1. Ekonomi Islam telah ada sejak Islam lahir, namun baru dikenal luas setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1992. 2. Tulisan ini membahas pentingnya menelusuri sejarah ekonomi Islam Indonesia secara sistematis, termasuk tokoh-tokohnya. 3. Sayangnya literatur sejarah ekonomi Islam Indonesia masih kurang, sehingga kontribusi para pelopor sulit dikenali.
Sejarah Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia - Anto Apriyanto
1. 1
SEJARAH GERAKAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA1
Anto Apriyanto2
Mukadimah
Di kalangan masyarakat umum tanah air, ekonomi Islam dikenal secara luas
sejak mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 27 Syawwal 1412
H atau bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1992.3 Padahal, sejatinya ekonomi Islam
telah ada sejak bangsa Indonesia belum merdeka, bahkan diyakini sejak
kelahiran Islam.
Islam sebagai agama sempurna, yang di dalamnya turut pula mengatur
masalah ekonomi manusia, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ekonomi
Islam lahir bersama dengan Islam yang agung itu sendiri. Allah Subhanahu wa
Ta'ala menegaskan bahwa memang tidak ada satu permasalahan pun yang
terlewatkan dari pembahasan Al-Quran:
ِضْاألر ِِف ٍةَّباَد ْنِم اَمَوِِف اَنْطَّرَف اَم ْمُكُلاَثَْمأ ٌمَُمأ الِإ ِهْيَاحَنَ
ِِب ُريِطَي ٍرِائَط الَو
( َنوُرَشُُْي ْمِهِّبَر ََلِإ َُُّث ٍءْيَش ْنِم ِابَتِكْلا٣٨)
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apa pun
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan." (QS. Al-An'am [6]: 38)
Menurut perhitungan Isa Abduh (dalam Fadhely: 1999: 31-32), ayat-ayat
yang berkenaan dengan ekonomi di dalam Al-Quran itu mencapai 725 ayat, baik
yang secara langsung menegaskan prinsip ekonomi Islam, maupun pengertian
yang tersirat dalam ayat-ayat hukum atau kisah.4
Sejarah banyak mencatat bagaimana perniagaan yang menjadi tumpuan
utama kegiatan ekonomi masyarakat Arab pada masa Rasulullah Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, semakin diperbaiki dan diluruskan berdasarkan Al-
Quran dan Sunnah. Semua sepakat, proses permulaan Islam hingga
berkembangnya dewasa ini tentu tidak luput dari peran sejarah. Begitu pun
halnya dengan ekonomi Islam. Di sinilah urgensi sejarah dalam ranah ilmiah.
Begitu pentingnya posisi sejarah sampai-sampai Budi Ashari, ahli Sejarah Islam,
menyatakan bahwa sejarah merupakan sepertiga Al-Quran.5
Sayangnya, ekonomi Islam di Indonesia, yang kian hari kian melesat pesat
digandrungi publik, hingga saat ini belum jelas kronologi sejarahnya. Bahkan
untuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sekali pun. Sebab, ketersediaan
1
Disampaikan dalam "SKJ FoSSEI Jabodetabek 2017" di STEI SEBI, Sabtu (15/04/2017).
2
Dosen Ekonomi Islam di 6 kampus, Ketua Harian Komunitas Ekonomi Islam Indonesia (KONEKSI).
3
Website resmi Bank Muamalat, "Profil Muamalat",
<http://www.muamalatbank.com/home/about/profile>, diakses tanggal 06-01-2014.
4
M. Mohammad Fadhely, Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press,
1999), hlm. 31-32.
5
Disampaikan Budi Ashari dalam Stadium General Akademi Siroh, "Bagaimana Nabi Belajar Dari
Sejarah", di Bazaar Madinah Business Hall, Jl. Prof. Lapran Pane (RTM) No. 100 Cimanggis Depok Jawa Barat,
Ahad (22/12/2013).
Materi #1
2. 2
literatur yang membahas mengenai sejarah ekonomi Islam di Indonesia, dari
masa permulaan hingga perkembangan terakhirnya, bisa dikatakan belum ada.
Padahal, tidak mungkin ekonomi Islam hadir dan berdiri kokoh di Indonesia tanpa
memiliki catatan sejarahnya. Terutama mengenai siapa tokoh, pemikiran
berikut perjuangannya, yang berkontribusi dalam sejarah tersebut.
Sebagai perbandingan saja, saat ini cabang ilmu Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia sudah ada, tapi Sejarah Ekonomi Islam Indonesia belum ada. Hal ini
seharusnya sudah menjadi perhatian bagi para peminat dan pegiat ekonomi
Islam di tanah air. Walaupun mungkin bagi kalangan praktisi ekonomi syariah,
hal semacam ini dianggap tidak begitu penting, namun dalam ranah ilmiah justru
sangat diperlukan bagi konstruksi ilmu ekonomi Islam, khususnya bagi kalangan
akademisi. Masalah tersebut diperkuat oleh pendapat Juhaya S. Pradja6 yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi Islam setidaknya bersumber dari Al-Quran,
Sunnah Rasul, hukum Islam dan metodologinya, sejarah masyarakat Islam, serta
data yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi.
Versi Para Tokoh dan Ahli Ekonomi Syariah Kontemporer
Penulis seringkali menemukan artikel maupun buku yang terkesan
'tanggung' di dalam membahas mengenai sejarah perkembangan ekonomi Islam
di Indonesia. Sebab tidak menyertakan sosok para tokoh pemeran utama dalam
perjuangan tersebut. Sebut saja misalnya Ma'ruf Amin, Ketua Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Pusat. Dalam buku "Pembaruan
Hukum Ekonomi Syariah Dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer",
ia menulis:
Di ujung abad ke-20, setelah seratus tahun dari fase kebangkitan
Islam yang pertama, menurut hemat saya terjadi kebangkitan
Islam kedua, yaitu tepatnya diawali pada tahun 1990 ketika MUI
merekomendasikan lahirnya lembaga perbankan berbasis non
bunga. Ini adalah merupakan awal dari gerakan ekonomi syariah
di Indonesia, sebagai kelanjutan dari pendapat para ulama
bahwa sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai
dengan semangat ajaran Islam, karena berbasis bunga.7
Pun ketika ia berbicara dalam sebuah orasi ilmiah, ia menyatakan
"Sedangkan dalam konteks Indonesia, lahirnya ekonomi syariah terhitung
ketinggalan. Walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam, ekonomi
syariah khususnya lembaga keuangan syariah baru terbentuk pada awal tahun
1990-an".8
Dalam dua kali kesempatan tersebut, penulis tidak menemukan penjelasan
siapa sebenarnya tokoh yang memiliki andil di dalam perjuangan penegakkan
ekonomi Islam di Indonesia. Hanya disebutkan peran lembaga MUI saja. Meski
tidak panjang lebar, seharusnya disebutkan nama-nama tokoh yang terlibat
dalam kejadian tersebut. Sebab sejarah berkaitan pula dengan tokoh.
Selanjutnya Syahbudi dalam Hermeneia, menyatakan:
6
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 62.
7
Ma'ruf Amin, Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Pengembangan Produk Keuangan
Kontemporer, (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013), hlm. 4-5.
8
Disampaikan Ma'ruf Amin dalam Orasi Ilmiah Wisuda Tahap II Universitas Ibn Khaldun Bogor Tahun
Akademik 2012-2013, dengan judul "Perkembangan Ekonomi Syariah Dari Masa ke Masa", Sabtu (8/6/2013).
3. 3
Selanjutnya pada periode ini sekitar tahun 1990-an, pemikiran
dan gerakan SEI (Sistem Ekonomi Islam) berkembang dalam dua
tataran, yakni tataran teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis
dikembangkan melalui pendidikan tinggi, kajian keilmuan dan
perkembangan riset-riset Islamisasi ekonomi. Pada tataran
praktis dikembangkan mulai dari sektor moneter, bank umum,
BPRS, BMT, pengembangan pengelolaan zakat produktif,
asuransi, dan bursa saham Islam serta pegadaian Islam.9
Hal yang sama dinyatakan pula oleh Agustianto, Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI) dan Wakil Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, dalam
website pribadinya:
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan
momentumnya untuk tumbuh kembali, semenjak didirikannya
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat
legitimasi legal formal dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.10
Sama seperti sebelumnya, dalam artikel di atas penulisnya mencatat
sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia yang tiba-tiba lahir pada 1990
atau 1992. Saat membaca lengkap artikelnya, terkesan tidak teralur rapi dan
seakan 'loncat' melewati beberapa masa yang masih menjadi misteri. Oleh
karena itu, jika para ahli atau pakar ekonomi Islam Indonesia sekelas Ma'ruf Amin
dan Agustianto saja tidak dapat memberikan penjelasan mengenai sepak terjang
ekonomi Islam di Indonesia dalam pentas sejarah, lalu bagaimana mungkin
generasi ke depannya bisa menghormati perjuangan penegakkan hingga
pembumian ekonomi Islam, yang sering dikenal pula dengan istilah ekonomi
syariah, di bumi Indonesia tercinta.
Tanpa bermaksud memungkiri, memang ada juga usaha untuk mengungkap
sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia yang ditulis dengan
menyertakan nama-nama tokoh yang terlibat di dalamnya. Misalnya, Lukman A.
Irfan, yang menuliskan:
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang
menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan
(dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang
lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawam Rahardjo, Adiwarman
Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad.11
9
Syahbudi, "Pemikiran dan Gerakan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia", (Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner Hermeneia, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2003), hlm. 212.
10
Agustianto, 16 April 2011, "Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia", dan 21 Mei 2012,
"Kebangkitan (Nasional) Ekonomi Islam Kedua – 100 Tahun Setelah Berdirinya Syarikat Dagang Islam (1912-
2012)", <http://www.agustiantocentre.com/?p=578>, diakses tanggal 04-01-2014.
11
Lukman A. Irfan, 31 Maret 2011, "Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas Ekonomi
Islam", dalam Tim Penulis MSI UII, "Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah", (Yogyakarta: Safiria Insania
Press dan MSI UII, 2008), <http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Sejarah-Ekonomi-Islam-
Perkembangan-Panjang-Realitas-Ekonomi-Islam.html>, diakses tanggal 07-01-2014.
4. 4
Dalam potongan artikel di atas dapat ditemukan sejumlah nama yang
disebut penulisnya sebagai para pemikir ekonomi Islam Indonesia. Padahal,
nama-nama tersebut bisa dikatakan 'pemain baru' yang muncul pasca BMI berdiri
dekade 1990-an, kecuali mungkin Dawam Rahardjo.
Penjelasan singkat yang lebih memuaskan ditegaskan M. Arfin Hamid yang
mengutip dari Dawam Rahardjo (dalam Karim: 2003: xvii), dengan menyatakan:
Khusus di Indonesia, pada tahun 1970-an, gerakan Islam secara
nasional memasuki lapangan baru di bidang ekonomi dengan
memperkenalkan sebuah sistem ekonomi Islam di antara sistem-
sistem ekonomi yang ada, yaitu sebagai alternatif dari sistem
kapitalisme dan sosialisme. Wacana sistem ekonomi Islam
diawali dengan dengan konsep ekonomi dan bisnis nonribawi.
Gerakan ini sama saja dengan memperjuangkan tegaknya syariat
Islam di bidang politik dan hukum di tanah air ketika itu.
Sejumlah tokoh yang terlibat dalam wacana ekonomi Islam kala
itu, antara lain A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmadja, M.
Amin Aziz, Muhammad Syafi’i Antonio, dan lainnya. Puncak dari
perjuangan dalam mewacanakan ekonomi syariah ditandai
dengan didirikannya lembaga keuangan syariah pertama pada
tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) berkat
prakarsa MUI, ICMI, dan pemerintah Orde Baru.12
Dari penjelasan singkat tersebut, terdapat empat nama yang disebut M.
Arfin Hamid secara lugas sebagai para tokoh yang terlibat dalam perjuangan
ekonomi Islam pada masa masih menjadi wacana, yakni A.M. Saefuddin, Karnaen
A. Perwataatmadja, M. Amin Aziz, dan Muhammad Syafi’i Antonio, yang akan
diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
Menelusuri Jejak Perjalanan Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia
Meminjam pendapat Zainal Abidin Ahmad13, bahwa ekonomi Islam dalam
bahasa Arab dinamakan mu'amalah maddiyah, yakni aturan-aturan tentang
pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Atau lebih
tepat dinamakan Iqtishad, yaitu mengatur soal-soal penghidupan manusia
dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.
Dari pendekatan definisi ekonomi Islam menurut pemikir ekonomi Islam
Indonesia angkatan 1945-an tersebut dapat dinyatakan bahwa ekonomi Islam
yang berkembang di tanah air lebih mengarah pada pengertian tentang
seperangkat aturan hubungan manusia dengan sesama dalam memenuhi hajat
hidupnya yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini diperkuat data dan
fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah
muslim. Oleh karena itu, ekonomi yang dijalankan pun semestinya Islami.
Namun, untuk mencapai maksud dari uraian di atas, ternyata tidak
semudah yang dibayangkan. Perlu menempuh perjalanan panjang. Secara
historis, perjalanan ekonomi Islam di Indonesia melewati beberapa fase, yaitu:
1. Fase Pertama (Masa Kesultanan Islam, 700-1900 M)
12
M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, Perspektif Sosioyuridis, (Jakarta: elSAS,
2008), hlm. 313.
13
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 30.
5. 5
Sebagaimana disinggung di awal, jelas ekonomi Islam dengan Islam itu
sendiri tidak bisa dipisahkan. Maka, merunut jejak pertama Islam masuk ke
nusantara adalah hal yang tepat dilakukan guna menelusuri jejak ekonomi
Islam.
Buku Kunci Tarikh Islam karya Fachroeddin Alkhahiri yang terbit di
Bandung medio Desember 1938, adalah salah satu literatur yang dapat
menjadi pegangan dalam penelusuran tersebut. Disebutkan dalam buku
tersebut bahwa Islam telah masuk ke Aceh pada sekitar tahun 1000 masehi,
dan diyakini Islam telah ada di tanah Jawa pada sekitar tahun 1050 masehi.14
Namun pendapat di atas disanggah oleh Ahmad Mansur Suryanegara yang
meyakini bahwa masuknya Islam ke Indonesia bukan pada abad ke-13 masehi,
atau 10 masehi. Ia meneruskan pendapat Abdullah bin Nuh, bahwa kuat
dugaan datangnya Islam ke Asia Tenggara jauh lebih lama dari perkiraan tadi,
sebab hubungan perdagangan atau perniagaan antara Indonesia dan
sekitarnya, dengan negeri Arab atau bangsa Arab, merupakan suatu jalinan
hubungan sejarah yang telah terbentuk berabad-abad, jauh sebelum lahirnya
Nabi Muhammad.15
Lebih lanjut Suryanegara menegaskan:
Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawa oleh para
wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari
tarikh hijriah atau abad ke-7 M. Hal ini menjadi lebih kuat,
menurut T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam, sejarah
da'wah Islam pada abad ke-2 H perdagangan dengan Sailan dan
Srilangka sudah seluruhnya di tangan bangsa Arab. Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi
dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.16
Kembali ke masalah waktu masuknya dan perkembangan Islam di
nusantara, catatan sejarah menyatakan Kesultanan Leran di Gresik Jawa
Timur didirikan pada sekitar 1100 M dan Samodra Pasai di Sumatera didirikan
pada 1275 M. Islam diperkenalkan oleh para niagawan muslim pada saat
melakukan transaksi niaga di pasar.17 Tentu saja, da'wah Islam diyakini
menjadi poros utama dalam penetrasi yang dilakukan oleh para niagawan
muslim dari jazirah Arab.
Pada fase ini perkembangan gerakan ekonomi Islam berlangsung secara
estafet yang didukung oleh kehadiran kesultanan-kesultanan Islam secara
politis di seluruh nusantara. Bukti kuat ekonomi Islam pada masa kesultanan
tersebut adalah mata uang emas yang berlaku saat itu. Bahkan, keberadaan
mata uang dinar ini tidak hanya di Samodra Pasai, tetapi juga di Aceh, Banten,
Cirebon, Banjarmasin, dan Gowa-Makassar.18 Fase ini berlangsung hingga
14
Fachroeddin Alkhahiri, Kunci Tarikh Islam, dalam: Risalah Politik A. Hassan, Tiar Anwar Bachtiar (ed.),
(Jakarta: Pembela Islam Media, 2013), hlm. 225.
15
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 2.
16
Ibid, hlm. 2-3. Lihat juga Abdul Qadir Djaelani, Peran dan Kontribusi Umat Islam Kepada NKRI,
(Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Munawarah, 2013), hlm. 71-73.
17
Ibid, hlm. 115.
18
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), hlm. 319.
6. 6
penjajah Belanda menghapus kesultanan Islam satu per satu dan perjalanan
waktu mendekati awal abad ke-19.
2. Fase Kedua (Masa Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia, 1900-1945)
Hari kebangkitan Nasional (Harkitnas) boleh saja ditetapkan tanggal 20
Mei, yang diambil dari hari lahirnya Boedi Oetomo. Tetapi catatan sejarah
tidak dapat dibohongi apabila ternyata organisasi yang lebih dahulu lahir tiga
tahun sebelum BU adalah Sarekat Dagang Islam.19 Organisasi yang lahir pada
16 Oktober 1905 ini bukan hanya menjadi pelopor kebangkitan kesadaran
nasionalisme, melainkan juga menjadi pelopor gerakan ekonomi Islam pada
fase kedua.
Sebagaimana diketahui, Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang
dirintis oleh Haji Samanhudi ini pada awalnya hanya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam. Dengan tujuan awal untuk menghimpun para
pedagang pribumi muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing
dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-
pedagang keturunan Tionghoa telah lebih maju usahanya dan memiliki hak
dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya.
Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut
kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di
antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.20
Perkumpulan ini akhirnya berkembang pesat hingga menjadi
perkumpulan yang berpengaruh. Hingga H.O.S. Tjokroaminoto kemudian
terpilih menjadi orang nomor satu di SDI dan mengubah namanya menjadi
Sarekat Islam (SI) pada 1912. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya
bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai
berikut:
a. Mengembangkan jiwa dagang.
b. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
c. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya
derajat rakyat.
d. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
e. Hidup menurut perintah agama.21
Pada masa tersebut, setelah SDI berdiri pada 1905, berturut-turut
lahirlah persyarikatan (organisasi) Islam yang ikut mewarnai gerakan ekonomi
Islam pada masa kedua ini. Sebut saja di antaranya Muhammadiyah yang
berdiri tanggal 18 November 1912, Persatuan Islam yang berdiri tanggal 12
September 1923, dan Nahdlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari
1926.22 Seluruh organisasi Islam tersebut terus bertahan hidup dan
memberikan kontribusi yang besar dalam memperjuangkan Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
3. Fase Ketiga (Masa Kelahiran Pemikir Ekonomi Islam Indonesia, 1945-1975)
Pasca 1945 merupakan fase penting titik tolak perkembangan gerakan
ekonomi Islam di masa modern. Pada fase ini umat mengenal tokoh-tokoh
19
Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 337.
20
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, "Sarekat Islam", <http://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam>, diakses
tanggal 07-01-2014.
21
Ibid
22
Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 337.
7. 7
besar bangsa kaliber Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, dan
Kasman Singodimedjo.
Para tokoh yang dikenal sebagai ekonom muslim tersebut pada masa itu
tengah berada di tengah-tengah pusaran diskursus mengenai pemikiran sistem
keuangan dan perbankan. Menurut Dawam Rahardjo (dalam Adiwarman A.
Karim: 2010: xv), ketika itu terdapat dua aliran pemikiran. Aliran yang
pertama berpendapat bahwa bunga bank itu tidak tergolong riba, sebab yang
disebut riba adalah pembungaan uang oleh mindering (pembungaan uang yang
dilakukan masyarakat tanpa izin dan menuruti undang-undang) yang bunganya
sangat tinggi. Hal yang lazim dilakukan oleh "lintah darat".23
Demikian pula dengan Bung Hatta yang berpendapat bahwa yang disebut
riba adalah bunga pada kredit konsumtif, bukan pada kredit produktif, sebab
uangnya bermanfaat untuk mendapatkan keuntungan. Penghalalan bunga
bank tersebut didukung pula oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Kasman
Singodimedjo. Aliran pertama ini disebut Dawam Rahardjo sebagai aliran
liberal.24
Pemikiran ekonomi Islam Sjafruddin Prawiranegara yang menimbulkan
kontroversial ini di kemudian hari dikumpulkan oleh A.M. Fatwa dan Ajip
Rosidi (sebagai editor) serta menjadi buku dengan judul Hakikat Ekonomi
Islam, Apakah Bunga Bank Riba?25
Sementara aliran yang kedua berpendapat bahwa bunga bank tetap riba.
Golongan inilah yang pada fase selanjutnya mewariskan perjuangan berupa
upaya melahirkan bank Islam dengan sekuat tenaga. Dalam pandangan aliran
kedua ini bank sebagai lembaga keuangan tidak dilarang, bahkan diperlukan.
Oleh karena itu, yang harus diciptakan adalah sebuah bank yang tidak bekerja
atas dasar bunga melainkan atas dasar bagi hasil, yang dalam fiqh muamalah
dikenal sebagai transaksi qirad atau mudharabah. Aliran kedua ini menurut
Dawam Rahardjo dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran fundamentalis.26
Selain berlangsung perdebatan mengenai masalah bunga bank tersebut,
pada fase ini juga telah terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1950 sebuah
literatur yang ditulis oleh Zainal Abidin Ahmad dengan judul Dasar-Dasar
Ekonomi Islam, yang dicetak ulang pada tahun 1979.27 Disusul terbitnya buku
ekonomi ”Bersamaisme” yang ditulis Kaharuddin Junus, yang terbit pada akhir
1950-an atau awal 1960-an28, yang merupakan disertasi penulisnya di
Universitas Kairo Mesir tentang sistem ekonomi Islam yang menyerupai konsep
koperasi seperti yang kita kenal sekarang.
Bisa dikatakan, pada fase ini titik tolak perkembangan pemikiran
ekonomi Islam di tanah air baru dimulai. Namun mengalami kelambanan
karena konstelasi politik Orde Lama yang tidak memberikan ruang bebas bagi
Islam dan umatnya untuk lebih banyak mengelaborasi konsep ekonomi yang
dimilikinya. Begitu pun pada sekitar dekade awal Orde Baru berkuasa.
23
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 4, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010), hlm. xv.
24
Ibid
25
Diterbitkan oleh Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, 2011, dalam rangka
memperingati Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011).
26
Karim, Bank Islam, hlm. xv.
27
Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
28
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Intrepretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 538.
8. 8
4. Fase Keempat (Masa Perintisan dan Pembangunan Ekonomi Islam
Indonesia, 1975-1992)
Keberhasilan Pada fase keempat dan kelima menurut Penulis tidak bisa
dipisahkan dari peran besar seorang bapak bangsa sekaligus ulama besar
Indonesia (bahkan dunia), yakni Allahyarham Mohammad Natsir. Betapa tidak,
dari kepiawaiannya menyeleksi orang yang tepat mengemban amanah dalam
masa perintisan dan pembangunan ekonomi Islam lahirlah cita-cita gerakan
ekonomi Islam yang sementara ini baru berwujud lembaga keuangan dan non
keuangan syariah.
Masyarakat Indonesia mengenal kiprah M. Natsir di dalam negeri yang
begitu banyak menghiasi sejarah. Tak terkecuali di dunia internasional. Ia
pernah menjabat sebagai anggota Majlis Ta’sisi Rabithah al-Alam al-Islami
yang berkedudukan di Arab Saudi; dan sampai akhir hayatnya memegang
jabatan sebagai Wakil Presiden Mu’tamar al-Alam al-Islami yang
berkedudukan di Pakistan; pernah menjabat anggota pendiri Dewan Masjid
Sedunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah; anggota Dewan Pendiri The
Oxford Center for Islamic Studies, London, pada tahun 1987; hingga pernah
diusulkan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI),
namun tidak disetujui oleh Pemerintah RI.29 Dalam kaitan dengan
perkembangan gerakan ekonomi Islam di fase yang keempat ini, M. Natsir
menjadi 'orang di belakang layar' yang mampu memberikan arahan dan
kemudahan bagi para pejuangnya.
Perjuangan pada fase ini dimulai sejak M. Natsir memanggil Ahmad
Muflih Saefuddin guna menghadapnya di Kantor Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia Pusat di Jakarta, pada sekitar 1975. A.M. Saefuddin ditugasi M.
Natsir untuk mewakili Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) menghadiri
The First International Conference on Islamic Economics di Mekkah (Arab
Saudi) atas prakarsa Raja Faisal bin Abdul Aziz yang sedianya akan dihelat
tahun tersebut. Namun karena terjadi kasus pembunuhan terhadap Raja
Faisal oleh keponakannya sendiri, konferensi tersebut baru terlaksana pada
tahun berikutnya, 1976, dan dipersembahkan oleh King Abdul Aziz
University.30
A.M. Saefuddin yang saat itu baru berusia 35 tahun, diamanahi untuk
memimpin delegasi muslim Indonesia. Meskipun instruksi tersebut bukan
berasal dari pemerintah RI, namun pada hakikatnya ia telah dipilih mewakili
seluruh muslim Indonesia bersama beberapa aktivis Islam saat itu, yakni
Azhari Zahri (almarhum); M. Arsjad Anwar; Bakir Hasan (almarhum); Ismail
Sunny (almarhum)31; dan Nursal.32
Dari enam orang tersebut, empat orang berangkat bersama dari tanah
air, yakni A.M. Saefuddin; M. Arsjad Anwar; Bakir Hasan; dan Nursal. Disusul
oleh Ismail Sunny. Sementara Azhari Zahri berangkat dari Singapura.33
29
M. Fuad Nasar, "Refleksi Seabad Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir",
<http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12637>, diakses tanggal 18-12-2013.
30
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin di kediamannya, Ahad (28/04/2013).
31
Lihat Buku Orasi Ilmiah Pengukuhan A.M. Saefuddin sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Pemasaran
Pertanian, "Pasar Ekspor Hasil Pertanian Indonesia Era Liberalisasi Perdagangan", (Bogor: Universitas Djuanda,
2000), hlm. 39.
32
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar di kediamannya, Sabtu (30/11/2013).
33
Ibid
9. 9
Menyusul kemudian Deliar Noer (almarhum) yang berangkat dari Australia34,
dan Halide, yang menurut pengakuannya terlambat datang pada acara
tersebut, mewakili aktivis Islam Indonesia bagian Timur.35
Setelah mendapatkan undangan, beberapa anggota tim yang berada di
Jakarta menemui M. Natsir untuk mendapatkan pengarahan.36 Tentu saja
orang-orang yang mendapatkan undangan atau tugas dari M. Natsir tersebut
merupakan orang pilihan dan bukan orang sembarangan. Setidaknya dilihat
dari aktivitas atau kedudukan mereka saat itu, yakni:
a. Azhari Zahri37, pada 1976 pendidikannya masih lulusan Magister Ekonomi
Perencanaan dari Indiana Universiy, Amerika Serikat.38 Penulis buku
"Perentjanaan Pembangunan Ekonomi" penerbit Pembangunan, Jakarta,
tahun 1966.39 Ia mewakili institusi atau kampus swasta di Indonesia.40
b. M. Arsjad Anwar, kala itu ialah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.41 Ia bersama Bakir Hasan mendapatkan undangan untuk
mengikuti konferensi ekonomi Islam internasional tersebut langsung dari
panitia penyelenggara melalui departemen ilmu ekonomi di fakultas
tempat mereka berdua mengajar.42 Sekitar tahun 1976 ia menjabat sebagai
Wakil Direktur Penelitian LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pendidikannya saat itu baru MBA (Master of Business Administration)
bidang Operation Research dari University of California Berkeley,
California, Amerika Serikat.43
c. Bakir Hasan44, saat itu ialah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, peraih gelar MBA dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat.
Kelak di kemudian hari ia dikenal publik saat menjabat sebagai Pemimpin
Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara pada tahun 1985.45
d. Nursal, pada 1976 dikenal sebagai aktivis Islam mantan Ketua PB HMI
periode 1960-1963.46 Ia adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.47
34
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin.
35
Hasil wawancara dengan Halide di Kantor Bank Sulselbar Syariah, Selasa (24/09/2013).
36
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
37
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin.
38
Pustaka Karya Ilmiah Indonesia,
<http://pustaka2.ristek.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byGroup/institution_all/241840/194870>, diakses
tanggal 18-12-2013.
39
UPT Perpustakaan Universitas Jember, <http://library.unej.ac.id/client/en_US/default/search/>, diakses
tanggal 18-12-2013.
40
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
41
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin.
42
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
43
Direktori Guru Besar, "Prof. Dr. Mohammad Arsjad Anwar,
Setiap Jabatan adalah Amanah", <http://www.ui.ac.id/id/directories/professor/archive/16>, diakses tanggal 17-
10-2013.
44
Lihat Buku Orasi Ilmiah Pengukuhan A.M. Saefuddin, hlm. 39.
45
Biografi, "Mantan Pemimpin Umum Antara", <http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-
ensiklopedi/856-mantan-pemimpin-umum-antara>, diakses tanggal 18-12-2013.
46
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, "Himpunan Mahasiswa Islam",
<http://id.wikipedia.org/wiki/Himpunan_Mahasiswa_Islam>, diakses tanggal 17-12-2013.
47
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
10. 10
e. Ismail Sunny, adalah Profesor/Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.48 Sekitar 1976 ia merupakan tokoh Muhammadiyah49, dan
menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.50
f. Deliar Noer, aktivis Islam mantan Ketua PB HMI periode 1953-1955.51
Doktor (Ph.D) ilmu politik pertama di Indonesia dari Cornell University,
Amerika Serikat52, sekitar tahun 1976 sedang berada di Australia.53 Ia
menjadi peneliti di Universitas Nasional Australia.54
g. Halide, saat itu adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin –
Makassar, Sulawesi Selatan. Dikenal sebagai aktivis Islam Indonesia
Timur.55
h. A.M. Saefuddin, sekitar 1976 adalah dosen IPB dan Universitas Ibn Khaldun
Bogor, doktor ekonomi pangan dari Universitas Justus Liebig Jerman, serta
dikenal sebagai aktivis Islam Bogor.
Perhelatan akbar konferensi ekonomi Islam internasional perdana
tersebut digelar tepatnya pada tanggal 21-26 Februari 1976 bertepatan
dengan 21-26 Safar 1396 H.56
Sekitar seminggu AM. Saefuddin beserta rekan-rekannya berada di Arab
Saudi. Dihadiri sekitar 400 orang peserta, 200 orang di antaranya adalah
kalangan cendekiawan muslim dari seluruh dunia, dan 200 orang lagi berasal
dari para ulama syariah dari seluruh dunia pula.57 Meskipun panitia dan acara
terkesan belum profesional, namun konferensi pertama tersebut berjalan
dengan lancar.58 Dalam kesempatan tersebut, A.M. Saefuddin berkesempatan
menyampaikan makalahnya yang berjudul "Community Development in
Islamic Framework".59
Di sana A.M. Saefuddin bertemu langsung dengan para pemikir ekonomi
Islam internasional seperti Khurshid Ahmad60, M. Umer Chapra61, dan
Muhammad Nejatullah Siddiqi.62
48
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, "Ismail Suny", <http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Suny>, diakses
tanggal 17-12-2013.
49
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
50
Wikipedia, <http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Suny>.
51
Wikipedia, <http://id.wikipedia.org/wiki/Himpunan_Mahasiswa_Islam>.
52
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, "Deliar Noer", <http://id.wikipedia.org/wiki/Deliar_Noer>, diakses
tanggal 18-12-2013.
53
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin.
54
Wikipedia, <http://id.wikipedia.org/wiki/Deliar_Noer>.
55
Hasil wawancara dengan Halide. Lihat juga Iton, "Kapitalisme Tidak Mampu Menemukan Solusi
Ekonomi", <http://mediaumat.com/news-dalam-negeri/4952-kapitalisme-tidak-mampu-menemukan-solusi-
ekonomi.html>, diakses tanggal 18-12-2013.
56
Lihat Conference Papers "The 7th
International Conference in Islamic Economics",
<http://www.kau.edu.sa/Files/121/Researches/55887_26201.pdf>, diakses tanggal 18-12-2013.
57
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin dan M. Arsjad Anwar.
58
Hasil wawancara dengan M. Arsjad Anwar.
59
Lihat Buku Orasi Ilmiah Pengukuhan A.M. Saefuddin, hlm. 34.
60
Institute of Policy Studies, Islamabad, "Complete Profile Prof. Khurshid Ahmad",
<http://www.ips.org.pk/archives-of-policy-prespectives/1200.html>, diakses tanggal 18-12-2013.
61
IBF Net, "M. Umer Chapra's Online Works on Islamic Economics and Finance", <http://iiibf.org/elief-
chapra.html>, diakses tanggal 18-12-2013.
62
Abdul Azim Islahi, "Professor Emeritus – Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi",
<http://aligarhmovement.com/aligarians/Muhammad_Nejatullah_Siddiqi>, diakses tanggal 18-12-2013.
11. 11
Setelah konferensi selesai, para peserta, tak terkecuali dari Indonesia,
berkesempatan menikmati fasilitas umrah gratis di Mekkah dan Madinah dari
pantia penyelenggara.63
Sepulangnya dari konferensi, A.M. Saefuddin mengajak rekan setimnya
untuk menggaungkan ekonomi Islam di Indonesia, setidaknya mulai merintis
penyebaran pemikiran ekonomi Islam dan juga melembagakan keuangan
ekonomi Islam. Sebab saat itu, tahun 1974 sudah berdiri bank Islam pertama
di dunia (Islamic Development Bank) di Arab Saudi, sebagai implementasi
keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1972. Kebetulan Indonesia
merupakan salah satu anggota OKI yang gigih memimpin rapat-rapat OKI,
dengan salah satu agenda besarnya yakni mendirikan Bank Islam. Saat itu
delegasi Indonesia diwakili oleh Menteri Keuangan era Soeharto, Ali
Wardhana. Sayang, ajakannya untuk memperjuangkan penerapan ekonomi
Islam di Indonesia tidak direspon oleh rekan setimnya. A.M. Saefuddin ber-
husnuzhan alasan mereka disebabkan mungkin oleh kesibukan, minat kurang,
tidak ada yang merangsang, atau pertimbangan politik yang sedang terjadi
saat itu dikenal dengan istilah 'monoloyalitas' (hanya loyal pada
Golkar/pemerintah). Namun ia tidak patah semangat. Ia terus bergerak,
mengajak teman-temannya yang lain yang berminat pada ekonomi Islam.64
Dalam beberapa kesempatan, ia kerap pula menyindir sikap rekan
setimnya tersebut dengan istilah 'sakit gigi' karena tidak mau bersuara
terhadap hal-hal yang berbau Islam.65 Maka, tidak mengherankan bila dalam
kancah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia nama-nama tokoh yang
disebutkan di atas tidak dikenal kiprahnya, selain A.M. Saefuddin yang diikuti
berikutnya oleh Halide di wilayah Timur Indonesia.
Pasca kepulangannya dari konferensi tersebut, A.M. Saefuddin mengaku
semakin serius mempelajari ekonomi Islam. Ia bersyukur melalui acara
tersebut ia tersadarkan bahwa ternyata dalam Islam ada juga ekonomi. Ia
menyadari selama ini ekonomi yang dipelajarinya di Indonesia dan Jerman itu
salah. Keyakinannya semakin kuat tatkala mempelajari pula buku-buku karya
Naquib Al-Attas dan Ismail Faruqi tentang kebudayaan Islam, pendidikan
Islam, dan Islamization of Knowledge.66
Semangatnya untuk menggaungkan ekonomi Islam mulai diterapkan
pertama kali dalam perkuliahan yang diampunya di IPB. Adiwarman Azwar
Karim67 mencatat, pada tahun 1983 saat ia masih menjadi mahasiswa Fakultas
Ekonomi Pertanian IPB, A.M. Saefuddin memperkenalkan gagasan ekonomi
Islam ke hadapan mahasiswanya dalam forum kuliah formal, melalui buku
baru yang ia tulis berjudul "Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam" seharga Rp 500,
yang isinya benar-benar nilai-nilai dasar tentang ekonomi Islam. Padahal
seharusnya dua kali kesempatan mengajar (di pembukaan dan penutupan
semester) itu A.M. Saefuddin gunakan untuk mengajar mata kuliah
63
Lihat Buku Orasi Ilmiah Pengukuhan A.M. Saefuddin, hlm. 39. dan Hasil wawancara dengan M. Arsjad
Anwar.
64
Hasil wawancara dengan A.M. Saefuddin.
65
Disampaikan A.M. Saefuddin dalam Seminar "Desekularisasi Demokrasi" di Universitas Ibn Khaldun
Bogor, Selasa (26/11/2013).
66
Ahmad Damanik, Dwi Budiman, dan Ibnu Syafaat, "Penyegaran Islamisasi Sains dan Kampus", (Majalah
Suara Hidayatullah, Desember 2010/Dzulhijjah 1431), hlm. 36.
67
A.M. Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, dalam: Ahmadie Thaha, Risdiono Mukri, dan Tata
Septayuda (ed.), (Jakarta: PPA Consultants, 2010), hlm. 347.
12. 12
Manajemen Pemasaran. Hal itulah yang kemudian menjadi inspirasi sekaligus
motivasi bagi Adiwarman Karim untuk menjadi tokoh ekonomi syariah di
kemudian hari.
Lembaga studi ekonomi Islam yang pertama kali didirikan di tanah air
pada saat itu bisa dikatakan masih sedikit. Salah satunya adalah Pusat Studi
Ekonomi Islam yang didirikan A.M. Saefuddin di Universitas Ibn Khaldun
Bogor.68 Dari lembaga inilah A.M. Saefuddin mulai menyebarkan ide tentang
ekonomi Islam, baik secara konsepsi maupun aksi. Di antara aksi yang pernah
digagasnya bersama Adi Sasono adalah Koperasi Ridho Gusti di Jakarta dan
Baitul Mal Salman ITB (1988). Meskipun pada akhirnya gagal.
Di saat yang bersamaan pergerakan ekonomi Islam Indonesia juga tidak
bisa dipisahkan dari peran seorang birokrat Departemen Keuangan pada masa
itu. Ia adalah Karnaen A. Perwataatmadja. Pernah menjabat dua kali sebagai
Executive Director Islamic Development Bank (IDB) untuk Indonesia. Berkat
jasanya membidani kelahiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) ia diberi gelar
"Bapak Bank Syariah Indonesia". Suka-duka dan sekelumit kisah di balik
pendirian bank syariah pertama di Indonesia yang tak lepas dari peran Karnaen
tersebut kemudian dibukukan oleh Chandra Ismail dkk. dengan judul Bank
Syariah Setelah Dua Dekade, Antara Cita dan Fakta yang berisi pula pemikiran
serta biografi Karnaen.69
5. Fase Kelima (Masa Kelahiran dan Pertumbuhan Bank Syariah dan Lembaga
Pendidikan Ekonomi Islam, 1992-sekarang)
Setelah melalui kajian yang cukup panjang, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, Bogor. Hasil lokakarya tersebut ditindaklanjuti dengan
diadakannya Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada tanggal 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuklah kelompok
kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Bank Muamalat berdiri pada 1 November 1991 dan mulai beroperasi pada
1 Mei 1992. Pada tahun 1998 peraturan tentang operasional bank syariah
sudah semakin baik. Bank konvensional diperbolehkan untuk membuka bank
syariah. Oleh karena itu, pada 1999 mulai berdiri Bank Syariah Mandiri (BSM)
dan Unit Usaha Syariah (UUS) Bank IFI (Bank IFI Syariah). Pasca 1999, disusul
berdirinya bank-bank syariah lain sehingga sampai saat ini tidak kurang dari
37 bank syariah. Termasuk Bank Perkereditan Rakyat Syariah (BPRS) dan
Baitul Mal Wat-Tamwil (BMT) yang sangat pesat tumbuhnya. Begitu juga
dalam aspek asuransi syariah di Indonesia dimulai sejak tahun 1994, serta
lembaga-lembaga keuangan syariah non bank lainnya.
Dalam fase ini, yang menggembirakan adalah saat pemerintah dengan
mantap mendukung pergerakan ekonomi Islam di tanah air yang ditandai
dengan pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) oleh Presiden SBY pada
17 November 2013 lalu di Lapangan Monas Jakarta.
Khatimah
Gerakan ekonomi Islam sejatinya adalah upaya membentuk sistem ekonomi
Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh
68
Lihat Buku Panduan Dies Natalies XXI dan Pelantikan Sarjana Tahun 1982 Universitas Ibn Khaldun
Bogor, hlm. 8.
69
Penerbit Duta Pustaka Indonesia, Jakarta, 2013.
13. 13
Umer Chapra dalam The Future of Economics. Harapannya, dengan melakukan
ikhtisar kembali terhadap gerakan ekonomi Islam di Indonesia dapat ditemukan
ibrah (pelajaran berharga) yang berguna sebagai cerminan untuk menatap masa
depan. Sekaligus solusi dan perencanaan matang pergerakan selanjutnya. Fase
tersebut belum dapat diukur masih panjang atau sudah dekat, tergantung
kemauan serta keseriusan seluruh elemen masyarakat muslim dan
pemerintahnya.
Gerakan ekonomi Islam yang telah diilhami oleh Sarekat Dagang Islam 1905
semoga dapat menginspirasi manusia muslim Indonesia yang hidup di abad 21
ini, bahwa dari pergerakan ekonomi Islam ternyata mampu membawa perubahan
yang signifikan terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, apa yang sudah dipersiapkan dan dilakukan hari ini untuk
melanjutkan ke fase pergerakan ekonomi Islam selanjutnya?
Wallahu a'lamu bi ash-shawaab. [ ]