2. Definisi
The Internasional Association for the Study of Pain
( IASP ) :
Merupakan pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang
disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial
dan actual
3. Klasifikasi Nyeri
• Berdasarkan patofisiologi
– Nyeri nosiseptive
• Nyeri somatic
• Nyeri somatik luar
• Nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa
• Nyeri somatik dalam
• Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
• Nyeri visceral
• Nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam
– Nyeri neuropatic
– Kombinasi
• Berdasarkan lama nyeri
– Nyeri akut
– Nyeri kronik
4. Nyeri neuropatik
• Disebabkan oleh kerusakan atau perubahan patologis
sistem saraf perifer atau saraf sentral.
• Penyebab : trauma, inflamasi, penyakit metabolik
(diabetes), infeksi (herpes zoster), tumor, toksin dan
penyakit neurologi primer.
• Nyeri ini sering digambarkan dengan rasa elektrik, rasa
terbakar, mati rasa/kebas, rasa gatal dan rasa tidak
nyaman.
• Pilihan terapi : antikonvulsan dan antidepresan.
• Resisten terhadap opioid
5. Nyeri akut
• Nyeri yang baru terjadi dan kemungkinan tidak
berlangsung lama.
– Bisa diidentifikasi, tempatnya jelas, sesuai rangsang
– Umumnya adalah nociceptive tetapi bisa juga
neuropathic
– Penyebab : trauma, pembedahan, persalinan,
prosedur medik, kondisi akut penyakit
– Dihantar serabut saraf A-delta bermielin, kecepatan
konduksi 12-30 meter/detik
– Bila tidak dikelola dengan baik bisa jadi nyeri kronik
6. Nyeri Postoperasi
• Nyeri akut
• Diawali dengan trauma operasi dan inflamasi,
biasanya diakhiri dnegan penyembuhan luka
• Biasanya keadaan lebih buruk pada beberapa
hari pertama operasi
• “Sembuh dengan sendirinya”
7. Nyeri kronik
• Nyeri yang berlangsung lama setelah terjadi
penyembuhan cedera atau kerusakan jaringan
– penyebabnya tidak jelas bisa diidentifikasi.
• Disebut juga “persistent pain”
• Bisa nociceptive, neuropathic atau kombinasi.
• Penyebab : bisa trauma, pembedahan, keganasan,
arthritis, fibromyalgia, neuropathy
• Dihantar serabut saraf C tidak bermielin, kecepatan
konduksi 0,5-2 meter/detik
• Pemberian segera analgetika adekuat perioperative
dapat mengurangi kekerapan terjadinya nyeri kronik.
8. Chronic pain was once defined as pain that extends 3 or 6 months
beyond onset or beyond the expected period of healing
9. Nyeri Inflamasi
• Proses unik secara biokimia dan selular
• Disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing
• Tanda-tanda utama inflamasi :
• Rubor (kemerahan jaringan)
• Kalor (kehangatan jaringan)
• Tumor (pembengkakan jaringan)
• Dolor (nyeri jaringan)
• Fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan)
10. Mekanisme Nyeri
• Transduksi
• Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian
menjadi impuls saraf
• Transmisi
• Saraf sensoris perifer melanjutkan rangsang ke medula spinalis, sebagai neuron aferen primer
• Dari medula spinalis ke batang otak dan talamus, sebagai neuron penerima kedua
• Dari talamus ke korteks serebri, sebagai neuron penerima ketiga
• Modulasi
• Modulasi nyeri dapat terjadi di nosiseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal
• Dapat menghambat atau memberi fasilitasi nyeri
• Persepsi
• Sangat dipengaruhi oleh faktor subjektif
11. Mekanisme Nyeri
Spinothalamic
tract
Peripheral
nerve
Dorsal Horn
Dorsal root
ganglion
Pain
Modulasi
Transduksi
Ascending
input
Descending
modulation
Peripheral
nociceptors
Trauma
Adapted from Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and Kehlet H et al. Anesth Analg. 1993;77:1049.
Persepsi
Transmisi
12. Respon sistemik
terhadap Nyeri
• Berhubungan dengan respons neuro endokrin sesuai derajat
nyeri
• Menyebabkan peningkatan hormon katabolik (katekolamin,
kortisol, glukagon, renin, aldosteron, angiotensin, hormon
antidiuretik)
• Menyebabkan penurunan hormon anabolik (insulin, testosteron)
• Manifestasi nyeri dapat berupa : hipertensi, takikardi,
hiperventilasi (kebutuhan O2 dan produksi CO2 meningkat),
tonus spingter saluran cerna dan saluran kemih meningkat (ileus,
retensi urin)
13. Pain: The Fifth Vital Sign™
• Pulse
• Blood pressure
• Temperature
• Respiratory rate
Pain:
The Fifth
Vital Sign™
14. Skala Nyeri
• Pengukuran intensitas nyeri akut
FPS (Faces of Pain Scale)
VRS (Verbal Rating Scale)
NRS (Numerical Rating Scales)
VAS (Visual Analogue Scales)
• Assessment nyeri pada anak-anak
Breivik H. Br J Anesth 2008;
Postoperative Pain Management-GCP. Eur Soc of Reg Anesth and Pain Ther 2007
15. Indikasi : pasien (Dewasa dan anak2 > 3th) yang tidak
dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan
angka
0 : tidak merasa nyeri sama sekali
2 : sedikit nyeri
4 : cukup nyeri
6 : lumayan nyeri
8 : sangat nyeri
10: Amat sangat Nyeri (tidak tertahankan)
16. Verbal Rating Scale (VRS)
• Juga sering disebut sebagai Verbal Descriptor Scale (VDS)
• Memberikan pilihan lima skala deskripsi verbal atau visual
untuk menggambarkan nyeri yang dialami pasien
Brown, DN. J Perioperative Practice, 2008
17. • 0 = Tidak Nyeri
• 1 – 3 = Nyeri Ringan (sedikit mengganggu aktifitas sehari-hari)
• 4 – 6 = Nyeri Sedang (gangguan nyata terhadap aktifitas sehari-hari
• 7 – 9 = Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari)
• 10 = Nyeri sangat berat. Tidak tertahankan
• NRS adalah alat pengukuran level intensitas Nyeri yang digunakan secara
verbal
• Sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien dewasa dan anak-anak > 9
tahun
• Bermanfaat untuk praktek sehari-hari
Brown, DN. J Perioperative Practice, 2008
18. Visual Analogue Scale (VAS)
• Terdiri atas mistar garis sepanjang kurang lebih 10 cm dengan “Tidak
nyeri” pada ujung kiri dan “Nyeri Paling Berat” di ujung kanan
• Pasien diminta untuk menandai garis tsb di titik yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dialaminya
• Dapat dilakukan dengan mistar plastik atau kertas, dengan penanda
• Biasanya bentuk mistar adalah horisontal, tetapi bisa juga dibuat vertikal
karena nyeri bisa divisualisasikan ‘bertingkat’
• Variasi penerapan VAS juga mencakup penggunaan angka atau kata-kata
Brown, DN. J Perioperative Practice, 2008
19. Prinsip dasar Terapi Nyeri
• Pasien merupakan ‘pemilik’ nyeri yang dialaminya
• Petugas Profesi Kesehatan harus selalu
mempercayai penilaian pasien terhadap nyeri
yang dirasakannya.
• Terapi nyeri paling baik dilakukan sebelum
mencapai intensitas yang berat.
20. Kenapa nyeri tidak dikelola dengan baik ?
• Nyeri dianggap hanya sebagai gejala yang tidak membahayakan.
• Dengan dihilangkannya nyeri akan mengakibatkan akurasi diagnosa
menjadi sulit bahkan tidak mungkin.
• Adanya ketakutan terhadap efek samping depresi napas dan
terjadinya kecanduan pada penggunaan opioid.
• Kurang mengertinya mekanisme kerja bermacam-macam obat
analgetika dan hubungannya dengan opioid.
• Pemberian opioid dan obat analgetika yang waktu, dosis maupun jarak
pemberiannya yang tidak sesuai.
• Tidak atau kurang kesinambungan antara dokter dan perawat dalam
pengawasan nyeri yang mengakibatkan keterlambatan dalam
pemberian analgetika.
• Adanya salah anggapan pemberian dosis opioid yang berdasarkan
perhitungan berat badan dan diberikan dengan interval lebih dari 4
jam.
• Kurangnya komunikasi dengan pasien terhadap kebutuhan analgesia.
21. Metoda Penghilang Nyeri
• Untuk nyeri hebat : Golongan Opioid
• Untuk nyeri sedang atau ringan : Golongan anti inflamasi
non steroid (NSAID)
• Metoda dengan cara sistemik : oral, rektal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuskular, intravena atau perinfus
• Metoda dengan cara regional : Epidural, Spinal, Periferal
Nerve Blok
• Metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan
seperti pada sirkumsisi atau pada luka operasi
22. Pemakaian Medikamentosa dalam
Pengelolaan Nyeri Akut
• Paling utama
• 3 kategori :
– Analgetika non-opioid :
• NSAID
• Acetaminophen
– Analgetika opioid :
• Mu opioid agonist (morphine-like agonist)
• Agonist-antagonist opioid
– Analgetika adjuvan :
• Antiepileptic drug
• Trcyclic antidepresant
• Local anesthetic
23. Analgetika non-opioid
• NSAID nonselective : menghambat enzim Cox-1 dan
Cox-2
• NSAID selective : COX-2 inhibitor
• Punya efek
– Analgetika, antipiretika dan anti inflamasi,
– “ceiling”
– “sparing” opioid
• Acetaminophen : tidak punya efek anti inflamasi
• Efektif untuk nyeri ringan sampai sedang
24. • Mengurangi kebutuhan tambahan analgesik.
• Efek mual muntah yang lebih rendah
dibandingkan opioid.
• NSAID direkomendasikan sebagai analgesik lini
pertama pada pasien dengan kolik renal akut.
• Ketorolac efektif dalam mengurangi nyeri pasca
operasi dan penggunaan narkotik pada pasien
operasi sesar.
• Aman digunakan pasca operasi
25. Comparison of morphine and ketorolac for immediate postoperative pain
Drug IV Dose Mechanism of Action
Potential Side
Effects
Ketorolac 30 mg every 6 hr (less
than 65 years)
Onset: 30 min Inhibits prostaglandin
synthesis
• Gastric ulcers
Peak: 60-120
min
• Prolonged
bleeding time
15 mg every 6 hr (65
years or older)
Duration: 4-6 hr • Renal damage
Morphine 2.5-15 mg Onset: 1-2 min Binds to opiate
receptors in CNS
• Respiratory
depression
Peak: 8-10 min • Nausea and
vomiting
Duration: 4-5 hr • Constipation
Ketorolak : Dosis maksimal : 120 mg/hari. Pemakaiannya tidak boleh lebih dari 5 hr.
26. NSAID selective/COX-2 Inhibitor
• Selektif menghambat COX-2 tanpa mempengaruhi
COX-1 pada dosis terapi.
• Mempengaruhi COX-2 central and peripheral
• Tidak mempengaruhi fungsi normal enzym COX-1 di
lambung dan darah.
• Efek samping lebih minimal :
– Efek samping GI minimal
– Tidak mempengaruhi fungsi platelet
• Terapi alternative untuk NSAIDs non selektif.
27.
28. Acetaminophen / Parasetamol
• Pilihan yang penting untuk terapi nyeri ringan sampai sedang
• Sebagai adjuvant terhadap opioid dalam terapi nyeri akut yang
hebat. Dapat mengurangi dosis opioid sampai 20-30%.
• Mekanisme kerjanya masih kontroversi tetapi tampaknya
mempunyai aktifitas sentral .
• Efek samping lebih sedikit dibandingkan NSAID, sehingga baik
diberikan bila terdapat indikasi kontra terhadap NSAID.
• Hati-hati atau dosis harus dikurangi pada pasien-pasien dengan
penyakit hati aktif dan defisiensi G6PD
• Dosis : minimum 500 mg oral diberikan tiap 4 jam dengan dosis
maksimum 4 g/24 jam
29. Analgetika opioid
• Pilihan utama untuk nyeri akut sedang sampai berat
• Dosis :
– sangat indifidual,
– Untuk dewasa : lebih terhadap usia dibandingkan BB
– Sebaiknya dititrasi
– Tidak punya ceiling efek
• Efek samping : sedasi, kesadaran berkabut, depresi napas, mual,
muntah, konstipasi, pruritus, retensi urin
• Sering dikombinasi dengan non-opioid untuk mengurangi efek
samping.
• Tidak efektif untuk nyeri neuropatik atau perlu dosis besar untuk
mendapatkan efek analgetika
30. Morphine Sulfate
• Standard opioid
• Untuk nyeri akut :
– Dosis : 0.05-0.08 mg/kg (3-5 mg) IV tiap 10 menit
sampai nyeri terkontrol
– Kemudian berikan dosis IV sesuai kebutuhan tiap 3
jam dengan memperhatikan efek sedasi dan
hilangnya nyeri
– Bisa ditambahkan ketorolak 30 mg tiap 6 jam untuk 5
hari
31. Meperidine / Pethidine
• Meperidine : lebih sering digunakan
– Sayangnya dosis terlalu kecil
– Jarak pemberian terlalu panjang
• Hasil metabolisme (normeperidine) :
– toksik, iritasi CNS :
• tremor, kedutan otot, dilatasi pupil, refleks hiperaktif dan kejang-kejang
• Waktu paruh : 15-20 jam
– Eliminasi melalui hati dan ginjal
• Sebaiknya hanya digunakan untuk jangka waktu singkat
32. Agency for Healthcare Policy and Research
Acute Pain Management Guideline
• Meperidine dengan dosis 75 mg yang diberikan
tiap 4 jam akan memberikan efek analgesia 2.5
sampai 3.5 jam yang setara dengan morfin 5-7.5
mg.
• Untuk mendapatkan efek analgesia yang setara
dengan 10 mg morfin, meperidine harus diberikan
dengan dosis 100-150 mg tiap 3 jam
33. Tramadol
• Merupakan analgetika atipikal yang bekerja sentral
• WHO mengklasifikasikannya sebagai opioid lemah.
• Efektif untuk terapi nyeri neuropatik
• Dibandingkan dengan opioid lain :
– Depresi napas, gangguan GI (constipasi, pengosongan lambung,
ganguuan bowel recovery) : minimal
• Nausea dan vomiting = opioid lain
• Efek samping lain : pusing, mulut kering, ngantuk dan
berkeringat.
• Dosis : terapi nyeri postoperatif adalah 100 mg dengan
dosis total 600 mg/24 jam
34. Analgetika Adjuvan
• Anti konvulsan, anti depresan, kortikosteroid,
antihistamin, benzodiazepin, cafein, dextroamphetamin,
phenotiazin dan clonidine
• Tidak dapat digunakan sendiri untuk terapi nyeri akut
• Dapat membantu mengurangi total dosis opioid dan
NSAID dalam terapi nyeri akut
• Hanya digunakan sebagai suplemen terhadap obat
analgesia primer, kecuali Gabapentin yang dapat
digunakan sendiri untuk terapi nyeri neuropatik
35. Antikonvulsan
• Gabapentin, carbamazepine, sodium valproate
• Efektif untuk nyeri neuropatik (trigeminal neuralgia,
diabetik neuropati dan sebagai pencegahan migrain)
• Dosis < dosis kejang
– Carbamazepine dengan dosis efektif dimulai dengan dosis kecil
50-100 mg sehari
• Efek samping, sedasi, ataxia, pusing, bingung, mual
dan muntah (usia lanjut)
36. Antidepresan
• Tricyclic antidepresan, amitriptilin
• Efektif untuk diabetik neuropati, postherpetic
neuralgia,nyeri neuropatik yang disebabkan oleh trauma
bedah, terapi radiasi, kemoterapi atau infiltrasi saraf
oleh keganasan
• Dosis < dosis anti depresan
– amitriptiline : 10-20 mg untuk pasien > 50 kg dan 0.3 mg/kg untuk
BB < 40 kg, maksimum 150 mg untuk dewasa
• Efek samping : akibat efek anticholinergic (mulut kering,
retensi urin, constipasi, delirium), sedasi, hipotensi
ortostatik
37. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Identifikasi dan terapi sumber nyeri
– Terapi nyeri :
• Dimulai sebelum tau sumber nyeri
• Dimulai segera sebelum nyeri, nyeri hebat lebih sulit di terapi
• Pilih cara sederhana
– Cost jadi pertimbangan
• Pilih obat yang cocok
– Nyeri sangat individual
• Karakter nyeri : lama, intensitas, kualitas
• Karakter obat : efek ceiling, mula-lama kerja, cara pemberian, interval
dosis, efek samping, toksik metabolit
• Faktor pasien : umur, penyakit penyerta, pemakaian obat lain, keinginan
pasien, respon thd terapi sebelumnya
38. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Rencana Terapi
– Multimodal analgesia :
• Dosis kecil beberapa obat, mengurangi resiko ES
• Menghambat proses nosiseptif pada level yang berbeda untuk
meningkatkan efek analgesia
• Fasilitasi terapi pada pasien yang tidak respon pada satu obat
• Umumnya kombinasi :
– Non-opioid + opioid
– Non-opioid + opioid + adjuvan
39. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Tentukan jalur terapi
– Tidak ada satu jalur yang cocok untuk semua situasi
klinis
• Faktor pasien : keinginan, kenyamanan, fungsi GI
• Karakter obat : absorbsi, waktu paruh
– Oral :
• terutama untuk nyeri kronik
• Convenient, flexible, stable drug level
– IM :
• Nyeri, absorbsi tidak menentu, level obat berfluktuasi, fibrosis
jaringan
• Sebaiknya tidak digunakan
40. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Tentukan jalur terapi
– IV :
• Onset cepat
• Infus kontinyu
– Kadar obat di darah stabil
– Mahal
– Memerlukan profesional monitoring
– Membatasi pergerakan pasien
– Transdermal fentanyl
• Alternatif yang disenangi
– High tech : PCA, intraspinal, Epidural, PNB
41. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Dosis titrasi
– Untuk mendapatkan keseimbangan yang optimal antara
hilangnya nyeri dan efek samping
– Kuncinya : incremental dosis opioid dan observasi ES
– Nonopioid : ceiling efect
– Opioid : tidak ada ceiling efek, bisa dititrasi
• Optimalisasi terapi nyeri
– ATC (arround the clock)
– Breakthrough pain : PRN short acting, rapid onset
42. Prinsip umum terapi nyeri akut
• Awasi dan atasi efek samping
– Baru dapat obat atau perubahan terapi : awasi
– Strategi penanganan ES
• Ubah dosis atau jalur terapi
• Coba obat lain dengan kelas yang sama
• Tambah obat untuk atasi ES
– Antihistamin untuk pruritus
– Laxative untuk constipasi
– Naloxon untuk depresi napas
43. Prinsip Umum Terapi Nyeri Kronik
• Menurunkan intensitas dan frekuensi nyeri.
– Menyadari bahwa bebas dari rasa nyeri kemungkinan tidak bisa
tercapai
• Menurunkan gejala psikologis dan sosial seperti :
depresi, kecemasan, dan sulit tidur.
• Meningkatkan fungsi gerak
• Meningkatkan atau menjaga kualitas hidup.
• Penanganan nyeri multimodal.
• Dapat digunakan program multidisiplin bila ada.
• Untuk mencapai keluaran klinis yang baik perlu
dilakukan monitoring dan pengukuran secara berkala .
44. Prinsip Umum Terapi Nyeri Kronik
• Terapi farmakologi/medikasi
• Terapi intervensi
• Terapi non farmakologi
– Terapi fisik (e.g., fisioterapi, fitnes, dll)
– Terapi psikologis (e.g., cognitive behavioral
therapy, biofeedback, and relaxation training
and supportive psychotherapy).
• Terapi kombinasi
45. Interventional Therapies
• Target neural structures believed to operate as
pain generators
• Therapies include reversible neural blockade
1. Trigger point injections
2. Blocks (i.e., joint and nerve or nerve root),
3. Epidural steroids with or without local anesthetics,
4. Intrathecal drug therapies,
5. Ablative techniques,
6. Acupuncture,
7. Botulinum toxin injections,
8. Electrical nerve stimulation,
46. Multimodal Analgesia ( Balanced Analgesia )
MODULATION
OPIOID
- Systemic
- Epidural
Subarachnoid
COX-2
PERCEPTION
TRANSMISSION
LOCAL ANESTHETIC
- Epidural
- Subarachnoid
Combination of analgesics
that act by different
mechanisms result in
synergetic analgesia
TRANSDUCTION
Paracetamol
COX-1
COX-2
47. Acute Pain
WFSA
Severe
Pain
Strong Opioid
+/- Non Opioid
+/- Adjuvants Moderate
Pain
Weak Opioid
+/- Non Opioid
+/- Adjuvants Mild
Pain
Non-Opioid
+/- Adjuvants
By the Ladder
Pain Deminishing
Pain Deminishing
Chronic Pain
WHO
Mild
Pain
Non-Opioid
+/- Adjuvants
Moderate
Pain
Weak Opioid
+/- Non-Opioid
+/- Adjuvants
Severe
Pain
Strong Opioid
+ / - Non Opioid
+/- Adjuvants
Pain Persisting
Or Increasing
Pain Persisting
Or Increasing
48.
49. Kesimpulan
• Terapi nyeri yang tidak adekuat merupakan
masalah besar di banyak negara : disebabkan
opioidphobia
• Intensitas nyeri, mekanisme nyeri, serta faktor
resiko individual pasien adalah pertimbangan
utama dalam memilih analgesik dalam
penanganan nyeri.
• Analgesia Multimodal dapat meningkatkan efikasi
dan mengurangi efek samping obat.
• Penanganan nyeri yang berhasil akan
meningkatkan kualitas hidup pasien
Editor's Notes
Key Points:
This slide further illustrates the structures involved in the pathophysiology of nociceptive pain and its perception.1,2
In contrast with nociceptive pain, as shown here, there is no receptor involved with neuropathic pain. The nerve is damaged somewhere along the pathway—usually peripherally, but sometimes centrally. Damaged nerves send aberrant pain impulses that result in chronic pain.
Supplemental Notes:
Pain occurs when a noxious stimulus capable of causing tissue damage is detected (“transduced”). This leads to the generation of electrochemical impulses (“action potentials”) by high-threshold primary sensory neurons.3
Action potentials are transmitted along nerve fibers to the dorsal horn of the spinal cord where they synapse with secondary afferent neurons.1
Most pain transmission involves unmyelinated C-type fibers and lightly myelinated A-delta–type fibers.
C-type fibers mediate diffuse, dull, or burning pain; A-delta–type fibers mediate sharp, localized pain.2
Large, myelinated A-beta fibers mediate nonpainful sensations.2
In the dorsal horn of the spinal cord, secondary afferent neurons receive impulses from multiple nerve fibers from the periphery; they also receive modulating signals descending from higher levels of the central nervous system (CNS).1
The balance of these excitatory and inhibitor signals determines whether the action potential is generated in that secondary neuron.
Action potentials from secondary neurons travel to the brain via dedicated pathways: the spinothalamic tract and the spinoreticular tract, both of which synapse with the limbic system and other centers in the brain associated with emotion. Thus, a person’s emotional state affects their perception of pain.1
References:
1. Galer BS, Dworkin RH. A Clinical Guide to Neuropathic Pain. Minneapolis, MD: McGraw-Hill; 2000.
2. Irving GA, Wallace MS. Pain Management for the Practicing Physician. New York, NY: Churchill Livingstone; 1997.
3. Woolf CJ, et al. Pain: moving from symptom control toward mechanism-specific pharmacologic management. Ann Intern Med. 2004;140:441-451.