Puisi ini menggambarkan semangat perlawanan yang luar biasa dari para pemuda Surabaya melawan tentara sekutu pada 10 November 1945 meski kekuatan sangat tidak seimbang. Penyair menggunakan berbagai metafora untuk menggambarkan keteguhan semangat mereka seperti "baja di dada" dan "merah putih yang berkibar", serta menekankan bahwa perlawanan didasari keyakinan akan kebesaran Tuhan.
Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi, membanding, menimbang”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik.
Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi, membanding, menimbang”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik.
Roman Osipovich Jakobson adalah seorang pakar teori sastra dan linguis Rusian-Amerika. Seorang pionir linguistik struktural, Jakobson merupakan salah satu linguis paling disanjung dan berpengaruh pada abad kedua puluh.
Kelahiran: 10 Oktober 1896, Moskow, Rusia
Meninggal: 18 Juli 1982, Cambridge, Massachusetts, Amerika
Buku: Saggi di linguistica generale, Lingüística y poética, Lainnya
Pendidikan: Universitas Charles di Praha (1930), Lainya
Terpengaruh oleh: Ferdinand de Saussure, Nikolai Sergeyevich Trubetzkoy, Pāṇini, Alexander Luria, Gunther Kress, Anton Marty
Orang tua: Osip Jakobson, Anna Volpert Jakobson
Film: On the Sunny Side
Roman Osipovich Jakobson adalah seorang pakar teori sastra dan linguis Rusian-Amerika. Seorang pionir linguistik struktural, Jakobson merupakan salah satu linguis paling disanjung dan berpengaruh pada abad kedua puluh.
Kelahiran: 10 Oktober 1896, Moskow, Rusia
Meninggal: 18 Juli 1982, Cambridge, Massachusetts, Amerika
Buku: Saggi di linguistica generale, Lingüística y poética, Lainnya
Pendidikan: Universitas Charles di Praha (1930), Lainya
Terpengaruh oleh: Ferdinand de Saussure, Nikolai Sergeyevich Trubetzkoy, Pāṇini, Alexander Luria, Gunther Kress, Anton Marty
Orang tua: Osip Jakobson, Anna Volpert Jakobson
Film: On the Sunny Side
Cotap Tech Talks: Keith Lazuka, Digital Communication using Sound and SwiftEvan Owen
A brief talk about how audio systems can be used to exchange digital data. The emphasis will be on iOS devices using Apple's audio frameworks with code written in Swift.
Keith studied Russian language and literature in school. He then realized that all of the jobs are in computers. He started writing apps for iOS in 2008. He created a proximity-based mobile device pairing system using ultrasonic sound waves at Circle 38. Later, he went on to help build the Acompli app for iOS, which was acquired by Microsoft last year. Now, he’s working at Microsoft in SF on the Outlook iOS app.
Pengertian Semiotika
Secara Estimologis
Istilah semiotika berasal dari kata Yunani; Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya: asap menandai adanya api.
Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal tanda-tanda dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat. Misalnya, bila di sekitar rumah ada tetangga yang memasang janur maka itu petanda ada ‘hajatan’ perkawinan, tetapi bila terpasang bendera warna kuning di depan rumah dan sudut jalan maka itu pertanda ada kematian.
Secara Terminologis
Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Jadi, kesimpulan dari pengertian semiotika ini adalah ilmu untuk mengetahui tentang sistem tanda, ilmu yang mempelajari tentang tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan.
Michael Riffaterre (Michel Camille Riffaterre) merupakan kritikus sastra asal Prancis yang telah banyak menghasilkan sumbangan pikiran pada bidang sastra. Dia lahir di Bourganeuf, Creuse, Prancis pada 20 November 1924 dan wafat pada tanggal 27 Mei 2006 di kediamannya, Manhattan.
Pengertian Puisi
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang padat, indah, dan kaya makna.
Tahap Kehidupan Manusia dan Spiritualisme dalam Puisi Voyelles Karya Athur Ri...Aurel Alifqa Putri Aldira
Analisis puisi simbolisme Arthur Rimbaud sebagai evaluasi mata kuliah Pengkajian Kesusastraan Prancis prodi Prancis FIB UI. Tidak dianjurkan sebagai acuan penelitian.
Anda boleh dapatkan KKBI ini dari saya dengan sedikit bayaran. Akan terus dihantar kepada anda melalui email setelah rundingan dibuat dengan saya. Buat apa susah-susah. KKBI anda beres tanpa perlu bersengkang mata dan buang masa yang panjang. Hubungi saya 011-19958547 / 011-17915430
Kampung Keluarga Berkualitas merupakan salah satu wadah yang sangat strategis untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan prioritas Program Bangga Kencana secara utuh di lini
lapangan dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan program-program yang dilaksanakan Desa
2. Pentingnya kajian linguistik dalam karya sastra
dikemukakan oleh Culler (1975: 55), bahwa tugas
kajian linguistik adalah memberikan bantuan
dalam analisis sastra dengan memaparkan
perlengkapan bahasa yang dimanfaatkan di dalam
teks sastra dan diorganisasikan oleh pengarang.
Aminuddin (1995: 14) menegaskan bahwa bahasa
dalam karya sastra semestinya mengandung
kebaruan dan kekhasan karena hal itu dapat
mencerminkan orisinalitas ciptaan, keunikan, dan
individualnya.
3. Kajian linguistik dalam karya sastra harus
diposisikan secara wajar dan proposional. Hal
itu mengingat pemakaian bahasa dalam karya
sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa
dalam buku ilmiah, majalah dan surat kabar,
iklan, perundang-undangan, serta pidato
kenegaraan. Karya sastra memiliki keunikan
tersendiri sebagai sebuah wacana sastra yang
diungkapkan dengan medium bahasa.
4. Menurut Pradopo (1995: 119) semiotik
adalah ilmu tanda-tanda. Tanda
mempunyai dua aspek yaitu petanda
(signifier) dan penanda (signified).
Penanda adalah bentuk formalnya yang
menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang
ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.
5. Teori Semiotik Michael
Riffaterre
Michael Riffaterre dalam bukunya yang
berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan
bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan
dalam memahami dan memaknai sebuah
puisi. Keempat hal tersebut adalah:
(1) puisi adalah ekspresi tidak langsung,
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain,
(2) pembacaan heuristik dan hermeneutik
(retroaktif),
(3) matriks, model, dan varian, dan
(4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).
6. Pergeseran arti (Displacing of Meaning) Pergeseran
makna terjadi apabila suatu tanda mengalami
perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu
kata mewakili kata yang lain.
Perusakan atau Penyimpangan arti (Distorsing of
Meaning) Perusakan atau penyimpangan makna
terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense.
Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat,
maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya
penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya.
Penciptaan arti (Creating or Meaning) Penciptaan
makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu
yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna,
misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik
antara homolog-homolog dalam suatu stanza”
7. Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai
dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti
secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan
sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca
sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai
pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada
tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua,
interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha
melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan
dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap
pertama.
8. Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks
diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata,
bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks,
model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan
tahap kedua.
Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari
struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya
tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan
demikian, matriks merupakan motor atau generator
sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara
pemerolehannya atau pengembangannya.
9. Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang
penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra
tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang
menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi
dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti”
(significance). Karena “arti” itu berpusat pada matriks
atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya
sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data
mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks,
melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun
“pengarang” (Faruk, 2012:147).
10. Puisi Sebagai Ekspresi Tidak Langsung
Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi
dari waktu ke waktu senantiasa berubah.
Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep
estetik dan evolusi selera. Namun ada satu hal
yang tetap dan tidak mengalami perubahan, yakni
puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung.
Ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena
adanya penggantian, penyimpangan, dan
penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.
11.
12. Dewa mengganti Tuhan, rawa-rawa
mengganti tempat yang tidak baik, gagak
adalah metapora untuk orang jahat, ular
adalah mitos penjelmaan setan yang senang
mengganggu anak cucu Adam dan Hawa.
Jadi, dewa telah mati berarti orang tidak
percaya lagi pada Tuhan, dunia ini hanya
dipenuhi oleh orang jahat yang penuh nafsu
serakah.
13. Munculnya ambiguitas baik pada kata-kata,frasa, kalimat, maupun
pada wacana, misalnya kata rawa atau tepi-tepi dpt ditafsirkan sbgai
tmpat pnuh dngan kmaksiatan
Kontradiksi muncul karena penggunaan ironi, paradoks dan antitesis,
ironi digunkan untuk mnytakan ssuatu dngn mksd
mengjek/mengolok.
Misalnya Dewa telah mati” adalah ironi terhadap hati , manusia yang
sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula “Pertapa yang
terbunuh dekat kuil” adalah ironi dari manusia yang baik pun dapat
terjerumus ke dalam kehidupan kemaksiatan dan mati dekat kuil
(tempat suci).
Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai
kamus), namun mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks.
Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra
seperti dalam puisi Sutardji “Amuk” berikut ini.
14. AMUK
Hei kau dengan mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izuakalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
….
Kuzangga zegezegeze aahh…!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu
15. Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian
ruang teks, di antaranya; enjambemen, tipografi, dan
homolog. Dalam teks biasa (bukan teks sastra),
ruang teks itu tidak ada artinya, namun dalam karya
sastra khususnya puisi, ruang teks dapat
menciptakan/menimbulkan makna.
Sebagaimana dapat kita lihat pada puisi Sutardji
“Tragedi Winka Sihka”. Huruf-huruf pada kata kawin
dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik
sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan
berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan
manusia yang penuh tantangan dan cobaan.
17. Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dibaca
berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai
dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama. Puisi dibaca secara linier menurut struktur
normatif bahasa.
Surabaya, demikian judul puisi tersebut, adalah sebuah
kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Surabaya
merupakan ibukota provinsi Jawa Timur.
Jakarta dan Surabaya sama-sama tergolong kota
metropolitan, bedanya, Jakarta lebih dikenal sebagai kota
pusat pemerintahan Indonesia, Surabaya lebih sering
disebut sebagai kota perdagangan.
18. Janganlah menganggap mereka (sedang) kalap, jika
meraka menerjang (kekuatan) senjata (tentara) sekutu (yang)
lengkap. Janganlah dikira mereka (sedang) nekat, karena mereka
cuma berbekal semangat (dalam) melawan seteru (musuh)
yang hebat (kuat).
Janganlah (men)sepelekan senjata yang (berada) di tangan
mereka atau lengan (badan mereka) yang mirip kerangka
(sangat kurus).
(Namun), tengoklah (semangat) (mem)baja (yang ada) di
dada mereka.
Janganlah (me)remehkan sesobek kain (yang diikatkan) di
kepala (mereka), (tetapi) tengoklah (semangat) merah putih
yang berkibar (menggelora) di (dalam) hati mereka, dan (juga)
dengar(kanlah) pekik(an) mereka, Allahu Akbar!
19. Dengar(kan)lah pekik(an) mereka. Allahu Akbar! Gaungnya
menggelegar mengoyak langit (membahana di seluruh kota)
Surabaya yang murka (yang bergolak). Allahu Akbar! (Pekikan
itu) menggetarkan (hati) setiap (orang) yang mendengar.
Semua (rintangan) pun menjadi kecil (mudah diatasi). Semua
(musuh/tantangan) pun tinggal seupil (tak berarti). Semua
(musuh) menggigil (ketakutan). Surabaya. O, kota (lambang)
keberanian.
O, kota (yang menjadi) kebanggaan. (Kini), mana sorak-sorai
(pekikan) takbirmu yang (mampu dahulu mampu) membakar
(memberangus) nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu yang
(dahulu mampu) menggeletarkan ketidakadilan?
Mana arek-arekmu (pemuda-pemudamu) yang siap menjadi
tumbal kemerdekaan dan harga diri (martabat) menjaga ibu
pertiwi (tanah air/negara) dan anak-anak negeri (bangsa).
20. Ataukah kini semuanya (itu) ikut terbuai (terlena) lagu-
lagu satu nada demi menjaga keselamatan dan kepuasan
diri sendiri. Allahu Akbar! Dulu Arek-arek (para pemuda)
Surabaya tak ingin (tidak berniat) menyetrika (melindas)
Amerika, melinggis (alat untuk menggali terbuat dari
besi/baja yang runcing) Inggris.
Menggada (memukul dengan gada/senjata para
penjaga gerbang kerajaan) Belanda, murka (marah)
(ke)pada (tentara) Gurka, mereka (para pemuda itu)
hanya tak suka (tidak rela) kezaliman yang angkuh
merajalela mengotori persada (bumi nusantara), mereka
harus melawan (kezaliman itu) meski nyawa yang
menjadi taruhan(nya), karena mereka memang (berjiwa
sebagai) pahlawan. Surabaya. Di manakah kau
sembunyikan Pahlawanku (itu)
21. Bermula dari judul puisi, “Surabaya”, bait pertama mengantarkan
pembaca menengok kembali kepada peristiwa heroik yang pernah
terjadi di kota Surabaya, tanggal 10 November 1945, yaitu perlawanan
bangsa Indonesia terhadap tentara sekutu.
Penyair mengajak pembaca untuk tidak meremehkan peristiwa heroik
tersebut, mengingat betapa tidak seimbangnya kekuatan antara
pemuda-pemuda Surabaya dengan tentara sekutu pada saat itu.
Penggunaan oposisi-oposisi pernyataan dalam bait pertama puisi
“Surabaya” ini mempertajam ketidakseimbangan kekuatan tersebut,
seperti baris “jangan dikira mereka nekat/karena mereka cuma berbekal
semangat/melawan seteru yang hebat”, juga baris “Jangan sepelekan
senjata di tangan mereka/atau lengan yang mirip kerangka”.
Baris-baris tersebut mempertegas dua hal yang kontras, di satu hal
merupakan kekuatan yang tangguh dan hal lain adalah kelompok yang
rapuh secara fisik.
22. Perlawanan mereka bukanlah perlawanan seperti orang
yang sedang kalap atau nekat, tetapi perlawanan yang
didasari oleh semangat yang luar biasa.
Penyair memetaforakan semangat luar biasa tersebut
dengan “baja” dalam baris “Tengoklah baja di dada mereka”,
juga memetaforakan semangat luar biasa para pemuda
Surabaya melawan sekutu semata-mata demi tegaknya
kemerdekaan Indonesia, dengan frasa “sesobek kain” dan
“merah putih”, seperti pada baris “Jangan remehkan sesobek
kain di kepala mereka/tengoklah merah putih yang berkibar
di hati mereka”.
Gelora perlawanan para pemuda Surabaya semakin
membuncah karena keyakinan di hati mereka akan
kebesaran Tuhan yang pasti akan menolong kaum yang
tertindas, seperti dalam baris “dan dengar pekik
mereka/Allahu Akbar!”.
23. Bait kedua yang diawali dengan, “Dengarlah pekik mereka/Allah
Akbar!”, seolah penyair meyakinkan kepada pembaca bahwa semangat
para pemuda Surabaya dalam melakukan perlawanan terhadap musuh
memiliki religiusitas yang tinggi, bahwa perjuangan mereka sudah
sampai pada tataran totalitas yang mengkristal, yaitu tiada kekuatan
yang lebih besar kecuali Allah, Tuhan yang mahabesar.
Semangat seperti itu rupanya telah menjalar ke seluruh warga
Surabaya sehingga menjelma menjadi kekuatan yang sangat dahsyat,
seperti baris “Gaungnya menggelegar/mengoyak langit/Surabaya yang
murka/Allahu Akbar/menggetarkan setiap yang mendengar”.
Bila suatu keadaan sudah seperti itu, maka semua rintangan mudah
disingkirkan, kehebatan musuh menjadi tak berarti, akhirnya musuh
sehebat apapun akan sangat takut, seperti baris “Semua pun menjadi
kecil/Semua pun tinggal seupil/Semua menggigil”.
Kata “seupil” merupakan metafora, untuk menggambarkan kekuatan
musuh yang sangat tangguh itu menjadi tak berarti. Upil adalah
bahasa Jawa yang berarti tahi hidung.
24. Pada pertengahan bait kedua ini, penyair seolah membangunkan
pembaca dari kekhusyukannya menghayati perjuangan warga Surabaya
dalam mengusir tentara sekutu yang hendak memberangus
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Penyair membawa pembaca pada keadaan saat ini, Surabaya, kota yang
menjadi simbol keberanian yang membanggakan, telah kehilangan
semangat religiusitasnya dalam memerangi kezaliman, seperti dalam
baris “Surabaya/O, kota keberanian/O, kota kebanggaan/Mana sorak-
sorai takbirmu/yang membakar nyali kezaliman?”
Surabaya, kota yang menjadi simbol perlawanan kesewenang-
wenangan ini telah kehilangan semangat perjuangannya dalam
menegakkan keadilan, “mana pekik merdekamu/yang menggeletarkan
ketidakadilan?”, dan Surabaya yang berjuluk kota pahlawan ini telah
pula kehabisan pahlawan-pahlawannya, yang dahulu setia membela
kemerdekaan, menjaga martabat bangsa, seperti baris “mana arek-
arekmu yang siap/menjadi tumbal kemerdekaan/dan harga
diri/menjaga ibu pertiwi/dan anak-anak negeri”.
25. Kondisi-kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran
akan lunturnya semangat menegakkan keadilan, semangat
perjuangan tanpa pamrih, dan nasionalisme warga
Surabaya, seperti baris “Ataukah kini semuanya ikut
terbuai/lagu-lagu satu nada/demi menjaga/keselamatan
dan kepuasan/diri sendiri”
Pada bagian akhir bait kedua ini, penyair
mengoposisikan keadaan dahulu dengan sekarang.
Dahulu, dilandasi religuisitas dan nasionalisme yang
tinggi, semangat para pemuda Surabaya melawan sekutu
tentara gabungan Inggris, Belanda, dan Gurka bukanlah
bermaksud memusuhi bangsa Inggris, Belanda, dan orang-
orang Gurka, melainkan kezaliman yang mereka
perlihatkan secara angkuh di nusantara, seperti dalam
baris-baris “Allahu Akbar!/ Dulu arek-arek Surabaya/ tak
ingin menyetrika Amerika/ melinggis Inggris/ Menggada
Belanda/ murka pada Gurka/ mereka hanya tak suka/
kezaliman yang angkuh merajalela/ mengotori persada”.
26.
27. Kata kunci puisi ini adalah Surabaya. Surabaya
memiliki sejarah heroik dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia melalui peristiwa
pertempuran warga Surabaya dengan tentara sekutu
pada tanggal 10 November 1945.
Secara keseluruhan puisi ini mengoposisikan dua
hal dan keadaan yang berlawanan. Surabaya yang
dahulu memiliki pemuda-pemuda dengan semangat
membaja melawan para agresor, memiliki warga yang
memiliki jiwa nasionalisme tinggi mempertahankan
ibu pertiwi, memiliki semangat religuisitas kuat dalam
melawan kezaliman tanpa pamrih apa pun,
dioposisikan dengan keadaan sekarang, yakni
Surabaya yang telah kehilangan hal-hal tersebut.
28. Oposisi-oposisi tersebut merupakan varian dari
matriks yang sama, yang tidak ditemukan secara
linier dalam puisi, yaitu esensi pahlawan.
Sejatinya pahlawan adalah jiwa yang rela berkorban
demi menegakkan keadilan dalam keadaan
bagaimanapun, melawan kezaliman yang
dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran
untuk siapapun, dan tanpa berharap apapun selain
ridho Allah.
Puisi ini memberikan pesan luhur bahwa yang
diperlukan sekarang ini adalah bukanlah seorang
pahlawan, melainkan jiwa-jiwa pahlawan, yaitu
jiwa yang memiliki semangat berkorban tanpa
pamrih.
29. Matriks esensi pahlawan, yakni jiwa yang senantiasa
rela berkorban demi menegakkan keadilan dalam
keadaan bagaimanapun, melawan kezaliman yang
dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran untuk
siapapun, dan tanpa berharap apapun selain ridho
Allah ini dapat sekaligus berupa hipogram.
Salah satu hipogram tekstual adalah sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh HR Al-Tirmidzi, “Dari Abi
Sa’id al-Khudri, Nabi Saw berkata, “Termasuk jihad
yang paling agung adalah menegakkan keadilan di
hadapan penguasa yang dzolim (berlaku tidak adil,
aniaya).”