Michael Riffaterre (Michel Camille Riffaterre) merupakan kritikus sastra asal Prancis yang telah banyak menghasilkan sumbangan pikiran pada bidang sastra. Dia lahir di Bourganeuf, Creuse, Prancis pada 20 November 1924 dan wafat pada tanggal 27 Mei 2006 di kediamannya, Manhattan.
2. Biografi Rifattere
Michael Riffaterre (Michel Camille Riffaterre)
merupakan kritikus sastra asal Prancis yang
telah banyak menghasilkan sumbangan
pikiran pada bidang sastra. Dia lahir
di Bourganeuf, Creuse, Prancis pada 20
November 1924 dan wafat pada tanggal 27
Mei 2006 di kediamannya, Manhattan.
3. Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada
empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi.
4. (1) puisi adalah ekspresi tidak
langsung, menyatakan suatu
hal dengan arti yang lain,
(2) pembacaan heuristik dan
hermeneutik (retroaktif)
(3) matriks, model, dan
varian
(4) hipogram (Riffatere dalam
Salam,
5. Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan konsep-konsep dan
benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud
hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara
khusus dalam membawakan maknanya Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan bahasa
sehari-hari bersifat mimetik.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya
perusakan makna (distorsing), dan penciptaan makna (creating)
KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI DALAM PUISI
pergeseran makna (displacing)
6. pergeseran makna (displacing)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti
yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya
pergeseran makna adalah penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.
Contoh:
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Makna ia melihat ke dalam tatapannya, terdapat cinta di sana. Kembang mawar dan melati
inilah yang menggambarkan cinta dan kesucian. Mawar adalah lambang cinta dan melati
adalah lambang kesucian.
7.
8. Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing
of Meaning)
Munculnya ambiguitas baik pada kata-kata, frasa, kalimat, maupun
pada wacana, misalnya kata rawa atau tepi-tepi dapat ditafsirkan sebagai
tempat penuh dengan kemaksiatan
Kontradiksi muncul karena penggunaan ironi, paradoks dan antitesis,
ironi digunakan untuk menytakan sesuatu degan maksud
mengejek/mengolok.
Misalnya Dewa telah mati" adalah ironi terhadap hati , manusia yang
sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula "Pertapa yang
terbunuh dekat kuil" adalah ironi dari manusia yang baik pun dapat
terjerumus ke dalam kehidupan kemaksiatan dan mati dekat kuil
(tempat suci).
Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai
kamus), namun mempunyai makna "gaib" sesuai dengan konteks.
Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra
seperti dalam puisi Sutardji "Amuk"
9. nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai
kamus), namun mempunyai makna "gaib" sesuai dengan konteks.
Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra
seperti dalam puisi Sutardji "Amuk" berikut ini.
AMUK
Hei kau dengan mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izuakalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
...
Kuzangga zegezegeze aahh...!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu
10. Penciptaan makna
Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang
teks, di antaranya; enjambemen, tipografi, dan homolog.
Dalam teks biasa (bukan teks sastra),ruang teks itu
tidak ada artinya, namun dalam karya sastra
khususnya puisi, ruang teks dapat
menciptakan/menimbulkan makna. Sebagaimana dapat
kita lihat pada puisi Sutardji
'Tragedi Winka Sinka". Huruf-huruf pada kata kawin
dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik
sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan
berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan manusia
yang penuh tantangan dan cobaan.
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
11. Pembacaan Heuristican Hermeneutic
Pembacaan heuristic adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristic ini menghasilkan arti secara
keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat
pertama.Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan
tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutic.
Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya.
Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan
yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama.
12. atriks, Model, Jan Varian
Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata,
bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan
tahap kedua. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama.
Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian,
matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara
pemerolehannya atau pengembangannya.
13. Hipogram
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya
sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang
penciptaannya Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah
"arti“ (significance). Karena "arti" itu berpusat pada matriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam
puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam
teks, melainkan di dalam pikiran "pembaca" ataupun "pengarang" (Faruk, 2012:147).
14. Puisi yang berjudul “Surabaya” ini adalah karya A.
Mustofa Bisri, seorang kyai, budayawan, cendekiawan
muslim, yang rajin menulis puisi, cerpen, novel, dan juga
senang melukis. Puisi “Surabaya” ditulis oleh A. Mustofa
Bisri pada tahun 1993. Berikut puisi tersebut.
15. Jangan anggap mereka kalap jika mereka terjang senjata sekutu lengkap jangan dikira mereka
nekat karena mereka cuma berbekal semangat melawan seteru yang hebat Jangan sepelekan
senjata di tangan merekaatau lengan yang mirip kerangka Tengoklah baja di dada mereka
Jangan remehkan sesobek kain di kepala tengoklah merah putih yang berkibar di hati mereka
dan dengar pekik mereka Allahu Akbar !Dengarlah pekik mereka Allahu Akbar ! Gaungnya
menggelegar mengoyak langit Surabaya yang murka Allahu Akbar menggetarkan setiap yang
mendengar Semua pun jadi kecil Semua pun tinggal seupil Semua menggigil. Surabaya,O, kota
keberanianO, kota kebanggaan Mana sorak-sorai takbirmu yang membakar nyali kezaliman ?
mana pekik merdekamu Yang menggeletarkan ketidakadilan ? mana arek-arekmu yang siap
menjadi tumbal kemerdekaan dan harga diri menjaga ibu pertiwi dan anak-anak negeri. Ataukah
kini semuanya ikut terbuai lagu-lagu satu nada demi menjaga keselamatan dan kepuasan diri
sendiri Allahu Akbar ! Dulu Arek-arek Surabaya ak ingin menyetrika Amerika melinggis Inggris
Menggada Belanda murka pada Gurka mereka hanya tak suka kezaliman yang angkuh
merejalela mengotori persada mereka harus melawan meski nyawa yang menjadi taruhan karena
mereka memang pahlawan Surabaya Dimanakah kau sembunyikan Pahlawanku ?
Puisi yang berjudul “Surabaya” ini adalah karya A. Mustofa Bisri, seorang kyai, budayawan,
cendekiawan muslim, yang rajin menulis puisi, cerpen, novel, dan juga senang melukis. Puisi
“Surabaya” ditulis oleh A. Mustofa Bisri pada tahun 1993. Berikut puisi tersebut.
16. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa
kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca secara linier menurut
bahasa.
Surabaya, demikian judul puisi tersebut, adalah sebuah kota terbesar kedua di Indonesia setelah
merupakan ibukota provinsi Jawa Timur. Jakarta dan Surabaya sama-sama tergolong kota
Jakarta lebih dikenal sebagai kota pusat pemerintahan Indonesia, Surabaya lebih sering disebut
perdagangan.
Bait Pertama
Bait pertama puisi “Surabaya” jika dibaca secara heuristik, maka menjadi berikut.
Janganlah menganggap mereka (sedang) kalap, jika meraka menerjang (kekuatan) senjata
(tentara) sekutu (yang) lengkap. Janganlah dikira mereka (sedang) nekat, karena mereka cuma
berbekal semangat (dalam) melawan seteru (musuh) yang hebat (kuat). Janganlah
(men)sepelekan senjata yang (berada) di tangan mereka atau lengan (badan mereka) yang mirip
kerangka (sangat kurus). (Namun), tengoklah (semangat) (mem)baja (yang ada) di dada mereka.
Janganlah (me)remehkan sesobek kain (yang diikatkan) di kepala (mereka), (tetapi) tengoklah
(semangat) merah putih yang berkibar (menggelora) di (dalam) hati mereka, dan (juga)
dengar(kanlah) pekik(an) mereka, Allahu Akbar!
17. Bait Kedua
Bait kedua puisi “Surabaya” jika dibaca secara heuristik dapat dinaturalisasikan berikut.
Dengar(kan)lah pekik(an) mereka. Allahu Akbar! Gaungnya menggelegar mengoyak langit (membahana di
seluruh kota) Surabaya yang murka (yang bergolak). Allahu Akbar! (Pekikan itu) menggetarkan (hati) setiap
(orang) yang mendengar. Semua (rintangan) pun menjadi kecil (mudah diatasi). Semua (musuh/tantangan)
pun tinggal seupil (tak berarti). Semua (musuh) menggigil (ketakutan). Surabaya. O, kota (lambang)
keberanian. O, kota (yang menjadi) kebanggaan. (Kini), mana sorak-sorai (pekikan) takbirmu yang (mampu
dahulu mampu) membakar (memberangus) nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu yang (dahulu mampu)
menggeletarkan ketidakadilan? Mana arek-arekmu (pemuda-pemudamu) yang siap menjadi tumbal
kemerdekaan dan harga diri (martabat) menjaga ibu pertiwi (tanah air/negara) dan anak-anak negeri
(bangsa). Ataukah kini semuanya (itu) ikut terbuai (terlena) lagu-lagu satu nada demi menjaga keselamatan
dan kepuasan diri sendiri. Allahu Akbar! Dulu Arek-arek (para pemuda) Surabaya tak ingin (tidak berniat)
menyetrika (melindas) Amerika, melinggis (alat untuk menggali terbuat dari besi/baja yang runcing) Inggris.
Menggada (memukul dengan gada/senjata para penjaga gerbang kerajaan) Belanda, murka (marah) (ke)pada
(tentara) Gurka, mereka (para pemuda itu) hanya tak suka (tidak rela) kezaliman yang angkuh merajalela
mengotori persada (bumi nusantara), mereka harus melawan (kezaliman itu) meski nyawa yang menjadi
taruhan(nya), karena mereka memang (berjiwa sebagai) pahlawan. Surabaya. Di manakah kau sembunyikan
Pahlawanku (itu)?
Pembacaan heuristik ini baru memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Makna
dalam pembacaan tahap ini. Oleh karena itu, perlu dilanjutkan ke tahap pembacaan retroaktif atau
18. Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran atau pembacaan
hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi
menyatakan gagasan secara tidak langsung, dengan kiasan (metafora/metonimi), ambiguitas, kontradiksi,
dan pengorganisasian ruang teks (tanda-tanda visual) (Pradopo, 2007:297).
Bait Pertama
Bermula dari judul puisi, “Surabaya”, bait pertama mengantarkan pembaca menengok kembali kepada peristiwa heroik yang pernah terjadi
di kota Surabaya, tanggal 10 November 1945, yaitu perlawanan bangsa Indonesia terhadap tentara sekutu. Penyair mengajak pembaca
untuk tidak meremehkan peristiwa heroik tersebut, mengingat betapa tidak seimbangnya kekuatan antara pemuda-pemuda Surabaya
dengan tentara sekutu pada saat itu. Penggunaan oposisi-oposisi pernyataan dalam bait pertama puisi “Surabaya” ini mempertajam
ketidakseimbangan kekuatan tersebut, seperti baris “jangan dikira mereka nekat/karena mereka cuma berbekal semangat/melawan seteru
yang hebat”, juga baris “Jangan sepelekan senjata di tangan mereka/atau lengan yang mirip kerangka”. Baris-baris tersebut mempertegas
dua hal yang kontras, di satu hal merupakan kekuatan yang tangguh dan hal lain adalah kelompok yang rapuh secara fisik.
Berdasarkan logika, kelompok yang rapuh secara fisik tidaklah mungkin berani melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang tangguh.
Namun, kenyataannya tidak demikian, kelompok yang rapuh tersebut, yaitu para pemuda Surabaya, justru menggelora melakukan
perlawanan. Perlawanan mereka bukanlah perlawanan seperti orang yang sedang kalap atau nekat, tetapi perlawanan yang didasari oleh
semangat yang luar biasa. Penyair memetaforakan semangat luar biasa tersebut dengan “baja” dalam baris “Tengoklah baja di dada
mereka”, juga memetaforakan semangat luar biasa para pemuda Surabaya melawan sekutu semata-mata demi tegaknya kemerdekaan
Indonesia, dengan frasa “sesobek kain” dan “merah putih”, seperti pada baris “Jangan remehkan sesobek kain di kepala mereka/tengoklah
merah putih yang berkibar di hati mereka”. Gelora perlawanan para pemuda Surabaya semakin membuncah karena keyakinan di hati
mereka akan kebesaran Tuhan yang pasti akan menolong kaum yang tertindas, seperti dalam baris
“dan dengar pekik mereka/Allahu Akbar!”.
19. Bait Kedua
Bait kedua yang diawali dengan, “Dengarlah pekik mereka/Allah Akbar!”, seolah penyair meyakinkan kepada pembaca bahwa semangat para pemuda Surabaya
dalam melakukan perlawanan terhadap musuh memiliki religiusitas yang tinggi, bahwa perjuangan mereka sudah sampai pada tataran totalitas yang
mengkristal, yaitu tiada kekuatan yang lebih besar kecuali Allah, Tuhan yang mahabesar. Semangat seperti itu rupanya telah menjalar ke seluruh warga
Surabaya sehingga menjelma menjadi kekuatan yang sangat dahsyat, seperti baris “Gaungnya menggelegar/mengoyak langit/Surabaya yang murka/Allahu
Akbar/menggetarkan setiap yang mendengar”. Bila suatu keadaan sudah seperti itu, maka semua rintangan mudah disingkirkan, kehebatan musuh menjadi tak
berarti, akhirnya musuh sehebat apapun akan sangat takut, seperti baris “Semua pun menjadi kecil/Semua pun tinggal seupil/Semua menggigil”. Kata “seupil”
merupakan metafora, untuk menggambarkan kekuatan musuh yang sangat tangguh itu menjadi tak berarti. Upil adalah bahasa Jawa yang berarti tahi hidung.
Pada pertengahan bait kedua ini, penyair seolah membangunkan pembaca dari kekhusyukannya menghayati perjuangan warga Surabaya dalam mengusir tentara
sekutu yang hendak memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia. Penyair membawa pembaca pada keadaan saat ini, Surabaya, kota yang menjadi simbol
keberanian yang membanggakan, telah kehilangan semangat religiusitasnya dalam memerangi kezaliman, seperti dalam baris “Surabaya/O, kota keberanian/O,
kota kebanggaan/Mana sorak-sorai takbirmu/yang membakar nyali kezaliman?”. Surabaya, kota yang menjadi simbol perlawanan kesewenang-wenangan ini telah
kehilangan semangat perjuangannya dalam menegakkan keadilan, “mana pekik merdekamu/Yang menggeletarkan ketidakadilan?”, dan Surabaya yang berjuluk
kota pahlawan ini telah pula kehabisan pahlawan-pahlawannya, yang dahulu setia membela kemerdekaan, menjaga martabat bangsa, seperti baris “mana arek-
arekmu yang siap/menjadi tumbal kemerdekaan/dan harga diri/menjaga ibu pertiwi/dan anak-anak negeri”. Kondisi-kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran
akan lunturnya semangat menegakkan keadilan, semangat perjuangan tanpa pamrih, dan nasionalisme warga Surabaya, seperti baris “Ataukah kini semuanya
ikut terbuai/lagu-lagu satu nada/demi menjaga/keselamatan dan kepuasan/diri sendiri”
Pada bagian akhir bait kedua ini, penyair mengoposisikan keadaan dahulu dengan sekarang. Dahulu, dilandasi religuisitas dan nasionalisme yang tinggi,
semangat para pemuda Surabaya melawan sekutu –tentara gabungan Inggris, Belanda, dan Gurka- bukanlah bermaksud memusuhi bangsa Inggris, Belanda, dan
orang-orang Gurka, melainkan kezaliman yang mereka perlihatkan secara angkuh di nusantara, seperti dalam baris-baris “Allahu Akbar!/ Dulu arek-arek
Surabaya/ tak ingin menyetrika Amerika/ melinggis Inggris/ Menggada Belanda/ murka pada Gurka/ mereka hanya tak suka/ kezaliman yang angkuh merajalela/
mengotori persada”. Semangat melawan kezaliman itulah yang membuat para pemuda dan warga Surabaya harus melakukan perlawanan meski harus bertaruh
nyawa. Itulah esensi sosok pahlawan, yakni rela berkorban dalam memerangi kezaliman yang dilakukan oleh siapa pun dan tanpa pamrih apa pun, “mereka harus
melawan/ meski nyawa yang menjadi taruhan/ karena mereka memang pahlawan”. Sosok seperti itu, saat ini, sulit ditemukan, meskipun di kota yang banyak
melahirkan jiwa-jiwa pahlawan sekalipun, yakni kota Surabaya, seperti baris-baris penutup puisi Surabaya, “Surabaya/ Di manakah kau sembunyikan/
Pahlawanku?”
20. Matriks, Model, dan Varian
Untuk dapat menafsirkan puisi “Surabaya” karya A. Mustofa Bisri secara utuh, haruslah dicari kata kuncinya. Kata kunci puisi ini adalah
Surabaya. Surabaya memiliki sejarah heroik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui peristiwa pertempuran warga
Surabaya dengan tentara sekutu pada tanggal 10 November 1945. Untuk itulah maka Surabaya diidentikan dengan kepahlawanan.
Secara keseluruhan puisi ini mengoposisikan dua hal dan keadaan yang berlawanan. Surabaya yang dahulu memiliki pemuda-pemuda
dengan semangat membaja melawan para agresor, memiliki warga yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi mempertahankan ibu pertiwi,
memiliki semangat religuisitas kuat dalam melawan kezaliman tanpa pamrih apa pun, dioposisikan dengan keadaan sekarang, yakni
Surabaya yang telah kehilangan hal-hal tersebut. Oposisi-oposisi tersebut merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak ditemukan
secara linier dalam puisi, yaitu esensi pahlawan. Sejatinya pahlawan adalah jiwa yang rela berkorban demi menegakkan keadilan dalam
keadaan bagaimanapun, melawan kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran untuk siapapun, dan tanpa berharap
apapun selain ridho Allah. Puisi ini memberikan pesan luhur bahwa yang diperlukan sekarang ini adalah bukanlah seorang pahlawan,
melainkan jiwa-jiwa pahlawan, yaitu jiwa yang memiliki semangat berkorban tanpa pamrih.
Hipogram: Hubungan Intertekstualitas
Matriks esensi pahlawan, yakni jiwa yang senantiasa rela berkorban demi menegakkan keadilan dalam keadaan bagaimanapun, melawan
kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran untuk siapapun, dan tanpa berharap apapun selain ridho Allah ini dapat
sekaligus berupa hipogram. Salah satu hipogram tekstual adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Al-Tirmidzi, “Dari Abi Sa’id al-
Khudri, Nabi Saw berkata, “Termasuk jihad yang paling agung adalah menegakkan keadilan di hadapan penguasa yang dzolim (berlaku
tidak adil, aniaya).”