5. v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur dipanjatkan
kehadirat Allah SWT, atas segala berkah dan inayah-Nya,
sehingga penulisan diktat ini dapat diselesaikan. Shalawat
dan Salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang telah menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran
bagi ummat manusia.
Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan
kepada Bapak Prof. Dr. Jamaluddin, S.H.,M.Hum, selaku
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh yang
telah memberi dukungan. tak lupa ucapkan terima kasih
kepada Bapak dan Ibu dosen yang berkenaan dengan
diktat ini.
Terima kasih diucapkan kepada keluarga, Istri
dan anak yang telah memberi dukungan. Kiranya Allah
SWT memberikan ganjaran yang berlimpah atas segala
pengorbanan ini. Amin.
Bahwa diktat ini masih jauh dari sempurna untuk
itu, saya sangat berterima kasih jika pembaca mau
memberikan masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan diktat ini.
.
Lhokseumawe, Agustus 2015
Penyusun
Hamdani, S.Ag.,M.A.
Jumadiah,S.H.,M.H
6. vi
KATA SAMBUTAN DEKAN
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya, di muka
bumi ini, baik dalam bidang ibadah maupun dalam
bidang mu’amalah, sehingga Diktat Hukum Ekonomi
Islam dapat selesai disusun oleh Bapak Hamdani,
S.Ag.,MA dan Bapak Jumadiah, S.H.,M.H. Kiranya dengan
Lahirnya diktat ini akan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hokum, khususnya bidang ekonomi
Islam.
Walaupun diktat ini, hanya untuk kalangan
sendiri pada saat ini, namun saya berharap dikemudian
hari akan ditingkatkan menjadi sebuah buku, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan baik kalangan
akademisi, praktisi dan masyarakat.
Kepada Bapak saya ucapkan selamat dan terus
berkarya dalam menjalankan misi perguruan tinggi.
Wassalam.
Blang Pulo, Agustus 2012
Dekan,
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H.,M.Hum
7. vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
KATA SAMBUTAN DEKAN
DAFTAR ISI
TAKARIR
BAB I EKONOMI ISLAM SECARA UMUM .............1
A. Pengertian Ekonomi Islam.................1
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam..............2
C. Ciri-Ciri Ekonomi Islam...................12
D. Sumber-Sumber Ekonomi Islam................12
BAB II HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM ISLAM..15
A. Harta..........................15
B. Kepemilikan............................18
BAB III PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM................22
A. Faktor Produksi................................22
B. Tiang-Tiang Pembentukan Ekonomi Islam..23
C. Mengakui Adanya Hak Milik....................26
D. Tunduk di bawah Kesejahteraan Sosial...27
E. Beriman Kepada Allah.................27
F. Rancang Bangun Ekonomi Islam ................28
G. Tujuan Ekonomi Islam .........................35
BAB IV RIBA .........................42
A. Pengertian Riba...........................42
B. Jenis Riba.............................43
C. Hukum Riba......................45
D. Pengaruh yang Ditimbulkan Oleh Riba....48
BAB V MANAJEMEN ISLAM.......................50
A. Pendahuluan........................50
B. Manajemen Dalam Pandangan Islam.......51
8. viii
C. Urgensi Manajemen Dalam Islam...........61
BAB VI ZAKAT ..........................64
A. Pengertian Zakat.......................64
B. Jenis-jenis Zakat.............66
C. Orang yang Berhak Menerima Zakat.........72
BAB VII LEMBAGA PEMBIAYAAN..............74
A. Modal Ventura.............74
B. Sewa Guna Usaha (Leasing)..............75
C. Anjak Piutang (Factoring).............80
D. Kartu Kredit..............82
BAB VIII LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON
BANK.....................................86
A. Keunggulan Produk Bank Syari’ah..........86
B. Bagaimana Menabung Uang di Bank Syari’ah
..............89
C. Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan
..................92
D. Menghitung Bagi Hasil Investasi di Bank
Syari’ah .....................92
E. Produk Bagi Hasil & Aplikasinya dalam
Perbankan Syari’ah..................96
F. Asuransi..................102
DAFTAR ISI
9. ix
TAKARIR
Tadlis, tadlis adalah sebuah situasi di mana salah
satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain
(unknown to one party) dengan maksud untuk menipu
pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi
tersebut.
Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana
produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply
(penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik.
Bai’ Najasy. Bai’ najasy adalah sebuah situasi di
mana konsumen/pembeli menciptakan demand
(permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan
terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu
akan naik.
Taghrir. Taghrir adalah situasi di mana terjadi
incomplete information karena adanya ketidakpastian
dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Riba. Riba adalah tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang
maupun jual beli.
11. 1
BAB I
EKONOMI ISLAM SECARA UMUM
A. Pengertian Ekonomi Islam
Definisi ekonomi Islam adalah mazhab ekonomi
Islam yang di dalamnya terjelma cara Islam mengatur
kehidupan perekonomian dengan apa yang dimiliki dan
ditujukan oleh mazhab ini, yaitu tentang ketelitian cara
berpikir yang terdiri dari nilai-nilai moral Islam dan
nilai-nilai ilmu ekonomi atau nilai-nilai sejarah.
Prof. DR. H. Hailani Muji Thahir mengatakan bahwa
ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari
tentang tingkah laku atau gelagat manusia dalam
mengurus dan menggunakan sumberdaya alam dengan
tujuan untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain
dengan mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Sebagian lain berpendapat bahwa ekonomi Islam
merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi
yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah dan
merupakan bangunan perekonomian atas dasar-dasar
tersebut dan masanya.
12. 2
Menurut Prof. Dr.Muhammad Abdullah Al-Arabi.’alaihi
Rahmatullah. Keistimewaan dari ekonomi Islam adalah
mempunyai definisi yang jelas bahwa ekonomi Islam
terdiri dari dua bagian.
Tetap dan
Berubah-ubah
Pertama, sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang
disimpulkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya
Allah berfirman:”Dialah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu” (Q.S.Al-Baqarah: 29).
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Konstribusi pemikiran Muslimin yang sangat
besar pengaruhnya terhadap kelangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan
peradaban dunia umumnya, telah diabaikan oleh para
ilmuan Barat. Buku-buku teks ekonomi barat hampir
tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin.
Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak
di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan
secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun
barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak
memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi
peradabab lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi
dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan
Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai
contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph
Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum
Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonomninya
dari para filosof Yunani dan langsung melakukan
13. 3
loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The
Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Meski telah memberikan kontribusi besar, kaum
muslimin tetap mengakui utang mereka kepada para
ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini
mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan muslim
masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Konsep
dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya
merupakan respon para cendekiawan Muslim terhadap
berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini berarti bahwa pemikiran ekonomi
Islam seusia Islam itu sendiri.
Praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung
masa Rasulullah Saw dan al-Khulafaur al-Rasyidin
merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi
para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori
ekonomi. Fokus perhatian mereka adalah pemenuhan
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan
kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang
menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam.
Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi
Islam dalam tiga (3) fase, yaitu sebagai berikut :
1. Fase dasar –dasar ekonomi Islam
2. Fase kemajuan
3. Fase stagnasi
Ad 1.Fase Pertama
Abad awal sampai dengan abad ke-5 hijriyah
(abad 11 M) dikenal sebagai fase dasar-dasar
ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha, diikuti
oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Fokus fiqih
14. 4
adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan dalam
kontek ini para fukaha mendiskusikan fenomena
ekonomi. Tujuannya tidak terbatas pada
penggambaran dan penjelasan fenomena ini dengan
mengacu pada Alquran dan hadits nabi, mereka
mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan
mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas
ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa
manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian
bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama, dan
pemaparan ekonomi ini mayoritas bersifat normatif
dengan wawasan positif ketika berbicara prilaku
yang adil, kebijakan dan batasan-batasan yang
diperbolehkan dalam kaitannya dengan
permasalahan dunia.
Kontribusi ulama tasawuf terhadap
pemikiran ekonomi adalah mendorong kemitraan
yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam
memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah
SWT. menolak penempatan tuntutan kekayaan
dunia yang terlalu tinggi.
Dalam perkembangannya lahir tokoh pemikir
ekonomi Islam pada fase pertama antara lain :
1. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Beliau adalah seorang fukaha dan pedagang
di kota Kufah, saat itu merupakan pusat aktivitas
perdagangan yang maju. Salah satu transaksi yang
sangat populer adalah salam, yaitu menjual barang
yang akan dikirimkan kemudian dan pembayaran
dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati.
Ia meragukan keabsahan akad tersebut, untuk
15. 5
menghilangkan perselisihan beliau merinci lebih
khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan
dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi,
mutu dan kualitas serta waktu dan tempat
pengiriman.
Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah
menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam
masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu
tujuan syariah dalam hubungannya dengan jual beli.
Dan kebijakan beliau yang lain adalah tidak akan
membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan
namun sebaliknya membebaskan pemilik harta yang
dillilit utang dan tidak sanggup menebusnya dari
membayar zakat. Serta tidak memperkenankan
pembagian hasil panen (muzara’ah) dalam kasus
tanah yang tidak menghasilkan apa pun.
2. Abu yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab
penguasa merupakan faktor utama pemikiran
ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Faktor
ini yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang
yang dikirimnya kepada Penguasa Dinasti
Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid. Dikemudian
hari, surat yang mambahas tentang pertanian dan
perpajakan tersebut terkenal sebagai Kitab al-
Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara
mengambil bagian dari hasil pertanian para
penggarap, dari pada menarik sewa lahan pertanian.
Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan
tampaknya akan memberikan hasil produksi yang
16. 6
lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam
memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, beliau
telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang
berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli
ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan
membayar, pemberian waktu yang longgar bagi
pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan
keputusan dalam administrasi pajak adalah
beberapa prinsip yang ditekankannya.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak
pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi
gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk
mencegah korupsi dan praktikum penindasan.
Permasalahn kontroversi dalam analisis
ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah
pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa
yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan
pada Sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan bahwa
hasil panen yang melimpah bukan alasan untuk
menurunkan harga panen, sebaliknya kelangkaan
tidak mengakibatkan harganya melambung.
Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada
kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan
dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan
harga yang rendah. Namun, di sisi lain, Abu Yusuf
juga tidak menolak peranan permintaan dan
penawaran dalam penentuan harga.
Penting diketahui, para penguasa pada
periode itu umum-nya memecahkan masalah
kenaikan harga dengan menambah suplai bahan
makanan dan mereka menghindari kontrol harga.
17. 7
Kecendrungan yang ada dalam pemikiran ekonomi
Islam adalah membersihkan pasar dari praktik
penimbunan, monopoli, dan praktik korupsi lainnya,
kemudian membiarkan penentuan harga kepada
kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf
tidak mengecualikan dalam hal kecendrungan ini.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah
masalah keuangan publik. Terlepas dari prinsip-
prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara
Islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia
memberikan beberapa saran tentang cara-cara
memperoleh sumber perbelanjaan untuk
pembanggunan jangka panjang, seperti membangun
jembatan dan bendungan serta menggali saluran-
saluran besar dan kecil.
Ad.2. Fase Kedua
Fase kedua dimulai pada abad ke-11 sampai
dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase yang
cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual
yang sangat kaya. Para cendekiawan Muslim di masa
ini mampu menyusun suatu konsep tentang
bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi
yang seharusnya berlandaskan Al-Quran dan Hadits
Rasulullah SAW. Pada saat yang bersamaan, mereka
menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua
hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani
Abbasiyah dan terbaginya kerajaan kedalam
beberapa kekuatan regional yang meyoritas
didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang
kehendak rakyat; kedua, merebaknya korupsi
dikalangan penguasa diiringi dengan dekadensi
18. 8
moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan
terjadinya ketimpangan yang semakin melebar
antara si kaya dengan si miskin. Pada masa ini,
wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari
Maroko dan Spanyol di Barat hingga India di Timur
telah melahirkan berbagai pusat kegiatan
intelektual. Tokoh-tokoh pemikiran ekonomi Islam
pada fase ini antara lain diwakili oleh Al-Ghazali (w.
505 H/1111 M), Ibnu Taimiyah (w.728 H/1328 M),
Al-Syatibi (w. 790H/1388), Ibnu Khaldun (w. 808
H/1404 M), dan Al-Maqrizi (845 H/1441 M).
a. Al-Ghazali (451-505 H/1055/1111 M)
Fokus utama perhatian Al-Ghazali tertuju
pada perilaku individual yang dibahas secara rinci
dengan menunjuk pada Al-Quran, Sunnah, Ijma
Sahabat, dan Tabi’in, serta pandangan para sufi
terdahulu, seperti Junaid al-Baghdadi, Dzun Nun al-
Mishr dan Harits bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya,
seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban
beribadah kepada Allah SWT. Seluruh aktivitas
kehidupannya, termasuk ekonomi, harus
dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam. Ia tidak
boleh bersifat kikir juga tidak boleh bersifat boros.
Selain itu, Al-Ghazali juga memberikan
nasihat kepada para penguasa agar selalu
memperhatikan kebutuhan rakyatnya serta tidak
berperilaku zalim terhadap mereka. Ketika rakyat
mengalami kekurangan dan tidak ada jalan lain
untuk memperoleh penghasilan hidupnya, penguasa
wajib menolong dengan menyediakan makanan dan
19. 9
uang dari perbendaharaan negara. Dalam hal pajak,
Al-Ghazali bisa mentoleransi pengenaan pajak jika
pengeluaran untuk pertahanan dan sebagainya tidak
tercukupi dari kas negara yang telah tersedia.
Bahkan, jika hal yang demikian terjadi, negara
diperkenankan melakukan peminjaman.
Al-Ghazali juga mempunyai wawasan yang
sangat luas mengenai evolusi pasar dan peranan
uang. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba
fadhl, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang,
serta mengutuk mereka yang melakukan
penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri
dibuat untuk memudahkan pertukaran.
b. Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada
masyarakat, fondasi moral dan bagaimana mereka
harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah.
Untuk tugas ini, secara bersama-sama, pemerintah
dan ulama harus membimbing dan mendorong
masyarakat. Ia juga mendiskusikan tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi
individu dalam konteks hidup masyarakat, seperti
akad dan upaya menaatinya, dan peranan negara
dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya.
Dalam suatu masyarakat yang diperintahkan
penguasa yang korup dan masyarakat yang
berfikiran duniawi semata, ia lebih menyerukan
penguatan susunan moral masyarakat daripada
teladan individual yang dapat mengakibatkan
penarikan diri dari kehidupan bermasyarakat. Cara
pendekatannya adalah untuk mendefinisikan
20. 10
berbagai batasan dalam usaha ekonomi dan dalam
melaksanakan hak kepemilikan pribadi, dengan
harapan bahwa selama para pelaku ekonomi
mengikuti aturan main yang berlaku, moral alami
masyarakat dapat bertahan.
Dalam transaksi ekonomi, fokus perhatian
Ibnu Taimiyah tertuju pada keadilan yang hanya
dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada
kesetiaan menyepakati dari semua pihak. Agar lebih
bermakna, kesepakatan ini harus didasarkan pada
informasi yang memadai. Moralitas seperti yang
diperintahkan agama memerlukan keharusan tidak
adanya paksaan, tidak adanya kecurangan, tidak
mengambil keuntungan dari keadaan yang
menakutkan, atau ketidaktahuan dari salah satu
pihak yang melakukan akad. Ketiga berbagai aturan
ini ditaati, harga pasar yang terjadi adalah wajar dan
adil dengan syarat tidak adanya pasokan yang
ditahan untuk menaikkan harga.
Pandangan Ibnu Taimiyah tentang kewajiban
publik juga meliputi pembahasan tentang aturan
uang, peraturan tentang timbangan dan ukuran,
pengawasan harga, serta pertimbangan pengenaan
pajak yang tingi dalam keadaan darurat. Secara
umum, pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah
cenderung bersifat normatif. Namun demikian,
terdapat beberapa wawasan ekonominya yang
dapat dikatagorikan sebagai pandangan ekonomi
positif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyadari
sepenuhnya peranan permintaan dan penawaran
dalam menentukan harga. Ia juga mencatat
pengaruh dari pajak tidak langsung dan bagaimana
21. 11
beban pajak tersebut digeserkan dari penjual yang
seharusnya menanggung pajak tersebut beralih
kepada pembeli yang harus membayar lebih mahal
untuk barang-barang yang terkena pajak.
c. Al-Maqrizi (845 H/1441 M)
Al-Maqrizi melakukan studi khusus tentang
uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara
periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan.
Selain kelangkaan pangan secara alami oleh
kegagalan hujan, Al-Maqrizi mengidentifikasikan
tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan
administrasi yang buruk, beban pajak yang berat
terhadap para penggarap/petani dan kenaikan
pasokan mata uang (fulus). Berbicara tentang sebab
yang ketiga ini, Al-Maqrizi menegaskan bahwa uang
emas dan perak merupakam satu-satunya mata
uang yang dapat dijadikan standar nilai
sebagaimana yang telah ditentukan syariah,
sedangkan penggunaan fulus sebagai mata uang
dapat menimbulkan kenaikan harga-harga. Menurut
Al-Maqrazi. Fulus dapat diterima sebagai mata uang
jika dibatasi penggunaannya, yakni hanya untuk
keperluan transaksi yang berskala kecil.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446
hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya
pintu ijtihad (independent judgement) yang
mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase
stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis
catatan-catatan para pendahulunya dan
22. 12
mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan
standar bagi masing-masing mazhab. Namun
demikian, terdapat selama dua abad terakhir yang
menyeru untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits
Rasulullah SAW sebagai sumber pedoman hidup.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini
antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176
H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani (w. 1315 H/1897
M), Muhammad Abdul (w. 1320 H/1905 M), dan
Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).
C. Ciri- ciri Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem
Islam yang menyeluruh.
o Kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat
pengabdian.
o Kegiatan ekonomi dalam Islam bercita-cita
luhur.
o Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan
ekonomi dalam Islam adalah pengawasan
yang sebenarnya, yang mendapat
kedudukan utama.
Ekonomi Islam Merealisasikan Kesimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan
Masyarakat.
D. Sumber Hukum Ekonomi Islam
1. Kitab Suci al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat
yang menjelaskan tentang ekonomi, hal ini
membuktikan bahwa ekonomi Islam dibangun atas
dasar dan bersumberkan dari Al-Qur’an dan Islam
23. 13
sendiri sangat menitik beratkan akan faktor
ekonomi ini, diantara ayat-ayat Al-Quran, yaitu :
Q.S. Al-Baqarah: 29 ”Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di muka bumi
untuk kamu”
Q.S. Al-Baqarah: 275. “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.”
Q.S.Lukman: 20 “Tidaklah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan) mu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.
2. Hadist dan Sunnah
As-Sunah adalah sumber kedua dalam
perundang-undangan Islam. Di dalamnya dapat kita
jumpai khazanah aturan perokonomian Islam. Di
antaranya seperti sebuah hadis yang isinya
memerintahkan untuk menjaga dan melindungi
harta, baik milik pribadi maupun umum serta tidak
boleh mengambil harta yang bukan miliknya.
“Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian,
(mengambil) harta kalian, (mengganggu)
kehormatan kalian harams ebagaimana haramnya
hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini.....”(H.R
Bukhori)
Contoh lain misalnya As-Sunah juga menjelaskan
jenis – jenis harta yang harus menjadi milik umum
dan untuk kepentingan umnum, tertera pada hadis:”
Aku ikut berperang bersama Rasulullah, ada tiga hal
yang aku dengar dari Rasulullah: Orang – orang
24. 14
muslim bersyarikat (sama – sama memiliki) tempat
penggembala, air dan api” (HR. Abi Dawud)
3. Ijtihad
Istilah ijtihat adalah mencurahkan daya
kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari
dalil – dalil syara’ secara terperinci yang bersifat
operasional dengan caramengambil kesimpulan
hukum (istimbat) Iman Al-Amidi mengatakan untuk
melakukan ijtihad harus sampai merasa tidak
mampu untuk mencari tambahan kemampuan.
Menurut Imam Al-Ghozali batasan sampai merasa
tidak mampu sebagai bagian dari definisi ijtihad
sempurna (al ijtihad attaam)
Imam Syafi’i mengatakan bahwa seorang
mujtahid tidak boleh mengatakan “tidak tahu”
dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha
dengan sungguh – sungguh untuk menelitinya dan
tidak boleh mengatakan “aku tahu” seraya
menyebutkan hukum yang diketahui itu sebelum ia
mencurahkan kemampuan dan mendapatkan
hukum itu.
25. 15
BAB II
HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
A. Harta
Harta berdasarkan definisi yang diberikan ulama
adalah segala sesuatu yang dimiliki dan disenangi
manusia, dapat disimpan dan dimafaatkan pada waktu
diperlukan baik itu jenis barang bergerak dan barang
tidak bergerak (Dr.Zuhayli,al Fiqh al Islami,4/41). Al-
alamah Ibnu Khaldun menegaskan:
Hakikat yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun
bahwa harta adalah kebutuhan pokok bagi manusia baik
untuk keperluan makan–minum, pakaian dan tempat
tinggal.
Tegasnya bah
wa harta dapat memenuhi tuntutan keperluan
primer, sekunder dan tertier (Dharuriyah, Hajiyah dan
Tahsiniyah).
Ibn Nujaim dalam kitabnya al-Bahr,
mengidentifikasikan bahwa harta adalah nama yang
diberikan untuk selain manusia, diciptakan untuk
keperluan hidup insan, dapat disimpan dan
dimanfaatkan setelah adanya ikhtiar dan usaha manusia
baik secara kolektif ataupun individu, dengan demikian
26. 16
jadilah ia sesuatu yang berharga dan sah dimanfaatkan
menurut hukum syara’.
Kriteria Harta
Ada empat kriteria harta menurut pendapat Ibnu
Nujaim yakni:
Pertama, sesuatu itu akan dianggap sebagai harta bila
ada unsur usaha dan kerja yang dilakukan manusia
terhadap sesuatu, baik secara individu ataupun kolektif.
(unsur usaha dan kerja).
Kedua, sesuatu yang sudah dianggap sebagai harta akan
terus memiliki sifat tersebut selama belum ditinggalkan
seluruh orang. Jika sebagian orang telah meniggalkannya
karena sudah tidak dapat dimanfaatkan, namun
sebagian orang lain masih dapat memanfaatkan, maka
itu masih disebut harta, (unsur manfaat dan dapat
disimpan).
Ketiga, sesuatu yang dianggap sebagai harta harus
selalu beriringan dengan sifat berharga karena dianggap
sah dan halal oleh syariat. Jika ad a sesuatu yang
dianggap sebagai harta, namun tidak mendapat
rekomendasi/bertentangan dari sisi syariah, maka
benda tersebut tidak disebut harta, (unsur harga).
Keempat, kepemilikan harta tersebut dilindungi syara’
dari segala tindak kriminal karena harta adalah
dimuliakan dan dihormati. Namun kemuliaan dan
kehormatan harta tersebut sangat terkait dengan
ketentuan syariah, (dimuliakan dan dilindungi syariah)
Harta dari Perspektif Maqasid Syariah
Para ulama Usul Fiqh menggariskan bahwa maqasid
(objective) syariah ada lima yaitu : memelihara maslahat
27. 17
agama, jiwa, akal, keturunan (kehormatan diri) dan
harta. Harta dan maqasid harta itu ada tiga:
Pertama, sirkulasi harta (diukur dengan uang)
dimaksudkan untuk selalu bersirkulasi dan berputar
dalam proses produksi dan aktifitas ekonomi supaya
selalu menghasilkan pengembalian (return) yang baik.
Pada hakikatnya uang hanyalah sebagai alat tukar yang
setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memilikinya. Jadi setiap tindakan menimbun harta
adalah dilarang dalam Islam, sebab akan memperlambat
perputaran uang yang pada nantinya akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Menunaikan zakat adalah salah satu jalan
memasukkan uang dalam sirkulasi aktivitas ekonomi,
sehingga Islam akan memerangi setiap orang yang tidak
mau menunaikannya. Untuk menjamin sirkulasi dan
distribusi uang dengan baik, maka ada beberapa cara
untuk melakukanya, antara lain :
a) Islam melarang
b) menumpuk-numpuk harta dengan tidak
mengeluarkan zakatnya.
c) Larangan dari praktek riba
d) Larangan judi (Maysir)
e) Larangan menimbun (Ihtikar)
f) Larangan harta menumpuk di segelintir orang
g) Dihalalkan transaksi (muamalah)
Kedua, jelas dan bersih (transparacy). Kepemilikan
harta harus jelas dan bersih dari segala masalah yang
akan mengakibatkan perselisihan pada pemiliknya. Oleh
karena itu, syara’ menggariskan ketentuan yang harus
dipatuhi dalam hubungan transaksi.
28. 18
(i) Dokumen, harus dilakukan suatu pencatatan untuk
menjamin terlaksananya transaksi dengan baik. Hal
ini sesuai dengan Al Quran, surat Al-Baqarah ayat
282.
(ii) Saksi, hal ini pun juga diperintahkan dalam
transaksi, untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
terjadinya masalah dikemudian hari. Sesuai dengan
Al Quran,surat Al Baqarah ayat 282.
(iii) Jaminan, merupakan suatu barang yang diambil dan
disimpan dari transaksi kredit untuk menghindari
dari masalah terjadinya wanprestasi (ingkar janji).
Sesuai dengan Al-Quran, surat Al Baqarah ayat 283.
Ketiga, Keadilan (justice), sikap adil ini juga berarti
kepemilikan harta harus adil terhadap:
a. hubungan kepada Allah SWT
b. jiwa dan dirinya sendiri
c. orang tua/keluarga
d. karyawan dan para pekerja
e. Menegakkan prinsip nasihat dan mempertahankan
kebenaran dan menegakkan supremasi hukum
B. Kepemilikan
Kepemilikan dalam Islam merupakan suatu ikatan
seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syara’.
Sehingga kepemilikan harta pun dibatassi perolehan dan
penggunaannya oleh syara’.
Dalam buku Bank Syariah (Antonio Syafii, 1999),
pandangan Islam mengenai harta dan kegiatan ekonomi
adalah sebagai berikut:
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu di muka
bumi ini, termasuk harta adalah Allah SWT.
29. 19
Kepemilikan manusia hanyalah relatif untuk
melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya.
2. status harta yang dimiliki manusia adalah:
a. Harta sebagai amanah (titipan; as a trust) dari
Allah SWT sebagai pencipta, karena hakekatnya
manusia tidak dapat mengadakan harta dari
tiada.
b. Merupakan perhiasan hidup yang memungkinkan
manusia bisa menikmatinya dengan baik dan
tidak berlebih-lebihan (Q.S. Ali Imran 14; Al-
Alaq:6-7).
c. Harta sebagai ujian keimanan (Q.S. Al-Anfal:28).
d. Harta sebagai bekal ibadah, yaitu untuk
melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan
muamalah diantara sesama manusia, terutama
kegiatan zakat, infaq, dan shadaqah (Q.S. At-
taubah 41,60 ; ali Imran133).
3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui
usaha (amal) dan mata pencaharian (ma’isyah) yang
halal dan sesuai dengan aturan-Nya. (Q.S. Al-
mulk:15 ; Al-Baqarah:267; at-taubah:105; Al-
Jumu’ah:105).
Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang
bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari
nafkah yang halal untuk keluarganya, maka sama
seperti mujahid di jalan Allah (HR Ahmad).
Mencari rizki yang halah adalah wajib setelah
kewajiban yang lain (HR Thabrani).
Jika telah melakukan shalat subuh janganlah kalian
tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rizki
(HR Thabrani).
30. 20
4. Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang
dapat melupakan dari kematian (Q.S. At-Takatsur: 1-
2), melupakan dzikrullah (dan tidak ingat Allah dan
segala ketentuan-Nya Q.S. Al-Munafiqun: 9),
melupakan shalat dan zakat (QS An-Nur: 37), dan
memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok
orang kaya saja (QS Al-Hasyir : 7)
5. Dilarang menempuh usaha yang haram melalui
kagiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian,
berjual beli barang yang dilarang atau haram (Al-
Maidah : 90-91), mencuri, merampok, curang dalam
takaran dan timbangan (Al-Muthafiffin: 1-6), melalui
cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah:
188) dan melalui suap-menyuap (HR Imam
Ahmad).
Ketentuan syariat yang mengatur mengenai kekayaan
pribadi (Abdul Manan, 1970/1997) :
1. Pemanfaatan secara berkelanjutan; Islam tidak
memperbolehkan memiliki kekayaan yang tidak
dipergunakan.
Hadist: orang yang menguasai tanah tak bertuan, tak
lagi berhak menguasai bila telah 3 tahun tidak
menggarapnya dengan baik.
Sehingga siapa saja yang mengerjakan tanah tak
bertuan akan lebih berhak atas tanah itu.
2. Negara (Islam) dapat mencabut kepemilikan bila:
o Pemilik boros dan tidak produktif.
o Menggunakan untuk cara tertentu dan
mengabaikan cara lain (penanaman modal).
o Pemusatan kekayaan yang merugikan
masyarakat.
31. 21
Hal ini dilakukakan negara dalam rangka menjaga
keseimbangan dan kepentingan perekonomian.
3. Pembayaran zakat; hal ini dilakukan untuk
mengurangi (dan mengusahakan peniadaan)
kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
4. Infaq; pemanfaatan yang berfaedah di jalan Allah.
5. Tidak merugikan orang lain.
6. Kepemilikan dilakukan secara sah (baik mendapat
atau menyalurkannya).
7. Penggunaan yang berimbang (tidak boros dan tidak
kikir).
8. Pemanfaatan sesuai hak dan peruntukannya.
9. Pemanfaatan untuk kepentingan kehidupan
(termasuk dengan hukum waris).
32. 22
BAB III
PRINSIP- PRINSIP EKONOMI ISLAM
1. Faktor-faktor produksi
2. Tiang-tiang pembentukan ekonomi
3. Mengakui adanya hak milik
4. Tunduk di bawah kesejahteraan sosial
5. Beriman kepada Allah
6. Rancang Bangun Ekonomi Islam
Ad. 1.Faktor-faktor produksi
Faktor produksi terdiri dari empat macam
a. tenaga alam; tanah, air, cahaya, dan udara
b. tenaga modal; uang dan barang/ benda
c. tenaga manusia; pikiran dan jasmani
d. tenaga organisasi; kecakapan mengatur
Pokok segala persoalan adalah materi, benda
hanya sebagai modal, dan juga seperti faktor yang lain,
berarti dia tidak nampak dibalik itu ada yang ghaib yang
sewaktu waktu dapat menahan dan mencurahkannya.
Tanah yang menjadi sumber dari segala produksi
bukanlah kita yang menciptakankannya. Memang semua
itu adalah syarat mutlak dari segala produksi, menjadi
33. 23
tiang sendi bagi ekonomi. Sebagaimana Allah berfirman :
Artinya ; “Demikianlah, karena sesunggguhnya Allah,
Dialah hak dan sesungguhnya apa saja yang
mereka seru selain dari Allah itulah yang batil;
dan sesungguhnya Allah, Dia-lah yang
Mahatinggi lagi Maha Besar.” (Q.S.Lukman
(31):30)
Ad.2. Tiang-tiang Pembentukan Ekonomi
Bagaimanapun bentuk dan cara ekonomi yang
dijalankan berpusat pada 2 (Dua) hal yaitu;
a. Kasab, yaitu mengusahakan, menghasilkan dan
memperoleh barang-barang (objektif) dan,
b. Infak, yaitu mempergunakan, memakai dan
menghabiskan barang-barang itu untuk
keperluan (subjektif), baik untuk pribadi,
masyarakat, atau negara.
Setiap harta yang kita peroleh pada hari kiamat
nanti, tiap-tiap manusia menjadi pesakitan di hadapan
Mahkamah Allah. Pada saat itu kita harus bisa
mempertanggungjawabkan/ harus bisa menjawab
dalam dua masalah;
Dari mana barang tersebut diperoleh
34. 24
Ke mana dipergunakannya.
Pokok-pokok ekonomi menurut Islam terdiri dari:
1. Kewajiban berusaha (Iktisab)
Islam tidak menginginkan kaumnya menjauhkan
diri dari pencaharian penghidupan dan hidup hanya dari
pemberian orang.
Ada empat pokok untuk kewajiban beramal, yaitu :
a. Bahaya hidup tidak bekerja
Nabi bersabda “bahaya yang paling aku takuti
atas nama ummatku adalah perut besar, banyak
tidur dan malas bekerja.”
b. Mencegah hidup meminta-minta
Nabi SAW, menggambarkan nasib orang yang
hidupnya meminta-minta di hadapan Mahkamah
Allah SWT. pada hari kiamat.
Artinya :
“Tidak berhentinya orang yang hidup meminta-
minta (menderita nasib yang celaka) sampai hari
Kiamat nanti dia tegak berdiri di bawah teriknya
matahari, sedang pada mukanya tidak ada
sepotong dagingpun (karena hebatnya
penderitaan).”
Hanya pada tiga keadaan orang boleh meminta-
minta menurut Islam.
a) Seorang yang banyak tanggungan yang mata
pencahariannya tidak dapat menutup
kebutuhan sehari-hari.
b) Seorang yang ditimpa bencana, sehingga
hartanya habis.
c) Seorang yang ditimpa kemelaratan
35. 25
c. Pengertian miskin bukanlah menganggur atau
meminta-minta.
Dalam Islam diakui adanya orang-orang miskin,
yaitu mereka yang hidupnya susah, tidak
mencukupi, dan umat Islam diperintahkan untuk
membantunya, tetapi bukanlah berarti
membenarkan adanya orang yang hidup
menganggur dan meminta-minta.
d. Mencegah sifat putus asa.
Allah berfirman dalam Surat al-Hijr:
Artinya: Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang
berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali
orang-orang yang sesat". (Q.S. Al-Hijr (15):56)
2. Membasmi pengangguran
Negara Komunis Rusia yang anti materialistis
mencantumkan dalam Undang-undang Dasar pasal 12
dengan semboyan;” siapa yang tidak bekerja dia tidak
makan”. Masalah makan, Allah sudah mengatur
semuanya sebagaimana termaktub dalam surat An-
Najam;
Artinya; “Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya” (Q.S. An-Najam (53):39
36. 26
Kewajiban pemerintah terhadap masyarakat yang
bernaung di bawah pemerintahannya adalah
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran dengan
segenap kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah
dengan cara membuka lapangan kerja seluas-luasnya
dan memberikan pendidikan dan keterampilan kepada
masyarakatnya yang tidak mampu. Adapun tugas-tugas
pemeritah dalam mensejahterakan rakyatnya adalah
sbb;
a) Menghindarkan ancaman kelaparan
b) Menjamin pekerjaan
c) Mengentaskan kemiskinan
d) Mengadakan organisasi-organisasi sosial
Ad.3. Mengakui Adanya Hak Milik
a) Ketentuan hak pribadi atas barang-barang
b) Usaha sosialisasi secara Islami
c) Kontrol atas sifat yang baik dan buruk
Pengakuan hak milik perseorangan berdasarkan
pada tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri atau
pun yang diterimanya sebagai harta warisan.
Prof. A. Wahab Khallaf menegaskan dalam bukunya As-
Siyasa Asy-Syari’yah, bahwa dasar dari pemindahan hal
milik dari seseorang kepada yang lainnya, ialah karena
dasar suka dan ridha. Wahab Khallaf mengajukan tiga
ketentuan dalam Islam bagi pengakuan hak milik yaitu;
i. Larangan untuk memiliki barang-barang orang
lain dengan jalan yang tidak sah.
ii. Menghukum orang-orang yang mencuri,
merampas dan mengambil barang-barang yang
bukan miliknya, baik perbuatan itu dilakukan
37. 27
secara main-main apalagi kalau benar-benar
mengambilnya.
iii.Larangan menipu dalam jual beli dan
memperbolehkan khiyar (berpikir, menawar
untuk meneruskan, atau membatalkan jual beli)
dalam masa 3 hari.
Ad.4. Tunduk di bawah Kesejahteraan Sosial
Menundukkan ekonomi di bawah hukum
kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang
sangat penting di masa kini. Prinsip ini ditegakkan oleh
Islam dengan suatu intruksi Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai mana dalam surat At-Taubah;
..
Artinya; “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka ………..(Q.S.At-Taubah
(9):103)
Kemudian di ayat yang lain dalam surat adz.Dzariyat;
Artinya ; “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian”
Maksud dari orang miskin yang tidak mendapat bagian
pada ayat di atas ialah orang miskin yang tidak meminta-
minta).
Ad.5. Beriman Kepada Allah SWT.
38. 28
Untuk menjamin terlaksananya pokok pendirian ini,
haruslah dengan memenuhi pokok pokok sebagai
berikut;
Urusan ekonomi janganlah melalaikan kewajiban
kepada Allah SWT.
Mengusahakan ekonomi haruslah menimbulkan
cinta kepada Allah SWT
Menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar
agama
Mengorbankan harta untuk berjihad di jalan
Allah.
Ad. 6. Rancang Bangun Ekonomi Islam
Tata aturan syariah dalam ekonomi yang berasal dari Al
Qur’an dan Al Hadist itu, memuat beberapa
prinsip/dasar umum sebagai landasan dan dasar
pengembangan Ekonomi Islam. Prinsip ini membentuk
keseluruhan kerangka Ekonomi Islam, yang jika
diibaratkan sebagai sebuah bangunan dapat
divisualisasikan pada gambar rancang bangun Ekonomi
Islam di bawah ini:
39. 29
Bangunan ekonomi Islam di atas, di dasarkan atas
5 (lima) nilai universal, yakni: tauhid (keimanan), ‘adl
(keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah
(pemerintahan), dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini
menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-
proposisi dan teori-teori Ekonomi Islam.
Namun, teori yang kuat dan baik tanpa
diterapkan menjadi sistem akan menjadikan Ekonomi
Islam ini hanya sebagai kajian ilmu saja, tanpa memberi
dampak pada kehidupan ekonomi secara keseluruhan.
Karena itu, dari kelima nilai universal tersebut,
dibangunlah 3 (tiga) prinsip deripatif yang menjadi ciri-
ciri dan cikal-bakal Sistem Ekonomi Islam. Ketiga prinsip
deripatif itu adalah multitype ownership, freedom to act,
dan social juctice. Abdullah Zaky Al Kaaf (2002: 82-83),
mengemukakan bahwa prinsip deripatif itu ada 5 (lima),
yakni: kewajiban berusaha (freedom to act), membasmi
pengangguran, mengakui hak milik (multitype
ownership), kesejahteraan sosial (social juctice), dan
iman kepada Allah Swt. Sedangkan Saefudin, dalam
Muhammad (2000: 22), prinsip deripatif itu meliputi:
ownership, equilibrium, dan justice. Perilaku Islam dalam
bisnis dan ekonomi Prinsip Sistem Ekonomi Islam dan
Teori Ekonomi Islam.
Semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di
atas, dibangunlah konsep yang memayungi
kesemuannya, yakni konsep akhlaq. Akhlaq menempati
posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam
dan dakwah para Nabi Allah Swt., yakni untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak inilah yang
menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam
melakukan aktivitasnya.
40. 30
Nilai-Nilai Universal Teori Ekonomi Islam
Bangunan Ekonomi Islam di atas, memiliki nilai-nilai
universal yang menjadi dasar inspirasi untuk
mengembangkan teori Ekonomi Islam. Rincian dari nilai-
nilai universal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam.
Muhammad (2000: 19-21) bahwa tauhid itu yang
membentuk 3 (tiga) asas pokok filsafat Ekonomi Islam,
yaitu:
Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik
Allah Swt dan berjalan menurut kehendak-Nya (QS. Al-
Ma’idah: 20, QS. Al-Baqarah: 6). Manusia sebagai
khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat dan tidak
absolut, serta harus tunduk melaksanakan hukum-Nya,
sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara
tak terbatas berarti ingkar kepada kekuasaan Allah Swt.
Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam adalah
hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini
jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu
pada Sistem Kapitalis dan oleh kaum proletar pada
Sistem Marxisme.
Kedua, Allah Swt. adalah pencipta semua makhluk
dan semua makhluk tunduk kepada-Nya (QS. Al-An’am:
142-145, QS. An-Nahl: 10-16, QS. Faathir: 27-29, QS. Az-
Zumar: 21). Dalam Islam , kehidupan dunia hanya
dipandang sebagai ujian, yang akan diberikan ganjaran
dengan surga yang abadi. Inilah ganjaran atas usaha-
usaha dunia yang terbatas. sebagai sesuatu yang sifatnya
non moneter, yang tidak dapat dijadikan dan diukur
dengan sesuatu yang pasti, dan ini sulit untuk
41. 31
dimasukkan ke dalam analisis Ekonomi Konvensional
(Tarek El-Diwany, 2003: 160). Sedangkan
ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan yang
diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan
kuasa Allah Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka
yang diberi kelebihan sadar menegakkan persamaan
masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya
(QS. Al-Ma’un: 1-7, QS. Al-Hadiid: 7), persamaan dan
persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni syirkah
dan qirad atau bagi hasil (QS. Al-Baqarah: 254, QS. Al-
Ma’idah: 2). Doktrin egalitarianisme Islam seperti itu
berbeda dengan sistem ekonomi materialistik, hedonis
yang proletar sosialistik dan marxisme;
Ketiga, Iman kepada Hari Kiamat akan
mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut
horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aksi
ekonomi tertentu akan mempertimbangkan akibatnya
pada Hari Kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini
mengandung maksud dalam memilih kegiatan ekonomi
dengan menghitung nilai sekarang dan hal yang akan
dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan
mendatang ialah semua yang diperoleh, baik sebelum
maupun sesudah mati atau extended time horizon, (QS.
Al-Qiyamah: 1-10, QS. Al-Zalzalah: 1-8).
2. ‘Adl (Keadilan)
Allah Swt. adalah pencipta segala sesuatu, dan
salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-
bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara
dzalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus
memelihara hukum Allah Swt. di bumi, dan menjamin
bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk
42. 32
kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat
manfaat dari padanya secara adil dan baik, Allah Swt.
memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Implikasi
ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi
tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi,
apabila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam.
Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok dalam
berbagai golongan yang men-dzalimi. Masing-masing
berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada
usaha yang dikeluarkannya yang disebabkan
kerakusannya (Adi Warman A. Karim, 2003: 8-9).
3. Nubuwwah (Kenabian)
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah
Swt., manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa
mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan
rasul untuk menyampaikan petunjuk Allah Swt. kepada
manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar
di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah)
ke asal-muasal segala sesuatu, yaitu Allah Swt.
Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik
yang harus diteladani manusia agar mendapat
keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
muslim juga percaya terhadap rasul-rasul yang patut
mendapatkan ‘penghormatan’, seperti Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa yang sama juga dengan Muhammad.
Makanya, tidak mengherankan jika kita temukan
penganut agama selain Islam yang memiliki prinsip
sama dengan prinsip Islam, seperti misalnya dalam
pengenaan haramnya ‘bunga’ (Tarek El-Diwany, 2003:
161). Namun, untuk umat Islam sendiri, Allah Swt. telah
mengirimkan ‘manusia model’ yang terakhir dan
43. 33
sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi
Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang
harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan
pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah:
Pertama, Siddiq (benar, jujur) harus menjadi visi
hidup setiap muslim. Dari konsep siddiq ini muncullah
konsep turunan, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang
tepat dan benar) dan efisiensi (melakukan kegiatan
dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode
yang tidak menyebabkan kemubadziran);
Kedua, Amanah (tanggung jawab, dapat
dipercaya, kredibilitas). Sifat ini akan membentuk
kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab
pada setiap individu muslim. Kumpulan individu dengan
kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan
melahirkan masyarakat yang kuat. Sifat amanah
memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi
dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung
jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.
Ketiga, Fathanah (kecerdasan, kebijaksanaan,
intelektualitas). Sifat ini dipandang sebagai strategi
hidup setiap muslim, karena untuk mencapai Sang
Benar, kita harus mengoptimalkan segala potensi yang
telah diberikan oleh-Nya. Potensi paling berharga dan
termahal yang hanya diberikan pada manusia adalah
akal (intelektualita). Implikasi ekonomi dan bisnis dari
sifat ini adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus
dilakukan dengan ilmu kecerdikan, dan pengoptimalan
semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan.
Jujur, benar, kredibel, dan bertanggung jawab saja tidak
cukup dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku
harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan
44. 34
efisien, dan agar tidak menjadi korban penipuan.
Konsepnya work hard and smart, bukan work hard vs
work smart.
Keempat, Tabligh (komunikasi, keterbukaan,
pemasaran) merupakan taktik hidup muslim, karena
setiap orang mengemban tanggung jawab dakwah. Sifat
tabligh ini menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi
(personal, interpersonal), pemasaran, penjualan,
periklanan, pembentukan opini massa, dan lain-lain.
4. Khilafah (Pemerintahan)
Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif
manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi
utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi
(mu’amalah) antar kelompok –termasuk dalam bidang
ekonomi- agar kekacauan dan keributan dapat
dihilangkan, atau dikurangi.
Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan
yang kecil, namun sangat penting dalam perekonomian.
Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian
agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk
memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak manusia. Semua itu dalam kerangka mencapai
maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariah), yang
menurut Imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan
kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan
melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan
kekayaan manusia.
5. Ma’ad (Hasil)
45. 35
Allah Swt. menandaskan bahwa manusia
diciptakan di dunia untuk berjuang. Dunia adalah ladang
akhirat, artinya dunia adalah wahana bagi manusia
untuk bekerja dan beraktivitas (beramal shaleh).
Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di
dunia maupun di akhirat. Kebaikan akan dibalas
kebaikan, kejahatan akan dibalas dengan hukuman yang
setimpal. Karena itu, ma’ad diartikan sebagai imbalan.
Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis
misalnya, diformulasikan oleh Imam Al-Gazhali, yang
menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah
untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat.
Karena itu konsep profit mendapatkan legitimasi dalam
Islam (Adiwarman A. Karim, 2003: 11-12).
TUJUAN EKONOMI ISLAM
1. Mengutamakan Ketuhanan (Mecari Kehidupan
Akhirat)
Maksud dan tujuan pertama dari ekonomi Islam
ialah berbakti kepada Tuhan. Tujuan ini seperti
disebutkan “usahakanlah pada segala benda yang
dianugerahkan kepadamu akan kesenangan kampung
akhirat dan janganlah kamu lupakan kebahagiaanmu di
dunia, dan berbuatlah kebajikan kepada sesama manusia
sebagaimana Tuhan berbuat kebajikan kepadamu dan
janganlah mencari kerusakan dimuka bumi.
Sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang yang
berbuat kebinasaan” (QS. Al-Qashash: 77).
Jika kita pahami dari maksud ayat di atas ada beberapa
pesan yang terkandung di dalamnya antara lain yaitu:
46. 36
1. Mencari kesenangan akhirat yang diridhai Allah SWT,
dengan segala kemampuan yang diberikan Allah
SWT kepada kita.
2. Janganlah melalaikan perjuangan hidupmu didunia,
yaitu mencari rezeki dan hak milik.
3. Berbuat baik kepada masyarakat, sebagaimana Allah
SWT, memberian kepada kita yang terbaik dan tidak
terkira.
4. Janganlah mencari dan berbuat kebinasaan di muka
bumi.
Untuk hidup tentram, damai, sejeahtera, selamat
dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat
manusia harus mempersiapkan perbekalan, yaitu takwa,
atau berbakti hanya kepada-Nya. Oleh sebab itu, dalam
berjuang mencari rezeki dan membangun
perekonomian, manusia harus mengingat tujuannya
akhir dari segala kehidupan adalah dengan
mengutamakan ketuhanan Allah SWT, dan beriman
hanya kepadanya, tujuan ini harus dijadikan lambang
pekerjaannya, juga menjadi tujuan akhir dari segala hasil
perkerjaan ekonominya, dimana setiap lapangan
ekonomi itu mempengaruhi pekerjaan dalam lapangan
produksi, distribusi, dan juga lapangan konsumsinya.
Pada lanpangan produksi, yaitu tidak mengambil
sesuatu yang haram, dan tidak pula melakukan cara-cara
yang haram. Sedangkan lapangan distribusi, setiap hasil
yang sudah tercapai dapat didistribusikan menurut cara
yang diridhai Allah SWT, menentukan kemana dan
untuk apa harta benda yang diperolehnya itu
dipergunakan, pada lapangan produksi dinamakan
kasah , sementara pada lapangan distribusi dinamakan
infak, berani dan ikhlas membelanjakan atau
47. 37
pengeluaran yang lebih menunjukkan kesetiaanya
kepada Allah SWT.
Adapun pada lapangan konsumsi yaitu sanggup
membatasi dirinya dalam kebutuhan yang tidak
berlebih-lebihan, baik kebutuhan hidup dharuriyah
(primer) seperti makan, minum, pakaian, rumah, atau
kepentingan hidup yang sifatnya hajiyat (sekunder),
seperti sepatu, perabot rumah tangga. Dengan demikian
tidak lupa tujuan yang utama yaitu berbakti kepada
Allah SWT.
2. Memperjuangkan Kebutuhan Hidup Duniawi
Kehidupan didunia ini tidak boleh dilupakan,
melainkan harus diperjuangkan di lapangan
perekonomian dengan berbagai jalan yang terbuka
baginya. Banyak jalan yang bisa ditempuh dan banyak
usaha yang bisa dikerjakan untuk menolong nasib
sendiri dalam perebutan ekonomi.
Perkataan nasib digunakan dalam kalimat ini
maksudnya membebaskan manusia dari nafsu
keserakahan dan sifat tamak yang sangat berbahaya,
nafsu egoistis, dan individualistis. Dengan demikian
Islam mengakui adannya motif ekonomi dalam diri
manusia yang dinamakan homo economicus. Semangat
ekonomi tidak sampai menimbulkan nafsu serahkah
yang jahat, “Jangan kamu lupakan nasibmu didunia”
bermakna bahwa hak milik yang timbul karena usaha
ekonomi menjadi hak milik seseorang haruslah dalam
batas-batas lingkungan bagian nasibmu, tidak
berlebihan dan tidak untuk kemewahan diri sendiri
dengan melupakan kepentingan masyarakat umum.
48. 38
Ada perbedaan pandangan dalam ilmu fiqih tentang
batas-batas harta benda yang boleh menjadi hak
perseorangan:
- Satu golongan berpendapat bahwa hak milik
perseorangan hanyalah boleh sekedar untuk makan,
minum, pakaian, kediaman dan kebutuhan lain yang
diperlukan bagi kehidupannya (Abu Dzar Al-Ghifari,
pemimpin religius sosialisme yang pertama di
kalangan umat Islam).
Menurut Ibnu Abdil Barri, banyak sekali
keterangan yang menunjukkan bahwa segala harta
benda selain minum, makan, dan kebutuhan hidup
sehari-hari dipandang sebagai penimbunan harta
yang sangat dicela oleh Allah dan diancam dengan
siksaan yang sangat pedih.
- Hak milik perseorangan boleh dimiliki sebanyak-
banyaknya, dengan ketentuan wajib dikeluarkan
zakatnya. Menurut riwayat Ibnu Ubay dan Khatib dari
Jabir, Abbas dan Umar, Rasulullah SAW, menyatakan
“Segala harta yang dibayarkan zakatnya, tidaklah
dinamakan penimbunan” Riwayat Malik, Syafi’i, Ibnu
Abi Syaibah, dan lainnya dari Ibnu Umar
menyebutkan, segala harta yang dibayarkan zakatnya
tidak termasuk penimbunan meskipun letaknya di
bawah tujuh lapis bumi, dan sebaliknya harta yang
tidak dibayarkan zakatnya dinamakan penimbunan
meskipun sedikit jumlahnya dan nyata tempatnya.
(Selain zakat tidak ada kewajiban atas harta kecuali
kamu dengan suka rela berbuat kebajikan).
3 . Menciptakan Kesejahteraan Sosial
49. 39
Islam membuat kebijakan kepada seluruh
masyarakat, atau masing-masing anggota masyarakat
khususnya. Sebagai orang yang beriman kepada Allah
SWT, yang maha pemurah, umat Islam harus senantiasa
berpedoman kepada sifat kebijakan yang tidak
terhingga dari Allah kepada makhluknya.
Masyarakat merupakan faktor terpenting dalam
ekonomi Islam terbukti dengan adanya tujuan ini. Hak
milik perseorangan disebut bagian nasib (denga arti
sangat terbatas), terhadap masyarakat dipakai
“sebanyak mungkin kebajikan sebagaimana kebajikan
Allah kepada hambanya”. Itulah sebabnya, pada
pembahasan yang lalu, digambarkan bahwa ekonomi
Islam itu menganut faham sosialisme yang berjiwa
keagamaan dan semangat ketuhanan. Terbukti pula
dalam sejarah Islam, lebih mudah tumbuhnya semangat
sosialis itu, seperti gerakan Abu Dzar Al-ghifari
perekonomian Islam yang berdasarkan kekeluargaan
yang bersifat kolektif dan kooperatif.
Dalam syariat Islam, ada dasar-dasar sosialisme
yang luas lagi kokoh yang berbeda dengan faham
sosialisme Eropa oleh karena sosialisme Islam lebih
berakar, lebih kuat dan lebih mudah untuk memastikan
praktiknya dikalangan kaum muslimin. Jika sosialisme
Eropa hanya teori buatan manusia yang sudah disetujui
di kalangan mereka, sosialisme dalam Islam dari Allah
SWT, yang tidak boleh dihindari oleh seorangpun dari
kaum muslimin apabila ia masih ingin tetap menjadi
seorang Islam.
Zakat merupakan (Amir Syakib) suatu dasar
terpenting bagi sosialisme dalam Islam dan merupakan
saudara kembar dari shalat, sebagaimana erat hubungan
50. 40
ekonomi bagi kebutuhan jasmani manusia dengan
keimanan sebagai kebutuhan rohaninya. Dengan zakat
umat Islam dapat mengahapus kemelaratan dan
kemiskinan serta menghindarkan pertentangan kelas
dalam kehidupan manusia. Sebaliknya apabila umat
Islam melalaikan zakat, masyarakat akan terancam oleh
gerakan solialisme dan komunisme disatu pihak,
sedangkan dipihak lainnya masyarakat muslim dikoyak-
koyak oleh negara kapitalisme dan imperialisme.
Terhadap bahaya ini Syakib Arsela mengatakan bahwa
membangun kewajiban zakat serta harus diatur
jalannya pemasukan dan pengeluaran dengan cermat
dan teliti, sehingga masuknya faham sosialime ke
negara-negara Islam tidak dapat menimbulkan
kekacauan dan kegoncangan, tetapi sebaliknya
menyebabkan hidupnya suatu kewajiban suci dalam
agama, yaitu kewajiban zakat.
3. Mengakui adanya hak milik
Pengakuan hak milik perseorangan berdasarkan
pada tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri atau
pun yang diterimanya sebagai harta warisan.
Prof. A. Wahab Khallaf menegaskan dalam bukunya As-
Siyasa Asy-Syari’yah, bahwa dasar dari pemindahan hal
milik dari seseorang kepada yang lainnya, ialah karena
dasar suka dan ridha.
Dia mengajukan tiga ketentuan dalam Islam bagi
pengakuan hak milik yaitu ;
1) Larangan untuk memiliki barang-barang orang
lain dengan jalan yang tidak sah
51. 41
2) Menghukum orang-orang yang mencuri,
merampas dan mengambil barang-barang yang
bukan miliknya, baik perbuatan itu dilakukan
secara main-main apalagi kalau benar-benar
mengambilnya.
3) Larangan menipu dalam jual beli dan
memperbolehkan khiyar (berpikir, menawar
untuk meneruskan, atau membatalkan jual beli)
dalam masa 3 hari.
Bagaimana pun juga hak milik yang sudah menjadi
alamiah manusia. Tidak dapat dibatalkan. Sampai di
mana batasnya hak milik tersebut adalah sbb;
a) Ketentuan hak pribadi atas barang-barang
b) Usaha sosialisasi secara Islami
c) Kontrol atas sifat yang baik dan buruk
52. 42
BAB IV
RIBA
A. Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti
tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-numuw),
meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Dengan
demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan
tambahan dalam transaksi pinjam meminjam, bahkan
tambahan dalam transaksi jual beli yang dilakukan
secara batil juga dapat dikatakan sebagai riba.
Beberapa ulama memberikan definisi riba seperti
berikut ini.
a). Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki,
dalam kitab Ahkam al-Qur’an, (IBI,39), memberikan
pengertian riba, yaitu secara bahasa adalah
tambahan, namun yang dimaksud riba dalam al-
Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang
dibenarkan syariah.
53. 43
b). Kemudian, Badr ad-Dien al-Ayni, dalam kitab
Umdatul Qari, (IBI, 39), menjelaskan bahwa prinsip
utama riba adalah penambahan. Menurut syariah
riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil.
c). Imam Sarakhsi, dalam kitab al-Mabsul, (IBI, 39),
memberikan pengertian riba adalah tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
‘iwadh(padanan) yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.
B. Jenis Riba
Secara garis besar, riba diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, yaitu riba yang terjadi akibat utang-piutang
dan riba yang terjadi akibat jual-beli. Berikut ini jenis
riba dari dua kelompok riba tersebut, yaitu, riba nasi’ah
dan riba fadhal. (Sabiq, 2007)
1. Riba Fadhal
Riba fadhl secara bahasa adalah kelebihan,
sedangkan dari segi istilah adalah tukar-menukar barang
ribawi yang sejenis dengan timbangan dan takaran yang
tidak sama, atau jual beli uang dengan uang atau barang
pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan
(juga emas dengan emas, perak dengan perak).
Dari Abu Said, Rasulullah SAW bersabda,
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum sama banyak dan sama-sama
diserahkan dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang
menambahkan atau minta tambahan sungguh ia telah
berbuat riba. Pengambil dan pemberi sama.” (HR
Bukhari dan Ahmad).
54. 44
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
haramnya riba nasiah karena berkaitan dengan waktu,
sedangkan haramnya riba fadhl karena adanya
kelebihan pada barang-barang ribawi yang sejenis.
2. Riba Yad
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-
qablu), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad
sebelum timbang diterima, seperti tidak menyerahkan
dan menerima barang sewaktu akad terjadi.
3. Riba Nasi’ah
Riba nasiah, secara bahasa berarti mengakhirkan,
adapun secara istilah adalah pertambahan bersyarat
yang diterima oleh pemberi utang dari orang yang
berutang karena penangguhan atau mengakhirkan
pembayaran. Jenis riba ini diharamkan oleh Al Qur’an,
Sunnah, dan Ijma Ulama.
Dua diantara bentuk riba nasiah adalah sebagai berikut:
Pertama: seseorang memberikan pinjaman kepada
orang lain dengan mambayar bunga sekian persen
dalam kurun waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk
angsuran. Misalnya meminjam uang Rp. 100 juta dengan
bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap
bulan orang yang berhutang harus mencicil utangnya Rp.
11 juta, sehingga selama 10 bulan dia harus membayar
Rp. 110 juta.
Kedua: pihak peminjam membayar tambahan bunga
baru dari bunga sebelumnya disebabkan karena
tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo.
Semakin lama tertunda pinjaman tersebut, maka
55. 45
semakin banyak tumpukan hutang yang harus dibayar
pihak peminjam. Riba ini juga dikenal dalam al-Qur’an
dengan riaba ad’afah mudha’fah.
Misalnya Ahmad meminjam uang dari Muhammad
sebanyak Rp. 100 juta dengan bunga 10% dalam jangka
waktu 10 bulan. Setiap bulannya Ahmad harus mencicil
Rp. 11 juta, maka selama 10 bulan tersebut dia paling
tidak harus membayar Rp. 110 juta, hal itu apabila dia
tidak menunda pembayaran. Tapi apabila dia menunda
pelunasan hutangnya maka hutangnya berbunga 15%
dan begitu seterusnya. Hal inilah yang berlaku di bank-
bank konvensional yang disebut dengan istilah bunga.
C. Hukum Riba
Islam secara tegas melarang praktik riba dalam
perekonomian umat manusia. Allah SWT melarang riba
melalui al Qur’an dengan empat tahap pelarangan, yakni
sebagai berikut.
1) Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan
menambah kebaikan di sisi Allah. Allah berfirman:”
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusi, maka riba itu tidak
menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS.
Ar-Ruum: 39).
2) Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi
dengan salah satu karakternya yang suka memakan
riba. Allah SWT berfirman, ”Maka disebabkan
kedhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
56. 46
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
mereka sesungguhnya telah dilarang dari padanya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan
jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang
pedih.”(QS. An-Nisaa’: 160-161).
3) Allah SWT melarang memakan riba yang berlipat
ganda, seperti firmanNya:” Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Ali
Imran:130).
4) Allah SWT melarang dengan keras dan tegas semua
jenis riba, seperti dalam firmanNya:” Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan lepaskan
sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang
yang beriman, Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah Allah dan
Rasullnya akan memerangimu. Jika kamu bertobat
(dari pengambilan Riba), maka bagimu modalmu
(pokok hartamu), Kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula dianiaya). “ (Al Baqarah : 278-279).
Sementara bagi kita jelas apa yang dilarang (riba)
dan yang dihalalkan (jual-beli). Allah berfirman, “Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al Baqarah 275).
Dengan adanya ayat-ayat yang melarang praktik
riba dalam perekonomian umat manusia maka seluruh
manusia hendaknya meninggalkan riba dalam kegiatan
ekonominya agar tergolong orang-orang yang beriman.
57. 47
Hanya orang yang beriman dan beramal sholehlah yang
akan diberikan balasan surga oleh Allah SWT. Dengan
pelarangan riba ini, Allah telah memberikan
keleluasaan praktik ekonomi yang halal, yaitu jual beli
seperti dijelaskan pada Al-Baqarah 275 tersebut di atas.
Bagaimana besarnya dosa riba, nabi besar
Muhammad SAW telah menjelaskan dalam haditsnya
dengan periwayat yang berbeda. Diantara hadits
tersebut adalah,
“Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi
makan dengan riba, dua orang saksinya, dan penulisnya
(sekretarisnya / pengadministrasinya).” (diriwayatkan
semua penulis Sunan. At–Tirmidzi mensahihkan hadist
ini).
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan
sepengetahuannya itu lebih berat dosanya dari pada tiga
puluh enam berbuat zina.”(diriwayatkan Ahmad dengan
sanad shahih).
“Riba mempunyai tiga puluh tujuh pintu. Pintu yang
paling ringan ialah seseorang menikahi ibu
kandungnya.”(diriwayatkan Al-Hakim dan ia
menshahihkannya) [Al-Jazairi, 2001].
Berdasarkan hadist-hadits Nabi Muhammad
SAW tersebut, sebagai orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, sudah sepatutnya harus takut
akan mendapatkan dosa karena memakan riba dalam
melakukan transaksi ekonomi dalam kehidupan kita.
(Sumber: Wiyono, Slamet (2009), Ebook Membumikan
Akuntansi Syariah di Indonesisia, Shambie Publisher,
Tangerang.
58. 48
D. Pengaruh-pengaruh yang Ditimbulkan oleh Riba
1. Pengaruh kerusakan riba dari sisi akhlak
Akhlak merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari agama. Ia memiliki peranan penting dalam
pembentukan masyarakat, sehingga antara akhlak
dan keseharian seseorang sangat erat hubungannya.
Ketika akhlak menjadi rusak maka akan
tergambarkan di dalam kesehariannya. Orang yang
bermuamalah dengan riba menunjukkan
ketamakannya terhadap harta, kecintaan yang luar
biasa terhadap dunia. tamak yang menjadi
perangainya akan menjadikannya egois, tidak
mempunyai kepeduliaan kepada sesama dan bakhil.
2. Pengaruh dalam kehidupan masyarakat
Akan muncul di tengah masyarakat yang
bermuamalah dengan riba sifat hasad, iri, dengki
antara satu dengan lainnya. Mereka yang terbiasa
mengharapkan imbalan ketika berbuat baik,
menjadikan orang-orang lemah sebagai objek untuk
mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, persis
seperti keadaan kaum jahiliyyah, sehingga hilang
dari mereka sifat kasih sayang terhadap orang yang
lemah. Bahkan sebaliknya, kaum dhuafa mereka lilit
dengan hutang yang berlipat. Sebaliknya Islam
sangat menganjurkan untuk berbuat baik terhadap
kaum dhuafa, dengan memberikan perhatian kepada
mereka akan ada keseimbangan di dalam
masyarakat.
3. Pengaruh dalam masalah perekonomian
Kuat atau tidaknya perekonomian adalah penentu
bagi kuat atau tidaknya satu masyarakat. Yang
dimaksud peekonomian disini adalah perekonomian
59. 49
Islam, yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan
Hadits.
Secara kasat mata memang riba mendatangkan
pemasukan bagi kemajuan ekonomi, akan tetapi
sebenarnya ketika dikaji secara mendalam akan
didapatkan bahwa riba justru akan melemahkan
perekonomian. Jika dilihat dari kaca mata syar’i yang
benyak memanfaatkan hutang piutang dengan
bunga yang berlipat adalah orang miskin, sehingga
kehidupan mereka senantiasa terbebani dengan
tanggungan yang mencekik, keadaan perekonomian
mereka semakin terpuruk, menumpuknya hutang
dan tidak ada kemampuan untuk melunasinya. juga
membuat mereka malas untuk berusaha dan bekerja
karena mengandalkan hutang dari orang yang
memiliki modal sehinga perekonomian menjadi
pincang.
60. 50
BAB V
MANAJEMEN ISLAM
A. Pendahuluan
Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep
yang baku, namun pada perjalanannya tidak menutup
kemungkinan dilakukan ijtihad-ijtihad di dalam bidang
yang dibolehkan selama tidak keluar dari bingkai
Syari’ah Islamiyah. Sehingga Islam memang betul-betul
mampu menjawab seluruh perkembangan zaman.
Demikian juga halnya dengan sistem ekonomi Islam
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem Islam, juga tidak luput dari aktivitas ijtihad.
Dengan demikian sistem ekonomi Islam diharapkan
mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan
ekonomi yang dihadapi oleh umat manusia, tanpa keluar
dan melanggar ketentuan hukum Allah SWT. Sistem ini
memiliki pengawasan yang melekat pada diri setiap
individu pelaku ekonomi yang berakar pada keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
61. 51
Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai manusia
pertama menghuni dunia dengan tekun telah menata
sejarah kehidupan manusia tahap demi tahab dengan
tatanan yang perspektif. Tatanan kehidupan manusia
melalui tata cara yang selalu berkembang sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Tatanan kehidupan yang tertata
baik dan terarah merupakan sendi-sendi manajemen
yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan manusia.
Tatanan kehidupan manusia dari berbagai
bentuknya secara serta merta tidak akan terlepas
dengan yang namanya manajemen dari bentuk dan
keadaan yang multidimensi. Tentunya manajemen
menjadi keniscayaan bagi kehidupan manusia untuk
selalu di inovasi sesuai dengan perkembangan zaman,
sehingga manajemen bisa memberi manfaat yang lebih
baik.
B. Manajemen Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, manajemen dipandang sebagai
perwujudan amal sholeh yang harus bertitik tolak dari
niat baik. Niat baik tersebut akan memunculkan motivasi
aktivitas untuk mencapai hasil yang bagus demi
kesejahteraan bersama.
Ada empat landasan untuk mengembangkan
manajemen menurut pandangan Islam, yaitu kebenaran,
kejujuran, keterbukaan, dan keahlian. Seorang manajer
harus memiliki empat sifat utama itu agar manajemen
yang dijalankannya mendapatkan hasil yang maksimal.
Yang paling penting dalam manajemen berdasarkan
pandangan Islam adalah harus ada sifat ri’ayah atau jiwa
62. 52
kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Islam
merupakan faktor utama dalam konsep manajemen.
Manajemen menurut pandangan Islam
merupakan manajemen yang adil. Batasan adil adalah
pimpinan tak ''menganiaya'' bawahan dan bawahan tak
merugikan perusahaan. Bentuk penganiayaan yang
dimaksudkan adalah mengurangi atau tak memberikan
hak bawahan dan memaksa bawahan untuk bekerja
melebihi ketentuan. Jika seorang manajer mengharuskan
bawahannya bekerja melampaui waktu kerja yang
ditentukan, maka sebenarnya manajer itu telah
mendzalimi bawahannya. Dan ini sangat ditentang oleh
Islam. Seyogianya kesepakatan kerja dibuat untuk
kepentingan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Islam juga menekankan pentingnya unsur
kejujuran dan kepercayaan dalam manajemen. Nabi
Muhammad saww adalah seorang yang sangat
terpercaya dalam menjalankan manajemen bisnisnya.
Manajemen yang dicontohkan Nabi Muhammad saww
menempatkan manusia sebagai postulatnya atau sebagai
fokusnya, bukan hanya sebagai faktor produksi yang
semata diperas tenaganya untuk mengejar target
produksi.
Nabi Muhammad saw mengelola (manage) dan
mempertahankan (mantain) kerjasama dengan stafnya
dalam waktu yang lama dan bukan hanya hubungan
sesaat. Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan
reward atas kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan
stafnya. Manajemen Islam pun tak mengenal perbedaan
perlakuan (diskriminasi).
Manajemen menjadi sangat penting artinya dari
segala aspek kehidupan. Karena itu manajemen menjadi
63. 53
icon yang urgen baik secara individual maupun secara
kelompok. Para ilmuan bermacam-macam dalam
mendefinisikan manajemen walaupun esensinya
bermuara para satu titik temu.
Pengertian manajemen yang paling sederhana
adalah seni memperoleh hasil melalui berbagai kegiatan
yang dilakukan oleh orang lain. Menurut John D Millet,
manajemen ialah suatu proses pengarahan & pemberian
fasilitas kerja kepada orang-orang yang telah
diorganisasi dalam kelompok-kelompok formal yang
mencapai tujuan yang diharapkan. James F. Stoner,
berpendapat bahwa manajemen merupakan proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan para anggota dan sumber daya lainnya
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Menurut George R. Terry bahwa “manajemen adalah
pencapaian tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu
dengan mempergunakan orang lain.
Dari beberapa definisi tersebut bisa dipetakan
kepada tiga hal, yaitu; Pertama, manajemen sebagai ilmu
pengetahuan bahwa manajemen memerlukan ilmu
pengetahuan. Kedua, manajemen sebagai seni dimana
manajer harus memiliki seni atau keterampilan
memanej. Ketiga, manajemen sebagai profesi, bahwa
manajer yang profesiaonal yang bisa memanej secara
efektif dan efesien. Dalam konteks Islam, menurut S.
Mahmud Al-Hawary manajemen (al-Idarah) adalah
mengetahui kemana yang dituju, kesukaran apa yang
harus dihindari, kekuatan-kekuatan apa yang dijalankan,
dan bagaimana mengemudikan kapal anda serta anggota
dengan sebaik-baiknya tanpa pemborosan waktu dalam
proses mengerjakannya.
64. 54
Dari ta’rif di atas memberi gambaran bahwa
manajemen merupakan kegiatan, proses dan prosedur
tertentu untuk mencapai tujuan akhir secara maksimal
dengan bekerja sama sesuai pekerjaannya masing-
masing, maka kebersamaan dan tujuan akhirlah yang
menjadi fokus utama.
1. Sarana Manajemen
Untuk mencapai tujuan manajemen tidak hanya
terfokus kepada manusia sebagai manajer dan anggota
pelaksana lain sebagaimana definisi manajemen. Namun
disamping itu juga memerlukan sarana-sarana yang lain
yang erat hubungannya dengan pencapaian tujuan.
Sehingga sarana-sarana manajemen menjadi kesatuan
yang tidak terpisahkan antara satu sarana dengan
sarana lainnya.
Adapun sarana-sarana itu meliputi, Men, Money,
Material, Methods dan Markets. Kesemuanya itu disebut
sumber daya. Dari lima sarana tersebut atau disebut
dengan 5 M saling terkait. Hal ini menunjukkan betapa
urgennya adanya 5 M tersebut bisa berjalan secara
integral.
Men (manusia) sebagai sumber daya utama yang
mengatur dan menggerakkan segala aktifitas. Money
(uang) merupakan sarana yang selalu mengiringi segala
aktifitas seseorang. Material (materi) atau bahan-bahan
merupakan sarana manajemen yang bisa merespons
terhadap perkembangan zaman. Methods, (metode)
sebagai sarana manajemen dalam upaya efesiensi dan
tepat guna dalam pencapaian tujuan. Dan yang terakhir
markets (pasar) bagaiamana hasil dari organisasi
65. 55
tersebut benar-benar bermanfaat dan dibutuhkan oleh
masyarakat.
2. Fungsi-Fungsi Manajemen
Manajemen memiliki beberapa fungsi yang
terkait dengan pencapaian tujuan. Para ilmuan memiliki
beragam pendapat tentang fungsi-fungsi manajemen
atau juga disebut dengan unsur-unsur manajemen.
Menurut Louis A. Allen dalam bukunya
Management and Organization menegemukakan tentang
element of management terdiri dari, yaitu planning,
(perencanaan), organization (pengorganisasian),
coordination (koordinasi), motivating (motivasi),
controling (pengawasan) atau disingkat dengan POCMC.
Kemudian menurut George R. Terry unsur yang ada
dalam manajemen adalah planning, organizing,
actuating, controling, atau disingkat dengan POAC.
Sedangkan menurut James A.F. Stoner bahwa fungsi
manajemen meliputi, planning, organizing, leading,
controling atau disingkat dengan POLC. Dari beberapa
unsur/ fungsi manajemen akan mengantarkan kepada
tujuan yang diharapkan oleh suatu institusi/ organisasi
tertentu.
Dalam konteks Islam manajemen memiliki unsur-
unsur yang tidak jauh berbeda dengan konsep
manajemen secara umum. Hal ini telah tertuang dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai falsafah hidup umat
Islam. Unsur-unsur tersebut diantaranya:
a. Planning yaitu perencanaan/ gambaran dari sesuatu
kegiatan yang akan datang dengan waktu, metode
tertentu. Sebagaimana Nabi telah bersabda,
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang
66. 56
jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara
itqan (tepat, tearah, jelas, tuntas)”. (H.R. Thabrani).
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “maka apabila
kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan
hanya kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap”.
(Q.S. Al-Insyirah: 7-8)
Setiap apa yang diperbuat oleh manusia, maka ia
harus mempertanggung jawabkannya. Agama
mengajarkan umatnya untuk membuaat
perencanaan yang matang dan itqan, karena setiap
pekerjaan akan menimbulkan sebab akibat. Adanya
perencanaan yang baik akan menimbulkan hasil
yang baik juga sehingga akan disenangi oleh Allah.
Tentunya penilaian yang paling utama hanya
penilaian yang datangnya dari Allah SWT.
b. Organization merupakan wadah tetang fungsi setiap
orang , hubungan kerja baik secara vertikal atau
horizontal. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan…”. (Q.S.
Ali Imran: 103)
Ayat di atas menunjukkan bahwa organisasi
merupakan kumpulan orang-orang yang bisa
diorganisir dengan baik. Maka hendaknya bersatu-
padulah dalam bekerja dan memegang kometmen
untuk menggapai cita-cita dalam satu payung
organisasi dimaksud. Allah berfirman, “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari
67. 57
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Al-
Baqarah; 286)
Kinerja bersama dalam organisasi disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki olah masing-
masing individu. Menyatukan langkah yang berbeda-
beda tersebut perlu ketelatenan mengorganisir
sehingga bisa berkompetitif dalam berkarya.
Disamping ayat di atas, Sayyidina Ali bin Abi Thalib
membuat statemen yang terkenal yaitu: “kebenaran
yang tidak terorganisasi dengan rapi, dapat
dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisasi dengan
baik”. Pernyataan Sayyidina Ali merupakan
pernyataan yang realistis untuk dijadikan rujukan
umat Islam. Hancurnya suatu institusi yang terjadi
saat ini karena belum berjalanannya ranah
organisasi dengan menggunakan manajemen yang
benar secara maksimal.
c. Coordination, upaya untuk mencapai hasil yang baik
dengan seimbang, termasuk diantara langkah-
langkah bersama untuk mengaplikasikan planning
dengan mengharapkan tujuan yang diidamkan. Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu kedalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah setan,
karena setan itu musuhmu yang nyata”. (Q.S. Al-
Baqarah: 208)
Apabila manusia ingin mendapat predikat iman
maka secara totalitas harus melebur dengan
peraturan Islam. Iman bila diumpamakan dengan
manusia yang ideal dan Islam sebagai planning dan
aturan-aturan yang mengikat bagi manusia, maka
68. 58
tercapainya tujuan yang mulia, memerlukan adanya
kordinasi yang baik dan efektif sehingga akan
mencapai kepada tujuan ideal. Cobaan dan kendala
merupakan keniscayaan, namun dengan manusia
tenggelam dalam lautan Islam (kedamaian,
kerjasama dan hal-hal baik lainnya) akan terlepas
dari kendala-kendala yang siap mengancam.
d. Controling, pengamatan dan penelitian terhadap
jalannya planning. Dalam pandangan Islam menjadi
syarat mutlak bagi pimpinan untuk lebih baik dari
anggotanya, sehingga kontrol yang ia lakukan akan
efektif. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?” (Q.S. Ash-Shaf: 1). Begitu juga
Dalam surat At-Tahrim Allah berfirman: “Hai orang-
orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Menjaga keselamatan dan kesuksesan institusi
merupakan tugas utama manajer, baik organisasi
keluarga maupun organisasi secara universal.
Bagaimana manajer bisa mengontrol orang lain
sementara dirinya masih belum terkontrol. Dengan
demikian seorang manajer orang terbaik dan harus
mengontrol seluruh anggotanya dengan baik.
Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan bahwa
kontrol yang utama ialah dari Allah SWT,
sebagaimana dalam firmanNya: “Tidaklah kamu
perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…”
(Q.S. Al-Mujadalah: 7)
Dalam konteks ayat ini sebenarnya sangat cukup
sebagai konsep kontrol yang sangat efektif untuk
69. 59
diaplikasikan. Memahami dan membumikan konteks
ayat ini menjadi hal yang sangat urgen. Para
pelaksana institusi akan melaksanakan tugasnya
dengan konsisten sesuai dengan sesuatu yang
diembannya, bahkan lebih-lebih meningkatkan
spirit lagi karena mereka menganggap bahwa setiap
tugas pertanggung jawaban yang paling utama
adalah kepada Sang Khaliq yang mengetahui segala
yang diperbuat oleh makhluk-Nya.
e. Motivating, menggerakan kinerja semaksimal
mungkin dengan hati sukarela. Masalah yang
berhubungan dengan motivasi Allah telah
berfirman: “Dan bahwasanya mausia tiada
memperoleh selain dari apa yang telah
diusahakannya”. (Q.S. An-Najm: 39). Dalam ayat yang
lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengobah sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar-
Ra’du: 11)
Dari dua ayat tersebut di atas berimplikasi adanya
motivasi untuk selalu berusaha dan merobah
keadaan. Dengan adanya usaha dan adanya upaya
merobah keadaan ke rarah yang lebih baik akan
mengantarkan kepada tujuan dan kesuksesan yang
nyata. Dalam sebuah kata hikmah disebutkan
bahwa: “barang siapa yang bersungguh-sungguh
pasti mendapatkan”.
Disamping itu Allah berfirman yang ada kaitannnya
dengan motivasi, “Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya
70. 60
dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. Az-
Zalzalah: 7-8)
Dari uraian di atas merupakan bentuk anjuran Islam
bagi umat manusia untuk memiliki motivasi dalam
menjalani hidup. Dengan tingginya semangat dan
motivasi sebagai modal awal dalam meraih
kehidupan yang lebih cerah dan terarah. Dengan
demikian bahwa planning yang menjadi acuan
utama akan dengan mudah untuk bisa
direalisasikan, karena dengan berdasarkan agama,
motivasi manusia tidak sekedar hanya
tumenyelesaikan ntutan duniawi saja, tetapi juga
terhadap pertanggung jawaban ukhrawinya.
f. Leading, mengatur, memimpin segala aktifitas
kepada tujuan. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
banyak membahas tentang kepemimpinan.
Diantaranya sebagaimana dalam firman Allah SWT,
sebagai berikut: “Dialah yang menetapkan kamu
menjadi penguasa di muka bumi, dan ditinggikan-
Nya sebagaian kamu atas sebagian yang lain
beberapa derajat, sebagai cobaan bagimu tentang
semua yang diberikannya kepadamu”. (Q.S. Al-An’am:
165)
Selain dalam Al-Qur’an, Al-Hadits juga banyak yan
membahas tentang kepemimpinan, diantaranya:
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan
diminta pertanggungjawaban mengenai orang yang
kamu pimpin”. (H.R. Muslim).
Dalam konsepi ajaran Islam bahwa pemimpin tidak
hanya terfokus kepada seseorang yang yang
memimpin institusi formal dan non formal.
Tuntutan Islam lebih uiversal bahwa kepemimpinan
71. 61
itu lebih spesifik lagi kepada setiap manusia yang
hidup ia sebagai pemimpin, baik memimpin dirinya
maupun kelompoknya.
Dengan demikian kepemimpinan dalam ajaran Islam
dimulai dari setiap individu. Setiap orang harus bisa
memimpin dirinya dari taqarrub kepada Allah dan
menjahui larangan-Nya. Apabila manusia sudah bisa
memeimpin dirinya, maka tidak mustahil bila ia
akan lebih mudah untuk memimpin orang lain.
Disamping itu pertanggungjawaban pemimpin
dalam konteks Islam tidak serta merta hanya kepada
sesama manusia, tetapi yang paling utama adalah
pertanggungjawaban kepada Khaliknya.
C. Urgensi Manajemen Dalam Islam
Pada dasarnya ajaran Islam yang tertuang dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah juga Ijma’ ulama banyak
mengajarkan tentang kehidupan yang serba terarah dan
teratur. Dalam pelaksanaan shalat yang menjadi icon
paling sakral dalam Islam merupakan contoh konkrit
adanya manajemen yang mengarah kepada keteraturan.
Puasa, haji dan amaliyah lainnya merupakan
pelaksanaan manajemen yang monomintal.
Teori dan konsep manajemen yang digunakan
saat ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam
perspektif Islam. Manajemen itu telah ada paling tidak
ketika Allah menciptakan alam beserta isinya. Unsur-
unsur manajemen dalam pembuatan alam serta
makhluk-makhluknya lainnya tidak terlepas dengan
manajemen langit. Ketika Nabi Adam sebagai khalifah
memimpin alam raya ini telah melaksanakan unsur-
unsur manajemen tersebut.
72. 62
Contoh kecil realisasi manajemen seperti
digambarkan oleh makhluk ciptaan Allah berupa semut.
Dalam menjalankan hidupnya semut termasuk diantara
makhluk yang sangat solid dan berkomitmen menjalani
roda kehidupannya dengan menggunakan manajemen,
tentunya versi semut. Keteraturan dan komitmen semut
dalam kinerjanya sangat solit dan penuh kepatuhan.
Caryle P. Haskins, Ph.D., kepala Institut Carnegie
di Washington menyatakan, “Setelah 60 tahun
mengamati dan mengkaji, saya masih takjub melihat
betapa canggihnya perilaku sosial semut. Semut
merupakan model indah untuk kita gunakan dalam
mempelajari akar perilaku hewan”. Semut tunduk pada
sistem kasta secara ketat (kasta ratu dan jantan, prajurit,
dan pekerja). ”Semut memiliki sub kelompok, sub
kelompok ini disebut budak, pencuri, pengasuh,
pembangunan, dan pengumpul. Setiap kelompok
memiliki tugas sendiri. Sementara satu kelompok
berfokus sepenuhnya melawan musuh atau berburu,
kelompok lain membangun sarang, dan yang lain lagi
memelihara sarang.
Apabila semut bisa melaksanakan manajemen
yang hebat, tentunya manusia yang berakal mestinya
akan lebih mudah untuk melaksanakan manajemen.
Kalau sudah ada niat dan niat itu benar-benar
dioptimalkan tentunya tidak ada yang sukar untuk
mencapai keinginan. Dengan demikian apabila manusia
memiliki himmah yang kuat dan menyandarkan segala
perbuatannya hanya karena Allah SWT, insya Allah
segala usaha manusia akan tercapai dengan efektif dan
efesien.
74. 64
BAB VI
ZAKAT
A. Pengertian Zakat dan wajib zakat
I. Pengertian Zakat
Zakat menurut istilah agama Islam artinya”kadar
harta tertentu, yang diberikan kepada yang berhak
menerimanya, dengan beberapa syarat”.
Zakat menurut bahasa, berarti nama’= kesuburan,
thaharah = kesucian, barakah = keberkatan dan berarti
juga tazkiyah, tathhier = mensucikan. Syara’ memakai
kata tersebut untuk kedua arti ini.
Al-Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa zakat
mengandung makna kesuburan. Kata zakat dalam Al
Qur’an disebutkan secara ma’rifah sebanyak 30 kali. 8
kali diantaranya terdapat dalam surat Makiyah, dan
selainnya terdapat dalam surat-surat Madaniyah.
Az-Zarqani dalam Syarah Al Muwaththa’
menerangkan bahwa zakat itu mempunyai rukun dan
syarat. Rukunya ialah ikhlas dan syaratnya ialah sebab,
cukup setahun dimiliki. Zakat diterapkan kepada orang-
orang tertentu dan dia mengandung sanksi hukum,
75. 65
terlepas dari kewajiban dunia dan mempunyai pahala
diakhirat dan menghasilkan suci dari kotoran dosa.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At
Taubah:103.
Artinya : “Ambillah dari sebagian harta mereka sedekah
(zakat), untuk membersihkan dan mensucikan
mereka”……….(At Taubah [9]:103).
Selanjutnya juga dalam surat Al Baqarah: 43
Artinya : “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku’”(Q.S.[2]:43)
Dengan demikian nyatalah, bahwa zakat
merupakan manifestasi dari hidup sosial dan harus
ditangani pelaksanaannya oleh pemerintah.
Sesungguhnya penanaman zakat bukanlah karena
menghasilkan kesuburan dari harta, tetapi karena
mensucikan masyarakat dan menyuburkannya. Zakat
merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara
para hartawan dengan para fakir miskin. Pengeluaran
zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari
bencana; yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik
maupun mental. Masyarakat yang terpelihara dari
bencana-bencana tersebut menjadi masyarakat yang
hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya.
II. Syarat-syarat Wajib Zakat.
Adapun syarat-syarat wajib zakat adalah sebagai berikut
:
1. Islam, zakat tidak diwajibkan kepada non Muslim
atas dasar ucapan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, “ini
kewajiban shadaqah (zakat) yang diwajibkan oleh
Rasulullah Saw kepada kaum muslimin.”
76. 66
2. Merdeka, zakat tidak diwajibkan kepada hamba
sahaya
3. Cukup Nishab dan Haul
Pada harta-harta seseorang yang diwajibkan zakat
apabila telah sampai nishab atau disyaratkan
hartanya cukup nishab. Dan pada harta yang
diwajibkan zakat, adalah jika harta itu telah cukup
setahun dimiliki. Ini berlaku pada harta-harta yang
disyaratkan haul.
Harta-harta yang disyaratkan haul (cukup setahun
dimiliki nishabnya)
- Binatang (ternak)
- Emas dan Perak
- Barang perniagaan (dagangan).
B. Jenis-jenis Zakat
Menurut garis besar Zakat terbagi dua;
a. Zakat Mal (harta): binatang ternak, tumbuh-
tumbuhan (buah-buahan dan biji-bijian) emas,
perak dan barang perniagaan.
b. Zakat Nafs, zakat jiwa yang disebut juga “Zakatul
Fitrah” (zakat yang diberikan dengan selesainya
mengerjakan shiyam [puasa] yang difardlukan).
Ad. a. Zakat Mal (harta)
Allah telah memfardlukan zakat mal atau zakat
harta, sejak permulaan Islam sebelum Nabi Muhammad
SAW. berhijrah ke Madinah. Pada awalnya zakat
difardlukan tanpa ditentukan kadarnya dan tanpa pula
diterangkan dengan jelas harta-harta yang dikenakan
77. 67
zakatnya. Syara’ hanya menyuruh mengeluarkan zakat.
Banyak sedikitnya terserah kepada kemauan dan
kebaikan para penzakat sendiri. Hal itu berjalan hingga
tahun kedua hijrah. Mereka yang menerima pada masa
itu, dua golongan saja yaitu; fakir dan miskin
Pada tahun kedua Hijrah bersamaan dengan tahun
623 Masehi, barulah Syara’ menentukan harta-harta
yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.
Adapun zakat Mal yang wajib dizakati adalah sebagai
berikut :
1. Binatang ternak
Jenis binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya
hanya unta, sapi, kerbau, dan kambing.
a. Nisab Zakat Sapi dan Kerbau
Jumlah
sapi
Besar zakat
30 – 39
40 – 59
60-69
70 – 79
80 – 89
90-99
100-109
110-119
120-129
130-160
dst
1 ekor sapi jantan/betina tabi'
1 ekor sapi jantan/betina musinnah'
2 ekor sapi jantan/betina tabi'
1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi'
2 ekor sapi musinnah
3 ekor tabi' (sapi berumur satu tahun atau
memasuki tahun kedua)
2 ekor tabi' dan 1 ekor musinnah (sapi berumur
satu tahun atau memasuki tahun ketiga)
2 ekor musinnah dan 1 ekor tabi'
3 ekor musinnah atau 4 ekor tabi'
setiap 30 ekor, 1 tabi' dan setiap 40 ekor, 1
musinnah
78. 68
Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya
bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah
40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.
Keterangan :
tabi' : sapi berumur 1 tahun (masuk tahun ke-2)
musinnah : sapi berumur 2 tahun (masuk tahun ke-3)
b. Nisab Zakat Kambing
Jumlah
Kambing
Besar Zakat
40- 120
121-200
201– 399
301-400
401-500
1 ekor kambing (2th) atau domba (1th)
2 ekor kambing/domba
3 ekor kambing/domba
4 ekor kambing/domba
5 ekor kambing/domba
Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor
maka zakatnya bertambah 1 ekor.
Syarat bagi pemilik binatang ternak yang wajib zakat
adalah
a. Islam
b. Merdeka
c. Milik yang sempurna
d. Cukup satu nisab
e. Sampai satu tahun lamanya
f. Digembalakan di rumput yang mubah
79. 69
2. Buah-buahan dan biji-bijian
Buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma
dan anggur, buah-buahan yang lain tidak, sedangkan biji-
bijian yang wajib dizakati adalah beras, jagung, gandum,
sagu, adapun biji makanan yang tidak mengeyangkan
tidak wajib dizakati seperti kacang tanah, kacang
panjang, buncis, tanaman muda dan sebagainya.
Nisabnya adalah; Nisab buah-buahan dan biji-bijian yang
mengenyangkan adalah 300 sa’ (lebih kurang 930 liter)
bersih dari kulitnya.
Sabda Rasulullah SAW.
Artinya : “Tidak ada sedekah (zakat) pada biji-bijian dan
buah-buahan sehingga mencapai lima wasaq
( 1 wasaq = 60 sa’ jadi 5 wasaq = 5 x 60 sa’ =
300 sa’).” Zakatnya, kalau yang diairi dengan
air sungai atau air hujan adalah (10%), tetapi
kalau diairi dengan air kincir yang ditarik
oleh binatang, atau disiram dengan alat yang
memakai biaya zakatnya adalah 1/20 (5%).
3. Emas dan Perak
Nisab emas 20 misqal, berat timbangan 93,6
gram, zakatnya 1/40 (2 ½ %) = ½ misqal = 2,125 gram)
kalau di Aceh 31,2 manyam (1.manyam=3 gram) jadi
kalau 31,2 x 3 = 93,6 gram. Nisab perak 200 dirham (624
gram).
Dirham, adalah mata uang dari perak, dan Dinar, mata
uang dari emas, Misqal, adalah nama timbangan, lazim
juga dikatakan misqal untuk dinar.
Sebahagian ulama mentarjihkan pendapat yang
tidak mewajibkan zakat terhadap perhiasan emas dan
perak. Dalam hal ini, mereka membatasi emas dan perak
80. 70
yang benar-benar dimanfaatkan sehari-hari, atau yang
sering dipakai.
Adapun emas yang dibuat dalam bentuk (hiasan)
untuk menjadi harta kekayaan dan emas yang dibuat
lebih dari ukuran biasa, maka semua pihak mewajibkan
zakat. Ringkasnya, perhiasan emas dibuat untuk dipakai,
itulah yang tidak diwajibkan zakat, sedangkan yang
disimpan tetap dikenakan zakat. Demikian pula
perhiasan emas yang melewati batas, walaupun dibuat
untuk perempuan, dikenakan zakat. An-Nawawi sendiri
mengatakan bahwa perhiasan emas dibolehkan bagi
seorang wanita selama tidak berlebih-lebihan.
Berlebihan seperti dibuat gelang kaki seberat 20 dinar,
maka teranglah haramnya, hal ini juga menurut keadaan
si pemakai. Sedangkan yang diberikan dan dikenakan
untuk zakat perhiasan emas dan perak, adalah harganya.
Ad. b. Zakat Nafs (Zakatul fithrah)
Pada setiap Hari Raya ‘Aidul Fitri, setiap orang
Islam, Laki-laki dan perempuan, (untuk semua umur),
merdeka atau hamba, diwajibkan membayar zakat fitrah
sebanyak, 3,1 liter dari makanan yang mengeyangkan
menurut negeri (tiap-tiap tempat).
Dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Rasulullah SAW.
mewajibkan zakat fitri (berbuka) bulan ramadhan
sebanyak satu sa’ (sukatan) (3.1 liter) kurma atau
gandum atas tiap-tiap orang muslim merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim) dalam hadis Bukhari disebutkan, “mereka
membayar fitrah itu sehari atau dua hari sebelum hari
raya.”
81. 71
Selanjutnya di hadits yang lain dari Abu Sa’id ia
berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah satu sa’ dari
makanan, gandum, kurma, susu kering, atau anggur
kering.”(Diketengahkan oleh Bukhari dan Muslim).
Syarat-syarat wajib zakat fitrah
- Islam
- Lahir sebelum terbenam matahari pada hari
penghabisan bulan ramadhan.
- Dia mempunyai lebih harta dari keperluan
makanan untuk dirinya sendiri dan untuk wajib
dinafkahinya, pada malam hari raya dan siang
harinya. Orang yang tidak mempunyai kelebihan
tidak wajib membayar fitrah.
Sabda Rasulullah SAW;
Artinya; ”Barang siapa meminta-minta sedangkan ia
berkecukupan, sesungguhnya ia memperbesar
api neraka (siksaan).”para sahabat ketika itu
bertanya, wahai Rasulullah, apakah yang
dimaksud dengan berkecukupan itu?
”kemudian beliau menjawab,”arti
berkecukupan baginya sekedar cukup buat dia
makan tengah hari dan makan malam”.(H.R
Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Waktu pembayaran zakat fitrah
- Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari awal
ramadhan sampai hari penghabisan ramadhan.
- Waktu wajib, yaitu mulai terbenam matahari
penghabisan ramadhan.
82. 72
- Waktu yang lebih baik (sunat), yaitu dibayar
sesudah shalat subuh sebelum pagi shalat hari
raya.
- Waktu makruh, yaitu membayar fitrah sesudah
shalat hari raya, tetapi sebelum terbenam
matahari pada hari raya.
- Waktu haram, dibayar sesudah terbenam
matahari pd hari raya.
C. Orang yang berhak menerima zakat.
Orang-orang yang berhak menerima zakat hanya
mereka yang telah ditentukan Allah SWT. dalam Al-
Qur’an. mereka itu terdiri atas delapan golongan. Allah
berfirman dalam Surat At-Taubah:60
Artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah.” [Q.S.(9):60]
84. 74
BAB VII
LEMBAGA PEMBIAYAAN
Yang dimaksudkan dengan Perusahaan
pembiayaan adalah perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam kegiatan pembiayaan di samping
perbankkan dan lembaga keuangan bukan Bank (LKBB),
yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pnyediaan dana atau barang modal dengan tidak
menarik dana secara langsung dari masyarakat (Pasal 1
ayat (2) Keppres 61/ 1988).
Lembaga pembiayaan ini melakukan kegiatan yang
meliputi berbagai bidang usaha:
a. Modal ventura
b. Sewa Guna Usaha (leasing)
c. Anjak piutang
d. Kartu kredit
Perusahaan pembiayaan adalah perusahan yang
bergerak dalam kegiatan pembiayaan di samping
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank
(LKBB), yang melakukan kegiatan pembiayaan dana
atau barang modal dengan tidak menarik dana secara
langsung dari masyarakat (Pasal 1 ayat (2) Keppres 61
Tahun 1988).
85. 75
A. Modal Ventura
Modal Ventura adalah suatu kegiatan
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan
pasangan usaha (investee company) dalam jangka
waktu tertentu.
B. Sewa Guna Usaha (Leasing)
I. Pengertian leasing.
Leasing adalah Setiap kegiatan pembiayaan
perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk
jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-
pembayaran secara berkala disertai dengaan hak pilih
(opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang
modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah
disepakati bersama (Pasal 1 Kep. Bersama) (Soerjono
Soekanto, 1986: 15)
Leasing adalah Badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal, baik secara finance lease maupun operating lease
yang digunakan oleh penyewa guna usaha dengan
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala (Sri Suyatmi dan J Sudianto, 1993:8-9)
Leasing : Inggris ) adalah yaitu Lease yang
dalam pengertian umum berarti menyewakan.
Persamaannya adalah antara leasing dan sewa-menyewa
memiliki konstruksi yang sama. Pihak yang satu adalah
lessee menggunakan barang kepunyaan lessor yang
disertai dengan pembayaran berkala. Tetapi
86. 76
perbedaannya adalah dalam leasing menyangkut subjek
dan objek dari perjanjiannya adalah tertentu, sedangkan
dalam perjanjian sewa-menyewa tidak demikian. Subjek
dan objeknya tidak ditertentukan, subjeknya dapat
perorangan atau perusahaan. Subjek dalam perjanjian
leasing syarat-syaratnya ditentukan dalam suatu
perjanjian peraturan dan mengenai objeknya adalah
suatu barang modal bagi perusahaan, seperti mobil,
traktor, dan lainnya. Dalam perjanjian leasing ada hak
opsi yang dapat dipergunakan oleh lessee.
Berikut Pengertian leasing menurut :
a. Menurut Pasal 1 Surat Keputusan bersama Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian RI No. KEP
122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.
30/kpb/1/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing,
mengatakan bahwa Leasing adalah setiap
kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan
oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu
tertentu. Berdasarkan pembayaran-pembayaran
secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi
perusahaan tersebut untuk membeli barang modal
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah
disepakati bersama (Soerjono Soekanto, 1989: 15)
b Menurut Sri Suyatmi dan J.Sadianto, menyatakan
bahwa leasing adalah Badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentk penyediaan
barang modal, baik secara finance lease maupun
operating lease yang digunakan oleh penyewa guna
usaha dengan jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.