Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender pada Pemerintah Daerah
1. PUSAT PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEPEGAWAIAN
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
ISSN: 1978 - 7103
624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015
VOL. 11, NO. 1, JUNI 2017
IVIL SERVICE
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
C
ISSN 1978-7103
CIVILSERVICEJurnalKebijakandanManajemenPNS,Vol.11,No.1,JUNI2017Halaman1-93
KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
Dwi Andayani Budisetyowati
PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURAL ASN DALAM PERSPEKTIF
KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR
Dewi Sartika
NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Eko Noer Kristiyanto
MEWUJUDKAN KONSEP BIROKRASI YANG KAYA FUNGSI
STUDI KASUS: BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Joko Tri Haryanto
SYSTEMATICREVIEW:BUDAYAINOVASIASPEKYANGTERLUPAKANDALAMINOVASIKEPEGAWAIAN
LesmanaRianAndhika
PERENCANAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL: STUDY KASUS JABATAN FUNGSIONAL TERTENTU
Novi Savarianti Fahrani
ANALISIS PENEGAKAN DISIPLIN APARATUR SIPIL NEGARA (STUDI KASUS KEDEPUTIAN
BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA(BNPB))
Trubus Harardiansah
2. i
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Jurnal Civil Service adalah jurnal ilmiah dalam bidang kebijakan dan manajemen PNS yang terakreditasi
dengan Nomor Akreditasi: 624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 335/E/2015 Tanggal 15 April 2015
Jurnal Civil Service sebagai media Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian
Negara memuat tulisan naskah tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori,
tinjauan kepustakaan dan resensi buku dalam bidang kebijakan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang terbit dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan November.
SUSUNAN REDAKSI
Pimpinan Redaksi : Novi Savarianti F, S.H., MH. (Hukum Administrasi Negara/BKN)
Anggota Redaksi : Ajib Rakhmawanto, S.IP., M.Si. (Manajemen SDM/BKN)
Dr. Yosua Jaya Edy, S.Sos, SE, M.Si (Manajemen SDM/BKN)
Agustinus Sulistyo Tri P., SE., M.Si. (Manajemen SDM/LAN)
Syafuan Rozi, S.IP., M.Si. (Kebijakan Publik/LIPI)
Anang Pikukuh Purwoko, SE., MM. (Manajemen SDM/BKN)
Mitra Bestari : Prof. Dr. Eko Prasojo (Kebijakan Publik/UI)
Prof. Dr. Yeremias T. Keban (Manajemen Publik/UGM)
Prof. Dr. Ni'matul Huda, S.H., M. Hum (Hukum Tata Negara/UII)
Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si, MM (Manajemen Administrasi/UI)
Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu (Kebijakan Publik/UI)
Dr. Triwidodo Catur Utomo, S.H., M.A. (Hukum Administrasi Negara (LAN)
Dr. Slamet Rosyadi (Manajemen Publik/UNSOED)
Dr. MR. Khairul Muluk (Manajemen Publik/UNIBRAW)
Dr. Hj. R. Ira Irawati (Organisasi Publik & Manajemen SDM/UNPAD)
Dr. Pantius Drahen Soeling (Kebijakan Publik/UI)
Penyunting Bahasa : Dr. Elin Nurcahyaningsih
Sekretariat Redaksi : Sahri, S.Pd.
Iskrisarto
Hamid Munawan, S.Sos.
Heri Noviyanto, S.Kom
Djamarudin, BA
Desain Cover/Layout : Santosa
Alamat Redaksi : Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian
Badan Kepegawaian Negara (BKN)
Gedung II Lantai 2
Jl. May. Jend. Sutoyo Nomor 12 Cililitan, Jakarta Timur
Telp. (021) 80887011, (021) 8093008 ext.2206-2207
Fax. (021) 80887011
e-mail: litbang@bkn.go.id
3. Volume 11, Nomor 2 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
ii
PENGANTAR REDAKSI
Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan
berkesinambungan, maka Civil Sevice Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS hadir untuk
menjawab tantangan global di bidang manajemen ASN. Civil Service Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS terus berupaya untuk menyajikan berbagai pemikiran dan gagasan konseptual,
baik dari hasil penelitian, kajian, aplikasi teori maupun tinjauan kepustakaan, yang berkaitan
dengan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Tujuan utamanya adalah sebagai wahana diseminasi dan sosialisasi berbagai
pemikiran yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen PNS, dengan harapan dapat
memberikan kontribusi konstruktif guna mewujudkan PNS yang profesional dan kompeten.
Selain itu, dapat dijadikan sebagai wadah pemikiran, referensi, dan acuan dalam pemecahan
masalah, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dalam merumuskan kebijakan
dan manajemen PNS yang ideal tersebut perlu adanya pemikiran, konsep yang jelas serta
implementatif. Pendapat, gagasan baru, dan rekomendasi kebijakan mengenai berbagai konsep,
pemikiran dan strategi pengembangan PNS, perlu direspon pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan SDM Aparatur.
Untuk memberikan arah perbaikan terhadap berbagai hal diatas, maka Civil Service
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini memuat berbagai
artikel yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi, kedudukan hukum kepolisian pasca
lahirnya UU-ASN, birokrasi yang netral, budaya inovasi, jabatan fungsional tertentu, dan
penegakan disiplin. Adapun beberapa judul artikel yang dimuat dalam edisi ini diantaranya;
(1) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur, (2) Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, (3) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi,
(4) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Ke-
menterian Keuangan, (5) Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam
Inovasi Kepegawaian, (6) Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional
Tertentu, (7) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)).
Harapan kami, semoga Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11
Nomor 1 Juni 2017 ini, bermanfaat bagi para pembaca.
Pemimpin Redaksi
4. iii
IVIL SERVICECJurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103
DAFTAR ISI
ARTIKEL
• Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan
Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur ......................................
Dewi Sartika
1 - 14
• Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara ................................................................................................................
Dwi Andayani Budisetyowati
15 - 23
• Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi .....................................................
Eko Noer Kristiyanto
25 - 35
• Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebija-
kan Fiskal, Kementerian Keuangan ....................................................................
Joko Tri Haryanto
37 - 48
• Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi
Kepegawaian ......................................................................................................
Lesmana Rian Andhika
49 - 61
• Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu ..
Novi Savarianti Fahrani
63 - 76
• Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB))
Trubus Rahardiansah
77 - 93
5. iv
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Dewi Sartika (Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara)
Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah
Daerah Di Kalimantan Timur
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 1 - 14
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Dwi Andayani Budisetyowati (Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 15 - 23
Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi
dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan
dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN.
Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip-
prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat
legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU
ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU
Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti
pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.
Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN
Eko Noer Kristiyanto (Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum
dan HAM RI)
Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 25 - 35
Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat
terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat
telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah
korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan
ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di
negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif.
Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya
rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan
birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk
menjadikannya sumber korupsi
Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik
6. v
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Joko Tri Haryanto (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan)
Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 37 - 48
Upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan
ASN sebagai profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya
dalam prinsip merit manajemen. Karenanya, pola manajemen ASN justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek
profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Permasalahannya, masih
banyak kultur budaya yang terasa menghambat. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak
sinergi antar jabatan fungsional bagi tata laksana dalam organisasi dengan menggunakan metode analisis
kesesuaian regulasi dan lokus yang dipilih adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi. Berdasarkan analisis terhadap PMK No 234/
PMK. 01/2015, dihampir seluruh tugas pokok dan fungsi unit BKF mengemban misi analisis dan rekomendasi
kebijakan sekaligus sebagai unit penelitian dan pengembangan di lingkup Kementerian Keuangan. Namun,
masih ada beberapa overlapping antara jabatan fungsional dan struktural. Untuk beberapa unit kerja terpilih,
seharusnya sudah dapat diwujudkan pembentukan unit jabatan fungsional bukan lagi struktural misalnya di
PKPN, PKAPBN dan PKEM. Sementara di unit PKPPIM dan PKSK, masih diperlukan pembagian proporsi
antara bidang fungsional dan struktural. Khusus di PKRB, berdasarkan tugas, keseluruhan eselon III dan IV
masih tetap dipertahankan menjadi pejabat struktural.
Kata kunci: Birokrasi, ASN, Profesional, Struktural, Jabatan Fungsional
Lesmana Rian Andhika (Universitas Padjadjaran)
Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 49 - 61
Artikel penelitian ini bertujuan sebagai penelitian pendahuluan (preliminary research), dan berusaha memberikan
kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi konseptual teoritis dari berbagai literatur ilmiah lebih berfokus
kepada budaya inovasi yang dimulai dari pimpinan (pejabat). Fenomena buruknya kinerja birokrasi menjadikan
inovasi sebagai kebutuhan yang mendesak. Dasar dari pemahaman inovasi dimulai dari individu (aparatur
birokrasi) dengan budaya membiasakan diri untuk hal yang kreatif dan memunculkan ide-ide baru yang dapat
membantu kinerja birokrasi menjadi lebih baik untuk menghantarkan pelayanan publik. Metode dalam penelitian
ini menggunakan systematic reviews technique, berusaha untuk mengidentifikasi beberapa bukti tertulis yang ada
mengenai tema penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan, budaya inovasi belum menjadi sesuatu kebiasaan
dalam birokrasi (habits) terutama bagi pimpinan danbudaya inovasi belum dipandang sebagai dasar untuk
memunculkan inovasi. Namun berbagai cara dapat dilakukan untuk membudayakan inovasi secara individual
dengan memperhatikan dan memperbaiki perilaku pimpinan, pengalaman berbentuk pengetahuan, kepercayaan
terhadap konsep inovasi, kebiasaan budaya inovasi dan disertai oleh nilai-nilai positif yang mendukung inovasi.
Kata kunci: budaya, inovasi, pimpinan, birokrasi
Novi Savarianti Fahrani (Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara)
Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 63 - 76
Perencanaan Pegawai Negeri Sipil dalam kurun lima tahun terakhir difokuskan pada Jabatan Fungsional
Tertentu.Terlihat dari data bahwa rekrutmen antara JFT dan JFU terdapat perbedaan yang signifikan dan jumlah
JFT yang diangkat tidak lebih 50% dari formasi yang diajukan. Artikel ini menitikberatkan bagaimana pola
perencanaan PNS yang selama ini telah dilakukan dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang ditemui
dalam melakukan perencanaan PNS khususnya pada JFT sebagai dasar untuk menentukan model perencanaan
PNS yang ideal kedepannya. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif di 13 instansi pemerintah daerah. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, pola perencanaan PNS
selama ini melalui tiga tahap, yaitu Penyusunan Anjab dan ABK, Mengkoordinasikan kembali hasil Anjab dan
ABK yang telah disusun oleh setiap SKPD tersebut untuk mendapatkan persetujuan kepala SKPD, dan diserahkan
kepada BKD untuk ditetapkan rincian formasi. Kedua, terdapat 6 hambatan dalam melakukan perencanaan
PNS khususnya JFT, yaitu adanya regulasi yang tumpang tindih, perbedaan format perencanaan SDM, adanya
perbedaan jumlah formasi CPNS antara BKN dan Menpan, minimnya kualitas dan komunikasi pegawai yang
melakukan perencanaan SDM, kurangnya perhatian pimpinan, dan tidak di anggarkan belanja pegawai untuk
JFT.
Kata kunci: Perencanaan PNS, Jabatan Fungsional Tertentu, Anjab, ABK, Formasi
7. vi
Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103
Trubus Rahardiansah (Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta)
Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB))
Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 77 - 92
Aparatur Sipil Negara merupakan sumber daya manusia dalam instansi pemerintah dan merupakan kekuatan
yang menentukan bagi keberhasilan tujuan organisasi. Penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan
pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan permasalahan yang signifikan. Dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, hasil penelitian penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja
pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
menunjukkan bahwa pada umumnya masih relatif rendah kinerjanya. penegakan disiplin preventif, korektif dan
progresif melalui pembinaan dan sosialisasi peraturan-peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB belum
dilaksanakan secara maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya pegawai BNPB, khususnya pegawai di Kedeputian
Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi belum sepenuhnya memahami, mematuhi dan melaksanakan peraturan-
peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB, khususnya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan pegawai belum pernah mengikuti sosialisasi peraturan tentang disiplin tersebut. Selain
itu, pegawai hanya mengetahui peraturan sebatas disiplin waktu kerja dan sanksi dari ketidakhadiran atau
keterlambatan jam kerja berupa pemotongan tunjangan kinerja, disisi lain banyak pegawai yang tidak bekerja
secara optimal dan tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Kata kunci: aparatur sipil negara, penegakan disiplin kerja, manajemen sumber daya aparatur
8. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
1
PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURALASN
DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER
PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR
STATE CIVILAPPARATUS SOCIO-CULTURAL COMPETENCY
DEVELOPMENT ON THE PERSPECTIVE OF GENDER AWARENESS
IN EAST BORNEO REGION
Dewi Sartika
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III
Lembaga Administrasi Negara
Jalan HM Ardans, SH (Ring Road III) Sempaja Kalimantan Timur
e-mail: naurah10@yahoo.com
(Diterima 13 April 2017, Direvisi 17 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif
gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif,
dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi.
This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural
positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada
jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi
gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN
dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan
pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu
Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender
Abstract
State Civil Apparatus socio-cultural in regard with the gender awareness is one of the main competency that
civil servants must had. This study explains how the development of civil servants socio-cultural competency
in East Borneo region had been conducted. This study used desk research qualitatively using two indicators,
which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders. The results
showed that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low
and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. . The results shown
that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the
higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. The results were also shown
that the higher the echelon level the lower the representation. The perceptions of the leaders indicate that the
means to develop competency in regard to gender awareness is needed. This can be achieved by integrating the
gender perspective in civil servant training curriculum, institutional, and promotion and selection mechanism
improvement, also through the regulation in leaders position appointment, as well as dissemination of the gender
perspective continually.
Key words: aparatus competency, mainstreaming gender perspective, gender awareness
PENDAHULUAN
Isu gender dalam pembangunan
semakin menarik untuk dibicarakan,
terutama jika melihat fakta bahwa jumlah
perempuan selalu lebih banyak dibanding
laki-laki. Seperti data yang diungkapkan
dalam Human Development Report Tahun
2001 dari United Nation Development
Program (UNDP) dalam (Nugroho, 2008),
yang menyiratkan bahwa perhatian pem-
bangunan perlu memberi tekanan lebih
9. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
2
besar pada pembangunan wanita. Tidak
hanya jumlahnya akan tetapi kualitas
pembangunan manusia di Indonesia dalam
Human Development Index (HDI) sangat
rendah terutama pembangunan wanitanya
juga rendah menurut Gender Related
Development Index (DGI), dan Gender
Empowerment Measure (GEM). Indonesia
tercatatdalamurutanke-102(HDI)danurutan
ke-92 (GDI). Sedangkan pengukuran GDI,
data tidak tersedia. Sebagai perbandingan
dari negara tetangga, Singapura termasuk
dalam urutan ke-26 (HDI dan GDI), dan
urutan ke-38 ranking GEM. Negara Malaysia
dalam urutan ke-56 (HDI), urutan ke-55
(GDI) dan urutan ke-38 (GEM). Negara
Brunei dalam urutan ke-32 (HDI), urutan
ke-55 (GDI), sedangkan pengukuran GEM
data tidak tersedia.
Pada banyak lembaga, masih terdapat
kesenjangan gender. Rendahnya representasi
perempuan mempengaruhi rendahnya
kualitas partisipasi perempuan dalam
pengambilan kebijakan dan pada akhirnya
rendah pula kualitas kesetaraan gender
dari kebijakan-kebijakan publik. Dari data
jumlah total Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang menduduki jabatan struktural menurut
jenis kelamin tahun 2016, tersaji dalam tabel
berikut ini:
Tabel 1. Jumlah PNS Dirinci Menurut Jabatan Struktural dan Jenis Kelamin
JABATAN PNS PRIA PERSEN WANITA PERSEN JUMLAH PERSEN
Eselon I 474 0,11 76 0,02 550 0,13
Eselon II 16.275 3,78 2.336 0,54 18.611 4,33
Eselon III 70.885 16,48 18.901 4,39 89.786 20,87
Eselon IV 199.437 46,36 105.747 24,58 305.184 70,94
Eselon V 11.037 2,57 5.006 1,16 16.043 3,73
Jumlah 298.108 69,30 132.066 30,70 430.174 100%
Sumber : www.bkn.go.id
Berdasarkan tabel tersebut, persentase
ASN perempuan masih kecil daripada
persentase ASN laki-laki. Namun rasio
tersebut menunjukkan tingkat kepekaan
gender di pemerintahan kita sudah cukup
baik. Kesetaraan gender dihadirkan agar
tercipta kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan dalam mem-peroleh kesempatan
serta haknya sebagai manusia dan dalam
menikmati hasil pembangunan. Ini ditandai
dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, tidak ada lagi
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marjinalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan dan laki-laki.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN)
ditetapkan sebagai panduan dalam pengem-
bangan ASN terkait kompetensi teknis,
manajerial dan sosio kultural. Pengem-
bangan kompetensi merupakan upaya untuk
pemenuhan kebutuhan kompetensi ASN
standar kompetensi jabatan dan rencana
pengembangan karier. Pengembangan kom-
petensi dilakukan dengan memperhatikan
kesenjangan akses, partisipasi, publik dan
manfaat yang diterima antara laki-laki dan
perempuan dalam lingkungan kerja maupun
dalam kehidupan bermasyarakat. Responsif
dan sensitif gender dirumuskan dalam di-
mensi kompetensi sosiokultural.
Berdasarkan diskursus tersebut diatas
dapat diartikan bahwa pengembangan
kompetensi sosio kultural khususnya
dalam konteks kepekaan gender menjadi
sebuah kebutuhan mendesak dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik. Berangkat dari fenomena tersebut,
dalam riset ini melihat kualitas kesetaraan
gender dalam organisasi publik yang
dicerminkan oleh kehadiran perempuan di
dalam organisasi publik dan mekanisme
promosi/pengangkatan dalam jabatan
struktural di pemerintah -pemerintah daerah
di Kalimantan Timur jadi ruang lingkupnya
hanya membatasi Selain itu, riset ini juga
melihat tingkat persepsi pemangku jabatan
pimpinan tinggi dalam melihat kepekaan
10. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
3
gender sebagai kompetensi sosio-kultural
pada pemerintah-pemerintah daerah di
Kalimantan Timur.
PengembanganKompetensiSosioKultural
Berdasarkan Pasal 69 UU-ASN,
pengembangan kompetensi ASN dilakukan
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, peni-
laian kinerja, dan kebutuhan Instansi
Pemerintah yang dilakukan dengan memper-
timbangkan integritas dan moralitas. Yang
dimaksud dengan kompetensi ASN dalam
UU-ASN meliputi:
1. Kompetensi teknis yang diukur dari
tingkat dan spesialisasi pendidikan,
pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis;
2. Kompetensi manajerial yang diukur
dari tingkat pendidikan, pelatihan publik
atau manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan
3. Kompetensi sosial kultural yang diukur
dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama,
suku, dan budaya sehingga memiliki
wawasan kebangsaan.
Pengembangan kompetensi diatas me-
rupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan
kompetensi ASN dengan standar kompetensi
jabatan dan rencana pengembangan karier,
yang dilakukan pada tingkat instansi dan
nasional. Kesempatan ini diberikan bagi
setiap ASN dengan memperhatikan hasil
penilaian kinerja dan penilaian kompetensi
ASN yang bersangkutan dengan minimal 80
jam pelajaran (jampel) atau jam pelatihan
(jamlat) dalam 1 (satu) tahun.
Penyelenggaraan pengembangan
kom-petensi ini wajib dilakukan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
dengan menetapkan kebutuhan dan rencana
pengembangan kompetensi, melaksanakan
pengembangan kompetensi dan evaluasi
pengembangan kompetensi, sebagaimana di-
amanatkan dalam pasal 167 ayat 5 UU-ASN.
Oleh karenanya, pengembangan kompetensi
tersebut menjadi dasar dalam pengangkatan
jabatan dan pengembangan karier.
Terkait pelaksanaan pengembangan
kompetensi ASN, Singal (2008) mengatakan
dalam penelitiannya yang berjudul “Sistem
Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian Dalam Kebijakan
Penempatan Jabatan Struktural di Provinsi
Sulawesi Utara”, mengungkapkan empat
kesimpulan yaitu:
1. Bahwa Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU Kepegawaian) belum
efektif dilaksanakan dimana banyak
kepentingan-kepentingan yang menjadi
prioritas utama, atau banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan-pertimbangan lain
di luar pertimbangan yuridis formal.
Sehingga berimplikasi kurang baik pada
hasilpengisianataupengangkatanpejabat
publik, dimana dalam pengangkatan PNS
sampai pada penempatan pegawai, masih
diwarnai dengan pengaruh spoil system,
nepotism system, dan patronage system.
Akibatnya untuk mendapatkan pejabat
yang memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang optimal sering terabaikan.
Implementasi transformasi normative
manajemen PNS banyak terganjal oleh
kultur lama yang terlanjur mengakar
dan sulit diubah sebagai akibat dari pola
rekruitmen pegawai masa lalu yang lebih
bernuansa “rekruitmen politik” untuk
membesarkan dukungan terhadap partai
politik dan mengkooptasi birokrasi.
2. Penempatan Jabatan Struktural banyak
dipengaruhi oleh pejabat yang ber-
sangkutan. Terdapat banyak celah pada
UU-Kepegawaian sehingga proses
pengaturan publik pembinaan karier
belum berjalan sebagaimana diharapkan,
karena banyak pegawai yang tidak
berusaha mengembangkan potensi atau
menyesuaikan dengan penilaian prestasi
kerja. Selain itu tidak semua pegawai
memahami jalur karier dan prospek
kariernya sendiri, atau kurangnya sosiali-
sasi jabatan dalam lingkup kepegawaian
khususnya jabatan yang kosong. Hal
ini menghambat kesempatan seorang
pegawai untuk lebih meningkatkan
11. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
4
kariernya ke jenjang yang lebih tinggi.
Analisis terhadap karier pegawai me-
rupakan proses yang sering diabaikan
oleh organisasi ataupun individu sendiri.
Proses ini sangat penting karena meng-
identifikasi potensi (kekuatan) dan ke-
lemahan yang dimiliki oleh seorang
pegawai, dan dengan demikian karier
pegawai yang bersangkutan dapat di-
rencanakan dan dikembangkan sebaik-
baiknya.
3. Kebijakan dalam penetapan dan penem-
patan jabatan publik yang ada (UU-
Kepegawaian, Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengang-
katanPegawaiNegeriSipilDalamJabatan
Struktural, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penilaian Calon Sekretaris
Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Serta Pejabat Struktural Eselon II Di
Lingkungan Kabupaten/Kota, Keputusan
Kepala BKN Nomor 12 Tahun 2002
tentangKenaikanPangkatPegawaiNegeri
Sipil) ternyata tidak memiliki ketegasan
hukum dalam mengatur mekanisme dan
pengangkatan jabatan publik. Rekruitmen
calon pejabat publik mengikuti selera
pejabat yang berkuasa dalam hal ini
Gubernur sebagai PPK di Daerah
Provinsi dengan mudah dapat melakukan
penekanan pada Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat)
atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
serta memasukkan kepentingan tertentu
dengan menempatkan PNS dalam jabatan
publik di birokrasi.
4. Secara terstruktur posisi perangkat
kepegawaian daerah dan personil di
dalamnya lemah dihadapan PPK yang
dalam hal ini dijabat oleh pejabat politik.
Karena ketika Pejabat yang berkuasa
menginginkan atau mengeluarkan kebi-
jakan sesuai dengan keinginannya maka
perangkat pegawai tidak dapat menolak
meskipun hal tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku.
Lebih lanjut dimensi kompetensi sosio-
kultural menurut Sartika et AL., (2015)
diturunkan menjadi mengelola keragaman
budaya, membangun network sosial,
manajemen konflik, empati sosial, kepekaan
gender dan kepekaan difabelitas, yang di-
definisikan sebagai berikut:
1. Mengelola Keragaman Lingkungan
Budaya adalah kemampuan memahami
dan menyadari adanya perbedaan budaya
dan melihatnya sebagai hal yang positif,
dalam bentuk implementasi manajemen
kerja dengan mencegah diskriminasi dan
menerapkan prinsip inklusifitas sehingga
tujuan organisasi akan tercapai secara
efektif.
2. Membangun Network sosial adalah
kemampuan membangun interaksi
sosial atau hubungan publik balik yang
menghasilkan suatu proses pengaruh
mempengaruhi atau individu, antara
kelompok atau antar individu dan
kelompok.
3. ManajemenKonflikadalahkemampuan
dalam mengelola konflik antar organisasi
secara konstruktif
4. Empati Sosial adalah kemampuan untuk
memahami perbedaan pikiran, perasaan,
atau masalah berbagai kelompok sosial
yang berbeda.
5. Kepekaan Gender adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari kesen-
jangan akses, partisipasi, publik dan
manfaat yang diterima antara laki-laki
dan perempuan dalam lingkungan kerja
maupundalamkehidupanbermasyarakat,
yang secara potensial merugikan baik
hak laki-laki maupun perempuan dalam
konstruksi sosial kultural.
6. Kepekaan Difabelitas adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari ke-
butuhan kelompok dengan keterbatasan
fisik dan mental (difabel).
Dari tinjauan diatas, diketahui kepekaan
gender merupakan dimensi kompetensi sosio
kultural, yang diharapkan dimiliki setiap
ASN, khususnya pemangku jabatan
pimpinan tinggi dalam organisasi publik/
birokrasi. Diharapkan tidak hanya di tingkat
eksekutif, tetapi juga tingkat legislatif dan
yudikatif.
12. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
5
Kepemimpinan Berperspektif Gender
Perspektif gender atau identitas gender
menurut Nugroho (2008) merupakan definisi
diri tentang seseorang, khususnya sebagai
perempuan atau laki-laki, yang berinteraksi
secara kompleks antara kondisi biologisnya
sebagai perempuan maupun laki-laki
dengan berbagai karakteristik perilakunya
yang dikembangkan sebagai hasil proses
sosialisasinya.
Women’s Studies Encyclopedia dalam
Nugroho (2008) mencatat gender sebagai
suatu konsep kultural yang berupaya mem-
buat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat. Dengan
kata lain, gender bukan merupakan kodrat
Tuhan melainkan buatan manusia, sebagai
sebuah konstruksi sosial yang bukan bawaan
lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung dari tempat, waktu, suku ras/
bangsa, budaya, status sosial, pemahaman
agama, Negara, publik, politik, hukum dan
ekonomi.
Kepemimpinan berperspektif gender
dimaknai sebagai pengangkatan dalam
jabatan pimpinan tinggi dan atau peran
pemimpin yang memperhatikan dimensi
gender (laki-laki dan perempuan) dengan
berbagai karakteristik perilaku, hak dan
kewajiban yang melekat padanya. Sebagai
contoh, seorang pegawai maupun pimpinan
yang merupakan seorang perempuan dimana
peran yang melekat padanya juga adalah
peran seorang istri dan ibu, membutuhkan
ketrampilan dalam mengelola waktu pribadi
dan waktu publiknya sehingga kewajiban
keduanya dijalankan dengan harmonis,
tidak berbenturan. Hal ini membutuhkan
kondusifitas lingkungan yang sensitif dan
responsif gender. Dengan kata lain, riset ini
menilai kualitas kesetaraan gender untuk
organisasi publik dalam hal ini adalah
eksekutif/organisasi birokrasi.
Kualitas kesetaraan gender untuk
organisasi publik (legislatif, yudikatif, dan
eksekutif) masih rendah, ini merupakan
hasil penelitian sebelumnya terkait ke-
setaraan gender oleh Nugroho (2008)
dalam “Gender dan Administrasi Publik,
Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender
dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca
Reformasi 1998-2002”. studi tersebut
melakukan pengamatan gender (gender scan)
pada administrasi publik baik di tingkat pusat
atau nasional, provinsi maupun kabupaten/
kota. Dengan menilai kualitas kesetaraan
gender dalam kebijakan publik, organisasi
publik, lembaga pendidikan bagi adminis-
trator publik dan dalam mekanisme pengarus-
utamaan gender dalam administrasi publik.
Model yang dikembangkan oleh Nugroho
(2008) merujuk kepada gender scan yang
antara lain adalah aktivitas untuk mengetahui
kesamaan akses dan publik terhadap sumber
daya antara laki-laki dan perempuan dalam
organisasi, sensitivitas gender dalam pe-
ngembangan perencanaan dan kebijakan
organisasi, adanya kebutuhan strategi gender,
adanya gender steorotype, hubungan gender,
dan pembagian kerja berdasarkan gender.
Menurut Nugroho (2008) pada
organisasi publik pengukuran kualitas
kesetaraan gender secara seragam diletakkan
kepada representasi. Pengukuran representasi
diletakkan kepada ukuran ke-setaraan gender
UNDP, yaitu 50/50, yang memberikan
ukuran bahwa kesetaraan akan terjadi jika
representasi laki-laki dan perempuan sama,
yaitu 50% dan 50%. Dengan demikian
representasi maksimum dari perempuan
dalam organisasi publik yang berkesetaraan
gender adalah jika representasi perempuan
sebanyak 50% dari keseluruhan anggota.
Pendekatan representasional ini diambil
karena dianggap sebagai pendekatan yang
paling mditerima di kalangan perngarus-
utamaan gender. Pengukuran mengunakan
ukuran interval tingkat representasi tersebut
sebagai berikut:
a. Representasi tinggi, yaitu interval teratas
dari interval–bagi-tiga dari 50% yaitu
33%-50%
b. Representasi memadai (menengah) yaitu
interval kedua dari interval-bagi-tiga
dari 50% yaitu 17%-32%
c. Representasi rendah yaitu interval ter-
bawah atau ketiga dari interval-bagi-tiga
dari 50% yaitu 0-16%
13. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
6
Pada variabel organisasi, meski rujukan
50/50 UNDP digunakan akan tetapi dalam
riset tersebut, tidak diberikan rekomendasi
untuk memberikan kuota kepada perempuan
untuk mendapatkan representasi 50/50 pada
organisasi publik. Yang direkomendasikan
hanya upaya peningkatan representasi
perempuan melalui strategi pengembangan
kapasitas dari perempuan di dalam organisasi
publik dan organisasi pendukungnya di satu
sisi, dan di sisi lain meningkatkan sensitivitas
gender dari organisasi publik melalui
sensitisasi gender pada anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dari organisasi-
organisasi publik. Selain itu, diperlukan
strategi untuk meningkatkan representasi
di dalam organisasi-organisasi administrasi
publik melalui perbaikan kelembagaan dan
mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi
dalam organisasi tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode
desk research, dimana perolehan data dari
sumber-sumber primer dan sekunder, yakni
hasil penelitian sebelumnya, jurnal, laporan
dan data statistika, untuk kemudian di-
kembangkan dan dianalisis secara kualitatif.
Adapun fokus permasalahan
dalam kajian ini dibatasi pada tinjauan
pengembangan kompetensi ASN dalam
konteks sosio-kultural, dimana secara
spesifik mengkhususkan pada dimensi
kepekaan gender, yang diukur dari dua
aspek, yakni tingkat representasi gender
pada jabatan pimpinan tinggi di Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seluruh
pemerintahan daerah di Kalimantan Timur,
dan persepsi pemangku jabatan pimpinan
tinggi di 4 (empat) pemerintah daerah
yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kota
Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten
Kutai Kartanegara.
PEMBAHASAN
Provinsi KalimantanTimur merupakan
salah satu Provinsi terluas kedua setelah
Papua, Kalimantan Timur memiliki luas
wilayah daratan 127.267,52 km2
dan luas
pengelolaan laut 25.656 km2
terletak antara
113º44’ Bujur Timur dan 119º00’ Bujur
Timur serta diantara 2º33’Lintang Utara dan
2º25’ Lintang Selatan.
Penduduk Kalimantan Timur pada
tahun 2010 berdasarkan hasil sensus pen-
duduk mencapai 3.047.500 jiwa, dengan
pertumbuhan penduduk setiap tahunnya
rata-rata 3,60 persen. Adapun jumlah pen-
duduk tahun 2015 sebanyak 3.426.638
jiwa dengan komposisi penduduk menurut
jenis kelamin terdiri dari penduduk laki-laki
1.797.297 jiwa (52,45 persen) dan penduduk
perempuan 1.629.341 jiwa (47,55 persen).
Secara lengkap komposisi jumlah penduduk
per Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur
tersaji dalam tabel berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Rasio Jenis Kelamin Provinsi
Kalimantan Timur 2015
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Rasio
1. Paser 139.219 123.082 262.301 113,11
2. Kutai Barat 77.010 68.828 145.838 111,89
3. Kutai Kartanegara 377.070 340.719 717.789 110,67
4. Kutai Timur 173.586 146.529 320.115 118,47
5. Berau 112.297 96.596 208.893 116,25
6. Penajam Paser Utara 80.609 73.626 154.235 109,48
7. Balikpapan 317.988 297.586 615.574 106,86
8. Samarinda 420.141 392.456 812.597 107,05
9. Bontang 85.522 77.804 163.326 109,92
10. Mahakam Ulu 13.855 12.115 25.970 114,36
Jumlah / Total 2015 1.797.297 1.629.341 3.426.638 110,31
2014 1.758.073 1.593.359 3.351.432 110,34
2013 1.718.918 1.556.926 3.275.844 110,4
2012 1.678.863 1.520.833 3.199.696 110,39
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur.
14. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
7
Berdasarkan hasil pemekaran
daerah otonomi baru tahun 2014, Provinsi
Kalimantan Timur terdiri dari 7 Kabupaten
dan 3 Kota, dimana memiliki jumlah
pegawai negeri sipil daerah sebesar 71.023
pegawai, dengan perbandingan komposisi
Tabel 3. Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur Tahun 2015
No Pemerintah Daerah
Jumlah
PNS
Gender Rasio
Pria Wanita Pria Wanita
1 Pemprov. Kaltim 7.234 4.303 2.931 59,5% 40,5%
2 Kutai Kartanegara 16.525 8.955 7.570 54,2% 45,8%
3 Kutai Barat 4.504 2.551 1.953 56,6% 43,4%
4 Kutai Timur 6.654 3.539 3.115 53,2% 46,8%
5 Paser 5.562 3.105 2.457 55,8% 44,2%
6 Penajam Paser Utara 4.044 2.023 2.021 50,0% 50,0%
7 Berau 5.837 3.339 2.498 57,2% 42,8%
8 Samarinda 10.295 4.831 5.464 46,9% 53,1%
9 Balikpapan 6.367 2.737 3.630 43,0% 57,0%
10 Bontang 3.349 1.524 1.825 45,5% 54,5%
11 Mahakam Ulu 652 399 253 61,2% 38,8%
TOTAL 71.023 37.306 33.717 52,53% 47,47%
Sumber : Badan Kepegawaian DaerahProvinsi Kaltim (data diolah)
menurut jenis kelamin terdiri dari 37.306
orang pegawai laki-laki (52,5 %) dan 33.717
orang pegawai perempuan (47,5 %), dengan
uraian selengkapnya sebagaimana tabel
berikut:
Jika membandingkan rasio jumlah
ASN terhadap rasio jumlah penduduk di
Kaltim dalam konteks gender, dapat terlihat
bahwa representasi pegawai perempuan
dalam komposisi kepegawaian relatif sangat
baik, dimana rasio jumlah ASN terhadap
rasio jumlah penduduk relatif sebanding.
Namun demikian, untuk mendapatkan
gambaran yang lebih komprehensif terkait
pengarus-utamaan dan representasi gender
dalam komposisi kepegawaian ASN di
Kaltim, perlu kiranya melihat secara lebih
mendalam komposisi ASN berdasarkan
level golongan ruang dan eselonisasi di tiap
pemerintahan daerah. Secara lengkap tabel
jumlah ASN berdasar Eselon dan Golongan
ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan
Timur tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah PNS berdasarkan Golongan Ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur
Tahun 2015
NO
PEMERINTAH
DAERAH
GOLONGAN RUANG BERDASAR GENDER
IV III II I
P W P W P W P W
1
PEMPROV.
KALTIM
516 288 2168 1729 1369 854 250 60
64,18% 35,82% 55,63% 44,37% 61,58% 38,42% 80,65% 19,35%
2
KUTAI
KARTANEGARA
1997 1526 3400 3596 3298 2397 260 51
56,68% 43,32% 48,60% 51,40% 57,91% 42,09% 83,60% 16,40%
3
KUTAI BARAT
474 278 1092 837 932 825 84 13
63,03% 36,97% 56,61% 43,39% 53,04% 46,96% 86,60% 13,40%
4
KUTAI TIMUR
337 147 1743 1619 1396 1319 63 30
69,63% 30,37% 51,84% 48,16% 51,42% 48,58% 67,74% 32,26%
5
PASER
784 487 1514 1504 719 465 88 1
61,68% 38,32% 50,17% 49,83% 60,73% 39,27% 98,88% 1,12%
6
PPU
424 314 960 1131 591 562 52 10
57,45% 42,55% 45,91% 54,09% 51,26% 48,74% 83,87% 16,13%
7
BERAU
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
8
SAMARINDA
1527 2022 2059 2595 1139 841 106 6
43,03% 56,97% 44,24% 55,76% 57,53% 42,47% 94,64% 5,36%
9
BALIKPAPAN
170 13 875 541 945 1717 747 1359
92,90% 7,10% 61,79% 38,21% 35,50% 64,50% 35,47% 64,53%
10
BONTANG
213 311 706 1040 531 468 74 6
40,65% 59,35% 40,44% 59,56% 53,15% 46,85% 92,50% 7,50%
11
MAHAKAM ULU
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
15. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
8
Tabel 5. Jumlah ASN berdasar Eselonisasi di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015
NO
PEMERINTAH
DAERAH
ESELONISASI BERDASAR GENDER
I II III IV
P W P W P W P W
1
PEMPROV.
KALTIM
0 0 49 12 236 63 464 300
80,33% 19,67% 78,93% 21,07% 60,73% 39,27%
2
KUTAI
KARTANEGARA
0 0 38 3 190 32 855 276
92,68% 7,32% 85,59% 14,41% 75,60% 24,40%
3
KUTAI BARAT
0 0 31 33 125 156 326 478
48,44% 51,56% 44,48% 55,52% 40,55% 59,45%
4
KUTAI TIMUR
0 0 39 3 184 27 427 185
92,86% 7,14% 87,20% 12,80% 69,77% 30,23%
5
PASER
0 0 35 4 133 34 404 173
89,74% 10,26% 79,64% 20,36% 70,02% 29,98%
6
PPU
0 0 25 1 103 19 327 131
96,15% 3,85% 84,43% 15,57% 71,40% 28,60%
7
BERAU
0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a
8
SAMARINDA
0 0 40 3 153 47 676 392
93,02% 6,98% 76,50% 23,50% 63,30% 36,70%
9
BALIKPAPAN
0 0 23 8 100 38 346 312
74,19% 25,81% 72,46% 27,54% 52,58% 47,42%
10
BONTANG
0 0 25 7 88 26 240 136
78,13% 21,88% 77,19% 22,81% 63,83% 36,17%
11 MAHAKAM ULU
0 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Dalam grafik di bawah ini akan
digambarkan terkait perbandingan rasio
Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Eselon II
berdasarkan Gender di pemerintah daerah
Kalimantan Timur, minus Kabupaten
Mahakam Ulu dan Kabupaten Berau, karena
data ASN daerah yang bersangkutan tidak
tersedia. Dari grafik tersebut terlihat bahwa
representasi gender pada pimpinan Eselon
II menunjukkan terdapat 5 (lima) pemda
yang berada pada representasi rendah, 3
(tiga) pemda berada pada tingkat menengah
dan hanya satu daerah yang mencapai nilai
tinggi, yakni Pemda Kutai Barat.
Gambar 1. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon II berdasar Jenis Kelamin
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
16. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
9
Dari grafik tersebut terlihat bahwa
Pemda Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU) berada pada level terbawah, dengan
jumlah pegawai eselon II perempuan hanya
berjumlah satu orang saja, padahal jika
melihat potensi jumlah pegawai perempuan
yang berada pada golongan IV mencapai
314 orang, demikian pula Kota Samarinda
dari sekitar 2022 orang pegawai perempuan
pada level golongan IV, hanya mampu
mendorong 3 (tiga) orang pimpinan pada
jabatan stuktural eselon II.
Lebih jauh jika melihat pada tataran
eselon III, representasi perempuan pada
jabatan struktural terlihat lebih banyak,
sekalipun jika diukur berdasarkan pengarus-
utamaan gender, masih terdapat 3 (tiga)
pemda yang berada pada level rendah,
selebihnya 5 (lima) pemda pada level
menengah, dan kembali pemda Kutai
Barat menjadi satu-satunya daerah yang
merepresentasikan pengarus-utamaan gender
pada level tinggi. Sebagaimana tergambar
dalam grafik berikut:
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Hal yang menarik dari grafik di atas
adalah Pemda Kota Samarinda yang se-
belumnya berada pada urutan dua terendah,
kini meningkat menjadi tiga besar daerah
yang merepresentasikan gender setelah Kutai
Barat dan Balikpapan. Ironisnya Pemda
Kutai Kartanegara justru turun peringkat,
sekitar 1500 orang pegawai golongan IV di-
tambah 3500 pegawai perempuan golongan
III, hanya dapat menghasilkan 32 orang
pegawai perempuan yang menduduki jabatan
pimpinan tinggi eselon III setara Kepala
Bidang, Kepala Bagian, dan Kepala Biro.
Pada level jabatan administratif seperti
eselon IV, representasi pegawai perempuan
semakin terbuka lebar, dari grafik dibawah
ini dapat terlihat bahwa separuh lebih Pemda
telah memberikan peran yang lebih besar
bagi representasi pegawai perempuan
dalam jabatan pimpinan tinggi eselon IV,
hanya tiga pemda yang berada pada level
menengah, yakni Kutai Kartanegara pada
urutan terbawah, diikuti Kabupatan PPU dan
Kabupaten Paser. Jabatan eselon IV dapat
dikatakan sebagai jabatan administratif,
karena peran yang dibutuhkan lebih kepada
penerjemah kebijakan dari pimpinan pada
level eselon II dan eselon III. Sebagaimana
tergambar dalam grafik berikut:
PERBANDINGAN RASIO JPT ESELON III BERDASAR JENIS
KELAMIN
Gambar 2. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon III berdasar Jenis Kelamin
17. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
10
Jika melihat pada ketiga grafik diatas
dapat kita elaborasi lebih lanjut terkait
pengarus-utamaan gender pada Pemda di
Kaltim, dimana terdapat kecenderungan
bahwa pengarusutamaan gender lebih
banyak direpresentasikan pada wilayah
perkotaan dibanding daerah Kabupaten. Hal
ini dapat terlihat pada daerah Kabupaten
seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai
Timur, PPU dan Paser yang cenderung
merepresentasikan rendah dalam pengarus-
utamaan gender dibandingkan daerah
Kota Samarinda, Bontang dan Balikpapan.
Kondisi tersebut dapat dipahami
bahwa wilayah Kabupaten yang umumnya
pedesaan cenderung masih memiliki ikatan
sosiologis dan akar budaya yang lebih
kuat, dimana sistem nilai yang berlaku
di masyarakat cenderung rigid dibanding
wilayah perkotaan yang lebih permisif
terhadap interaksi budaya luar, dimana
wilayah kota memungkinkan terbangunnya
interaksi yang dinamis antar pemikiran
secara terbuka terhadap ide pluralitas dan
gender.
Masyarakat di daerah pedesaan sering
bersifat homogen yang masih memegang
prinsip-prinsip nilai kearifan lokal setempat,
dimana umumnya bersifat patrilineal,
norma budaya ini sering menempatkan
perempuan pada level sub-ordinasi kaum
pria, perempuan kerap dianggap lebih
inferior dan kurang memiliki kompetensi
dalam memimpin dan mengambil keputusan
strategis, sehingga tidak mengherankan bila
jabatan pimpinan tinggi pada kelembagaan
publik lebih didominasi peran kaum pria.
Disisi lain, dalam grafik juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi
level jabatan struktural (eselon), maka
semakin rendah permissivitas terhadap
representasi pengarus-utamaan gender,
dimana pegawai perempuan umumnya
lebih banyak diposisikan pada jabatan-
jabatan administratif di level eselon IV,
dibandingkan pada jabatan tinggi strategis
pengambil kebijakan (decision maker) dan
pemimpin SKPD di level eselon II.
Padahal, jika melihat kalkulasi rasio
jumlah pegawai perempuan berada pada
golongan III dan IV, akan terlihat relatif
seimbang dengan rasio jumlah pegawai laki-
laki. Hal ini bermakna bahwa secara potensi
kuantitatif jumlah pegawai perempuan
yang memiliki kompetensi dan telah
memenuhi syarat golongan kepangkatan
sebenarnya relatif cukup tersedia, namun
belum mendapatkan peluang promosi dan
kesempatan untuk menduduki jabatan
pimpinan struktural secara representatif.
Di sisi lain, dari tabel 5 Jumlah PNS
berdasar Eselonisasi di Pemerintahan
Daerah Kalimantan Timur, terlihat bahwa
Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki
sebanyak 7,32% pemangku jabatan eselon
2, sebanyak 14,41% pemangku jabatan
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
Gambar 3. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon IV berdasar Jenis Kelamin
18. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
11
eselon 3, dan sebanyak 24,40% pemangku
jabatan eselon 4. Angka tersebut merupakan
prosentases terendah dari beberapa peme-
rintahan daerah di Kalimantan Timur.
Sedangkan penempatan jabatan pimpinan
tinggi eselon II, pada dasarnya merupakan
hasil pertimbangan dari Baperjakat dengan
persetujuan Kepala Daerah, artinya peran
Kepala Daerah dalam membentuk struktur
pimpinan tinggi di suatu daerah seharusnya
sangat menentukan. Namun demikian, tidak
semua Kepala Daerah Perempuan membuka
ruang bagi pengarus-utamaan gender di
daerah, hal ini terlihat di Pemda Kutai
Kartanegara, dimana Kepala Daerahnya
dijabat oleh seorang perempuan, namun
ironisnya kurang memberikan support pada
representasi gender di jabatan struktural,
Pemda Kutai Kartanegara justru berada di
urutan terendah.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa
posisi Kepala Daerah perempuan tidaklah
cukup untuk mendorong terwujudnya repre-
sentasi gender di jabatan pimpinan tinggi
struktural, namun diperlukan suatu good
will, niatan tulus ikhlas seorang pemimpin
dalam membuka ruang representasi bagi
pengarus-utamaan gender di daerah,
dan seyogyanya dapat dituangkan dan
dirumuskan ke dalam sebuah kebijakan atau
regulasi terkait mekanisme sistem promosi
dan pengangkatan dalam jabatan pimpinan
tinggi yang responsif terhadap pengarus-
utamaan gender tanpa mengurangi substansi
dan kompetensi standar yang dibutuhkan
pada posisi tersebut.
Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural
Sebagaimana diulas dalam review
kepustakaan diatas, bahwa salah satu sub
kompetensi sosio-kultural dalam pengem-
bangan kompetensi PNS adalah Kepekaan
Gender, kompetensi ini adalah kemampuan
untuk mengenali dan menyadari kesenjangan
akses, partisipasi, publik dan manfaat yang
diterima antara laki-laki dan perempuan
dalam lingkungan kerja maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, yang secara
potensial merugikan baik hak laki-laki
maupun perempuan dalam konstruksi sosial
kultural. Dengan demikian pengembangan
kepekaan gender sebagai sub kompetensi
sosiokultural merupakan hal yang penting
dimiliki oleh individu PNS dan kelembagaan
pemerintahan daerah.
Tingkat urgensitas pengembangan
kompetensi sosiokultural dimensi kepekaan
gender dapat terlihat dari hasil kajian
penelitian oleh Sartika et al., (2015) ter-
hadap persepsi dari para pemangku
jabatan pimpinan tinggi pada daerah Kota
Balikpapan, Kota Bontang, Kabupaten
Kutai Kartanegara, dan Provinsi Kaltim,
yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian
dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III
Lembaga Administrasi Negara (PKP2A
III LAN), yang digambarkan dalam grafik
sebagai berikut:
Gambar 4. Perbandingan Gap Kompetensi SosioKultural Dimensi Kepekaan Gender
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim
19. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
12
(birokrasi) perlu dilakukan perbaikan
kelembagaan dan mekanisme rekrutmen/
seleksidanpromosidalamorganisasitersebut.
Sehingga dibutuhkan good will pimpinan
dalam membuka ruang bagi terlaksananya
pengarus-utamaan gender, melalui kebijakan
maupun regulasi terkait mekanisme sistem
promosi dan pengangkatan dalam jabatan
pimpinan tinggi yang responsif terhadap
pengarus-utamaan gender tanpa mengurangi
substansi dan kompetensi standar yang di-
butuhkan pada posisi tersebut.
Dari fenomena temuan data diatas juga
menunjukkan bahwa daerah di perkotaan
dengan daerah Kabupaten memiliki karak-
teristik akan berbeda, hal ini karena
lingkungan sosiologisnya relatif berbeda,
dimana daerah kabupaten membutuhkan
effort yang lebih besar dalam upaya men-
dukung pengembangan kompetensi PNS
untuk melakukan deseminasi wacana
gender agar dapat lebih diterima di tengah
masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya
untuk terus melakukan diseminasi ide
dan konsep pengarus-utamaan gender
dalam masyarakat maupun secara internal
kelembagaan pemda secara kontinyu,
sehingga ide tersebut dapat secara massif
dan lumrah diterima dalam ranah publik.
PENUTUP
Berdasarkan diskursus analisis diatas
dapat dirangkum kesimpulan sebagai bahwa
representasi pegawai perempuan yang duduk
dalam jabatan pimpinan tinggi di lingkungan
pemerintahan daerah di Kalimantan Timur
secara umum masih berada dalam tingkatan
yang masih rendah, dimana kecenderungan
pengarusutamaan gender lebih banyak di-
representasikan pada wilayah perkotaan di-
banding daerah Kabupaten, selain itu data
menunjukkan bahwa semakin tinggi level
jabatan struktural (eselon), maka semakin
rendah tingkat penerimaan terhadap
representasi pengarus-utamaan gender.
Tingkat urgensitas dalam pengembangan
kompetensi PNS dirasa sangat dibutuhkan,
sebagaimana respon dari para pemangku
Berdasarkan hasil kuestioner terhadap
sejumlah pimpinann tinggi di Pemda lokus
menunjukan bahwa tingkat relevansi di-
mensi kepekaan gender relatif sangat tinggi
diatas 8o %, demikian pula kebutuhan
kelembagaan terhadap kompetensi ter-
sebut, hal ini mengindikasikan bahwa
pengembangan kompetensi sosio kultural
untuk dimensi kepekaan gender dapat di-
katakan sangat tinggi, sementara selisih
dari kedua indikator tersebut menunjukan
tingkat gap (kesenjangan) yang terjadi di
daerah lokus penelitian, dimana pada Pemda
Kutai Kartanegara menjadi daerah paling
tinggi mengalami kesenjangan kompetensi
sosiokultur untuk dimensi kepekaan gender,
ini tentunya semakin menjelaskan dari
data sebelumnya bahwa daerah kabupaten
yang umumnya memiliki nilai rendah
dalam hal pengarus-utamaan gender, pada
dasarnya membutuhkan untuk dilakukan
pengembangan kompetensi ini.
Dimensi kepekaaan gender sebagai
salah satu instrumen dalam kompetensi
sosio-kultural, sudah seharusnya mendapat
perwujudan yang lebih nyata dari pemerintah
daerah, tidak sekadar jargon semata.
Salahsatulangkahyangmungkindapat
dilakukan dalam rangka pengembangan
kompetensi sosiokultural berbasis gender
pada PNS adalah dengan mengintegrasikan
materi pengarus-utamaan gender dalam
standar kurikulum diklat pegawai, sehingga
dapat merubah mindset dan paradigma
pegawaisecaraumumterkaitmasalahgender,
dan khususnya bagi pegawai perempuan
diharapkan dapat lebih meningkatkan
kompetensinya serta dapat mereduksi
mental inferior dan stereotip yang melekat
dalam diri internal, yang dapat mendorong
motivasi dan tingkat kepercayaan diri agar
dapat berkompetisi secara sehat.
Selain itu upaya pengembangan
kompetensi PNS sebenarnya tidak hanya
melalui program diklat, akan tetapi juga
melalui mekanisme promosi dalam tahapan
pengangkatan jabatan pimpinan tinggi
di pemerintahan daerah. Sehingga untuk
meningkatkan representasi perempuan
di dalam organisasi administrasi publik
20. Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender
Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur
(Dewi Kartika)
13
jabatan pimpinan tinggi di lingkungan
pemerintah daerah Kalimantan Timur, selain
itu terdapat kesenjangan/gap antara tingkat
relevansi dan kebutuhan, khususnya di
daerah.
Oleh karenanya upaya pengembangan
kompetensi PNS dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan konsep pengarus-utamaan
gender dalam kurikulum diklat ASN, selain
itu perlu dilakukan perbaikan kelembagaan
dan mekanisme rekrutmen/seleksi dan
promosi, melalui kebijakan maupun regulasi
dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi
yang responsif terhadap pengarus-utamaan
gender tanpa mengurangi substansi dan
kompetensi standar yang dibutuhkan. Selain
ituperludilakukandiseminasiidedankonsep
pengarus-utamaan gender dalam masyarakat
maupun secara internal kelembagaan Pemda
secara kontinyu, sehingga ide tersebut dapat
secara massif dan lumrah diterima dalam
ranah publik.
Rekomendasi strategis terkait ke-
bijakan adalah agar setiap daerah menyusun
peraturan daerah tentang kesetaraan gender
dalam pembangunan daerah. Kebijakan yang
sensitif dan responsif gender, memudahkan
dalam intervensi mekanisme, organisasi dan
pendidikan dan pelatihan. Perlunya disusun
sebuah manajemen pendidikan dan pelatihan
baik berupa kurikulum, materi ajar, pengajar
yang sensitif dan responsif gender. Sehingga
lembaga yang memiliki posisi strategis
dan memiliki kewenangan diatas adalah
Lembaga Administrasi Negara, Institut Ilmu
Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam
Negeri, Sekolah Tinggi Adminstrasi Negara,
BadanPengembanganSumberDayaManusia
(BPSDM) di Provinsi, Kabupaten, Kota,
serta Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Perlunya kegiatan pelatihan gender yang
bertahap bagi setiap jenjang jabatan sebagai
bentuk diseminasi kepekaan gender bagi
setiap aparatur khususnya pejabat publik
di organisasi publik, dan pelatihan sensitif
genderditingkatmasyarakat.Pengembangan
kompetensi sosiokultural dalam perspektif
kepekaan gender dimaksudkan bahwa
perempuan sebagai pemangku jabatan
secara umum atau pimpinan tinggi diberikan
kesempatan yang sama sebagaimana
pada laki-laki, akan tetapi hendaknya di-
kondisikan berimbang dengan tuntutan
domestiknya dimana perannya sebagai istri
dan ibu sehingga hak dan kewajiban yang
melekat dalam profesionalitasnya atau
keputusan yang diberikan bersifat ramah
perempuan/peka gender. Selain itu, melalui
perbaikan kelembagaan dan perbaikan
mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi
dalam organisasi tersebut sebagai bentuk
pengembangan kompetensi, diharapkan
dapat meningkatkan representasi perempuan
dalam organisasi publik. Meningkatkan
representasi perempuan dalam pengangkatan
dalam jabatan struktural khususnya jabatan
pimpinan tinggi, dengan cara assessment/
penilaian kompetensi dan melakukan refor-
masi birokrasi yang men-gender-sensitif-kan
kebijakan bagi para calon PNS dan calon
pejabat/pejabat/pemangku jabatan pimpinan
tinggi dengan cara pengarus-utamaan gender
yang bersifat sinambung dan melekat.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Sartika, et. al. (2015). Pengembangan
Kompetensi Aparatur Sipil Negara.
Samarinda: PKP2A III LAN.
Indonesia, R. (n.d.). Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
Riant Nugroho. (2008). Gender dan
Administrasi Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Riant Nugroho., D. (2008). Gender dan
Strategi Pengarus-utamaannya di
Indonesia.Yogyakarta, DIYogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Singal, J. D. (2008). Sistem Pembinaan
Karir Pegawai Negeri Sipil Menurut
Undang-Undang Nomor 443 Tahun
1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian dalam
Kebijakan Penempatan Jabatan Struk-
tural di Provinsi Sulawesi Utara.
Semarang: Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro.
21. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14
14
www.bkn.go.id. (2016). Retrieved September
08, 2017, from http://www.bkn.go.id/
wp-content/uploads/2016/11/Tabel-
6-Jumlah-PNS-Dirinci-Menurut-
Jabatan-Struktural-dan-Jenis-
Kelamin.png
22. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
15
KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM
UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
THE STATUS OF THE MEMBERS OF THE POLICE FORCE
OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN UNDANG UNDANG
APARATUR SIPIL NEGARA
Dwi Andayani Budisetyowati
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Jl. S. Parman No.1 Jakarta Barat 11440
e-mail: dwib@fh.untar.ac.id
(Diterima 11 April 2017, Direvisi 21 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi
dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan
dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentifikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN.
Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip-
prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat
legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU
ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU
Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti
pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.
Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN
Abstract
Institutional administration such as pension, appointment, mutation, and echelon, are parts of the systematic
ongoing development and as the sign of the growth of the Indonesian police institution. The purpose of the article
is to identify the status of the members of the Police Force of the Republic of Indonesia in UU ASN. Normative law
method was conducted using harmonization theory that refers to law priciples such as Lex supreriori derogat legi
inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. The results shown that the status of the members of the
Police Force of the Republic of Indonesia as civil servant, such as pension, appointment, mutation, and echelon,
was no longer referred to UU Kepolisian UU and Peraturan Kapolri, but to UU ASN. This study concluded that
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia in regards with institution administrations have to be
referred to UU ASN.
Keywords: law status, ASN, police force, UU ASN
PENDAHULUAN
Salah satu ukuran keberhasilan pem-
bangunan nasional adalah ditentukan oleh
banyaknya pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur yang dimaksud
disini bukanlah pembangunan infrastruktur
jalan atau gedung gedung tinggi yang
ada, akan tetapi yang dimaksud penulis
adalah pembangunan infrastruktur terhadap
manajemen-manajemen administrasi peme-
rintahan yang ada disetiap lembaga negara.
Setidaknya dengan adanya pembangunan
yang baik terhadap menajemen-manajemen
administrasi pemerintahan dilembaga
negara, maka tujuan negara khususnya
untuk menciptakan “pelayanan publik
(public service)” yang berkualitas seperti
yang dikumukakan oleh Deming dalam
Razak (2013) serta menciptakan “aparatur
sipil negara/pejabat administrasi negara”
yang profesional dalam menjalankan
23. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
16
tugas, fungsi dan wewenang akan lebih
mudah terealisasi. Menurut Hartini (2008),
pentingnya keberadaan kepegawaian dalam
fungsinya sebagai bagian dari pemerintah
yang membawa komponen kebijaksanaan
kebijaksanaan atau peraturan peraturan.
Indonesia merupakan negara ber-
kembangyangjugasaatinitengahmelakukan
pembangunan infrastruktur terhadap
manajemen-manajemen administrasi peme-
rintahan untuk menciptakan peningkatan
kualitas pelayanan publik dan menciptakan
aparatur sipil negara/pejabat administrasi
negara yang profesional dalam menjalankan
tugas, fungsi dan wewenangnya dengan
cara membuat dan mengesahkan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Diharapkan dengan adanya undang-undang
tersebut maka kedepannya masalah-masalah
administrasi pemerintahan yang tumpang
tinding kewenangan antara lembaga negara
atau masalah-masalah teknis administrasi
seperti pengangkatan serta mutasi pejabat
administrasi negara sudah tidak menjadi
masalah lagi. Akan tetapi, hal tersebut
menurut penulis tidak dapat terealisasi
sepenuhnya dikarenakan pasca lahirnya UU
ASN tersebut banyak menimbulkan masalah
hukum baru yang salah satunya terkait
“kedudukan polisi sebagai aparatur sipil
negara yang berada dalam ruang lingkup
institusi kepolisian apakah tunduk pada UU
ASN atauakantundukpadaUndang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia (UU Kepolisian).”
Dari aspek hukum administrasi negara,
polisi sebagai aparatur sipil negara yang ada
di institusi kepolisian merupakan hal yang
menarik penulis teliti khususnya terkait
kedudukannya sebagai aparatur sipil negara
dikarekan pasca perubahan kedua UUD 45
Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara, Ketetapan MPR RI No.VI/
MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/
MPR/2000, maka secara konstitusional telah
terjadi perubahan yang menegaskan rumusan
tugas, fungsi, dan wewenang Institusi
Kepolisian serta pemisahan kelembagaan
TNI dan Kepolisian sesuai dengan peran dan
fungsi masing-masing. UUD 45 ini telah
didasarkan kepada paradigma baru sehingga
diharapkan dapat lebih memantapkan
kedudukan dan wewenang serta pelaksanaan
tugas Kepolisian sebagai bagian integral
dari reformasi menyeluruh segenap tatanan
kehidupan bangsa dan negara dalam
mewujudkan masyarakat madani yang
adil, makmur, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan UUD 45. Pasca Orde Baru
Negara menurut Sutrisno (2016) berupaya
menempatkan Kepolisian pada posisi
kompatabel dengan tuntutan demokrasi.
Sesuai dengan UUD 45 pada perubahan
kedua, Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000
dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000,
keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai
format tujuan Kepolisian dan secara
konsisten dinyatakan dalam perincian
tugas pokok yaitu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta melindungi, mengayomi,
dan melayani masyarakat. Namun, dalam
penyelenggaraan fungsi kepolisian, Polri
secara fungsional dibantu oleh kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
melalui pengembangan asas subsidiaritas
dan asas partisipasi.
Oleh karena berdasarkan hal tersebut
diatas, maka sangat wajar jika setelah pasca
reformasi ada sebuah harapan baru yang
diinginkan terjadi di lingkungan kepolisian
pasca adanya pemisahan antara Kepolisian
dan TNI yaitu adanya perbaikan tata kelola
manajemen administrasi pemerintahan
yang tidak tumpang tindih antara aturan-
aturan hukum, sumber sumber hukum
administrasinya jelas.
Salah satu permasalahan yang muncul
pasca lahirnya UU ASN di lingkungan
institusi kepolisian adalah terkait mutasi
jabatan. Menurut Yusuf (2016) didalam
internal kepolisian permasalahan mutasi
jabatan adalah merupakan dinamika
organisasi sebagai dari pembinaan yang
senantiasa berlangsung secara sistematis dan
berlanjut serta dilaksanakan secara konsisten
pada lingkup internal kepolisian yang
dilaksanakan sebagai wujud pengembangan
sebuah organisasi. Mutasi atau pergeseran
tempat penugasan merupakan bentuk
pengembangan karir para perwira, karena
para perwira perlu penyegaran atau promosi
jabatan sehingga karir dapat meningkat
sesuai dengan kinerja dan kepangkatan
yang disandangnya. Sedangkan menurut
Abdullahsalam (2014) mutasi jabatan
merupakan dinamika organisasi, sebagai
bagian dari pembinaan yang senantiasa
berlangsung secara sistematis dan ber-
kelanjutan serta dilaksanakan secara
konsisten pada lingkup internal kepolisian
yang dilaksanakan sebagi wujud pengem-
bangan sebuah organisasi. Guna menyikapi
berbagai tantangan, tuntutan dan harapan
24. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
17
masyarakat tersebut, maka semakin jelas
bahwa tugas kepolisian kedepan tidaklah
ringan, baik dalam ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya serta masalah
hukum yang harus dikelola dengan seksama,
sehingga tidak menimbulkan ekses ter-
jadinya gangguan kamtibmas, maka dari
itu diperlukan langkah-langkah serta
penanganan yang cepat dan tepat dalam
satuan operasional kepolisian di wilayah
yangmengedepankankomitmenpolridengan
masyarakat dalam rangka pemecahan dan
penanggulangan masalah sosial. Menurut
Suyono (2013), adanya pergantian jabatan
dalam lingkup Kepolisian diharapkan akan
tetap terpelihara daya manajerial dan daya
operasional yang handal dalam organisasi
Polri sehingga mampu melaksanakan tugas
dan tanggung jawab sesuai fungsi dan
peranannya selaku Pelindung, Pengayom
dan Pelayanan Masyarakat serta sebagai
penegak Hukum yang professional. Terkait
dengan upaya mengubah paradigma tata
pemerintahan atau birokrasi, Thoha (2009)
menyatakanadatigahalyangperludilakukan
dalam pelaksanaan reformasi birokrasi
di Indonesia yakni dengan mewujudkan
perpaduan tiga unsur pokok, yaitu: pertama,
kelembagaan, dalam hal ini perlu adanya
pengaturan kelembagaan (structural setting)
dalam birokrasi di Indonesia. Perencanaan
kelembagaan birokrasi Indonesia perlu
ditata dan diperbaiki, terutama terkait
dengan jumlah lembaga dan jumlah pegawai
sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu,
perlu telaahan terhadap kelembagaan agar
tidak terjadi tumpang tindih (overlapping)
diantara lembaga-lembaga yang dibentuk.
Kedua, sistem, yakni sistem yang digunakan
dalam menjalankan fungsi-fungsi lembaga-
lembaga pemerintahan. Dan, ketiga, sumber
daya manusia atau aparatur pemerintah,
dalam hal ini adalah kualitas aparaturnya
dan juga pola perekrutan aparatur yang
harus mendasarkan pada standar kebutuhan
pegawai.
Permasalahan terkait mutasi tersebut
semakin menimbulkan suatu kepastian
hukum apabila dikaitkan dengan UU ASN,
apakah Kepolisian sebagai Institusi Negara
tunduk pada UU ASN atau tunduk kepada
UU Kepolisian serta peraturan Kapolri
terkait dengan Administrasi di lingkungan
Institusi kepolisian. Ada yang beranggapan
jika seseorang menjadi anggota kepolisian
maka secara hukum administrasi negara
terkait pengangkatan, pemberhentian serta
mutasinya sebagai anggota kepolisian ter-
sebut yang berlaku kepadanya adalah UU
ASN, meskipun untuk menjadi anggota
Kepolisian ada mekanisme admnistrasi
internal dilingkungan institusi kepolisian
itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila
dikaitkan dengan administrasi jenjang
kepangkatan dari anggota kepolisian tersebut
yang dimana tetap tunduk dan patuh dengan
hukum internal yang berada pada kepolisian
itu sendiri dan UU Kepolisian. Oleh karena
hal tersebut, maka melalui tulisan ini, penulis
mencoba melakukan penelitian terkait
dengan bagaimana kedudukan kepolisian
dalamUUASNdikarenakanapabilamengacu
pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU Kepegawaian) maka
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam hal
ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN)
terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu (1) Pegawai
Negeri Sipil (PNS), (2) Anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan termasuk juga
(3) Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Dari latar belakang yang diuarikan
diatas, maka penulis mengajukan per-
masalahan dalam penulisan ini, yaitu
Bagaimanakan kedudukan hukum aparatur
Kepolisian Republik Indonesia setelah
berlakunya UU ASN?
PEMBAHASAN
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang dimaksud
disini adalah teori-teori serta asas-asas yang
digunakan oleh penulis dalam mengolah dan
menganalisa penelitian terkait kedudukan
kepolisian dalam UU ASN yang diuraikan
sebagai berikut:
1. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Teori peraturan perundang-undangan
adalah sebuah teori yang digunakan
penulis untuk menganalisis apakah
UU ASN tersebut telah memenuhi
aspek formil dan aspek materiil terkait
pembentukan peraturan perundang-
undangan sehingga dapat dikatakan
sebagai peraturan yang mengingat secara
sah dan memenuhi kaidah-kaidah asas-
asas pembentukan peratutan perundang-
undangan.
Peraturan Perundang-undangan
menurut Indrati (2007) adalah segala
peraturan negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan, baik tingkat
pusat maupun tingkat daerah.
25. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
18
Menurut Vlies dalam Yuliandri (2009)
dalam pembentukan peraturan per-
undang-undangan ada beberapa asas
formal dan material yang harus perhatikan
antara lain sebagai berikut:
a. Asas Formal
1) Asas tujuan yang jelas;
2) Asas lembaga yang tepat;
3) Asas perlunya pengaturan;
4) Asas dapat dilaksanakan;
5) Asas konsensus.
b. Asas Material
1) Asas terminologi dan sistematika
yang benar;
2) Asas dapat dikenali;
3) Asas perlakuan yang sama di
depan hukum;
4) Asas kepastian hukum;
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai
dengan keadaan individu.
Sedangkan menurut Hadjon dalam
Yuliandri (2009) menjelaskan jika pem-
bentukan peraturan perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijke regelgeving).
Menurut Attamimi (1990) asas-asas
yang melandasi pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan yang
dapat mewujudkan hakikat perundang-
undangan dikemukakan oleh beberapa
ahli antara lain:
a. Attamimi, berpendapat bahwa
asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut
terdiri atas, cita hukum Indonesia,
Asas Negara berdasar atas hukum,
asas pemerintahan berdasar sistem
konstitusi dan asas-asas lainnya.
b. Vlies, membedakan asas-asas pem-
bentukan peraturan perundang-
undangan atas asas formal dan asas
materil. Asas-asas yang formal
meliputi: (1) Asas tujuan yang
jelas (beginselen van duidelijke
doelstelling), (2)Asas organ/lembaga
yang tepat (beginselen van het juiste
organ); (3)Asas perlunya pengaturan
(het noodzakelijkheids beginselen);
(4) Asas dapatnya dilaksanakan (het
beginselen van uitvoerbaarheid); dan
(5) Asas konsensus (het beginselen
van de consensus).
Adapun Asas-asas yang materil
meliputi: (1)Asas tentang terminologi
dan sistematika yang benar (het
beginselenvanduidelijketerminologie
en duidelijke systematiek),
(2) Asas tentang dapat dikenali (het
beginselen van dekenbaarheid)
(3) Asas kepastian hukum (het
rechts zekerheidsbeginselen)
(4) Asas pelaksanaan hukum, (5) asas
perlakuan yang sama dalam hokum
(het rechtsgelijkheids beginsel) sesuai
keadaan individu (het beginselen van
individuele rechtsbedeling).
c. Adapun Kremes dalam Fahmal
(2008), menemukakan bahwa
asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi:
(a) Susunan peraturan (Form der
regelung) (b) Metode pembentukan
peraturan (Metode der ausorbeitung
der regelung); (c) Bentuk dan isi
peraturan (Inhalt der regelung);
(d) Prosedurdanprosespembentukan
peraturan (Verforen derAusarbeitung
der regelung).
Sedangkan apabila mengacu pada asas-
asas pembentukan peraturan perundang-
undangan telah diatur dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan yang menyatakan
dalam membentuk peraturan perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas pembentukan peraturan per-
undang-undangan yang baik, yang
meliputi: (a) Kejelasan tujuan;
(b) Kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat; (c) Kesesuaian antara
jenis dan materi muatan; (d) Dapat
dilaksanakan; (e) Kedayagunaan dan
kehasilgunaan; (f) Kejelasan rumusan;
dan (g) Keterbukaan.
Dengan memperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan yang merupakan dasar atau
landasan yang telah dijelaskan diatas,
maka dapat disimpulkan jika apabila
UU ASN telah memenuhi aspek formil
dan aspek materiil dari apa yang telah
dikemukakan diatas, maka UU ASN sah
dan mengikat menurut hukum.
2. TeoriHarmonisasiPeraturanPerundang-
Undangan
Teori harmonisasi peraturan perundang-
undangan digunakan penulis untuk
mengetahui apakah penerapan UU
ASN tidak bertentangan dengan UU
Kepolisian yang mana ke-2 (dua)
undang-undang tersebut sehirarki dan
untuk menganalisis apabila terjadi
26. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
19
pertentangan maka undang-undang
mana yang perlu didahulukan untuk
dilaksanakan.
Harmonisasi hukum menurut penulis
cukuplah penting khususnya negara yang
memiliki sistem hukum yang perpegang
teguh pada hukum tertulis seperti
negara-negara yang menganut civil law
seperti Indonesia. Banyaknya hukum
tertulis yang dibuat tersebut dengan
situasi politik yang sering berganti
membawa konsekuensi rawan terjadinya
disharmonisasi hukum. Menurut
Goesniadhie (2010) menjelaskan potensi
terjadinya disharmonisasi tercermin oleh
adanya faktor-faktor sebagai berikut :
a. Jumlah peraturan perundang-
undangan terlalu banyak yang di-
berlakukan;
b. Perbedaan kepentingan dan penaf-
siran;
c. Kesenjangan antara pemahaman
teknis dan pemahaman hukum
tentang tata pemerintahan yang baik;
d. Kendala hukum yang dihadapai
dalam penerapan peraturan per-
undangundangan, yang terdiri dari
mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap per-
ubahan, dan penegakan hukum;
e. Hambatan hukum yang dihadapi
dalam penerapan peraturan per-
undangundangan, yaitu yang berupa
tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan;
Untuk mengatasi terjadinya disharmoni-
sasi peraturan perundang-undangan
maka dalam teori harmonisasi peraturan
perundang-undangan dikenal beberapa
asas yang dapat digunakan untuk
mengatasi terjadinya disharmonisasi
norma yang biasa disebut dengan asas
preverensi yang dimana berarti bahwa
kehadiran asas tersebut bertujuan untuk
mengatasi adanya (1) kekosongan
hukum (leemten in het recht), konflik
antar norma hukum (antinomi hukum)
dan norma yang kabur (vage normen)
atau norma tidak jelas. Adapun dalam
menghadapi konflik antar norma hukum
(antinomi hukum), maka berlakulah
asas-asas penyelesaian konflik (asas
preverensi) yang dimana dijelaskan
penulis sebagai berikut:
a. Asas lex superiori delogat legi
inferiori adalah asas yang menyatakan
peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi mengesampingkan/
mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah,
sehingga dalam penyusunannya
pembentuk peraturan perundang-
undangan harus memastikan bahwa
materi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang dibawah
tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya;
b. Asas Lex specialis derogat legi
generali adalah asas penaf-
siran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus
(lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex
generalis);
c. Asas Lex Posterior Derogat Legi
Priori adalah asas yang berlaku pada
peraturan yang sederajat, peraturan
yang paling baru melumpuhkan
peraturan yang lama. Jadi peraturan
yang telah diganti dengan peraturan
yang baru, secara otomatis dengan
asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi.
Berdasarkanpenjelasantersebutdiatas,
maka untuk menentukan bagaimana cara
mengharmoniskan penerapan UU ASN agar
tidak bertentangan dengan UU Kepolisian
maka akan digunakan asas preverensi hukum
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Penelitian ini merupakan penelitian
hukum pendekatan doktrinal yang bersifat
normative seperti apa yang dikutip penulis
dari Soekanto dan Mamudji (1990). Adapun
yang dapat dijadikan objek dalam penelitian
dengan pendekatan doktrinal yang bersifat
normatif ini adalah data-data yang berupa
bahan primer dan bahan hukum sekunder.
Penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan (library research), penelitian
studi kepustakaan atau yang bersifat
normatif hanya dengan membaca ataupun
menganalisa bahan-bahan yang tertulis.
Adapun bahan hukum primer menurut
Marzuki (2011) yang digunakan terdiri dari
peraturan perundang-undangan, catatan
resmi, risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan hakim. Dalam
penulisan ini penulis menggunakan bahan
hukum primer berupa UU ASN dan UU
Kepolisian serta bahan hukum sekunder
seperti buku-buku yang menjelaskan terkait
dengan hukum administrasi Negara, hukum
kepegawaian dan hukum administrasi
kepolisian.
Sedangkan Analisis data yang di-
gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
27. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
20
data kualitatif normatif, yaitu data yang
diperoleh setelah disusun secara sistematis,
untuk kemudian dianalisis secara kualitatif
normatif dalam bentuk uraian, agar dapat
ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai
kejelasan mengenai permasalahan yang
akan diteliti. Hasil penelitian kepustakaan
akan dipergunakan untuk menganalisis data,
kemudian data dianalisis secara kualitatif
normatif untuk menjawab permasalahan
dalam penulisan penelitian ini.
Analisis Data dan Hasil Penelitian
Kedudukan Hukum AparaturKepolisian
Republik Indonesia Setelah Berlakunya
UU ASN
Reformasi 1998 sebenarnya cukup
memberikan dampak besar terhadap
perubahan sistem yang ada disetiap lembaga
negara yang masih ada. Salah satu lembaga
negara yang merasakan dampak perubahan
yang besar terhadap sistemnya adalah
Institusi Kepolisian yang mana pasca
reformasibaikitudarisisikedudukan(status),
kewenangan dan administrasi lembaganya
mengalami perbuhan yang cukup besar
yang mana ditandari dengan disahkan dan
diberlakukannya UU Kepolisian dalam
Undang-Undang Kepolisian dijelaskan
untukkedudukan(status)hukumnya institusi
Kepolisian tidak lagi ada dibawah TNI,
kemudian dari aspek kewenangan institusi
kepolisian saat ini mempunyai kewenangan
dalam memelihara keamanan dan keter-
tiban masyarakat, penegakan hukum, per-
lindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat jauh lebih independen
(mandiri) dan bebas dari intervensi manapun
karena dalam menjalankan wewenangnya
institusi kepolisian tidak tunduk pada
presiden sebagai pihak yang mengangkat
serta bertanggungjawab kepadanya akan
tetapitundukdanpatuhterhadaphukumyang
berlaku. Sedangkan dari aspek administrasi
yaitu pengangkatan, pemberhentian, mutasi
serta kepangkatan diserahkan sepenuhnya
kepada institusi kepolisian dalam hal ini
pimpinan institusi kepolisian yaitu kapolri.
Terkait kedudukan hukum institusi
kepolisian dalan hal masalah administrasi
kelembagaan ditangani langsung oleh
kapolri dengan mengeluarkan Peraturan
Kapolri terkait dengan pengangkatan,
pemberhentian, mutasi serta kepangkatan
aparaturnya sehingga hal tersebut menjadi
wewenang dari kapolri sebagai pimpinan
tertinggi pada ruang lingkup kepolisian.
akan tetapi pasca lahirnya UU ASN tersebut
maka seharusnya ruang lingkup administrasi
seluruh lembaga negara termasuk institusi
kepolisian tunduk dan patuh kepada
undang-undang aparatur sipil negara, karena
bagaimanapun aparatur kepolisian masuk
dalam kategori PNS yang mana secara tidak
langsung dapat ditafsirkan masuk dalam
ranah ASN yang tunduk pada UU ASN.
Oleh karena itu maka terhadap wewenang
administrasi tersebut seharusnya tidak lagi
menjadi wewenang diskresi dari institusi
kepolisian, akan tetapi wajib mengacu
pada UU ASN , namun hal tersebut belum
terealisasi sepenuhnya karena saat ini masih
banyak peraturan kapolri yang berdasar pada
UU Kepolisian masih berlaku dan belum
dicabut sehingga menurut penulis dapat
berpotensi bertentangan dengan UU ASN.
Salah satu aturan pada wilayah
administrasi yaitu terkait mutasi jabatan
dilingkungan polri saat ini diatur dalam
Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2002
tentang Mutasi Anggota Polri Republik
Indonesia.dalam peraturan kapolri tersebut
dijelaskan dalam Pasal 1Angka 9 disebutkan
“Mutasi Jabatan adalah pemindahanAnggota
dari suatu jabatan ke jabatan yang lain,
baik yang sifatnya promosi, setara maupun
demosi.” Kemudian disebutkan dalam Pasal
4 disebutkan mutasi dilaksanakan dengan
pertimbangan (a) penempatan Anggota
yang tepat pada jabatan yang tepat sesuai
kompetensi dan prestasi tugas yang dimiliki
(Merit System); (b) arah pemanfaatan
pembinaan karier Anggota; (c) reward
and punishment; (d) keseimbangan antara
kepentingan organisasi dan Anggota; dan
(e) Senioritas tanpa mengorbankan kualitas.
Serta yang perlu dijelaskan adalah Prinsip-
prinsip mutasi sebelum melakukan mutasi
yang tertera dalam Pasal 3 yaitu (a) Prinsip
Legalitas, yaitu proses mutasi jabatan di-
laksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku; (b) Prinsip Akuntabel, yaitu
proses pelaksanaan mutasi anggota dapat
dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan
yang berlaku; (c) Prinsip Keadilan,
yaitu proses mutasi dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesempatan dan hak
yang sama bagi setiap anggota tanpa adanya
diskriminasi; (d) Transparan, yaitu proses
mutasi anggota dilaksanakan secara jelas
mulai dari perencanaan sampai dengan sidang
dewan pertimbangan karier; (e) Prinsip
Objektif, yaitu proses mutasi anggota
dilaksanakan dengan mengedepankan
kompetensi individu anggota, kompetensi
28. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
21
jabatan, dan persyaratan yang ditetapkan;
dan (f) Prinsip Anti KKN, yaitu proses
mutasi dilaksanakan tanpa korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Dikarenakan proses mutasi tersebut
masih merujuk pada Peraturan Kapolri
Nomor 16 tahun 2012 tentang Mutasi
Anggota Polri Republik Indonesia sebagai-
mana penjelasan diatas, maka yang menjadi
pertanyaan saat ini adalah bagaimana jika
secara administrasi aparatur kepolisian
tersebut wajib dimutasi berdasarkan UU
ASN karena melakukan pelanggaran aturan
dalam ASN sedangkan dalam Peraturan
Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia
tersebut ditafsirkan tidak melakukan
pelanggaran atau tidak masuk dalam kate-
gori pelanggaran. Menurut hukum yang
manakah yang didahulukan apakah aturan
UU ASN ataukah Peraturan Kapolri Nomor
16 Tahun 2002 tentang Mutasi Anggota
Polri Republik Indonesia yang berdasarkan
UU Kepolisian.
Menurut penulis, seharusnya pasca
diberlakukannya UU ASN segala peraturan
kapolri terkait dengan pengangkatan, pem-
berhentian, mutasi serta kepangkatan
disesuaikan dengan UU ASN karena
dikhawatirkan kedepannya terjadi dishar-
monisasi (pertentangan norma hukum).
Oleh karena itu, memalui tulisan ini
penulis mencoba menerangkan jika ter-
jadi pertentangan norma hukum atau dis-
harmonisasi hukum antara UU ASN dengan
UU Kepolisian dengan Peraturan Kapolri
Nomor 16 Tahun 2002 tentang Mutasi
Anggota Polri Republik Indonesia yang
manakah didahulukan dan diutamakan.
Sudah dijelaskan melalui teori dan asas-
asas yang digambarkan penulis sebelumnya,
bahwa apabila terjadi pertentangan norma
(disharmonisasi) maka menurut hukum
asas preverensi merupakan asas yang di-
berlakukan untuk mengatasi pertentangan
norma atau kekosongan hukum tersebut.
Asas preverensi tersebut terdiri dari 3 (tiga)
asas yang mana terkait permasalahan ini
memakai 2 (dua) asas yaitu (a) Asas lex
superiori delogat legi inferiori, dan Asas
Lex specialis derogat legi generali.
Apabila mengacu pada Asas lex
superiori delogat legi inferiori yang me-
ngandung pengertian merupakan asas yang
menyatakan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi mengesampingkan/
mengalahkanperaturanperundang-undangan
yang lebih rendah, maka berdasarkan hal
tersebut maka semua peraturan Kapolri
terkaitdenganpengangkatan,pemberhentian,
mutasidanpengangkatantermasukPeraturan
Kapolri Nomor 16 Tahun 2002 tentang
Mutasi Anggota Polri Republik Indonesia
sepanjang peraturan tersebut bertentangan
dengan norma hukum yang ada dalam UU
ASN, maka menurut hukum Peraturan
Kapolri terkait dengan pengangkatan,
pemberhentian, mutasi dan pengangkatan
termasuk Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun
2002 tentang MutasiAnggota Polri Republik
dikesampingkan karena berdasarkan teori
peraturan perundang-undangan serta hirarki
peraturan perundang-undangan yang berlaku
berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan menyatakan
Undang-Undang merupakan produk hukum
yang lebih tinggi daripada peraturan kapolri.
Sedangkan apabila mengacu pada
Asas Lex specialis derogat legi generali yang
merupakan asas yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat
umum (lex generalis), maka dapat ditarik
kesimpulan jika UU ASN lebih khusus (lex
specialis) apabila dibandingkan dengan UU
Kepolisianyangdapatditafsirkanmerupakan
peraturan hukum yang sifatnya umum (lex
generalis) khususnya terkait pengaturan
wilayah peraturan administrasi kelembagaan
sehingga berdasarkan hal tersebut maka UU
ASN mengesampingkan UU Kepolisian
khususnya mengenai pengaturan wilayah
peraturan administrasi kelembagaan.
Oleh karena itu berdasarkan hal
tersebut diatas, maka perlu ada perubahan
khususnya terkait penyesuaian peraturan-
peraturan Kapolri mengenai masalah
pengangkatan, pemberhentian, mutasi dan
kepangkatan yang perlu disesuaikan dengan
UU ASN sehingga tidak menimbulkan
multi tafsir terkait peraturan mana yang
didahulukan. Karena apabila selalu terjadi
multi tafsir terhadap peraturan tersebut
maka dikhawatirkan akan mudah terjadi
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) nantinya yang dilakukan oleh
Aparatur Kepolisian itu sendiri yang
mengajukan gugatan terhadap institusinya
apabila proses mutasinya atau pengangkatan
atau pemberhentiannya menurutnya
tidak bertentangan dengan UU ASN
sedangkan menurut Institusi Kepolisiannya
bertentangan dengan UU Kepolisian
dan Peraturan-Peraturan Kapolri terkait
pengangkatan, pemberhantian dan mutasi.
29. Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 15 - 23
22
Sebenarnya apabila ditafsirkan
maksud dan tujuan UUASN pada prinsipnya
menyatakan kedudukan Institusi Kepolisian
khususnya wilayah administrasi seperti
mekanisme pengangkatan, pemberhentian
serta mutasinya sebagai anggota kepolisian
tersebut yang berlaku kepadanya adalah
UU ASN, meskipun untuk menjadi anggota
Kepolisian ada mekanisme admnistrasi
internal dilingkungan institusi kepolisian
itu sendiri. Berbeda hal tersebut apabila
dikaitkan dengan administrasi jenjang
kepangkatan dari anggota kepolisian ter-
sebut yang dimana tetap tunduk dan patuh
dengan UU Kepolisian serta dengan hukum
internal (peraturan kapolri) yang berada
pada kepolisian itu sendiri.
PENUTUP
Simpulan
Penulis berkesimpulan kedudukan
hukum kepolisian pasca lahirnya UU ASN
adalah tetap berpatokan serta mengacu pada
UU ASN khususnya mengenai wilayah
administrasi kelembagaan seperti terkait
dengan pengangkatan, pemberhentian
serta mutasi yang mana berdasarkan
asas preverensi hukum yaitu (a) apabila
mengacu pada Asas lex superiori delogat
legi inferiori, maka segala peraturan
kapolri yang terkait masalah administrasi
seperti pengangkatan, pemberhentian serta
kepangkatan sepanjang bertentangan dengan
UU ASN maka peraturan kapolri tersebut
dikesampingkan dan dinyatakan tidak ber-
laku. Sedangkan (b) apabila mengacu pada
Asas Lex specialis derogat legi generali
maka dapat disimpulkan jika UU ASN lebih
khusus (lex specialis) apabila dibandingkan
denganUUKepolisianyangdapatditafsirkan
merupakan peraturan hukum yang sifatnya
umum (lex generalis) khususnya terkait
pengaturan wilayah peraturan administrasi
kelembagaan.
Saran
Adapun saran dari penulis yaitu agar
seluruh peraturan kapolri terkait dengan
administrasi kelembagaan seperti peraturan
mengenai pengangkatan, pemberhentian,
mutasi serta kepangkatan agar segera
direvisi dan disesuaikan dengan UU ASN
agar kedepannya tidak menimbulkan per-
tentangaan norma yang dimana dapat
meminalisir terjadinya gugatan di PTUN
yang dilakukan oleh aparatur kepolisian
terhadap institusi kepolisian karena masalah
penafsiran hukum yang mana didahulukan
apakah UU ASN ataukan peraturan-
peraturan kapolri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahsalam, HR. (2014). Ilmu Kepolisian
Sebagai Ilmu Pengetahuan Alam.
Jakarta: PTIK
Attamimi,A.HamidS.(1990).“Menggunakan
Asas-asas Pembentukan Peraturan
(Algemen Beginselen van Behoorlijke
Wetgeving) Peranan keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara, Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi
Pengaturan dalam kurun waktu Pelita
I-Pelita IV”. Disertasi Doktoral Ilmu
Hukum. Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Fadillah, S. F., dan T. Machyawaty. (2015).
Lex Specialis Ilmu Kepolisian.
Tangerang: Faris Vania Publishing
Fahmal,H.A. Muin. (2008). PeranAsas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Layak
Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih. Cet. ke 2. Jakarta: Total
Media
Goesniadhie, Kusnu. (2010). Harmonisasi
Sistem Hukum: Mewujukan Tata
Pemerintahan yang Baik. Malang:
Nasa Media
Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih, Tedi
Sudrajat. (2014). Hukum Kepegawaian
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
HR, Ridwan. (2011). Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indrati S., Maria Farida. (2007).
Ilmu Perundang-Undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan), Buku I.
Yogyakarta: Kanisius
Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian
Hukum. Jakarta: Prenada Media
Razak, Askari. (2013). Hukum Pelayan
Publik.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri.
(1990). Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta:
Rajawali Press
Sutrisno Suki. (2016). Sosiologi Kepolisian.
Suyono, Yoyok Ucuk. (2013). Hukum
Kepolisian Kedudukan Polri Dalam
30. Kedudukan Pegawai Negeri Polisi
Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
(Dwi Andayani Budisetyowati)
23
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan, Jakarta: Laksbang
Grafika
Thoha, Miftah. (2009). Managemen
Kepegawaian Sipil di Indonesia.
Jakarta: Kencana
Yuliandri. (2009). Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang
Baik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yusuf, MD. (2016). “Mutasi Polisi”. (www.
tribratanews-pasuruan.com, diakses
23 November 2016).
32. Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
(Eko Noer Kristiyanto)
25
NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
BUREAUCRACY NEUTRALITY AND CORRUPTION ERADICATION
Eko Noer Kristiyanto
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI
Jalan HR. Rasuna Said Kav. C-1 , Jakarta 12920, telepon: (021) 2525015
e-mail: ekomaung69@gmail.com
(Diterima 22 Maret 2017, Direvisi 27 Maret 2017, Disetujui 15 Juni 2017)
Abstrak
Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat
terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat
telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah
korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan
ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di
negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif.
Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya
rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan
birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk
menjadikannya sumber korupsi
Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik
Abstract
In the government politics and laws perspective, neutrality became an issue that arise especially when entering
national politics agenda. Bureaucracy that should have been neutral, had been controlled by politics power.
Corruption is one of the most real form of the abuse of power. Bureaucracy has becoming fund machine to support
group of elites and political party. This article is trying to describe that the neutrality has become important to
prevent corruption. Normative law were used as a research method. The people was the ones that bureaucracy
should serve, so the bureacracy that was not neutral will harm them. The neutral bureaucracy will make them as
their main function, which is serve the people and will not going to be used by groups of elites as a mean to corrupt.
Keywords: bureaucracy, government, corruption eradications, politics
PENDAHULUAN
Dalam aspek politik dan hukum
pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi
isu yang mendesak untuk segera diwujudkan.
Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah
Indonesia dianggap telah memberikan
sumbangsih yang sangat besar terhadap
kondisi keterpurukan bangsa. Birokrasi yang
telah dibangun oleh pemerintah sebelum era
reformasitelahmembangunbudayabirokrasi
yang kental dengan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). akan tetapi, menurut
Rasad (2006) pemerintahan pasca reformasi
pun tidak menjamin keberlangsungan
reformasi birokrasi terealisasi dengan
baik. Komitmen pemerintah terhadap
reformasi birokrasi cenderung berbanding
lurus dengan komitmen pemerintah ter-
hadap pemberantasan KKN yang dianggap
telah menjadi ciri khas dalam birokrasi
pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian
masyarakatmemberikancapnegatifterhadap
komitmen pemerintah pasca reformasi
terhadap reformasi birokrasi. Ironis, biro-
krasi yang seharusnya berpihak kepada
rakyat dan menjadi pelayan masyarakat,
justru kehilangan legitimasi kepercayaan
dari masyarakat itu sendiri.
Krisis kepercayaan tersebut semakin
besar ketika kita mengaitkannya dengan
konteks politik, Thoha (2003) mengatakan