2. AWAL SEJARAH
Nihon Shoki merupakan literatur klasik yang memuat
sejarah tertulis paling tua tentang masakan Jepang. Nihon
Shoki mengisahkan tentang Iwakamutsukari-no-mikoto
yang merupakan nenek moyang klan Takahashi.
Iwakamutsukari-no-mikoto menghidangkan Namasu dari
ikan cakalang dan kerang Hamaguri yang dipotong-
potong dan diacar dengan cuka. Hidangan ini dibuat
untuk Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi provinsi
Awa karena bersedih atas kematian Yamato Takeru.
Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak
istana dan kemudian dijadikan dewa masakan.
3. ASAL USUL MASAKAN
Nasi mulai dimakan orang Jepang sejak zaman Jomon dengan
lauk dari bahan makanan yang dibuat nimono, dipanggang,
dan dikukus. Cara mengolah makanan dengan menggoreng
dikenal di zaman Asuka dan berasal dari semenanjung Korea
dan Tiongkok. Teh dan masakan khas pendeta diperkenalkan
di Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, tapi
hanya berkembang di kalangan kuil. Makanan khas pendeta
dikenal sebagai makanan Buddhis (Shōjin ryōri) yang melarang
keras hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet
dijadikan bahan makanan. Menurut literatur klasik Engishiki,
di berbagai tempat di Jepang barat terdapat upacara yang
menggunakan ikan hasil fermentasi yang disebut Narezushi
sebagai persembahan.
4. MASAKAN ZAMAN NARA
Pengaruh kebudayaan Tiongkok yang kuat di zaman
Nara berpengaruh pada masakan di zaman Nara.
Makanan dimasak sebagai hidangan pada ritual dan
perayaan yang berkaitan dengan musim. Di
sepanjang tahun selalu ada perayaan dan pesta
makan-makan. Cara memasak dari Tiongkok mulai
digunakan untuk mengolah bahan makanan lokal.
Penyesuaian cara memasak dari Tiongkok dengan
keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan
masakan yang khas Jepang.
5. MASAKAN ZAMAN HEIAN
Di zaman Heian, masakan Jepang makin berkembang
sambil terus menerima pengaruh dari daratan Tiongkok.
Pada masa itu mulai dikenal makanan seperti Karaage,
Karani, kue-kue asal Tiongkok (Tōgashi), dan Natto ala
Tiongkok. Sementara itu, aliran masak-memasak dan
etiket makan juga berkembang di kalangan bangsawan.
Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran
Shijō berjudul Shijōryū Hōchōshiki atas perintah kaisar
Kōkō. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang
sering memiliki altar pemujaan (kamidana) untuk
Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto
6. MASAKAN ZAMAN KAMAKURA
Makanan olahan dari tahu yang disebut Ganmodoki
mulai dikenal bersamaan dengan makin populernya
tradisi minum teh dan meluasnya ajaran Zen. Di
zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk
biksu yang menjalani latihan dikenal sebagai
masakan Kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai
kembali ke Jepang membawa teh dari Tiongkok
yang dinikmati dengan masakan Kaiseki. Masakan
ini nantinya berkembang menjadi makanan untuk
resepsi atau jamuan makan yang juga disebut
Kaiseki, tapi ditulis dengan aksara kanji yang
berbeda.
7. MASAKAN ZAMAN MUROMACHI
Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai juga ikut dalam urusan masak-
memasak di dalam istana kekaisaran dan tata krama sewaktu makan semakin berkembang.
Aliran etiket Ogasawara berasal dari etiket kalangan samurai dan bangsawan di zaman
Muromachi dan masih dikenal hingga sekarang.
Pejabat Chūnagon bernama Yamakage no Masatomo mendirikan aliran masak-
memasak yang disebut aliran Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul
Shijōryū Hōchōsho (buku memasak aliran Shijō). Sementara itu, aliran memasak bernama
Ōkusaryū juga didirikan klan Ashikaga, dan sejak itu orang mulai cerewet mengenai cara
memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya Honzen (Honzen no seishiki) dan
gaya Kaiseki merupakan dua aliran utama masakan Jepang di zaman Muromachi. Pada gaya
Honzen, makanan dalam porsi cukup untuk satu orang dihidangkan secara individu di atas
meja pendek yang disebut Ozen. Sementara itu sebagai tandingan gaya Honzen diciptakan
makanan gaya Kaiseki yang berkembang dari tradisi menghidangkan makanan dalam porsi
kecil seperti dalam upacara minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk “luar negeri”, khususnya
Portugal dan Asia Tenggara), dan Nambansen adalah sebutan untuk kapal dari luar negeri.
Kedatangan kapal-kapal dari Namban sejak zaman Muromachi hingga zaman Sengoku
membawa serta berbagai jenis masakan yang disebut Nambanryōri (masakan luar negeri)
dan Nambangashi (kue luar negeri). Kue Kastela yang menggunakan resep dari Portugal
termasuk salah satu contoh Nambangashi.
8. MASAKAN ZAMAN EDO
Kebudayaan orang kota berkembang pesat di zaman Edo dan makanan penduduk
kota seperti Tempura dan minuman Mugicha mulai banyak dijual di kios-kios pasar
kaget. Pada masa itu mulai banyak dijumpai rumah makan yang khusus menyediakan
Nigirizushi dan Soba. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional
(ryōtei) yang digunakan kalangan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta
makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti
tata cara makan formal seperti masakan gaya Kaiseki atau masakan gaya Honzen.
Masakan yang berkembang di Ōrusuichaya disebut Kaisekiryōri (会席料理 masakan
jamuan makan?) yang ditulis memakai aksara kanji yang berbeda dengan masakan
Kaiseki untuk upacara minum teh.
Sementara itu, teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (Wagashi) menjadi
berkembang berkat tersedianya gula yang sudah menjadi barang yang lumrah di
zaman Edo. Alat makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan orang dan
diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging
ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Di
pertengahan zaman Edo, makanan mulai dihias dengan Wachigai daikon (hiasan dari
lobak) sejalan dengan mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur. Di zaman yang sama
mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di
dalam (Kimigaeshi tamago).
9. MASAKAN ZAMAN KANTO
Masakan Jepang yang dikenal sekarang merupakan hasil penyempurnaan masakan di zaman Edo.
Di masa itu dikenal kewajiban Sankin Kōtai bagi daimyo dari seluruh penjuru Jepang. Daimyo harus
datang ke Edo untuk melakukan tugas pemerintahan secara bergiliran sebagai pendamping shogun.
Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan
yang khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa dari seluruh penjuru Jepang
menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo, apalagi ditambah dengan makanan laut dari Teluk
Edo (disebut Edomae) yang segar dan enak. Hasil laut dari Samudra Pasifik seperti ikan tongkol sudah
dijadikan menu tetap dalam sashimi.
Ikan kakap merupakan lambang kemakmuran dan ikan kakap yang dipanggang utuh tanpa
dipotong-potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan
pada pesta makan terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang
berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan kakap termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja
dimakan di tempat pesta, tapi lebih merupakan hiasan yang dinanti-nanti para tamu untuk dibawa
pulang. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di
rumah berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan kakap, tamu biasanya
dipersilakan membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di daerah Kanto disebut masakan Edo atau
masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk menandingi masakan Kansai yang telah lebih
dulu dikenal. Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin (shōyu) sebagai penentu rasa,
termasuk pada berbagai makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan
pesta merupakan alasan kecap asin digunakan dalam jumlah banyak pada masakan Kanto, agar rasa
makanan tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai justru
tidak terlalu asin walaupun mengandalkan garam dapur sebagai penentu rasa.
10. MASAKAN ZAMAN KANSAI
Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka dan masakan Kyoto.
Berbeda dengan budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya
Kyoto yang elegan. Masakan kuil agama Buddha banyak mempengaruhi masakan
Kyoto yang banyak menggunakan sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, dan sedikit
makanan laut karena letak Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara
memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu
yang memang sudah “tipis” tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan hasil awetan
seperti Bodara (ikan Cod kering) dan Migakinishin (ikan Hering kering) hingga menjadi
hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
Sebagai kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah, masakan Osaka
mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk
langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin karena
menganut prinsip “makanan yang habis dimakan”. Prinsip ini bertolak belakang
dengan masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin. Seiring
dengan perkembangan zaman, perbedaan antara masakan Kansai dan masakan Kanto
menjadi semakin kecil berkat saling belajar dari kekuatan dan kelemahan masing-
masing.
11. PENGARUH MASAKAN BARAT
• Di awal zaman Meiji, masakan Eropa menjadi mulai dikenal orang Jepang yang melakukan
kontak sehari-hari dengan orang asing. Sementara itu, di kalangan rakyat tercipta makanan
gaya Barat (Yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai aliran masak
memasak mengalami kemunduran dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran yang
terus bertahan. Larangan makan daging dihapus sesuai kebijakan pemerintah Meiji mengenai
Haibutsu kishaku dan Shinbutsu bunri sehingga tercipta masakan Sukiyaki. Sementara itu,
Honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai ditinggalkan orang.
Masakan tradisional berupa Kaisekiryōri (会席料理 masakan jamuan makan?) beralih
menjadi makanan standar yang dihidangkan rumah makan tradisional (ryōtei) dan
penginapan tradisional (ryōkan).
• Masakan vegetarian Shōjinryōri berlanjut sebagai tradisi di kuil agama Buddha dan
makanan porsi kecil Kaisekiryōri (懐石料理?) bertahan hingga sekarang sebagai hidangan
upacara minum teh. Di bidang pertanian, tanaman sawi dan spinacia mulai ditanam secara
besar-besaran. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang
disebut Chabudai sebagai pengganti nampan berkaki yang disebut Ozen. Keberadaan
Chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan
yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri dengan Ozen pribadi menjadi acara berkumpul
keluarga.
• Juru masak pewaris tradisi masakan Edo menjadi berkurang karena menjadi korban
Gempa bumi besar Kanto dan tradisi masakan Honzen ryōri mulai memudar. Etiket makan
mulai menjadi longgar dan orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan.
Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan kemajuan bidang komunikasi
menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah dalam soal bahan makanan dan cara
memasak untuk makanan yang sama, walaupun masih tersisa perbedaan mendasar dalam
soal bumbu dan selera.
•
12. BENTO
Bentō (弁当 atau べんとう?) atau o-bentō adalah istilah bahasa Jepang untuk makanan bekal
berupa nasi berikut lauk-pauk dalam kemasan praktis yang bisa dibawa-bawa dan dimakan di
tempat lain. Seperti halnya nasi bungkus, bentō bisa dimakan sebagai makan siang, makan
malam, atau bekal piknik.
Bentō biasanya dikemas untuk porsi satu orang, walaupun dalam arti luas bisa berarti
makanan bekal untuk kelompok atau keluarga. Bento dibeli atau disiapkan sendiri di rumah.
Ketika dibeli, bentō sudah dilengkapi dengan sumpit sekali pakai, berikut penyedap rasa yang
disesuaikan dengan lauk, seperti kecap asin atau saus uster dalam kemasan mini.
Ciri khas bentō adalah pengaturan jenis lauk dan warna agar sedap dipandang serta
mengundang selera. Bento dapat pula dihias dan disusun rapi dalam gaya yang disebut kyaraben.
Kemasan bento selalu memiliki tutup, dan wadah bentō bisa berupa kotak atau nampan segi
empat dari plastik, kotak roti, atau kotak kayu kerajinan tangan yang dipernis. Ibu rumah tangga di
Jepang dianggap perlu terampil menyiapkan bentō, walaupun bentō bisa dibeli di mana-mana. Di
Indonesia, hidangan ala bento mulai dipopulerkan jaringan restoran siap saji Hoka Hoka Bento
sejak tahun 1985.
Bento adalah istilah dari bahasa Jepang untuk makanan bekal yang biasanya berisi nasi,
sayuran serta lauk pauk.
Bento dikemas dalam suatu wadah makanan sehingga sangat praktis dibawa kemana mana
dan cocok untuk bekal sarapan, makan siang saat sekolah maupun makan malam bagi yang sudah
kerja bahkan cocok juga untuk bekal piknik.
13. BENTO
Bento biasa dsiapkan / disajikan untuk porsi satu orang walaupun arti
luas bento itu sendiri adalah makanan bekal untuk banyak orang atau
keluarga. Bento biasanya disiapkan ketika dirumah ketika akan bepergian
namun ada juga toko toko yang menyediakan bento dengan berbagai pilihan
makanan, jadi kalau malas atau tidak sempat membuat bekal bisa tinggal beli
saja.
Di Jepang, Bento sendiri memiliki unsur seni di dalamnya dimana warna
makanan, lauk pauk harus ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat
menggugah selera ketika kita melihatnya nafsu makan kita jadi bertambah.
Jadi ibu rumah tangga disana dituntut untuk memiliki kreatifitas yang tinggi
dalam menyusun bento atau bekal makanan.
Bento ditata dalam wadah kayu berbentuk kotak, wadah plastik,
nampan maupun wadah roti.
14. SEJARAH
• Pada akhir zaman Kamakura, orang Jepang mengenal makanan praktis berupa nasi yang
ditanak dan dikeringkan. Makanan ini disebut hoshi-ii (nasi kering) dan dibawa di dalam tas
kecil. Hoshi-ii bisa dimakan begitu saja, atau direbus di dalam air sebelum dimakan. Di zaman
Azuchi Momoyama (1568-1600), orang sudah mulai senang makan di luar, dan kotak kayu
yang dipernis digunakan sebagai wadah membawa makanan. Bentō mulai dikenal sebagai
makanan praktis dalam kesempatan hanami atau upacara minum teh.
• Pada zaman Edo (1603-1867), kebudayaan bentō semakin meluas di kalangan rakyat
banyak. Orang yang bepergian atau berwisata membawa makanan praktis yang disebut
koshibentō (bentō di pinggang). Isinya beberapa onigiri yang dibungkus daun bambu, atau
nasi di dalam kemasan kotak beranyam dari bambu yang diikatkan di pinggang. Salah satu
jenis bentō yang disebut makunouchi bentō populer di kalangan rakyat yang menonton
pertunjukan noh dan kabuki. Bentō dimakan sewaktu pergantian layar panggung (maku)
sehingga dinamakan makunouchi bentō. Di zaman Edo, cara memasak, mengemas, dan
menyiapkan bentō untuk kesempatan hanami dan hinamatsuri sudah diterbitkan dalam buku
resep masakan.
• Penjualan paket nasi yang disebut ekiben (駅弁 bentō stasiun?) dimulai sejak zaman
Meiji. Ekiben dimaksudkan untuk dinikmati di atas kereta, dan sering merupakan hidangan
khas dari daerah tempat stasiun kereta api tersebut berada. Stasiun KA Utsunomiya
(Prefektur Ibaraki) merupakan salah satu stasiun yang mengklaim sebagai penjual ekiben
yang pertama. Pada 16 Juli 1885, di Stasiun KA Utsunomiya dijual ekiben berupa dua buah
onigiri berisi umeboshi dan potongan asinan lobak (takuan) dengan pembungkus daun
bambu.[2] Bekal bentō yang dibawa murid dan guru juga mulai populer di zaman Meiji. Jam
pelajaran baru selesai di petang hari, dan sekolah-sekolah belum memiliki dapur dan
kafetaria yang menyediakan makan siang. Selain bentō berisi nasi, penjual bentō juga mulai
menyediakan bentō ala Eropa berisi sandwich.
15. BENTO
Pada zaman Taisho (1912 - 1926), perbedaan kaya-miskin yang tajam
seusai Perang Dunia I menimbulkan gerakan sosial untuk menghentikan
kebiasaan membawa bentō ke sekolah. Bentō dituduh sebagai sarana pamer
kekayaan bagi anak orang berada yang mampu membawa nasi ke sekolah.
Pada awal zaman Showa, kotak dari aluminum untuk membawa bento
sangat digemari orang Jepang dan merupakan barang mewah. Setelah Perang
Dunia II, tradisi membawa bentō secara berangsur-angsur hilang sejalan
dengan semakin banyaknya sekolah yang menyediakan ransum makan siang.
Bentō kembali populer di tahun 1980-an setelah dikenal kemasan kotak
plastik polistirena sekali pakai, oven microwave, dan semakin meluasnya toko
kelontong 24 jam. Sementara itu, bentō buatan ibu kembali mulai digemari,
dan tradisi membawa bentō dari rumah hidup kembali. Keahlian menyiapkan
bentō untuk anak-anak merupakan kebanggaan tersendiri bagi ibu rumah
tangga. Lauk seperti sosis dan nori dipotong-potong atau digunting untuk
dijadikan hiasan, seperti daun, bunga, binatang, hingga karakter anime.
16. JENIS – JENIS BENTO
• Shōkadō bentō (松花堂弁当?)
• Bentō yang dihidangkan di dalam kotak kayu dengan tutup yang bisa
menutup dengan rapat, dan di dalamnya terdapat pembatas untuk
membagi wadah menjadi 4 bagian.
• Chūka bentō (中華弁当?, bentō masakan Cina)
• Kemasan bentō berisi makanan Cina
• Kamameshi bentō (釜飯弁当?, bentō nasi periuk)
• Bentō yang menggunakan periuk tanah liat sebagai kemasan.
• Makunouchi bentō (幕の内弁当?)
• Bentō tradisional berisi nasi dan lauk.
• Noriben (海苔弁?)
• Bentō berisi nasi ditutupi nori yang sudah dicelupkan ke dalam kecap asin.
• Hinomaru bentō (日の丸弁当?)
• Bentō yang hanya terdiri dari nasi putih dan sebuah umeboshi yang
diletakkan di tengah-tengah seperti bendera Jepang.
17. ISTILAH –ISTILAH TENTANG BENTO
• Bento teriyaki ayam, gyoza, dan sashimi salmon dengan teh hijau dan sup
misoshiru di sebuah restoran Jepang di Jakarta.
• Hoka bentō (ホカ弁?, bentō panas) Bentō yang dibeli dari rumah makan bentō
untuk dibawa pergi, disertai nasi panas yang baru dimasak (hokahoka) disertai
menu sampingan yang baru matang pula. Istilah ini populer setelah munculnya
Hokka Hokka Tei.
• Shidashi bentō (仕出し弁当?, bentō kiriman) Bentō yang tidak dibuat di rumah,
melainkan dibeli di penjual bento atau rumah makan.
• Hayaben (早弁 bentō lebih awal?) Perbuatan murid sekolah yang memakan bentō
sebelum waktu makan siang tiba.
• Soraben (空弁 bentō udara?) Bentō yang dijual di bandar udara.
• Rokeben (ロケ弁 bentō lokasi?) Bentō yang disediakan di lokasi syuting film atau
acara televisi.
• Aisai bentō (愛妻弁当 bentō istri tercinta?) Bentō yang disiapkan istri di rumah
untuk suami di kantor.
• Reitō mikan (冷凍ミカン jeruk beku?) Pencuci mulut berupa jeruk yang dibekukan
dan dijual di stasiun KA atau di atas KA bersama ekiben.
18. CIRI KHAS MAKANAN JEPANG
• Menggunakan urutan Sa-Shi-Su-Se-So dalam
pemberian bumbu
• Bahan dasar maknan Jepang adalah hasil
pertanian
• Sebagian makan Jepang tidak di masak , oleh
karena itu makanan Jepang dikenal dengan
makanan mentah
• Makanan Jepang lebih mengutamakan cita rasa
asli
• Penyajian makanan Jepang hanya menggunakan
mangkok dan sumpit
19. CIRI KHAS MAKANAN JEPANG
• Sa-Shi-Su-Se-So bukan hanya sebutan saja tetapi
adalah urutan penyebutan saat memasukkan
atau menambahknan dalam masakan
• Sa = Satoh atau gula
• Shi = Shio atau garam
• Su = cuka
• Se = Shoyu atau kecap
• So = Miso atau kedelai permentasi
21. MAKANAN KHAS JEPANG
TEMPURA :
• Memilik arti “
memasak “,
diperkenalkan oleh
bangsa Portugis
pada abad ke -15.
• Makanan di balut
dengan tepung
renyah
22. MAKANAN KHAS JEPANG
SUSHI :
• Dibuat dari nasi
dengan tambahan
makanan hasil
laut, telur dan
sayuran.
• Sushi biasanya
disantap sebagai
menu sarapan
pagi
23. MAKANAN KHAS JEPANG
SASHIMI :
• Sudah ada
sebelum ada
sushi.
• Sashimi terbuat
dari makanan
mentah murni
khas Jepang
terbuat dari
makana hasil laut
24. MAKANAN KHAS JEPANG
SHABU – SHABU :
• Makanan yang berisi
irisan tipis daging ,
tahu dan sayuran,
dimasak dalam
panci khusus ,
biasanya dinikmati
dengan saus yg
mengandung wijen
yang disebut
gomadare
25. MAKANAN KHAS JEPANG
SUKIYAKI :
• Hampir sama dan
mirip dengan
Shabu – shabu,
dalam penyajian
bahan dan
tatacara makan
nya
26. MAKANAN KHAS JEPANG
UDON :
• Adalah mie ala Jepang
yang tebuat dari tepung
terigu. Sebenarnya kata
Udon berasal dari kata
Tiongkok, yaitu wanton (
artinya pangsit ), yang
kemudian dilafalkan
dengan kata undon/
udon.
• Udon memiliki ukuran
yang lebih besar di
banding kan mie biasa
pada umumnya .