SlideShare a Scribd company logo
1 of 110
Download to read offline
PUSAT PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEPEGAWAIAN
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
ISSN: 1978 - 7103
624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015
VOL. 11, NO. 1, JUNI 2017
IVIL SERVICE
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
C
ISSN 1978-7103
CIVILSERVICEJurnalKebijakandanManajemenPNS,Vol.11,No.1,JUNI2017Halaman1-93
KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
Dwi Andayani Budisetyowati
PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURAL ASN DALAM PERSPEKTIF
KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR
Dewi Sartika
NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Eko Noer Kristiyanto
MEWUJUDKAN KONSEP BIROKRASI YANG KAYA FUNGSI
STUDI KASUS: BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Joko Tri Haryanto
SYSTEMATICREVIEW:BUDAYAINOVASIASPEKYANGTERLUPAKANDALAMINOVASIKEPEGAWAIAN
LesmanaRianAndhika
PERENCANAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL: STUDY KASUS JABATAN FUNGSIONAL TERTENTU
Novi Savarianti Fahrani
ANALISIS PENEGAKAN DISIPLIN APARATUR SIPIL NEGARA (STUDI KASUS KEDEPUTIAN
BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA(BNPB))
Trubus Harardiansah
i
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Jurnal Civil Service adalah jurnal ilmiah dalam bidang kebijakan dan manajemen PNS yang terakreditasi
dengan Nomor Akreditasi: 624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 335/E/2015 Tanggal 15 April 2015
Jurnal Civil Service sebagai media Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian
Negara memuat tulisan naskah tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori,
tinjauan kepustakaan dan resensi buku dalam bidang kebijakan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang terbit dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan November.
SUSUNAN REDAKSI
Pimpinan Redaksi	 :		Novi Savarianti F, S.H., MH. (Hukum Administrasi Negara/BKN)
Anggota Redaksi	:	Ajib Rakhmawanto, S.IP., M.Si. (Manajemen SDM/BKN)
					Dr. Yosua Jaya Edy, S.Sos, SE, M.Si (Manajemen SDM/BKN)
					 Agustinus Sulistyo Tri P., SE., M.Si. (Manajemen SDM/LAN)
					 Syafuan Rozi, S.IP., M.Si. (Kebijakan Publik/LIPI)
Anang Pikukuh Purwoko, SE., MM. (Manajemen SDM/BKN)
Mitra Bestari	 :	 Prof. Dr. Eko Prasojo (Kebijakan Publik/UI)
					 Prof. Dr. Yeremias T. Keban (Manajemen Publik/UGM)
					 Prof. Dr. Ni'matul Huda, S.H., M. Hum (Hukum Tata Negara/UII)
Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si, MM (Manajemen Administrasi/UI)
Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu (Kebijakan Publik/UI)
						Dr. Triwidodo Catur Utomo, S.H., M.A. (Hukum Administrasi Negara (LAN)
					 Dr. Slamet Rosyadi (Manajemen Publik/UNSOED)
					 Dr. MR. Khairul Muluk (Manajemen Publik/UNIBRAW)
					 Dr. Hj. R. Ira Irawati (Organisasi Publik & Manajemen SDM/UNPAD)
Dr. Pantius Drahen Soeling (Kebijakan Publik/UI)
	Penyunting Bahasa	:	Dr. Elin Nurcahyaningsih
Sekretariat Redaksi	:	Sahri, S.Pd.
					 Iskrisarto
					 Hamid Munawan, S.Sos.
					 Heri Noviyanto, S.Kom	
					 Djamarudin, BA
Desain Cover/Layout	 :	Santosa
Alamat Redaksi	 :	 Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian
					 Badan Kepegawaian Negara (BKN)
					 Gedung II Lantai 2
					 Jl. May. Jend. Sutoyo Nomor 12 Cililitan, Jakarta Timur
					 Telp. (021) 80887011, (021) 8093008 ext.2206-2207
					 Fax. (021) 80887011
					 e-mail: 	litbang@bkn.go.id
Volume 11, Nomor 2 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
ii
PENGANTAR REDAKSI
Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan
berkesinambungan, maka Civil Sevice Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS hadir untuk
menjawab tantangan global di bidang manajemen ASN. Civil Service Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS terus berupaya untuk menyajikan berbagai pemikiran dan gagasan konseptual,
baik dari hasil penelitian, kajian, aplikasi teori maupun tinjauan kepustakaan, yang berkaitan
dengan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Tujuan utamanya adalah sebagai wahana diseminasi dan sosialisasi berbagai
pemikiran yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen PNS, dengan harapan dapat
memberikan kontribusi konstruktif guna mewujudkan PNS yang profesional dan kompeten.
Selain itu, dapat dijadikan sebagai wadah pemikiran, referensi, dan acuan dalam pemecahan
masalah, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dalam merumuskan kebijakan
dan manajemen PNS yang ideal tersebut perlu adanya pemikiran, konsep yang jelas serta
implementatif. Pendapat, gagasan baru, dan rekomendasi kebijakan mengenai berbagai konsep,
pemikiran dan strategi pengembangan PNS, perlu direspon pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan SDM Aparatur.
Untuk memberikan arah perbaikan terhadap berbagai hal diatas, maka Civil Service
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini memuat berbagai
artikel yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi, kedudukan hukum kepolisian pasca
lahirnya UU-ASN, birokrasi yang netral, budaya inovasi, jabatan fungsional tertentu, dan
penegakan disiplin. Adapun beberapa judul artikel yang dimuat dalam edisi ini diantaranya;
(1) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur, (2) Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, (3) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi,
(4) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Ke-
menterian Keuangan, (5) Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam
Inovasi Kepegawaian, (6) Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional
Tertentu, (7) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)).
Harapan kami, semoga Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11
Nomor 1 Juni 2017 ini, bermanfaat bagi para pembaca.
									Pemimpin Redaksi
iii
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
DAFTAR ISI
ARTIKEL
•	 Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan
Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur ......................................
Dewi Sartika
1 - 14
•	 Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara ................................................................................................................
Dwi Andayani Budisetyowati
15 - 23
•	 Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi .....................................................
Eko Noer Kristiyanto
25 - 35
•	 Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebija-
kan Fiskal, Kementerian Keuangan ....................................................................
Joko Tri Haryanto
37 - 48
•	 Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi
Kepegawaian ......................................................................................................
Lesmana Rian Andhika
49 - 61
•	 Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu ..
Novi Savarianti Fahrani
63 - 76
•	 Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB))
Trubus Rahardiansah
77 - 93
iv
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Dewi Sartika (Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III  Lembaga Administrasi Negara)
Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah
Daerah Di Kalimantan Timur
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 1 - 14
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Dwi Andayani Budisetyowati (Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 15 - 23
Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi
dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan
dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN.
Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip-
prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat
legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU
ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU
Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti
pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.
Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN
Eko Noer Kristiyanto (Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum
dan HAM RI)
Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 25 - 35
Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat
terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat
telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah
korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan
ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di
negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif.
Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya
rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan
birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk
menjadikannya sumber korupsi
Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik
v
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Joko Tri Haryanto (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan)
Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 37 - 48
Upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan
ASN sebagai profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya
dalam prinsip merit manajemen. Karenanya, pola manajemen ASN justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek
profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Permasalahannya, masih
banyak kultur budaya yang terasa menghambat. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak
sinergi antar jabatan fungsional bagi tata laksana dalam organisasi dengan menggunakan metode analisis
kesesuaian regulasi dan lokus yang dipilih adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi. Berdasarkan analisis terhadap PMK No 234/
PMK. 01/2015, dihampir seluruh tugas pokok dan fungsi unit BKF mengemban misi analisis dan rekomendasi
kebijakan sekaligus sebagai unit penelitian dan pengembangan di lingkup Kementerian Keuangan. Namun,
masih ada beberapa overlapping antara jabatan fungsional dan struktural. Untuk beberapa unit kerja terpilih,
seharusnya sudah dapat diwujudkan pembentukan unit jabatan fungsional bukan lagi struktural misalnya di
PKPN, PKAPBN dan PKEM. Sementara di unit PKPPIM dan PKSK, masih diperlukan pembagian proporsi
antara bidang fungsional dan struktural. Khusus di PKRB, berdasarkan tugas, keseluruhan eselon III dan IV
masih tetap dipertahankan menjadi pejabat struktural.
Kata kunci: Birokrasi, ASN, Profesional, Struktural, Jabatan Fungsional
Lesmana Rian Andhika (Universitas Padjadjaran)
Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 49 - 61
Artikel penelitian ini bertujuan sebagai penelitian pendahuluan (preliminary research), dan berusaha memberikan
kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi konseptual teoritis dari berbagai literatur ilmiah lebih berfokus
kepada budaya inovasi yang dimulai dari pimpinan (pejabat). Fenomena buruknya kinerja birokrasi menjadikan
inovasi sebagai kebutuhan yang mendesak. Dasar dari pemahaman inovasi dimulai dari individu (aparatur
birokrasi) dengan budaya membiasakan diri untuk hal yang kreatif dan memunculkan ide-ide baru yang dapat
membantu kinerja birokrasi menjadi lebih baik untuk menghantarkan pelayanan publik. Metode dalam penelitian
ini menggunakan systematic reviews technique, berusaha untuk mengidentifikasi beberapa bukti tertulis yang ada
mengenai tema penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan, budaya inovasi belum menjadi sesuatu kebiasaan
dalam birokrasi (habits) terutama bagi pimpinan danbudaya inovasi belum dipandang sebagai dasar untuk
memunculkan inovasi. Namun berbagai cara dapat dilakukan untuk membudayakan inovasi secara individual
dengan memperhatikan dan memperbaiki perilaku pimpinan, pengalaman berbentuk pengetahuan, kepercayaan
terhadap konsep inovasi, kebiasaan budaya inovasi dan disertai oleh nilai-nilai positif yang mendukung inovasi.
Kata kunci: budaya, inovasi, pimpinan, birokrasi
Novi Savarianti Fahrani (Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara)
Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 63 - 76
Perencanaan Pegawai Negeri Sipil dalam kurun lima tahun terakhir difokuskan pada Jabatan Fungsional
Tertentu.Terlihat dari data bahwa rekrutmen antara JFT dan JFU terdapat perbedaan yang signifikan dan jumlah
JFT yang diangkat tidak lebih 50% dari formasi yang diajukan. Artikel ini menitikberatkan bagaimana pola
perencanaan PNS yang selama ini telah dilakukan dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang ditemui
dalam melakukan perencanaan PNS khususnya pada JFT sebagai dasar untuk menentukan model perencanaan
PNS yang ideal kedepannya. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif di 13 instansi pemerintah daerah. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, pola perencanaan PNS
selama ini melalui tiga tahap, yaitu Penyusunan Anjab dan ABK, Mengkoordinasikan kembali hasil Anjab dan
ABK yang telah disusun oleh setiap SKPD tersebut untuk mendapatkan persetujuan kepala SKPD, dan diserahkan
kepada BKD untuk ditetapkan rincian formasi. Kedua, terdapat 6 hambatan dalam melakukan perencanaan
PNS khususnya JFT, yaitu adanya regulasi yang tumpang tindih, perbedaan format perencanaan SDM, adanya
perbedaan jumlah formasi CPNS antara BKN dan Menpan, minimnya kualitas dan komunikasi pegawai yang
melakukan perencanaan SDM, kurangnya perhatian pimpinan, dan tidak di anggarkan belanja pegawai untuk
JFT.
Kata kunci: Perencanaan PNS, Jabatan Fungsional Tertentu, Anjab, ABK, Formasi
vi
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Trubus Rahardiansah (Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta)
Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB))
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 77 - 92
Aparatur Sipil Negara merupakan sumber daya manusia dalam instansi pemerintah dan merupakan kekuatan
yang menentukan bagi keberhasilan tujuan organisasi. Penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan
pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan permasalahan yang signifikan. Dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, hasil penelitian penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja
pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
menunjukkan bahwa pada umumnya masih relatif rendah kinerjanya. penegakan disiplin preventif, korektif dan
progresif melalui pembinaan dan sosialisasi peraturan-peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB belum
dilaksanakan secara maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya pegawai BNPB, khususnya pegawai di Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi belum sepenuhnya memahami, mematuhi dan melaksanakan peraturan-
peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB, khususnya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan pegawai belum pernah mengikuti sosialisasi peraturan tentang disiplin tersebut. Selain
itu, pegawai hanya mengetahui peraturan sebatas disiplin waktu kerja dan sanksi dari ketidakhadiran atau
keterlambatan jam kerja berupa pemotongan tunjangan kinerja, disisi lain banyak pegawai yang tidak bekerja
secara optimal dan tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Kata kunci: aparatur sipil negara, penegakan disiplin kerja, manajemen sumber daya aparatur
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
1
PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURALASN
DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER
PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR
STATE CIVILAPPARATUS SOCIO-CULTURAL COMPETENCY
DEVELOPMENT ON THE PERSPECTIVE OF GENDER AWARENESS
IN EAST BORNEO REGION
Dewi Sartika
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III 
Lembaga Administrasi Negara
Jalan HM Ardans, SH (Ring Road III) Sempaja Kalimantan Timur
e-mail: naurah10@yahoo.com
(Diterima 13 April 2017, Direvisi 17 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Abstract
State Civil Apparatus socio-cultural in regard with the gender awareness is one of the main competency that
civil servants must had. This study explains how the development of civil servants socio-cultural competency
in East Borneo region had been conducted. This study used desk research qualitatively using two indicators,
which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders. The results
showed that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low
and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. . The results shown
that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the
higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. The results were also shown
that the higher the echelon level the lower the representation. The perceptions of the leaders indicate that the
means to develop competency in regard to gender awareness is needed. This can be achieved by integrating the
gender perspective in civil servant training curriculum, institutional, and promotion and selection mechanism
improvement, also through the regulation in leaders position appointment, as well as dissemination of the gender
perspective continually.
Key words: aparatus competency, mainstreaming gender perspective, gender awareness
PENDAHULUAN
Isu gender dalam pembangunan
semakin menarik untuk dibicarakan,
terutama jika melihat fakta bahwa jumlah
perempuan selalu lebih banyak dibanding
laki-laki. Seperti data yang diungkapkan
dalam Human Development Report Tahun
2001 dari United Nation Development
Program (UNDP) dalam (Nugroho, 2008),
yang menyiratkan bahwa perhatian pem-
bangunan perlu memberi tekanan lebih
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
2
besar pada pembangunan wanita. Tidak
hanya jumlahnya akan tetapi kualitas
pembangunan manusia di Indonesia dalam
Human Development Index (HDI) sangat
rendah terutama pembangunan wanitanya
juga rendah menurut Gender Related
Development Index (DGI), dan Gender
Empowerment Measure (GEM). Indonesia
tercatatdalamurutanke-102(HDI)danurutan
ke-92 (GDI). Sedangkan pengukuran GDI,
data tidak tersedia. Sebagai perbandingan
dari negara tetangga, Singapura termasuk
dalam urutan ke-26 (HDI dan GDI), dan
urutan ke-38 ranking GEM. Negara Malaysia
dalam urutan ke-56 (HDI), urutan ke-55
(GDI) dan urutan ke-38 (GEM). Negara
Brunei dalam urutan ke-32 (HDI), urutan
ke-55 (GDI), sedangkan pengukuran GEM
data tidak tersedia.
Pada banyak lembaga, masih terdapat
kesenjangan gender. Rendahnya representasi
perempuan mempengaruhi rendahnya
kualitas partisipasi perempuan dalam
pengambilan kebijakan dan pada akhirnya
rendah pula kualitas kesetaraan gender
dari kebijakan-kebijakan publik. Dari data
jumlah total Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang menduduki jabatan struktural menurut
jenis kelamin tahun 2016, tersaji dalam tabel
berikut ini:
Tabel 1. Jumlah PNS Dirinci Menurut Jabatan Struktural dan Jenis Kelamin
JABATAN PNS PRIA PERSEN WANITA PERSEN JUMLAH PERSEN
Eselon I 474 0,11 76 0,02 550 0,13
Eselon II 16.275 3,78 2.336 0,54 18.611 4,33
Eselon III 70.885 16,48 18.901 4,39 89.786 20,87
Eselon IV 199.437 46,36 105.747 24,58 305.184 70,94
Eselon V 11.037 2,57 5.006 1,16 16.043 3,73
Jumlah 298.108 69,30 132.066 30,70 430.174 100%
Sumber : www.bkn.go.id
Berdasarkan tabel tersebut, persentase
ASN perempuan masih kecil daripada
persentase ASN laki-laki. Namun rasio
tersebut menunjukkan tingkat kepekaan
gender di pemerintahan kita sudah cukup
baik. Kesetaraan gender dihadirkan agar
tercipta kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan dalam mem-peroleh kesempatan
serta haknya sebagai manusia dan dalam
menikmati hasil pembangunan. Ini ditandai
dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, tidak ada lagi
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marjinalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan dan laki-laki.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN)
ditetapkan sebagai panduan dalam pengem-
bangan ASN terkait kompetensi teknis,
manajerial dan sosio kultural. Pengem-
bangan kompetensi merupakan upaya untuk
pemenuhan kebutuhan kompetensi ASN
standar kompetensi jabatan dan rencana
pengembangan karier. Pengembangan kom-
petensi dilakukan dengan memperhatikan
kesenjangan akses, partisipasi, publik dan
manfaat yang diterima antara laki-laki dan
perempuan dalam lingkungan kerja maupun
dalam kehidupan bermasyarakat. Responsif
dan sensitif gender dirumuskan dalam di-
mensi kompetensi sosiokultural.
Berdasarkan diskursus tersebut diatas
dapat diartikan bahwa pengembangan
kompetensi sosio kultural khususnya
dalam konteks kepekaan gender menjadi
sebuah kebutuhan mendesak dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik. Berangkat dari fenomena tersebut,
dalam riset ini melihat kualitas kesetaraan
gender dalam organisasi publik yang
dicerminkan oleh kehadiran perempuan di
dalam organisasi publik dan mekanisme
promosi/pengangkatan dalam jabatan
struktural di pemerintah -pemerintah daerah
di Kalimantan Timur jadi ruang lingkupnya
hanya membatasi Selain itu, riset ini juga
melihat tingkat persepsi pemangku jabatan
pimpinan tinggi dalam melihat kepekaan
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
3
gender sebagai kompetensi sosio-kultural
pada pemerintah-pemerintah daerah di
Kalimantan Timur.
PengembanganKompetensiSosioKultural
Berdasarkan Pasal 69 UU-ASN,
pengembangan kompetensi ASN dilakukan
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, peni-
laian kinerja, dan kebutuhan Instansi
Pemerintah yang dilakukan dengan memper-
timbangkan integritas dan moralitas. Yang
dimaksud dengan kompetensi ASN dalam
UU-ASN meliputi:
1.	Kompetensi teknis yang diukur dari
tingkat dan spesialisasi pendidikan,
pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis;
2.	 Kompetensi manajerial yang diukur
dari tingkat pendidikan, pelatihan publik
atau manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan
3.	 Kompetensi sosial kultural yang diukur
dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama,
suku, dan budaya sehingga memiliki
wawasan kebangsaan.
Pengembangan kompetensi diatas me-
rupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan
kompetensi ASN dengan standar kompetensi
jabatan dan rencana pengembangan karier,
yang dilakukan pada tingkat instansi dan
nasional. Kesempatan ini diberikan bagi
setiap ASN dengan memperhatikan hasil
penilaian kinerja dan penilaian kompetensi
ASN yang bersangkutan dengan minimal 80
jam pelajaran (jampel) atau jam pelatihan
(jamlat) dalam 1 (satu) tahun.
Penyelenggaraan pengembangan
kom-petensi ini wajib dilakukan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
dengan menetapkan kebutuhan dan rencana
pengembangan kompetensi, melaksanakan
pengembangan kompetensi dan evaluasi
pengembangan kompetensi, sebagaimana di-
amanatkan dalam pasal 167 ayat 5 UU-ASN.
Oleh karenanya, pengembangan kompetensi
tersebut menjadi dasar dalam pengangkatan
jabatan dan pengembangan karier.
Terkait pelaksanaan pengembangan
kompetensi ASN, Singal (2008) mengatakan
dalam penelitiannya yang berjudul “Sistem
Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian Dalam Kebijakan
Penempatan Jabatan Struktural di Provinsi
Sulawesi Utara”, mengungkapkan empat
kesimpulan yaitu:
1.	Bahwa Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU Kepegawaian) belum
efektif dilaksanakan dimana banyak
kepentingan-kepentingan yang menjadi
prioritas utama, atau banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan-pertimbangan lain
di luar pertimbangan yuridis formal.
Sehingga berimplikasi kurang baik pada
hasilpengisianataupengangkatanpejabat
publik, dimana dalam pengangkatan PNS
sampai pada penempatan pegawai, masih
diwarnai dengan pengaruh spoil system,
nepotism system, dan patronage system.
Akibatnya untuk mendapatkan pejabat
yang memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang optimal sering terabaikan.
Implementasi transformasi normative
manajemen PNS banyak terganjal oleh
kultur lama yang terlanjur mengakar
dan sulit diubah sebagai akibat dari pola
rekruitmen pegawai masa lalu yang lebih
bernuansa “rekruitmen politik” untuk
membesarkan dukungan terhadap partai
politik dan mengkooptasi birokrasi.
2.	 Penempatan Jabatan Struktural banyak
dipengaruhi oleh pejabat yang ber-
sangkutan. Terdapat banyak celah pada
UU-Kepegawaian sehingga proses
pengaturan publik pembinaan karier
belum berjalan sebagaimana diharapkan,
karena banyak pegawai yang tidak
berusaha mengembangkan potensi atau
menyesuaikan dengan penilaian prestasi
kerja. Selain itu tidak semua pegawai
memahami jalur karier dan prospek
kariernya sendiri, atau kurangnya sosiali-
sasi jabatan dalam lingkup kepegawaian
khususnya jabatan yang kosong. Hal
ini menghambat kesempatan seorang
pegawai untuk lebih meningkatkan
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
4
kariernya ke jenjang yang lebih tinggi.
Analisis terhadap karier pegawai me-
rupakan proses yang sering diabaikan
oleh organisasi ataupun individu sendiri.
Proses ini sangat penting karena meng-
identifikasi potensi (kekuatan) dan ke-
lemahan yang dimiliki oleh seorang
pegawai, dan dengan demikian karier
pegawai yang bersangkutan dapat di-
rencanakan dan dikembangkan sebaik-
baiknya.
3.	 Kebijakan dalam penetapan dan penem-
patan jabatan publik yang ada (UU-
Kepegawaian, Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengang-
katanPegawaiNegeriSipilDalamJabatan
Struktural, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penilaian Calon Sekretaris
Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Serta Pejabat Struktural Eselon II Di
Lingkungan Kabupaten/Kota, Keputusan
Kepala BKN Nomor 12 Tahun 2002
tentangKenaikanPangkatPegawaiNegeri
Sipil) ternyata tidak memiliki ketegasan
hukum dalam mengatur mekanisme dan
pengangkatan jabatan publik. Rekruitmen
calon pejabat publik mengikuti selera
pejabat yang berkuasa dalam hal ini
Gubernur sebagai PPK di Daerah
Provinsi dengan mudah dapat melakukan
penekanan pada Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat)
atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
serta memasukkan kepentingan tertentu
dengan menempatkan PNS dalam jabatan
publik di birokrasi.
4.	 Secara terstruktur posisi perangkat
kepegawaian daerah dan personil di
dalamnya lemah dihadapan PPK yang
dalam hal ini dijabat oleh pejabat politik.
Karena ketika Pejabat yang berkuasa
menginginkan atau mengeluarkan kebi-
jakan sesuai dengan keinginannya maka
perangkat pegawai tidak dapat menolak
meskipun hal tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku.
Lebih lanjut dimensi kompetensi sosio-
kultural menurut Sartika et AL., (2015)
diturunkan menjadi mengelola keragaman
budaya, membangun network sosial,
manajemen konflik, empati sosial, kepekaan
gender dan kepekaan difabelitas, yang di-
definisikan sebagai berikut:
1.	Mengelola Keragaman Lingkungan
Budaya adalah kemampuan memahami
dan menyadari adanya perbedaan budaya
dan melihatnya sebagai hal yang positif,
dalam bentuk implementasi manajemen
kerja dengan mencegah diskriminasi dan
menerapkan prinsip inklusifitas sehingga
tujuan organisasi akan tercapai secara
efektif.
2.	 Membangun Network sosial adalah
kemampuan membangun interaksi
sosial atau hubungan publik balik yang
menghasilkan suatu proses pengaruh
mempengaruhi atau individu, antara
kelompok atau antar individu dan
kelompok.
3.	 ManajemenKonflikadalahkemampuan
dalam mengelola konflik antar organisasi
secara konstruktif
4.	 Empati Sosial adalah kemampuan untuk
memahami perbedaan pikiran, perasaan,
atau masalah berbagai kelompok sosial
yang berbeda.
5.	 Kepekaan Gender adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari kesen-
jangan akses, partisipasi, publik dan
manfaat yang diterima antara laki-laki
dan perempuan dalam lingkungan kerja
maupundalamkehidupanbermasyarakat,
yang secara potensial merugikan baik
hak laki-laki maupun perempuan dalam
konstruksi sosial kultural.
6.	 Kepekaan Difabelitas adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari ke-
butuhan kelompok dengan keterbatasan
fisik dan mental (difabel).
Dari tinjauan diatas, diketahui kepekaan
gender merupakan dimensi kompetensi sosio
kultural, yang diharapkan dimiliki setiap
ASN, khususnya pemangku jabatan
pimpinan tinggi dalam organisasi publik/
birokrasi. Diharapkan tidak hanya di tingkat
eksekutif, tetapi juga tingkat legislatif dan
yudikatif.
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
5
Kepemimpinan Berperspektif Gender
Perspektif gender atau identitas gender
menurut Nugroho (2008) merupakan definisi
diri tentang seseorang, khususnya sebagai
perempuan atau laki-laki, yang berinteraksi
secara kompleks antara kondisi biologisnya
sebagai perempuan maupun laki-laki
dengan berbagai karakteristik perilakunya
yang dikembangkan sebagai hasil proses
sosialisasinya.
Women’s Studies Encyclopedia dalam
Nugroho (2008) mencatat gender sebagai
suatu konsep kultural yang berupaya mem-
buat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat. Dengan
kata lain, gender bukan merupakan kodrat
Tuhan melainkan buatan manusia, sebagai
sebuah konstruksi sosial yang bukan bawaan
lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung dari tempat, waktu, suku ras/
bangsa, budaya, status sosial, pemahaman
agama, Negara, publik, politik, hukum dan
ekonomi.
Kepemimpinan berperspektif gender
dimaknai sebagai pengangkatan dalam
jabatan pimpinan tinggi dan atau peran
pemimpin yang memperhatikan dimensi
gender (laki-laki dan perempuan) dengan
berbagai karakteristik perilaku, hak dan
kewajiban yang melekat padanya. Sebagai
contoh, seorang pegawai maupun pimpinan
yang merupakan seorang perempuan dimana
peran yang melekat padanya juga adalah
peran seorang istri dan ibu, membutuhkan
ketrampilan dalam mengelola waktu pribadi
dan waktu publiknya sehingga kewajiban
keduanya dijalankan dengan harmonis,
tidak berbenturan. Hal ini membutuhkan
kondusifitas lingkungan yang sensitif dan
responsif gender. Dengan kata lain, riset ini
menilai kualitas kesetaraan gender untuk
organisasi publik dalam hal ini adalah
eksekutif/organisasi birokrasi.
Kualitas kesetaraan gender untuk
organisasi publik (legislatif, yudikatif, dan
eksekutif) masih rendah, ini merupakan
hasil penelitian sebelumnya terkait ke-
setaraan gender oleh Nugroho (2008)
dalam “Gender dan Administrasi Publik,
Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender
dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca
Reformasi 1998-2002”. studi tersebut
melakukan pengamatan gender (gender scan)
pada administrasi publik baik di tingkat pusat
atau nasional, provinsi maupun kabupaten/
kota. Dengan menilai kualitas kesetaraan
gender dalam kebijakan publik, organisasi
publik, lembaga pendidikan bagi adminis-
trator publik dan dalam mekanisme pengarus-
utamaan gender dalam administrasi publik.
Model yang dikembangkan oleh Nugroho
(2008) merujuk kepada gender scan yang
antara lain adalah aktivitas untuk mengetahui
kesamaan akses dan publik terhadap sumber
daya antara laki-laki dan perempuan dalam
organisasi, sensitivitas gender dalam pe-
ngembangan perencanaan dan kebijakan
organisasi, adanya kebutuhan strategi gender,
adanya gender steorotype, hubungan gender,
dan pembagian kerja berdasarkan gender.
Menurut Nugroho (2008) pada
organisasi publik pengukuran kualitas
kesetaraan gender secara seragam diletakkan
kepada representasi. Pengukuran representasi
diletakkan kepada ukuran ke-setaraan gender
UNDP, yaitu 50/50, yang memberikan
ukuran bahwa kesetaraan akan terjadi jika
representasi laki-laki dan perempuan sama,
yaitu 50% dan 50%. Dengan demikian
representasi maksimum dari perempuan
dalam organisasi publik yang berkesetaraan
gender adalah jika representasi perempuan
sebanyak 50% dari keseluruhan anggota.
Pendekatan representasional ini diambil
karena dianggap sebagai pendekatan yang
paling mditerima di kalangan perngarus-
utamaan gender. Pengukuran mengunakan
ukuran interval tingkat representasi tersebut
sebagai berikut:
a.	 Representasi tinggi, yaitu interval teratas
dari interval–bagi-tiga dari 50% yaitu
33%-50%
b.	 Representasi memadai (menengah) yaitu
interval kedua dari interval-bagi-tiga
dari 50% yaitu 17%-32%
c.	 Representasi rendah yaitu interval ter-
bawah atau ketiga dari interval-bagi-tiga
dari 50% yaitu 0-16%
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
6
Pada variabel organisasi, meski rujukan
50/50 UNDP digunakan akan tetapi dalam
riset tersebut, tidak diberikan rekomendasi
untuk memberikan kuota kepada perempuan
untuk mendapatkan representasi 50/50 pada
organisasi publik. Yang direkomendasikan
hanya upaya peningkatan representasi
perempuan melalui strategi pengembangan
kapasitas dari perempuan di dalam organisasi
publik dan organisasi pendukungnya di satu
sisi, dan di sisi lain meningkatkan sensitivitas
gender dari organisasi publik melalui
sensitisasi gender pada anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dari organisasi-
organisasi publik. Selain itu, diperlukan
strategi untuk meningkatkan representasi
di dalam organisasi-organisasi administrasi
publik melalui perbaikan kelembagaan dan
mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi
dalam organisasi tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode
desk research, dimana perolehan data dari
sumber-sumber primer dan sekunder, yakni
hasil penelitian sebelumnya, jurnal, laporan
dan data statistika, untuk kemudian di-
kembangkan dan dianalisis secara kualitatif.
Adapun fokus permasalahan
dalam kajian ini dibatasi pada tinjauan
pengembangan kompetensi ASN dalam
konteks sosio-kultural, dimana secara
spesifik mengkhususkan pada dimensi
kepekaan gender, yang diukur dari dua
aspek, yakni tingkat representasi gender
pada jabatan pimpinan tinggi di Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seluruh
pemerintahan daerah di Kalimantan Timur,
dan persepsi pemangku jabatan pimpinan
tinggi di 4 (empat) pemerintah daerah
yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kota
Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten
Kutai Kartanegara.
PEMBAHASAN
Provinsi KalimantanTimur merupakan
salah satu Provinsi terluas kedua setelah
Papua, Kalimantan Timur memiliki luas
wilayah daratan 127.267,52 km2
dan luas
pengelolaan laut 25.656 km2
terletak antara
113º44’ Bujur Timur dan 119º00’ Bujur
Timur serta diantara 2º33’Lintang Utara dan
2º25’ Lintang Selatan.
Penduduk Kalimantan Timur pada
tahun 2010 berdasarkan hasil sensus pen-
duduk mencapai 3.047.500 jiwa, dengan
pertumbuhan penduduk setiap tahunnya
rata-rata 3,60 persen. Adapun jumlah pen-
duduk tahun 2015 sebanyak 3.426.638
jiwa dengan komposisi penduduk menurut
jenis kelamin terdiri dari penduduk laki-laki
1.797.297 jiwa (52,45 persen) dan penduduk
perempuan 1.629.341 jiwa (47,55 persen).
Secara lengkap komposisi jumlah penduduk
per Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur
tersaji dalam tabel berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Rasio Jenis Kelamin Provinsi
Kalimantan Timur 2015
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Rasio
1.	 Paser 139.219 123.082 262.301 113,11
2.	 Kutai Barat 77.010 68.828 145.838 111,89
3.	 Kutai Kartanegara 377.070 340.719 717.789 110,67
4.	 Kutai Timur 173.586 146.529 320.115 118,47
5.	 Berau 112.297 96.596 208.893 116,25
6.	 Penajam Paser Utara 80.609 73.626 154.235 109,48
7.	 Balikpapan 317.988 297.586 615.574 106,86
8.	 Samarinda 420.141 392.456 812.597 107,05
9.	 Bontang 85.522 77.804 163.326 109,92
10.	 Mahakam Ulu 13.855 12.115 25.970 114,36
Jumlah / Total        2015 1.797.297 1.629.341 3.426.638 110,31
2014 1.758.073 1.593.359 3.351.432 110,34
2013 1.718.918 1.556.926 3.275.844 110,4
2012 1.678.863 1.520.833 3.199.696 110,39
Sumber:  Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur.
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
7
Berdasarkan hasil pemekaran
daerah otonomi baru tahun 2014, Provinsi
Kalimantan Timur terdiri dari 7 Kabupaten
dan 3 Kota, dimana memiliki jumlah
pegawai negeri sipil daerah sebesar 71.023
pegawai, dengan perbandingan komposisi
Tabel 3. Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur Tahun 2015
No Pemerintah Daerah
Jumlah
PNS
Gender Rasio
Pria Wanita Pria Wanita
1 Pemprov. Kaltim 7.234 4.303 2.931 59,5% 40,5%
2 Kutai Kartanegara 16.525 8.955 7.570 54,2% 45,8%
3 Kutai Barat 4.504 2.551 1.953 56,6% 43,4%
4 Kutai Timur 6.654 3.539 3.115 53,2% 46,8%
5 Paser 5.562 3.105 2.457 55,8% 44,2%
6 Penajam Paser Utara 4.044 2.023 2.021 50,0% 50,0%
7 Berau 5.837 3.339 2.498 57,2% 42,8%
8 Samarinda 10.295 4.831 5.464 46,9% 53,1%
9 Balikpapan 6.367 2.737 3.630 43,0% 57,0%
10 Bontang 3.349 1.524 1.825 45,5% 54,5%
11 Mahakam Ulu 652 399 253 61,2% 38,8%
TOTAL 71.023 37.306 33.717 52,53% 47,47%
Sumber : Badan Kepegawaian DaerahProvinsi Kaltim (data diolah)
menurut jenis kelamin terdiri dari 37.306
orang pegawai laki-laki (52,5 %) dan 33.717
orang pegawai perempuan (47,5 %), dengan
uraian selengkapnya sebagaimana tabel
berikut:
Jika membandingkan rasio jumlah
ASN terhadap rasio jumlah penduduk di
Kaltim dalam konteks gender, dapat terlihat
bahwa representasi pegawai perempuan
dalam komposisi kepegawaian relatif sangat
baik, dimana rasio jumlah ASN terhadap
rasio jumlah penduduk relatif sebanding.
Namun demikian, untuk mendapatkan
gambaran yang lebih komprehensif terkait
pengarus-utamaan dan representasi gender
dalam komposisi kepegawaian ASN di
Kaltim, perlu kiranya melihat secara lebih
mendalam komposisi ASN berdasarkan
level golongan ruang dan eselonisasi di tiap
pemerintahan daerah. Secara lengkap tabel
jumlah ASN berdasar Eselon dan Golongan
ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan
Timur tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah PNS berdasarkan Golongan Ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur
Tahun 2015
NO
PEMERINTAH
DAERAH
 GOLONGAN RUANG BERDASAR GENDER
IV III II I
P W P W P W P W
1
 
PEMPROV.
KALTIM
516 288 2168 1729 1369 854 250 60
64,18% 35,82% 55,63% 44,37% 61,58% 38,42% 80,65% 19,35%
2
 
KUTAI
KARTANEGARA
1997 1526 3400 3596 3298 2397 260 51
56,68% 43,32% 48,60% 51,40% 57,91% 42,09% 83,60% 16,40%
3
 
KUTAI BARAT
 
474 278 1092 837 932 825 84 13
63,03% 36,97% 56,61% 43,39% 53,04% 46,96% 86,60% 13,40%
4
 
KUTAI TIMUR
 
337 147 1743 1619 1396 1319 63 30
69,63% 30,37% 51,84% 48,16% 51,42% 48,58% 67,74% 32,26%
5
 
PASER
 
784 487 1514 1504 719 465 88 1
61,68% 38,32% 50,17% 49,83% 60,73% 39,27% 98,88% 1,12%
6
 
PPU
 
424 314 960 1131 591 562 52 10
57,45% 42,55% 45,91% 54,09% 51,26% 48,74% 83,87% 16,13%
7
 
BERAU
 
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
8
 
SAMARINDA
 
1527 2022 2059 2595 1139 841 106 6
43,03% 56,97% 44,24% 55,76% 57,53% 42,47% 94,64% 5,36%
9
 
BALIKPAPAN
 
170 13 875 541 945 1717 747 1359
92,90% 7,10% 61,79% 38,21% 35,50% 64,50% 35,47% 64,53%
10
 
BONTANG
 
213 311 706 1040 531 468 74 6
40,65% 59,35% 40,44% 59,56% 53,15% 46,85% 92,50% 7,50%
11
 
MAHAKAM ULU
 
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
8
Tabel 5. Jumlah ASN berdasar Eselonisasi di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015
NO
PEMERINTAH
DAERAH
 ESELONISASI BERDASAR GENDER
I II III IV
P W P W P W P W
1
 
PEMPROV.
KALTIM
0 0 49 12 236 63 464 300
    80,33% 19,67% 78,93% 21,07% 60,73% 39,27%
2
 
KUTAI
KARTANEGARA
0 0 38 3 190 32 855 276
    92,68% 7,32% 85,59% 14,41% 75,60% 24,40%
3
 
KUTAI BARAT
 
0 0 31 33 125 156 326 478
    48,44% 51,56% 44,48% 55,52% 40,55% 59,45%
4
 
KUTAI TIMUR
 
0 0 39 3 184 27 427 185
    92,86% 7,14% 87,20% 12,80% 69,77% 30,23%
5
 
PASER
 
0 0 35 4 133 34 404 173
    89,74% 10,26% 79,64% 20,36% 70,02% 29,98%
6
 
PPU
 
0 0 25 1 103 19 327 131
    96,15% 3,85% 84,43% 15,57% 71,40% 28,60%
7
 
BERAU
 
0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
    n.a n.a n.a n.a n.a n.a
8
 
SAMARINDA
 
0 0 40 3 153 47 676 392
    93,02% 6,98% 76,50% 23,50% 63,30% 36,70%
9
 
BALIKPAPAN
 
0 0 23 8 100 38 346 312
    74,19% 25,81% 72,46% 27,54% 52,58% 47,42%
10
 
BONTANG
 
0 0 25 7 88 26 240 136
    78,13% 21,88% 77,19% 22,81% 63,83% 36,17%
11 MAHAKAM ULU
0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
    n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Dalam grafik di bawah ini akan
digambarkan terkait perbandingan rasio
Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Eselon II
berdasarkan Gender di pemerintah daerah
Kalimantan Timur, minus Kabupaten
Mahakam Ulu dan Kabupaten Berau, karena
data ASN daerah yang bersangkutan tidak
tersedia. Dari grafik tersebut terlihat bahwa
representasi gender pada pimpinan Eselon
II menunjukkan terdapat 5 (lima) pemda
yang berada pada representasi rendah, 3
(tiga) pemda berada pada tingkat menengah
dan hanya satu daerah yang mencapai nilai
tinggi, yakni Pemda Kutai Barat.
Gambar 1. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon II berdasar Jenis Kelamin
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
9
Dari grafik tersebut terlihat bahwa
Pemda Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU) berada pada level terbawah, dengan
jumlah pegawai eselon II perempuan hanya
berjumlah satu orang saja, padahal jika
melihat potensi jumlah pegawai perempuan
yang berada pada golongan IV mencapai
314 orang, demikian pula Kota Samarinda
dari sekitar 2022 orang pegawai perempuan
pada level golongan IV, hanya mampu
mendorong 3 (tiga) orang pimpinan pada
jabatan stuktural eselon II.
Lebih jauh jika melihat pada tataran
eselon III, representasi perempuan pada
jabatan struktural terlihat lebih banyak,
sekalipun jika diukur berdasarkan pengarus-
utamaan gender, masih terdapat 3 (tiga)
pemda yang berada pada level rendah,
selebihnya 5 (lima) pemda pada level
menengah, dan kembali pemda Kutai
Barat menjadi satu-satunya daerah yang
merepresentasikan pengarus-utamaan gender
pada level tinggi. Sebagaimana tergambar
dalam grafik berikut:
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Hal yang menarik dari grafik di atas
adalah Pemda Kota Samarinda yang se-
belumnya berada pada urutan dua terendah,
kini meningkat menjadi tiga besar daerah
yang merepresentasikan gender setelah Kutai
Barat dan Balikpapan. Ironisnya Pemda
Kutai Kartanegara justru turun peringkat,
sekitar 1500 orang pegawai golongan IV di-
tambah 3500 pegawai perempuan golongan
III, hanya dapat menghasilkan 32 orang
pegawai perempuan yang menduduki jabatan
pimpinan tinggi eselon III setara Kepala
Bidang, Kepala Bagian, dan Kepala Biro.
Pada level jabatan administratif seperti
eselon IV, representasi pegawai perempuan
semakin terbuka lebar, dari grafik dibawah
ini dapat terlihat bahwa separuh lebih Pemda
telah memberikan peran yang lebih besar
bagi representasi pegawai perempuan
dalam jabatan pimpinan tinggi eselon IV,
hanya tiga pemda yang berada pada level
menengah, yakni Kutai Kartanegara pada
urutan terbawah, diikuti Kabupatan PPU dan
Kabupaten Paser. Jabatan eselon IV dapat
dikatakan sebagai jabatan administratif,
karena peran yang dibutuhkan lebih kepada
penerjemah kebijakan dari pimpinan pada
level eselon II dan eselon III. Sebagaimana
tergambar dalam grafik berikut:
PERBANDINGAN RASIO JPT ESELON III BERDASAR JENIS
KELAMIN
Gambar 2. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon III berdasar Jenis Kelamin
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
10
Jika melihat pada ketiga grafik diatas
dapat kita elaborasi lebih lanjut terkait
pengarus-utamaan gender pada Pemda di
Kaltim, dimana terdapat kecenderungan
bahwa pengarusutamaan gender lebih
banyak direpresentasikan pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten. Hal
ini dapat terlihat pada daerah Kabupaten
seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai
Timur, PPU dan Paser yang cenderung
merepresentasikan rendah dalam pengarus-
utamaan gender dibandingkan daerah
Kota Samarinda, Bontang dan Balikpapan.
Kondisi tersebut dapat dipahami
bahwa wilayah Kabupaten yang umumnya
pedesaan cenderung masih memiliki ikatan
sosiologis dan akar budaya yang lebih
kuat, dimana sistem nilai yang berlaku
di masyarakat cenderung rigid dibanding
wilayah perkotaan yang lebih permisif
terhadap interaksi budaya luar, dimana
wilayah kota memungkinkan terbangunnya
interaksi yang dinamis antar pemikiran
secara terbuka terhadap ide pluralitas dan
gender.
Masyarakat di daerah pedesaan sering
bersifat homogen yang masih memegang
prinsip-prinsip nilai kearifan lokal setempat,
dimana umumnya bersifat patrilineal,
norma budaya ini sering menempatkan
perempuan pada level sub-ordinasi kaum
pria, perempuan kerap dianggap lebih
inferior dan kurang memiliki kompetensi
dalam memimpin dan mengambil keputusan
strategis, sehingga tidak mengherankan bila
jabatan pimpinan tinggi pada kelembagaan
publik lebih didominasi peran kaum pria.
Disisi lain, dalam grafik juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi
level jabatan struktural (eselon), maka
semakin rendah permissivitas terhadap
representasi pengarus-utamaan gender,
dimana pegawai perempuan umumnya
lebih banyak diposisikan pada jabatan-
jabatan administratif di level eselon IV,
dibandingkan pada jabatan tinggi strategis
pengambil kebijakan (decision maker) dan
pemimpin SKPD di level eselon II.
Padahal, jika melihat kalkulasi rasio
jumlah pegawai perempuan berada pada
golongan III dan IV, akan terlihat relatif
seimbang dengan rasio jumlah pegawai laki-
laki. Hal ini bermakna bahwa secara potensi
kuantitatif jumlah pegawai perempuan
yang memiliki kompetensi dan telah
memenuhi syarat golongan kepangkatan
sebenarnya relatif cukup tersedia, namun
belum mendapatkan peluang promosi dan
kesempatan untuk menduduki jabatan
pimpinan struktural secara representatif.
Di sisi lain, dari tabel 5 Jumlah PNS
berdasar Eselonisasi di Pemerintahan
Daerah Kalimantan Timur, terlihat bahwa
Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki
sebanyak 7,32% pemangku jabatan eselon
2, sebanyak 14,41% pemangku jabatan
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Gambar 3. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon IV berdasar Jenis Kelamin
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
11
eselon 3, dan sebanyak 24,40% pemangku
jabatan eselon 4. Angka tersebut merupakan
prosentases terendah dari beberapa peme-
rintahan daerah di Kalimantan Timur.
Sedangkan penempatan jabatan pimpinan
tinggi eselon II, pada dasarnya merupakan
hasil pertimbangan dari Baperjakat dengan
persetujuan Kepala Daerah, artinya peran
Kepala Daerah dalam membentuk struktur
pimpinan tinggi di suatu daerah seharusnya
sangat menentukan. Namun demikian, tidak
semua Kepala Daerah Perempuan membuka
ruang bagi pengarus-utamaan gender di
daerah, hal ini terlihat di Pemda Kutai
Kartanegara, dimana Kepala Daerahnya
dijabat oleh seorang perempuan, namun
ironisnya kurang memberikan support pada
representasi gender di jabatan struktural,
Pemda Kutai Kartanegara justru berada di
urutan terendah.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa
posisi Kepala Daerah perempuan tidaklah
cukup untuk mendorong terwujudnya repre-
sentasi gender di jabatan pimpinan tinggi
struktural, namun diperlukan suatu good
will, niatan tulus ikhlas seorang pemimpin
dalam membuka ruang representasi bagi
pengarus-utamaan gender di daerah,
dan seyogyanya dapat dituangkan dan
dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan atau
regulasi terkait mekanisme sistem promosi
dan pengangkatan dalam jabatan pimpinan
tinggi yang responsif terhadap pengarus-
utamaan gender tanpa mengurangi substansi
dan kompetensi standar yang dibutuhkan
pada posisi tersebut.
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural
Sebagaimana diulas dalam review
kepustakaan diatas, bahwa salah satu sub
kompetensi sosio-kultural dalam pengem-
bangan kompetensi PNS adalah Kepekaan
Gender, kompetensi ini adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari kesenjangan
akses, partisipasi, publik dan manfaat yang
diterima antara laki-laki dan perempuan
dalam lingkungan kerja maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, yang secara
potensial merugikan baik hak laki-laki
maupun perempuan dalam konstruksi sosial
kultural. Dengan demikian pengembangan
kepekaan gender sebagai sub kompetensi
sosiokultural merupakan hal yang penting
dimiliki oleh individu PNS dan kelembagaan
pemerintahan daerah.
Tingkat urgensitas pengembangan
kompetensi sosiokultural dimensi kepekaan
gender dapat terlihat dari hasil kajian
penelitian oleh Sartika et al., (2015) ter-
hadap persepsi dari para pemangku
jabatan pimpinan tinggi pada daerah Kota
Balikpapan, Kota Bontang, Kabupaten
Kutai Kartanegara, dan Provinsi Kaltim,
yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian
dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III
Lembaga Administrasi Negara (PKP2A
III LAN), yang digambarkan dalam grafik
sebagai berikut:
Gambar 4. Perbandingan Gap Kompetensi SosioKultural Dimensi Kepekaan Gender
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
12
(birokrasi) perlu dilakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme rekrutmen/
seleksidanpromosidalamorganisasitersebut.
Sehingga dibutuhkan good will pimpinan
dalam membuka ruang bagi terlaksananya
pengarus-utamaan gender, melalui kebijakan
maupun regulasi terkait mekanisme sistem
promosi dan pengangkatan dalam jabatan
pimpinan tinggi yang responsif terhadap
pengarus-utamaan gender tanpa mengurangi
substansi dan kompetensi standar yang di-
butuhkan pada posisi tersebut.
Dari fenomena temuan data diatas juga
menunjukkan bahwa daerah di perkotaan
dengan daerah Kabupaten memiliki karak-
teristik akan berbeda, hal ini karena
lingkungan sosiologisnya relatif berbeda,
dimana daerah kabupaten membutuhkan
effort yang lebih besar dalam upaya men-
dukung pengembangan kompetensi PNS
untuk melakukan deseminasi wacana
gender agar dapat lebih diterima di tengah
masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya
untuk terus melakukan diseminasi ide
dan konsep pengarus-utamaan gender
dalam masyarakat maupun secara internal
kelembagaan pemda secara kontinyu,
sehingga ide tersebut dapat secara massif
dan lumrah diterima dalam ranah publik.
PENUTUP
Berdasarkan diskursus analisis diatas
dapat dirangkum kesimpulan sebagai bahwa
representasi pegawai perempuan yang duduk
dalam jabatan pimpinan tinggi di lingkungan
pemerintahan daerah di Kalimantan Timur
secara umum masih berada dalam tingkatan
yang masih rendah, dimana kecenderungan
pengarusutamaan gender lebih banyak di-
representasikan pada wilayah perkotaan di-
banding daerah Kabupaten, selain itu data
menunjukkan bahwa semakin tinggi level
jabatan struktural (eselon), maka semakin
rendah tingkat penerimaan terhadap
representasi pengarus-utamaan gender.
Tingkat urgensitas dalam pengembangan
kompetensi PNS dirasa sangat dibutuhkan,
sebagaimana respon dari para pemangku
Berdasarkan hasil kuestioner terhadap
sejumlah pimpinann tinggi di Pemda lokus
menunjukan bahwa tingkat relevansi di-
mensi kepekaan gender relatif sangat tinggi
diatas 8o %, demikian pula kebutuhan
kelembagaan terhadap kompetensi ter-
sebut, hal ini mengindikasikan bahwa
pengembangan kompetensi sosio kultural
untuk dimensi kepekaan gender dapat di-
katakan sangat tinggi, sementara selisih
dari kedua indikator tersebut menunjukan
tingkat gap (kesenjangan) yang terjadi di
daerah lokus penelitian, dimana pada Pemda
Kutai Kartanegara menjadi daerah paling
tinggi mengalami kesenjangan kompetensi
sosiokultur untuk dimensi kepekaan gender,
ini tentunya semakin menjelaskan dari
data sebelumnya bahwa daerah kabupaten
yang umumnya memiliki nilai rendah
dalam hal pengarus-utamaan gender, pada
dasarnya membutuhkan untuk dilakukan
pengembangan kompetensi ini.
Dimensi kepekaaan gender sebagai
salah satu instrumen dalam kompetensi
sosio-kultural, sudah seharusnya mendapat
perwujudan yang lebih nyata dari pemerintah
daerah, tidak sekadar jargon semata.
Salahsatulangkahyangmungkindapat
dilakukan dalam rangka pengembangan
kompetensi sosiokultural berbasis gender
pada PNS adalah dengan mengintegrasikan
materi pengarus-utamaan gender dalam
standar kurikulum diklat pegawai, sehingga
dapat merubah mindset dan paradigma
pegawaisecaraumumterkaitmasalahgender,
dan khususnya bagi pegawai perempuan
diharapkan dapat lebih meningkatkan
kompetensinya serta dapat mereduksi
mental inferior dan stereotip yang melekat
dalam diri internal, yang dapat mendorong
motivasi dan tingkat kepercayaan diri agar
dapat berkompetisi secara sehat.
Selain itu upaya pengembangan
kompetensi PNS sebenarnya tidak hanya
melalui program diklat, akan tetapi juga
melalui mekanisme promosi dalam tahapan
pengangkatan jabatan pimpinan tinggi
di pemerintahan daerah. Sehingga untuk
meningkatkan representasi perempuan
di dalam organisasi administrasi publik
Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
13
jabatan pimpinan tinggi di lingkungan
pemerintah daerah Kalimantan Timur, selain
itu terdapat kesenjangan/gap antara tingkat
relevansi dan kebutuhan, khususnya di
daerah.
Oleh karenanya upaya pengembangan
kompetensi PNS dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan konsep pengarus-utamaan
gender dalam kurikulum diklat ASN, selain
itu perlu dilakukan perbaikan kelembagaan
dan mekanisme rekrutmen/seleksi dan
promosi, melalui kebijakan maupun regulasi
dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi
yang responsif terhadap pengarus-utamaan
gender tanpa mengurangi substansi dan
kompetensi standar yang dibutuhkan. Selain
ituperludilakukandiseminasiidedankonsep
pengarus-utamaan gender dalam masyarakat
maupun secara internal kelembagaan Pemda
secara kontinyu, sehingga ide tersebut dapat
secara massif dan lumrah diterima dalam
ranah publik.
Rekomendasi strategis terkait ke-
bijakan adalah agar setiap daerah menyusun
peraturan daerah tentang kesetaraan gender
dalam pembangunan daerah. Kebijakan yang
sensitif dan responsif gender, memudahkan
dalam intervensi mekanisme, organisasi dan
pendidikan dan pelatihan. Perlunya disusun
sebuah manajemen pendidikan dan pelatihan
baik berupa kurikulum, materi ajar, pengajar
yang sensitif dan responsif gender. Sehingga
lembaga yang memiliki posisi strategis
dan memiliki kewenangan diatas adalah
Lembaga Administrasi Negara, Institut Ilmu
Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam
Negeri, Sekolah Tinggi Adminstrasi Negara,
BadanPengembanganSumberDayaManusia
(BPSDM) di Provinsi, Kabupaten, Kota,
serta Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Perlunya kegiatan pelatihan gender yang
bertahap bagi setiap jenjang jabatan sebagai
bentuk diseminasi kepekaan gender bagi
setiap aparatur khususnya pejabat publik
di organisasi publik, dan pelatihan sensitif
genderditingkatmasyarakat.Pengembangan
kompetensi sosiokultural dalam perspektif
kepekaan gender dimaksudkan bahwa
perempuan sebagai pemangku jabatan
secara umum atau pimpinan tinggi diberikan
kesempatan yang sama sebagaimana
pada laki-laki, akan tetapi hendaknya di-
kondisikan berimbang dengan tuntutan
domestiknya dimana perannya sebagai istri
dan ibu sehingga hak dan kewajiban yang
melekat dalam profesionalitasnya atau
keputusan yang diberikan bersifat ramah
perempuan/peka gender. Selain itu, melalui
perbaikan kelembagaan dan perbaikan
mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi
dalam organisasi tersebut sebagai bentuk
pengembangan kompetensi, diharapkan
dapat meningkatkan representasi perempuan
dalam organisasi publik. Meningkatkan
representasi perempuan dalam pengangkatan
dalam jabatan struktural khususnya jabatan
pimpinan tinggi, dengan cara assessment/
penilaian kompetensi dan melakukan refor-
masi birokrasi yang men-gender-sensitif-kan
kebijakan bagi para calon PNS dan calon
pejabat/pejabat/pemangku jabatan pimpinan
tinggi dengan cara pengarus-utamaan gender
yang bersifat sinambung dan melekat.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Sartika, et. al. (2015). Pengembangan
Kompetensi Aparatur Sipil Negara.
Samarinda: PKP2A III LAN.
Indonesia, R. (n.d.). Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
Riant Nugroho. (2008). Gender dan
Administrasi Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho., D. (2008). Gender dan
Strategi Pengarus-utamaannya di
Indonesia.Yogyakarta, DIYogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Singal, J. D. (2008). Sistem Pembinaan
Karir Pegawai Negeri Sipil Menurut
Undang-Undang Nomor 443 Tahun
1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian dalam
Kebijakan Penempatan Jabatan Struk-
tural di Provinsi Sulawesi Utara.
Semarang: Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro.
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
14
www.bkn.go.id. (2016). Retrieved September
08, 2017, from http://www.bkn.go.id/
wp-content/uploads/2016/11/Tabel-
6-Jumlah-PNS-Dirinci-Menurut-
Jabatan-Struktural-dan-Jenis-
Kelamin.png
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
15
KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM
UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
THE STATUS OF THE MEMBERS OF THE POLICE FORCE
OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN UNDANG UNDANG
APARATUR SIPIL NEGARA
Dwi Andayani Budisetyowati
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Jl. S. Parman No.1 Jakarta Barat 11440
e-mail: dwib@fh.untar.ac.id
(Diterima 11 April 2017, Direvisi 21 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi
dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan
dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN.
Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip-
prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat
legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU
ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU
Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti
pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.
Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN
Abstract
Institutional administration such as pension, appointment, mutation, and echelon, are parts of the systematic
ongoing development and as the sign of the growth of the Indonesian police institution. The purpose of the article
is to identify the status of the members of the Police Force of the Republic of Indonesia in UU ASN. Normative law
method was conducted using harmonization theory that refers to law priciples such as Lex supreriori derogat legi
inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. The results shown that the status of the members of the
Police Force of the Republic of Indonesia as civil servant, such as pension, appointment, mutation, and echelon,
was no longer referred to UU Kepolisian UU and Peraturan Kapolri, but to UU ASN. This study concluded that
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia in regards with institution administrations have to be
referred to UU ASN.
Keywords: law status, ASN, police force, UU ASN
	
PENDAHULUAN
Salah satu ukuran keberhasilan pem-
bangunan nasional adalah ditentukan oleh
banyaknya pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur yang dimaksud
disini bukanlah pembangunan infrastruktur
jalan atau gedung gedung tinggi yang
ada, akan tetapi yang dimaksud penulis
adalah pembangunan infrastruktur terhadap
manajemen-manajemen administrasi peme-
rintahan yang ada disetiap lembaga negara.
Setidaknya dengan adanya pembangunan
yang baik terhadap menajemen-manajemen
administrasi pemerintahan dilembaga
negara, maka tujuan negara khususnya
untuk menciptakan “pelayanan publik
(public service)” yang berkualitas seperti
yang dikumukakan oleh Deming dalam
Razak (2013) serta menciptakan “aparatur
sipil negara/pejabat administrasi negara”
yang profesional dalam menjalankan
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
16
tugas, fungsi dan wewenang akan lebih
mudah terealisasi. Menurut Hartini (2008),
pentingnya keberadaan kepegawaian dalam
fungsinya sebagai bagian dari pemerintah
yang membawa komponen kebijaksanaan
kebijaksanaan atau peraturan peraturan.
Indonesia merupakan negara ber-
kembangyangjugasaatinitengahmelakukan
pembangunan infrastruktur terhadap
manajemen-manajemen administrasi peme-
rintahan untuk menciptakan peningkatan
kualitas pelayanan publik dan menciptakan
aparatur sipil negara/pejabat administrasi
negara yang profesional dalam menjalankan
tugas, fungsi dan wewenangnya dengan
cara membuat dan mengesahkan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Diharapkan dengan adanya undang-undang
tersebut maka kedepannya masalah-masalah
administrasi pemerintahan yang tumpang
tinding kewenangan antara lembaga negara
atau masalah-masalah teknis administrasi
seperti pengangkatan serta mutasi pejabat
administrasi negara sudah tidak menjadi
masalah lagi. Akan tetapi, hal tersebut
menurut penulis tidak dapat terealisasi
sepenuhnya dikarenakan pasca lahirnya UU
ASN tersebut banyak menimbulkan masalah
hukum baru yang salah satunya terkait
“kedudukan polisi sebagai aparatur sipil
negara yang berada dalam ruang lingkup
institusi kepolisian apakah tunduk pada UU
ASN atauakantundukpadaUndang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia (UU Kepolisian).”
Dari aspek hukum administrasi negara,
polisi sebagai aparatur sipil negara yang ada
di institusi kepolisian merupakan hal yang
menarik penulis teliti khususnya terkait
kedudukannya sebagai aparatur sipil negara
dikarekan pasca perubahan kedua UUD 45
Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara, Ketetapan MPR RI No.VI/
MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/
MPR/2000, maka secara konstitusional telah
terjadi perubahan yang menegaskan rumusan
tugas, fungsi, dan wewenang Institusi
Kepolisian serta pemisahan kelembagaan
TNI dan Kepolisian sesuai dengan peran dan
fungsi masing-masing. UUD 45 ini telah
didasarkan kepada paradigma baru sehingga
diharapkan dapat lebih memantapkan
kedudukan dan wewenang serta pelaksanaan
tugas Kepolisian sebagai bagian integral
dari reformasi menyeluruh segenap tatanan
kehidupan bangsa dan negara dalam
mewujudkan masyarakat madani yang
adil, makmur, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan UUD 45. Pasca Orde Baru
Negara menurut Sutrisno (2016) berupaya
menempatkan Kepolisian pada posisi
kompatabel dengan tuntutan demokrasi.
Sesuai dengan UUD 45 pada perubahan
kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000
dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000,
keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai
format tujuan Kepolisian dan secara
konsisten dinyatakan dalam perincian
tugas pokok yaitu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta melindungi, mengayomi,
dan melayani masyarakat. Namun, dalam
penyelenggaraan fungsi kepolisian, Polri
secara fungsional dibantu oleh kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
melalui pengembangan asas subsidiaritas
dan asas partisipasi.
Oleh karena berdasarkan hal tersebut
diatas, maka sangat wajar jika setelah pasca
reformasi ada sebuah harapan baru yang
diinginkan terjadi di lingkungan kepolisian
pasca adanya pemisahan antara Kepolisian
dan TNI yaitu adanya perbaikan tata kelola
manajemen administrasi pemerintahan
yang tidak tumpang tindih antara aturan-
aturan hukum, sumber sumber hukum
administrasinya jelas.
Salah satu permasalahan yang muncul
pasca lahirnya UU ASN di lingkungan
institusi kepolisian adalah terkait mutasi
jabatan. Menurut Yusuf (2016) didalam
internal kepolisian permasalahan mutasi
jabatan adalah merupakan dinamika
organisasi sebagai dari pembinaan yang
senantiasa berlangsung secara sistematis dan
berlanjut serta dilaksanakan secara konsisten
pada lingkup internal kepolisian yang
dilaksanakan sebagai wujud pengembangan
sebuah organisasi. Mutasi atau pergeseran
tempat penugasan merupakan bentuk
pengembangan karir para perwira, karena
para perwira perlu penyegaran atau promosi
jabatan sehingga karir dapat meningkat
sesuai dengan kinerja dan kepangkatan
yang disandangnya. Sedangkan menurut
Abdullahsalam (2014) mutasi jabatan
merupakan dinamika organisasi, sebagai
bagian dari pembinaan yang senantiasa
berlangsung secara sistematis dan ber-
kelanjutan serta dilaksanakan secara
konsisten pada lingkup internal kepolisian
yang dilaksanakan sebagi wujud pengem-
bangan sebuah organisasi. Guna menyikapi
berbagai tantangan, tuntutan dan harapan
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
17
masyarakat tersebut, maka semakin jelas
bahwa tugas kepolisian kedepan tidaklah
ringan, baik dalam ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya serta masalah
hukum yang harus dikelola dengan seksama,
sehingga tidak menimbulkan ekses ter-
jadinya gangguan kamtibmas, maka dari
itu diperlukan langkah-langkah serta
penanganan yang cepat dan tepat dalam
satuan operasional kepolisian di wilayah
yangmengedepankankomitmenpolridengan
masyarakat dalam rangka pemecahan dan
penanggulangan masalah sosial. Menurut
Suyono (2013), adanya pergantian jabatan
dalam lingkup Kepolisian diharapkan akan
tetap terpelihara daya manajerial dan daya
operasional yang handal dalam organisasi
Polri sehingga mampu melaksanakan tugas
dan tanggung jawab sesuai fungsi dan
peranannya selaku Pelindung, Pengayom
dan Pelayanan Masyarakat serta sebagai
penegak Hukum yang professional. Terkait
dengan upaya mengubah paradigma tata
pemerintahan atau birokrasi, Thoha (2009)
menyatakanadatigahalyangperludilakukan
dalam pelaksanaan reformasi birokrasi
di Indonesia yakni dengan mewujudkan
perpaduan tiga unsur pokok, yaitu: pertama,
kelembagaan, dalam hal ini perlu adanya
pengaturan kelembagaan (structural setting)
dalam birokrasi di Indonesia. Perencanaan
kelembagaan birokrasi Indonesia perlu
ditata dan diperbaiki, terutama terkait
dengan jumlah lembaga dan jumlah pegawai
sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu,
perlu telaahan terhadap kelembagaan agar
tidak terjadi tumpang tindih (overlapping)
diantara lembaga-lembaga yang dibentuk.
Kedua, sistem, yakni sistem yang digunakan
dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga-
lembaga pemerintahan. Dan, ketiga, sumber
daya manusia atau aparatur pemerintah,
dalam hal ini adalah kualitas aparaturnya
dan juga pola perekrutan aparatur yang
harus mendasarkan pada standar kebutuhan
pegawai.
Permasalahan terkait mutasi tersebut
semakin menimbulkan suatu kepastian
hukum apabila dikaitkan dengan UU ASN,
apakah Kepolisian sebagai Institusi Negara
tunduk pada UU ASN atau tunduk kepada
UU Kepolisian serta peraturan Kapolri
terkait dengan Administrasi di lingkungan
Institusi kepolisian. Ada yang beranggapan
jika seseorang menjadi anggota kepolisian
maka secara hukum administrasi negara
terkait pengangkatan, pemberhentian serta
mutasinya sebagai anggota kepolisian ter-
sebut yang berlaku kepadanya adalah UU
ASN, meskipun untuk menjadi anggota
Kepolisian ada mekanisme admnistrasi
internal dilingkungan institusi kepolisian
itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila
dikaitkan dengan administrasi jenjang
kepangkatan dari anggota kepolisian tersebut
yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan
hukum internal yang berada pada kepolisian
itu sendiri dan UU Kepolisian. Oleh karena
hal tersebut, maka melalui tulisan ini, penulis
mencoba melakukan penelitian terkait
dengan bagaimana kedudukan kepolisian
dalamUUASNdikarenakanapabilamengacu
pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU Kepegawaian) maka
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam hal
ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN)
terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu (1) Pegawai
Negeri Sipil (PNS), (2) Anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan termasuk juga
(3) Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Dari latar belakang yang diuarikan
diatas, maka penulis mengajukan per-
masalahan dalam penulisan ini, yaitu
Bagaimanakan kedudukan hukum aparatur
Kepolisian Republik Indonesia setelah
berlakunya UU ASN?
PEMBAHASAN
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang dimaksud
disini adalah teori-teori serta asas-asas yang
digunakan oleh penulis dalam mengolah dan
menganalisa penelitian terkait kedudukan
kepolisian dalam UU ASN yang diuraikan
sebagai berikut:
1. 	 Teori Peraturan Perundang-Undangan
	 Teori peraturan perundang-undangan
adalah sebuah teori yang digunakan
penulis untuk menganalisis apakah
UU ASN tersebut telah memenuhi
aspek formil dan aspek materiil terkait
pembentukan peraturan perundang-
undangan sehingga dapat dikatakan
sebagai peraturan yang mengingat secara
sah dan memenuhi kaidah-kaidah asas-
asas pembentukan peratutan perundang-
undangan.
	 Peraturan Perundang-undangan
menurut Indrati (2007) adalah segala
peraturan negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan, baik tingkat
pusat maupun tingkat daerah.
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
18
	 Menurut  Vlies dalam Yuliandri (2009)
dalam pembentukan peraturan per-
undang-undangan ada beberapa asas
formal dan material yang harus perhatikan
antara lain sebagai berikut:
a.	 Asas Formal
1)	 Asas tujuan yang jelas;
2)	 Asas lembaga yang tepat;
3)	 Asas perlunya pengaturan;
4)	 Asas dapat dilaksanakan;
5)	 Asas konsensus.
b.	 Asas Material
1)	 Asas terminologi dan sistematika
yang benar;
2)	 Asas dapat dikenali;
3)	 Asas perlakuan yang sama di
depan hukum;
4)	 Asas kepastian hukum;
5)	 Asas pelaksanaan hukum sesuai
dengan keadaan individu.
Sedangkan menurut Hadjon dalam
Yuliandri (2009) menjelaskan jika pem-
bentukan peraturan perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijke regelgeving).
Menurut Attamimi (1990) asas-asas
yang melandasi pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan yang
dapat mewujudkan hakikat perundang-
undangan dikemukakan oleh beberapa
ahli antara lain:
a.	 Attamimi, berpendapat bahwa
asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut
terdiri atas, cita hukum Indonesia,
Asas Negara berdasar atas hukum,
asas pemerintahan berdasar sistem
konstitusi dan asas-asas lainnya.
b.	 Vlies, membedakan asas-asas pem-
bentukan peraturan perundang-
undangan atas asas formal dan asas
materil. Asas-asas yang formal
meliputi: (1) Asas tujuan yang
jelas (beginselen van duidelijke
doelstelling), (2)Asas organ/lembaga
yang tepat (beginselen van het juiste
organ); (3)Asas perlunya pengaturan
(het noodzakelijkheids beginselen);
(4) Asas dapatnya dilaksanakan (het
beginselen van uitvoerbaarheid); dan
(5) Asas konsensus (het beginselen
van de consensus).
Adapun Asas-asas yang materil
meliputi: (1)Asas tentang terminologi
dan sistematika yang benar (het
beginselenvanduidelijketerminologie
en duidelijke systematiek),
(2) Asas tentang dapat dikenali (het
beginselen van dekenbaarheid)
(3) Asas kepastian hukum (het
rechts zekerheidsbeginselen)
(4) Asas pelaksanaan hukum, (5) asas
perlakuan yang sama dalam hokum
(het rechtsgelijkheids beginsel) sesuai
keadaan individu (het beginselen van
individuele rechtsbedeling).
c.	 Adapun Kremes dalam Fahmal
(2008), menemukakan bahwa
asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi:
(a) Susunan peraturan (Form der
regelung) (b) Metode pembentukan
peraturan (Metode der ausorbeitung
der regelung); (c) Bentuk dan isi
peraturan (Inhalt der regelung);
(d) Prosedurdanprosespembentukan
peraturan (Verforen derAusarbeitung
der regelung).
Sedangkan apabila mengacu pada asas-
asas pembentukan peraturan perundang-
undangan telah diatur dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan yang menyatakan
dalam membentuk peraturan perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas pembentukan peraturan per-
undang-undangan yang baik, yang
meliputi: (a) Kejelasan tujuan;
(b) Kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat; (c) Kesesuaian antara
jenis dan materi muatan; (d) Dapat
dilaksanakan; (e) Kedayagunaan dan
kehasilgunaan; (f) Kejelasan rumusan;
dan (g) Keterbukaan.
Dengan memperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan yang merupakan dasar atau
landasan yang telah dijelaskan diatas,
maka dapat disimpulkan jika apabila
UU ASN telah memenuhi aspek formil
dan aspek materiil dari apa yang telah
dikemukakan diatas, maka UU ASN sah
dan mengikat menurut hukum.
2.	 TeoriHarmonisasiPeraturanPerundang-
Undangan
	 Teori harmonisasi peraturan perundang-
undangan digunakan penulis untuk
mengetahui apakah penerapan UU
ASN tidak bertentangan dengan UU
Kepolisian yang mana ke-2 (dua)
undang-undang tersebut sehirarki dan
untuk menganalisis apabila terjadi
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
19
pertentangan maka undang-undang
mana yang perlu didahulukan untuk
dilaksanakan.
	 Harmonisasi hukum menurut penulis
cukuplah penting khususnya negara yang
memiliki sistem hukum yang perpegang
teguh pada hukum tertulis seperti
negara-negara yang menganut civil law
seperti Indonesia. Banyaknya hukum
tertulis yang dibuat tersebut dengan
situasi politik yang sering berganti
membawa konsekuensi rawan terjadinya
disharmonisasi hukum. Menurut
Goesniadhie (2010) menjelaskan potensi
terjadinya disharmonisasi tercermin oleh
adanya faktor-faktor sebagai berikut :
a.	 Jumlah peraturan perundang-
undangan terlalu banyak yang di-
berlakukan;
b.	 Perbedaan kepentingan dan penaf-
siran;
c.	 Kesenjangan antara pemahaman
teknis dan pemahaman hukum
tentang tata pemerintahan yang baik;
d.	 Kendala hukum yang dihadapai
dalam penerapan peraturan per-
undangundangan, yang terdiri dari
mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap per-
ubahan, dan penegakan hukum;
e.	 Hambatan hukum yang dihadapi
dalam penerapan peraturan per-
undangundangan, yaitu yang berupa
tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan;
Untuk mengatasi terjadinya disharmoni-
sasi peraturan perundang-undangan
maka dalam teori harmonisasi peraturan
perundang-undangan dikenal beberapa
asas yang dapat digunakan untuk
mengatasi terjadinya disharmonisasi
norma yang biasa disebut dengan asas
preverensi yang dimana berarti bahwa
kehadiran asas tersebut bertujuan untuk
mengatasi adanya (1) kekosongan
hukum (leemten in het recht), konflik
antar norma hukum (antinomi hukum)
dan norma yang kabur (vage normen)
atau norma tidak jelas. Adapun dalam
menghadapi konflik antar norma hukum
(antinomi hukum), maka berlakulah
asas-asas penyelesaian konflik (asas
preverensi) yang dimana dijelaskan
penulis sebagai berikut:
a.	 Asas lex superiori delogat legi
inferiori adalah asas yang menyatakan
peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi mengesampingkan/
mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah,
sehingga dalam penyusunannya
pembentuk peraturan perundang-
undangan harus memastikan bahwa
materi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang dibawah
tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya;
b.	 Asas Lex specialis derogat legi
generali adalah asas penaf-
siran  hukum  yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus
(lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex
generalis);
c.	 Asas Lex Posterior Derogat Legi
Priori adalah asas yang berlaku pada
peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan
peraturan yang lama. Jadi peraturan
yang telah diganti dengan peraturan
yang baru, secara otomatis dengan
asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. 
Berdasarkanpenjelasantersebutdiatas,
maka untuk menentukan bagaimana cara
mengharmoniskan penerapan UU ASN agar
tidak bertentangan dengan UU Kepolisian
maka akan digunakan asas preverensi hukum
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Penelitian ini merupakan penelitian
hukum pendekatan doktrinal yang bersifat
normative seperti apa yang dikutip penulis
dari Soekanto dan Mamudji (1990). Adapun
yang dapat dijadikan objek dalam penelitian
dengan pendekatan doktrinal yang bersifat
normatif ini adalah data-data yang berupa
bahan primer dan bahan hukum sekunder.
Penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan (library research), penelitian
studi kepustakaan atau yang bersifat
normatif hanya dengan membaca ataupun
menganalisa bahan-bahan yang tertulis.
Adapun bahan hukum primer menurut
Marzuki (2011) yang digunakan terdiri dari
peraturan perundang-undangan, catatan
resmi, risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan hakim. Dalam
penulisan ini penulis menggunakan bahan
hukum primer berupa UU ASN dan UU
Kepolisian serta bahan hukum sekunder
seperti buku-buku yang menjelaskan terkait
dengan hukum administrasi Negara, hukum
kepegawaian dan hukum administrasi
kepolisian.
Sedangkan Analisis data yang di-
gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
20
data kualitatif normatif, yaitu data yang
diperoleh setelah disusun secara sistematis,
untuk kemudian dianalisis secara kualitatif
normatif dalam bentuk uraian, agar dapat
ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai
kejelasan mengenai permasalahan yang
akan diteliti. Hasil penelitian kepustakaan
akan dipergunakan untuk menganalisis data,
kemudian data dianalisis secara kualitatif
normatif untuk menjawab permasalahan
dalam penulisan penelitian ini.
Analisis Data dan Hasil Penelitian
Kedudukan Hukum AparaturKepolisian
Republik Indonesia Setelah Berlakunya
UU ASN
Reformasi 1998 sebenarnya cukup
memberikan dampak besar terhadap
perubahan sistem yang ada disetiap lembaga
negara yang masih ada. Salah satu lembaga
negara yang merasakan dampak perubahan
yang besar terhadap sistemnya adalah
Institusi Kepolisian yang mana pasca
reformasibaikitudarisisikedudukan(status),
kewenangan dan administrasi lembaganya
mengalami perbuhan yang cukup besar
yang mana ditandari dengan disahkan dan
diberlakukannya UU Kepolisian dalam
Undang-Undang Kepolisian dijelaskan
untukkedudukan(status)hukumnya institusi
Kepolisian tidak lagi ada dibawah TNI,
kemudian dari aspek kewenangan institusi
kepolisian saat ini mempunyai kewenangan
dalam memelihara keamanan dan keter-
tiban masyarakat, penegakan hukum, per-
lindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat jauh lebih independen
(mandiri) dan bebas dari intervensi manapun
karena dalam menjalankan wewenangnya
institusi kepolisian tidak tunduk pada
presiden sebagai pihak yang mengangkat
serta bertanggungjawab kepadanya akan
tetapitundukdanpatuhterhadaphukumyang
berlaku. Sedangkan dari aspek administrasi
yaitu pengangkatan, pemberhentian, mutasi
serta kepangkatan diserahkan sepenuhnya
kepada institusi kepolisian dalam hal ini
pimpinan institusi kepolisian yaitu kapolri.
Terkait kedudukan hukum institusi
kepolisian dalan hal masalah administrasi
kelembagaan ditangani langsung oleh
kapolri dengan mengeluarkan Peraturan
Kapolri terkait dengan pengangkatan,
pemberhentian, mutasi serta kepangkatan
aparaturnya sehingga hal tersebut menjadi
wewenang dari kapolri sebagai pimpinan
tertinggi pada ruang lingkup kepolisian.
akan tetapi pasca lahirnya UU ASN tersebut
maka seharusnya ruang lingkup administrasi
seluruh lembaga negara termasuk institusi
kepolisian tunduk dan patuh kepada
undang-undang aparatur sipil negara, karena
bagaimanapun aparatur kepolisian masuk
dalam kategori PNS yang mana secara tidak
langsung dapat ditafsirkan masuk dalam
ranah ASN yang tunduk pada UU ASN.
Oleh karena itu maka terhadap wewenang
administrasi tersebut seharusnya tidak lagi
menjadi wewenang diskresi dari institusi
kepolisian, akan tetapi wajib mengacu
pada UU ASN , namun hal tersebut belum
terealisasi sepenuhnya karena saat ini masih
banyak peraturan kapolri yang berdasar pada
UU Kepolisian masih berlaku dan belum
dicabut sehingga menurut penulis dapat
berpotensi bertentangan dengan UU ASN.
Salah satu aturan pada wilayah
administrasi yaitu terkait mutasi jabatan
dilingkungan polri saat ini diatur dalam
Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002
tentang Mutasi Anggota Polri Republik
Indonesia.dalam peraturan kapolri tersebut
dijelaskan dalam Pasal 1Angka 9 disebutkan
“Mutasi Jabatan adalah pemindahanAnggota
dari suatu jabatan ke jabatan yang lain,
baik yang sifatnya promosi, setara maupun
demosi.” Kemudian disebutkan dalam Pasal
4 disebutkan mutasi dilaksanakan dengan
pertimbangan (a) penempatan Anggota
yang tepat pada jabatan yang tepat sesuai
kompetensi dan prestasi tugas yang dimiliki
(Merit System); (b) arah pemanfaatan
pembinaan karier Anggota; (c) reward
and punishment; (d) keseimbangan antara
kepentingan organisasi dan Anggota; dan
(e) Senioritas tanpa mengorbankan kualitas.
Serta yang perlu dijelaskan adalah Prinsip-
prinsip mutasi sebelum melakukan mutasi
yang tertera dalam Pasal 3 yaitu (a) Prinsip
Legalitas, yaitu proses mutasi jabatan di-
laksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku; (b) Prinsip Akuntabel, yaitu
proses pelaksanaan mutasi anggota dapat
dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan
yang berlaku; (c) Prinsip Keadilan,
yaitu proses mutasi dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesempatan dan hak
yang sama bagi setiap anggota tanpa adanya
diskriminasi; (d) Transparan, yaitu proses
mutasi anggota dilaksanakan secara jelas
mulai dari perencanaan sampai dengan sidang
dewan pertimbangan karier; (e) Prinsip
Objektif, yaitu proses mutasi anggota
dilaksanakan dengan mengedepankan
kompetensi individu anggota, kompetensi
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
21
jabatan, dan persyaratan yang ditetapkan;
dan (f) Prinsip Anti KKN, yaitu proses
mutasi dilaksanakan tanpa korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Dikarenakan proses mutasi tersebut
masih merujuk pada Peraturan Kapolri
Nomor 16 tahun 2012 tentang Mutasi
Anggota Polri Republik Indonesia sebagai-
mana penjelasan diatas, maka yang menjadi
pertanyaan saat ini adalah bagaimana jika
secara administrasi aparatur kepolisian
tersebut wajib dimutasi berdasarkan UU
ASN karena melakukan pelanggaran aturan
dalam ASN sedangkan dalam Peraturan
Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia
tersebut ditafsirkan tidak melakukan
pelanggaran atau tidak masuk dalam kate-
gori pelanggaran. Menurut hukum yang
manakah yang didahulukan apakah aturan
UU ASN ataukah Peraturan Kapolri Nomor
16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota
Polri Republik Indonesia yang berdasarkan
UU Kepolisian.
Menurut penulis, seharusnya pasca
diberlakukannya UU ASN segala peraturan
kapolri terkait dengan pengangkatan, pem-
berhentian, mutasi serta kepangkatan
disesuaikan dengan UU ASN karena
dikhawatirkan kedepannya terjadi dishar-
monisasi (pertentangan norma hukum).
Oleh karena itu, memalui tulisan ini
penulis mencoba menerangkan jika ter-
jadi pertentangan norma hukum atau dis-
harmonisasi hukum antara UU ASN dengan
UU Kepolisian dengan Peraturan Kapolri
Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi
Anggota Polri Republik Indonesia yang
manakah didahulukan dan diutamakan.
Sudah dijelaskan melalui teori dan asas-
asas yang digambarkan penulis sebelumnya,
bahwa apabila terjadi pertentangan norma
(disharmonisasi) maka menurut hukum
asas preverensi merupakan asas yang di-
berlakukan untuk mengatasi pertentangan
norma atau kekosongan hukum tersebut.
Asas preverensi tersebut terdiri dari 3 (tiga)
asas yang mana terkait permasalahan ini
memakai 2 (dua) asas yaitu (a) Asas lex
superiori delogat legi inferiori, dan Asas
Lex specialis derogat legi generali.
Apabila mengacu pada Asas lex
superiori delogat legi inferiori yang me-
ngandung pengertian merupakan asas yang
menyatakan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi mengesampingkan/
mengalahkanperaturanperundang-undangan
yang lebih rendah, maka berdasarkan hal
tersebut maka semua peraturan Kapolri
terkaitdenganpengangkatan,pemberhentian,
mutasidanpengangkatantermasukPeraturan
Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia
sepanjang peraturan tersebut bertentangan
dengan norma hukum yang ada dalam UU
ASN, maka menurut hukum Peraturan
Kapolri terkait dengan pengangkatan,
pemberhentian, mutasi dan pengangkatan
termasuk Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun
2002 tentang MutasiAnggota Polri Republik
dikesampingkan karena berdasarkan teori
peraturan perundang-undangan serta hirarki
peraturan perundang-undangan yang berlaku
berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan menyatakan
Undang-Undang merupakan produk hukum
yang lebih tinggi daripada peraturan kapolri.
Sedangkan apabila mengacu pada
Asas Lex specialis derogat legi generali  yang
merupakan asas yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis), maka dapat ditarik
kesimpulan jika UU ASN lebih khusus (lex
specialis) apabila dibandingkan dengan UU
Kepolisianyangdapatditafsirkanmerupakan
peraturan hukum yang sifatnya umum (lex
generalis) khususnya terkait pengaturan
wilayah peraturan administrasi kelembagaan
sehingga berdasarkan hal tersebut maka UU
ASN mengesampingkan UU Kepolisian
khususnya mengenai pengaturan wilayah
peraturan administrasi kelembagaan.
Oleh karena itu berdasarkan hal
tersebut diatas, maka perlu ada perubahan
khususnya terkait penyesuaian peraturan-
peraturan Kapolri mengenai masalah
pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan
kepangkatan yang perlu disesuaikan dengan
UU ASN sehingga tidak menimbulkan
multi tafsir terkait peraturan mana yang
didahulukan. Karena apabila selalu terjadi
multi tafsir terhadap peraturan tersebut
maka dikhawatirkan akan mudah terjadi
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) nantinya yang dilakukan oleh
Aparatur Kepolisian itu sendiri yang
mengajukan gugatan terhadap institusinya
apabila proses mutasinya atau pengangkatan
atau pemberhentiannya menurutnya
tidak bertentangan dengan UU ASN
sedangkan menurut Institusi Kepolisiannya
bertentangan dengan UU Kepolisian
dan Peraturan-Peraturan Kapolri terkait
pengangkatan, pemberhantian dan mutasi.
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
22
Sebenarnya apabila ditafsirkan
maksud dan tujuan UUASN pada prinsipnya
menyatakan kedudukan Institusi Kepolisian
khususnya wilayah administrasi seperti
mekanisme pengangkatan, pemberhentian
serta mutasinya sebagai anggota kepolisian
tersebut yang berlaku kepadanya adalah
UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota
Kepolisian ada mekanisme admnistrasi
internal dilingkungan institusi kepolisian
itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila
dikaitkan dengan administrasi jenjang
kepangkatan dari anggota kepolisian ter-
sebut yang dimana tetap tunduk dan patuh
dengan UU Kepolisian serta dengan hukum
internal (peraturan kapolri) yang berada
pada kepolisian itu sendiri.
PENUTUP
Simpulan
Penulis berkesimpulan kedudukan
hukum kepolisian pasca lahirnya UU ASN
adalah tetap berpatokan serta mengacu pada
UU ASN khususnya mengenai wilayah
administrasi kelembagaan seperti terkait
dengan pengangkatan, pemberhentian
serta mutasi yang mana berdasarkan
asas preverensi hukum yaitu (a) apabila
mengacu pada Asas lex superiori delogat
legi inferiori, maka segala peraturan
kapolri yang terkait masalah administrasi
seperti pengangkatan, pemberhentian serta
kepangkatan sepanjang bertentangan dengan
UU ASN maka peraturan kapolri tersebut
dikesampingkan dan dinyatakan tidak ber-
laku. Sedangkan (b) apabila mengacu pada
Asas Lex specialis derogat legi generali 
maka dapat disimpulkan jika UU ASN lebih
khusus (lex specialis) apabila dibandingkan
denganUUKepolisianyangdapatditafsirkan
merupakan peraturan hukum yang sifatnya
umum (lex generalis) khususnya terkait
pengaturan wilayah peraturan administrasi
kelembagaan.
Saran
Adapun saran dari penulis yaitu agar
seluruh peraturan kapolri terkait dengan
administrasi kelembagaan seperti peraturan
mengenai pengangkatan, pemberhentian,
mutasi serta kepangkatan agar segera
direvisi dan disesuaikan dengan UU ASN
agar kedepannya tidak menimbulkan per-
tentangaan norma yang dimana dapat
meminalisir terjadinya gugatan di PTUN
yang dilakukan oleh aparatur kepolisian
terhadap institusi kepolisian karena masalah
penafsiran hukum yang mana didahulukan
apakah UU ASN ataukan peraturan-
peraturan kapolri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahsalam, HR. (2014). Ilmu Kepolisian
Sebagai Ilmu Pengetahuan Alam.
Jakarta: PTIK
Attamimi,A.HamidS.(1990).“Menggunakan
Asas-asas Pembentukan Peraturan
(Algemen Beginselen van Behoorlijke
Wetgeving) Peranan keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara, Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi
Pengaturan dalam kurun waktu Pelita
I-Pelita IV”. Disertasi Doktoral Ilmu
Hukum. Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Fadillah, S. F., dan T. Machyawaty. (2015).
Lex Specialis Ilmu Kepolisian.
Tangerang: Faris Vania Publishing
Fahmal,H.A. Muin. (2008). PeranAsas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Layak
Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih. Cet. ke 2. Jakarta: Total
Media
Goesniadhie, Kusnu. (2010). Harmonisasi
Sistem Hukum: Mewujukan Tata
Pemerintahan yang Baik. Malang:
Nasa Media
Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih, Tedi
Sudrajat. (2014). Hukum Kepegawaian
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
HR, Ridwan. (2011). Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indrati S., Maria Farida. (2007).
Ilmu Perundang-Undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan), Buku I.
Yogyakarta: Kanisius
Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian
Hukum. Jakarta: Prenada Media
Razak, Askari. (2013). Hukum Pelayan
Publik.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri.
(1990). Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta:
Rajawali Press
Sutrisno Suki. (2016). Sosiologi Kepolisian.
Suyono, Yoyok Ucuk. (2013). Hukum
Kepolisian Kedudukan Polri Dalam
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
23
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan, Jakarta: Laksbang
Grafika
Thoha, Miftah. (2009). Managemen
Kepegawaian Sipil di Indonesia.
Jakarta: Kencana
Yuliandri. (2009). Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang
Baik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yusuf, MD. (2016). “Mutasi Polisi”. (www.
tribratanews-pasuruan.com, diakses
23 November 2016).
Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
24
Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
(Eko Noer Kristiyanto)
25
NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
BUREAUCRACY NEUTRALITY AND CORRUPTION ERADICATION
Eko Noer Kristiyanto
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI
Jalan HR. Rasuna Said Kav. C-1 , Jakarta 12920, telepon: (021) 2525015
e-mail: ekomaung69@gmail.com
(Diterima 22 Maret 2017, Direvisi 27 Maret 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat
terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat
telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah
korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan
ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di
negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif.
Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya
rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan
birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk
menjadikannya sumber korupsi
Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik
Abstract
In the government politics and laws perspective, neutrality became an issue that arise especially when entering
national politics agenda. Bureaucracy that should have been neutral, had been controlled by politics power.
Corruption is one of the most real form of the abuse of power. Bureaucracy has becoming fund machine to support
group of elites and political party. This article is trying to describe that the neutrality has become important to
prevent corruption. Normative law were used as a research method. The people was the ones that bureaucracy
should serve, so the bureacracy that was not neutral will harm them. The neutral bureaucracy will make them as
their main function, which is serve the people and will not going to be used by groups of elites as a mean to corrupt.
Keywords: bureaucracy, government, corruption eradications, politics
PENDAHULUAN
Dalam aspek politik dan hukum
pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi
isu yang mendesak untuk segera diwujudkan.
Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah
Indonesia dianggap telah memberikan
sumbangsih yang sangat besar terhadap
kondisi keterpurukan bangsa. Birokrasi yang
telah dibangun oleh pemerintah sebelum era
reformasitelahmembangunbudayabirokrasi
yang kental dengan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). akan tetapi, menurut
Rasad (2006) pemerintahan pasca reformasi
pun tidak menjamin keberlangsungan
reformasi birokrasi terealisasi dengan
baik. Komitmen pemerintah terhadap
reformasi birokrasi cenderung berbanding
lurus dengan komitmen pemerintah ter-
hadap pemberantasan KKN yang dianggap
telah menjadi ciri khas dalam birokrasi
pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian
masyarakatmemberikancapnegatifterhadap
komitmen pemerintah pasca reformasi
terhadap reformasi birokrasi. Ironis, biro-
krasi yang seharusnya berpihak kepada
rakyat dan menjadi pelayan masyarakat,
justru kehilangan legitimasi kepercayaan
dari masyarakat itu sendiri.
Krisis kepercayaan tersebut semakin
besar ketika kita mengaitkannya dengan
konteks politik, Thoha (2003) mengatakan
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah

More Related Content

What's hot

Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)
Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)
Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)temanna #LABEDDU
 
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di KalimantanKajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di KalimantanBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...b hendarsyah
 
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagri
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM KemendagriKti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagri
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagrib hendarsyah
 
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASN
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASNTELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASN
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASNNOPIAN ANDUSTI, S.E.,M.T
 
Manajemen asn haeli edit
Manajemen asn haeli editManajemen asn haeli edit
Manajemen asn haeli editkwanhaeli
 
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...Johan
 
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...Khrisna Ariyudha
 
Modul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakModul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakHarun Surya
 
Rancangan aktualisasi suriyanto lopang
Rancangan aktualisasi suriyanto lopangRancangan aktualisasi suriyanto lopang
Rancangan aktualisasi suriyanto lopangtemanna #LABEDDU
 
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016Mariman Darto
 
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )Bayu Wahyudi
 
Rancangan aktualisasi presentasi
Rancangan aktualisasi presentasiRancangan aktualisasi presentasi
Rancangan aktualisasi presentasitomyjenius
 
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedis
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedisRancangan dilla aprilya muchtar paramedis
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedistemanna #LABEDDU
 

What's hot (20)

Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)
Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)
Aktualisasi Latsar (alfa sari ode rusli)
 
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di KalimantanKajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan
Kajian Penataan Pola Karier Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan
 
Peran Diklat dalam Meningkatkan Kompetensi ASN
Peran Diklat dalam Meningkatkan Kompetensi ASNPeran Diklat dalam Meningkatkan Kompetensi ASN
Peran Diklat dalam Meningkatkan Kompetensi ASN
 
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...
Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah-28 april ...
 
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagri
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM KemendagriKti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagri
Kti kompetensi pemerintahan-bambang hendarsyah-BPSDM Kemendagri
 
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
 
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASN
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASNTELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASN
TELAAHAN STAF UNTUK SELEKSI TERBUKA PENGISIAN JABATAN ASN
 
Manajemen asn haeli edit
Manajemen asn haeli editManajemen asn haeli edit
Manajemen asn haeli edit
 
Manajemen ASN
Manajemen ASNManajemen ASN
Manajemen ASN
 
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...
Faktor faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja dan Dampaknya Terhadap Kinerja ...
 
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...
Visualisasi Laporan Keuangan Untuk Meningkatkan Understandability Pengguna La...
 
Modul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakModul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetak
 
Rancangan aktualisasi suriyanto lopang
Rancangan aktualisasi suriyanto lopangRancangan aktualisasi suriyanto lopang
Rancangan aktualisasi suriyanto lopang
 
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016
Kebijakan pengembangan asn 25 01 2016
 
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )
Pembangunan SDM ASN ( Roadmap 2015-2019 )
 
strategi pengembangan kompetensi
strategi pengembangan kompetensistrategi pengembangan kompetensi
strategi pengembangan kompetensi
 
Paparan Manajemen Karier ASN (Perspektif UU ASN)
Paparan Manajemen Karier ASN (Perspektif UU ASN)Paparan Manajemen Karier ASN (Perspektif UU ASN)
Paparan Manajemen Karier ASN (Perspektif UU ASN)
 
Laporan aktualisasi yuyun
Laporan aktualisasi yuyunLaporan aktualisasi yuyun
Laporan aktualisasi yuyun
 
Rancangan aktualisasi presentasi
Rancangan aktualisasi presentasiRancangan aktualisasi presentasi
Rancangan aktualisasi presentasi
 
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedis
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedisRancangan dilla aprilya muchtar paramedis
Rancangan dilla aprilya muchtar paramedis
 

Similar to Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah

tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptx
tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptxtugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptx
tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptxbinarta1
 
MANAJEMEN KARIER PNS.pptx
MANAJEMEN KARIER PNS.pptxMANAJEMEN KARIER PNS.pptx
MANAJEMEN KARIER PNS.pptxAyuhaBarangAi
 
2. Manajemen ASN.pdf
2. Manajemen ASN.pdf2. Manajemen ASN.pdf
2. Manajemen ASN.pdfNagaTanggar
 
Kesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaraKesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaradhiratamahatta
 
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesia
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesiaoptimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesia
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesiaBe Susantyo
 
Pns sebagai perekat bangsa
Pns sebagai perekat bangsaPns sebagai perekat bangsa
Pns sebagai perekat bangsaAgus Dwiyanto
 
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdfihsan583652
 
Matrikulasi 3
Matrikulasi 3Matrikulasi 3
Matrikulasi 3pumdatin
 
Pengelolaan komunikasi krisis
Pengelolaan komunikasi krisisPengelolaan komunikasi krisis
Pengelolaan komunikasi krisisRizki Malinda
 
377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rhefaamalia
 
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRIPeran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRITri Widodo W. UTOMO
 
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docx
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docxLA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docx
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docxenggaaditya1
 
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGPembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen ASN 4 des.pdf
Manajemen ASN 4 des.pdfManajemen ASN 4 des.pdf
Manajemen ASN 4 des.pdfDediWahyudi41
 

Similar to Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah (20)

4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
 
tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptx
tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptxtugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptx
tugas ppt Kelompok 1 agenda ii gabungan.pptx
 
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
 
MANAJEMEN KARIER PNS.pptx
MANAJEMEN KARIER PNS.pptxMANAJEMEN KARIER PNS.pptx
MANAJEMEN KARIER PNS.pptx
 
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
 
2. Manajemen ASN.pdf
2. Manajemen ASN.pdf2. Manajemen ASN.pdf
2. Manajemen ASN.pdf
 
Kesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaraKesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negara
 
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesia
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesiaoptimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesia
optimalisasi peran dan fungsi pendamping sosial studi di empat kota di indonesia
 
Pns sebagai perekat bangsa
Pns sebagai perekat bangsaPns sebagai perekat bangsa
Pns sebagai perekat bangsa
 
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
 
baru.pdf
baru.pdfbaru.pdf
baru.pdf
 
Matrikulasi 3
Matrikulasi 3Matrikulasi 3
Matrikulasi 3
 
Pengelolaan komunikasi krisis
Pengelolaan komunikasi krisisPengelolaan komunikasi krisis
Pengelolaan komunikasi krisis
 
377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh
 
FKC Indonesia
FKC IndonesiaFKC Indonesia
FKC Indonesia
 
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRIPeran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
 
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docx
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docxLA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docx
LA TYAS SIAP UPLOAD-digabungkan-dikonversi.docx
 
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGPembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
 
Manajemen ASN 4 des.pdf
Manajemen ASN 4 des.pdfManajemen ASN 4 des.pdf
Manajemen ASN 4 des.pdf
 
82 143-1-sm
82 143-1-sm82 143-1-sm
82 143-1-sm
 

More from National Institute of Administration Public

"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...
"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ..."Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...
"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...National Institute of Administration Public
 
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...National Institute of Administration Public
 
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...National Institute of Administration Public
 
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...National Institute of Administration Public
 
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...National Institute of Administration Public
 

More from National Institute of Administration Public (9)

"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...
"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ..."Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...
"Ruslani" Social Innovation in Public Service Based on Community Empowerment ...
 
Model Reformasi Birokrasi di Kabupaten Tanah Bumbu
Model Reformasi Birokrasi di Kabupaten Tanah BumbuModel Reformasi Birokrasi di Kabupaten Tanah Bumbu
Model Reformasi Birokrasi di Kabupaten Tanah Bumbu
 
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...
Penyusunan Standar Kompetensi Sosio Kultural untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di...
 
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...
Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi : Studi Kasus pada Pusat Kajian dan...
 
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...
Analisis Kebijakan Penyehatan Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (...
 
Corporate University : Antara Komitmen Pimpinan dan Visi Birokrasi Kelas Dunia
Corporate University : Antara Komitmen Pimpinan dan Visi Birokrasi Kelas DuniaCorporate University : Antara Komitmen Pimpinan dan Visi Birokrasi Kelas Dunia
Corporate University : Antara Komitmen Pimpinan dan Visi Birokrasi Kelas Dunia
 
Netralitas ASN dalam Pilkada, Sebuah Keharusan!
Netralitas ASN dalam Pilkada, Sebuah Keharusan!Netralitas ASN dalam Pilkada, Sebuah Keharusan!
Netralitas ASN dalam Pilkada, Sebuah Keharusan!
 
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...
Meneropong Visi Misi Calon Kepala Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Ap...
 
Kartini dan Juang Literasi
Kartini dan Juang LiterasiKartini dan Juang Literasi
Kartini dan Juang Literasi
 

Recently uploaded

Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxBudyHermawan3
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfSalinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfdrmdbriarren
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxSusatyoTriwilopo
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasiasaliaraudhatii
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxBudyHermawan3
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxBudyHermawan3
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxBudyHermawan3
 
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxPB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxBudyHermawan3
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxBudyHermawan3
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxBudyHermawan3
 
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptx
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptxIPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptx
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptxrohiwanto
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdfHarisKunaifi2
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxBudyHermawan3
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxBudyHermawan3
 
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxBudyHermawan3
 

Recently uploaded (16)

Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfSalinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
 
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxPB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
 
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptx
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptxIPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptx
IPSKelas12BABSMANEGERI1 3 April 2024perikanan.pptx
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
 
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
 

Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah

  • 1. PUSAT PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEPEGAWAIAN BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA ISSN: 1978 - 7103 624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015 VOL. 11, NO. 1, JUNI 2017 IVIL SERVICE Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS C ISSN 1978-7103 CIVILSERVICEJurnalKebijakandanManajemenPNS,Vol.11,No.1,JUNI2017Halaman1-93 KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA Dwi Andayani Budisetyowati PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURAL ASN DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR Dewi Sartika NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI Eko Noer Kristiyanto MEWUJUDKAN KONSEP BIROKRASI YANG KAYA FUNGSI STUDI KASUS: BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN Joko Tri Haryanto SYSTEMATICREVIEW:BUDAYAINOVASIASPEKYANGTERLUPAKANDALAMINOVASIKEPEGAWAIAN LesmanaRianAndhika PERENCANAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL: STUDY KASUS JABATAN FUNGSIONAL TERTENTU Novi Savarianti Fahrani ANALISIS PENEGAKAN DISIPLIN APARATUR SIPIL NEGARA (STUDI KASUS KEDEPUTIAN BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA(BNPB)) Trubus Harardiansah
  • 2. i IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103 Jurnal Civil Service adalah jurnal ilmiah dalam bidang kebijakan dan manajemen PNS yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 335/E/2015 Tanggal 15 April 2015 Jurnal Civil Service sebagai media Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara memuat tulisan naskah tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, tinjauan kepustakaan dan resensi buku dalam bidang kebijakan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terbit dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan November. SUSUNAN REDAKSI Pimpinan Redaksi : Novi Savarianti F, S.H., MH. (Hukum Administrasi Negara/BKN) Anggota Redaksi : Ajib Rakhmawanto, S.IP., M.Si. (Manajemen SDM/BKN) Dr. Yosua Jaya Edy, S.Sos, SE, M.Si (Manajemen SDM/BKN) Agustinus Sulistyo Tri P., SE., M.Si. (Manajemen SDM/LAN) Syafuan Rozi, S.IP., M.Si. (Kebijakan Publik/LIPI) Anang Pikukuh Purwoko, SE., MM. (Manajemen SDM/BKN) Mitra Bestari : Prof. Dr. Eko Prasojo (Kebijakan Publik/UI) Prof. Dr. Yeremias T. Keban (Manajemen Publik/UGM) Prof. Dr. Ni'matul Huda, S.H., M. Hum (Hukum Tata Negara/UII) Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si, MM (Manajemen Administrasi/UI) Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu (Kebijakan Publik/UI) Dr. Triwidodo Catur Utomo, S.H., M.A. (Hukum Administrasi Negara (LAN) Dr. Slamet Rosyadi (Manajemen Publik/UNSOED) Dr. MR. Khairul Muluk (Manajemen Publik/UNIBRAW) Dr. Hj. R. Ira Irawati (Organisasi Publik & Manajemen SDM/UNPAD) Dr. Pantius Drahen Soeling (Kebijakan Publik/UI) Penyunting Bahasa : Dr. Elin Nurcahyaningsih Sekretariat Redaksi : Sahri, S.Pd. Iskrisarto Hamid Munawan, S.Sos. Heri Noviyanto, S.Kom Djamarudin, BA Desain Cover/Layout : Santosa Alamat Redaksi : Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Gedung II Lantai 2 Jl. May. Jend. Sutoyo Nomor 12 Cililitan, Jakarta Timur Telp. (021) 80887011, (021) 8093008 ext.2206-2207 Fax. (021) 80887011 e-mail: litbang@bkn.go.id
  • 3. Volume 11, Nomor 2 Juni 2017 ISSN: 1978-7103 IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS ii PENGANTAR REDAKSI Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, maka Civil Sevice Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS hadir untuk menjawab tantangan global di bidang manajemen ASN. Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS terus berupaya untuk menyajikan berbagai pemikiran dan gagasan konseptual, baik dari hasil penelitian, kajian, aplikasi teori maupun tinjauan kepustakaan, yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tujuan utamanya adalah sebagai wahana diseminasi dan sosialisasi berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen PNS, dengan harapan dapat memberikan kontribusi konstruktif guna mewujudkan PNS yang profesional dan kompeten. Selain itu, dapat dijadikan sebagai wadah pemikiran, referensi, dan acuan dalam pemecahan masalah, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dalam merumuskan kebijakan dan manajemen PNS yang ideal tersebut perlu adanya pemikiran, konsep yang jelas serta implementatif. Pendapat, gagasan baru, dan rekomendasi kebijakan mengenai berbagai konsep, pemikiran dan strategi pengembangan PNS, perlu direspon pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan SDM Aparatur. Untuk memberikan arah perbaikan terhadap berbagai hal diatas, maka Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini memuat berbagai artikel yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi, kedudukan hukum kepolisian pasca lahirnya UU-ASN, birokrasi yang netral, budaya inovasi, jabatan fungsional tertentu, dan penegakan disiplin. Adapun beberapa judul artikel yang dimuat dalam edisi ini diantaranya; (1) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur, (2) Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, (3) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi, (4) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Ke- menterian Keuangan, (5) Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian, (6) Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu, (7) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)). Harapan kami, semoga Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini, bermanfaat bagi para pembaca. Pemimpin Redaksi
  • 4. iii IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103 DAFTAR ISI ARTIKEL • Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur ...................................... Dewi Sartika 1 - 14 • Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ................................................................................................................ Dwi Andayani Budisetyowati 15 - 23 • Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi ..................................................... Eko Noer Kristiyanto 25 - 35 • Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebija- kan Fiskal, Kementerian Keuangan .................................................................... Joko Tri Haryanto 37 - 48 • Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian ...................................................................................................... Lesmana Rian Andhika 49 - 61 • Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu .. Novi Savarianti Fahrani 63 - 76 • Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)) Trubus Rahardiansah 77 - 93
  • 5. iv Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103 Dewi Sartika (Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III  Lembaga Administrasi Negara) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan Timur Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 1 - 14 Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif, dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender Dwi Andayani Budisetyowati (Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 15 - 23 Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN. Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip- prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN. Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN Eko Noer Kristiyanto (Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 25 - 35 Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk menjadikannya sumber korupsi Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik
  • 6. v Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103 Joko Tri Haryanto (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 37 - 48 Upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit manajemen. Karenanya, pola manajemen ASN justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Permasalahannya, masih banyak kultur budaya yang terasa menghambat. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak sinergi antar jabatan fungsional bagi tata laksana dalam organisasi dengan menggunakan metode analisis kesesuaian regulasi dan lokus yang dipilih adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi. Berdasarkan analisis terhadap PMK No 234/ PMK. 01/2015, dihampir seluruh tugas pokok dan fungsi unit BKF mengemban misi analisis dan rekomendasi kebijakan sekaligus sebagai unit penelitian dan pengembangan di lingkup Kementerian Keuangan. Namun, masih ada beberapa overlapping antara jabatan fungsional dan struktural. Untuk beberapa unit kerja terpilih, seharusnya sudah dapat diwujudkan pembentukan unit jabatan fungsional bukan lagi struktural misalnya di PKPN, PKAPBN dan PKEM. Sementara di unit PKPPIM dan PKSK, masih diperlukan pembagian proporsi antara bidang fungsional dan struktural. Khusus di PKRB, berdasarkan tugas, keseluruhan eselon III dan IV masih tetap dipertahankan menjadi pejabat struktural. Kata kunci: Birokrasi, ASN, Profesional, Struktural, Jabatan Fungsional Lesmana Rian Andhika (Universitas Padjadjaran) Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 49 - 61 Artikel penelitian ini bertujuan sebagai penelitian pendahuluan (preliminary research), dan berusaha memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi konseptual teoritis dari berbagai literatur ilmiah lebih berfokus kepada budaya inovasi yang dimulai dari pimpinan (pejabat). Fenomena buruknya kinerja birokrasi menjadikan inovasi sebagai kebutuhan yang mendesak. Dasar dari pemahaman inovasi dimulai dari individu (aparatur birokrasi) dengan budaya membiasakan diri untuk hal yang kreatif dan memunculkan ide-ide baru yang dapat membantu kinerja birokrasi menjadi lebih baik untuk menghantarkan pelayanan publik. Metode dalam penelitian ini menggunakan systematic reviews technique, berusaha untuk mengidentifikasi beberapa bukti tertulis yang ada mengenai tema penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan, budaya inovasi belum menjadi sesuatu kebiasaan dalam birokrasi (habits) terutama bagi pimpinan danbudaya inovasi belum dipandang sebagai dasar untuk memunculkan inovasi. Namun berbagai cara dapat dilakukan untuk membudayakan inovasi secara individual dengan memperhatikan dan memperbaiki perilaku pimpinan, pengalaman berbentuk pengetahuan, kepercayaan terhadap konsep inovasi, kebiasaan budaya inovasi dan disertai oleh nilai-nilai positif yang mendukung inovasi. Kata kunci: budaya, inovasi, pimpinan, birokrasi Novi Savarianti Fahrani (Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara) Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 63 - 76 Perencanaan Pegawai Negeri Sipil dalam kurun lima tahun terakhir difokuskan pada Jabatan Fungsional Tertentu.Terlihat dari data bahwa rekrutmen antara JFT dan JFU terdapat perbedaan yang signifikan dan jumlah JFT yang diangkat tidak lebih 50% dari formasi yang diajukan. Artikel ini menitikberatkan bagaimana pola perencanaan PNS yang selama ini telah dilakukan dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang ditemui dalam melakukan perencanaan PNS khususnya pada JFT sebagai dasar untuk menentukan model perencanaan PNS yang ideal kedepannya. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif di 13 instansi pemerintah daerah. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, pola perencanaan PNS selama ini melalui tiga tahap, yaitu Penyusunan Anjab dan ABK, Mengkoordinasikan kembali hasil Anjab dan ABK yang telah disusun oleh setiap SKPD tersebut untuk mendapatkan persetujuan kepala SKPD, dan diserahkan kepada BKD untuk ditetapkan rincian formasi. Kedua, terdapat 6 hambatan dalam melakukan perencanaan PNS khususnya JFT, yaitu adanya regulasi yang tumpang tindih, perbedaan format perencanaan SDM, adanya perbedaan jumlah formasi CPNS antara BKN dan Menpan, minimnya kualitas dan komunikasi pegawai yang melakukan perencanaan SDM, kurangnya perhatian pimpinan, dan tidak di anggarkan belanja pegawai untuk JFT. Kata kunci: Perencanaan PNS, Jabatan Fungsional Tertentu, Anjab, ABK, Formasi
  • 7. vi Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103 Trubus Rahardiansah (Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)) Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 77 - 92 Aparatur Sipil Negara merupakan sumber daya manusia dalam instansi pemerintah dan merupakan kekuatan yang menentukan bagi keberhasilan tujuan organisasi. Penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan permasalahan yang signifikan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, hasil penelitian penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa pada umumnya masih relatif rendah kinerjanya. penegakan disiplin preventif, korektif dan progresif melalui pembinaan dan sosialisasi peraturan-peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB belum dilaksanakan secara maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya pegawai BNPB, khususnya pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi belum sepenuhnya memahami, mematuhi dan melaksanakan peraturan- peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB, khususnya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan pegawai belum pernah mengikuti sosialisasi peraturan tentang disiplin tersebut. Selain itu, pegawai hanya mengetahui peraturan sebatas disiplin waktu kerja dan sanksi dari ketidakhadiran atau keterlambatan jam kerja berupa pemotongan tunjangan kinerja, disisi lain banyak pegawai yang tidak bekerja secara optimal dan tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Kata kunci: aparatur sipil negara, penegakan disiplin kerja, manajemen sumber daya aparatur
  • 8. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 1 PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURALASN DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR STATE CIVILAPPARATUS SOCIO-CULTURAL COMPETENCY DEVELOPMENT ON THE PERSPECTIVE OF GENDER AWARENESS IN EAST BORNEO REGION Dewi Sartika Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III  Lembaga Administrasi Negara Jalan HM Ardans, SH (Ring Road III) Sempaja Kalimantan Timur e-mail: naurah10@yahoo.com (Diterima 13 April 2017, Direvisi 17 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif, dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender Abstract State Civil Apparatus socio-cultural in regard with the gender awareness is one of the main competency that civil servants must had. This study explains how the development of civil servants socio-cultural competency in East Borneo region had been conducted. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders. The results showed that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. . The results shown that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. The results were also shown that the higher the echelon level the lower the representation. The perceptions of the leaders indicate that the means to develop competency in regard to gender awareness is needed. This can be achieved by integrating the gender perspective in civil servant training curriculum, institutional, and promotion and selection mechanism improvement, also through the regulation in leaders position appointment, as well as dissemination of the gender perspective continually. Key words: aparatus competency, mainstreaming gender perspective, gender awareness PENDAHULUAN Isu gender dalam pembangunan semakin menarik untuk dibicarakan, terutama jika melihat fakta bahwa jumlah perempuan selalu lebih banyak dibanding laki-laki. Seperti data yang diungkapkan dalam Human Development Report Tahun 2001 dari United Nation Development Program (UNDP) dalam (Nugroho, 2008), yang menyiratkan bahwa perhatian pem- bangunan perlu memberi tekanan lebih
  • 9. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 2 besar pada pembangunan wanita. Tidak hanya jumlahnya akan tetapi kualitas pembangunan manusia di Indonesia dalam Human Development Index (HDI) sangat rendah terutama pembangunan wanitanya juga rendah menurut Gender Related Development Index (DGI), dan Gender Empowerment Measure (GEM). Indonesia tercatatdalamurutanke-102(HDI)danurutan ke-92 (GDI). Sedangkan pengukuran GDI, data tidak tersedia. Sebagai perbandingan dari negara tetangga, Singapura termasuk dalam urutan ke-26 (HDI dan GDI), dan urutan ke-38 ranking GEM. Negara Malaysia dalam urutan ke-56 (HDI), urutan ke-55 (GDI) dan urutan ke-38 (GEM). Negara Brunei dalam urutan ke-32 (HDI), urutan ke-55 (GDI), sedangkan pengukuran GEM data tidak tersedia. Pada banyak lembaga, masih terdapat kesenjangan gender. Rendahnya representasi perempuan mempengaruhi rendahnya kualitas partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan dan pada akhirnya rendah pula kualitas kesetaraan gender dari kebijakan-kebijakan publik. Dari data jumlah total Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menduduki jabatan struktural menurut jenis kelamin tahun 2016, tersaji dalam tabel berikut ini: Tabel 1. Jumlah PNS Dirinci Menurut Jabatan Struktural dan Jenis Kelamin JABATAN PNS PRIA PERSEN WANITA PERSEN JUMLAH PERSEN Eselon I 474 0,11 76 0,02 550 0,13 Eselon II 16.275 3,78 2.336 0,54 18.611 4,33 Eselon III 70.885 16,48 18.901 4,39 89.786 20,87 Eselon IV 199.437 46,36 105.747 24,58 305.184 70,94 Eselon V 11.037 2,57 5.006 1,16 16.043 3,73 Jumlah 298.108 69,30 132.066 30,70 430.174 100% Sumber : www.bkn.go.id Berdasarkan tabel tersebut, persentase ASN perempuan masih kecil daripada persentase ASN laki-laki. Namun rasio tersebut menunjukkan tingkat kepekaan gender di pemerintahan kita sudah cukup baik. Kesetaraan gender dihadirkan agar tercipta kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam mem-peroleh kesempatan serta haknya sebagai manusia dan dalam menikmati hasil pembangunan. Ini ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN) ditetapkan sebagai panduan dalam pengem- bangan ASN terkait kompetensi teknis, manajerial dan sosio kultural. Pengem- bangan kompetensi merupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan kompetensi ASN standar kompetensi jabatan dan rencana pengembangan karier. Pengembangan kom- petensi dilakukan dengan memperhatikan kesenjangan akses, partisipasi, publik dan manfaat yang diterima antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan kerja maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Responsif dan sensitif gender dirumuskan dalam di- mensi kompetensi sosiokultural. Berdasarkan diskursus tersebut diatas dapat diartikan bahwa pengembangan kompetensi sosio kultural khususnya dalam konteks kepekaan gender menjadi sebuah kebutuhan mendesak dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Berangkat dari fenomena tersebut, dalam riset ini melihat kualitas kesetaraan gender dalam organisasi publik yang dicerminkan oleh kehadiran perempuan di dalam organisasi publik dan mekanisme promosi/pengangkatan dalam jabatan struktural di pemerintah -pemerintah daerah di Kalimantan Timur jadi ruang lingkupnya hanya membatasi Selain itu, riset ini juga melihat tingkat persepsi pemangku jabatan pimpinan tinggi dalam melihat kepekaan
  • 10. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 3 gender sebagai kompetensi sosio-kultural pada pemerintah-pemerintah daerah di Kalimantan Timur. PengembanganKompetensiSosioKultural Berdasarkan Pasal 69 UU-ASN, pengembangan kompetensi ASN dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, peni- laian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah yang dilakukan dengan memper- timbangkan integritas dan moralitas. Yang dimaksud dengan kompetensi ASN dalam UU-ASN meliputi: 1. Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis; 2. Kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan publik atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan 3. Kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Pengembangan kompetensi diatas me- rupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan kompetensi ASN dengan standar kompetensi jabatan dan rencana pengembangan karier, yang dilakukan pada tingkat instansi dan nasional. Kesempatan ini diberikan bagi setiap ASN dengan memperhatikan hasil penilaian kinerja dan penilaian kompetensi ASN yang bersangkutan dengan minimal 80 jam pelajaran (jampel) atau jam pelatihan (jamlat) dalam 1 (satu) tahun. Penyelenggaraan pengembangan kom-petensi ini wajib dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dengan menetapkan kebutuhan dan rencana pengembangan kompetensi, melaksanakan pengembangan kompetensi dan evaluasi pengembangan kompetensi, sebagaimana di- amanatkan dalam pasal 167 ayat 5 UU-ASN. Oleh karenanya, pengembangan kompetensi tersebut menjadi dasar dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan karier. Terkait pelaksanaan pengembangan kompetensi ASN, Singal (2008) mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul “Sistem Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 8Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian Dalam Kebijakan Penempatan Jabatan Struktural di Provinsi Sulawesi Utara”, mengungkapkan empat kesimpulan yaitu: 1. Bahwa Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Kepegawaian) belum efektif dilaksanakan dimana banyak kepentingan-kepentingan yang menjadi prioritas utama, atau banyak dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan lain di luar pertimbangan yuridis formal. Sehingga berimplikasi kurang baik pada hasilpengisianataupengangkatanpejabat publik, dimana dalam pengangkatan PNS sampai pada penempatan pegawai, masih diwarnai dengan pengaruh spoil system, nepotism system, dan patronage system. Akibatnya untuk mendapatkan pejabat yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang optimal sering terabaikan. Implementasi transformasi normative manajemen PNS banyak terganjal oleh kultur lama yang terlanjur mengakar dan sulit diubah sebagai akibat dari pola rekruitmen pegawai masa lalu yang lebih bernuansa “rekruitmen politik” untuk membesarkan dukungan terhadap partai politik dan mengkooptasi birokrasi. 2. Penempatan Jabatan Struktural banyak dipengaruhi oleh pejabat yang ber- sangkutan. Terdapat banyak celah pada UU-Kepegawaian sehingga proses pengaturan publik pembinaan karier belum berjalan sebagaimana diharapkan, karena banyak pegawai yang tidak berusaha mengembangkan potensi atau menyesuaikan dengan penilaian prestasi kerja. Selain itu tidak semua pegawai memahami jalur karier dan prospek kariernya sendiri, atau kurangnya sosiali- sasi jabatan dalam lingkup kepegawaian khususnya jabatan yang kosong. Hal ini menghambat kesempatan seorang pegawai untuk lebih meningkatkan
  • 11. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 4 kariernya ke jenjang yang lebih tinggi. Analisis terhadap karier pegawai me- rupakan proses yang sering diabaikan oleh organisasi ataupun individu sendiri. Proses ini sangat penting karena meng- identifikasi potensi (kekuatan) dan ke- lemahan yang dimiliki oleh seorang pegawai, dan dengan demikian karier pegawai yang bersangkutan dapat di- rencanakan dan dikembangkan sebaik- baiknya. 3. Kebijakan dalam penetapan dan penem- patan jabatan publik yang ada (UU- Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengang- katanPegawaiNegeriSipilDalamJabatan Struktural, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pedoman Penilaian Calon Sekretaris Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota Serta Pejabat Struktural Eselon II Di Lingkungan Kabupaten/Kota, Keputusan Kepala BKN Nomor 12 Tahun 2002 tentangKenaikanPangkatPegawaiNegeri Sipil) ternyata tidak memiliki ketegasan hukum dalam mengatur mekanisme dan pengangkatan jabatan publik. Rekruitmen calon pejabat publik mengikuti selera pejabat yang berkuasa dalam hal ini Gubernur sebagai PPK di Daerah Provinsi dengan mudah dapat melakukan penekanan pada Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) serta memasukkan kepentingan tertentu dengan menempatkan PNS dalam jabatan publik di birokrasi. 4. Secara terstruktur posisi perangkat kepegawaian daerah dan personil di dalamnya lemah dihadapan PPK yang dalam hal ini dijabat oleh pejabat politik. Karena ketika Pejabat yang berkuasa menginginkan atau mengeluarkan kebi- jakan sesuai dengan keinginannya maka perangkat pegawai tidak dapat menolak meskipun hal tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Lebih lanjut dimensi kompetensi sosio- kultural menurut Sartika et AL., (2015) diturunkan menjadi mengelola keragaman budaya, membangun network sosial, manajemen konflik, empati sosial, kepekaan gender dan kepekaan difabelitas, yang di- definisikan sebagai berikut: 1. Mengelola Keragaman Lingkungan Budaya adalah kemampuan memahami dan menyadari adanya perbedaan budaya dan melihatnya sebagai hal yang positif, dalam bentuk implementasi manajemen kerja dengan mencegah diskriminasi dan menerapkan prinsip inklusifitas sehingga tujuan organisasi akan tercapai secara efektif. 2. Membangun Network sosial adalah kemampuan membangun interaksi sosial atau hubungan publik balik yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi atau individu, antara kelompok atau antar individu dan kelompok. 3. ManajemenKonflikadalahkemampuan dalam mengelola konflik antar organisasi secara konstruktif 4. Empati Sosial adalah kemampuan untuk memahami perbedaan pikiran, perasaan, atau masalah berbagai kelompok sosial yang berbeda. 5. Kepekaan Gender adalah kemampuan untuk mengenali dan menyadari kesen- jangan akses, partisipasi, publik dan manfaat yang diterima antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan kerja maupundalamkehidupanbermasyarakat, yang secara potensial merugikan baik hak laki-laki maupun perempuan dalam konstruksi sosial kultural. 6. Kepekaan Difabelitas adalah kemampuan untuk mengenali dan menyadari ke- butuhan kelompok dengan keterbatasan fisik dan mental (difabel). Dari tinjauan diatas, diketahui kepekaan gender merupakan dimensi kompetensi sosio kultural, yang diharapkan dimiliki setiap ASN, khususnya pemangku jabatan pimpinan tinggi dalam organisasi publik/ birokrasi. Diharapkan tidak hanya di tingkat eksekutif, tetapi juga tingkat legislatif dan yudikatif.
  • 12. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 5 Kepemimpinan Berperspektif Gender Perspektif gender atau identitas gender menurut Nugroho (2008) merupakan definisi diri tentang seseorang, khususnya sebagai perempuan atau laki-laki, yang berinteraksi secara kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan maupun laki-laki dengan berbagai karakteristik perilakunya yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasinya. Women’s Studies Encyclopedia dalam Nugroho (2008) mencatat gender sebagai suatu konsep kultural yang berupaya mem- buat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain, gender bukan merupakan kodrat Tuhan melainkan buatan manusia, sebagai sebuah konstruksi sosial yang bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu, suku ras/ bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, Negara, publik, politik, hukum dan ekonomi. Kepemimpinan berperspektif gender dimaknai sebagai pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi dan atau peran pemimpin yang memperhatikan dimensi gender (laki-laki dan perempuan) dengan berbagai karakteristik perilaku, hak dan kewajiban yang melekat padanya. Sebagai contoh, seorang pegawai maupun pimpinan yang merupakan seorang perempuan dimana peran yang melekat padanya juga adalah peran seorang istri dan ibu, membutuhkan ketrampilan dalam mengelola waktu pribadi dan waktu publiknya sehingga kewajiban keduanya dijalankan dengan harmonis, tidak berbenturan. Hal ini membutuhkan kondusifitas lingkungan yang sensitif dan responsif gender. Dengan kata lain, riset ini menilai kualitas kesetaraan gender untuk organisasi publik dalam hal ini adalah eksekutif/organisasi birokrasi. Kualitas kesetaraan gender untuk organisasi publik (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) masih rendah, ini merupakan hasil penelitian sebelumnya terkait ke- setaraan gender oleh Nugroho (2008) dalam “Gender dan Administrasi Publik, Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002”. studi tersebut melakukan pengamatan gender (gender scan) pada administrasi publik baik di tingkat pusat atau nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota. Dengan menilai kualitas kesetaraan gender dalam kebijakan publik, organisasi publik, lembaga pendidikan bagi adminis- trator publik dan dalam mekanisme pengarus- utamaan gender dalam administrasi publik. Model yang dikembangkan oleh Nugroho (2008) merujuk kepada gender scan yang antara lain adalah aktivitas untuk mengetahui kesamaan akses dan publik terhadap sumber daya antara laki-laki dan perempuan dalam organisasi, sensitivitas gender dalam pe- ngembangan perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategi gender, adanya gender steorotype, hubungan gender, dan pembagian kerja berdasarkan gender. Menurut Nugroho (2008) pada organisasi publik pengukuran kualitas kesetaraan gender secara seragam diletakkan kepada representasi. Pengukuran representasi diletakkan kepada ukuran ke-setaraan gender UNDP, yaitu 50/50, yang memberikan ukuran bahwa kesetaraan akan terjadi jika representasi laki-laki dan perempuan sama, yaitu 50% dan 50%. Dengan demikian representasi maksimum dari perempuan dalam organisasi publik yang berkesetaraan gender adalah jika representasi perempuan sebanyak 50% dari keseluruhan anggota. Pendekatan representasional ini diambil karena dianggap sebagai pendekatan yang paling mditerima di kalangan perngarus- utamaan gender. Pengukuran mengunakan ukuran interval tingkat representasi tersebut sebagai berikut: a. Representasi tinggi, yaitu interval teratas dari interval–bagi-tiga dari 50% yaitu 33%-50% b. Representasi memadai (menengah) yaitu interval kedua dari interval-bagi-tiga dari 50% yaitu 17%-32% c. Representasi rendah yaitu interval ter- bawah atau ketiga dari interval-bagi-tiga dari 50% yaitu 0-16%
  • 13. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 6 Pada variabel organisasi, meski rujukan 50/50 UNDP digunakan akan tetapi dalam riset tersebut, tidak diberikan rekomendasi untuk memberikan kuota kepada perempuan untuk mendapatkan representasi 50/50 pada organisasi publik. Yang direkomendasikan hanya upaya peningkatan representasi perempuan melalui strategi pengembangan kapasitas dari perempuan di dalam organisasi publik dan organisasi pendukungnya di satu sisi, dan di sisi lain meningkatkan sensitivitas gender dari organisasi publik melalui sensitisasi gender pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari organisasi- organisasi publik. Selain itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan representasi di dalam organisasi-organisasi administrasi publik melalui perbaikan kelembagaan dan mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi dalam organisasi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode desk research, dimana perolehan data dari sumber-sumber primer dan sekunder, yakni hasil penelitian sebelumnya, jurnal, laporan dan data statistika, untuk kemudian di- kembangkan dan dianalisis secara kualitatif. Adapun fokus permasalahan dalam kajian ini dibatasi pada tinjauan pengembangan kompetensi ASN dalam konteks sosio-kultural, dimana secara spesifik mengkhususkan pada dimensi kepekaan gender, yang diukur dari dua aspek, yakni tingkat representasi gender pada jabatan pimpinan tinggi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seluruh pemerintahan daerah di Kalimantan Timur, dan persepsi pemangku jabatan pimpinan tinggi di 4 (empat) pemerintah daerah yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kota Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Kartanegara. PEMBAHASAN Provinsi KalimantanTimur merupakan salah satu Provinsi terluas kedua setelah Papua, Kalimantan Timur memiliki luas wilayah daratan 127.267,52 km2 dan luas pengelolaan laut 25.656 km2 terletak antara 113º44’ Bujur Timur dan 119º00’ Bujur Timur serta diantara 2º33’Lintang Utara dan 2º25’ Lintang Selatan. Penduduk Kalimantan Timur pada tahun 2010 berdasarkan hasil sensus pen- duduk mencapai 3.047.500 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya rata-rata 3,60 persen. Adapun jumlah pen- duduk tahun 2015 sebanyak 3.426.638 jiwa dengan komposisi penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari penduduk laki-laki 1.797.297 jiwa (52,45 persen) dan penduduk perempuan 1.629.341 jiwa (47,55 persen). Secara lengkap komposisi jumlah penduduk per Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur tersaji dalam tabel berikut : Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Rasio Jenis Kelamin Provinsi Kalimantan Timur 2015 Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Rasio 1. Paser 139.219 123.082 262.301 113,11 2. Kutai Barat 77.010 68.828 145.838 111,89 3. Kutai Kartanegara 377.070 340.719 717.789 110,67 4. Kutai Timur 173.586 146.529 320.115 118,47 5. Berau 112.297 96.596 208.893 116,25 6. Penajam Paser Utara 80.609 73.626 154.235 109,48 7. Balikpapan 317.988 297.586 615.574 106,86 8. Samarinda 420.141 392.456 812.597 107,05 9. Bontang 85.522 77.804 163.326 109,92 10. Mahakam Ulu 13.855 12.115 25.970 114,36 Jumlah / Total        2015 1.797.297 1.629.341 3.426.638 110,31 2014 1.758.073 1.593.359 3.351.432 110,34 2013 1.718.918 1.556.926 3.275.844 110,4 2012 1.678.863 1.520.833 3.199.696 110,39 Sumber:  Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur.
  • 14. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 7 Berdasarkan hasil pemekaran daerah otonomi baru tahun 2014, Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari 7 Kabupaten dan 3 Kota, dimana memiliki jumlah pegawai negeri sipil daerah sebesar 71.023 pegawai, dengan perbandingan komposisi Tabel 3. Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur Tahun 2015 No Pemerintah Daerah Jumlah PNS Gender Rasio Pria Wanita Pria Wanita 1 Pemprov. Kaltim 7.234 4.303 2.931 59,5% 40,5% 2 Kutai Kartanegara 16.525 8.955 7.570 54,2% 45,8% 3 Kutai Barat 4.504 2.551 1.953 56,6% 43,4% 4 Kutai Timur 6.654 3.539 3.115 53,2% 46,8% 5 Paser 5.562 3.105 2.457 55,8% 44,2% 6 Penajam Paser Utara 4.044 2.023 2.021 50,0% 50,0% 7 Berau 5.837 3.339 2.498 57,2% 42,8% 8 Samarinda 10.295 4.831 5.464 46,9% 53,1% 9 Balikpapan 6.367 2.737 3.630 43,0% 57,0% 10 Bontang 3.349 1.524 1.825 45,5% 54,5% 11 Mahakam Ulu 652 399 253 61,2% 38,8% TOTAL 71.023 37.306 33.717 52,53% 47,47% Sumber : Badan Kepegawaian DaerahProvinsi Kaltim (data diolah) menurut jenis kelamin terdiri dari 37.306 orang pegawai laki-laki (52,5 %) dan 33.717 orang pegawai perempuan (47,5 %), dengan uraian selengkapnya sebagaimana tabel berikut: Jika membandingkan rasio jumlah ASN terhadap rasio jumlah penduduk di Kaltim dalam konteks gender, dapat terlihat bahwa representasi pegawai perempuan dalam komposisi kepegawaian relatif sangat baik, dimana rasio jumlah ASN terhadap rasio jumlah penduduk relatif sebanding. Namun demikian, untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terkait pengarus-utamaan dan representasi gender dalam komposisi kepegawaian ASN di Kaltim, perlu kiranya melihat secara lebih mendalam komposisi ASN berdasarkan level golongan ruang dan eselonisasi di tiap pemerintahan daerah. Secara lengkap tabel jumlah ASN berdasar Eselon dan Golongan ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur tersaji dalam tabel berikut: Tabel 4. Jumlah PNS berdasarkan Golongan Ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015 NO PEMERINTAH DAERAH  GOLONGAN RUANG BERDASAR GENDER IV III II I P W P W P W P W 1   PEMPROV. KALTIM 516 288 2168 1729 1369 854 250 60 64,18% 35,82% 55,63% 44,37% 61,58% 38,42% 80,65% 19,35% 2   KUTAI KARTANEGARA 1997 1526 3400 3596 3298 2397 260 51 56,68% 43,32% 48,60% 51,40% 57,91% 42,09% 83,60% 16,40% 3   KUTAI BARAT   474 278 1092 837 932 825 84 13 63,03% 36,97% 56,61% 43,39% 53,04% 46,96% 86,60% 13,40% 4   KUTAI TIMUR   337 147 1743 1619 1396 1319 63 30 69,63% 30,37% 51,84% 48,16% 51,42% 48,58% 67,74% 32,26% 5   PASER   784 487 1514 1504 719 465 88 1 61,68% 38,32% 50,17% 49,83% 60,73% 39,27% 98,88% 1,12% 6   PPU   424 314 960 1131 591 562 52 10 57,45% 42,55% 45,91% 54,09% 51,26% 48,74% 83,87% 16,13% 7   BERAU   n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 8   SAMARINDA   1527 2022 2059 2595 1139 841 106 6 43,03% 56,97% 44,24% 55,76% 57,53% 42,47% 94,64% 5,36% 9   BALIKPAPAN   170 13 875 541 945 1717 747 1359 92,90% 7,10% 61,79% 38,21% 35,50% 64,50% 35,47% 64,53% 10   BONTANG   213 311 706 1040 531 468 74 6 40,65% 59,35% 40,44% 59,56% 53,15% 46,85% 92,50% 7,50% 11   MAHAKAM ULU   n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
  • 15. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 8 Tabel 5. Jumlah ASN berdasar Eselonisasi di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015 NO PEMERINTAH DAERAH  ESELONISASI BERDASAR GENDER I II III IV P W P W P W P W 1   PEMPROV. KALTIM 0 0 49 12 236 63 464 300     80,33% 19,67% 78,93% 21,07% 60,73% 39,27% 2   KUTAI KARTANEGARA 0 0 38 3 190 32 855 276     92,68% 7,32% 85,59% 14,41% 75,60% 24,40% 3   KUTAI BARAT   0 0 31 33 125 156 326 478     48,44% 51,56% 44,48% 55,52% 40,55% 59,45% 4   KUTAI TIMUR   0 0 39 3 184 27 427 185     92,86% 7,14% 87,20% 12,80% 69,77% 30,23% 5   PASER   0 0 35 4 133 34 404 173     89,74% 10,26% 79,64% 20,36% 70,02% 29,98% 6   PPU   0 0 25 1 103 19 327 131     96,15% 3,85% 84,43% 15,57% 71,40% 28,60% 7   BERAU   0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a     n.a n.a n.a n.a n.a n.a 8   SAMARINDA   0 0 40 3 153 47 676 392     93,02% 6,98% 76,50% 23,50% 63,30% 36,70% 9   BALIKPAPAN   0 0 23 8 100 38 346 312     74,19% 25,81% 72,46% 27,54% 52,58% 47,42% 10   BONTANG   0 0 25 7 88 26 240 136     78,13% 21,88% 77,19% 22,81% 63,83% 36,17% 11 MAHAKAM ULU 0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a     n.a n.a n.a n.a n.a n.a Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim Dalam grafik di bawah ini akan digambarkan terkait perbandingan rasio Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Eselon II berdasarkan Gender di pemerintah daerah Kalimantan Timur, minus Kabupaten Mahakam Ulu dan Kabupaten Berau, karena data ASN daerah yang bersangkutan tidak tersedia. Dari grafik tersebut terlihat bahwa representasi gender pada pimpinan Eselon II menunjukkan terdapat 5 (lima) pemda yang berada pada representasi rendah, 3 (tiga) pemda berada pada tingkat menengah dan hanya satu daerah yang mencapai nilai tinggi, yakni Pemda Kutai Barat. Gambar 1. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon II berdasar Jenis Kelamin Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
  • 16. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 9 Dari grafik tersebut terlihat bahwa Pemda Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) berada pada level terbawah, dengan jumlah pegawai eselon II perempuan hanya berjumlah satu orang saja, padahal jika melihat potensi jumlah pegawai perempuan yang berada pada golongan IV mencapai 314 orang, demikian pula Kota Samarinda dari sekitar 2022 orang pegawai perempuan pada level golongan IV, hanya mampu mendorong 3 (tiga) orang pimpinan pada jabatan stuktural eselon II. Lebih jauh jika melihat pada tataran eselon III, representasi perempuan pada jabatan struktural terlihat lebih banyak, sekalipun jika diukur berdasarkan pengarus- utamaan gender, masih terdapat 3 (tiga) pemda yang berada pada level rendah, selebihnya 5 (lima) pemda pada level menengah, dan kembali pemda Kutai Barat menjadi satu-satunya daerah yang merepresentasikan pengarus-utamaan gender pada level tinggi. Sebagaimana tergambar dalam grafik berikut: Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim Hal yang menarik dari grafik di atas adalah Pemda Kota Samarinda yang se- belumnya berada pada urutan dua terendah, kini meningkat menjadi tiga besar daerah yang merepresentasikan gender setelah Kutai Barat dan Balikpapan. Ironisnya Pemda Kutai Kartanegara justru turun peringkat, sekitar 1500 orang pegawai golongan IV di- tambah 3500 pegawai perempuan golongan III, hanya dapat menghasilkan 32 orang pegawai perempuan yang menduduki jabatan pimpinan tinggi eselon III setara Kepala Bidang, Kepala Bagian, dan Kepala Biro. Pada level jabatan administratif seperti eselon IV, representasi pegawai perempuan semakin terbuka lebar, dari grafik dibawah ini dapat terlihat bahwa separuh lebih Pemda telah memberikan peran yang lebih besar bagi representasi pegawai perempuan dalam jabatan pimpinan tinggi eselon IV, hanya tiga pemda yang berada pada level menengah, yakni Kutai Kartanegara pada urutan terbawah, diikuti Kabupatan PPU dan Kabupaten Paser. Jabatan eselon IV dapat dikatakan sebagai jabatan administratif, karena peran yang dibutuhkan lebih kepada penerjemah kebijakan dari pimpinan pada level eselon II dan eselon III. Sebagaimana tergambar dalam grafik berikut: PERBANDINGAN RASIO JPT ESELON III BERDASAR JENIS KELAMIN Gambar 2. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon III berdasar Jenis Kelamin
  • 17. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 10 Jika melihat pada ketiga grafik diatas dapat kita elaborasi lebih lanjut terkait pengarus-utamaan gender pada Pemda di Kaltim, dimana terdapat kecenderungan bahwa pengarusutamaan gender lebih banyak direpresentasikan pada wilayah perkotaan dibanding daerah Kabupaten. Hal ini dapat terlihat pada daerah Kabupaten seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, PPU dan Paser yang cenderung merepresentasikan rendah dalam pengarus- utamaan gender dibandingkan daerah Kota Samarinda, Bontang dan Balikpapan. Kondisi tersebut dapat dipahami bahwa wilayah Kabupaten yang umumnya pedesaan cenderung masih memiliki ikatan sosiologis dan akar budaya yang lebih kuat, dimana sistem nilai yang berlaku di masyarakat cenderung rigid dibanding wilayah perkotaan yang lebih permisif terhadap interaksi budaya luar, dimana wilayah kota memungkinkan terbangunnya interaksi yang dinamis antar pemikiran secara terbuka terhadap ide pluralitas dan gender. Masyarakat di daerah pedesaan sering bersifat homogen yang masih memegang prinsip-prinsip nilai kearifan lokal setempat, dimana umumnya bersifat patrilineal, norma budaya ini sering menempatkan perempuan pada level sub-ordinasi kaum pria, perempuan kerap dianggap lebih inferior dan kurang memiliki kompetensi dalam memimpin dan mengambil keputusan strategis, sehingga tidak mengherankan bila jabatan pimpinan tinggi pada kelembagaan publik lebih didominasi peran kaum pria. Disisi lain, dalam grafik juga menunjukkan bahwa semakin tinggi level jabatan struktural (eselon), maka semakin rendah permissivitas terhadap representasi pengarus-utamaan gender, dimana pegawai perempuan umumnya lebih banyak diposisikan pada jabatan- jabatan administratif di level eselon IV, dibandingkan pada jabatan tinggi strategis pengambil kebijakan (decision maker) dan pemimpin SKPD di level eselon II. Padahal, jika melihat kalkulasi rasio jumlah pegawai perempuan berada pada golongan III dan IV, akan terlihat relatif seimbang dengan rasio jumlah pegawai laki- laki. Hal ini bermakna bahwa secara potensi kuantitatif jumlah pegawai perempuan yang memiliki kompetensi dan telah memenuhi syarat golongan kepangkatan sebenarnya relatif cukup tersedia, namun belum mendapatkan peluang promosi dan kesempatan untuk menduduki jabatan pimpinan struktural secara representatif. Di sisi lain, dari tabel 5 Jumlah PNS berdasar Eselonisasi di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur, terlihat bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki sebanyak 7,32% pemangku jabatan eselon 2, sebanyak 14,41% pemangku jabatan Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim Gambar 3. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon IV berdasar Jenis Kelamin
  • 18. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 11 eselon 3, dan sebanyak 24,40% pemangku jabatan eselon 4. Angka tersebut merupakan prosentases terendah dari beberapa peme- rintahan daerah di Kalimantan Timur. Sedangkan penempatan jabatan pimpinan tinggi eselon II, pada dasarnya merupakan hasil pertimbangan dari Baperjakat dengan persetujuan Kepala Daerah, artinya peran Kepala Daerah dalam membentuk struktur pimpinan tinggi di suatu daerah seharusnya sangat menentukan. Namun demikian, tidak semua Kepala Daerah Perempuan membuka ruang bagi pengarus-utamaan gender di daerah, hal ini terlihat di Pemda Kutai Kartanegara, dimana Kepala Daerahnya dijabat oleh seorang perempuan, namun ironisnya kurang memberikan support pada representasi gender di jabatan struktural, Pemda Kutai Kartanegara justru berada di urutan terendah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa posisi Kepala Daerah perempuan tidaklah cukup untuk mendorong terwujudnya repre- sentasi gender di jabatan pimpinan tinggi struktural, namun diperlukan suatu good will, niatan tulus ikhlas seorang pemimpin dalam membuka ruang representasi bagi pengarus-utamaan gender di daerah, dan seyogyanya dapat dituangkan dan dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan atau regulasi terkait mekanisme sistem promosi dan pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi yang responsif terhadap pengarus- utamaan gender tanpa mengurangi substansi dan kompetensi standar yang dibutuhkan pada posisi tersebut. Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural Sebagaimana diulas dalam review kepustakaan diatas, bahwa salah satu sub kompetensi sosio-kultural dalam pengem- bangan kompetensi PNS adalah Kepekaan Gender, kompetensi ini adalah kemampuan untuk mengenali dan menyadari kesenjangan akses, partisipasi, publik dan manfaat yang diterima antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan kerja maupun dalam kehidupan bermasyarakat, yang secara potensial merugikan baik hak laki-laki maupun perempuan dalam konstruksi sosial kultural. Dengan demikian pengembangan kepekaan gender sebagai sub kompetensi sosiokultural merupakan hal yang penting dimiliki oleh individu PNS dan kelembagaan pemerintahan daerah. Tingkat urgensitas pengembangan kompetensi sosiokultural dimensi kepekaan gender dapat terlihat dari hasil kajian penelitian oleh Sartika et al., (2015) ter- hadap persepsi dari para pemangku jabatan pimpinan tinggi pada daerah Kota Balikpapan, Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Provinsi Kaltim, yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN), yang digambarkan dalam grafik sebagai berikut: Gambar 4. Perbandingan Gap Kompetensi SosioKultural Dimensi Kepekaan Gender Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
  • 19. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 12 (birokrasi) perlu dilakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme rekrutmen/ seleksidanpromosidalamorganisasitersebut. Sehingga dibutuhkan good will pimpinan dalam membuka ruang bagi terlaksananya pengarus-utamaan gender, melalui kebijakan maupun regulasi terkait mekanisme sistem promosi dan pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi yang responsif terhadap pengarus-utamaan gender tanpa mengurangi substansi dan kompetensi standar yang di- butuhkan pada posisi tersebut. Dari fenomena temuan data diatas juga menunjukkan bahwa daerah di perkotaan dengan daerah Kabupaten memiliki karak- teristik akan berbeda, hal ini karena lingkungan sosiologisnya relatif berbeda, dimana daerah kabupaten membutuhkan effort yang lebih besar dalam upaya men- dukung pengembangan kompetensi PNS untuk melakukan deseminasi wacana gender agar dapat lebih diterima di tengah masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya untuk terus melakukan diseminasi ide dan konsep pengarus-utamaan gender dalam masyarakat maupun secara internal kelembagaan pemda secara kontinyu, sehingga ide tersebut dapat secara massif dan lumrah diterima dalam ranah publik. PENUTUP Berdasarkan diskursus analisis diatas dapat dirangkum kesimpulan sebagai bahwa representasi pegawai perempuan yang duduk dalam jabatan pimpinan tinggi di lingkungan pemerintahan daerah di Kalimantan Timur secara umum masih berada dalam tingkatan yang masih rendah, dimana kecenderungan pengarusutamaan gender lebih banyak di- representasikan pada wilayah perkotaan di- banding daerah Kabupaten, selain itu data menunjukkan bahwa semakin tinggi level jabatan struktural (eselon), maka semakin rendah tingkat penerimaan terhadap representasi pengarus-utamaan gender. Tingkat urgensitas dalam pengembangan kompetensi PNS dirasa sangat dibutuhkan, sebagaimana respon dari para pemangku Berdasarkan hasil kuestioner terhadap sejumlah pimpinann tinggi di Pemda lokus menunjukan bahwa tingkat relevansi di- mensi kepekaan gender relatif sangat tinggi diatas 8o %, demikian pula kebutuhan kelembagaan terhadap kompetensi ter- sebut, hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan kompetensi sosio kultural untuk dimensi kepekaan gender dapat di- katakan sangat tinggi, sementara selisih dari kedua indikator tersebut menunjukan tingkat gap (kesenjangan) yang terjadi di daerah lokus penelitian, dimana pada Pemda Kutai Kartanegara menjadi daerah paling tinggi mengalami kesenjangan kompetensi sosiokultur untuk dimensi kepekaan gender, ini tentunya semakin menjelaskan dari data sebelumnya bahwa daerah kabupaten yang umumnya memiliki nilai rendah dalam hal pengarus-utamaan gender, pada dasarnya membutuhkan untuk dilakukan pengembangan kompetensi ini. Dimensi kepekaaan gender sebagai salah satu instrumen dalam kompetensi sosio-kultural, sudah seharusnya mendapat perwujudan yang lebih nyata dari pemerintah daerah, tidak sekadar jargon semata. Salahsatulangkahyangmungkindapat dilakukan dalam rangka pengembangan kompetensi sosiokultural berbasis gender pada PNS adalah dengan mengintegrasikan materi pengarus-utamaan gender dalam standar kurikulum diklat pegawai, sehingga dapat merubah mindset dan paradigma pegawaisecaraumumterkaitmasalahgender, dan khususnya bagi pegawai perempuan diharapkan dapat lebih meningkatkan kompetensinya serta dapat mereduksi mental inferior dan stereotip yang melekat dalam diri internal, yang dapat mendorong motivasi dan tingkat kepercayaan diri agar dapat berkompetisi secara sehat. Selain itu upaya pengembangan kompetensi PNS sebenarnya tidak hanya melalui program diklat, akan tetapi juga melalui mekanisme promosi dalam tahapan pengangkatan jabatan pimpinan tinggi di pemerintahan daerah. Sehingga untuk meningkatkan representasi perempuan di dalam organisasi administrasi publik
  • 20. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika) 13 jabatan pimpinan tinggi di lingkungan pemerintah daerah Kalimantan Timur, selain itu terdapat kesenjangan/gap antara tingkat relevansi dan kebutuhan, khususnya di daerah. Oleh karenanya upaya pengembangan kompetensi PNS dapat dilakukan dengan mengintegrasikan konsep pengarus-utamaan gender dalam kurikulum diklat ASN, selain itu perlu dilakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi, melalui kebijakan maupun regulasi dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi yang responsif terhadap pengarus-utamaan gender tanpa mengurangi substansi dan kompetensi standar yang dibutuhkan. Selain ituperludilakukandiseminasiidedankonsep pengarus-utamaan gender dalam masyarakat maupun secara internal kelembagaan Pemda secara kontinyu, sehingga ide tersebut dapat secara massif dan lumrah diterima dalam ranah publik. Rekomendasi strategis terkait ke- bijakan adalah agar setiap daerah menyusun peraturan daerah tentang kesetaraan gender dalam pembangunan daerah. Kebijakan yang sensitif dan responsif gender, memudahkan dalam intervensi mekanisme, organisasi dan pendidikan dan pelatihan. Perlunya disusun sebuah manajemen pendidikan dan pelatihan baik berupa kurikulum, materi ajar, pengajar yang sensitif dan responsif gender. Sehingga lembaga yang memiliki posisi strategis dan memiliki kewenangan diatas adalah Lembaga Administrasi Negara, Institut Ilmu Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Sekolah Tinggi Adminstrasi Negara, BadanPengembanganSumberDayaManusia (BPSDM) di Provinsi, Kabupaten, Kota, serta Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Perlunya kegiatan pelatihan gender yang bertahap bagi setiap jenjang jabatan sebagai bentuk diseminasi kepekaan gender bagi setiap aparatur khususnya pejabat publik di organisasi publik, dan pelatihan sensitif genderditingkatmasyarakat.Pengembangan kompetensi sosiokultural dalam perspektif kepekaan gender dimaksudkan bahwa perempuan sebagai pemangku jabatan secara umum atau pimpinan tinggi diberikan kesempatan yang sama sebagaimana pada laki-laki, akan tetapi hendaknya di- kondisikan berimbang dengan tuntutan domestiknya dimana perannya sebagai istri dan ibu sehingga hak dan kewajiban yang melekat dalam profesionalitasnya atau keputusan yang diberikan bersifat ramah perempuan/peka gender. Selain itu, melalui perbaikan kelembagaan dan perbaikan mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi dalam organisasi tersebut sebagai bentuk pengembangan kompetensi, diharapkan dapat meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi publik. Meningkatkan representasi perempuan dalam pengangkatan dalam jabatan struktural khususnya jabatan pimpinan tinggi, dengan cara assessment/ penilaian kompetensi dan melakukan refor- masi birokrasi yang men-gender-sensitif-kan kebijakan bagi para calon PNS dan calon pejabat/pejabat/pemangku jabatan pimpinan tinggi dengan cara pengarus-utamaan gender yang bersifat sinambung dan melekat. DAFTAR PUSTAKA Dewi Sartika, et. al. (2015). Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara. Samarinda: PKP2A III LAN. Indonesia, R. (n.d.). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Riant Nugroho. (2008). Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riant Nugroho., D. (2008). Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia.Yogyakarta, DIYogyakarta: Pustaka Pelajar. Singal, J. D. (2008). Sistem Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 443 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dalam Kebijakan Penempatan Jabatan Struk- tural di Provinsi Sulawesi Utara. Semarang: Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
  • 21. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14 14 www.bkn.go.id. (2016). Retrieved September 08, 2017, from http://www.bkn.go.id/ wp-content/uploads/2016/11/Tabel- 6-Jumlah-PNS-Dirinci-Menurut- Jabatan-Struktural-dan-Jenis- Kelamin.png
  • 22. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati) 15 KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA THE STATUS OF THE MEMBERS OF THE POLICE FORCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN UNDANG UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA Dwi Andayani Budisetyowati Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No.1 Jakarta Barat 11440 e-mail: dwib@fh.untar.ac.id (Diterima 11 April 2017, Direvisi 21 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN. Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip- prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN. Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN Abstract Institutional administration such as pension, appointment, mutation, and echelon, are parts of the systematic ongoing development and as the sign of the growth of the Indonesian police institution. The purpose of the article is to identify the status of the members of the Police Force of the Republic of Indonesia in UU ASN. Normative law method was conducted using harmonization theory that refers to law priciples such as Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. The results shown that the status of the members of the Police Force of the Republic of Indonesia as civil servant, such as pension, appointment, mutation, and echelon, was no longer referred to UU Kepolisian UU and Peraturan Kapolri, but to UU ASN. This study concluded that peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia in regards with institution administrations have to be referred to UU ASN. Keywords: law status, ASN, police force, UU ASN PENDAHULUAN Salah satu ukuran keberhasilan pem- bangunan nasional adalah ditentukan oleh banyaknya pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud disini bukanlah pembangunan infrastruktur jalan atau gedung gedung tinggi yang ada, akan tetapi yang dimaksud penulis adalah pembangunan infrastruktur terhadap manajemen-manajemen administrasi peme- rintahan yang ada disetiap lembaga negara. Setidaknya dengan adanya pembangunan yang baik terhadap menajemen-manajemen administrasi pemerintahan dilembaga negara, maka tujuan negara khususnya untuk menciptakan “pelayanan publik (public service)” yang berkualitas seperti yang dikumukakan oleh Deming dalam Razak (2013) serta menciptakan “aparatur sipil negara/pejabat administrasi negara” yang profesional dalam menjalankan
  • 23. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23 16 tugas, fungsi dan wewenang akan lebih mudah terealisasi. Menurut Hartini (2008), pentingnya keberadaan kepegawaian dalam fungsinya sebagai bagian dari pemerintah yang membawa komponen kebijaksanaan kebijaksanaan atau peraturan peraturan. Indonesia merupakan negara ber- kembangyangjugasaatinitengahmelakukan pembangunan infrastruktur terhadap manajemen-manajemen administrasi peme- rintahan untuk menciptakan peningkatan kualitas pelayanan publik dan menciptakan aparatur sipil negara/pejabat administrasi negara yang profesional dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan cara membuat dan mengesahkan Undang- Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Diharapkan dengan adanya undang-undang tersebut maka kedepannya masalah-masalah administrasi pemerintahan yang tumpang tinding kewenangan antara lembaga negara atau masalah-masalah teknis administrasi seperti pengangkatan serta mutasi pejabat administrasi negara sudah tidak menjadi masalah lagi. Akan tetapi, hal tersebut menurut penulis tidak dapat terealisasi sepenuhnya dikarenakan pasca lahirnya UU ASN tersebut banyak menimbulkan masalah hukum baru yang salah satunya terkait “kedudukan polisi sebagai aparatur sipil negara yang berada dalam ruang lingkup institusi kepolisian apakah tunduk pada UU ASN atauakantundukpadaUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian).” Dari aspek hukum administrasi negara, polisi sebagai aparatur sipil negara yang ada di institusi kepolisian merupakan hal yang menarik penulis teliti khususnya terkait kedudukannya sebagai aparatur sipil negara dikarekan pasca perubahan kedua UUD 45 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No.VI/ MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/ MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan wewenang Institusi Kepolisian serta pemisahan kelembagaan TNI dan Kepolisian sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. UUD 45 ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan wewenang serta pelaksanaan tugas Kepolisian sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Pasca Orde Baru Negara menurut Sutrisno (2016) berupaya menempatkan Kepolisian pada posisi kompatabel dengan tuntutan demokrasi. Sesuai dengan UUD 45 pada perubahan kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Polri secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi. Oleh karena berdasarkan hal tersebut diatas, maka sangat wajar jika setelah pasca reformasi ada sebuah harapan baru yang diinginkan terjadi di lingkungan kepolisian pasca adanya pemisahan antara Kepolisian dan TNI yaitu adanya perbaikan tata kelola manajemen administrasi pemerintahan yang tidak tumpang tindih antara aturan- aturan hukum, sumber sumber hukum administrasinya jelas. Salah satu permasalahan yang muncul pasca lahirnya UU ASN di lingkungan institusi kepolisian adalah terkait mutasi jabatan. Menurut Yusuf (2016) didalam internal kepolisian permasalahan mutasi jabatan adalah merupakan dinamika organisasi sebagai dari pembinaan yang senantiasa berlangsung secara sistematis dan berlanjut serta dilaksanakan secara konsisten pada lingkup internal kepolisian yang dilaksanakan sebagai wujud pengembangan sebuah organisasi. Mutasi atau pergeseran tempat penugasan merupakan bentuk pengembangan karir para perwira, karena para perwira perlu penyegaran atau promosi jabatan sehingga karir dapat meningkat sesuai dengan kinerja dan kepangkatan yang disandangnya. Sedangkan menurut Abdullahsalam (2014) mutasi jabatan merupakan dinamika organisasi, sebagai bagian dari pembinaan yang senantiasa berlangsung secara sistematis dan ber- kelanjutan serta dilaksanakan secara konsisten pada lingkup internal kepolisian yang dilaksanakan sebagi wujud pengem- bangan sebuah organisasi. Guna menyikapi berbagai tantangan, tuntutan dan harapan
  • 24. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati) 17 masyarakat tersebut, maka semakin jelas bahwa tugas kepolisian kedepan tidaklah ringan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta masalah hukum yang harus dikelola dengan seksama, sehingga tidak menimbulkan ekses ter- jadinya gangguan kamtibmas, maka dari itu diperlukan langkah-langkah serta penanganan yang cepat dan tepat dalam satuan operasional kepolisian di wilayah yangmengedepankankomitmenpolridengan masyarakat dalam rangka pemecahan dan penanggulangan masalah sosial. Menurut Suyono (2013), adanya pergantian jabatan dalam lingkup Kepolisian diharapkan akan tetap terpelihara daya manajerial dan daya operasional yang handal dalam organisasi Polri sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai fungsi dan peranannya selaku Pelindung, Pengayom dan Pelayanan Masyarakat serta sebagai penegak Hukum yang professional. Terkait dengan upaya mengubah paradigma tata pemerintahan atau birokrasi, Thoha (2009) menyatakanadatigahalyangperludilakukan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia yakni dengan mewujudkan perpaduan tiga unsur pokok, yaitu: pertama, kelembagaan, dalam hal ini perlu adanya pengaturan kelembagaan (structural setting) dalam birokrasi di Indonesia. Perencanaan kelembagaan birokrasi Indonesia perlu ditata dan diperbaiki, terutama terkait dengan jumlah lembaga dan jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu, perlu telaahan terhadap kelembagaan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) diantara lembaga-lembaga yang dibentuk. Kedua, sistem, yakni sistem yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga- lembaga pemerintahan. Dan, ketiga, sumber daya manusia atau aparatur pemerintah, dalam hal ini adalah kualitas aparaturnya dan juga pola perekrutan aparatur yang harus mendasarkan pada standar kebutuhan pegawai. Permasalahan terkait mutasi tersebut semakin menimbulkan suatu kepastian hukum apabila dikaitkan dengan UU ASN, apakah Kepolisian sebagai Institusi Negara tunduk pada UU ASN atau tunduk kepada UU Kepolisian serta peraturan Kapolri terkait dengan Administrasi di lingkungan Institusi kepolisian. Ada yang beranggapan jika seseorang menjadi anggota kepolisian maka secara hukum administrasi negara terkait pengangkatan, pemberhentian serta mutasinya sebagai anggota kepolisian ter- sebut yang berlaku kepadanya adalah UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota Kepolisian ada mekanisme admnistrasi internal dilingkungan institusi kepolisian itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila dikaitkan dengan administrasi jenjang kepangkatan dari anggota kepolisian tersebut yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan hukum internal yang berada pada kepolisian itu sendiri dan UU Kepolisian. Oleh karena hal tersebut, maka melalui tulisan ini, penulis mencoba melakukan penelitian terkait dengan bagaimana kedudukan kepolisian dalamUUASNdikarenakanapabilamengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Kepegawaian) maka Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam hal ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu (1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), (2) Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan termasuk juga (3) Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dari latar belakang yang diuarikan diatas, maka penulis mengajukan per- masalahan dalam penulisan ini, yaitu Bagaimanakan kedudukan hukum aparatur Kepolisian Republik Indonesia setelah berlakunya UU ASN? PEMBAHASAN Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang dimaksud disini adalah teori-teori serta asas-asas yang digunakan oleh penulis dalam mengolah dan menganalisa penelitian terkait kedudukan kepolisian dalam UU ASN yang diuraikan sebagai berikut: 1. Teori Peraturan Perundang-Undangan Teori peraturan perundang-undangan adalah sebuah teori yang digunakan penulis untuk menganalisis apakah UU ASN tersebut telah memenuhi aspek formil dan aspek materiil terkait pembentukan peraturan perundang- undangan sehingga dapat dikatakan sebagai peraturan yang mengingat secara sah dan memenuhi kaidah-kaidah asas- asas pembentukan peratutan perundang- undangan. Peraturan Perundang-undangan menurut Indrati (2007) adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah.
  • 25. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23 18 Menurut  Vlies dalam Yuliandri (2009) dalam pembentukan peraturan per- undang-undangan ada beberapa asas formal dan material yang harus perhatikan antara lain sebagai berikut: a. Asas Formal 1) Asas tujuan yang jelas; 2) Asas lembaga yang tepat; 3) Asas perlunya pengaturan; 4) Asas dapat dilaksanakan; 5) Asas konsensus. b. Asas Material 1) Asas terminologi dan sistematika yang benar; 2) Asas dapat dikenali; 3) Asas perlakuan yang sama di depan hukum; 4) Asas kepastian hukum; 5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu. Sedangkan menurut Hadjon dalam Yuliandri (2009) menjelaskan jika pem- bentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke regelgeving). Menurut Attamimi (1990) asas-asas yang melandasi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat mewujudkan hakikat perundang- undangan dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain: a. Attamimi, berpendapat bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut terdiri atas, cita hukum Indonesia, Asas Negara berdasar atas hukum, asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi dan asas-asas lainnya. b. Vlies, membedakan asas-asas pem- bentukan peraturan perundang- undangan atas asas formal dan asas materil. Asas-asas yang formal meliputi: (1) Asas tujuan yang jelas (beginselen van duidelijke doelstelling), (2)Asas organ/lembaga yang tepat (beginselen van het juiste organ); (3)Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginselen); (4) Asas dapatnya dilaksanakan (het beginselen van uitvoerbaarheid); dan (5) Asas konsensus (het beginselen van de consensus). Adapun Asas-asas yang materil meliputi: (1)Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginselenvanduidelijketerminologie en duidelijke systematiek), (2) Asas tentang dapat dikenali (het beginselen van dekenbaarheid) (3) Asas kepastian hukum (het rechts zekerheidsbeginselen) (4) Asas pelaksanaan hukum, (5) asas perlakuan yang sama dalam hokum (het rechtsgelijkheids beginsel) sesuai keadaan individu (het beginselen van individuele rechtsbedeling). c. Adapun Kremes dalam Fahmal (2008), menemukakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi: (a) Susunan peraturan (Form der regelung) (b) Metode pembentukan peraturan (Metode der ausorbeitung der regelung); (c) Bentuk dan isi peraturan (Inhalt der regelung); (d) Prosedurdanprosespembentukan peraturan (Verforen derAusarbeitung der regelung). Sedangkan apabila mengacu pada asas- asas pembentukan peraturan perundang- undangan telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyatakan dalam membentuk peraturan perundang- undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan per- undang-undangan yang baik, yang meliputi: (a) Kejelasan tujuan; (b) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) Dapat dilaksanakan; (e) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) Kejelasan rumusan; dan (g) Keterbukaan. Dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang merupakan dasar atau landasan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan jika apabila UU ASN telah memenuhi aspek formil dan aspek materiil dari apa yang telah dikemukakan diatas, maka UU ASN sah dan mengikat menurut hukum. 2. TeoriHarmonisasiPeraturanPerundang- Undangan Teori harmonisasi peraturan perundang- undangan digunakan penulis untuk mengetahui apakah penerapan UU ASN tidak bertentangan dengan UU Kepolisian yang mana ke-2 (dua) undang-undang tersebut sehirarki dan untuk menganalisis apabila terjadi
  • 26. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati) 19 pertentangan maka undang-undang mana yang perlu didahulukan untuk dilaksanakan. Harmonisasi hukum menurut penulis cukuplah penting khususnya negara yang memiliki sistem hukum yang perpegang teguh pada hukum tertulis seperti negara-negara yang menganut civil law seperti Indonesia. Banyaknya hukum tertulis yang dibuat tersebut dengan situasi politik yang sering berganti membawa konsekuensi rawan terjadinya disharmonisasi hukum. Menurut Goesniadhie (2010) menjelaskan potensi terjadinya disharmonisasi tercermin oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut : a. Jumlah peraturan perundang- undangan terlalu banyak yang di- berlakukan; b. Perbedaan kepentingan dan penaf- siran; c. Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang tata pemerintahan yang baik; d. Kendala hukum yang dihadapai dalam penerapan peraturan per- undangundangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap per- ubahan, dan penegakan hukum; e. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan per- undangundangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan; Untuk mengatasi terjadinya disharmoni- sasi peraturan perundang-undangan maka dalam teori harmonisasi peraturan perundang-undangan dikenal beberapa asas yang dapat digunakan untuk mengatasi terjadinya disharmonisasi norma yang biasa disebut dengan asas preverensi yang dimana berarti bahwa kehadiran asas tersebut bertujuan untuk mengatasi adanya (1) kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum) dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Adapun dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preverensi) yang dimana dijelaskan penulis sebagai berikut: a. Asas lex superiori delogat legi inferiori adalah asas yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah, sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang- undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibawah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya; b. Asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas penaf- siran  hukum  yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis); c. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori adalah asas yang berlaku pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.  Berdasarkanpenjelasantersebutdiatas, maka untuk menentukan bagaimana cara mengharmoniskan penerapan UU ASN agar tidak bertentangan dengan UU Kepolisian maka akan digunakan asas preverensi hukum sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum pendekatan doktrinal yang bersifat normative seperti apa yang dikutip penulis dari Soekanto dan Mamudji (1990). Adapun yang dapat dijadikan objek dalam penelitian dengan pendekatan doktrinal yang bersifat normatif ini adalah data-data yang berupa bahan primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), penelitian studi kepustakaan atau yang bersifat normatif hanya dengan membaca ataupun menganalisa bahan-bahan yang tertulis. Adapun bahan hukum primer menurut Marzuki (2011) yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan hakim. Dalam penulisan ini penulis menggunakan bahan hukum primer berupa UU ASN dan UU Kepolisian serta bahan hukum sekunder seperti buku-buku yang menjelaskan terkait dengan hukum administrasi Negara, hukum kepegawaian dan hukum administrasi kepolisian. Sedangkan Analisis data yang di- gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
  • 27. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23 20 data kualitatif normatif, yaitu data yang diperoleh setelah disusun secara sistematis, untuk kemudian dianalisis secara kualitatif normatif dalam bentuk uraian, agar dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan yang akan diteliti. Hasil penelitian kepustakaan akan dipergunakan untuk menganalisis data, kemudian data dianalisis secara kualitatif normatif untuk menjawab permasalahan dalam penulisan penelitian ini. Analisis Data dan Hasil Penelitian Kedudukan Hukum AparaturKepolisian Republik Indonesia Setelah Berlakunya UU ASN Reformasi 1998 sebenarnya cukup memberikan dampak besar terhadap perubahan sistem yang ada disetiap lembaga negara yang masih ada. Salah satu lembaga negara yang merasakan dampak perubahan yang besar terhadap sistemnya adalah Institusi Kepolisian yang mana pasca reformasibaikitudarisisikedudukan(status), kewenangan dan administrasi lembaganya mengalami perbuhan yang cukup besar yang mana ditandari dengan disahkan dan diberlakukannya UU Kepolisian dalam Undang-Undang Kepolisian dijelaskan untukkedudukan(status)hukumnya institusi Kepolisian tidak lagi ada dibawah TNI, kemudian dari aspek kewenangan institusi kepolisian saat ini mempunyai kewenangan dalam memelihara keamanan dan keter- tiban masyarakat, penegakan hukum, per- lindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat jauh lebih independen (mandiri) dan bebas dari intervensi manapun karena dalam menjalankan wewenangnya institusi kepolisian tidak tunduk pada presiden sebagai pihak yang mengangkat serta bertanggungjawab kepadanya akan tetapitundukdanpatuhterhadaphukumyang berlaku. Sedangkan dari aspek administrasi yaitu pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan diserahkan sepenuhnya kepada institusi kepolisian dalam hal ini pimpinan institusi kepolisian yaitu kapolri. Terkait kedudukan hukum institusi kepolisian dalan hal masalah administrasi kelembagaan ditangani langsung oleh kapolri dengan mengeluarkan Peraturan Kapolri terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan aparaturnya sehingga hal tersebut menjadi wewenang dari kapolri sebagai pimpinan tertinggi pada ruang lingkup kepolisian. akan tetapi pasca lahirnya UU ASN tersebut maka seharusnya ruang lingkup administrasi seluruh lembaga negara termasuk institusi kepolisian tunduk dan patuh kepada undang-undang aparatur sipil negara, karena bagaimanapun aparatur kepolisian masuk dalam kategori PNS yang mana secara tidak langsung dapat ditafsirkan masuk dalam ranah ASN yang tunduk pada UU ASN. Oleh karena itu maka terhadap wewenang administrasi tersebut seharusnya tidak lagi menjadi wewenang diskresi dari institusi kepolisian, akan tetapi wajib mengacu pada UU ASN , namun hal tersebut belum terealisasi sepenuhnya karena saat ini masih banyak peraturan kapolri yang berdasar pada UU Kepolisian masih berlaku dan belum dicabut sehingga menurut penulis dapat berpotensi bertentangan dengan UU ASN. Salah satu aturan pada wilayah administrasi yaitu terkait mutasi jabatan dilingkungan polri saat ini diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia.dalam peraturan kapolri tersebut dijelaskan dalam Pasal 1Angka 9 disebutkan “Mutasi Jabatan adalah pemindahanAnggota dari suatu jabatan ke jabatan yang lain, baik yang sifatnya promosi, setara maupun demosi.” Kemudian disebutkan dalam Pasal 4 disebutkan mutasi dilaksanakan dengan pertimbangan (a) penempatan Anggota yang tepat pada jabatan yang tepat sesuai kompetensi dan prestasi tugas yang dimiliki (Merit System); (b) arah pemanfaatan pembinaan karier Anggota; (c) reward and punishment; (d) keseimbangan antara kepentingan organisasi dan Anggota; dan (e) Senioritas tanpa mengorbankan kualitas. Serta yang perlu dijelaskan adalah Prinsip- prinsip mutasi sebelum melakukan mutasi yang tertera dalam Pasal 3 yaitu (a) Prinsip Legalitas, yaitu proses mutasi jabatan di- laksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku; (b) Prinsip Akuntabel, yaitu proses pelaksanaan mutasi anggota dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku; (c) Prinsip Keadilan, yaitu proses mutasi dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan hak yang sama bagi setiap anggota tanpa adanya diskriminasi; (d) Transparan, yaitu proses mutasi anggota dilaksanakan secara jelas mulai dari perencanaan sampai dengan sidang dewan pertimbangan karier; (e) Prinsip Objektif, yaitu proses mutasi anggota dilaksanakan dengan mengedepankan kompetensi individu anggota, kompetensi
  • 28. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati) 21 jabatan, dan persyaratan yang ditetapkan; dan (f) Prinsip Anti KKN, yaitu proses mutasi dilaksanakan tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme. Dikarenakan proses mutasi tersebut masih merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2012 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia sebagai- mana penjelasan diatas, maka yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana jika secara administrasi aparatur kepolisian tersebut wajib dimutasi berdasarkan UU ASN karena melakukan pelanggaran aturan dalam ASN sedangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia tersebut ditafsirkan tidak melakukan pelanggaran atau tidak masuk dalam kate- gori pelanggaran. Menurut hukum yang manakah yang didahulukan apakah aturan UU ASN ataukah Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia yang berdasarkan UU Kepolisian. Menurut penulis, seharusnya pasca diberlakukannya UU ASN segala peraturan kapolri terkait dengan pengangkatan, pem- berhentian, mutasi serta kepangkatan disesuaikan dengan UU ASN karena dikhawatirkan kedepannya terjadi dishar- monisasi (pertentangan norma hukum). Oleh karena itu, memalui tulisan ini penulis mencoba menerangkan jika ter- jadi pertentangan norma hukum atau dis- harmonisasi hukum antara UU ASN dengan UU Kepolisian dengan Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia yang manakah didahulukan dan diutamakan. Sudah dijelaskan melalui teori dan asas- asas yang digambarkan penulis sebelumnya, bahwa apabila terjadi pertentangan norma (disharmonisasi) maka menurut hukum asas preverensi merupakan asas yang di- berlakukan untuk mengatasi pertentangan norma atau kekosongan hukum tersebut. Asas preverensi tersebut terdiri dari 3 (tiga) asas yang mana terkait permasalahan ini memakai 2 (dua) asas yaitu (a) Asas lex superiori delogat legi inferiori, dan Asas Lex specialis derogat legi generali. Apabila mengacu pada Asas lex superiori delogat legi inferiori yang me- ngandung pengertian merupakan asas yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/ mengalahkanperaturanperundang-undangan yang lebih rendah, maka berdasarkan hal tersebut maka semua peraturan Kapolri terkaitdenganpengangkatan,pemberhentian, mutasidanpengangkatantermasukPeraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia sepanjang peraturan tersebut bertentangan dengan norma hukum yang ada dalam UU ASN, maka menurut hukum Peraturan Kapolri terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan pengangkatan termasuk Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang MutasiAnggota Polri Republik dikesampingkan karena berdasarkan teori peraturan perundang-undangan serta hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan menyatakan Undang-Undang merupakan produk hukum yang lebih tinggi daripada peraturan kapolri. Sedangkan apabila mengacu pada Asas Lex specialis derogat legi generali  yang merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka dapat ditarik kesimpulan jika UU ASN lebih khusus (lex specialis) apabila dibandingkan dengan UU Kepolisianyangdapatditafsirkanmerupakan peraturan hukum yang sifatnya umum (lex generalis) khususnya terkait pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan sehingga berdasarkan hal tersebut maka UU ASN mengesampingkan UU Kepolisian khususnya mengenai pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu ada perubahan khususnya terkait penyesuaian peraturan- peraturan Kapolri mengenai masalah pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan kepangkatan yang perlu disesuaikan dengan UU ASN sehingga tidak menimbulkan multi tafsir terkait peraturan mana yang didahulukan. Karena apabila selalu terjadi multi tafsir terhadap peraturan tersebut maka dikhawatirkan akan mudah terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) nantinya yang dilakukan oleh Aparatur Kepolisian itu sendiri yang mengajukan gugatan terhadap institusinya apabila proses mutasinya atau pengangkatan atau pemberhentiannya menurutnya tidak bertentangan dengan UU ASN sedangkan menurut Institusi Kepolisiannya bertentangan dengan UU Kepolisian dan Peraturan-Peraturan Kapolri terkait pengangkatan, pemberhantian dan mutasi.
  • 29. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23 22 Sebenarnya apabila ditafsirkan maksud dan tujuan UUASN pada prinsipnya menyatakan kedudukan Institusi Kepolisian khususnya wilayah administrasi seperti mekanisme pengangkatan, pemberhentian serta mutasinya sebagai anggota kepolisian tersebut yang berlaku kepadanya adalah UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota Kepolisian ada mekanisme admnistrasi internal dilingkungan institusi kepolisian itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila dikaitkan dengan administrasi jenjang kepangkatan dari anggota kepolisian ter- sebut yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan UU Kepolisian serta dengan hukum internal (peraturan kapolri) yang berada pada kepolisian itu sendiri. PENUTUP Simpulan Penulis berkesimpulan kedudukan hukum kepolisian pasca lahirnya UU ASN adalah tetap berpatokan serta mengacu pada UU ASN khususnya mengenai wilayah administrasi kelembagaan seperti terkait dengan pengangkatan, pemberhentian serta mutasi yang mana berdasarkan asas preverensi hukum yaitu (a) apabila mengacu pada Asas lex superiori delogat legi inferiori, maka segala peraturan kapolri yang terkait masalah administrasi seperti pengangkatan, pemberhentian serta kepangkatan sepanjang bertentangan dengan UU ASN maka peraturan kapolri tersebut dikesampingkan dan dinyatakan tidak ber- laku. Sedangkan (b) apabila mengacu pada Asas Lex specialis derogat legi generali  maka dapat disimpulkan jika UU ASN lebih khusus (lex specialis) apabila dibandingkan denganUUKepolisianyangdapatditafsirkan merupakan peraturan hukum yang sifatnya umum (lex generalis) khususnya terkait pengaturan wilayah peraturan administrasi kelembagaan. Saran Adapun saran dari penulis yaitu agar seluruh peraturan kapolri terkait dengan administrasi kelembagaan seperti peraturan mengenai pengangkatan, pemberhentian, mutasi serta kepangkatan agar segera direvisi dan disesuaikan dengan UU ASN agar kedepannya tidak menimbulkan per- tentangaan norma yang dimana dapat meminalisir terjadinya gugatan di PTUN yang dilakukan oleh aparatur kepolisian terhadap institusi kepolisian karena masalah penafsiran hukum yang mana didahulukan apakah UU ASN ataukan peraturan- peraturan kapolri. DAFTAR PUSTAKA Abdullahsalam, HR. (2014). Ilmu Kepolisian Sebagai Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: PTIK Attamimi,A.HamidS.(1990).“Menggunakan Asas-asas Pembentukan Peraturan (Algemen Beginselen van Behoorlijke Wetgeving) Peranan keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV”. Disertasi Doktoral Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Fadillah, S. F., dan T. Machyawaty. (2015). Lex Specialis Ilmu Kepolisian. Tangerang: Faris Vania Publishing Fahmal,H.A. Muin. (2008). PeranAsas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Cet. ke 2. Jakarta: Total Media Goesniadhie, Kusnu. (2010). Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujukan Tata Pemerintahan yang Baik. Malang: Nasa Media Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih, Tedi Sudrajat. (2014). Hukum Kepegawaian Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika HR, Ridwan. (2011). Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Indrati S., Maria Farida. (2007). Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Buku I. Yogyakarta: Kanisius Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Razak, Askari. (2013). Hukum Pelayan Publik. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. (1990). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press Sutrisno Suki. (2016). Sosiologi Kepolisian. Suyono, Yoyok Ucuk. (2013). Hukum Kepolisian Kedudukan Polri Dalam
  • 30. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Dwi Andayani Budisetyowati) 23 Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan, Jakarta: Laksbang Grafika Thoha, Miftah. (2009). Managemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Jakarta: Kencana Yuliandri. (2009). Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik. Jakarta: Raja Grafindo Persada Yusuf, MD. (2016). “Mutasi Polisi”. (www. tribratanews-pasuruan.com, diakses 23 November 2016).
  • 31. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23 24
  • 32. Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (Eko Noer Kristiyanto) 25 NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI BUREAUCRACY NEUTRALITY AND CORRUPTION ERADICATION Eko Noer Kristiyanto Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI Jalan HR. Rasuna Said Kav. C-1 , Jakarta 12920, telepon: (021) 2525015 e-mail: ekomaung69@gmail.com (Diterima 22 Maret 2017, Direvisi 27 Maret 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk menjadikannya sumber korupsi Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik Abstract In the government politics and laws perspective, neutrality became an issue that arise especially when entering national politics agenda. Bureaucracy that should have been neutral, had been controlled by politics power. Corruption is one of the most real form of the abuse of power. Bureaucracy has becoming fund machine to support group of elites and political party. This article is trying to describe that the neutrality has become important to prevent corruption. Normative law were used as a research method. The people was the ones that bureaucracy should serve, so the bureacracy that was not neutral will harm them. The neutral bureaucracy will make them as their main function, which is serve the people and will not going to be used by groups of elites as a mean to corrupt. Keywords: bureaucracy, government, corruption eradications, politics PENDAHULUAN Dalam aspek politik dan hukum pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang mendesak untuk segera diwujudkan. Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah Indonesia dianggap telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasitelahmembangunbudayabirokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). akan tetapi, menurut Rasad (2006) pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Komitmen pemerintah terhadap reformasi birokrasi cenderung berbanding lurus dengan komitmen pemerintah ter- hadap pemberantasan KKN yang dianggap telah menjadi ciri khas dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakatmemberikancapnegatifterhadap komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironis, biro- krasi yang seharusnya berpihak kepada rakyat dan menjadi pelayan masyarakat, justru kehilangan legitimasi kepercayaan dari masyarakat itu sendiri. Krisis kepercayaan tersebut semakin besar ketika kita mengaitkannya dengan konteks politik, Thoha (2003) mengatakan