2. Nalar dan Budaya
Mohammad Al Jabiri
Mohammed Abed Al Jabiri beliau lahir di Maroko, pada
tahun 1936 beliau adalah ahli hermetisme dan
merupakan seorang filosof yang membawa semangat
averroisme.
Mohammed Al Jabiri lebih dikenal singkatnya, merupakan
lulusan Universitas Muhammad V Rabath pada tahun
1970, beliau adalah tokoh filsuf yang mengagungkan akal,
oleh karena itu menopang kegelisahannya dan
keresahannya terhadap gejala sikap dan nalar yang
dilakukan oleh orang-orang Arab dimana lebih dalam
kepada pemikiran irrasionalisme.
3. Menurut Al Jabiri budaya adalah sesuatu yang hadhir pada
masa kini, dan berkaitan dengan masa lalu, baik itu masa lalu
yang kita alami atau orang lain alami, bahkan ketika masa lalu
yang jauh ataupun dekat. Dalam definisi tersebut kita perlu
memperhatikan dua hal, yaitu budaya adalah sesuatu yang
hadhir pada masa kini baik sadar ataupun tidak dan
kehadirannya itu menyatu dalam tindakan dan cara berpikir
kaum muslimin, jadi budaya itu bukan hanya yang tersusun
dalam buku-buku saja, melainkan realitas masa sekarang pada
muslimin itu sendiri.
Kemudian budaya yang mencangkup masalah kemanusiaan
yaitu pemikiram, filsafat kemudian juga sains atau yang
disebut Tsurotsul-insan namun demikian Al Jabiri menegaskan
bahwa budaya yang hidup pada pemikiran-pemikiran Islam
yang sudah dikembangkan oleh para ulama intelektual sejak
abad ke-2 Hijriyah sampai sebelum masa-masa kemunduran
yaitu ke-8 Hijriyah.
4. Definisi Nalar
• Al Jabiri menjelaskan mengenai kritik nalar Arab yang mengkaji
tentang pertumbuhan dan perkembangan akal orisinal Arab yang
disebutnya sebagai akal retoris (al-‘aql al-bayani). Akal ini
ditunjukkan melalui ilmu bahasa Arab, ushul fiqh dan ilmu kalam.
• Nalar Arab adalah la raison constituante (al-ʿaql al-mukawwin) yaitu
kumpulan aturan-aturan dan prinsip-priinsip yang diteruskan oleh
budaya Arab kepada para tabi’in atau pengikutnya yang menjadi
landasan untuk mencapai pengetahuan atau sebagai aturan
epistemologis, yaitu menjadi kumpulan konsep, metode dan
pedoman mekanisme yang menjadi struktur alam bawah sadar dari
pengetahuan pada suatu fase sejarah tertentu.
• Nalar Arab dalam kapasitasnya adalah menjadi instrument atau alat
pemikiran dan pemahaman yang berupa produk teoritis yang
memiliki karakteristik-karakteristik yang dibentuk oleh suatu
peradaban tertentu, dalam hal ini adalah peradaban Arab. Menurut
Al-Jabiri bahwa diskursus kebangkitan Arab tidak akan mencapai
kejayaan dalam menciptakan proyek pada kebangkitan peradaban,
baik secara ideal maupun dalam konteks sains ilmiah.
5. • Istilah ‚nalar Arab‛ (al-‘aql al-‘arabi) merupakan gagasan Al-
Jabiri terkait dengan kritik tradisi dan wacana keagamaan. Al-
Jabiri menggunakan istilah tersebut untuk membedakan
dengan ‚pemikiran’ (al-fikr).
• Dalam pandangannya, ‚pemikiran‛ hanya mengacu pada
muatan dan isi pemikiran, yakni sekumpulan pandangan dan
pemikiran yang dengannya masyarakat mengungkapkan
concern, ideal-ideal etik, doktrin-doktrin mazhab serta ambisi
sosial politiknya.
• Dalam hal ini, pemikiran lebih mengacu pada pemikiran
sebagai muatan produk (al-fikr ka’muhtawa). Berbeda dengan
pengertian ‚nalar‛ (al-‘aql) yang mengacu pada pemiiran
perangkat untuk memproduksi pemikiran (al-fikr ka’adah).
Dengan kata lain, ‚pemikiran‛ dalam pengertian ini semakna
dengan ideologi
6. Nalar sebagai Produk Budaya
Untuk menjelaskan kerancuan maksud ‚nalar‛ sebagai perangkat berfikir dan
bukan produk pemikiran, al-Jabiri mengambil pembedaan yang dibuat oleh
Lalande antara nalar pembentuk atau aktif (al-‘aql al-mukawwin au al-fa’il),
dan nalar terbentuk atau dominan (al-‚aql al-mukawwan au as-sa’id).
Nalar yang pertama adalah aktifitas kognitif yang dilakukan pikiran ketika
mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-
prinsip dasar. Dengan kata lain, nalar aktif adalah naluri yang dengannya
manusia mampu menarik asas-asas umum dan niscaya, berdasar
pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Nalar ini sama
pada seluruh manusia.
Sedangkan nalar kedua, nalar dominan, adalah sejumlah ‚asas dan kaidah
yang dijadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal)‛. Nalar tersebut
berbeda antara satu periode dengan periode lainnya, termasuk antara satu
orang dengan orang lain
7. Pemikiran Al Jabiri
• Metode perbandingan tradisi Islam dan Barat, mendorong Al-Jabiri
mempertanyakan asumsiasumsi kaum orientalis yang terkesan
memaksakan kepentingannya dalam mengkaji Islam. Hal tersebut
menjadi titik utama kritik Al-Jabiri pada aspek metodologi dan
kerangka berpiir kaum orientalis dan bukan pada konklusi mereka
• Sebagaimana Arkoun dan Hanafi, Al-Jabiri memiliki concern
terhadap persoalan turast dan tajdid. Sejalan dengan Arkoun, Al-
Jabiri juga melakukan kritik terhadap epistemologi nalar Islam
klasik. Arkoun menjadikan ‚kritik nalar Islam‛ sebagai titik tolak
mencapai otentitas ajaran al-Qur’an. Berbeda dengan Arkoun, Al-
Jabiri dalam karyanya tidak menyinggung persoalan pembacaan
terhadap al-Qur’an, sehingga dapat dikatakan Arkoun lebih radikal
dalam konteks ini. Namun demikian, analisa dan kritik epistemologi
Al-Jabiri terhadap ‚nalar Arab‛ merupakan kajian yang cukup
komprehensip yang ditulis secara sistematis dalam trilogi karyanya
Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi), yang mana hal tersebut
tidak dilakukan oleh Arkoun.
8. Persoalan-persoalan tersebut, bagi Al-Jabiri lebih
merupakan persoalan kesadaran masa lalu yang
membudaya dikalangan masyarakat Arab, yang
‚tanpa sengaja‛ diproyeksikan pada masa kini, dan
yang selama ini mengikat mereka dengan janji-janji
kebangkitan Islam.
Karenanya, perlu dilakukan rekonstruksi atas
‚kesadaran‛ masa lalu, masa kini, dan hubungan
antara keduanya (i’adatu bunyatil-wa’yi bil-madhi
wal-hadhir wal-‘ilaqah bainahuma), dalam arti,
perlu upaya dekonstruksi-penulisan ulang
(ta’rikhiyah) terhadap sejarah masa lalu dan
merekonstruksinya sebagai tradisi (turats) yang
dilestarikan sekaligus dibatasi kekuatannya
9. Langkah-langkah Al Jabiri secara sistematis untuk
mencapai kemajuan dan kebangkitan Islam :
• Kritik pada sejarah terhadap problematika yang ditinggalkan pada masa lalu, kemudian
mensistematisasikan urutan kejadian dan fakta sejarah. Al Jabiri juga menegaskan bahwa
struktur nalar Arab telah dipatenkan dan disistimatisasikan pada era kodifikasi (‘ashr al-
tadwin) pertengahan abad ke-2 hijriah, sehingga sebagai konsekuensinya, maka dunia akan
berpikir bahwa yang dominan pada masa itu memiliki kontribusi besar dalam menentukan
orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, pada pihak tertentu akan mempengaruhi
persepsi kita terhadap pengetahuan dan khazanah pemikiran yang berkembang pada masa
sebelumnya.
• Kemudian, pada era kodifikasi baru (‘ashr al-tadwin al-jadid) peradaban Arab dikuasai oleh
akal yang bersifat afektif (munfa’il) bukan akal aktif (fa’il). Pada akal afektif yang
mempengaruhi adalah pertama, kesadaran akan adanya tantangan pada peradaban barat
yang membangunkan dari tidur panjang dan memposisikannya pada pinggiran lingkaran
dengan barat sebagai (axis) atau pusat rotasinya. kedua, reaksi balik yang berusaha
menggapai legitimasinya dari masa lalu dan menjadiakan masa lampau sebagai pusat rotasi
dan yang lain di pinggiran lingkarannya. Kedua pengaruh inilah yang mengendalikan secara
dominan diskursus pemikiran Arab kontemporer saat ini, yaitu kecenderungan yang
berlindung di balik legitimasi para pendahulu (salaf), bersenjatakan analogi deduktif fiqh dan
ideologis.
10. Persoalan-Persoalan Pada Realitas Sejarah Kebudayaan Arab
Dalam analisanya, Al-Jabiri berusaha memperlihatkan sejauh mana problematika sejarah
kultural Arab, yang membutuhkan penulisan kembali dan rekonstruksi. Dalam kerangka ini, Al-
Jabiri menemukan persoalan-persoalan pada realitas sejarah kebudayaan Arab, diantaranya :
• Sejarah kultural Arab sebagaimana yang kita baca saat ini adalah sejarah
yang terpotongpotong, sejarah pertentangan ‘opini’ dan bukan
merupakan sejarah konstruksi opini.
• Bahwa sejarah kultural Arab sebagaimana mendominasi saat ini adalah
sejarah ilmu dan disiplin Islam yang satu sama lain terputus.
• Era yang terlukiskan dalam sejarah kultural Arab saat ini bersifat statis,
tidak menampilkan suatu perkembangan pemikiran Arab dan peralihannya
dari satu kondisi kepada kondisi lain, hilangnya kepekaan historis dan
menjadikannya penggalan-penggalan masa lalu sebagai fenomena yang
hadir bersamaan dan bukan fase-fase yang berkesinambungan.
• Adanya ketumpangtindihan era kultural sejarah Arab antara ruang dan
waktu.
• Bahwa sejarah kultural Arab Islam dicirikan dengan keterputusan yang
mendominasi hubungan antara sejarah kultural Arab dengan sejarah
kultural dunia, terutama setelah melihat nyata hilangnya ‚peran sejarah‛
(ad-daur as-saqafy) budaya Arab Islam dalam sejarah dunia (Islam is
holliday from world history)..
11. Al Jabiri memiliki 3 pendekatan dalam memahamai konsep
budaya dan untuk mengembangkan tingkat oobjektivitas,
• Pendekatan metode strukturalis.
Dalam mengkaji suatu kebudayaan kita berangkat
dari teks-teks sebagaimana adanya. Kemudian
perlunya meletakkan berbagai jenis pemahaman
tentang problematika budaya dan tradisi. serta
membatasi objek kajian pada teks-teks. Yaitu teks-
teks dalam posisinya sebagai sebuah center, korpus,
satu kesatuan, dalam sebuah sistem. Teks-teks di
mana unsur-unsur baku yang ada di dalamnya
memiliki peran mengarahkan perubahan-
perubahan.
12. Al Jabiri memiliki 3 pendekatan dalam memahamai konsep
budaya dan untuk mengembangkan tingkat oobjektivitas,
• Analisis Sejarah.
Berkaitan dengan upaya untuk mengintegrasikan antara pemikiran si pemilik
teks, yang sebelumnya sudah dianalisis dengan metode strukturalis, dengan
lingkup sejarah, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik, dan
sosiologisnya. Integrasi ini penting mempertimbangkan 2 hal :
• keharusan untuk faham terhadap historisitas dan genealogi pada sebuah
pemikiran yang sedang dikaji dan
• keharusan untuk menguji seberapa jauh sebuah validitas konklusi-konklusi
pada pendekatan strukturalis. Validitas bukanlah “kebenaran logis”, karena ini
sudah merupakan tujuan utama strukturalisme, validitas disini melainkan
“kemungkinan historis” (al-‘imkan al tarikhi), yaitu kemungkinan-
kemungkinan yang mendorong untuk mengetahui secara jeli apa saja yang
mungkin dikatakan sebuah teks dan apa yang tidak dikatakan, juga apa saja
yang dikatakan tapi didiamkan.
13. • Kritik Ideologi.
Untuk mengungkap fungsi ideologis, yaitu termasuk
fungsi sosial-politik, yang dikandung dalam sebuah teks
atau suatu pemikiran tertentu, atau yang disengaja
dibebankan terahadap teks dalam satu sistem pemikiran
(episteme) tertentu yang menjadi rujukannya.
Mengungkap makna dan fungsi ideologis sebuah teks
klasik merupakan salah satu cara untuk menjadikan teks
itu kontekstual dengan dirinya. Sehingga dapat
melekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas
ataupun menjadi produk sejarah
Al Jabiri memiliki 3 pendekatan dalam memahami konsep
budaya dan untuk mengembangkan tingkat oobjektivitas,