1. PAPER
EKOLOGI DAN FISIOLOGI PARASIT LANJUT
SPESIFISITAS PARASIT FASCIOLA HEPATICA
Disusun Oleh :
SISKHA NOOR KOMALA
B2A016012
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU BIOLOGI
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2016
2. SPESIFISITAS PARASIT FASCIOLA HEPATICA
A. PENDAHULUAN
Parasit merupakan organisme yang memiliki efek merugikan dimana secara
fisiologis dan metabolisme mengalami ketergantungan pada inangnya. Oleh karena itu
setiap parasit memiliki kemampuan untuk menginfeksi inang yang sesuai dan cocok, atau
dapat disebut dengan spesifisitas. Setiap parasit harus menemukan spesies inang yang
tepat, agar bisa mempertahankan hidup dan keturunannya, apabila parasit masuk ke
dalam tubuh inang yang tidak cocok, biasanya parasit mengalami mortalitas total atau
sebagian, karena parasit selalu membentuk sistem yang stabil dengan satu atau beberapa
spesies inang, sehingga inang parasit sangat spesifik. Sistem antara inang – parasit yang
stabil, biasanya mengalami tiga kejadian yang harus dilakukan; pertama, harus terjadi
kontak secara langsung antara inang dan parasit; kedua, inang harus memberikan kondisi
yang cocok untuk keberlangsungan hidup parasit, dan ketiga, parasit harus bisa
mengatasi respon inang yang ditimbulkannya, misalnya fagositosis dan pembentukan
antibodi. Paper ini akan memberikan penjelasan tentang proses spesifisitas yang
dilakukan Fasciola hepatica
B. PEMBAHASAN
Fasciola hepatica adalah cacing parasit kelompok trematoda yang memiliki inang
banyak dan distribusi geografis yang global. Contoh inang definitifnya yaitu sapi,
domba, kambing, keledai, kuda, rusa dan babi, kemudian inang perantaranya yaitu siput
pada family Lymnaeidae diantaranya Lymnea sp, Pseudosuccinea columella, Galba sp
(Medeiros, et al, 2014). Paper ini akan menjelaskan tentang spesifisitas F. hepatica pada
hospes definitifnya. Arias, et al (2013) menjelaskan bahwa Infeksi F. hepatica lebih
tinggi di sapi daripada di rusa, hal itu disebabkan karena sapi memiliki kebiasaan
memakan rumput atau tanaman herba yang lebih pendek dan berada di daerah perairan
atau dekat sungai, dimana pada daerah tersebut merupakan kondisi yang paling cocok
untuk perkembangan metaserkaria dari F. hepatica, sehingga kemungkinan besar
tanaman air tersebut mengandung larva metasercaria, hal ini menunjukkan adanya
kesamaan ekologis antara sapi dengan F. hepatica, menyebabkan probabilitas
menginfeksi lebih tinggi . Adanya proses makan sapi tersebut menyebabkan terjadinya
kontak secara langsung antara sapi dengan larva metaserkaria dari F. hepatica yang
3. terbawa masuk ke dalam tubuh sapi. Metaserkaria kemudian masuk ke dalam usus halus
(duodenum), lalu menembus dinding usus, dan masuk ke dalam hati melalui rongga
tubuh. Migrasi melalui parenkim hati memungkinkan mereka untuk mengkonsumsi sel-
sel hati dan darah sebelum mereka mencapai saluran empedu. Tubuh sapi memberikan
kondisi yang cocok untuk perkembangan F. hepatica dan menyediakan nutrisi bagi
kelangsungan hidupnya, dimana ketika inang mati maka F. hepatica pun akan mati, hal
tersebut dikarenakan ketergantungan fisiologis dan metabolisme pada inangnya, yaitu
mamalia.
Proses infeksi dan kelangsungan hidup F. hepatica di tubuh mamalia, sebenarnya
tidak semudah itu. F. hepatica harus menghadapi berbagai respon fisiologis inangnya,
karena bagi tubuh sapi cacing tersebut adalah benda asing yang harus dibuang, sehingga
terjadilah respon kekebalan tubuh dari inangnya seperti fagositosis dan pembentukan
antibodi dalam menghadapi F. hepatica. Escamila, et al (2016) mengungkapkan bahwa
F. hepatica juga melakukan berbagai mekanisme agar dia tetap bisa bertahan hidup
dalam tubuh sapi, salah satunya ketika inang memberikan respon dengan menggunakan
sel darah putih berupa eusinofil yang berperan dalam melakukan fagositosis terhadap
parasit, maka F. hepatica akan mengeluarkan suatu produk yang dikenal dengan FhESP.
FhESP ini berperan dalam menginduksi terjadinya apoptosis pada eusinofil di hati dan
makrofag peritoneal. Hati yang terinfeksi F. hepatica, banyak ditemukan eusinofil yang
mengalami apoptosis, sehingga sel tersebut mati dan menyebabkan F. hepatica tidak
mengalami fagositosis. Selain itu juga banyak ditemukan tumpukan eusinofil dalam
jumlah yang tinggi di pinggiran saluran nekrotik akut, dimana hal itu menunjukkan
bahwa eusinofil tidak bekerja dengan baik selama tahap migrasi cacing.
4. Selain itu ketika cacing muda masih berada di dalam usus inang, dia juga
mensekresikan suatu antigen yang disebut dengan FhSAP2. Hernandez, et al (2013)
menyatakan bahwa FhSAP2 berperan dalam membantu cacing untuk menyesuaikan
dirinya dalam lingkungan yang baru, antigen ini akan memicu pembentukan lapisan
syncytial pada permukaan parasit dan melapisi membran luar dengan suatu karbohidrat
yang disebut glikokaliks. Lapisan tersebut berperan dalam pembaharuan dari membran
plasma permukaan dan penyerapan nutrisi selain itu FhSAP2 juga berfungsi untuk
menghindari sistem kekebalan tubuh inang, karena dapat mencegah antibodi inang
menempel pada tubuh cacing. Mekanisme fisiologis tersebut menyebabkan F. hepatica
dapat tumbuh sampai dewasa pada saluran empedu sapi, dan mengalami reproduksi
secara seksual, menghasilkan telur. Telur bersama dengan empedu masuk ke dalam
duodenum kembali, dan akhirnya dikeluarkan bersama feses inang. Kesuksesan siklus
hisup F. hepatica di inang mamalia tergantung pada kerja antigen parasit dalam
menghadapi respon fisiologis inangnya dan respon imun berikutnya.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap parasit
memiliki kisaran inang tertentu dan spesifik yang sesuai dengan fisiologisnya. Salah
satunya adalah Fasciola hepatica, dimana cacing ini dapat hidup pada tubuh mamalia.
Mamalia yang paling cocok untuk F. hepatica adalah sapi, karena sapi memiliki kondisi
ekologis yang mirip dengan F. hepatica, sehingga probabilitas untuk menginfeksi sapi
lebih tinggi daripada mamalia lain. Kontak langsung antara sapi dan F. hepatica diawali
ketika sapi memakan tanaman yang mengandung metaserkaria, lalu metaserkaria masuk
ke dalam usus sapi, dan di sana terjadi berbagai mekanisme fisiologis baik dari inang
maupun F. hepatica itu sendiri. F. hepatica harus bisa bertahan dalam tubuh sapi agar
bisa mempertahankan daur hidupnya, sehingga melakukan berbagai mekanisme
fisiologis untuk melawan respon imun dari sapi. Sapi itu sendiri sebagai inang
memberikan kondisi yang cocok untuk perkembangan F. hepatica dan menyediakan
nutrisi bagi kelangsungan hidupnya, dimana ketika inang mati maka F. hepatica pun
akan ikut mati, sehingga F. hepatica berusah menjaga agar inang tidak mengalami
kelainan yang disebabkan oleh kehadirannya, dikarenakan F. hepatica tidak
mengharapkan kematian inangnya. Hal itu menunjukkan bahwa parasit memiliki
ketergantungan fisiologis dan metabolisme pada inangnya.
5. D. DAFTAR PUSTAKA
Arias, M.S., et al (2013). Relationship between exposure to Fasciola hepatica in roe deer
(Capreolus capreolus) and cattle extensively reared in an endemic area. Research
in veterinary science. 95. 1031-1035. doi.org/10.1016/j.rvsc.2013.07.027
Bogitsh, J.B., Clint, E.C., and Thomas N.O. (2013). Human Parasitology Fourth Edition.
Elsevier. America.
Escamila, A., et al. (2016). Fasciola hepatica induces eosinophil apoptosis in the
migratory and biliary stages of infection in sheep. Veterinary Parasitology.
216. 84-88. doi.org/10.1016/j.vetpar.2015.12.013
Hernandez, Kimberly Caban and Ana M. Espino. (2013). Differential expression and
localization of saposin-like protein 2 of Fasciola hepatica. Acta Tropica. 128.
591-597. doi.org/10.1016/j.actatropica.2013.08.012
Medeiros, Camila., et al. (2014). Spatial distribution of Lymnaeidae (Molluscha,
Basommatophora), Intermediate Host of Fasciola hepatica Linnaeus, 1758
(Trematoda, Digenea) In Brazil. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 56(3) : 235-
252. doi: 10.1590/S0036-46652014000300010