari)  Menepati janji (amanah)  Kehati-hatian (ikhtiyati)  Tidak berubah (luzum)  Saling menguntungkan  Kesetaraan (taswiyah)  Transparansi  Kemampuan  Kemudahan  Iktikad baik  Sebab yang halal Sebagian besar sama dengan prinsip-prinsip dalam akad konvensional (non-Islami), meskipun ada yang membedakan secara signifikan antara akad Syariat dengan akad konvensional. Di antara perbedaan akad Syariat dengan perjanjian konvensional adalah: 1) Tidak berubah (konstan). Yang dimaksud tidak berubah di sini adalah nilai objek jual belinya (dalam hal perjanjian jual beli atau proporsi bagi hasil [nisbah] dalam hal perjanjian kerja sama bagi hasil). Pada konsep dasarnya, prinsip syariah tidak menganggap uang sebagai komoditas. Oleh karena itu, tidak dikenal adanya prinsip time value of money. Jadi, uang Rp. 1.000.000 pada hari ini dan uang Rp. 1.000.000 pada tiga tahun lagi, nilainya tetap sama. Dalam bank konvensional uang Rp. 1.000.000 pada hari ini berbeda nilainya dengan uang Rp.
  • 12. 12 1.000.000 pada tiga tahun agi. Ini terjadi karena adanya konsep “bunga”. Artinya, apabila tingkat bunga 10% per tahun, uang Rp. 1.000.000 pada hari ini nilainya sama dengan Rp. 1.300.000 pada tiga tahun lagi (ditambah bunganya 30%). Yenni adalah seorang pedagang mobil yang menjual mobil-mobilnya baik secara tunai maupun kredit. Suatu hari, Putri membeli sebuah mobil Marcedes Benz tahun 2010 warna hitam metalik dari Yenni seharga Rp. 800 juta. Pada saat itu, Putri tidak memiliki uang tunai, tetapi mampu membeli secara cicilan. Oleh karena itu, Putri memiliki dua pilihan untuk membiayai keinginannya memiliki mobil. Pertama, dia bisa menghubungi bank konvensional untuk meminta kredit kepemilikan mobil. Atau pilihan kedua, menghubungi bank syariah untuk membelikan mobil tersebut dan selanjutnya Putri akan membeli mobil itu dengan cara pembayaran cicilan kepada bank syariah. Apabila pembelian mobil tersebut dibiayai bank konvensional, Putri harus membayar Rp. 800 juta ditambah bunga. Besarnya bunga bergantung pada lamanya periode pembayaran cicilan. Semakin lama periode cicilan, maka bunganya akan semakin besar. Dalam hal bunganya 10% per tahun, apabila periode pembayaran cicilan 1 tahun, total harga mobil adalah Rp. 880 juta. Apabila periode pembayaran cicilan 2 tahun, total harga mobil adalah Rp. 960 juta. Apabila periode pembayaran cicilan 3 tahun, total harga mobil adalah Rp. 1.040 milyar. Dan seterusnya. Sementara dalam konsep syariah, jika Putri membeli dengan cara cicilan, harga yang harus dibayar Putri jumlahnya tetap (misalnya) Rp. 900 juta, yaitu harga mobil Rp. 800 juta ditambah laba bank Rp. 100 juta. Periode cicilan (jangka waktu pembayaran cicilan), apakah 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau 4 tahun, tidak memengaruhi jumlah pembayaran cicilan, yaitu Rp. 900 juta. Periode pembayaran cicilan bergantung pada kesepakatan antara Putri sebagai nasabah dengan bank syariah. 2) Transparan. Transparan artinya tidak ada tipu muslihat, semua hak dan kewajiban masing-masing pihak diungkap secara tegas dan jelas dalam akad perjanjian. Pengungkapan hak da kewajiban ini terutama yang berhubungan dengan risiko yang mungkin akan dihadapi masing- masing pihak. Dalam kasus Putri, bank syariah (sebagai penjual) harus menyebutkan di awal perjanjian bahwa harga pokok mobilnya sebesar Rp. 800 juta dan margin keuntungan yang diambil bank sebesar Rp. 100 juta. Hal seperti itu harus dinyatakan dalam akad. Misalnya, pada akad murabahah, bank syariah selaku penjual harus menyebutkan berapa harga pokok barang yang ditransaksikan dan berapa besar margin keuntungannya.
  • 13. 13 BAB II SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM A. JUAL BELI 1. Pengenalan Istilah Mengutip pendapat Wahbah al-Zuhailî, definisi jual beli secara bahasa adalah proses tukar menukar barang dengan barang ( َُّٔ‫ك‬َ‫ب‬‫ا‬ًّّٕٔ١َ‫ش‬ٍِٝ٧ِ‫ب‬َ‫ص‬ٍِٝ٧ ). Secara terminologi, jual beli menurut ulama Hanafi adalah tukar-menukar maal (barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara tertentu. Atau, tukar menukar barang yang bernilai dengan semacamnya dengan cara yang sah dan khusus, yakni ijab-qabul atau mu’atha (tanpa ijab qabul). Dengan demikian, jual beli satu dirham dengan satu dirham tidak termasuk jual beli, karena tidak sah. Begitu pula, jual beli seperti bangkai, debu dan darah tidak sah, karena ia termasuk jual beli barang yang tidak disenangi. Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengatakan bahwa jual beli adalah tukar- menukar barang dengan barang, dengan maksud memberi kepemilikan. Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni mendefinisikan jual beli dengan tukar- menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik. Kata bay’ (jual beli) adalah pecahan dari kata baa’un (barang), karena masing- masing pembeli dan penjual menyediakan barangnya dengan maksud memberi dan menerima. Kemungkinan juga, karena keduanya berjabat tangan dengan yang lain. Atas dasar itulah, jual beli (bay’) dinamakan syafaqah yang artinya transaksi yang ditandai dengan jabat tangan. Maksud dari maal (harta dan barang) itu sendiri, menurut ulama Hanafi, adalah segala sesuatu yang disukai oleh tabiat manusia dan bisa disimpan sampai waktu dibutuhkan. Sedangkan standar sesuatu itu disebut maal adalah ketika semua orang atau sebagian dari mereka memperkaya diri dengan maal tersebut. Ahmad Musthafa az-Zarqa mengkritik definisi maal di atas, lalu menggantinya dengan definisi yang lain, yaitu maal adalah semua barang yang memiliki nilai meterial menurut orang. Berdasarkan hal inilah maka menurut ulama Hanafi, manfaat dan hak-hak tidak termasuk kategori maal (harta), sementara bagi mayoritas ahli fikih, hak dan manfaat termasuk harta yang bernilai. Pasalnya, menurut mayoritas ulama, tujuan akhir dari kepemilikan barang adalah manfaat yang ditimbulkannya. 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an 1) Al-Baqarah: 275 (٠‫يبكس‬‫ا‬:971) Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
  • 14. 14 2) Al-Baqarah: 282  (٠‫يبكس‬‫ا‬:989) (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. 3) Al-Baqarah: 198 (٠‫يبكس‬‫ا‬:698) 198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. 4) Al-Nisa’: 29  (٤‫يٓطا‬‫ا‬:99) 29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. b. Dalil Hadits ًََّ‫ص‬ ِ‫هلل‬‫ا‬ ٍُُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٌَِ٦ُ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ّٔ٠َ‫د‬ِ‫س‬ُ‫ب‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ٌُّّٕ‫ن‬ َٚ ِِٙ‫د‬َِٝ‫ب‬ ٌُِ‫د‬َّ‫يس‬‫ا‬ ٌََُُ‫ع‬ :ٍَ‫قا‬ ‫ُ؟‬ٌَ‫ط‬ّٖ‫ّٔف‬‫أ‬ ِّٚٔ‫أ‬ ُ‫ب‬َّٖٝ‫ّٔط‬‫أ‬ ِ‫ب‬ِ‫ط‬ّٔ‫ه‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُّّٟٔ‫أ‬ :ًَََِّ‫ض‬ َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ ِ‫ى‬َ‫ز‬ِ‫د‬َ‫ت‬ِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِٞ‫ف‬ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( ٍ‫ز‬ُِٚ‫س‬ِ‫ب‬ََ ٍ‫ع‬َِٝ‫ب‬ِٕ‫َا‬ُِِٜ‫إل‬‫ا‬ ِ‫ب‬ُ‫ع‬ُ‫ش‬ ِٞ‫ف‬ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ.) Diriwayatkan dari Abu Burdah yang berkata: Rasulullah SAW ditanya, apakah pekerjaan yang paling bagus atau paling utama?. Beliau bersabda: “Orang yang berwiraswasta dan setiap jual beli yang baik *yakni tidak disertai unsur penipuan dan khianat+”. [HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Syu’ub al-Iman]. ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ َّ٣ِ‫ز‬ِ‫د‬ُ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫د‬ِٝ‫ع‬َ‫ض‬ ‫َا‬‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّْ٢َِْ‫د‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍ‫ح‬ِ‫ي‬‫ا‬َ‫ص‬ ِِٔ‫ب‬ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬ َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-: ٍ‫ض‬‫َا‬‫س‬َ‫ت‬ َِٔ‫ع‬ ُ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬َُِّْ‫إ‬.)ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( . Dari Dawud bin Shalih al-Madani dari ayahnya yang berkata: Saya mendengar Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan suka sama suka”. *HR. Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah]. c. Ijma’ Kaum muslimin sepakat atas bolehnya melakukan jual beli dan kebijakan memang mengharuskan adanya aktivitas jual beli ini, karena kebutuhan manusia sehari-hari pada umumnya bergantung pada apa yang ada di tangan kawannya, sedangkan kawan tersebut tidak memberikannya dengan cuma- cuma kepada rekannya. Maka di dalam pensyariatan jual beli, terdapat sarana
  • 15. 15 yang sah untuk menggapai tujuan dengan cara yang sah, tanpa menzhalimi orang lain. d. Pendapat Ulama Imam Syafi’i berkata: “Hukum asal seluruh jual beli adalah mubah, jika disertai dengan kerelaan kedua belah pihak (penjual-pembeli) atas apa yang mereka perjual-belikan, kecuali apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Jual beli yang tercakup dalam larangan Rasulullah SAW, berarti hukumnya haram; sedangkan jual beli yang tidak tercakup dalam larangan Rasulullah SAW, berarti hukumnya mubah, atas dasar kebolehan jual beli yang disebutkan dalam Kitabullah (al-Qur’an)”. 3. Teori a. Rukun Jual Beli Secara ringkas, ada tiga rukun jual beli menurut jumhur ulama (selain Hanafiyah): 1) Orang yang berakad (ُ‫د‬ِ‫ق‬‫َا‬‫ع‬ّٖ‫ي‬‫ا‬): Meliputi Penjual (ُ‫ع‬ِ٥‫ا‬َ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬) dan Pembeli (ِِٟ‫س‬َ‫ت‬ِ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬) 2) Objek akad (ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ُ‫د‬ِّٕٛ‫ك‬ِ‫ع‬َُّٖ‫ي‬‫ا‬): Meliputi Harga (ََُْٔ‫ث‬) dan Barang (ُٔ‫)َج‬ 3) Pernyataan kesepakatan akad (١َ‫ػ‬ِّْٝ‫يص‬‫ا‬): Meliputi Penyerahan pihak penjual (ُ‫ب‬‫َا‬‫ذ‬ِٜ‫إل‬‫)ا‬ dan Penerimaan pihak pembeli (ٍُُِٛ‫ب‬ّٔ‫ك‬ّٖ‫ي‬‫ا‬). b. Jual Beli yang Diperselisihkan Hukumnya Di antara bentuk jual beli yang masih diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama adalah jual beli Mu’athah (ّٕ١ّٔ‫ط‬‫َا‬‫ع‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬). Pengertian jual beli Mu’athah adalah kedua pihak yang berakad sepakat atas harga dan barang yang diperjual-belikan, kemudian saling serah-terima tanpa disertai Ijab-Qabul; meskipun terkadang ada yang salah satu pihak yang mengucapkannya. Contoh: Seorang pembeli mengambil barang dagangan, kemudian dia menyerahkan uang kepada penjual; atau seorang penjual menyerahkan barang dagangan kepada pembeli, lalu pembeli itu menyerahkan uang kepadanya tanpa disertai kata-kata maupun isyarat; baik barang yang diperdagangkan itu remeh-temeh (semisal jajanan) maupun berharga (barang elektronik). Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli Mu’athah ini. Berikut ringkasan pendapat mereka: 1) Menurut pandangan yang unggul dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, jual beli Mu’athah hukumnya sah, apabila memang sudah menjadi adat kebiasaan, yang menunjukkan kerelaan sekaligus mewakili keinginan masing-masing pihak yang berakad. Jual beli dinilai sah dengan segala hal yang menunjukkan adanya kerelaan, karena sepanjang sejarah, umat manusia telah mempraktikkan jual beli Mu’athah ini di pasar-pasar, dan tidak ada yang mengingkarinya.
  • 16. 16 2) Menurut sebagian madzhab Syafi’i, akad itu disyaratkan dengan redaksi yang jelas; dengan Ijab dan Qabul; sehingga jual beli Mu’athah hukumnya tidak sah, baik barang yang diperdagangkan itu remeh- temeh maupun berharga. Karena Rasulullah SAW menyatakan bahwa jual beli itu harus atas dasar kerelaan (‘an taradhin). Sedangkan kerelaan itu merupakan sesuatu yang abstrak atau samar, sehingga harus dibuktikan melalui pelafalan Ijab dan Qabul. 3) Menurut sebagian Syafi’iiyyah, seperti al-Nawawi, al-Baghawi dan al- Mutawalli, jual beli Mu’athah hukumnya sah dalam setiap akad jual beli, karena memang tidak ada ketentuan tegas yang mengharuskan disertai dengan pelafalan (Ijab-Qabul). Jadi, permasalahan ini dikembalikan lagi pada ‘Urf (adat kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Syariat). Imam Nawawi berkata: “Ini adalah pendapat yang terpilih untuk difatwakan”. 4) Menurut sebagian Syafi’iyyah lain, seperti Ibn Suraij dan al-Rawyani, mengkhususkan kebolehan jual beli Mu’athah pada barang-barang yang remeh-temeh. Sedangkan dalam jual beli barang-barang yang berharga, hukumnya tidak sah. c. Jual Beli yang Diharamkan 1) Jual beli secara gharar (penipuan) ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٢ََْٗ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫ز‬َ‫س‬َ‫ػ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َِٔ‫ع‬َٚ ِ٠‫َا‬‫ص‬َ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َِٔ‫ع‬ َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ َُِِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬.ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬ .)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan melemparkan kerikil (yakni jual beli dengan cara melempari barang yang dijual dengan kerikil) dan jual beli dengan penipuan”. *HR. Muslim, Abu Dawud, al- Nasa’i, al-Nasa’i, al-Darimi, al-Daruquthni, Malik, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Thabarani dan Ibn Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Hadits riwayat Abu Hurairah ini adalah Hadits Hasan Shahih]. Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim-nya: “Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli. Oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’, yang dapat dimasukkan di dalamnya berbagai permasalahan yang amat banyak tanpa batas, seperti jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang yang tidak dapat diserah-terimakan, jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu
  • 17. 17 pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli itu bathil, karena bersifat gharar tanpa ada keperluan yang mendesak”. 2) Jual beli barang najis – semisal khamar – ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ِ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫د‬ َِٔ‫ع‬-‫َا‬َُُِٗٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬-ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َ‫ع‬َُِ‫ض‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ََِٖٛٚ ِ‫ح‬ِ‫ت‬ّٔ‫ف‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َّ‫َا‬‫ع‬ ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ ََّّ‫َس‬‫ح‬ ُّ٘ٔ‫ي‬ُٛ‫ض‬َ‫ز‬َٚ ًََّ٘‫ي‬‫ا‬ َِّٕ‫إ‬ :ّٔ١َّ‫َه‬ُِ‫ب‬ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ َٚ ُِّٟ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫س‬َُِ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬َِٝ‫ب‬ ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٍ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫د‬ ُ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬.) Jabir bin ‘Abdillah RA meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun Fathul Makkah, ketika beliau sedang berada di Makkah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar”. *HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihai, al-Thabarani dan Ibn Abi Syaibah. Abu Isa berkata: “Hadits Jabir ini adalah Hadits Hasan Shahih]. d. Jual Beli yang Dimakruhkan Contoh jual beli yang dimakruhkan (makruh tahrim) adalah jual beli yang dilakukan oleh laki-laki mukallaf pada saat adzan jum’at sudah berkumandang  (١‫اجلُع‬:9) 9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. B. KHIYAR 1. Pengenalan Istilah Khiyar dari segi bahasa bermakna mencari hal yang terbaik dari dua perkara atau lebih. Khiyar menurut istilah adalah pihak yang berakad memiliki hak untuk melangsungkan atau membatalkan akad. Wahbah al-Zuhailî menyatakan bahwa pengertian khiyar adalah orang yang berakad memiliki hak untuk melanjutkan ataupun membatalkan akad, jika khiyar yang dimaksud adalah khiyar syarat, khiyar ru’yah atau khiyar ‘aib; atau orang yang berakad diperkenankan untuk memilih salah satu dari barang yang diperjual-belikan, jika khiyar yang dimaksud adalah khiyar ta’yin. Hikmah diadakannya khiyar dalam akad adalah menegaskan keridhaan kedua pelaku akad dalam mengadakan dan memberlakukan akad. Terkadang seseorang, misalnya, membeli barang dagangan dan tidak melihat adanya cacat ketika sedang berakad, kemudian tampak adanya cacat setelah itu. Untuk keadilan, maka pembeli itu diberikan khiyar (hak menentukan pilihan) untuk membatalkan atau mempertahankan akad.
  • 18. 18 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an Penyusun tidak mendapati dalil ayat al-Qur’an yang secara langsung menjadi dasar hukum khiyar. b. Dalil Hadits َِٔ‫ع‬َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬-َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ّٕ‫هلل‬‫ا‬َ‫ع‬َُُِٓٗ‫ا‬-ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬-َ‫ص‬ًَّّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢َ‫ع‬ًََِِّٔٝ٘ٚ‫ض‬ًََِّ-َ‫ب‬َ‫ت‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ٍ‫د‬ِ‫ح‬‫َا‬ٚ ٌُّّٕ‫ن‬ ِٕ‫َا‬‫ع‬ِٜ‫ا‬ .ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ َ‫ع‬َِٝ‫ب‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ،‫ّٔا‬‫ق‬َّ‫ّٔس‬‫ف‬َ‫ت‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫ب‬ ‫َا‬َُُُِِِّٟٗٓ‫ز‬‫َا‬‫خ‬ُ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬(ّٕ‫و‬ِ‫ي‬‫ا‬َََٚ ُِّٞ٥‫ا‬َ‫ط‬َّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬ََُٚ ‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ٍٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ.)ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬ Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Penjual dan pembeli, masing-masing terikat khiyar atas rekannya, selama keduanya belum perpisah [dari tempat akad]; kecuali jual beli khiyar [yakni sudah disepakati adanya khiyar dalam jual beli yang dilangsungkan, maka khiyar harus dipenuhi]” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Malik, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, al-Daruquthni dan al-Thabarani]. ِ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ِّْٔ‫أل‬‫ا‬ ََِٔ ّٗ‫ُال‬‫د‬َ‫ز‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٢ّٔ‫ي‬ِ‫إ‬ ّٕٛ‫ه‬ِ‫ص‬َٜ ّ٘١َ‫ث‬ِّٛٔ‫ي‬ ِِْ٘‫ا‬َ‫ط‬ًِِ‫ب‬ ِ‫ت‬َْ‫ا‬ّٔ‫ن‬َٚ-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-: ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ُّ٘ٔ‫ي‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ ِ‫ع‬َِٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ َُٔ‫ب‬ِ‫ػ‬ُٜ ٍُ‫َا‬‫ص‬َٜ ّٔ‫ال‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ِ‫ب‬ َ‫ت‬ِّْٔ‫أ‬ َُِّ‫ث‬ ّٔ١َ‫ب‬ّٔ‫ال‬ِ‫خ‬ ّٔ‫ال‬ ٌِّٔ‫ك‬ّٔ‫ف‬ َ‫ت‬ِ‫ع‬َٜ‫ا‬َ‫ب‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ :ِ‫ز‬‫َا‬ِٝ‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬ِ‫إ‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ِ‫د‬ُ‫د‬ِ‫ز‬‫ّٔا‬‫ف‬ َ‫ت‬ِّّٖٓ‫خ‬َ‫ض‬ ِِٕ‫إ‬َٚ ّٖ‫ِو‬‫ط‬َِّٔ‫أ‬ّٔ‫ف‬ َ‫ت‬ِٝ‫ض‬َ‫ز‬ ِِٕ‫إ‬ّٔ‫ف‬ ٍٍ‫َا‬ّٝٔ‫ي‬ َ‫خ‬ّٔ‫ال‬َ‫ث‬ ‫َا‬َٗ‫ت‬ِ‫ع‬َ‫ت‬ِ‫ب‬‫ا‬ ٍ١َ‫ع‬ًِّٖ‫ض‬ ٌّّْٕ‫ن‬ ٢ِ‫ف‬ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ .)ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar RA yang berkata: Saya mendengar bahwa ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang gagap bicaranya, melapor kepada Rasulullah SAW bahwasanya dia terus-menerus ditipu ketika jual beli. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Jika engkau berjual beli, maka katakan, ‘tidak boleh ada penipuan’. Selanjutnya engkau boleh khiyar dalam setiap barang yang engkau beli selama tiga hari. Jika engkau rela, maka tahanlah barang itu; dan jika engkau tidak berkenan, maka kembalikanlah” *HR. Ibn Majah, al-Baihaqi, al-Daruquthni dan Ibn Abi Syaibah]. ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ُ‫ت‬ِ‫ع‬َُِ‫ض‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ٍ‫س‬َِ‫َا‬‫ع‬ ِِٔ‫ب‬ ّٔ١َ‫ب‬ّٖ‫ُك‬‫ع‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ًٍِِِ‫ط‬ُُِ‫ي‬ ٌُِّ‫خ‬َٜ ّٔ‫ال‬َٚ ًِِِِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٛ‫خ‬ّٔ‫أ‬ ًُِِِ‫ط‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ :ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬ِ‫إ‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ُّ٘ٔ‫ي‬ َََُّ٘ٓٝ‫ب‬ َّ‫ِال‬‫إ‬ ْ‫ب‬َِٝ‫ع‬ ِِ٘ٝ‫ف‬ ‫ّا‬‫ع‬َِٝ‫ب‬ ِِ٘ٝ‫خ‬ّٔ‫أ‬ َِِٔ َ‫ع‬‫َا‬‫ب‬ْ‫ح‬ِِٝ‫خ‬َ‫ص‬ ْ‫ح‬ِِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ :ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ .)َِِٔٝ‫خ‬َِّٝ‫يص‬‫ا‬ ِ‫ط‬ِ‫س‬َ‫ش‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ‘Uqbah bin ‘Amir berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim adalah suadara muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual kepada saudaranya, sesuatu yang mengandung cacat (aib), kecuali dia menjelaskannya (terlebih dahulu). [HR. Ibn Majah, al-Baihaqi dan al-Hakim. Al- Hakim berkata: Ini adalah Hadits Shahih menurut syarat (kriteria) Imam Bukhari dan Muslim].
  • 19. 19 3. Teori a. Jenis-jenis Khiyar Wahbah al-Zuhailî menyatakan bahwa khiyar itu ada 17 macam. Namun secara garis besar diringkas menjadi 5 macam: Khiyar Majlis, Khiyar Ta’yin, Khiyar Syarat, Khiyar Ru’yah dan Khiyar ‘Aib. Berikut penjelasan detailnya: 1) Khiyar Majlis Yaitu masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad selama masih di tempat (majlis) akad dan selama keduanya belum berpisah; atau salah satu pihak menawarkan khiyar kepada pihak lainnya, lalu dia memilih untuk melanjutkan akad. Ini artinya, akad baru dinilai sah (berlaku) seiring berakhirnya tempat akad, entah dengan perpisahan antara kedua belah pihak yang berakad maupun sudah ada kepastian khiyar antara melanjutkan atau membatalkan. Adapun batasan ‘perpisahan’ antara kedua belah pihak didasarkan pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat ketika menjalani transaksi muamalah. 2) Khiyar Ta’yin Yaitu orang yang berakad memiliki hak untuk menentukan salah satu di antara tiga barang yang berbeda dari segi harga dan sifat yang disebutkan ketika akad. Jika sudah ditentukan salah satunya, maka tempat akad dapat diketahui setelah sebelumnya masih samar. Misalnya: seorang penjual berkata kepada calon pembeli: “Saya jual kepadamu salah satu dari dua baju ini – dan penjual menentukan harga masing-masing baju – tetapi kamu harus menentukan baju yang hendak kamu beli dalam waktu dua hari”. Lalu calon pembeli itu menjawab: “Saya terima”. Berdasarkan Khiyar Ta’yin ini, pembeli berhak memilih salah satu baju dan menjadikannya sebagai objek akad dengan harga yang telah ditentukan untuknya. 3) Khiyar Syarat Khiyar Syarat adalah khiyar milik salah satu pelaku akad, atau keduanya, atau selain keduanya dalam mempertahankan akad atau membatalkannya dalam jangka waktu tertentu. Khiyar ini dimiliki pelaku akad dengan mensyaratkannya untuk dirinya atau pelaku lain mensyaratkannya untuk dirinya. Misalnya: Penjual berkata kepada pembeli: “Aku jual kudaku ini dan engkau memiliki hak khiyar selama tiga hari”. Sebab adanya khiyar ini adalah disyaratkannya pada waktu akad oleh salah satu pelaku akad. Karena itu, ia dinamakan khiyar syarat, yaitu khiyar yang sebabnya adalah syarat. Jangka waktu khiyar ini adalah tiga hari atau kurang. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan Hanafi. Alasan pendapat ini adalah hadits yang menjelaskan jangka waktu itu, karena khiyar syarat bertentangan dengan konsekuensi akad yaitu mengikat, sehingga terbatasi dengan batas waktu yang ditetapkan oleh nash, yatu tiga hari.
  • 20. 20 Khiyar Syarat dapat dilakukan pada akad-akad yang mengikat (lazim) dan bisa dibatalkan, seperti jual beli dan sewa; namun tidak boleh dilakukan pada akad-akad yang mengikat, yang tidak bisa dibatalkan, seperti pernikahan dan perceraian. Begitu juga khiyar syarat tidak berlaku pada akad yang tidak mengikat, seperti wadi’ah dan ‘ariyah. 4) Khiyar Ru’yah Hak yang ditetapkan berdasarkan ketentukan Khiyar Ru’yah ini dimiliki oleh salah satu pelaku akad untuk membatalkan atau meneruskan akad menurut penglihatannya pada objek akad, jika ia tidak melihatnya pada waktu akad atau sebelumnya, dalam waktu yang tidak terjadi perubahan dalam akad. Jika Anda membeli mobil dan Anda tidak melihatnya, maka Anda memiliki Khiyar Ru’yah ketika melihatnya, antara membatalkan atau meneruskan akad. Dalam hal ini tidak disyaratkan melihat seluruh objek akad, jika melihat sebagian objek akad telah memberikan pengetahuan yang memadai terkait objek akad tersebut. 5) Khiyar ‘Aib Khiyar ‘Aib adalah hak yang dimiliki penerima pengalihan milik (yakni pembeli) untuk membatalkan akad atau mempertahankannya karena aib (cacat) yang ia dapati dalam kepemilikannya. Cacat atau aib pada benda yang diakadkan yang mengakibatkan Khiyar ‘Aib adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga bagi para pedagang atau orang-orang yang ahli di bidangnya; atau aib yang menurut norma yang sehat dinilai bahwa benda yang diakadkan tidak terbebas dari cacat; atau aib yang menghilangkan tujuan pada benda, dan hal itu mengakibatkan berkurangnya nilai benda yang diakadkan. C. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH (HARVEST-YIELD PROFIT SHARING) 1. Pengenalan Istilah Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen. Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan Mukhabarah. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.  Muzara’ah : benih dari pemilik lahan  Mukhabarah : benih dari penggarap Pendapat lain menyatakan bahwa secara bahasa, kata Muzara’ah berarti kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah, pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
  • 21. 21 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an Penyusun tidak mendapati dalil al-Qur’an yang secara tegas menjadi dasar hukum akad Muzara’ah maupun Mukhabarah. b. Dalil Hadits ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ٍ‫س‬‫َّا‬‫َب‬‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ِّٕٔ‫أ‬ َ‫س‬ََّٔ‫أ‬ ِِٔ‫ه‬ّٔ‫ي‬َٚ ّٔ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِّّْ‫َس‬‫خ‬ُٜ ِِّٔ‫ي‬ُٙ‫َا‬ََٚ‫ز‬( .ٍ‫ض‬ِ‫ع‬َ‫ب‬ِ‫ب‬ ُُِِٗ‫ط‬ِ‫ع‬َ‫ب‬ َ‫ل‬ّٕ‫ف‬ِ‫س‬َٜ .)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ُِّْٞ‫ا‬َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬ Ibn ‘Abbas RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW tidak mengharam-kan Muzara’ah, akan tetapi beliau memerintahkan agar sebagian ... pada sebagian yang lain. [HR. Al-Tirmidzi, al-Baihaqi dan al-Thabarani. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih]. َ‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ُٙ‫َا‬ّٖٓ‫ي‬ّٔ‫أ‬َ‫ط‬ّٔ‫ف‬ ٌٍِ‫ك‬ِ‫ع‬ََ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ‫َا‬ًَّٖٓ‫خ‬َ‫د‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِ‫ب‬ِ٥‫ا‬َّ‫يط‬‫ا‬ ِِٔ‫ب‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ َِٔ‫ع‬ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ ْ‫ت‬ِ‫ب‬‫َا‬‫ث‬ ََِ‫ع‬َ‫ش‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ ِ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫ا‬ -ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ َُِِّٞ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬ِٗ‫ب‬ َ‫س‬ّٖ‫َأ‬‫ب‬ ّٔ‫ال‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ِ٠َ‫س‬َ‫د‬‫َا‬‫ؤ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ِ‫ب‬ َ‫س‬ََّٔ‫أ‬َٚ ِ١َ‫ع‬َ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ٢ََْٗ َ‫س‬َ‫ب‬َّّٓ‫ي‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ َٕ‫َّا‬‫ِب‬‫ح‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ.)ُِّْٞ‫ا‬ Abdullah bin al-Sa’ib berkata: Kami mendatangi Abdullah bin Ma’qil, lalu bertanya kepadanya tentang Muzara’ah. Lalu dia menjawab: Tsabit menduga bahwasanya Rasulullah SAW melarang Muzara’ah dan memerintahkan Mu’ajarah. Dan Abdullah bin Ma’qil berkata: Muzara’ah itu tidak mengapa. *HR. Muslim, al-Darimi, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Thabarani]. َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ ِِٙ‫ر‬َٖ َ‫ت‬ّٖ‫َن‬‫س‬َ‫ت‬ ِّٛٔ‫ي‬ َُِِٔ‫ح‬َّ‫يس‬‫ا‬ ِ‫د‬ِ‫ب‬َ‫ع‬ ‫َا‬‫ب‬ّٔ‫أ‬ ‫َا‬ٜ ُّ٘ٔ‫ي‬ ُ‫ت‬ًّّٖٕ‫ك‬ّٔ‫ف‬ ْٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ُ‫س‬ِ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُٜ َٕ‫ّٔا‬‫ن‬ َُّّْ٘ٔ‫أ‬ ٍ‫س‬ُٚ‫ّٔا‬‫ط‬ َِٔ‫ع‬ُ‫ع‬ِ‫ص‬َٜ َُِِِّْٗ‫إ‬ّٔ‫ف‬ ّٔ٠َ‫س‬َّ٢ِ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َّّٕٔ‫أ‬ َُُٕٛ- ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-َّ٢ِ‫ب‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ َّّٕٔ‫أ‬ ٍ‫س‬‫َّا‬‫َب‬‫ع‬ َِٔ‫ب‬‫ا‬ ٢ِِٓ‫ع‬َٜ ّٔ‫و‬ِ‫ي‬َ‫ر‬ِ‫ب‬ ًُُُِِِّٗٔ‫ع‬ّٔ‫أ‬ ٢َِْ‫س‬َ‫ب‬ِ‫خ‬ّٔ‫أ‬ ُٚ‫س‬َُِ‫ع‬ ِ٣ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ك‬ّٔ‫ف‬ .ِ٠َ‫س‬َ‫ب‬‫َا‬‫خ‬ُُّٖ‫ي‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬ ٢ََْٗ-٢ًََّ‫ص‬ ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬-ُ‫ح‬ََُِٜٓ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ‫َا‬َُِّْ‫إ‬ ‫َا‬َِٗٓ‫ع‬ ََِٜ٘ٓ ِِّٔ‫ي‬.‫ّا‬ًَِّٕٛ‫ع‬ََ ‫ّا‬‫د‬ِ‫س‬َ‫خ‬ ‫َا‬ًَِّٗٝٔ‫ع‬ َ‫ر‬ُ‫خ‬ّٖ‫َأ‬ٜ ِّٕٔ‫أ‬ َِِٔ ُّ٘ٔ‫ي‬ ْ‫س‬َِٝ‫خ‬ ُٙ‫َا‬‫خ‬ّٔ‫أ‬ ِِّٕ‫ن‬ُ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .)ًُِِِ‫ط‬َُ Thawus meriwayatkan bahwasanya dia mempraktikkan Mukhabarah. ‘Amr berkata: Saya berkata kepadanya: Wahai ‘Abdurrahman, sebaiknya engkau meninggalkan praktik Mukhabarah ini, karena sesungguhnya para Sahabat menduga bahwasanya Nabi SAW melarang Mukhabarah. ‘Amr menjawab: Saya telah mendapatkan kabar dari orang yang paling alim di antara para Sahabat, yakni Ibn ‘Abbas, bahwasanya Nabi SAW tidak melarang Mukhabarah. Hanya saja Nabi SAW bersabda: Pemberian seseorang kepada saudaranya itu lebih baik daripada mengambil bagian yang sudah ditentukan. [HR. Muslim]. 3. Teori Imam Bukhari menulis: “Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata: “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan
  • 22. 22 Muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, al- Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga ‘Al dan Ibn Sirin. Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Imam Bukhari menuturkan: “Umar pernah memperkerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan: jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya, maka mreka mendapatkan begitu juga”. Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan: “al-Hasan menegaskan, ‘Tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat al-Zuhri”. D. MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN PORTION OF YIELD) 1. Pengenalan Istilah Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Musaqah adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya. 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an Penyusun tidak mendapati dalil al-Qur’an yang secara tegas menjadi dasar hukum akad Musaqah.
  • 23. 23 b. Dalil Hadits ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍَُٛ‫ض‬َ‫ز‬ َّّٕٔ‫أ‬ َ‫س‬َُُ‫ع‬ ِِٔ‫ب‬‫ا‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .ٍ‫ع‬ِ‫ز‬َ‫ش‬ ِّٚٔ‫أ‬ ٍ‫س‬ََُ‫ث‬ َِِٔ ‫َا‬َِِٗٓ ُ‫ج‬ُ‫س‬ِ‫خ‬َٜ ‫َا‬َ ِ‫س‬َّّٖٓ‫ص‬ِ‫ب‬ َ‫س‬َ‫ب‬َِٝ‫خ‬ ٌَِّٖٔ‫أ‬ ٌَََ‫َا‬‫ع‬ ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َِٚ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬َُْٚٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ٝ .)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ Ibn ‘Umar meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar dengan memberi (bagian) setengah dari hasil panen, baik berupa buah-buahan maupun pertanian. [HR. Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Bahaqi, al-Daruquthni dan Ibn Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih+. ّٔ٠َ‫س‬َِٜ‫س‬ُٖ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-َ‫ز‬َُِ٘ٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬-ّْ٢ِ‫ب‬ًَِّٓ‫ي‬ ُ‫ز‬‫َا‬‫ص‬ِّْٔ‫أل‬‫ا‬ ِ‫ت‬ّٔ‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ق‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-.ٌَِٝ‫خ‬َّٓ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬ِْٓ‫ا‬َِٛ‫خ‬ِ‫إ‬ ََِٔٝ‫ب‬َٚ ‫َا‬ََِٓٓٝ‫ب‬ ِِِ‫ط‬ّٖ‫ّٔق‬‫ا‬ : .‫َا‬ِٓ‫ع‬ّٔ‫ط‬ّٔ‫أ‬َٚ ‫َا‬ِٓ‫ع‬َُِ‫ض‬ ‫ّٕٛا‬‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ق‬ .ِ٠َ‫س‬ََُّ‫يج‬‫ا‬ ٢ِ‫ف‬ ِِّٕ‫ه‬ّٕ‫ن‬ِ‫س‬ِ‫ص‬َُْٚ ّٔ١َُْٛ٦َُّٖ‫ي‬‫ا‬ ‫َا‬ّْٕٛ‫ف‬ّٖ‫َه‬‫ت‬ :‫ّٕٛا‬‫ي‬‫ا‬ّٔ‫ك‬ّٔ‫ف‬ .ّٔ‫ال‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ََ٘‫د‬‫َا‬َ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّٟ‫ر‬َِِ‫س‬ّْ‫يت‬‫ا‬َٚ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬َٚ ًُِِِ‫ط‬َُ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .)ْ‫ح‬ِٝ‫خ‬َ‫ص‬ َْٔ‫ط‬َ‫ح‬ ْ‫ح‬ِٜ‫د‬َ‫ح‬ ‫َا‬‫ر‬َٖ ٢َ‫ط‬ِٝ‫ع‬ ُٛ‫ب‬ّٔ‫أ‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ .ّٔ١َ‫ب‬َِٝ‫ش‬ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫ا‬ ُِٔ‫ب‬‫َا‬ٚ ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ ُ‫د‬َُِ‫ح‬ّٔ‫أ‬َٚ Abu Hurairah RA berkata: Kaum Anshar berkata kepada Nabi SAW: “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami”. Nabi SAW menjawab: “Tidak”. Kemudian mereka berkata: “Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang [HR. Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Bahaqi, al-Daruquthni dan Ibn Abi Syaibah. Abu ‘Isa berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih]. c. Dalil Hadits Para Sahabat, Tabi’in dan imam mazhab sepakat atas kebolehan akad Musaqah, yakni mengupah buruh untuk menyiram tanaman, menjaga dan memeliharanya. 3. Teori Akad Musaqah diperbolehkan terhadap segala pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan kelapa. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim (pendapat lama) yang dipilih oleh para Syafi’iyyah Muta’akhkhirin. Sedangkan menurut Qaul Jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i, akad Musaqah hanya diperkenan- kan dalam pohon kurma dan anggur saja. E. SYIRKAH/MUSYARAKAH (PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING PARTICIPATION) 1. Pengenalan Istilah Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
  • 24. 24 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an 1) Al-Ma’idah: 2 :٠‫٥د‬‫ا‬‫(امل‬9) Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. 2) Al-Nisa’: 12 :٤‫يٓطا‬‫ا‬(69) Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu 3) Shad: 24  :‫(ص‬93) Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". b. Dalil Hadits َِٜ‫س‬ُٖ ِِٞ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬‫ي‬‫ا‬ ُ‫ح‬ِ‫ي‬‫ا‬َ‫ث‬ ‫َا‬ّْٔ‫أ‬ ٍُّٕٛ‫ك‬َٜ ًََّ٘‫ي‬‫ا‬ َِّٕ‫إ‬ :ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬ ِ‫هلل‬‫ا‬ ٍُُِٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ :ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ َُِ٘ٓ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ َِٞ‫ض‬َ‫ز‬ ّٔ٠َ‫س‬ُِٔ‫خ‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِّٔٝٔ‫ه‬ِٜ‫س‬َّ‫ص‬ َ‫د‬ُٚ‫َا‬‫د‬ ُِٛ‫ب‬ّٔ‫ا‬َٚ ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬َُِِِٗٓٝ‫ب‬ َِِٔ ُ‫ت‬ِ‫د‬َ‫س‬َ‫خ‬ َُْ٘‫ا‬َ‫خ‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ّٔ‫ف‬ َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬‫َا‬‫ر‬ََٖٚ :ُِِ‫ن‬‫َا‬‫خ‬ّٖ‫ي‬‫ا‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬َٚ .ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬َٚ ُِّٞ‫ك‬ََِٗٝ‫ب‬ّٖ‫ي‬‫ا‬َٚ .)ِ‫د‬‫َا‬ِٓ‫ض‬ِ‫إل‬‫ا‬ ُ‫ح‬ِِٝ‫خ‬َ‫ص‬ ْ‫ح‬ِِٜ‫د‬َ‫ح‬ Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah seorang di antaranya tidak mengkhianati temannya. Jika dia mengkhianati temannya, maka Aku keluar dari keduanya”. *HR. Al-Hakim, Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Daruquthni. Al- Hakim berkata: Ini adalah Hadts yang Shahih sanadnya]. ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ٍُُٛ‫ض‬َ‫ز‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ٍَ‫ّٔا‬‫ق‬ ِِ٘ٝ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬ ّْ٢َُِِّٝ‫يت‬‫ا‬ َٕ‫َّا‬َٝ‫ح‬ ٢ِ‫ب‬ّٔ‫أ‬ َِٔ‫ع‬-ًَََِّ‫ض‬َٚ ًَِِّ٘ٝٔ‫ع‬ ّٕ‫هلل‬‫ا‬ ٢ًََّ‫ص‬-‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ ُِٔ‫خ‬َٜ ِِّٔ‫ي‬ ‫َا‬َ ِِّٔٝٔ‫ه‬ِٜ‫س‬َّ‫يص‬‫ا‬ ٢ًَّٔ‫ع‬ ًَِّ٘‫ي‬‫ا‬ ُ‫د‬َٜ : َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬ ‫َا‬ُُُٖ‫د‬َ‫ح‬ّٔ‫أ‬ َٕ‫َا‬‫خ‬ ‫َا‬‫ذ‬ِ‫إ‬ّٔ‫ف‬ َُ٘‫ب‬ِ‫ح‬‫َا‬‫ص‬.)ُِّّّّٖٕٞٓٓ‫ق‬ُ‫ز‬‫َّا‬‫يد‬‫ا‬ ُٙ‫َا‬َٚ‫ز‬( .‫َا‬َُُِٗٓ‫ع‬ ‫َا‬َٗ‫ع‬ّٔ‫ف‬َ‫ز‬ Abu Hayyan al-Taimy meriwayatkan dari ayahnya yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tangan (perlindungan) Allah di atas dua orang yang bersekutu, selama salah seorang di antaranya tidak mengkhianati temannya. Jika dia mengkhianati temannya, maka Allah beranjak dari keduanya”. *HR. Al-Daruquthni].
  • 25. 25 3. Teori a. Jenis-jenis Musyarakah Musyarakah ada dua jenis: 1) Musyarakah Pemilikan. Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. 2) Musyarakah Akad (Kontrak). Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal Musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi lima: al-‘Inan, al-Mufawadhah, al-A’mal, al-Wujuh, dan al-Mudharabah. a) Syirkah al-‘Inan. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis Musyarakah ini. b) Syirkah al-Mufawadhah. Syirkah al-Mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis Musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. c) Syirkah A’maal. Syirkah A’maal ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah A’maal ini kadang-kadang disebut Musyarakah Abdan atau Sanaa’i. d) Syirkah Wujuh. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka
  • 26. 26 berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis Musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai Musyarakah Piutang. e) Syirkah al-Mudharabah. Syirkah al-Mudharabah ini akan dibahas pada sesi berikutnya.
  • 27. 27 F. MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE) 1. Pengenalan Istilah Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp. 10.000.000, lalu ia menambahkan keuntungan sebesar Rp. 750.000 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp. 10.750.000. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai Murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-Aamir bisy-Syira’. 2. Dasar Hukum 3. Teori Murabahah adalah skema pembiayaan dengan menggunakan metode transaksi jual beli biasa. Dalam skema murabahah, bank membeli barang dari produsen, kemudian menjualnya kembali ke nasabah ditambahkan dengan keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasbah. a. Syarat Murabahah 1) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. 2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3) Kontrak harus bebas dari riba. 4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. 5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan: 1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya, 2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual, 3) Membatalkan kontrak.
  • 28. 28 b. Aplikasi dalam Perbankan Murabahah KPP umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui Letter of Credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan Syariah di Indonesia banyak menggunakan Murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja, padahal sebenarnya, Murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Akad Mudharabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip Mudharabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi. c. Contoh Kasus Putri adalah pengusaha tambang batu bara. Putri membutuhkan 50 unit truk untuk kegiatan operasional tambangnya. Untuk mendanai pembelian 50 unit truk tersebut, Putri dapat memanfaatkan jasa bank syariah dengan skema Murabahah. Pertama-tama, dilakukan akad jual beli antara pengusaha dan bank. Ada dua hal yang harus dinegosiasikan dalam akad jual beli ini, yaitu harga truk dan jangka waktu cicilan. Sebelum proses negosiasi dilangsungkan, pihak bank maupun pengusaha sudah memiliki informasi harga beli truk dari produsen (dealer), misalnya Rp. 300 juta per unit. Berdasarkan informasi itu, bank dan pengusaha akan melakukan negosiasi harga yang bersedia dibayar oleh pengusaha pada bank. Misalnya, pengusaha dan bank setuju harga yang harus dibayar pengusaha tersebut adalah Rp. 360 juta per unit. Negosiasi kedua adalah jangka waktu pembayaran cicilan. Jangka waktu pembayaran cicilan ini harus disepakati sejak awal, karena lamanya jangka waktu pembayaran cicilan tidak mengubah harga truk yang harus dibayar oleh pengusaha. Contohnya:  Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 1 tahun: (Rp. 360 juta x 50 unit) : 12 bulan = Rp. 1,5 milyar Jadi, total pembayaran, Rp. 1,5 milyar x 12 bulan = 18 milyar  Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 2 tahun: (Rp. 360 juta x 50 unit) : 24 bulan = Rp. 750 juta Jadi, total pembayaran, Rp. 750 juta x 24 bulan = 18 milyar
  • 29. 29  Apabila disepakati pembayaran cicilan selama 3 tahun: (Rp. 360 juta x 50 unit) : 36 bulan = Rp. 500 juta Jadi, total pembayaran, Rp. 500 juta x 36 bulan = 18 milyar Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1) Jangka waktu pembayaran cicilan tidak mempengaruhi total harga yang disepakati antara pengusaha dan bank, yaitu sebesar Rp. 18 milyar 2) Keuntungan bank dalam membiayai pengadaan truk tersebut juga tidak dipengaruhi oleh jangka waktu pembayaran cicilan. Berapapun lamanya jangka waktu pembayaran cicilan, laba bank dari penjualan truk adalah: Harga jual: Rp. 360 juta x 50 unit = Rp. 18 milyar Harga beli: Rp. 300 juta x 50 unit = Rp. 15 milyar Laba bank = Rp. 3 milyar. 3) Tidak terdapat unsur riba (bunga). Prinsip time value of money dalam konteks bank syariah tidak berlaku. Jika begitu, pengusaha tentu akan memilih jangka waktu pembayaran cicilan yang paling lama, karena akan sangat menguntungkan bagi pengusaha. Benar! Akan tetapi, bank boleh tidak sepakat, karena bagi bank akan sangat menguntungkan kalau harga truk tersebut dibayar secepat mungkin. Oleh karena itu, berhubung kepentingan bank dan pengusaha bertolak belakang, maka dalam proses negosiasi akan terjadi keseimbangan (equilibrium) kepentingan dalam masalah jangka waktu pembayaran cicilan. Hal yang tidak boleh dilakukan oleh bank syariah adalah memberlakukan opsi dalam proses negoisasi, misalnya: 1) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 1 tahun, harga truk Rp. 330 juta/unit. 2) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 2 tahun, harga truk Rp. 350 juta/unit. 3) Apabila jangka waktu pembayaran cicilan 3 tahun, harga truk Rp. 360 juta/unit. Dalam prinsip syariah, jika ada “dua harga”, itu berarti mengarah ke riba (bunga). Oleh karena itu, proses negoisasi pertama yang harus dilakukan oleh kedua pihak adalah menegosiasikan masalah “harga”-nya terlebih dahulu. Apabila harga sudah disepakati, barulah dinegosiasikan jangka waktu pembayaran cicilan.
  • 30. 30 Prinsip jual beli dengan skema murabahah dapat dilakukan oleh nasabah individu maupun badan usaha. Nasabah individu dapat menggunakan jasa bank syariah untuk membiayai semua keperluannya, seperti pembelian tanah, rumah, TV, kulkas dan komputer. Demikian juga dengan penguasaha. Pengusaha apapun, baik pengusaha rental mobil, tamban, produsen rokok, sepatu, developer maupun kontraktor, dapat menggunakan jasa bank syariah dengan skema murabahah untuk mendanai pengadaan bahan baku ataupun asetnya. Nilai transaksinya pun tidak dibatasi, dari jutaan sampai ratusan milyar sepanjang bank memiliki kemampuan untuk itu. d. Murabahah pada Bank Syariah vs. Kredit Investasi pada Bank Konvensional Jika Putri memilih membiayai pengadaan truknya dengan kredit investasi, bank konvensional akan memberikan daftar harga dan pembayaran cicilan bulanannya. Apabila tingkat bunga 10% flat per tahun, pembayaran cicilan selama 2 tahun dalam daftar pembayaran cicilan menunjukkan jumlah sebesar Rp. 750 juta per bulan. Jadi, sama persis dengan pembayaran cicilan pada bank syariah. Perbedaannya adalah: 1) Semakin lama periode pembayaran cicilan di bank konvensional, total harga yang harus dibayar Putri akan makin besar karena bunganya semakin banyak. Sedangkan di bank syariah, berapapun lamanya periode pembayaran cicilan yang disepakati, tidak menambah total harga. Dalam prinsip syariah, harga tetap karena tidak ada bunga. 2) Apabila pengusaha tidak dapat melunasi kewajiban sesuai kesepakatan karena sebab force majeur (faktor yang tidak dapat dikendalikan), misalnya pengusaha baru sanggup melunasi dalam waktu 5 tahun, bank konvensional tetap akan menambahkan bunga sebesar 10% x 5 tahun = 50%. Jadi, total harga yang harus dibayar oleh Putri adalah: Kredit: Rp. 300 juta x 50 unit = Rp. 15 milyar Bunga: 50% x Rp. 15 milyar = Rp. 7.5 milyar Total harga dalam lima tahun = Rp. 22.5 milyar Sedangkan di bank syariah, total kewajiban pengusaha selama 5 tahun tetap sebesar Rp. 18 milyar sebagaimana yang sudah disepakati di awal perjanjian. e. Yang bisa Dibiayai Menggunakan Skema Murabahah Walaupun bentuk dasarnya adalah jual beli, pembiayaan dengan menggunakan skema murabahah ini dapat diperuntukkan bagi rencana
  • 31. 31 pembelian apapun. Dalam praktik dan perkembangannya, akad murabahah biasanya digunakan untuk: 1) Perjanjian Pembiayaan Investasi 2) Perjanjian Pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor 3) Perjanjian Pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah 4) Perjanjian Take Over KPR dengan Skema Ijarah Muntahiyah Bi al- Tamlik (IMBT). f. Syarat Jual Beli Syariah Secara Umum Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ditetapkan mengenai syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap konsep jual beli yang dijadikan dasar dalam pembuatan akad murabahah, akad salam dan akad istishna’: 1) Objek yang diperjual-belikan harus terhindar dari cacat. “Cacat” yang dimaksud di sini, sebagaimana diatur dalam hukum positif, adalah “cacat” yang tersembunyi. Apabila kondisi cacat tersembunyi diketahui oleh pembeli dan disetujui, proses jual beli tetap sah. 2) Kriteria objek jelas (jenis, kualitas, kuantitas, nilai/harga). Misalnya yang diperjualbelikan adalah mobil Kijang. Harus duraikan dengan jelas spesifikasi mobil Kijang tersebut, yaitu jenis Kijang LG atau LGX, buatan tahun berapa, warnanya apa, dan seterusnya. 3) Tidak mengandung unsur paksaan, tipuan dan mudharat.
  • 32. 32 G. MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT) 1. Pengenalan Istilah Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (Shaahibul Maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. 2. Dasar Hukum a. Dalil al-Qur’an 1) Al-Muzzammil: 20  (ٌَ‫املص‬:92) Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah b. Dalil Hadits 3. Teori a. Jenis-jenis al-Mudharabah Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis: 1) Mudharabah Muthlaqah. Yang dimaksud dengan transaksi Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara Shahibul Maal dan Mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan If’al ma Syi’ta (lakukan sesukamu) dari Shahibul Maal ke Mudharib yang memberi kekuasaan dangat besar. 2) Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted Mudharabah/ specified Mudharabah adalah kebalikan dari Mudharabah Muthlaqah. Si Mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini
  • 33. 33 seringkali mencermnkan kecenderungan umum si Shahibul Maal dalam memasuki jenis dunia usaha. b. Praktik al-Mudharabah dalam Perbankan Syariah Pengertian Mudharabah secara umum adalah kerja sama antara pemilik dan atau penanam modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. Dalam konteks deposito, giro atau tabungan syariah, yang disebut pemilik atau penanam modal adalah nasabah/deposan, dan bank bertindak selaku pengelola modal (shahibul mal). Berbeda dengan prinsip wadi’ah, prinsip Mudharabah mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang harus ditaati oleh deposan atau nasabah, misalnya adanya saldo minimal tabungan yang tidak boleh diambil nasabah. Periode dalam deposito syariah sama dengan deposito pada bank konvensional, yaitu berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, atau 12 bulan. Rasio pembagian keuntungan (nisbah) antara deposan/nasabah ditentukan di awal pembukaan deposito atau tabungan. Bagaimana kalau bank merugi? Deposan atau nasabah juga akan menanggung kerugian sesuai proporsi nisbah. Tetapi dalam praktiknya, hal ini belum pernah terjadi. Bahkan, bukti empiris menunjukkan bahwa imbal jasa deposito atau tabungan syariah lebih besar dibandingkan dengan bunga deposito atau tabungan pada bank konvensional. Sebagai perbandingan, marilah kita lihat skema di bawah ini: Kerja sama Mudharabah tidak hanya terbatas pada produk deposito atau giro, tetapi juga bisa diperuntukkan bagi kerjasama dalam bentuk bentuk lainnya, seperti kerja sama untuk melakukan pekerjaan atau proyek tertentu. c. Akad Mudharabah untuk Deposito, Giro dan Tabungan Peraturan Bank Indonesia memberikan syarat minimum akad yang berbeda antara deposito dan tabungan dengan giro. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifatnya, yaitu giro lebih ditujukan bagi kegiatan usaha nasabah, sedangkan deposito dan tabungan diperuntukkan bagi investasi. Syarat minimum akad Dalam Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia, syarat minimum yang harus dicantumkand alam akad Mudharabah untuk tabungan dan deposito adalah: 1) Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu bank dan deposan atau penabung. Bank bertindak selaku pengelola dana (mudharib), sementara nasabah bertindak selaku pemilik dana (shahib al-mal). Jadi, dana yang disetorkan oleh nasabah ke dalam rekening mudharabah (dalam bentuk giro, deposito ataupun tabungan) akan dikelola oleh bank dengan sedemikian rupa, yang kemudian hasilnya akan dibagikan kepada nasabah sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal.
  • 34. 34 2) Dananya harus disetor penuh. Jadi, tidak diperbolehkan pemberian dana dalam bentuk cicilan atau bertahap. Apabila seorang calon deposan akan mendepositokan uangnya sebesar Rp. 10.000.000, calon deposan itu harus menyetorkan secara langsung. Tidak boleh disetor Rp. 5.000.000 kemudian sisanya akan dicicil setiap bulan senilai Rp. 1.000.000. 3) Pembagian keuntungan dalam nisbah. Pembagian keuntungan dibuatkan prosentase pembagiannya, misalnya 6:4, yang besarnya ditentukan di awal. 4) Pada tabungan, nasabah wajib menginvestasikan dana minimum tertentu. Tidak seperti tabungan wadi’ah, pada tabungan yang menggunakan skema mudharabah akan ditetapkan adanya saldo minimum dalam rekening nasabah. Misalnya, minimum saldo sebesar Rp. 1.000.000. Artinya, jika sewaktu-waktu nasabah akan menarik dananya, dalam rekening mudharabah tersebut harus tetap ada dana mengendap minimal sebesar Rp. 1.000.000. 5) Nasabah tidak boleh menarik dana di luar kesepakatan. Walaupun sifatnya tabungan (bukan deposito misalnya), karena yang digunakan adalah skema mudharabah, dana yang ditabungkan tersebut akan digunakan oleh bank untuk diinvestasikan kembali ke dalam berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. Oleh karena itu, nasabah tidak boleh mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Harus ditetapkan akan ditabung oleh nasabah yang bersangkutan dalam jangka waktu yang telah disepakati di awal akad (misalnya 1 bulan, 3 bulan atau 12 bulan). 6) Biaya operasional dari nisbah bank. Jadi, dalam pembagian nisbah antara bank dan nasabah, sudah ditentukan bahwa pembagian keuntungan (nisbah) yang diterima oleh bank, sudah termasuk biaya operasional bank dalam memelihara rekening tabungan atau deposito tersebut. Hal ini berbeda dengan mudharabah untuk giro yakni biaya operasional bank dibagi antara bank dan nasabah berdasarkan nisbah. 7) Bank tidak boleh mengurangi hak nasabah. 8) Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-undangan yang berlaku. Jadi, pada dasarnya tidak ada jaminan dari bank dalam penyimpanan dana nasabah di bank syariah. Walaupun begitu, jika penjaminan tersebut dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini Penjamin Simpanan), hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak diatur secara khusus dalam akad mudharabah untuk giro dan tabungan. Berbeda dengan tabungan dan deposito, ada beberapa syarat minimum akad mudharabah untuk giro yang tidak diatur dalam tabungan dan deposito, yaitu:
  • 35. 35 1) Harus ada kegiatan usaha (dharabah) dari nasabah. 2) Pembagian keuntungan dihitung dari saldo terendah. 3) Biaya operasional tidak dibebankan pada bagian keuntungan (nisbah) bank, melainkan biaya operasional ditanggung bersama berdasarkan nisbah. Satu hal yang menarik dalam peraturan Bank Indonesia dalam tabungan, giro dan deposito dengan menggunakan skema mudharabah adalah bank tidak boleh mengurangi hak nasabah. Dalam Fatwa Dewan Nasional juga ditetapkan bahwa bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Artinya, tidak ada perubahan nisbah sewaktu-waktu seperti ketentuan mengenai suku bunga mengambang (floating), yakni bank dapat sewaktu-waktu mengubah tingkat suku bungan tabungan berdasarkan ketentuan suku bunga yang berlaku pada saat itu. Potensi Risiko dalam Skema Mudharabah pada Giro, Deposito dan Tabungan Dalam skema mudharabah untuk giro, deposito dan tabungan, terdapat potensi risiko yang mungkin dihadapi oleh pihak bank: 1) Risiko likuiditas, yang disebabkan oleh fluktuasi dana yang ada di rekening giro relatif tinggi dan bank setiap saat harus memenuhi kewajiban jangka pendek tersebut. 2) Risiko pasar, yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar untuk giro dalam valuta asing. 3) Risiko displacement (commercial displacement risk), yang disebabkan oleh adanya potensi nasabah memindahkan dananya karena adanya tingkat bonus atau bagi hasil riil yang lebih rendah dari tingkat suku bunga yang ada. Apa yang dimaksud displacement? Dalam praktik, terkadang nisbah bagi hasil untuk giro, deposito ataupun tabungan mudharabah pada bank syariah nilainya lebih kecil daripada suku bunga yang berlaku di bank konvensional. Ini, antara lain, karena tingkat penetapan nisbah tidak bersifat floating (tidak dapat berubah sewaktu-waktu), sedangkan tingkat suku bunga pada bank konvensional umumnya bersifat floating. Oleh karena itulah, ada kemungkinan nasabah memindahkan dana yang disimpannya di rekening mudharabah ke rekening bank konvensional. Sebagaimana konsep wadi’ah untuk tabungan dan giro, dalam praktiknya terkadang bank syariah tetap memungut sejumlah biaya administrasi tertentu untuk dapat tetap memelihara rekening nasabah, seperti memberikan fasilitas kemudahan berupa fitur-fitur tertentu, seperti ATM, e-payment, e-banking dan telephone banking. Ini terutama berlaku bagi bank syariah yang masih memiliki bisnis konvensional dengan fitur-fitur kemudahan bagi nasabah dianggap sebaga fasilitas. Jadi, wajar kiranya jika nasabah dibebani biaya tertentu untuk dapat menikmatinya.
  • 36. 36 Penghimpunan Dana (Funding) Perbankan Syariah 1) Skema Wadi’ah. Wadi’ah adalah salah satu produk bank syariah yang berarti penitipan dana antara pihak pemilik dana dan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Nasabah tidak berhak mendapatkan hasil apapun, akan tetapi dapat mengambil dananya kapan pun dia kehendaki. 2) Skema Mudharabah. Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana atau penanam modal dan pengelola modal (bank) untuk melakukan usaha tertentu dalam pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.