Koridor I BRT Kota Semarang memiliki headway rata-rata 10-20 menit yang lebih lama dari standar World Bank 1-2 menit. Laporan ini bertujuan merencanakan peningkatan infrastruktur untuk meningkatkan kinerja BRT, khususnya headway dan load factor pada koridor I dalam 20 tahun ke depan.
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Perencanaan BRT Kota Semarang
1. Perencanaan Infrastruktur Transportasi dalam
Meningkatkan Kinerja Pelayanan BRT Kota Semarang
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pilihan Perencanaan Infrastruktur (TKP 460)
Disusun oleh:
Intan Hapsari H. 21040113130068
Gilang Rizki Ramadhan 21040113120014
Anggun Kumala Dewi 21040113120023
Ezra Wirabumi 21040113120029
Dhita Mey Diana 21040113120038
Reksa Istiana 21040113120053
Julvian Rezky Widiarta 21040113120057
Siti Kurniawati 21040113120062
Rakan Pramoe Izdihar 21040113130085
Nurul Almira 21040113130104
Ditta Grahitami 21040113140107
Laras Kun Rahmanti P. 21040113130114
M. Hafidz Satria 21040113130118
Izzah Khusna 21040113140123
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
3. DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
BAB II
STUDI PUSTAKA...................................................................................................................................12
BAB III
IDENTIFIKASI KINERJA BRT KOTA SEMARANG......................................................................................31
BAB IV
RENCANA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DALAM MENDUKUNG KINERJA PELAYANAN KORIDOR I BRT
KOTA SEMARANG................................................................................................................................47
BAB V
KOMPONEN BIAYA DAN MANFAAT SKENARIO PERENCANAAN INFRASTRUKTUR KORIDOR I BRT KOTA
SEMARANG..........................................................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................72
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam kategori kota
metropolitan, dengan jumlah penduduk pada tahun 2015 sebesar 1.773.905 jiwa. Jumlah
penduduk tersebut mengalami peningkatan sebesar 11,1 % dari tahun 2014 sebesar 1.584.881
jiwa. Peningkatan jumlah penduduk berakibat pada peningkatan kebutuhan akan
permukiman. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, muncul permukiman-permukiman baru
yang cenderung bergerak ke arah pinggiran dan bersifat menyebar. Hal tersebut berdampak
pada permintaan pergerakan penduduk yang ikut menyebar.
Berdasarkan data BPS Kota Semarang tahun 2008-2012, terjadi peningkatan kendaraan
pribadi rata-rata 1,24 %. Pengguna kendaraan pribadi banyak digunakan oleh masyarakat
yang tinggal di wilayah Pedurungan, Ngaliyan, Semarang Barat, Semarang Utara, dan
Tembalang. Peningkatan pendapatan masyarakat juga berpengaruh terhadap pemakaian
kendaraan pribadi sebagai respon terbatasnya pelayanan angkutan umum penumpang, baik
dari segi kualitas atau pun kuantitas. Berdasarkan Master Plan Transportasi Kota Semarang
2009-2029, kualitas angkutan umum penumpang dianggap masih rendah. Hal tersebut dilihat
3
4. dari beberapa indikator, seperti kualitas pelayanan, kenyamanan, keselamatan atau keamanan,
tarif berdasarkan masyarakat, serta kondisi fisik lainnya.
Peningkatan jumlah kendaraan pribadi serta rendahnya kualitas angkutan umum kota
yang ada sekarang ini, menjadi suatu pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk
menyediakan angkutan kota yang efektif dan efisien bagi penggunanya. Hal tersebut juga
untuk mendukung perkembangan Kota Semarang menjadi Kota Hub Berbasis Angkutan
Darat. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam memecahkan permasalahan transportasi dan
untuk mewujudkan transportasi perkotaan yang berkelanjutan, salah satunya melalui
pengadaan Bus Rapid Transit (BRT). Keuntungan dari menggunakan BRT sebagai
transportasi umum kota diantaranya tarif yang murah, yaitu Rp 3.500,- untuk umum dan Rp
1.000,- untuk pelajar, ruang dalam bus yang ber-AC, serta koridor yang mampu melayani
daerah pinggiran. Rencana BRT Trans Semarang akan membuka 6 koridor, dengan 4 koridor
yang sudah aktif, yaitu koridor I (Mangkang-Penggaron), koridor II (Terboyo-Sisemut),
koridor III (Akpol-Pelabuhan), dan koridor IV (Bandara Ahmad Yani-Tawang).
Terlepas dari keuntungan yang didapatkan dari transportasi umum berbasis BRT di
Kota Semarang, masih terdapat beberapa permasalahan diantaranya headway rata-rata antara
10-20 menit (Hasil Survei Lapangan, 2016). Berdasarkan standar dari World Bank, headway
rata-rata, yaitu 1-2 menit. Lamanya waktu antar kendaraan yang berurutan (headway)
berpengaruh terhadap lamanya waktu tunggu. Hal tersebut secara tidak langsung membuat
pengguna transportasi umum BRT mencari moda alternatif lain untuk mencapai tujuannya,
seperti menggunakan kendaraan pribadi baik motor atau pun mobil. Lamanya waktu antar
kendaraan yang berurutan (headway) berkaitan dengan load factor (tingkat isian kendaraan).
Kedua indikator tersebut sama-sama berpengaruh terhadap kinerja BRT. Oleh karena itu,
diperlukan suatu perencanaan dalam peningkatan kinerja BRT melalui peningkatan headway
dan load factor dengan jangka waktu 20 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu alternatif pemecahan masalah transportasi di Kota Semarang adalah
meningkatkan pelayanan angkutan umum dengan memilih BRT (Bus Rapid Transit) sebagai
moda yang dianggap mampu memecahkan permasalahan utama transportasi di Kota
Semarang. Pengadaan BRT dirancang untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang
semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat ini, BRT yang telah beroperasi
terdapat di Koridor I (Mangkang-Penggaron), Koridor II (Terminal Terboyo-Teminal
4
5. Sisemut, Ungaran), Koridor III (Akpol-Pelabuhan), dan Koridor IV ( Bandara Ahmad Yani-
Tawang-Cangkiran).
Sebagai moda terpilih, agar lebih diminati oleh para pengguna angkutan umum maka
perlu dilakukan analisis kinerja BRT melalui penilaian variabel headway dan load factor
yang keduanya saling memiliki keterkaitan secara tidak langsung. Dalam mengidentifikasi
headway BRT Kota Semarang, dapat diketahui dari travel time dan jumlah armada yang
berada pada masing-masing koridor. Namun, seringkali travel time dari BRT Kota Semarang
melebihi dari waktu yang seharusnya. Hal itu disebabkan oleh kinerja jalan yang meliputi
kapasitas jalan, volume kendaraan, dan hambatan samping, serta aturan kecepatan rata-rata
transportasi umum. Hambatan yang biasa terjadi di Kota Semarang seperti parkir on street di
Jalan Pemuda, genangan air di daerah Kota Lama, dan persimpangan rawan macet yang
terjadi di Jalan Tol Krapyak. Selain itu, ukuran load factor pada BRT Kota Semarang dapat
dilihat dari perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas daya tampungnya. Berikut ini
adalah bagan permasalahan dari kinerja pelayanan BRT Kota Semarang.
5
6. Sumber: Hasil Analisis Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Gambar 1.1
Bagan Permasalahan
6
7. 1.3 Tujuan dan Sasaran
Adapun tujuan dan sasaran dalam penyusunan laporan ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan
Penyusunan laporan ini bertujuan untuk melalukan perencanaan infrastruktur dalam
meningkatkan kinerja pelayanan BRT Kota Semarang, melalui peningkatan headway dan
nilai load factor pada koridor terpilih dalam jangka waktu 20 tahun.
1.3.2 Sasaran
Sasaran yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah seperti berikut:
a. Mengidentifikasi permasalahan transportasi di Kota Semarang.
b. Merumuskan masalah utama transportasi di Kota Semarang.
c. Mengidentifikasi pemecahan masalah transportasi di Kota Semarang.
d. Merumuskan justifikasi pemilihan moda transportasi, yaitu BRT Kota Semarang.
e. Mengidentifikasi dan menganalisis variabel-variabel yang memengaruhi kinerja
pelayanan BRT Kota Semarang.
f. Melakukan justifikasi terhadap koridor terpilih sesuai dengan tingkat urgensi.
g. Mengolah analisis trend permasalahan pada koridor terpilih.
h. Merumuskan skenario perencanaan pada koridor terpilih.
i. Merumuskan komponen biaya dan manfaat dari skenario perencanaan pada koridor
terpilih.
j. Menganalisis kelayakan proyek.
1.4 Batasan Studi
Ruang lingkup wilayah studi meliputi empat koridor BRT Kota Semarang. Empat
koridor tersebut yaitu koridor I (Mangkang-Penggaron), koridor II (Terboyo-Sisemut),
koridor III (Akpol-Pelabuhan), dan koridor IV (Bandara Ahmad Yani-Tawang). Berikut
adalah rute dari masing-masing koridor:
• Koridor I (Mangkang-Penggaron)
Rute Pergi Rute Pulang
Terminal Mangkang - Pasar Mangkang -
Sango - Kawasan Industri - Karanganyar
(SMA 8) - Karpet - KTI - Taman Lele -
Lapangan Tugu - PLN - RSUD Tugu -
Pengadilan - Muradi – Cakrawala -
Terminal Penggaron - Bitratex - Pucang
Gading - Manunggal Jati - Zebra – BLK -
ADA Majapahit - Pasar Gayamsari – Kelinci
- Milo - RRI - SPBU (Ahmad Yani II) -
Simpang Lima - Gramedia - Pandanaran
7
8. Rute Pergi Rute Pulang
Karangayu - ADA Pasar Bulu - Pasar Bulu -
SMA 5 – Balaikota – Pandanaran - Gramedia
- Simpang Lima - RRI Stasiun (Ahmad Yani
I) - Milo - Beruang - ADA Majapahit - BLK -
Pedurungan/Samsat - Zebra - Manunggal Jati
- Pucang Gading - Terminal Penggaron.
- SMA 5 - Balaikota - Pasar Bulu - ADA
Pasar Bulu - Karangayu - Cakrawala -
Muradi - Pengadilan - RSUD Tugu - PLN -
Lapangan Tugu - Taman Lele - KTI - Karpet
- Karanganyar (SMA 8) - Kawasan Industri –
Sango - Pasar Mangkang - Terminal
Mangkang.
• Koridor II (Terboyo-Sisemut)
Rute Pergi Rute Pulang
Terboyo - RSI Sultan Agung - LIK -
Kampoeng Semarang - Sawah Besar
Kaligawe - Pasar Kobong - Raden Patah -
Kota Lama - STIE BPD Jateng - Johar - Balai
Kota - Katedral - RSUP Kariadi - Ngaglik -
SPBU Gajahmungkur - Elizabeth - Kagok -
Akpol - Don Bosko - Kesatrian - Pasar
Jatingaleh - Bukitsari - Ngesrep/Tembalang -
Ruko Setiabudi - SPBU Sukun - Banyumanik
- Mega Rubber - Gedawang - BPK Jawa
Tengah - Alun-alun Ungaran - Sisemut
(Terminal Ungaran).
Sisemut - Taman Unyil - BPK Jawa Tengah -
Pudakpayung– KODAM - Terminal
Banyumanik - ADA Setiabudi - TK Srondol -
Ngesrep - Pasar Jatingaleh - Kesatrian - Don
Bosco - Akpol - Kagok - Elizabeth - Taman
Gajahmungkur - Ngaglik - RSUP Kariadi -
RS Wira Bhakti Tama - SMAN 5 - Suzuki
Pemuda - Johar - Layur –Stasiun Tawang -
Pengampon - Penjaringan - Pasar Kaligawe -
Kampoeng Semarang - SMP 4 - RSI Sultan
Agung - Terboyo.
• Koridor III (Pelabuhan-Akpol)
Rute Jalur A Rute Jalur B
Pelabuhan Tanjung Emas - Jl Ronggowarsito
- Jl Pengapon - Jl R Patah – Sayangan –
Bubakan - Jl Pattimura - Jl Dr Cipto - Jl MT
Haryono - Jl Dr Wahidin - Jl Sultan Agung -
Taman Diponegoro - Jl Diponegoro - Jl
Pahlawan - Jl. Taman Menteri Supeno
(SMA1/Taman KB) - Simpang Lima - Jl
Gajahmada - Jl Pemuda - Tugu Muda - Jl
Imam Bonjol - Jl Dr Jawa - Jl Tawang - Jl
Ronggowarsito - Pelabuhan Tanjung Emas
Pelabuhan Tanjung Emas - Jl Ronggowarsito
- Jl Pengapon - Jl R Patah - Jl Dr Jawa - Jl
Imam Bonjol - Tugu Muda - Jl Pemuda - Jl
Gajah Mada - Simpang Lima - Jl Pahlawan -
Jl Diponegoro - Taman Diponegoro - Jl
Sultan Agung - Jl Dr Wahidin - Jl MT
Haryono – Bubakan - Jl Cenderawasih - Jl
Letjen Suprapto - Jl Dr Jawa - Jl Tawang - Jl
Ronggowarsito - Pelabuhan Tanjung Emas
• Koridor IV (Terminal Cangkiran-Stasiun Tawang)
8
9. Rute Pergi Rute Pulang
Terminal Cangkiran - Jalan RM Hadi
Soebeno - Jalan Dr Hamka - Jrakah - Jalan
Urip Sumoharjo - Pengadilan - Muradi -
Bandara Ahmad Yani - Cakrawala - Pasar
Karang Ayu - Ada Siliwangi - Pasar Bulu -
UDINUS - Stasiun Poncol - Layur - Stasiun
Tawang.
Stasiun Tawang - Kota Lama - Stasiun
Poncol - Balai Kota - Pasar Bulu - ADA
Siliwangi Pasar Karang Ayu - Cakrawala -
Bandara Ahmad Yani - Muradi - Pengadilan -
Jalan Urip Sumoharjo - Jrakah - Jalan Dr
Hamka - Jalan RM Hadi Soebeno - Terminal
Cangkiran.
Berikut ini adalah peta rute trayek BRT Kota Semarang koridor I, II, III, dan IV.
Sumber: BRT Kota Semarang, 2010 (Olah Data)
Gambar 1.2
Peta Rute BRT Kota Semarang
9
10. 1.5 Kerangka Pikir
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Gambar 1.3
Kerangka Pikir
10
11. 1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah sebagai
berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang mengapa moda transportasi BRT perlu
diadakan evaluasi, rumusan masalah dari kinerja pelayanan BRT Kota Semarang, tujuan dan
sasaran, batasan studi, kerangka pikir, serta sistematika penulisan laporan.
BAB II STUDI PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai aspek legalitas tentang angkutan umum, parameter
kinerja angkutan umum, kinerja jalan (Level of Service), analisis trend, pilihan mengenai
penanganan permasalahan infrastruktur transportasi, serta analisis kelayakan.
BAB III IDENTIFIKASI KINERJA BRT KOTA SEMARANG
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil observasi lapangan dan data sekunder yang telah
didapatkan, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk Kota Semarang tahun 2008-2013, analisis
tataguna lahan beserta titik-titik shelter yang berpotensi memiliki demand tinggi, jumlah
kendaraan pribadi pada tahun 2008-2013, analisis kinerja jalan (Level of Service), data
headway dan load factor, justifikasi penanganan infrastruktur pada koridor terpilih, serta
analisis trend pada jumlah penumpang.
BAB IV RENCANA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DALAM MENDUKUNG
KINERJA PELAYANAN KORIDOR I BRT KOTA SEMARANG
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai justifikasi pemilihan skenario sesuai dengan
permasalahan yang terjadi dan dapat diterapkan di sepanjang koridor I untuk meningkatkan
headway dan load factor.
BAB V KOMPONEN BIAYA DAN MANFAAT SKENARIO PERENCANAAN
INFRASTRUKTUR KORIDOR I BRT KOTA SEMARANG
Pada bab ini akan berisikan mengenai analisis komponen biaya dan manfaat dari pengadaan
elevated road dan park and ride, yang selanjutnya akan dilakukan analisis kelayakan
ekonomi dan sensitivitas proyek untuk mengetahui skenario apa yang paling tepat diterapkan
pada koridor I.
11
12. BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Peraturan tentang Angkutan Umum
2.1.1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009
a. Pasal 7 ayat (2)
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan oleh pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
instansi masing-masing meliputi :
- Urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian Negara yang
bertanggung jawab di bidang Jalan.
- Urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan, oleh kementerian Negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
- Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri lalu lintas dan
angkutan jalan, oleh kementerian Negara yang bertanggung jawab di bidang
industri.
- Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi lalu lintas dan
angkutan jalan, oleh kementerian Negara yang bertanggung jawab di bidang
pengembangan teknologi
- Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
dan pengemudi, penegakan hokum, operasional manajemen dan rekayasa lalu
lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh kepolisian Negara Republik
Indonesia.
b. Pasal 166 ayat (1)
Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap
lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus
dilengkapi dengan dokumen.
2.1.2 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
a. Pasal 14 ayat (1)
Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan orang
dan/ atau barang yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau.
b. Pasal 16
12
13. Kewajiban Pemerintah menjamin tersedianya Angkutan umum untuk jasa Angkutan
orang antarkota antarprovinsi dan lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) meliputi :
- Penetapan Rencana Umum Jaringan Trayek dan kebutuhan Kendaraan
Bermotor umum untuk Angkutan orang dalam Trayek
- Penyediaan prasarana dan fasilitas pendukung angkutan umum
- Pelaksanaan penyelenggaraan perizininan angkutan umum
- Penyediaan kendaraan bermotor umum
- Penetapan dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal
angkutan orang
- Penciptaan persaingan yang sehat pada industri jasa angkutan umum, dan
- Pengembangan sumber daya manusia di bidang angkutan umum.
c. Pasal 28 ayat (1)
Rencana Umum Jaringan Trayek antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b memuat paling sedikit :
- Asal dan tujuan trayek antarkota antarprovinsi merupakan ibukota provinsi,
kota, wilayah strategis nasional, dan wilayah lainnya yang hanya memiliki
potensi bangkitan dan tarikan perjalanan angkutan antarkota antarprovinsi.
- Jaringan jalan yang dilalui dapat merupakan jaringan jalan nasional, jaringan
jalan provinsi, dan/atau jaringan jalan kabupaten/kota.
- Perkiraan permintaan jasa penumpang angkutan antarkota antarprovinsi
- Terminal asal dan tujuan serta terminal persinggahan yang berupa terminal tipe
A atau Simpul transportasi lainnya berupa Bandar udara, pelabuhan, stasiun
kereta api yang dihubungkan sebagai Jaringan Trayek dan/atau wilayah
strategis atau wilayah lainnya yang memiliki potensi bangkitan dan tarikan
perjalanan angkutan antarkota antarprovinsi.
- Jumlah kebutuhan dan jenis kendaraan angkutan antarkota antarprovinsi.
2.1.3 SK Dirjen 687 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penumpang
Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur
Berdasarakan SK Dirjen 687 Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur secara
fisik, lokasi kegiatan dan pengangkutan merupakan unsur-unsur dalam pembentukan kota.
Keadaan perangkutan yang baik, dalam arti lancar, nyaman, murah, dan tertib dapat
13
14. diasumsikan sebagai keadaan kota yang baik. Sebaliknya, perangkutan yang semrawut dapat
menunjukkan keadan kota yang semrawut pula.
Penyelenggaraan angkutan penumpang umum di wilayah perkotaan dalam trayek
tetap dan teratur adalah satu cara penyelenggaraan angkutan untuk memindahkan orang dari
satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan mobil, bus umum atau mobil bus
penumpang yang terikat dalam trayek tetap dan teratur dengan dipungut bayaran. Pada
dasarnya pengguna kendaraan angkutan umum menghendaki adanya tingkat pelayanan yang
cukup memadai, baik waktu tempuh, waktu tunggu maupun keamanan dan kenyamanan yang
terjamin selama dalam perjalanan.
Faktor muat (loading factor) merupakan perbandingan antara kapasitas terjual dan
kapasitas tersedia untuk satu perjalanan yang biasa dinyatakan dalam persen (%). Kapasitas
kendaraan angkutan umum adalah daya muat penumpang pada setiap kendaraan angkutan
umum dapat diilihat sebagai berikut.
Tabel II.1
Kapasitas Kendaraan dan Kapasitas Penumpang Tahun 2002
Jenis Angkutan
Kapasitas Kendaraan Kapasitas
PenumpangDuduk Berdiri Total
Mobil penumpang umum 8 - 8 250-300
Bus kecil 19 - 19 300-400
Bus Sedang 20 10 30 500-600
Bus Besar lantai tunggal 49 30 79 1.000 – 1.200
Bus Besar Lantai Ganda 85 35 120 1.500 – 1.800
Sumber: SK Dirjen 687, 2002
Penentuan kapasitas kendaraan yang menyatakan kemungkinan penumpang berdiri adalah
kendaraan dengan tinggi lebih dari 1,7 m dari lantai bus bagian dalam dan ruang berdiri
seluas 0,17 m per penumpang.
Dasar perhitungan kendaraan pada suatu jenis trayek ditentukan oleh kapasitas
kendaraan, waktu sirkulasi, waktu henti kendaraan di terminal, dan waktu antara.
a. Kapasitas kendaraan angkutan umum adalah daya muat penumpang pada setiap
kendaraan angkutan umum
b. Waktu sirkulasi dengan pengaturan kecepatan kendaraan rata rata 20 km per jam
dengan deviasi sebesar 5 % dari waktu perjalanan
c. Waktu henti kendaraan di asal atau tujuan (TTA atau TTB) ditetapkan sebesar 10 %
dari waktu perjalanan antar A dan B
d. Loading factor pada waktu antara diambil 70 %. Dimana waktu antara yang ideal
adalah 5-10 menit dan waktu puncaknya 2-5 menit
e. Jumlah armada per waktu sirkulasi
14
15. 2.2 Parameter Kinerja Angkutan Umum
Adapun karakteristik BRT Kota Semarang menggunakan parameter kinerja angkutan
umum berdasarkan Dirjen Perhubungan Darat No. SK.687/AJ.206/DRJD Tahun 2002 tentang
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan dalam
Trayek Tetap dan Teratur dan beberapa referensi lain. Berikut merupakan identifikasi
mengenai karakteristik BRT Kota Semarang.
2.2.1 Faktor Muat (Load Factor)
BRT Planning Guide (2007) mendefinisikan load factor atau tingkat isian sebagai
suatu rasio perbandingan antara jumlah penumpang yang berada dalam bus dengan kapasitas
muat bus. Pada umumnya semakin besar tingkat isian, maka akan berdampak positif terhadap
sistem yang ada. Hal ini disebabkan semakin banyak penumpang yang diangkut semakin
banyak pula keuntungan yang dicapai. Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
(1996), load factor merupakan perbandingan antara kapasitas terjual dengan kapasitas
tersedia untuk satu perjalanan yang biasa dinyatakan dalam persen (%). Standar yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk nilai load factor adalah 70%
(0,7) dan terdapat cadangan 30% untuk mengakomodasi kemungkinan lonjakan penumpang,
serta pada tingkat ini kesesakan penumpang di dalam kendaraan masih dapat diterima. Pada
jam-jam sibuk nilai load factor bisa melebihi batas-batas yang diinginkan sehingga tingkat
pelayanan harus ditingkatkan agar tidak terjadi perpindahan moda yang dikarenakan adanya
kesan buruk.
Load factor terdiri dari load factor statis dan load factor dinamis. Load factor statis
merupakan hasil survey statis atau mengambil sampel pada satu titik pengamatan sebagai
contoh di pintu-pintu keluar terminal. Hal ini diperoleh dari perbandingan jumlah penumpang
di dalam kendaraan dengan kapasitas kendaraan pada saat melewati 1 titik pengamatan. Load
factor dinamis merupakan hasil survey dinamis di dalam kendaraan, diperoleh dari
perbandingan jumlah penumpang yang naik dan turun kendaraan pada tiap segmen ruas jalan
dengan kapasitas kendaraan pada rute yang dilewati. Load factor yang ideal adalah 70%.
Kondisi ini memungkinkan penumpang duduk dengan nyaman didalam kendaraan dan tidak
berdesak-desakan.
Sebaliknya, apabila nilai load factor BRT melebihi angka 110% artinya jumlah
penumpang di dalam kendaraan lebih banyak dari kapasitas yang disediakan. Penumpang
akan merasa kurang nyaman dalam menggunakan angkutan tersebut karena harus berdesakan
didalamnya. Nilai load factor sering kali tidak dapat menggambarkan kondisi riil mengingat
15
16. periode terjadinya volume diatas kapasitas tidak terdeteksi. Untuk menentukan load factor
digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: LF = Load Factor (%)
JP = jumlah penumpang per kendaraan umum
K = kapasitas penumpang per kendaraan umum.
Kapasitas didalam BRT dapat ditentukan dengan dua cara: (Total kapasitas, meliputi
keseluruhan jumlah tempat duduk dan tempat untuk berdiri)
a. Kapasitas tempat duduk, tidak termasuk tempat untuk berdiri
b. Kapasitas muat kendaraan adalah daya muat penumpang pada setiap satu armada
BRT meliputi kapasitas tempat duduk ditambah kapasitas untuk tempat berdiri
Faktor muat terbagi menjadi dua macam, meliputi faktor muat dinamis dan faktor muat statis.
a. Faktor muat dinamis adalah fluktuasi faktor muat yang dihitung secara terus
menerus dari awal perjalanan hingga akhir perjalanan. Pencatatan faktor muat
dinamis dilakukan didalam BRT
b. Faktor muat statis adalah fluktuasi faktor muat yang dihitung secara tidak terus
menerus atau hanya pada tempat tertentu dimana kendaraan melintas dan
perhitungan dilakukan diluar BRT (di dalam shelter).
2.2.2 Jumlah Penumpang yang Diangkut
Jumlah penumpang yang diangkut merupakan total penumpang yang naik dan turun
dalam suatu trayek pada satu BRT. Standar yang ditentukan dapat dilihat pada tabel II.1,
namun standar jumlah penumpang juga dapat didasarkan pada indikator standar pelayanan
angkutan umum yang ditetapkan oleh The World Bank (1986), antara lain:
Tabel II. 2
Indikator Standar Pelayanan Angkutan Umum
Parameter Standar
Jumlah Penumpang yang diangkut per hari 1.000-1.200
Bus besar, kapasitas 50 tempat duduk 500-600
Bus sedang, kapasitas 26 tempat duduk 250-300
Mobil penumpang umum, kapasitas 14 tempat duduk 210-260
Sumber: The World Bank, 1986
16
17. 2.2.3 Headway
Menurut Hendarto. Sri (2001), headway dapat dinyatakan dalam waktu atau dalam
jarak, bila dinyatakan dalam waktu disebut time headway, sedang yang dinyatakan dalam
jarak disebut distance headway. Distance headway (spacing) adalah waktu Antara bemper
depan suatu kendaraan berikutnya pada suatu waktu. Waktu antara (haedway) dari dua
kendaraan didefinisikan sebagai interval waktu antara bagian depan kendaraan melewati
suatu titik dengan saat dimana bagian depan kendaraan berikutnya melewati titik yang
sama. Waktu antara untuk sepasang kendaraan beriringan, secara umum akan
berbeda. Ini akan menimbulkan suatu konsep waktu antara sepasang kendaraan yang
berurutan dan diukur pada suatu periode waktu lokasi tertentu. (Morlok, E.K,)
Waktu antara (headway) adalah selang waktu yang tercipta dari kedatangan BRT
pertama ke BRT selanjutnya. Menurut Sri Hendarto (2001), headway dapat dinyatakan dalam
waktu atau jarak. Apabila dinyatakan dalam waktu maka disebut time headway, sedangkan
jika dinyatakan dalam jarak disebut distance headway.
a. Time Headway: waktu antara kedatangan dua BRT yang berurutan disatu titik pada
ruas jalan
b. Distance Headway: waktu antara bemper depan satu BRT dengan bemper depan
BRT berikutnya pada suatu waktu
Waktu antara (headway) dari dua BRT didefinisikan sebagai interval waktu antara bagian
depan satu BRT melewati suatu titik dengan saat dimana bagian depan satu BRT berikutnya
melewati titik yang mana. Headway untuk sepasang BRT beriringan, secara umum akan
berbeda. Hal ini akan menimbulkan suatu konsep headway rerata adalah rata-rata interval
headway sepasang BRT yang berurutan dan diukur pada suatu periode waktu lokasi tertentu
(Morlock, 1985).
Headway dapat difungsikan sebagai pengatur keberangkatan armada BRT agar tidak
saling serobot, yaitu melalui penetapan waktu-waktu keberangkatan bus pertama dengan bus
selanjutnya. Adapun nilai headway pada masing-masing jalur dapat diperoleh dengan rumus
berikut:
Keterangan: H = Headway
f = frekuensi
Jika headway semakin kecil artinya frekuensi BRT semakin tinggi, sehingga akan
menyebabkan waktu tunggu yang rendah. Meskipun menguntungkan dalam segi penumpang,
17
18. namun kondisi ini juga menyebabkan proses bunching (menempel) antar kendaraan sehingga
menimbulkan gangguan pada arus lalu lintas. Untuk menghindari efek bunching ditetapkan
standar minimum headway untuk semua angkutan umum adalah sebesar 1 menit.
2.2.4 Waktu tunggu Penumpang
Waktu tunggu merupakan waktu yang dibutuhkan penumpang untuk menunggu
kedatangan bus ditempat pemberhentian atau halte/shelter. Pada umumnya, waktu tunggu
adalah kurang atau sama dengan waktu selang kedatangan antar bus (headway). Waktu
tunggu diestimasikan dengan cara mengasumsikan bahwa kedatangan bus bersifat acak dan
tidak berdasarkan jadwal yang jelas, sehingga rata-rata waktu tunggu yang dialami oleh
pengguna jasa BRT adalah sama dengan setengah dari time headway. Waktu tunggu rata-rata
yang terbentuk pada tingkat fleet tertentu dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: Wt : Waktu Tunggu rata rata
Ht : Headway keseimbangan
Standar yang ditetapkan untuk waktu tunggu adalah 5-10 menit dengan waktu tunggu
maksimum 10-20 menit.
2.2.5 Kecepatan perjalanan
Kecepatan perjalanan adalah kecepatan bus untuk menempuh trayek dari awal hingga
tujuan perjalanan. Adapun pengertian lainnya dari kecepatan perjalanan adalah kecepatan
rata-rata kendaraan yang bergerak dari suatu tempat tanpa memperhitungkan waktu berhenti
dan sebagainya. Dengan kata lain, kecepatan perjalanan merupakan kecepatan efektif
kendaraan yang sedang berada dalam perjalanan antara dua tempat, dan merupakan jarak
antara dua tempat dibagi lama waktu bagi kendaraan untuk menyelesaikan perjalanan antara
dua tempat. Adapun standar yang ditetapkan menurut Dirjen Perhubungan Darat No.
SK.687/AJ.206/DRJD tahun 2002 dalam mengatur kecepatan perjalanan angkutan umum
termasuk BRT adalah 30 km/jam pada waktu puncak (peak hour) dan 50 km/jam pada waktu
non-puncak (non-peak hour). Berikut adalah tabel mengenai kecepatan perjalanan paling
rendah berdasarkan kelas jalan.
18
19. Tabel II. 3
Kecepatan Terendah berdasarkan Kelas Jalan
Kelas
Jalan
Ukuran dan Berat Kendaraan
Bermotor
Kecepatan
paling Rendah
(untuk dalam
kota)
Fungsi Jenis Angkutan
Panjang
(mm)
Lebar
(mm)
MST
(ton)
Kelas I 18.000 2.500 >10 30 km/jam Arteri
- Bus lantai ganda
- Bus tempel/artikulasi
- Bus lantai tunggal
- Bus sedang
Kelas II 18.000 2.500 10 30 km/jam Arteri
- Bus lantai ganda
- Bus tempel/artikulasi
- Bus lantai tunggal
- Bus sedang
Kelas III
A
18.000 2.500 8 20-40 km/jam
Arteri atau
Kolektor
- Bus lantai ganda
- Bus tempel/artikulasi
- Bus lantai tunggal
- Bus sedang
- MPU
Kelas III
B
12.000 2.500 8 20 km/jam Kolektor
- Bus lantai tunggal
- Bus sedang
- MPU
Kelas III
C
9.000 2.100 8 10-20 km/jam Lokal
- Bus lantai tunggal
- Bus sedang
- MPU
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2002
2.2.6 Sebab-sebab Kelambatan
Terdapat beberapa sebab yang mempengaruhi keterlambatan operasi BRT atau sebab
headway BRT tidak tentu yaitu sebagai berikut:
a. Hambatan Samping
Hambatan samping merupakan salah satu penyebab terjadinya kemacetan lalulintas
yang dapat mempengaruhi tingkat kinerja pelayanan suatu jalan. Hambatan samping yang
dimaksud antara lain dapat berupa pejalan kaki, angkutan umum dan kendaraan lain yang
berhenti, kendaraan yang berjalan lambat, kendaraan yang masuk dan keluar dari lahan
disamping jalan. Hambatan samping ini dapat mempengaruhi kinerja elayanan jalan
antara lain dapat menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan kendaraan yang akan
dilewati hambatan samping tersebut. Pusat-pusat aktivitas masyarakat seperti pusat
perkantoran, pusat perdagangan, industri, rekreasi dan sarana pendidikan akan menjadi
penarik perjalanan (trip attraction) dan merupakan dalah satu penyebab terjadinya
19
20. hambatan samping. Hambatan samping yang ada pda pusat kegiatan masyarakat ini salah
satunya adalah akibat kegiatan parkir yang ada pada pusat aktivitas tersebut.
b. Perlintasan Sebidang
Perlintasan kereta api adalah persilangan antara jalur kereta api dengan jalan, baik
jalan raya maupun jalan setapak kecil lainnya. Perlintasan terdiri dari perlintasan sebidang
dan perlintasan tidak sebidang. Perlintasan tidak sebidang adalah persilangan antara dua
ruas jalan atau lebih yang tidak saling bertemu dalam satu bidang tetapi salah satu ruas
berada di atas atau di bawah ruas jalan yang lain. Salah satunya adalah persilangan antara
jalur kereta api dengan jalnnya yang tidak pada satu bidang, misal dengan flyover atau
underpass. Sedangkan perlintasan sebidang adalah persilangan antara jalan raya
bergabung atau berpotongan dengan jalan rel kereta api pada ketinggian yang sama.
c. Kemacetan
Kemacetan merupakan salah satu masalah yang dinilai paling mengganggu
kenyamanan pengguna transportasi darat, kemacetan dapat mengurangi efektifitas kerja
maupun kegiatan masayarakat, memperlambar manusia untuk melakukan katifitas,
meningkatkan polusi udara, polusi suara serta merupakan pemborosan bahan bakar yang
semakin hari semakin menipis. Kemacetan lalu-lintas di jalan raya disebabkan ruas-ruas
jalan sudah tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang serta luasan
dari jalan tersebut tidak seimbang dengan jumlah kendaraan yang melintas. Hal ini
terjadi, juga karena pengaruh hambatan samping yang tinggi, sehingga mengakibatkan
penyempitan ruas jalan, seperti: parkir di badan jalan, berjualan di trotoar dan badan
jalan, pangkalan becak dan angkutan umum, kegiatan sosial yang menggunakan badan
jalan, serta adanya masyarakat yang berjalan di badan jalan. Selain itu, kemacetan juga
sering terjadi akibat manajemen transportasi yang kurang baik, ditambah lagi tingginya
aksesibilitas kegunaan lahan di sekitar sisi jalan tersebut. Kemacetan lalu lintas juga
seringkali disebabkan rendahnya tingkat kedisiplinan pengguna jalan, misalnya parkir di
badan jalan, angkutan umum yang sering berhenti di sembarang tempat, kendaraan-
kendaraan yang enggan rapat kiri ataupun kendaraan-kendaraan yang membelok di
sembarang tempat. Ledakan jumlah kendaraan bermotor juga merupakan faktor kuat
terjadinya kemacetan di Indonesia, bila dibandingka dengan negara-negara tetangga,
Masyarakat Indonesia terbilang enggan untuk jalan kaki untuk menempuh perjalanan rute
pendek, mereka lebih memilih menaiki kendaraan bermotor meski jarak perjalanan yang
ia tempuh tidak terlalu jauh, hal ini dikarenakan rendahnya fasilitas pedestrian yang ada.
20
21. 2.2.7 Ketersediaan Angkutan
Angkutan umum merupakan bagian dari sistem transportasi yang mempunyai
pelayanan dengan lintasan dan jadwal tetap yang disediakan untuk kepentingan umum dan
pengunaannya harus menggunakan ongkos yang telah ditetapkan. Angkutan umum ini salah
satunya dapat dijadikan sebagai feeder (penguhubung) dari satu angkutan ke angkutan
lainnya. Salah satu contohnya adalah angkutan umum kecil. Angkutan umum kecil seringkali
dipandang oleh masyarakat memperparah kemacetan namun pada hal yang lain angkutan ini
dapat menjadi media penghubung untuk berpindah ke moda transportasi lainnya seperti BRT.
Ketersediaan angkutan feeder ini tentu memperhatikan adanya bangkitan dan tarikan. Titik
bangkitan ini ditunjukkan melalui tata guna lahan di daerah tersebut. Begitu pula pada tarikan
perjalanan tersebut yang memperhatikan rute gemuk yang ada.
2.2.8 Tingkat Konsumsi Bahan Bakar
Bahan bakar minyak (BBM) merupakan energi utama yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Persentase tingkat konsumsi terhadap total pemakaian energi final merupakan
yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari segi pengguna bahan bakar
tersebut, sektor transportasi merupakan pengguna bahan bakar minyak (BBM) yang terbesar
dengan proporsi pada setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Kemudian di susul oleh
sektor-sektor lainnya seperti sektor rumah tangga, sektor industri dan pembangkit listrik.
Sedangkan, jika dilihat dari segi ketersediaannya, selama ini kebutuhan bahan bakar minyak
(BBM) dipasok oleh perusahaan Pertamina dan impor. Adapun 4 pilar kebijakan utama
menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai upaya penghematan
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di sektor transportasi antara lain sebagai berikut :
1. Promosi penggunaan dan revitalisasi angkutan umum, termasuk mempromosikan gaya
hidup smart life yang berorientasi pada efisiensi konsumsi energi
2. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, termasuk upaya untuk mengurangi
konsumsi BBM per kendaraan
3. Manajemen lalu lintas untuk mengurangi kemacetan lalu lintas
4. Diversifikasi energi bagi kendaraan bermotor, termasuk pemakaian bahan bakar yang
semakin bersih, seperti penggunaan unleaded premium gasoline, biofuel, dan BBG
2.3 Kinerja Jalan (Level of Service)
Tingkat pelayanan (LoS) adalah ukuran kualitatif yang mencerminkan persepsi para
pengemudi dan penumpang mengenai karakteristik kondisi operasional dalam arus lalu lintas
21
22. (HCM, 1994). Enam tingkat pelayanan disimbolkan dengan huruf A hingga F, dimana LoS A
menunjukkan kondisi operasi terbaik, dan LoS F menunjukkan kondisi terburuk.
Tabel II.4
Hubungan Volume per Kapasitas Dengan Tingkat Pelayanan Untuk Lalu Lintas Dalam Kota
Tingkat Pelayanan
Jalan
Kecepatan Rata-Rata
(km/jam)
V/C Deskripsi Arus
A ≥50 ≤0,40
Arus bebas bergerak (aliran lalu
lintas bebas, tanpa hambatan),
pengemudi bebas memilih kecepatan
sesuai batas yang dibutuhkan.
B ≥40 ≤0,58
Arus stabil, tidak bebas (arus lalu
lintas baik, kemungkinan terjadi
perlambatan), kecepatan operasi
mulai dibatasi, mulai ada hambatan
dari kendaraan lain.
C ≥32 ≤0,80
Arus stbil, kecepatan terbatas (arus
lalu lintas masih baik dan stabil
dengan perlambatan yang dapat
diterima), hambatan dari kendaraan
lain makin besar.
D ≥27 ≤0,90
Arus mulai tidak stabil (mulai
dirasakan gangguan dalam aliran,
aliran mulai tidak baik), kecepatan
operasi menurun relatif cepat akibat
hambatan yang timbul.
E ≥24 ≤1,00
Arus yang tidak stabil, kadang macet
(volume pelayanan berada pada
kapasitas, aliran tidak stabil).
F <24 >1,00
Macet, antrian panjang (volume
kendaraan melebihi kapasitas, aliran
telah mengalami kemacetan).
Sumber: sappk.itb.ac.id/jpwk/Jurnal-5-NF, 2009.
Untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan (LOS) sebelumnya perlu diketahui komponen –
komponen yang terkait dengan LOS, yaitu:
a. Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan pada periode
waktu tertentu, diukur dalam satuan kendaraan per satuan waktu. Volume lalu lintas pada
suatu jalan akan bervariasi tergantung pada volume total dua arah, arah lalu lintas, volume
harian, bulanan dan tahunan pada komposisi kendaraan.Volume arus lalu lintas diperoleh
dengan menghitung banyaknya kendaraan yang melewati ruas jalan. Perhitungan volume lalu
lintas dengan menggunakan penghitungan dengan bantuan handcounter dan dicatat pada
kertas format survei perhitungan volume lalulintas.
b. Satuan Mobil Penumpang
Lalu lintas terdiri dari berbagai komposisi kendaraan, sehingga volume lalu lintas
menjadi lebih praktis jika dinyatakan dalam jenis kendaraan yang standar. Standar tersebut
yaitu mobil penumpang sehingga dikenal dengan satuan mobil penumpang (smp). Untuk
22
23. mendapatkan volumelalu lintas dalam satuan smp, maka diperlukan faktor konversi dari
berbagai macam kendaraan menjadi mobil penumpang. Faktor konversi tersebut dikenal
dengan ekuivalen mobil penumpang (emp). MKJI (1997) mengklasifikasikan kendaraan
menjadi 3 (tiga) golongan. Penggolongan jenis kendaraan dan Nilai EMP sebagai berikut
sepeda motor (MC) =0,5; kendaraan ringan (LV) = 1,0; kendaraan berat (HV) = 1,2.
c. Hambatan Samping
Hambatan samping merupakan pengaruh aktivitas pada sisi jalan baik berupa kendaraan
yang keluar masuk persilangan jalan, kendaraan parkir, pejalan kaki, ataupun kejadian-
kejadian pada suatu ruas jalan yang berpengaruh terhadap arus kendaraan yang melewati ruas
jalan tinjauan. Gangguan samping akan sangat mempengaruhi kapasitas ruas jalan. Salah satu
bentuk gangguan samping yang paling banyak dijumpai di daerah perkotaan adalah kegiatan
perparkiran yang menggunakan badan jalan. Lebar jalan yang tersita oleh kegiatan
perparkiran (termasuk lebar manuver) tentu mengurangi kemampuan jalan tersebut dalam
menampung arus kendaraan yang lewat, atau dengan kata lain terjadi penurunan kapasitas
ruas jalan (Tamin, 2000).
d. Kecepatan Arus Bebas (FV)
Kecepatan arus bebas (FV) adalah kecepatan toritis lalu lintas ketika kepadatan arus
mendekati nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan
bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan (Khisty 2005). Untuk
kecepatan arus bebas sesungguhnya dipakai persamaan berikut :
FV = (FVo + FVw) x FFVsf x FFVcs
Dimana:
FV : Kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk kondisi sesungguhnya (Km/jam)
FVw : Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (Km/jam)
Fvo : Kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan ringan (w) (Km/jam)
FFVcs : Penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota
FFVsf : Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu
e. Kapasitas
Kapasitas adalah suatu ruas jalan dalam suatu sistem jalan adalah jumlah kendaraan
maksimum yang memiliki kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut
dalam periode waktu tertentu (Oglesby dan Hicks, 1993). Kapasitas merupakan salah satu
ukuran kinerja lalu lintas pada saat arus lalu lintas maksimum dapat dipertahankan pada suatu
bagian jalan (MKJI, 1997). Nilai kapasitas dihasilkan dari pengumpulan data arus lalu lintas
23
24. dan data geometrik jalan yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk jalan
dua lajur – dua arah penentuan kapasitas berdasarkan arus lalu lintas total, sedangkan untuk
jalan dengan banyak lajur perhitungan dipisahkan secara per lajur. Persamaan untuk
menentukan kapasitas adalah sebagai berikut:
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
f. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (Ds) merupakan rasio arus terhadap kapasitas yang digunakan
sehingga faktor
utama dalam penentuan tingkat kinerja dan segmen jalan, nilai derajat kejenuhan juga
menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Derajat
kejenuhan pada jalan tertentu dihitung sebagai berikut:
Ds = Q x smp
C
Dimana:
Ds = Derajat kejenuhan (smp/jam)
Q.smp = arus total yang sesungguhnya (smp/jam) yang dihitung dengan
Q.smp = Q. kendaraan x Fsmp sehingga :
Q = (emp IV x LU (kend/jam) + emp Hu x Hu (kend/jam) + emp Mc x
(Me kend/jam)
2.4 Analisis Trend
Trend ialah suatu gerakan kecenderungan naik atau turun dalam jangka panjang yang
diperoleh dari rata-rata perubahan dari waktu ke waktu dan nilainya cukup rata (smooth).
Analisis trend termasuk ke dalam analisis rangkaian waktu (time series) dan dapat digunakan
untuk kegiatan peramalan. Data-data tersebut memiliki variasi (gerakan) yang berbeda.
Secara umum variasi (gerakan) dari data rangkaian waktu tersebut terdiri dari:
1. Trend jangka panjang (trend sekular) adalah suatu garis (trend) yang menunjukkan
arah perkembangan secara umum.
24
25. 2. Variasi musim adalah suatu gerakan yang naik turun secara teratur yang cenderung
untuk terulang kembali dalam jangka waktu tidak lebih dari 1 tahun.
3. Variasi siklis adalah suatu gerakan yang naik turun secara teratur yang cenderung
untuk terulang kembali setelah jangka waktu lebih dari 1 tahun.
4. Variasi random adalah suatu gerakan yang naik turun secara tiba-tiba atau mempunyai
sifat yang sporadis sehingga biasanya sulit untuk diperkirakan sebelumnya.
Analisis rangkaian waktu mencoba menentukan pola hubungan antara waktu sebagai
variabel bebas (independent variable) dengan suatu data sebagai variabel tergantung
(dependent variable). Artinya besar-kecilnya data tersebut dipengaruhi oleh waktu. Analisis
ini dapat digunakan untuk meramalkan jumlah pengguna BRT yang kemudian dapat
digunakan untuk meramalkan jumlah armada BRT yang dibutuhkan untuk mengakomodasi
pengguna tersebut. Dalam analisis trend, metode yang digunakan ialah analisis trend linear
yakni trend linear dan trend non linear yaitu regresi eksponensial dan regresi polinomial.
A. Trend linier merupakan garis peramalan yang sifatnya linier sehingga secara
matematis bentuk fungsinya adalah: Y'= a +bX
Keterangan:
Y’ = nilai trend periode tertentu = nilai peramalan pada periode tertentu
a = konstanta = nilai trend pada periode dasar
b = koefisien arah garis trend = perubahan trend setiap periode
X = unit periode yang dihitung dari periode dasar.
Secara umum penulisan hasil analisis trend linier adalah: Y’ = a + b X
B. Trend Nonlinier
Trend non linier yaitu trend yang persamaannya berpangkat lebih dari satu. Dua jenis
trend non linier yang akan dipelajari adalah trend parabolik (persamaannya berpangkat 2)
dan trend eksponensiil (persamaannya berpangkat X).
1. Eksponensial
Persamaan eksponensial dinyatakan dalam bentuk variabel waktu (X) dinyatakan
sebagai pangkat. Untuk mencari nilai a, dan b dari data Y dan X, digunakan rumus
sebagai berikut:
Y’ = a (1 + b)X
Apabila diubah dalam bentuk logaritma, maka persamaannya menjadi: Log Y’ = log
a + X log b Harga-harga a dan b dapat dicari dengan asumsi Σ X = 0 sebagai berikut:
25
26. 2. Polinomial
Bentuk umum persamaan trendnya yaitu: Y’ = a + bX + cX2
Secara matematis dan
sederhana, harga a dan b dapat dicari dengan asumsi bahwa Σ X = 0, sebagai berikut:
Menurut Trimukti (2010) dalam jurnalnya “Kebutuhan Pergerakan Penumpang dan Barang
Bandara Rahadi Oesman Ketapang”, forecasting pertumbuhan penumpang di masa
mendatang dengan menggunakan Model Trend Analysis menghasilkan nilai koefisien
korelasi yang terbesar, yang berarti menunjukkan terdapat hubungan yang sangat kuat antara
variabel X dan Y. Sedangkan di antara regresi linear, eksponensial, dan polynomial, didapat
bahwa regresi polynomial yang memiliki nilai R2
yang terbesar, sehingga menjadi regresi
yang paling baik digunakan.
2.5 Penanganan Permasalahan Infrastruktur Transportasi
2.5.1 Elevated Road
Definisi elevated road adalah jalan yang dibangun tidak sebidang melayang
menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi permasalahan kemacetan lalu
lintas, melewati persilangan kereta api untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas dan
efisiensi. elevated road secara umum memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai jalan alternative, untuk mengurangi kemacetan.
2. Tidak menghampat pengendara yang ingin melintas lurus karena
persimpangan.
3. Mempermudah distribusi ekonomi masyarakat.
4. Menggunakan kolong elevated road untuk taman kota.
Hal-hal yang melatarbelakangi perencanaan elevated road adalah:
• Adanya pertemuan sebidang dengan lintasan kereta api.
• Adanya rencana pemerintah untuk meningkatkan jalur kereta api dari
single track menjadi double track.
• Usaha untuk meningkatkan pelayanan jalan, sehingga penguna jalan dapat
merasa aman dan nyaman mengunakannya.
26
27. Elevated Road yaitu perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan
dikarenakan konflik dipersimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit maupun melalui
kawasan rawa-rawa. Dalam sektor transportasi, elevated road memegang peranan penting.
Hal ini disebabkan karena jalan layang ini merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi
kemacetan di persimpangan. Dengan adanya elevated road lalu lintas di persimpangan
tersebut relatif berjalan lancar. Sektor angkutan dan komunikasi merupakan salah satu sektor
penunjang dari kegiatan ekonomi. Semakin baik prasarana dan sarana komunikasi akan
mendorong peningkatan sektor-sektor lain seperti sektor-sektor produksi.
Transportasi merupakan unsur yang penting dan berfungsi sebagai urat nadi kehidupan
dan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan mobilitas penduduk yang tumbuh bersamaan
dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang dan sektor. Namun yang
urgen adalah peran dan pentingnya transportasi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi dan
sosial ekonomi pada negara dan masyarakat.
2.5.2 Park and Ride
Park and Ride merupakan fasilitas parkir yang biasanya tersedia di halte atau terminal
sarana angkutan umum massal, sehingga memungkinkan penglaju berpindah moda dari
kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) dan meneruskan perjalanan menggunakan
angkutan umum massal dari titik tersebut. (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009).
Secara teori, fasilitas park and ride memudahkan para pelaku komuter untuk menghindari
terjadinya ketegangan akibat mengemudikan kendaraan pada situasi yang sangat jenuh akibat
kepadatan lalu lintas dan menghindari fasilitas parkir dengan tarif yang mahal di pusat kota.
Pengembangan fasilitas ini tentunya juga harus memenuhi beberapa kriteria agar mampu
memenuhi kebutuhan para penggunanya. Kriteria-kriteria yang harus ada pada penyediaan
fasilitas park and ride ini adalah:
a. Berfungsi sebagai bagian dari sistem transportasi intermoda sekaligus sebuah fasilitas
b. Terletak pada wilayah sub urban (tidak harus terletak pada terminal tipe A)
c. Letak jalan masuk/keluar menghindari konflik dengan pejalan kaki
d. Pola parkir menyesuaikan dengan daya tampung
e. Tarif parkir terpadu dengan BRT Kota Semarang
f. Tersedia petugas penjaga dan petugas tiket
g. Tersedia jalur pejalan kaki menuju halte bus
Salah satu kota di Indonesia yang sudah menerapkan pelayanan fasilitas park and ride
adalah Kota Bandung, tepatnya berada di stasiun Rancaekek dan Cicalengka. Pada stasiun
27
28. Rancaekek terdapat enam lokasi parkir, sedangkan stasiun Cicalengka ada empat lokasi.
Tipologi parkir yang terdapat pada kedua stasiun itu adalah fasilitas parkir yang berada di
bangunan stasiun, fasilitas parkir di tempat tinggal masyarakat sekitar stasiun (swadaya
masyarakat), serta fasilitas parkir yang berada di fasilitas publik. Fasilitas ini digunakan
untuk menampung kendaraan baik roda dua maupun empat dengan pelayanan 24 jam, selain
pada fasilitas parkir di bangunan stasiun yang hanya beroperasi 18 jam (tanpa parkir inap).
2.5.3 Perbaikan Saluran Drainase
Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna
memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen pentingdalam perencanaan kota
(perencanaan infrastruktur khususnya). Menurut Dr. Ir. Suripin, M. Eng. (2004; 7) drainase
mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum,
drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi
dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat
difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan sebagai suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara
penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Sebagai salah satu sistem dalam perencanaan perkotaan, maka sistem drainase yang ada
dikenal dengan istilah sistem drainase perkotaan. Berikut definisi drainase perkotaan:
a. Drainase perkotaan yaitu ilmu drainase yang mengkhususkan pengkajian pada kawasan
perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang ada di
kawasan kota.
b. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah
perkotaan yang meliputi daerah permukiman, kawasan industri dan perdagangan,
kampus dan sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum, lapangan olahraga, lapangan
parkir, instalasi militer, listrik, telekomunikasi, pelabuhan udara.
Sistem jaringan drainase perkotan umumnya dibagi atas 2 bagian, yaitu:
a. Sistem Drainase Makro
Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/ badan air yang menampung dan
mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Pada
umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan
utama (major system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini menampung aliran
yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer, kanal-kanal atau sungai-
sungai. Perencanaan drainase makro ini umumnya dipakai dengan periode ulang
28
29. antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan
dalam perencanaan sistem drainase ini.
b. Sistem Drainase Mikro
Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase yang
menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara keseluruhan
yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan,
saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan, goronggorong, saluran drainase kota
dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat ditampungnya tidak terlalu besar.
Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5
atau 10 tahun tergantung pada tata guna lahan yang ada. Sistem drainase untuk
lingkungan permukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro.
Sarana penyediaan sistem drainase dan pengendalian banjir adalah (Hasmar, 2002):
1. Penataan sistem jaringan drainase primer, sekunder dan tersier melalui normalisasi
maupun rehabilitasi saluran guna menciptakan lingkungan yang aman dan baik
terhadap genangan, luapan sungai, banjir kiriman, maupun hujan lokal. Berdasarkan
masing-masing jaringan dapat didefinisikan sebagai berikut:
a. Jaringan primer merupakan saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai.
b. Jaringan sekunder merupakan saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan
saluran primer (dibangun dengan beton/plesteran semen).
c. Jaringan tersier merupakan saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke
saluran sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah.
Memenuhi kebutuhan dasar (basic need) drainase bagi kawasan hunian dan kota.
Menunjang kebutuhan pembangunan (development need) dalam menunjang
terciptanya skenario pengembangan kota untuk kawasan andalan dan menunjang
sektor unggulan yang berpedoman pada Rencana Umum Tata Ruang Kota. Pelebaran
jalan yang dihubungkan dengan kapasitas jalan yang sudah tidak dapat menampung
kendaran lagi
2.3 Analisis kelayakan yang membahas NPV, BCR, IRR
Analisis finansial merupakan analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut yang
bersifat individual artinya tidak perlu diperhatikan apakah efek atau dampak dalam
perekonomian dalam lingkup yang lebih luas. Dalam analisis finansial, yang diperhatikan
adalah hasil atau total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber
yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa
29
30. melihat siapa yang menyediakan sumber tersebut dan siapa yang menerima hasil proyek
tersebut (Kadariah, 1999).
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan suatu usaha. Adapun kriteria
yang sering digunakan dalam analisis kelayakan finansial adalah NPV (Net Present Value),
IRR (Internal Rate of Return) dan BCR (Benefit Cost Ratio). NPV merupakan nilai proyek
yang bersangkutan yang diperoleh berdasarkan selisih antara cash flow yang dihasilkan
terhadap investasi yang dikeluarkan. apabila NPV > 0 berarti proyek tersebut layak (feasible)
untuk dilaksanan sedangkan apabila NPV < O proyek dikatakan tidak layak. Untuk
menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya, operasi, dan
pemeliharaan serta perkiraan benefit dari proyek yang direncanakan.
IRR adalah suatu metode untuk mengukur tingkat investasi. Tingkat investasi adalah
suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow setelah dikalikan discount factor. Jika hasil
IRR ternyata lebih besar dari bunga bank maka dapat dikatakan bahwa investasi yang
dilakukan lebih menguntungkan jika dibandingkan modal yang dimiliki disimpan di bank.
(Soetriono, 2006 )
Dalam kaitannya dengan usaha, Benefit-cost ratio dapat dikatakan sebagai ratio
perbandingan antara penerimaan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha.
JIka ratio menunjukan hasil nol maka dapat dikatakan bahwa usaha tidak memberikan
keuntungan finansial. Demikian juga jika ratio menunjukan angka kurang dari 1 maka usaha
yang dilakukan tidak memberikan keuntungan dari kegiatan yang dilaksanakan (Giatman,
2006).
30
31. BAB III
IDENTIFIKASI KINERJA BRT KOTA SEMARANG
3.1 Pertumbuhan Penduduk Tahun 2008 – 2013
Pertumbuhan penduduk Kota Semarang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
mulai tahun 2008 hingga tahun 2013. Peningkatan jumlah penduduk salah satunya
disebabkan oleh faktor perpindahan penduduk (migrasi masuk) dan angka kelahiran. Berikut
adalah Grafik Pertumbuhan Penduduk Kota Semarang Tahun 2008 – 2013.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2013
Gambar 3.1
Pertumbuhan Penduduk Kota Semarang Tahun 2008 – 2013
Pertambahan jumlah penduduk Kota Semarang rata-rata sekitar 18.000 jiwa pada setiap
tahunnya. Tingginya pertumbuhan penduduk di Kota Semarang ini didukung dengan
kedudukan Kota Semarang sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah dengan segala jenis
aktivitas yang berada di dalamnya, yang menarik para pendatang untuk tinggal di Kota
Semarang. Peningkatan jumlah penduduk secara tidak langsung juga berakibat pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan juga peningkatan arus lalu lintas di Kota Semarang
yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kendaraan pribadi seperti mobil dan motor.
3.2 Peta Tata Guna Lahan dan Persebaran Demand
3.2.1 Koridor I (Mangkang-Penggaron)
Penggunaan lahan disekitar titik-titik shelter mempengaruhi besaran demand pada
shelter-shelter tersebut. Shelter-shelter dengan demand terbesar, biasanya berada dekat
dengan lokasi tarikan seperti pendidikan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan serta dekat
dengan bangkitan yaitu perumahan. Berikut adalah shelter pada koridor I yang berpotensi
memiliki demand tinggi:
31
32. Tabel III.1
Lokasi Shelter Demand Tinggi
Shelter Lokasi
Jumlah Penumpang
Tarikan/Bangkitan
Peak Hour Non Peak
Pemuda
Jl. Pemuda,
Semarang Tengah
48 28
Perkantoran (Pemkot dan
DPKAD Kota Semarang)
Simpang Lima Jl. Jendral A Yani 54 16
Perdagangan dan jasa,
serta kawasan pendidikan
(SMA 1 Semarang, SMK
7 Semarang)
Milo Jl. Brigjen Katamso 59 21
Pendidikan (SMP 2
Semarang)
Sumber: Observasi Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Shelter Simpang Lima dan Pemuda berperan sebagai shelter transit yang melayani koridor I
dan III. Selain berfungsi untuk transit, jenis tata guna lahan yang ada juga memiliki tarikan
kuat berupa perdagangan dan jasa, perkantoran, serta public space yang sering dikunjungi
oleh masyarakat Semarang. Berikut adalah Gambar 3.2 Lokasi Titik-Titik Shelter dengan
demand tinggi pada koridor I.
Sumber: Bappeda 2011 (Olah Data)
Gambar 3.2
Peta Lokasi Shelter dengan Demand Tinggi Pada Koridor I
3.2.2 Koridor II (Sisemut – Terboyo)
Pada koridor II, terdapat shelter-shelter yang memiliki jumlah demand tinggi baik
dari rute pergi atau pulang. Shelter-shelter tersebut antara lain; terminal Banyumanik, Sukun,
32
33. Elizabeth, RSUP Kariyadi, Pemuda/Balai Kota, dan RSI Sultan Agung. Tingginya demand
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor penarik seperti perkantoran yang terdapat di Jalan
Pemuda, fasilitas pelayanan seperti terminal dan rumah sakit, dan sebagainya. Berikut adalah
shelter pada koridor II yang berpotensi memiliki demand tinggi:
Tabel III.2
Lokasi Shelter Demand Tinggi
Shelter Lokasi
Jumlah Penumpang
Tarikan/Bangkitan
Peak Hour Non Peak
Terminal
Banyumanik
Jl. Perintis
Kemerdekaan,
Banyumanik
40 16
Perdagangan (Pasar
Banyumanik) dan fasilitas
sosial (RS Hermina
Banyumanik)
Sukun
Srondol Wetan,
Banyumanik
46 30
Fasilitas Sosial (Terminal
Sukun) dan perdagangan
Elizabeth
Jl. Tegalsari,
Candisari
40 30
Fasilitas sosial (RS
Elizabeth, Hotel Elizabeth
Palace, STIKES St.
Elizabeth)
RSUP Kariadi
Jl. Doktor Sutomo,
Semarang Tengah
38 20
Fasilitas sosial (RSUP
Kariadi)
Pemuda/Balaikota
Jl. Pemuda,
Semarang Tengah
52 38
Perkantoran (Pemkot dan
DPKAD Kota Semarang)
RSI Sultan Agung Jl. Kaligawe Raya 56 44
Fasilitas sosial (Terminal
Terboyo, RSI Sultan
Agung, Universitas Islam
Sultan Agung)
Sumber: Observasi Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Shelter terminal Banyumanik dan Sukun merupakan shelter yang dipadati oleh para
komuter, baik yang menuju dan/atau dari Kota Semarang. Para komuter memanfaatkan
layanan BRT sebagai sarana untuk menjangkau terminal sehingga dapat melanjutkan
perjalanan antar regional. Pada shelter Elizabeth memiliki demand tinggi karena berperan
sebagai salah satu shelter transit untuk koridor II dan koridor III. Begitu pula halnya dengan
shelter Pemuda/Balai Kota, sebagai shelter transit untuk 4 koridor mulai dari koridor I
(Mangkang-Penggaron) hingga koridor IV (St. Tawang – Cangkiran).
Pada shelter yang terletak dekat dengan RSUP Kariadi memiliki demand tinggi
dikarenakan berdekatan dengan fasilitas sosial yaitu rumah sakit dengan tipe A, sedangkan
shelter yang berdekatan dengan RSI Sultan Agung memilik demand tinggi karena dekat
dengan rumah sakit skala pelayanan kabupaten/kota, adanya Universitas Islam Sultan Agung
(Unisula), dan terdapat terminal terboyo yang mengubungkan antar kota/kabupaten di Jawa
Tengah serta antar provinsi yaitu Jawa Tengah dengan Jawa Timur khususnya Surabaya.
Berikut adalah Gambar 3.3 Lokasi Titik-Titik Shelter dengan demand tinggi pada koridor II.
33
34. Sumber: Bappeda 2011 (Olah Data)
Gambar 3.3
Peta Lokasi Shelter dengan Demand Tinggi Pada Koridor II
3.2.3 Koridor III (Akpol – Pelabuhan)
Pada koridor III, shelter yang memiliki demand tinggi meliputi Java Mall, Elizabeth,
Simpang Lima, SMA 5, Stasiun Tawang, Sint Louis, dan SMA Mataram. Hal tersebut
dikarenakan adanya tarikan berupa kawasan perdagangan dan jasa serta pendidikan,
sedangkan dari bangkitannya yaitu adanya kawasa perumahan. Berikut adalah shelter pada
koridor III yang berpotensi memiliki demand tinggi:
Tabel III.3
Lokasi Shelter Demand Tinggi
Shelter Lokasi
Jumlah Penumpang
Tarikan/Bangkitan
Peak Hour Non Peak
Java Mall
Elizabeth
Jl. Tegalsari,
Candisari
23 31
Fasilitas sosial (RS
Elizabeth, Hotel Elizabeth
Palace, STIKES St.
Elizabeth)
Simpang Lima Jl. Jendral A Yani 22 32
Perdagangan dan jasa,
serta kawasan pendidikan
(SMA 1 Semarang, SMK
7 Semarang)
SMA 5 Jl. Pemuda 21 29 Pendidikan (SMAN 5
Semarang), perdagangan
(Gramedia Semarang), dan
perkantoran (Dinas
34
35. Shelter Lokasi
Jumlah Penumpang
Tarikan/Bangkitan
Peak Hour Non Peak
Pendidikan Provinsi Jawa
Tengah)
St. Tawang
Jl. Taman Tawang,
Semarang Utara
26 33 Stasiun kereta api Tawang
St. Luois Jl. Dr. Wahidin 24 31
Pendidikan (SMU Sint
Louis)
SMA Mataram Jl. MT Haryono 26 32
Pendidikan (SMAN 1
Mataram), perkantoran
(gedung pusat sumber
belajar beragama dan
telkom Semarang)
Sumber: Observasi Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Pada shelter Java Mall, demand tinggi karena terdapat sarana perbelanjaan Java Mall
yang menjadi penarik pergerakan. Selain itu, di sekitar shelter tersebut juga terdapat
permukiman yang menjadi bangkitan pergerakan yakni di Kecamatan Candisari. Begitu pula
dengan shelter Simpang Lima yang merupakan shelter transit untuk berpindah koridor
menggunakan koridor I untuk menuju ke arah timur seperti menuju tempat perbelanjaan Lotte
Mart, ADA Swalayan Majapahit, dan simpul rute koridor I yaitu Terminal Penggaron.
Berikut adalah Gambar 3.4 Lokasi Titik-Titik Shelter dengan demand tinggi pada koridor III.
Sumber: Bappeda 2011 (Olah Data)
Gambar 3.4
Peta Lokasi Shelter dengan Demand Tinggi Pada Koridor IIIA
35
36. Sumber: Bappeda 2011 (Olah Data)
Gambar 3.5
Peta Lokasi Shelter dengan Demand Tinggi Pada Koridor IIIB
3.2.4 Koridor IV (St. Tawang – Cangkiran)
Pada koridor IV, shelter yang memiliki demand tinggi terdapat pada shelter-shelter
transit seperti shelter Simpang Lima, Pemuda/Balaikota. Demand tinggi dikarenakan adanya
perpindahan rute untuk membantu pergerakan pelanggan BRT, baik dalam kota maupun
menuju luar Kota Semarang.
36
37. Sumber: Bappeda 2011 (Olah Data)
Gambar 3.6
Peta Lokasi Shelter dengan Demand Tinggi Pada Koridor IV
3.3 Pertumbuhan Kendaraan Pribadi Tahun 2008 – 2013
Data kendaraan pribadi yang digunakan merupakan data jumlah kendaraan bermotor
(motor dan mobil) serta angkutan umum penumpang time series dengan data tahun dasar
2008 hingga tahun 2013. Data yang dipakai merupakan data yang didapat dari Kota
Semarang Dalam Angka Tahun 2008 – 2013. Berikut adalah jumlah kendaraan bermotor
(motor dan mobil) serta angkutan umum penumpang Kota Semarang.
Tabel III.4
Jumlah Kendaraan Bermotor (Motor dan Mobil) dan Angkutan Umum Penumpang
Tahun
Angkutan
Umum
Penumpang
Pertumbuhan
(%)
Kendaraan Pribadi
Jumlah
Pertumbuhan
(%)Mobil Motor
2008 2.320 3.16 34.625 123.527 158.152 5.87
2009 2.567 10.65 44.660 119.016 163.676 3.49
2010 1.302 -49.28 32.589 119.019 151.608 -7.37
2011 1.302 0 33.526 119.019 152.545 0.62
2012 1.800 38.25 33.523 151.286 184.809 21.15
2013 1.800 0 33.523 151.286 184.809 0
Sumber: Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2005 – 2014
37
38. Pada Tabel III.4 menunjukkan bahwa dari tahun 2009 – 2010, jumlah mobil dan
motor mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak diluncurkannya BRT
pada tahun 2009, penurunan jumlah kendaraan pribadi terjadi karena masyarakat beralih
menggunakan BRT. Begitu pula dengan jumlah kendaraan umum yang dapat diintepretasikan
bahwa kendaraan umum cukup kalah bersaing dengan BRT sehingga jumlahnya menurun
meskipun pada tahun 2012, jumlahnya meningkat kembali. Peningkatan ini juga terjadi pada
jumlah kendaraan motor. Dapat diinterpretasikan bahwa pelayanan BRT kurang memuaskan
dan masyarakat belum sepenuhnya beralih ke BRT melainkan menggunakan moda
transportasi pribadi dan moda transportasi lain yang lebih menjadi preferensi.
3.4 Kinerja Jalan
Kinerja jalan menunjukkan kemampuan dari suatu ruas jalan dalam melayani atau
menampung arus lalu lintas. Kinerja jalan salah satunya ditentukan oleh kapasitas jalan.
Kapasitas jalan menggambarkan arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat
dipertahankan per satuan jam. Berikut adalah kapasitas jalan di sepanjang jalur koridor I yang
memiliki beberpa permasalahan atau kendala seperti kemacetan, hambatan samping, dan lain-
lain.
Tabel III.5
Kinerja Jalan Koridor BRT Kota Semarang
Koridor Ruas Jalan Fungsi Jalan Lebar Jalan
Kapasitas
Jalan
V/C LOS
I
- Walisongo AP 15 5.508 0,72 D
IV Siliwangi AP 21,3 7.611 0,75 D
II
Kaligawe AP 14,5 5.750 0,95 E
Pemuda AS 16,5 3.417 0,52 C
III
Dr. Wahidin AP 28 4.983 0,62 C
MT. Haryono AS 17,8 5.557 0,72 D
Sumber: Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK Volume XV, No 2
Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa di Jalan Walisongo, Jalan Siliwangi, dan Jalan
MT. Haryono memiliki tingkat kejenuhan pada level D. Hal tersebut menunjukkan bahwa
arus lalu lintas mulai tidak stabil, kecepatan rendah, dan volume lalu lintas sudah mendekati
kapasitas jalan. Pada Jalan Kaligawe, tingkat kejenuhannya pada level E yang artinya bahwa
arus kendaraan tidak stabil dan volume kendaraan mendakati kapasitas jalan. Sedangkan,
pada Jalan Pemuda dan Dr. Wahidin level kejenuhan berada pada tingkatan C artinya arus
kendaraan masih stabil (kecepatan kendaraan dapat dikontrol oleh lalu lintas). Seiring dengan
peningkatan kendaraan pribadi baik motor atau pun mobil dari tahun ke tahun dapat
38
39. Menyebabkan pada ruas-ruas jalan tersebut rawan terjadi kemacetan pada masa yang akan datang.
3.5 Headway
Headway menunjukkan selisih waktu kedatangan antar bus dengan bus berikutnya yang berurutan dengan rute yang sama. Besar dan
kecilnya headway berpengaruh terhadap waktu tunggu penumpang. Semakin besar headway mengakibatkan waktu tunggu penumpang akan
semakin lama, begitu juga sebaliknya. Selain itu, waktu tunggu penumpang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh besaran kecepatan
kendaraan, yang akan berpengaruh pada waktu kedatangan di setiap shelter. Berikut adalah data headway, waktu tunggu penumpang, dan
kecepatan kendaraan Bus Trans Semarang untuk koridor I, II, III, dan IV.
Tabel III.6
Headway BRT Kota Semarang Tahun 2016
Indikator
Hasil Analisis Standar
Departemen
Perhubungan
Standart
World Bank
Keterangan
I II III A III B IV I II III A III B IV
Headway (Menit)
10 - 20 menit 1 - 2 menit
- Peak Pagi 7 12 19 23 11
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
- Peak Siang 7 14 16 25 8
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
- Peak Sore 7 11 9 21 10
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
- Non Peak 5 10 23 31 10
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Rata-Rata
Headway
7 12 17 25 10
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
39
40. Indikator
Hasil Analisis Standar
Departemen
Perhubungan
Standart
World Bank
Keterangan
I II III A III B IV I II III A III B IV
Waktu Tunggu
Penumpang
(Menit)
4 6 9 13 5 5 - 10 menit -
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
Syarat
Panjang Rute
(Km)
60 49 56 56 46 - - - - - - -
Waktu Sirkulasi
dari A ke B
(menit)
74 74 75 73 60 - - - - - - -
Kecepatan
Kendaraan
(Km/Jam)
48 39 45 45 46
15 - 18
Km/Jam
10 - 12 Km/
Jam
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
40
41. Berdasarkan hasil olah data observasi, didapatkan bahwa headway terkecil yaitu 7
menit pada koridor I dan headway terbesar yaitu 25 menit pada koridor III B. Headway
terkecil didapatkan karena jarak keberangkatan antara bus pertama dengan bus berikutnya
yaitu berselang antara 5 – 15 menit. Selain itu, jumlah armada pada koridor I yaitu 23 armada
juga mempengaruhi jeda keberangkatan antar bus. Sedangkan pada koridor III B, jarak
keberangkatan antar bus berselang 20 – 30 menit. Selain itu, jumlah armada pada koridor III
yaitu 12 armada dengan rute perjalanan terbagi menjadi dua yaitu rute III A dan rute III B.
Besaran headway pada koridor III B juga dipengaruhi oleh keberangkatan bus yang berseling
antara bus III A, kemudian dilanjutkan bus III B baru kemudian bus III A selanjutnya.
Besaran headway mempengaruhi waktu tunggu penumpang, hal itu dapat dilihat pada
koridor III B. Headway pada koridor III B yaitu 25 menit dengan waktu tunggu penumpang
setengah dari besaran headway yaitu 13 menit. Lamanya waktu tunggu penumpang yang
melebihi standar dari Dinas Perhubungan dapat mengakibatkan kurangnya minat penumpang
untuk naik Bus Trans Semarang terutama pada koridor III B yang nantinya akan berpengaruh
pada tingkat isian bus. Selain itu, waktu tunggu penumpang juga dipengaruhi oleh kecepatan
kendaraan dan hambatan perjalanan seperti adanya traffic light. Contohnya pada koridor III,
terdapat beberapa traffic light di sepanjang jalan Dr.Cipto yang dapat memperlambat waktu
kedatangan bus pada shelter terdekat. Sehingga, waktu tunggu penumpang juga menjadi lebih
lama.
3.6 Load Factor
Load factor merupakan tingkat isian sebagai suatu perbandingan antara jumlah
penumpang yang berada dalam BRT dengan kapasitas muat bus. Sebagai salah satu
parameter kinerja angkutan umum, load factor memiliki standar yang telah ditetapkan oleh
Dirjen Jenderal Perhubungan Darat yaitu sebesar 70% (0,7) dan terdapat cadangan 30% (0,3)
untuk mengakomodasi kemungkinan lonjakan penumpang. Berikut adalah data load factor
pada Bus Rapid Transit Kota Semarang tahun 2010-2015 untuk koridor I, II, III, dan IV.
Tabel III.7
Data Load Factor BRT Kota Semarang Tahun 2010-2015
Tahun Koridor I Koridor II Koridor III Koridor IV
2010 24,18%
2011 47,69%
2012 53,57% 25,35%
2013 58,35% 62,46% 33,59%
2014 66,01% 83,54% 16,87% 53,58%
41
42. Tahun Koridor I Koridor II Koridor III Koridor IV
2015 69,52% 90,00% 24,55% 68,22%
Sumber: BLU, 2016
Berdasarkan data sekunder yang didapat dari BLU Kota Semarang mengenai load
factor, terjadi peningkatan nilai dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 dan 2011, BRT yang
beroperasi hanya pada koridor I dan LF-nya mengalami peningkatan sebesar 23,51%. Pada
tahun 2012, BRT pada koridor II mulai dioperasikan dan nilai LF pada tahun pertama
tersebut sudah mencapai nilai 25,35%. BRT pada koridor IV dioperasikan mulai tahun 2013
dengan nilai LF sebesar 33,59%, dan koridor III mulai tahun 2014 dengan nilai LF sebesar
16,87%. Dilihat dari adanya peningkatan nilai LF, dapat diketahui bahwa demand akan
angkutan umum berupa BRT Kota Semarang cukup tinggi meskipun nilai LF-nya sendiri
belum dapat memenuhi standar sebesar 70%. Namun, untuk pengadaan keempat jalur koridor
dirasa cukup tepat karena sebagian besar berada di jalan kolektor primer dan arteri sekunder
yang juga dapat menjadi penghubung antar kota/kabupaten, serta berada pada kawasan yang
memiliki aktivitas cukup tinggi, seperti kawasan perdagangan dan jasa di Simpang Lima dan
Pasar Johar. Selain data LF tahun 2010-2015, akan ditampilkan pula tabel mengenai data
primer load factor BRT Kota Semarang pada bulan April 2016.
Tabel III.8
Data Load Factor BRT Kota Semarang Bulan April 2016
Koridor
Load Factor (%)
Peak Pagi Peak Siang Peak Sore Non Peak Rata-Rata
Koridor I 45,31 28,11 26,78 29,56 32,44
Koridor II 59,50 53,29 61,09 30,58 51,11
Koridor III A 13,79 20,42 28,37 9,32 17,97
Koridor III B 18,03 36,68 32,22 11,22 24,53
Koridor IV 17,02 61,49 69,86 23,47 42,96
Sumber: Hasil Olahan Data Survey, 2016
Dilihat dari Tabel III.8, bulan April 2016 seluruh koridor pada peak hour maupun non
peak hour, nilai LF belum mencapai standar. Bahkan pada koridor III memiliki nilai yang
jauh di bawah standar, dengan rata-rata LF-nya sebesar 17,97% untuk koridor III A dan
24,53% untuk koridor III B. Jika di rata-rata, nilai tersebut menurun sebesar 5,01% jika
dibandingkan dengan bulan Maret 2016, yaitu nilai rata-rata LF-nya sebesar 26,26% untuk
koridor III. Penurunan nilai load factor pada koridor III ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah headway yang lebih dari 20 menit dan waktu tunggu penumpang
yang mencapai 15 menit. Selain headway dan waktu tunggu penumpang, kurangnya
keberadaan feeder yang menghubungkan dari/menuju koridor III juga memengaruhi tingkat
isian dari bus. Keberadaan angkutan umum sebagai feeder yang kurang terkoneksi dapat
memengaruhi minat penumpang untuk naik BRT Kota Semarang khususnya koridor III.
42
43. Sehingga tingkat isian BRT Kota Semarang juga ikut berkurang serta kemungkinan besar
penduduk yang berada di sepanjang jalur koridor III atau penduduk yang akan menuju jalur
koridor tersebut lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dengan alasan mudah dan
cepat.
3.7 Justifikasi Pemilihan Koridor I
Penyusunan prioritas suatu masalah dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
metode baik kualitatif maupun kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penyusunan
prioritas masalah tranportasi pada koridor-koridor BRT di Kota Semarang adalah Metode
Reinke. Adapun komponen-komponen dalam metode tersebut antara lain besaran
permasalahan, urgensi (kegawatan) masalah, sensitifitas yang merupakan keefektifan
pemecahan masalah dalam mennyelesaikan permasalahan kinerja BRT tersebut, dan biaya
yang digunakan untuk meyelesaikan masalah tersebut. Pada variabel biaya tersebut, semakin
besar biaya yang diperlukan maka nilai (skor) semakin kecil. Range yang digunakan dalam
penilaian tiap kriteria adalah 1 sampai 5, artinya bahwa angka 1 merupakan nilai terendah
dan angka 5 merupakan nilai tertinggi.
Tabel III.9
Tabel Prioritas Masalah BRT Kota Semarang
Masalah
Kriteria
Skoring PrioritasBesarnya
masalah (M)
Kegawatan
masalah (I)
Sensitifitas/
Dampak
(V)
Biaya ( C )
Koridor I 153,5
1
Rawan Macet 5 5 4 1 100
Hambatan Samping 5 4 4 2 40
Rawan Genangan Air 3 3 3 2 13,5
Koridor II 72,5
2
Rawan macet 3 5 3 1 45
Hambatan samping 2 3 2 2 6
Perlintasan sebidang 2 2 2 1 8
Genangan air 3 3 3 2 13,5
Koridor III 92
3
Perlintasan sebidang 3 2 3 1 18
Hambatan samping 3 2 2 2 6
Rawan macet 5 3 4 1 60
Genangan air 3 2 2 2 6
Tidak terdapat shelter di beberapa
titik
2 1 2 2 2
Koridor IV 91 4
Rawan macet 5 4 4 1 80
Hambatan samping 3 2 2 2 6
Lahan parkir yang sempit 2 1 1 2 1
43
44. Masalah
Kriteria
Skoring PrioritasBesarnya
masalah (M)
Kegawatan
masalah (I)
Sensitifitas/
Dampak
(V)
Biaya ( C )
Genangan air 2 2 2 2 4
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Berdasarkan tabel prioritas masalah diatas, diperoleh hasil bahwa skor yang tertinggi berada
pada Koridor I yaitu 155,5. Hal ini menjadikan Koridor I sebagai prioritas pertama dalam
penanganan masalah transportasi terkait kinerja BRT Kota Semarang yang melalui koridor
tersebut. Permasalahan di Koridor I yang mempengaruhi kinerja BRT yang melewati koridor
tersebut antara lain padatnya arus lalu lintas karena terdapat ruas jalan yang merupakan pintu
masuk menuju Kota Semarang sehingga rawan kemacetan, adanya hambatan samping yang
seringkali mengganggu arus lalu lintas, dan adanya genangan air karena saluran drainase
yang tidak berfungsi optimal. Permasalahan yang terdapat pada koridor lainnya sebagian
besar serupa dengan permasalahan yang ada pada Koridor I. Penanganan terhadap tiga
masalah tersebut dilakukan untuk meminimalisir waktu kedatangan BRT pada tiap-tiap
shelter. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat lebih memilih transportasi BRT ini untuk
melakukan mobilisasi. Selain itu, dengan meningkatnya minta masyarakat dalam
menggunakan transportasi umum ini secara tidak langsung akan meningkatkan faktor tingkat
isian (load factor) BRT di Kota Semarang.
Berdasarkan data sekunder dari BLU Kota Semarang, BRT beroperasi pertama kali
pada tahun 2010 dengan rute Mangkang – Penggaron. Rute tersebut dinamai dengan koridor
I. Selama lima tahun beroperasi hingga tahun 2015, tingkat load factor pada koridor I belum
mampu mencapai standar Dirjen Jenderal Perhubungan Darat yaitu sebesar 70% (0,7).
Sedangkan, pada koridor II (Sisemut – Terboyo) sejak beroperasi tahun 2012 hingga tahun
2015 tingkat load factor sudah mencapai 90 % atau melebihi standar Dirjen Jenderal
Perhubungan Darat. Oleh karena itu, untuk mencapai tingkat load factor sebesar 70%, kinerja
BRT pada koridor I perlu ditingkatkan. Peningkatan kinerja BRT perlu dilakukan, mengingat
terdapat permasalahan-permasalahan lain yang dapat menghambat kinerja BRT di koridor I.
Permasalahan tersebut diantaranya kemacetan yang terjadi di Jalan Walisongo dan Jalan
Siliwangi (Tabel III.5) dapat menghambat perjalanan BRT, sehingga waktu tunggu
penumpang juga akan semakin lama. Selain itu, tidak tersedianya lahan parkir bagi pengguna
BRT yang akan beralih moda dari transportasi pribadi ke transportasi umum juga dapat
mempengaruhi kinerja BRT dikarenakan kurangnya service atau pelayanan yang disediakan
pemerintah untuk mempermudah masyarakat beralih moda ke BRT. Berdasarkan
44
45. permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan kinerja BRT pada
koridor I.
3.9 Trend Load Factor
Load factor (tingkat isian) sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja
transportasi umum BRT. Isian BRT Kota Semarang terdiri dari dua karakteristik penumpang
yaitu pelajar dan umum. Berikut adalah tingkat isian penumpang rata-rata untuk masing-
masing koridor:
Tabel III.10
Load Factor BRT
Tahun Koridor I Koridor II Koridor III Koridor IV
2010 369.326
2011 1.678.542
2012 1.823.352 136.848
2013 2.264.832 1.521.747 34.566
2014 2.716.709 2.220.862 68.606 781.124
2015 3.369.778 2.553.415 594.809 1.505.867
Sumber: BLU Kota Semarang
Koridor dengan tingkat isian terbanyak adalah koridor I yang melayani dari Mangkang ke
Penggaron atau pun sebaliknya. Koridor tersebut menghubungkan antar dua daerah pinggiran
Kota Semarang yaitu Kabupaten Kendal dan juga Kabupaten Demak. Oleh karena itu, pada
koridor I tidak hanya melayani penduduk Kota Semarang tetapi juga pinggiran-pinggiran
Kota Semarang, sehingga memungkinkan tingkat isian pada koridor tersebut lebih besar
dibandingkan dengan koridor lain. Dari tingkat isian (load factor) saat ini kemudian
dilakukan proyeksi selama 20 tahun mendatang untuk mengetahui besaran peningkatan
jumlah pengguna dari transportasi massal Kota Semarang yaitu BRT. Berikut adalah
Gambar 3.3 Trend Penumpang Pada Koridor I.
45
46. Sumber: Hasil Pengolahan Data Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
Gambar 3.7
Trend Penumpang BRT Koridor I Tahun 2016 – 2036
Berdasarkan pada Gambar 3.7 terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penumpang dari
tahun 2016 sejumlah 3.369.778 penumpang menjadi 11.391.291. Peningkatan yang terjadi
mencapai 77,17%. Peningkatan tersebut dapat disebabkan salah satunya yaitu peningkatan
arus ulang-alik (komuter) dari luar Kota Semarang terutama Kabupaten Demak dan
Kabupaten Kendal atau pun dari dalam Kota Semarang menuju ke luar.
46
47. BAB IV
RENCANA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DALAM MENDUKUNG
KINERJA PELAYANAN KORIDOR I BRT KOTA SEMARANG
Berdasarkan identifikasi dan analisis data yang telah dilakukan dalam bab
sebelumnya, koridor I memiliki tingkat urgensi yang paling tinggi dibandingkan dengan tiga
koridor lainnya. Tingkat urgensi ini didasarkan pada banyaknya permasalahan yang terjadi
sepanjang koridor dan membutuhkan prioritas penanganan agar kinerja pelayanan BRT dapat
berjalan lebih efisien dan efektif. Adapun penanganan yang direncanakan adalah penyediaan
infrastruktur pendukung yang dituangkan dalam dua skenario perencanaan utama meliputi
pembangunan jalur khusus dan pembuatan park and ride.
4.1 Rencana Pembuatan Jalur Khusus dan Shelter
Skenario perencanaan pertama untuk mendukung kinerja pelayanan BRT pada
koridor I adalah pembangunan jalur khusus berupa elevated road yang dilengkapi dengan
beberapa shelter. Koridor I merupakan koridor yang melewati rute dengan kepadatan lalu
lintas yang cukup tinggi. Kepadatan lalu lintas yang paling tinggi terdapat pada ruas Jalan
Raya Semarang-Kendal, Jalan Wali Songo, dan Jalan Siliwangi. Kepadatan lalu lintas di ruas
tersebut dipengaruhi oleh adanya pekerjaan jalan, hambatan samping, dan persimpangan
jalan. Hal-hal diatas berdampak pada headway BRT koridor I yang dapat mencapai diatas 2
menit. Lamanya waktu tunggu ini menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan
kendaraan pribadi daripada menggunakan BRT. Dampak lain dari kepadatan lalu lintas
adalah tingginya konsumsi bahan bakar BRT dan tingginya biaya pemeliharaan kendaraan
BRT.
Adapun lokasi pembangunan berada pada ruas Jalan Raya Semarang-Kendal, Jalan
Wali Songo, dan Jalan Siliwangi. Elevated road tersebut nantinya akan berfungsi sebagai
jalur khusus BRT supaya BRT terhindar dari kepadatan lalu lintas. Keuntungan yang didapat
dari pembangunan ini adalah dapat memangkas headway BRT menjadi lebih cepat,
menghemat konsumsi bahan bakar, mengurangi resiko kecelakaan, dan menghemat biaya
pemeliharaan kendaraan BRT. Elevated road dibangun sepanjang 3,5 kilometer atau sekitar
3.500 meter dengan lebar jalan 7 meter dilengkapi 8 unit shelter didalamnya. Untuk
mencapai shelter diatas disediakan jembatan penyebrangan sebanyak jumlah shelter yang
disediakan. Selain pengadaan shelter, didalam elevated road juga dilengkapi dengan saluran
drainase selebar 1 meter dan lampu penerangan jalan 96 unit tiap sisi jalan. Selanjutnya
terdapat rambu lalu lintas guna mengatur pergerakan BRT dan papan iklan yang
47
48. dimanfaatkan untuk penambahan pendapatan dana pemerintah melalui iklan-iklan dari pihak
swasta yang bersangkutan.
48
49. Tabel IV.1
Analisis Skenario 1: Pembuatan Elevated Road
Data Analisis Respon Keterangan
Adanya titik-titik kemacetan
di lokasi berikut:
1. Jalan Raya Walisongo
2. Jalan Siliwangi
- Kepadatan lalu lintas di
ruas-ruas jalan tersebut
dipengaruhi oleh adanya
pekerjaan jalan, hambatan
samping, dan
persimpangan jalan
- Adanya tiga titik
persimpangan yang sering
mengakibatkan
penumpukan kendaraan
ke arah Ngaliyan, ke arah
Kawasan Industri Candi,
serta persimpangan
Perumahan Graha Padma
dan ke arah Kalibanteng.
Diperlukan adanya jalur
khusus berupa elevated road
untuk BRT Kota Semarang
Adapun perincian elemen-elemen pembentuk elevated road meliputi:
A. Jalur masuk-keluar elevated road
Jalur berupa tanjakan ini memiliki panjang sekitar 8 meter,
dilengkapi signage yang menunjukkan bahwa jalan tersebut
merupakan lajur khusus BRT.
49
A B
FD GB C E
H I
50. Data Analisis Respon Keterangan
(jalur masuk tampak depan)
(jalur masuk dan keluar tampak samping)
B. Jalan utama
Jalur utama elevated road memiliki panjang sekitar 3,5
kilometer dengan lebar jalan 7 meter. Jenis perkerasan badan
jalan menggunakan hotmix.
50
51. Data Analisis Respon Keterangan
(badan jalan elevated road)
(elevated road tampak atas)
C. Persimpangan Rawan Macet
Berikut merupakan model persimpangan jalan yang sering
mengalami kemacetan ketika peak hour. Pada persimpangan
ini, rencananya akan dilengkapi dengan rambu lalu lintas dan
yellow box untuk mengendalikan tingkat kemacetan pada
persimpangan.
51
52. Data Analisis Respon Keterangan
(persimpangan jalan rawan macet)
D. Shelter
Jumlah shelter yang disediakan pada elevated road sebanyak 4
pasang unit shelter yang dapat dijangkau bagi para pejalan
kaki melalui jembatan penghubung shelter yang telah
disediakan.
(halte I)
52
54. Data Analisis Respon Keterangan
E. Jembatan penghubung shelter
Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung pedestrian menuju
shelter yang terdapat didalam elevated road. Jembatan ini
terdapat di setiap shelter.
(jembatan penghubung shelter)
F. Lampu penerangan jalan
Merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan yang
diletakkan di samping kiri dan kanan jalan yang berfungsi
untuk menerangi jalan pada malam hari. Jumlah lampu yang
disediakan adalah 96 unit tiap sisi jalan. Fungsi penerangan
jalan antara lain:
1. Meningkatkan keselamatan dan kenyaman pengendara
BRT khususnya ketika malam hari atau mendung
2. Memberikan penerangan sebaik-baiknya seperti kondisi
siang hari
3. Memberikan keamanan lingkungan da mencegah
kriminalitas
4. Memberikan kenyamanan dan estetika pada lingkungan
elevated road
54
55. Data Analisis Respon Keterangan
(pilar di badan jalan)
(jarak antar pilar)
G. Reklame/Papan iklan
Elemen ini berfungsi sebagai material promosi (advertising)
yang dapat dimanfaatkan untuk penambahan pendapatan dana
pemerintah melalui pemasangan iklan oleh pihak swasta yang
berminat untuk memasang advertisement).
55
56. Data Analisis Respon Keterangan
(papan reklame I)
(papan reklame II)
H. Median jalan (bawah)
Median ini berfungsi untuk memecah kemacetan yang terjadi
di jalan bagian bawah elevated road seklaigus mengendalikan
arah kedua arus kendaraan agar lebih tertib.
56
57. Data Analisis Respon Keterangan
(median jalan)
I. Pilar
Pilar sebagai pondasi elevated road memiliki panjang 8 meter
dan berjumlah 8 pilar menggunakan tipe single pier. Jarak
antara satu pilar dengan pilar yang lain mencapai 35 meter.
(pilar penopang elevated road ke arah jalur masuk)
57
58. Data Analisis Respon Keterangan
(pilar penopang elevated road ke arah jalur keluar)
Sumber: Analisis Kelompok, 2016
58
59. 4.2 Rencana Pembuatan Park and Ride
Permasalahan yang terjadi pada koridor I BRT Kota Semarang berupa kemacetan yang
diakibatkan oleh tingginya volume kendaraan yang melintas terutama di Jalan Semarang – Kendal.
Kemacetan terjadi karena banyaknya kendaraan yang keluar masuk Kota Semarang maupun
Kabupaten Kendal. Mendindaklanjuti hal tersebut, rencana pembuatan park and ride akan
diterapkan di Mangkang yang merupakan daerah perbatasan antara Kota Semarang dengan
Kabupaten Kendal. Pengadaan park and ride ini diharapkan mampu mengurangi volume
kendaraan commuter dari Kabupaten Kendal menuju Kota Semarang maupun sebaliknya.
Selain itu, diharapkan dengan adanya park and ride kemacetan akan berkurang dan load
factor akan bertambah karena adanya fasilitas tersebut.
59
60. Tabel IV.2
Analisis Skenario 2: Pembuatan Park and Ride
Data Analisis Respon Keterangan
- Kemacetan
terjadi di
ruas Jalan
Raya
Walisongon
dan Jalan
Siliwangi,
akibat
tingginya
volume
kendaraan
commuter
- Terminal
Mangkang
memiliki
lahan luas
yang
berpotensi
menjadi
lokasi
pembuatan
park and
ride.
Penyediaan
infrastruktur
pendukung
BRT Kota
Semarang
salah satunya
adalah
pembuatan
park and ride.
Hal
Pembuatan
park and ride
tersebut
menyesuaikan
dengan
keadaan di
lapangan
yaitu,
tingginya
volume
kendaraan
yang berasal
dari
Kabupaten
Kendal
menuju Kota
Semarang
maupun
sebaliknya.
Maka dari itu,
lokasi
pembuatan
park and ride
diletakkan di
Terminal
Mangkang
yang
merupakan
simpul dari
koridor I.
• Park and Ride
di Terminal
Mangkang
berupa gedung
parkir 3 lantai
• Luas bangunan
per lantai seluas
800 m2
dengan
luas lahan total
1,5 Ha atau
sekitar 1.556
meter persegi
• Gedung parkir
tersebut mampu
menampung 91
mobil dan 50
motor
- Kapasitas
Lantai Dasar:
35 mobil
- Kapasitas
Lantai 1: 27
mobil
- Kapasitas
Lantai 2: 29
mobil dan 50
unit motor
Pengadaan park and ride pada koridor I dibangun
guna melayani pergerakan orang dari daerah sub-
urban Kota Semarang yaitu Kabupaten Kendal yang
berbatasan di wilayah barat Kota Semarang. Jenis
park and ride yang dibangun termasuk dalam tipe
sub-urban park and ride lots karena berada di
wilayah perbatasan antar daerah.
(tampak atas)
(tampak depan)
(tampak samping)
Adapun fasilitas yang disediakan dalam park and
ride antara lain :
A. Kios
B. Mushola+Toilet
60
A
B
B
C
61. Data Analisis Respon Keterangan
C. Pos Kesehatan
(kios)
(musholla dan toilet umum)
Sumber: Analisis Kelompok Perencanaan Infrastruktur, 2016
61
62. BAB V
KOMPONEN BIAYA DAN MANFAAT SKENARIO PERENCANAAN
INFRASTRUKTUR KORIDOR I BRT KOTA SEMARANG
5.1 Alternatif 1: Pembuatan Jalur Khusus dan Shelter
Rencana Jalur Khusus yang akan diterapkan di ruas jalan tertentu yang ada di Koridor
I berupa elevated road di ruas Jalan Semarang – Kendal. Elevated road yang akan dibangun
akan sepanjang 3,5 km. Konsep elevated road ini diharapkan mampu mengatasi
permasalahan BRT di Kota Semarang yaitu berupa permasalahan Load factor yang rendah
dan Headway yang cukup lama.
5.1.1 Komponen Biaya
Pada komponen biaya terdapat beberapa klasifikasi biaya antara lain biaya pengadaan,
biaya proyek dan biaya operasi dan perawatan. Biaya pengadaan merupakan biaya yang
berhubungan dengan biaya untuk memperoleh perangkat keras dan biasanya digunakan pada
tahun pertama. Biaya proyek (project-related cost), merupakan biaya yang berhubungan
dengan biaya-biaya untuk mengembangkan sistem termasuk penerapannya. Biaya proyek
tersebut termasuk dalam tahap analisis system. Biaya operasi (ongoing cost) dan biaya
perawatan (maintenance cost). Biaya operasi yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
mengoperasikan sistem supaya dapat beroperasi, sedangkan biaya perawatan yaitu biaya yang
dikeluarkan untuk merawat sistem dalam masa operasinya. Analisis komponen biaya untuk
pengadaan jalur khusus BRT berupa elevated road berkaitan dengan komponen – komponen
di bawah ini:
a. Biaya Pra Konstruksi
Biaya pra konstruksi dalam pembuatan elevated road ini berupa biaya pembebasan lahan
dan land clearing ini termasuk dalam komponen biayan pra konstruksi. Biaya pembebasan
lahan untuk pembuatan jalur khusus berupa elevated road meliputi pembebasan lahan untuk
pintu masuk jalur khusus, pintu keluar jalur khusus, dan jalur penyeberangan. Sedangkan
untuk biaya land clearing berupa biaya pembongkaran yang meliputi pembongkaran trotoar
untuk jalur penyeberangan, bongkar median untuk pilar jalur khusus, dan bongkar badan
jalan untuk pintu masuk dan keluar jalur khusus. Total biaya yang dibutuhkan pada tahap ini
sejumlah Rp 16.009.354.796,00. Harga satuan yang digunakan berdasarkan Harga Satuan
Perencanaan Bappeda Jakarta. Berikut merupakan rincian biaya pada tahap ini:
62
63. b. Biaya Pembangunan Jalur Khusus Elevated Road
Biaya pembangunan jalur khusus ini termasuk dalam tahap konstruksi. Pada
pembangunan jalur khusus yang berupa elevated road ini meliputi pembangunan trotoar baru,
median baru, pembangunan pilar jalur khusus, pembangunan badan jalur khusus beserta
fasilitas pelengkap lainnya, pembangunan shelter dan jalur penyeberangan. Total biaya yang
dibutuhkan untuk pembangunan konstruksi jalur khusu ini sejumlah Rp 208.278.490.700,00.
c. Biaya Operasional
Biaya operasional dalam pembangunan jalur khusus ini berupa pemeliharaan terhadap
badan jalan, fasilitas pelengkap, shelter, dan jembatan penyeberangan. Untuk biaya
pemeliharaan dihitung dari 2% harga satuan per m2 tertinggi yang digunakan (Dinas
Pekerjaan Umum Khusus Bangunan Negara). Total biaya pemeliharaan jalur khusus ini
sejumlah Rp 11.440.942.610,00.
Tabel V. 1
Komponen Biaya Elevated Road
Komponen Biaya Nominal
Biaya Pra Konstruksi
Pembebasan Lahan Rp 15.197.052.000,00
Land Clearing Rp 775.538.910,00
Biaya Konstruksi
Pembangunan Trotoar Baru Rp 126.000.000,00
Pembangunan Median Baru Rp 2.898.000.000,00
Pembangunan Badan Jalan Jalur Khusus Rp 34.300.000.000,00
Penerangan Jalan Umum (PJU) Rp 5.616.960.000,00
Traffic Light Rp 153.600.000,00
Drainase (Diameter 50 cm) Rp 1.925.640.500,00
Pembangunan Pilar Elevated Road Rp 144.000.000.000,00
Bangun shelter Rp 400.000.000,00
Jembatan Penyeberangan Rp 19.029.420.000,00
Biaya Operasional
Pemeliharaan Jalur Khusus Rp 98.000.000,00
Pemeliharaan Shelter Rp 8.000.000,00
Pemeliharan Jalur Penyeberangan Rp 2.000.000,00
Pemeliharaan PJU Rp 112.339.444.800,00
Pemeliharaan Drainase Rp 38.512.810,00
Pemeliharaan Trotoar Rp 2.520.000,00
Pemeliharaan Median Rp 57.960.000,00
Total Rp336.968.649.020,00
Sumber: Hasil Analisis Perencanaan Infrastruktur, 2016.
63
64. 5.1.2 Komponen Manfaat
Manfaat yang akan dapat diperoleh dari pengadaan elevated road terbagi atas dua,
yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat yang didapat berupa uang yang
dapat digunakan sebagai sumber dana operasional dan lain – lain.
a. Manfaat Langsung
1. Pendapatan Tiket
Adanya elevated road diasumsikan mampu meningkatkan load factor koridor 1 yang
semula sebesar 69,52% meningkat menjadi 79,73% ( best practice) sehingga pendapatan dari
tiket BRT juga ikut meningkat. Nominal biaya manfaat yang didapatkan berasal dari jumlah
pengguna BRT koridor 1 tahun 2015 dikali dengan tarif Rp 3.500,00 untuk penumpang
umum dan Rp 1.000,00 untuk pelajar dengan porsi penumpang pelajar sebesar 28,62%.
Pendapatan tiket yang akan didapat setelah pengadaan elevated road berasal dari jumlah
pengguna pada tahun operasi elevated road naik 10,21% dari jumlah pengguna tahun 2015
dikali dengan tarif tiket BRT.
2. Pendapatan Iklan
Sebagai salah satu sumber pendapatan akan dipasang papan iklan berupa videotrone
sebanyak 5 buah dengan ukuran 3m x 6m di elevated road sepanjang 3,5 km. Videotrone
tersebut akan tayang selama 18 jam per hari dengan biaya Rp 15.000,00 per 30 detik dengan
asumsi papan iklan tersewa selama setahun dengan potongan pajak sebesar 25% dari total
keuntungan.
b. Manfaat Tidak Langsung
1. Penghematan Bahan Bakar Minyak
Kemacetan yang terjadi akibat tingginya volume kendaraan bermotor yang melintas
menyebabkan setiap kendaraan bermotor tersebut mengkonsumsi bahan bakar yang lebih
banyak dari kondisi tidak macet. Adanya elevated road ini akan mengurangi tingkat
kemacetan dan konsumsi bahan bakar minyak setiap kendaraan akan berkurang. Pendapatan
yang akan didapat dari penghematan bahan bakar minyak berasal dari konsumsi bahan bakar
minyak masing – masing kendaraan bermotor (BRT, mobil, dan motor) dikali dengan harga
bahan bakar minyak berupa solar untuk BRT dan motor mobil menggunakan premium pada
saat kondisi macet yang nantinya akan dikurangkan dengan konsumsi bahan bakar minyak
kendaraan pada kondisi tidak macet yang telah dikali dengan harga solar serta premium.
2. Penghematan Biaya Operasional Kendaraan
Pada kondisi jalan macet kendaraan bermotor dalam hal ini bus BRT harus bekerja
lebih keras karena waktu perjalanan bertambah panjang pula. Pengadaan elevated road
64
65. diharapkan akan meringankan kerja kendaraan yaitu penghematan biaya operasional
kendaraan (servis) yang diperoleh dari biaya servis bus, penggantian oli, penggantian kampas
rem, dan lain – lain.
3. Penurunan Angka Kecelakaan Akibat BRT
Volume kendaraan bermotor selalu bertambah seiring berjalannya waktu. Peningkatan
volume kendaraan tersebut sayangnya tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas jalan,
sehingga timbul kemacetan. Pengguna jalan yang terjebak macet cenderung terburu – buru
agar cepat sampai ke tujuan. Hal tersebut menunjukkan banyak pengguna jalan yang tidak
memperhatikan keamanan pengguna jalan lain sehingga timbul banyak kasus kecelakaan.
Pengadaan elevated road diharapkan akan menurunkan angka kecelakaan maka dari itu akan
didapat penghematan biaya asuransi kecelakaan. Pendapatan tersebut diperoleh dari jumlah
kasus kecelakaan dikali dengan biaya asuransi kecelakaan sebesar Rp 2.000.000,00 per orang
sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas.
4. Penghematan Biaya Stress Akibat Dari Kemacetan
Kemacetan lalu lintas kerap kali menjadi penyebab stress pengguna jalan terutama
pada saat peak hour karena volume kendaraan bermotor yang tinggi. Diasumsikan jumlah
pengguna (umum) BRT koridor I tahun 2015 per hari sebanyak 3.293 orang dengan asumsi
pengguna yang mengalami stress sebanyak 28,1% (berdasarkan best practice Kota Bogor,
Jawa Barat) yaitu, 926 orang. Jika terjadi macet, pengguna konsultasi ke psikiater sebanyak 4
kali dalam setahun dengan biaya konsultasi Rp 100.000,00. Pendapatan yang akan didapatkan
berasal dari perhitungan penumpang yang stress dikali dengan 2 kali biaya konsultasi ke
psikiater.
5. Kerugian yang Dialami Pegawai Akibat Terlambat Masuk Kerja
Padatnya volume lalu lintas pada saat peak hour meningkatkan resiko keterlambatan
para pengguna jalan sampai ke tempat tujuan. Pengguna BRT koridor I diasumsikan
didominasi oleh buruh. Apabila kondisi jalan macet waktu perjalanan akan bertambah
sehingga buruh akan mengalami keterlambatan menuju tempat kerja. Pendapatan yang akan
didapatkan diperoleh dari perhitungan potongan gaji buruh sebesar 1% berdasarkan PP
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dikali dengan UMK Kota Semarang dikali
dengan hari kerja.
65
66. Tabel V.2
Komponen Manfaat Beserta Nominal
Komponen Manfaat Total
Manfaat Langsung
Pendapatan Tiket Rp 1.377.657.500,00
Pendapatan Iklan Rp 532.170.000.000,00
Manfaat Tidak Langsung
Penghematan BBM BRT Rp 35.960.520,00
Penghematan BBM Kendaraan
Pribadi
Rp 1.311.956.640,00
BOK Rp 10.644.954.302,00
Penurunan Angka Kecelakaan Akibat
Kapasitas Jalan
Rp 332.000.000,00
Penghematan Biaya Stress Akibat
dari Kemacetan
Rp 185.200.000,00
Kerugian yang Dialami Pegawai
Akibat Terlambat Masuk Kerja
Rp 10.515.360.000,00
Total Komponen Manfaat Rp 556.573.088.962,00
Sumber: Hasil Analisis Perencanaan Infrastruktur, 2016.
5.2 Alternatif 2: Pembuatan Park and Ride
Park and Ride yang akan dibangun berada di area Terminal Mangkang Semarang
yang merupakan simpul koridor 1. Luas lahan yang akan dibangun park and ride yaitu seluas
1556 m2
. Park and Ride pada koridor I dibangun guna melayani pergerakan orang dari daerah
sub-urban Kota Semarang yaitu Kabupaten Kendal yang berbatasan di wilayah barat Kota
Semarang. Jenis park and ride yang dibangun termasuk dalam tipe Sub-urban park and ride
lots karena berada di wilayah perbatasan antar daerah.
5.2.1 Komponen Biaya
Komponen-komponen biaya yang dianalisis dalam pembuatan park and ride
diantaranya adalah biaya pra konstruksi berupa biaya pembebasan lahan, biaya konstruksi
berupa biaya pembangunan park and ride, pembangunan sarana park and ride, biaya pasca
konstruksi berupa biaya operasional, dan biaya pemeliharaan.
a. Biaya Pra Konstruksi
66
67. Biaya pra konstruksi pembangunan park and ride terdiri dari biaya untuk pembebasan
lahan dan land clearing untuk park and ride yang terletak di area Terminal Mangkang. Biaya
pembebasan lahan yang terletak di area Terminal Mangkang kemungkinan adalah free cost
(Rp 0,00) karena lahan tersebut merupakan milik pemerintah yaitu, Dinas Perhubungan.
b. Biaya Konstruksi
Untuk perhitungan biaya pembangunan gedung park and ride dihitung berdasarkan
standar harga bangunan per meter persegi yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum
Cipta Karya Tahun 2008. Harga Satuan Tertinggi yang digunakan adalah Rp. 3.500.000 per
m2
. Kemudian untuk pembangunan sarana park and ride seperti musholla, pertokoan, kantor
pengelola, dan wc umum, perhitungan pembiaayaan pembangunan konstruksi masing-
masing sarana didasarkan pada luasan bangunan dikalikan dengan harga satuan bangunan.
c. Biaya Pasca Konstruksi
Dalam perhitungan biaya operasional yang dimasukkan dalam perhitngan adalah gaji
pegawai dan biaya listrik. Pegawai yang dimiliki park and ride Mangkang-Penggaron adalah
15 orang dengan perhitungan gaji menggunakan UMR Kota Semarang tahun 2016, yaitu
sebesar Rp 1.900.000,00 per bulan. Sedangkan biaya listrik yaitu sebesar Rp 1.000.000,00
per bulan sesuai dengan best practice Park and Ride Ragunan. Sedangkan perhitungan biaya
pemeliharaan adalah dihitung dari 2% harga satuan per m2
tertinggi yang digunakan, hal ini
menurut Dinas Pekerjaan Umum Khusus Bangunan Negara.
Tabel V.3
Komponen Biaya Beserta Nominal
Komponen Biaya Total
Biaya Pra Konstruksi
Pembebasan Lahan 0
Land Clearing
Bongkar Aspal Rp 108,920,000
Bongkar Separator (50 meter) Rp 5,551,550
Biaya Konstruksi (800 meter) Rp 8,400,000,000
Biaya Perencanaan dan Supervisi
(3,5% dari biaya konstruksi)
Rp294,000,000
Biaya Pembangunan Sarana
a. Musholla (45 m2
) Rp 157,500,000
b. Pertokoan @ 5 toko (80 m2
) Rp 280,000,000
c. Kantor Pengelola (50 m2
) Rp 175,000,000
d. Sanitasi (Toilet) (12 m2
) Rp 2,000,000
67