SlideShare a Scribd company logo
1 of 175
Download to read offline
Jurnal

BORNEO ADMINISTRATOR
Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

ISSN: 1858-0300
Anggota ISBN/KDN No. 979-99635-1-6
Akreditasi LIPI No. : 505/AUI/P2MI-LIPI/10/2012

Vol. 8 No. 3 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator diterbitkan 3 kali setiap tahun oleh Pusat Kajian dan Pendidikan
dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN).
Pengarah:
Kepala PKP2A III LAN
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Mariman Darto, SE., M.Si
Redaktur:
Siti Zakiyah, S.Si., MSE, MA.
Mayahayati K., S.E., M.Ec.Dev
Maria A.P. Sari, S.Sos.
Penyunting:
Lina Maulana, S.Sos.
Tri Noor Aziza, SP.
Tri Wahyuni, SH
Mitra Bestari:
Dr. Hj. Aji Ratna Kusuma, M.Si. (Perencanaan Pembangunan)
Prof. Dr. Hj. Nur Fitriyah, MS. (Manajemen Publik, Sosiologi, Antropologi)
Dr.rer.publ. Samodra Wibawa, M.Sc. (Administrasi Negara)
Prof. H. Sarosa Hamongpranoto, SH., M.Hum. (Ilmu Hukum)
Tri Widodo W. Utomo, SH., MA. (Hukum Tata Negara, Administrasi Publik)
Sekretariat:
Kemal Hidayah, SH
Wildan Lutfi A., SE
Royani, A.Md
Alamat:
Jl. H.M. Ardans, SH. (Ring Road III) Samarinda
Telp. 0541-7040851, 7040852, Fax. 0541-737983
Email: borneo.jurnal@gmail.com; jurnal.borneo@samarinda.lan.go.id
Website: http://www.samarinda.lan.go.id/
CALL FOR PAPER:
Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis mengenai isu-isu dalam lingkup bidang
administrasi publik. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman,
ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul dan Abstrak/Abstract ditulis dalam
dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim
langsung ke Redaksi, melalui pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile
copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos
seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Peer Reviewer). Dan terhadap naskah yang dimuat diberikan
cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

I
Jurnal

BORNEO ADMINISTRATOR
Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

ISSN: 1858-0300
Anggota ISBN/KDN No. 979-99635-1-6

Daftar Isi
Dari Sudut Tepian Mahakam
Perilaku Permisif Masyarakat Terhadap Korupsi di Indonesia

254-258

Analisa
Ø NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS
TELAAH
DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo
DAMPAK
Ø DESENTRALISASI DISKAL TERHADAP KORUPSI DI INDONESIA
Bambang Saputra
EFEKTIFITAS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LAYANAN
Ø
PUBLIK (Studi Kasus Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat pada Dinas
Perijinan Kabupaten Bantul)
Fajar Iswahyudi
Ø
PERUBAHAN-PERUBAHAN ORGANIZATIONAL DALAM DINAS PERTANIAN
TANAMAN PANGAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN NUNUKAN SETELAH
BERLAKUNYA U.U. PEMERINTAHAN DAERAH NO. 32/2004
Samodra Wibawa
KEPENTINGAN POLITIK DAN EKONOMI KEPALA DAERAH DALAM
Ø
REFORMASI BIROKRASI : Kasus Reformasi Pelayanan Perizinan di
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar
Andi Luhur Prianto

259-292
293-309

310-340

341-360

361-382

Tinjauan Akademik
Potret Praktek Akuntabilitas Kementrian dan Lembaga Pemerintah
Non-Kementrian di Indonesia

383-409

Lembar Abstraksi
Lembar Abstraksi (Current Content) Tahun 2012

410-417

Indeks Naskah
Indeks Naskah Tahun 2012 Berdasarkan Abjad

Ucapan Terima Kasih

418-419
420

Petunjuk Penulisan
II

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 1 | 2012
Jurnal

BORNEO ADMINISTRATOR
Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

Salam Redaksi
Pembaca yang budiman,
Di penghujung tahun 2012, usia
Jurnal Borneo Administrator (JBA)
genap sewindu hadir di mata para
pembaca. Perlahan namun pasti JBA
terus berupaya meningkatkan mutu
standarnya sebagai majalah ilmiah
yang berkualitas, hal tersebut terbukti
dengan terbitnya penilaian akreditasi
dari LIPI bagi JBA di tahun 2010. Tidak
berpuas diri dengan penilaian yang ada
serta dengan tidak mengenyampingkan
berbagai kekurangan disana-sini,
redaksi mencoba terus mengupayakan
penyempurnaan media ini baik dari
segi isi maupun tampilan. Perubahan
cover jurnal di awal tahun 2012 yang
lebih polos, munculnya rubrik baru
berupa Tinjauan Akademik menjadi
sebagian upaya kami untuk
mempertahankan diri sebagai majalah
ilmiah terakreditasi. Terbukti setelah
kurang lebih 2 tahun berupaya
meningkatkan kualitas, LIPI kembali
memberikan penilaian akreditasi
kepada JBA di tahun 2012.
Selain momen diatas, kami juga
mencatat beberapa momen penting
yang terjadi ditahun 2012, diantaranya
adalah dilantiknya Prof. Dr. Agus
Dwiyanto, MPA sebagai Kepala LAN
pada tanggal 21 Juni 2012. Agus
Dwiyanto adalah pemimpin LAN
pertama hasil seleksi open bidding atau
penawaran terbuka, sejak lembaga ini
berdiri pada tahun 1957. Ini merupakan
hal baru bagi proses seleksi pimpinan
lembaga pemerintah di Indonesia yang
belum pernah terjadi sebelumnya,
karena semua orang yang berkompeten
baik dari lingkungan pemerintah
maupun swasta bisa menduduki

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

jabatan-jabatan strategis di instansi
pemerintah untuk membawa dan
memperbaiki kinerja pemerintah ke
arah yang lebih baik.
Selanjutnya yang tidak kalah
penting adalah terjadinya pemekaran
daerah di Kalimantan dengan
terbentuknya Provinsi Kalimantan
Utara melalui Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara)
menjadi provinsi ke-34. Terbentuknya
Provinsi Kaltara ini menjadi asa baru
bagi masyarakat yang berada di
perbatasan untuk mendapatkan
perhatian dan pelayanan yang lebih
baik dari pemerintah.
Akhirnya, di pergantian tahun
ini, Redaksi dan segenap pengelola
JBA menyampaikan banyak terima
kasih dan apresiasi yang tinggi kepada
para Mitra Bestari yang telah
melakukan review naskah, serta para
kontributor naskah yang selalu
bersemangat melakukan perbaikan
terhadap naskahnya.
Redaksi juga memohon maaf
kepada para penulis, Mitra Bestari dan
pembaca sekalian atas segala
kekurangan kami dalam proses
pengelolaan jurnal selama ini. Tak lupa
juga kami mengundang para pembaca
sekalian untuk ikut berkontribusi
dalam JBA dengan menyumbangkan
pemikiran konseptual empirik
mengenai administrasi pembangunan
dan pemerintahan daerah, kebijakan
publik, kemitraan dan pemberdayaan
sektor privat, otonomi daerah,
manajemen lingkungan berbasis
masyarakat dan segala tema yang
masih berkaitan dengan administrasi

III
negara. Semoga sekecil apapun yang
kita lakukan bisa membawa manfaat
bagi masyarakat dan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Mari mulai melangkah di tahun
2013 ini dengan rasa syukur, doa dan

IV

optimisme dan semoga kesuksesan
senantiasa bersama kita
semua!Aamiin...
Redaksi

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
Dari Sudut Tepian Mahakam
Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

Perilaku Permisif Masyarakat Terhadap
Korupsi di Indonesia
Akhir tahun 2012 lalu ditutup
dengan sejumlah fenomena korupsi
yang makin merajalela dan telah masuk
ke berbagai sendi kehidupan
masyarakat. Fenomena tersebut
muncul dari setidaknya tiga kajian
yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anti
Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM),
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PATK) dan Badan Pusat
Statistik (BPS) yang bekerjasama
dengan Bappenas melakukan Survei
Perilaku Anti Korupsi (SPAK) 2012.
Pertama, Pukat- Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (FH
U G M ) Yo g y a k a r t a m e l a n s i r ,
berdasarkan catatan hasil penelitian
tren korupsi sepanjang pertengahan
tahun 2012, korupsi banyak dilakukan
oleh pemerintah daerah (Pemda).
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat
pemda hampir menyebar di seluruh
Indonesia.Tren korupsi ini berdasarkan
analisis tren korupsi Juli-Desember
2012. Di mana terdapat 72 kasus
korupsi. Kasus korupsi di pemda
menduduki posisi teratas yang
melibatkan pejabat pemda mencapai
30,56 persen.Aktor dan otak pelaku
korupsi yang terjerat hukum dan
pengadilan korupsi di pemda mulai dari
sekretaris daerah, kepala dinas hingga
pejabat teknis dinas.Dari puluhan kasus
itu, sebanyak delapan sektor kasus
korupsi lebih banyak di sektor
Penerimaan Anggaran Daerah (PAD)
yakni sebanyak 21 kasus. Disusul

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

kemudian sektor pekerjaan umum (PU)
sebanyak 13 kasus korupsi.Di posisi
ketiga, korupsi di sektor keolahragaan
dan pendidikan keagamaan sepanjang
Juli-Desember mencapai 11 kasus.
Kemudian diikuti sektor
BUMN/BUMD sebanyak 9 kasus dan
sektor penegakan hukum dengan total 7
kasus.
Kedua, hasil Survei PPATK
menyebutkan bahwa dari 560 anggota
dewan di parlemen, setidaknya 42,71
persen terindikasi terlibat korupsi.
Dibandingkan dengan anggota DPR
periode sebelumnya, anggota DPR
periode 2009-2014 makin “ganas”
dalam menggangsir uang negara.
Menurut data PPATK, pelaku praktek
ini sebanyak 63 persen didominasi
politikus berusia di atas 40 tahun,
sedangkan politikus usia 30-40 tahun
sebesar 14,6 persen. Modus yang
dilakukan umumnya melalui
penyalahgunaan jabatan,
penggelembungan anggaran dan
proyek fiktif. Transaksi yang
digunakan adalah transaksi tunai dan
dengan menggunakan jasa perbankan.
Namun ada cara lain seperti asuransi
dan sekuritas sebanyak 35,4 persen.
Ketiga, hasil survei Badan Pusat
Statistik (BPS) tentang Indeks Perilaku
Anti Korupsi (IPAK) 2012, cukup
mengejutkan banyak pihak. Survei
tersebut menyatakan bahwa
masyarakat Indonesia cenderung anti
korupsi. Kecenderungan ini terbaca
tidak hanya pada masyarakat di

254
Dari Sudut Tepian Mahakam
Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

wilayah perkotaan dan perdesaan saja,
tidak hanya pada masyarakat
berpendidikan tinggi saja, tetapi juga
masyarakat yang berpendidikan rendah
(SLTP ke bawah), tidak hanya
masyarakat pada usia 40 tahun
kebawah tetapi juga masyarakat yang
berumur diatasnya.
***
Yang menarik adalah hasil
penelitian dari BPS karena
menimbulkan pro dan kontra dari
kalangan akademisi. Dari kalangan
yang mendukung tentu didasarkan atas
alasan bahwa Survei tersebut dilakukan
oleh sebuah lembaga yang sangat
kompeten sekelas BPS dengan
berbagai pertimbangan ilmiah yang
digunakan dalam survei. Selain itu,
terdapat pertimbangan dan keyakinan
masyarakat bahwa korupsi adalah
musuh bersama yang harus diberantas.
Keberadaan komisi pemberantasan
korupsi (KPK) dengan berbagai
langkah-langkah nyata yang
dilakukannya juga turut mempengaruhi
perilaku masyarakat Indonesia,
termasuk media massa yang setiap hari
menyampaikan informasi tentang
korupsi yang merugikan negara.
Sedangkan yang menolak
(permisif) umumnya menganggap
korupsi masih merupakan sebuah
kewajaran. Umumnya pandangan ini
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya
masyarakat bahwa berbafai fasilitas
yang didapatkan para pejabat/penguasa
adalah yang seharusnya diterima.
Disinilah pentingnya melihat
ulang kajian BPS tersebut, dari sudut
pandang yang berbeda, bukan sudut
pandang kecenderungan masyarakat
yang anti korupsi tetapi sebaliknya

255

masih adanya masyarakat yang
permisif terhadap pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Sebagaimana yang terungkap
dalam Berita Resmi Statistik BPS, No.
07/01/Th. XVI, 2 Januari 2013, Indeks
Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
Indonesia 2012 sebesar 3,55 dari skala
5. Artinya masyarakat Indonesia
cenderung anti korupsi. Sebagai
catatan : nilai indeks 0–1,25 sangat
permisif terhadap korupsi, 1,26–2,50
permisif, 2,51–3,75 anti korupsi,
3,76–5,00 sangat anti korupsi). IPAK di
wilayah perkotaan sedikit lebih tinggi
(3,66) dibanding di wilayah perdesaan
(3,46). IPAK cenderung lebih tinggi
pada responden usia kurang dari 60
tahun dibanding setelah usia 60 tahun
keatas. IPAK penduduk usia kurang
dari 40 tahun sebesar 3,57, usia 40
sampai 59 tahun sebesar 3,58 dan 60
tahun ke atas sebesar 3,45. Artinya
semangat anti korupsi antara usia tua
dan usia muda tidak berbeda secara
signifikan. Semakin tinggi pendidikan
semakin tinggi IPAK. IPAK responden
berpendidikan SLTP ke bawah sebesar
3,47, SLTA sebesar 3,78 dan di atas
SLTA sebesar 3,93. Pendidikan
berpengaruh cukup kuat pada semangat
anti korupsi.
Berangkat dari harapan untuk
mengevaluasi Perpres No. 55 tahun
2012 tentang Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi (Stranas PPK), Pemerintah
menugaskan BPS untuk melaksanakan
Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK)
2012. Survei ini dilakukan antara 1-31
Oktober 2012 di 33 provinsi, 170
kabupaten/kota (49 kota dan 121
kabupaten) dengan sampel 10.000
rumah tangga (response rates: 89
persen). Survei ini mengukur tingkat

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
Dari Sudut Tepian Mahakam
Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

permisifitas masyarakat Indonesia
terhadap perilaku korupsi. Data yang
dihasilkan berupa Indeks Perilaku Anti
Korupsi (IPAK) dan indikator tunggal
yang menggambarkan perilaku anti
korupsi.
Survei ini juga menghasilkan
indikator tunggal terkait pendapat
responden terhadap kebiasaan di
masyarakat dan pengalaman responden
berhubungan dengan layanan publik
yang mencakup perilaku penyuapan
(bribery), pemerasan (extortion), dan
nepotisme (nepotism).Berikut
disampaikan beberapa pendapat
responden yang menarik untuk di
cermati.
Pertama, terkait dengan perilaku
responden dalam keluarga :Sekitar 69
persen responden menyatakan bahwa
perilaku istri yang menerima uang
pemberian suami di luar penghasilan
suami tanpa mempertanyakan asal usul
uang tersebut merupakan hal yang
kurang wajar atau tidak wajar.
Kedua, perilaku di tingkat
komunitas : Sekitar 31 persen
responden berpendapat kurang wajar
atau tidak wajar memberi uang/barang
kepada tokoh adat/agama/masyarakat
(sebagai sejenis upeti) ketika suatu
keluarga melaksanakan hajatan
(pernikahan, khitanan, kematian)
sedangkan responden yang
berpendapat kurang wajar atau tidak
wajar memberi kepada tokoh formal
(Ketua RT/RW/Kades/Lurah) sekitar
53 persen. Sekitar 38 persen responden
menilai kurang wajar atau tidak wajar
terhadap perilaku memberi
uang/barang kepada tokoh tokoh
informal (adat/agama/masyarakat,
sebagai sejenis upeti) ketika menjelang
hari raya keagamaan.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

Ketiga, sekitar 53 persen
responden menyatakan kurang wajar
atau tidak wajar terhadap perilaku
s e s e o r a n g m e n j a m i n
keluarga/saudara/teman agar diterima
menjadi pegawai negeri atau swasta
demi mempererat hubungan
kekeluargaan dan pertemanan. Sekitar
81 persen menilai kurang wajar atau
tidak wajar terhadap perilaku
seseorang yang memberi uang/barang
dalam proses penerimaan menjadi
pegawai negeri/swasta. Sekitar 55
persen responden berpendapat kurang
wajar atau tidak wajar terhadap
perilaku seseorang yang memberi uang
lebih kepada petugas untuk
mempercepat urusan administrasi
(KTP dan KK). Sekitar 61 persen
responden menilai kurang wajar atau
tidak wajar terhadap perilaku memberi
uang lebih kepada polisi untuk
mempercepat pengurusan SIM dan
STNK.Sekitar 68 persen responden
menyatakan bahwa perilaku memberi
uang damai kepada polisi merupakan
hal yang kurang wajar atau tidak wajar.
Sekitar 67 persen responden
menyatakan kurang wajar atau tidak
wajar terhadap perilaku petugas KUA
meminta uang tambahan untuk
transport ke tempat acara akad nikah.
Separuh lebih (64 persen) responden
menilai bahwa memberi uang/barang
kepada guru ketika kenaikan
kelas/penerimaan rapor merupakan hal
yang kurang wajar atau tidak wajar.
Lebih dari tiga perempat responden
yaitu sekitar 83 persen responden
menilai kurang wajar atau tidak wajar
terhadap perilaku guru yang meminta
uang/barang ketika kenaikan
kelas/penerimaan rapor. Sekitar 73
persen responden menilai bahwa
perilaku membagikan atau

256
Dari Sudut Tepian Mahakam
Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

mengharapkan uang/barang pada
pelaksanaan PILKADA/PEMILU
merupakan hal yang kurang wajar atau
tidak wajar.
Yang harus diwaspadi dari
angka-angka statistik terkait dengan
IPAK Indonesia 2012 adalah angka
dibalik trend perilaku masyarakat yang
anti korupsi. Ternyata masih ada
sebagian perilaku masyarakat yang
permisif terhadap korupsi. Setidaknya
ada tiga catatan penting yang perlu
digarisbawahi. Pertama, masih sekitar
32 persen istri yang menerima saja
uang yang diberikansuami tanpa harus
mempertanyakan asal usulnya. Kedua,
lebih dari separuh responden
menyatakan wajar saja untuk
memberisesuatu kepada para tokoh
informal atau tokoh masyarakat
setempat (RT/RW/Kades) pada saat
melaksanakan hajatan atau hari raya
keagamaan. Ketiga, perilaku
responden ditingkat publik,meskipun
sebagian responden menyatakan tidak
mendukung upaya penyuapan,
pemerasan,dan nepostime tetapi masih
besar persentase responden yang
menyatakan tindakan tersebutsebagai
sesuatu yang wajar.
***
Te r k a i t d e n g a n p r i l a k u
masyarakat yang permisif terhadap
korupsi ini menjadi persoalan utama
yang akan menghambat pemberantasan
korupsi. Terlebih lagi perilaku permisif
ini dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya
lokal. Dalam Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Jangka Panjang (2012-2025)
dan Jangka Menengah (2012-2014),
masalah ini juga dijadikan isu aktual
“Salah satu akar penyebab

257

berkembangnya praktik korupsi patut
diduga berasal dari rendahnya
integritas para pelakunya dan masih
kentalnya budaya permisif terhadap
tindakan korupsi. Rendahnya efek
deteren bagi pelaku korupsi inilah yang
turut mendukung maraknya praktik
korupsi.”
Pada kuliah perdana Program
Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, 17 September 2012, Mahfud
MD juga menempatkan sikap permisif
masyarakat Indonesia ini menjadi
biang persoalan mengapa korupsi sulit
diberantas. Dengan gayanya yang
lugas, Mahfud mengatakan : “Ukuran
etis atau tidak, menjadi sangat lentur
karena sikap permisif masyarakat
terhadap hal-hal yang sesungguhnya
merupakan bentuk penyimpangan
sosial. Korupsi di negeri ini kian
mengerikan dan merajalela, salah
satunya karena dianggap wajar.
Sebagian lain malah menganggap
korupsi sebagai budaya. Orang korupsi
itu hanya soal kesempatan, kalau pun
ada kesempatan tapi tak korupsi,
dianggap sebagai orang yang sok
bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu
bagaimana cara memberantasnya.
Seperti sering saya katakan, teori
pemberantasan korupsi dari gudang
sudah habis. Semua teori dan cara
sudah disarankan namun seolah tak ada
yang mempan, sementara negara terus
menerus digerogoti.”
Dalam budaya organisasi
modern, sistem nilai tertentu yang
bersifat universal harus ditegakkan
dalam organisasi, baik di lingkungan
pemerintahan maupun swasta.
Masyarakat dengan kultur yang
mendorong struktur sosial berperilaku
koruptif perlu diubah pola pikirnya
agar terbebas dari nilai-nilai koruptif,

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
Dari Sudut Tepian Mahakam
Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

terlebih lagi agar menjunjung
integritas. Lebih dari itu, sangat
diperlukan perilaku aktif
darimasyarakat untuk mencegah
perilaku koruptif di lingkungannya.
Diperlukan individu-individu yang
mampu mempengaruhi dan bertindak
untuk mencegah adanya tindakan
koruptif, tidak hanya pasif untuk
mencegah korupsi oleh dirinya sendiri.
Pengembangan sistem nilai dan
sikap anti korupsi tersebut perlu
dilakukan melalui berbagai kampanye
yang memberikan ruang bagi
masyarakat untuk turut berpartisipasi
dalam upaya pemberantasan korupsi.
Salah satu kanal utamanya adalah
melalui pendidikan dan internalisasi
budaya anti korupsi di lingkungan
Pemerintah, swasta, masyarakat,
maupun pemangku kepentingan
lainnya. Jejaring pendidikan
antikorupsi dan perguruan tinggi atau
pusat kajian antikorupsi juga perlu
dikembangkan seiring dengan
perkuatan sanksi sosial.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

Gerakan sosial anti korupsi perlu
diintegrasikan dengan nilai-nilai anti
korupsi dalam sistem budaya lokal.
Dengan demikian, selain tercipta
pemahaman terhadap perilaku-perilaku
koruptif, pembangunan karakter
bangsa yang berintegritas dan anti
korupsi diharapkan juga akan
memperkuat gerakan anti korupsi
beserta sanksi sosialnya.
Namun yang lebih penting dari
itu adalah keteladanan seorang
pemimpin. Indonesia tidak
membutuhkan seorang pemimpin yang
cerdas, namun membutuhkan seorang
pemimpin yang berintegritas, jujur dan
sudah selesai dengan dirinya. Hal ini
penting karena permisifnya masyarakat
terhadap korupsi bukan hanya
disebabkan budaya lokal tetapi juga
tidak adanya keteladanan pemimpin
yang berintegritas dan jujur. Wallahu
a'lamu bishawab. Mariman Darto

258
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI
ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA 1
THE NORMATIVE AND EMPIRICAL STUDY ABOUT THE
IMPLEMENTATION OF THE PRINCIPLE OF DECONCENTRATION IN
INDONESIA 2
Tri Widodo W. Utomo
Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN-RI
Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
Email : triwidodowu@yahoo.com
Abstract
.Deconcentration is one of the most important principles in managing
central-local relationship in a unitary state. Together with
decentralization and assistance task principles, deconcentration reveals
the best strategy to assure the integrity of the state. In the Indonesian
context, however, there is a tendency that decentralization is getting
stronger, while deconcentration is moving to the opposite direction. This
paper tries to elaborate the norm and the practice of deconcentration in
Indonesia, and the possibility to construct an equilibrium concept
between decentralization and deconcentration.
Keywords : deconcentration, decentralization, Indonesia.
.

Abstrak
Dekonsentrasi adalah salah satu asas terpenting dalam pengelolaan
hubungan pusat-daerah di sebuah negara kesatuan. Bersama dengan
desentralisasi dan tugas pembantuan, dekonsentrasi merupakan strategi
terbaik dalam menjamin integritas negara. Dalam konteks Indonesia,
terdapat kecenderungan bahwa asas desentralisasi semakin menguat,
sementara asas dekonsentrasi berjalan menuju arah berlawanan. Tulisan
ini mencoba mengelaborasi sisi normatif dan empiris dalam
implementasi asas dekonsentrasi di Indonesia, dan kemungkinan untuk
1

Draft awal tulisan ini dihasilkan selama penulis menjalani tugas selaku Visiting Researcher di Graduate School of
Internasional Development (GSID) Nagoya University, yang kemudian disempurnakan berdasarkan input teoretis
dan fenomena-fenomena yang lebih aktual. Tulisan ini merupakan serial dari pemikiran penulis tentang rekonstruksi
kebijakan dekonsentrasi di Indonesia. Penulis sangat terbantu dengan dukungan sumber daya dan komentarkomentar penting dari Prof. Dr. Kimura Hirotsune. Terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan
untuk jasa yang tidak ternilai tersebut. Terima kasih juga sangat layak penulis persembahkan kepada Prof. Dr. Agus
Dwiyanto, Prof. Dr. Pratikno, dan Dr. Agus Pramusinto yang dengan terus memberi motivasi dan dukungan kepada
penulis untuk memfokuskan diri pada issu dekonsentrasi.
2
Naskah diterima pada 23 Oktober 2012

259

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

mengembangkan ide keseimbangan antara desentralisasi dan
dekonsentrasi.
Kata kunci: dekonsentrasi, desentralisasi, Indonesia.

PENDAHULUAN
Berdasarkan ketentuan UU
Nomor 32/2004, dalam
penyelenggaraan pemerintahan,
Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan
dekonsentrasi. Sedangkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah,
pemerintahan daerah menggunakan
asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 20 ayat 2 dan 3). Secara eksplisit,
pasal tersebut menegaskan bahwa asas
desentralisasi dan dekonsentrasi
melekat pada sistem pemerintahan
negara, yang merupakan prinsip dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan
secara nasional. Ini berarti bahwa asas
desentralisasi dan dekonsentrasi bukan
merupakan asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagaimana banyak dipahami secara
keliru selama ini. Oleh karena melekat
pada sistem pemerintahan negara,
maka baik asas desentralisasi maupun
asas dekonsentrasi didesain
sepenuhnya oleh pemerintah pusat,
termasuk dimensi pengawasan dan
pertanggung jawabannya dilakukan
oleh (aparat) pemerintah pusat.
Sebagai implikasi logis dari
berlakunya kerangka kebijakan
desentralisasi yang baru, kewenangan
dan urusan pemerintah daerah
(khususnya kabupaten/kota) semakin
luas sedangkan kewenangan dan
urusan unsur pemerintah pusat semakin
mengecil. Meskipun demikian, demi
mempertahankan eksistensi, integritas
dan ”hak kedaulatan” suatu negara
bangsa (nation-state), maka

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

pemerintah pusat masih memiliki hakhak tertentu di daerah, atau dapat
melakukan intervensi dalam bentuk
supervisi, pembinaan, pengawasan,
dan penilaian kinerja otonomi di
daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas
Daerah ini dapat dijalankan secara
langsung oleh instansi tingkat Pusat
(departemen/ LPND), maupun secara
tidak langsung melalui aparatnya di
daerah. Menurut UU Nomor 5/1974
dan UU tentang pemerintahan daerah
pada masa sebelumnya, alat
kelengkapan Pusat di Daerah
dijalankan oleh instansi vertikal yang
dibentuk sebagai kepanjangan tangan
instansi pemerintah di tingkat Pusat.
Sedangkan menurut UU Nomor
22/1999 dan UU Nomor 32/2004,
perangkat / wakil pemerintah Pusat di
daerah adalah Gubernur, disamping
instansi vertikal yang khusus
menjalankan urusan-urusan absolut
pemerintah Pusat.
Ini berarti pula bahwa propinsi
dalam koridor otonomi daerah
memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni
sebagai wakil pemerintah pusat (aparat
dekonsentrasi), namun pada saat yang
bersamaan juga sebagai pelaksana
otonomi daerah itu sendiri (aparat
desentralisasi); sedangkan pada
kabupaten/kota tidak lagi melekat
fungsi dekonsentrasi. Mengingat tugas
desentralisasi provinsi semakin
mengecil, maka fungsi-fungsi
koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan (implikasi tugas
dekonsentrasi) harus diperkuat. Hal ini
dimaksudkan untuk menjamin agar

260
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

roda otonomi daerah yang bergulir di
tingkat kabupaten/kota tidak salah arah
atau menimbulkan ekses-ekses yang
tidak diinginkan. Dengan kata lain,
fungsi dekonsentrasi provinsi menjadi
faktor kunci terhadap sukses atau
gagalnya implementasi desentralisasi
politik yang seluas-luasnya
(devolution).
Dalam rangka mencapai
keseimbangan sekaligus mengontrol
dampak negatif yang mungkin muncul
dari pelaksanaan desentralisasi
tersebut, maka logis bila pemerintah
Pusat masih memainkan peran dalam
siklus kebijakan pembangunan di
daerah melalui implementasi fungsi
dekonsentrasi. Dengan kata lain,
dekonsentrasi dapat dipandang sebagai
sebuah komponen yang terintegrasi
dengan desentralisasi. Hal ini bertujuan
agar daerah yang menyelenggarakan
fungsi desentralisasi tidak menjadi
semakin selfish atau memiliki ego yang
berlebihan dalam memikirkan
daerahnya sendiri. Dengan penguatan
dekonsentrasi, kebijakan
pembangunan sebuah daerah dapat
selalu ditempatkan dalam konteks
pembangunan yang lebih luas dan
strategis (embedding local policy into
b ro a d e r c o n t e x t o f n a t i o n a l
development and interest). Disinilah
manfaat dekonsentrasi sebagai
penyeimbang arus desentralisasi yang
begitu deras.
Dengan demikian, pentingnya
fungsi dekonsentrasi ini bukan hanya
sebagai ”perekat” antara kepentingan
nasional dengan kepentingan daerah,
namun lebih dari itu adalah menjamin
terlaksananya penyelenggaraan
pemerintahan dalam bidang
pembangunan dan pelayanan secara
lebih efektif dan efisien. Dalam rangka

261

menjamin keberhasilan program
pemerintahan, khususnya sebagai
pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi
tadi, maka pemerintah pusat
menyediakan dua instrumen utama,
yakni alokasi dana dekonsentrasi, serta
penetapan perangkat atau wakil
pemerintah yang mengemban fungsi
dekonsentrasi, dalam hal ini adalah
Gubernur. Hal lain yang patut
digarisbawahi lagi adalah bahwa
wacana desentralisasi dan
dekonsentrasi harus dipandang sebagai
bagian integral dari proses
pembangunan bangsa (nation
building), sehingga adanya kejelasan
fungsi antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan wakil
pemerintah pusat di daerah, menjadi
sebuah keniscayaan, sehingga perlu
adanya penegasan yang lebih konkrit
tentang pembagian tugas, peran dan
tanggung jawab antara pemerintah
pusat dengan provinsi selaku
representasi pusat.
Atas dasar pemikiran diatas,
maka tulisan ini ingin melakukan
telaahan dekonsentrasi dari aspek
yuridis normatif dan empiris
operasional. Dari dua perspektif ini,
diharapkan dapat diidentifikasikan
kebutuhan pengembangan kebijakan
desentralisasi pada umumnya dan
dekonsentrasi pada khususnya.
TELAAH NORMATIF
DEKONSENTRASI
Dilihat dari perspektif yuridis
historis, penafsiran dan penerapan
fungsi dekonsentrasi dalam sistem
pemerintahan di Indonesia mengalami
pasang surut yang sangat kentara. Hal
ini dapat dicermati dari pengaturan
tentang dekonsentrasi yang bervariasi
diantara peraturan perundang-

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

undangan tentang Pemerintahan
Daerah di Indonesia, sebagaimana

uraian pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk Hukum tentang
Pemerintahan Daerah di Indonesia (1948-2004)
Sumber Hukum

Substansi Pengaturan tentang Dekonsentrasi

UU No. 22/1948 dan
UU No. 1/1957

Tidak ada klausul yang mengatur tentang fungsi dekonsentrasi
dan kedudukan gubernur (Kepala Daerah Tingkat I).

TAP MPRS No. XXI/
MPRS/1966 tentang
Pemberian Otonomi
seluas-luasnya kepada
Daerah

• Dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun
dengan predikat ”Vital”.
• Sebagai tindak lanjut dari Tap ini, telah disusun RUU
Kedudukan dan Hubunggan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dengan Amanat Presiden No. R.36/PRES/HK/3/1968
tanggal 16-3-1968, namun sayangnya tidak ada tindak lanjut
dari RUU tersebut.

UU No. 18/1965
tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah

• “Pemerintah akan terus dan konsekwen mendjalankan politik
desentralisasi jang kelak akan mengarah kearah tertjapainja
desentralisasi teritorial jaitu meletakkan tanggung djawab
teritorial riil dan seluas-luasnja dalam tangan Pemerintah
Daerah, disamping mendjalankan politik dekonsentrasi
sebagai komplement jang vital” (Penjelasan, Angka III.
Urusan Rumah Tangga Daerah dan Urusan Tugas
Pembantuan).
• Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnja
jang menurut pertimbangan Pemerintah Pusat dapat
dipisahkan dari tangan Pemerintah Pusat untuk diatur dan
diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan mendjadi urusan rumah-tangga Daerah
(Pasal 40).
• Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat sekaligus alat
Pemerintah Daerah (Pasal 44). Sebagai alat Pemerintah Pusat,
Kepala Daerah:
? Memegang pimpinan kebidjaksanaan politik polisionil
didaerahnja, dengan mengindahkan wewenang-wewenang
jang ada pada pendjabat-pendjabat jang berdasarkan
peraturan-peraturan perundang-undangan jang berlaku;
? Menjelenggarakan koordinasi antara djawatan-djawatan
Pemerintah Pusat di Daerah dan antara djawatan-djawatan
tersebut dengan Pemerintah Daerah;
? Melakukan pengawasan atas djalannja Pemerintah Daerah;
? Mendjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanja
oleh Pemerintah Pusat.

UU No. 5/1974
tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah

• Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab,
azas dekonsentrasi bukan sekedar komplemen atau
pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan tetapi sama
pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

262
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

•
•

•

•

•

UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan
Daerah

263

Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas dekonsentrasi
tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah baik mengenai
perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya, Unsur
pelaksana adalah instansi-instansi Vertikal, yang
dikordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya
selaku perangkat Pemerintah, tetapi kebijaksanaan terhadap
pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan
oleh Pemerintah.
Kepala Wilayah (termasuk Gubernur) dalam semua tingkat
sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di
bidang Pemerintahan di Daerah.
Menimbang butir f: ”... hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara
Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi Daerah yang
nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan
bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
Pasal 73: ”Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri
dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau
Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja
tertentu dalam rangka dekonsentrasi”.
Penjelasan Umum angka 2 butir c: ”Wilayah yang dibentuk
berdasarkan azas dekonsentrasi disebut Wilayah
Administratip yang dalam Undang-undang ini selanjutnya
disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal
dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.
Pembentukan Wilayah-wilayah dalam susunan Vertikal
adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka
menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan”.
Penjelasan Umum angka 3 butir c: ”Oleh karena tidak semua
urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah
menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai
urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat
Pemerintah di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi.
Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
pejabat-pejabat di daerah menurut azas dekonsentrasi ini tetap
menjadi tanggungawab Pemerintah Pusat baik mengenai
perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur
pelaksanaanya adalah terutama Instansi-instansi Vertikal,
yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam
kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi
kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi
tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

• Propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus
Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan
Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur.
Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

•
•

•

•

UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan
Daerah

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian,
Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota tidak mempunyai hubungan hierarki (Penjelasan Umum,
butir 1F).
Gubernur berkedudukan sebagai kepala Daerah sekaligus
Wakil Pemerintah.
Pasal 8 (2): ”Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan
kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai
dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut”.
Pasal 9 (3): ”Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah
Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku
Wakil Pemerintah”.
Pasal 63: ”Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan
oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi”.

Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku
wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan
tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan
pada strata pemerintahan kabupaten dan kota (Penjelasan
Umum, butir 4. Pemerintahan Daerah).

Sumber: konstruksi penulis dari berbagai sumber.

Dari deskripsi substansial pada
seluruh UU yang mengatur tentang
pemerintahan daerah diatas, dapat
ditarik beberapa intisari penting yang
berhubungan dengan dekonsentrasi,
yakni:
1. Pada periode 1948 hingga 1959,
praktek dekonsentrasi sangat
lemah. Selain tidak ada pengaturan
secara eksplisit di dalam UU No.
22/1948 dan UU No. 1/1957, juga
dikarenakan semangat dasar dari
kedua UU tersebut yang lebih
bercorak desentralistis. Nuansa
desentralistis ini kemungkinan
3

besar mendapat pengaruh dari dua
kondisi, yaitu: 1) praktek
pemerintahan daerah yang
sebelumnya sangat desentralistis,
terutama pada masa penjajahan
Belanda dan pendudukan Jepang;
dan 2) sistem ketatanegaraan
Indonesia yang masih labil, yang
mengarah pada penerapan
demokrasi liberal dan sistem
pemerintahan parlementer, serta
ditandai pula dengan perubahan
bentuk negara menjadi negara
federal (Republik Indonesia
Serikat).3

Republik Indonesia Serikat secara resmi terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949 yang ditandai dengan dilakukannya
penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda oleh Presiden Soekarno dan menyerahkan kekuasaan di Jakarta.
Pada tanggal yang sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia
Serikat. Pada tanggal 17 Agustus 1950, bentuk negara RIS berubah kembali menjadi Negara Kesatuan RI, namun tetap
mempertahankan demokrasi liberal dan sistem pemerintahan parlementer. Pada periode Desember 1949 sampai dengan Juli 1959
telah terjadi pergantian kabinet sebanyak sembilan kali. Lihat: Jakarta Post
www.thejakartapost.com/resources/cabinet/cabinet.asp

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

264
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

2. Pada periode 1959 hingga 1966,
dengan ditandai oleh keluarnya
Dekrit Presiden, bandul politik
berubah menjadi sangat sentralistis,
yang dikenal dengan demokrasi
terpimpin (guided democracy).
Semangat sentralisme ini
nampaknya diwadahi lebih lanjut
kedalam UU No. 18/1965, sehingga
wajar jika dekonsentrasi hanya
dinilai sebagai pelengkap
(meskipun dengan predikat vital).
Dengan demikian, perubahan
bandul politik kearah sentralisme
berkorelasi secara langsung dengan
perubahan bandul hubungan antar
susunan pemerintahan yang
mengarah pada dekonsentrasi.
Kondisi ini berlangsung terus
hingga tahun 1974.
3. Pada periode 1974 hingga 1999,
ditandai oleh sebuah pelanggaran
prinsip dekonsentrasi. Hal ini dapat
diamati dari semangat UU No.
5/1974 yang menegaskan bahwa
azas dekonsentrasi bukan sekedar
komplemen atau pelengkap
terhadap azas desentralisasi, akan
tetapi sama pentingnya dalam
penyelenggaraan pemerintah di
daerah. Namun dalam
kenyataannya asas dekonsentrasi
jauh lebih dominan dibanding
desentralisasi. Bahkan banyak
pakar yang menyebutkan bahwa era
ini adalah era yang sentralistis (lihat
lagi Deconcentration Series
Paper # 6).
4. Pada periode 1999 hingga 2004,
sudah terdapat kemajuan yang
cukup penting tentang pengaturan
dekonsentrasi, yakni dengan
munculnya peraturan pemerintah
(PP) yang secara khusus mengatur
tentang dekonsentrasi. Namun yang

265

menjadi persoalan adalah adanya
implementation gap, yakni
kesenjangan antara aturan tertulis
dengan praktek nyata di lapangan.
Dengan kata lain PP dekonsentrasi
(PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008)
belum dapat diterapkan
sepenuhnya. Faktor penyebab
kurang berfungsinya kedua PP ini
salah satunya adalah kurang
harmonisnya koordinasi antar
instansi di pusat, khususnya antara
Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Keuangan (lihat White
and Smoke, 2005: 8).
Kemungkinan faktor penyebab
lainnya adalah belum tersusunnya
aturan pelaksanaan sebagai
penjabaran dari butir-butir yang
terkandung didalamnya, yang
seharusnya menjadi pedoman bagi
pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan kebijakan
pusat tentang dekonsentrasi. Tabel
dibawah memberikan gambaran
tentang pengaturan lebih lanjut
yang dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP
No. 7/2008.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Tabel 2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan
PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008
Bentuk Aturan

PP No. 39/2001

PP No. 7/2008

Pengaturan berbentuk Peraturan (Regeling)
Peraturan Menteri
Dalam Negeri

–

Tata cara pendanaan tugas
pembantuan (pasal 48)

–

Penyusunan dan penyampaian
laporan kegiatan tugas
pembantuan provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota dan
desa (pasal 62 dan 63)

–

Penyusunan dan penyampaian
laporan kegiatan tugas
pembantuan kabupaten/kota
kepada pemerintah desa (pasal
64)

–

Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan
oleh pemerintah (pasal 17)

Peraturan Menteri
Keuangan

–

Pedoman pengelolaan dana
dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan (pasal 79)

Peraturan
Menteri/Pimpinan
Lembaga

–

Lingkup urusan pemerintahan
yang akan ditugaskan kepada
gubernur (pasal 39).

Peraturan Gubernur

–

Pembentukan Tim Koordinasi
Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan
oleh pemerintah (pasal 17)

–

Lingkup urusan pemerintahan
yang akan ditugaskan kepada
bupati/walikota dan/atau kepala
desa (pasal 40)

–

Lingkup urusan pemerintahan
yang akan ditugaskan kepada
kepala desa (pasal 41)

–

Pembentukan Tim Koordinasi
Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan
oleh pemerintah (pasal 44)

Peraturan Bupati /
Walikota

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

266
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Peraturan perundangundangan tersendiri

Rincian kewenangan
yang dilimpahkan
kepada gubernur atau
perangkat pusat di
daerah (pasal 16)

–

Pengaturan berbentuk Keputusan (Beschikking)
Keputusan Presiden

Tata cara pelimpahan
wewenang pemerintahan
kepada gubernur dan
atau perangkat pusat di
daerah (pasal 4)

–

Tata cara penarikan
kewe-nangan yang
dilimpahkan kepada
gubernur dan atau
perangkat pusat di
daerah (pasal 13)

–

Keputusan Menteri
Keuangan

Tata cara penyaluran
biaya penyelenggaraan
wewe-nang yang
dilimpahkan kepada
gubernur dan atau
perangkat pusat di
daerah (pasal 8)

–

Keputusan Bupati /
Walikota

–

Kegiatan tugas pembantuan
provinsi yang dilaksanakan oleh
SKPD kabupaten/kota (pasal 62)

Sumber: konstruksi penulis berdasarkan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008

Paparan diatas adalah analisis
substantif asas dekonsentrasi dalam
level politis, yakni undang-undang.4
Selanjutnya, analisis pada level politis
ini dapat diturunkan pada
organizational level yang
menyediakan aturan tentang
dekonsentrasi adalah PP No. 39/2001

4

yang merupakan penjabaran dari UU
No. 22/1999, serta PP No. 7/2008 yang
merupakan penjabaran dari UU No.
32/2004. Dalam hal ini, pengaturan
secara lebih detil dalam kedua PP
tersebut dapat disimak
p e r b a n d i n g a n n y a d a l a m Ta b e l
dibawah ini.

Meminjam model analisis kebijakan Bromley (1989), pengaturan sebuah substansi kebijakan pada tataran UU dan
Tap MPR dapat dikategorikan pada policy level. Pada berbagai kasus, mandat pada policy level ini membutuhkan
upaya penerjemahan atau penjabaran melalui proses institutional arrangements pada level organisasional.

267

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Tabel 3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP No. 39/2001 dan
PP No. 7/2008
Dimensi

PP No. 39 Tahun 2001

PP No. 7 Tahun 2008

Definisi
Dekonsentrasi

Pelimpahan wewenang dari
Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah
dan/atau Perangkat Pusat di
Daerah.

Pelimpahan wewenang dari
Pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah
dan/atau kepada Instansi Vertikal
di wilayah tertentu.

Cakupan Dana
Dekonsentrasi

–

Semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi, tidak
termasuk dana yang dialokasikan
untuk instansi vertikal pusat di
daerah.

Sumber Dana
Dekonsentrasi

Biaya untuk penyelenggaraan
kewenangan dilimpahkan kepada
Gubernur dan atau Perangkat
Pusat di Daerah dibebankan pada
APBN sesuai besaran
kewenangan dan beban tugas
yang dilimpahkan.

Pelaksanaan pelimpahan
sebagian urusan pemerintahan
dari Pemerintah kepada instansi
vertikal di daerah didanai melalui
anggaran kementerian/lembaga.

Penyelenggaraan –
Dekonsentrasi

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

?
Dilakukan melalui

pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi
kewenangan K/L, dan didanai
melalui anggaran K/L.
?
Urusan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada gubernur
dilaksanakan oleh SKPD
provinsi berdasarkan
penetapan gubernur.
?
Urusan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada gubernur
tidak boleh dilimpahkan
kepada bupati/walikota.
?
Ruang lingkup dekonsentrasi
mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan
dana, serta
pertanggungjawaban dan
pelaporan.

268
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Pelimpahan
Urusan /
Kewenangan

?
Pelimpahan kewenangan

Tata Cara
Pelimpahan

?
Dalam hal Presiden

269

disertai dengan pembiayaan
yang sesuai dengan besaran
kewenangan yang
dilimpahkan.
?
Pelimpahan kewenangan
dapat dilakukan kepada
seluruh Gubernur atau
Perangkat Pusat di Daerah
atau kepada Gubernur atau
Perangkat Pusat di Daerah
tertentu.
?
Kewenangan yang dapat
dilimpahkan meliputi
sebagian kewenangan di
bidang politik luar negeri,
hankam, peradilan, moneter
dan fiskal, agama dan
kewenangan bidang lain.
?
Menteri / Pimpinan Lembaga
dapat memprakarsai
pelimpahan kewenangan
sesuai dengan bidang
kewenangannya.
? 13 urusan yang dapat
Ada
dilimpahkan kepada
Gubernur.

Selain dilimpahkan kepada
gubernur, sebagian urusan
pemerintahan dapat pula
dilimpahkan kepada Instansi
Vertikal atau pejabat Pemerintah
di daerah

?
Setelah ditetapkannya pagu
melimpahkan kewenangannya
indikatif, K/L memprakarsai
kepada Gubernur, dapat
dan
langsung menetapkan melalui
merumuskan urusan
Keputusan Presiden.
pemerintahan yang akan
?
Dalam rangka pelimpahan
dilimpahkan kepada gubernur
wewenang pemerintahan
paling lambat pertengahan
kepada Gubernur / Perangkat
Maret untuk tahun anggaran
Pusat di Daerah,
berikutnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga
?
Rumusan tentang urusan
memprakarsai dengan
pemerintahan yang akan
menentukan jenis
dilimpahkan dituangkan
kewenangan yang akan
dalam rancangan Renja-KL
dilimpahkan, kemudian
dan disampaikan kepada
ditetapkan dengan Keputusan
Bappenas sebagai bahan
Presiden;
koordinasi dalam
? kewenangan yang akan
Jenis
Musrenbangnas.
dilimpahkan terlebih dahulu
? memberitahukan kepada
K/L
dikonsultasikan dengan
gubernur mengenai lingkup

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Tata Cara
? Daerah yang belum ada
Bagi
Penyelenggaraan
instansi vertikal untuk
melaksanakan sebagian
kewenangan di bidang politik
luar negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal,
dan agama yang dilimpahkan,
dibentuk instansi vertikal
dengan menetapkan susunan
organisasi, formasi dan
tatalaksananya.
?
Penyelenggaraan kewenangan
di bidang lain yang diterima
Gubernur, pelaksanaannya
dilakukan oleh Unit
Organisasi yang ada dalam
Dinas Provinsi.
?
Dalam hal di Provinsi belum
ada Dinas yang tepat untuk
menangani suatu bidang
kewenangan yang
dilimpahkan, Gubernur dapat
menugaskan Perangkat
Daerah lainnya atau
membentuk unit pelaksana
secara khusus.
?
Dalam menyelenggarakan
kewenangan yang
dilimpahkan, Gubernur
memberitahukan kepada
DPRD.

?
Dalam penyelenggaraan

Tanggung jawab
Gubernur

–

?
Mengkoordinasikan

urusan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh
Pemerintah, gubernur
melakukan penyiapan
perangkat daerah yang akan
melaksanakan program dan
kegiatan dekonsentrasi serta
koordinasi, pengendalian,
pembinaan, pengawasan dan
pelaporan.
?
Gubernur membentuk tim
koordinasi yg ditetapkan
dengan Pergub berpedoman
pada Permendagri.
?
Gubernur memberitahukan
kepada DPRD berkaitan
dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan
tersebut.

Perangkat Daerah dan Pejabat
Pusat di Daerah serta antar
Kabupaten dan Kota di
wilayahnya sesuai bidang
tugas yang berkaitan dengan
kewenangan yang
dilimpahkan;
?
Melakukan fasilitasi
Terselenggaranya pedoman,
norma, standar, arahan,
pelatihan, dan supervisi, serta
melaksanakan pengendalian
dan pengawasan;
?
Memberikan saran dan

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

270
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Tata Cara
Penarikan
Pelimpahan

?
Penarikan urusan

Prinsip
Pendanaan

?
Penganggaran dan

271

?
Penarikan urusan
pemerintahan yang
pemerintahan yang
dilimpahkan dapat dilakukan
dilimpahkan dapat dilakukan
apabila urusan pemerintahan
apabila urusan pemerintahan
tidak dapat dilanjutkan
tidak dapat dilanjutkan
karena Pemerintah mengubah
karena Pemerintah mengubah
kebijakan atau apabila
kebijakan dan/atau
Gubernur / Perangkat Pusat
pelaksanaan urusan
di Daerah mengusulkan
pemerintahan tidak sejalan
untuk ditarik sebagian atau
dengan ketentuan peraturan
seluruhnya.
perundang-undangan.
?
Menteri / Pimpinan Lembaga ?
Penarikan dilakukan melalui
mengevaluasi
penetapan Peraturan Menteri
penyelenggaraan
/ Lembaga, dengan tembusan
kewenangan yang di
Mendagri, Menkeu, dan
limpahkan dan
Bappenas.
menyampaikan hasilnya
?
Peraturan tersebut digunakan
kepada Gubernur / Perangkat
oleh Menkeu sebagai dasar
Pusat di Daerah.
pemblokiran dokumen
?
Berdasarkan hasil evaluasi,
anggaran dan penghentian
pencairan dana.
Menteri / Pimpinan Lembaga
dapat menarik sebagian atau
seluruh kewenangan yang
dilimpahkan setelah
berkoordinasi dengan
Mendagri & instansi terkait,
dengan memberitahukan
alasan dan pertimbangannya.
?
Penarikan kewenangan yang
dilimpahkan ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Jika dalam waktu 6 bulan
sejak usul penarikan belum
ditetapkan Keppres,
Gubernur / Perangkat Pusat
di Daerah dapat
menghentikan sepihak
penyelenggaraan
kewenangan yang
dilimpahkan.
?
Pendanaan dekonsentrasi

pengelolaan keuangan dalam
penyelenggaraan kewenangan
yang dilimpahkan dilakukan
secara terpisah dari APBD
sesuai dengan peraturan

dialoka- sikan setelah adanya
pelimpahan wewenang dari
Pemerintah.
?
Pendanaan tersebut
dialokasikan untuk kegiatan

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Pertanggung
jawaban

?
Pertanggungjawaban

?
Pertanggungjawaban dan

penyelenggaraan kewenangan
yang dilimpahkan, dilakukan
Gubernur / Perangkat Pusat di
Daerah.
?
Pertanggungjawaban
disampaikan Gubernur /
Perangkat Pusat di Daerah
kepada Menteri / Pimpinan
Lembaga dengan tembusan
Mendagri dan DPRD.
?
Pertanggungjawaban atas
penyelenggaraan kewenangan
yang dilimpahkan oleh
Presiden kepada Gubernur,
disampaikan oleh kepada
Presiden melalui Mendagri.

pelaporan dekonsentrasi
mencakup aspek manajerial
dan aspek akuntabilitas.
Aspek manajerial terdirf dari
perkembangan realisasi
penyerapan daua, pencapaian
target keluaran, kendala yang
dihadapi, dan saran tindak
lanjut. Aspek akuntabilitas
terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, catatan atas
laporan keuangan, dan
laporan barang.
?
Kepala SKPD provinsi
bertanggungjawab atas
pelaporan kegiatan
dekonsentrasi.
?
Laporan pertanggungjawaban
keuangan secara tahunan atas
pelaksanaan dekonsentrasi
oleh gubernur dilampirkan
dalam Laporan
Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD kepada
DPRD.

Pembinaan dan
Pengawasan

?
Menteri/pimpinan lembaga

?
Menteri/pimpinan lembaga

melakukan pembinaan dan
pengawasan atas
penyelenggaraan kewenangan
yang dilimpahkan.
?
Dalam hal-hal tertentu,
kewenangan pembinaan dan
pengawasan atas
penyelenggaraan
pemerintahan dapat
dilimpahkan kepada
Gubernur.

melakukan pembinaan dan
pengawasan dalam
penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang
dilimpahkan kepada
gubernur. Pembinaan tsb
meliputi pemberian pedoman,
standar, fasilitasi dan
bimbingan teknis, serta
pemantauan dan evaluasi atas
penyelenggaraan
dekonsentrasi.
?
Gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan
kegiatan dekonsentrasi yang
dilaksanakan oleh SKPD
Provinsi. Pembinaan tsb
dilakukan dalam rangka
peningkatan kinerja,

Sumber: konstruksi penulis berdasarkan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

272
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

Selanjutnya, pengaturan lebih
rinci tentang dana dekonsentrasi dapat
ditemukan dalam UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Dalam UU ini dinyatakan
bahwa dana dekonsentrasi adalah dana
yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai
wakil pemerintah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana
yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah. Dana
dekonsentrasi dialokasikan untuk
kegiatan yang bersifat non fisik, yaitu
antara lain untuk kegiatan koordinasi
perencanaan, fasilitasi, pelatihan,
pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian. Sebagai wujud
pertanggungjawaban dana
dekonsentrasi, gubernur
menyampaikan laporan
pertanggungjawaban seluruh
pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi
kepada menteri negara/pimpinan
lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang dan selanjutnya menteri
negara/pimpinan lembaga
menyampaikan laporan pertanggung
jawaban pelaksanaan kegiatan
dekonsentrasi secara nasional kepada
Presiden sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Berkaitan dengan status barang
dalam pelaksanaan dekonsentrasi,
dalam Pasal 91 undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa semua
barang yang diperoleh dari dana
dekonsentrasi menjadi barang milik
negara dan dapat dihibahkan kepada
daerah. Barang milik negara yang
dihibahkan kepada daerah wajib
dikelola dan ditatausahakan oleh

273

daerah sedangkan barang milik negara
yang tidak dihibahkan kepada daerah
wajib dikelola dan ditatausahakan oleh
kementerian negara/lembaga yang
memberikan pelimpahan wewenang.
Dari ketentuan yang bersumber
pada kedua peraturan pemerintah
tersebut, dapat dicermati adalah
beberapa inkonsistensi kebijakan,
sebagai berikut:
1. Kedua PP tersebut menegaskan
bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan kewenangan yang
ditetapkan dalam Keputusan
Presiden (PP No. 39/2001) atau
penetapan Gubernur sebelum
dilaksanakan oleh SKPD provinsi
(PP No. 7/2008). Kedua model ini
dalam prakteknya belum
dilaksanakan, dan pelimpahan
wewenang dilakukan oleh
kementerian / LPND kepada SKPD
di provinsi. Dalam hal ini terdapat
kesan bahwa Gubernur selaku wakil
pemerintah justru dilewati.
2. Kedua PP mengatur bahwa
pelimpahan wewenang kepada
gubernur tidak boleh dilimpahkan
kembali kepada bupati/walikota.
Namun kenyataannya, dana
dekonsentrasi banyak turun ke
kabupaten/kota yang
mengindikasikan bahwa program
dekonsentrasi juga dilaksanakan
oleh kabupaten/kota. Padahal,
bupati/walikota jelas-jelas bukan
wakil pemerintah atau perangkat
dekonsentrasi. Jika pengertian
dekonsentrasi dilaksanakan secara
konsekuen, maka kabupaten/kota
hanya dapat menerima dana tugas
pembantuan.
3. Kedua PP juga menegaskan bahwa
pelimpahan wewenang harus
disertai dengan pembiayaan. Ini

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

berarti, prinsip money follows
function / authority yang
semestinya diterapkan. Namun
dalam tataran praktek lebih
menonjol penerapan prinsip
function follows money, yang bisa
dilihat dari fakta bahwa dana
dekonsentrasi selalu dikucurkan
sementara Kepres (atau dasar
hukum lainnya) tentang pelimpahan
kewenangan belum diterbitkan.
T E L A A H E M P I R I S
DEKONSENTRASI
Sementara pada tataran empirik,
kebijakan dekonsentrasi di Indonesia
selama ini dapat dikatakan tidak utuh,
karena lebih banyak menyentuh aspek
pelimpahan anggaran pusat kepada
perangkatnya di daerah, serta kurang
memfokuskan pada isi otoritas atau
kewenangan dekonsentrasi. Dengan
demikian, dekonsentrasi model
Indonesia selama ini dapat disebut
sebagai dekonsentrasi keuangan
5
(financial deconcentration),
sedangkan dekonsentrasi substansial
(authoritative deconcentration) belum
memiliki kerangka kebijakan yang
jelas. Dengan demikian, kondisi dan
5

6

permasalahan yang dapat dicermati
dari praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi di Indonesia meliputi
aspek manajerial dan substansial.
Aspek manajerial berhubungan dengan
fungsi-fungsi perencanaan,
p e n g a n g g a r a n
d a n
pertanggungjawaban, sedangkan aspek
substansial menyangkut isi / substansi
kewenangan dari program
dekonsentrasi serta perangkat
kelembagaan untuk menjalankan
kewenangan dekonsentrasi tersebut.
1. Aspek Manajerial
Sebuah program pembangunan,
lazimnya selalu didahului oleh sebuah
perencanaan yang matang,
komprehensif, dan visioner. Dalam
proses perencanaan ini, paling tidak
harus dapat diformulasikan visi dan
misi jangka panjang, menengah,
maupun jangka pendek. Selain itu,
perencanaan yang baik semestinya juga
telah dapat mengidentifikasikan tujuan
dan sasaran yang ingin dicapai, serta
program dan kegiatan yang harus
dijalankan untuk mencapai visi, misi,
tujuan dan sasaran yang telah
6
ditetapkan. Selanjutnya, sasaran dan

Istilah dekonsentrasi keuangan ini dikembangkan untuk memberikan kesejajaran konsep (analog) dengan desentralisasi
fiskal. Sebagaimana dipahami, desentralisasi dalam arti sempit atau devolusi adalah penyerahan kewenangan (transfer of
power / authority) kepada pemerintah daerah sebagai urusan otonominya. Transfer kewenangan ini tidak bisa berjalan
dengan baik jika tidak didukung oleh desentralisasi fiskal, yakni penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan daerah guna mendukung devolusi. Dengan demikian, devolusi dan desentralisasi
fiskal adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Demikian pula dekonsentrasi,
pendelegasian wewenang secara substantif (authoritative deconcentration) akan efektif jika ditunjang oleh sumber
pembiayaan yang memadai (financial deconcentration).
Hal lain yang perlu digarisbawahi, meskipun istilah financial deconcentration adalah analog dari fiscal decentralization,
namun keduanya memiliki perbedaaan yang sangat mendasar. Istilah fiscal deconcentration tidak tepat digunakan karena
pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang luas dari dana dekonsentrasi yang diberikan dari setiap kementerian.
Pemerintah daerah hanya berwenang membelanjakan dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan oleh Menteri atau
Pemerintah. Sedangkan dalam fiscal decentralization, pemerintah daerah memiliki kewenangan atas pajak-pajak daerah
tertentu, serta memiliki kewenangan menetapkan pungutan / retribusi tertentu pula.
Struktur perencanaan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, program dan kegiatan ini sering dikenal dengan istilah
Perencanaan Strategis (Renstra). Renstra merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama
kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau
mungkin timbul, yang disusun bukan hanya untuk memenuhi amanat peraturan (Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah), namun juga untuk gambaran umum program dan kegiatan yang akan dilaksanakan selama 5 th
ke depan.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

274
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

kegiatan yang diajukan harus
dilengkap dengan indikator-indikator
capaian, baik indikator input, output,
maupun outcome/impact/benefit. Jika
pola perencanaan model Renstra ini
dapat dilakukan secara efektif,
diharapkan mampu mencapai tujuan
secara efektif dengan sumber daya
yang efisien.
Sayangnya, dalam konteks
penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi,
sama sekali belum ada Renstra (KL =
Kementerian / Lembaga maupun
Daerah atau SKPD) yang memberi
gambaran jangka menengah tentang
capaian dan agenda-setting dari
program dekonsentrasi.
Dalam prakteknya, dekonsentrasi
tereduksi menjadi dekonsentrasi
keuangan, sementara dekonsentrasi
keuangan tereduksi lagi menjadi
kegiatan teknis dan rutin tahunan yang
dilaksanakan tanpa didahului analisis
kebutuhan atau perencanaan jangka
panjang yang matang atas dasar
berbagai pertimbangan strategis.
Wujud konkrit dari aktivitas rutin yang
sangat teknis itu misalnya adalah
pengajuan pejabat pengelola keuangan
dari dinas-dinas di tingkat provinsi,
yang disusul dengan pencairan
anggaran, serta diakhiri dengan
pelaporan. Dalam siklus anggaran yang
sangat tradisional seperti itu, prinsip
manajemen kinerja menjadi
7
terabaikan. Pengelolaan program dan
anggaran dekonsentrasi yang tidak
berbasis kinerja ini menurut penulis
adalah masalah utama yang harus
7

dipecahkan, karena akan berdampak
pada masalah-masalah yang lebih
spesifik.
Oleh karena prinsip manajemen
kinerja tidak diterapkan, maka wajar
jika komunikasi antar instansi dalam
pengelolaan program dan dana
dekonsentrasi menjadi kurang terjalin
dengan baik. Bahkan seorang Gubernur
yang merupakan pejabat tertinggi di
daerah sering mengeluhkan tentang
manajemen anggaran dekonsentrasi
ini. Sebagaimana dilaporkan Harian
Pikiran Rakyat (13/04/2005), Gubenur
Jawa Barat saat itu, Danny Setyawan
menyatakan bahwa penyaluran dana
dekonsentrasi selama ini langsung
ditangani oleh departemen sektoral di
pusat kepada dinas. Mekanisme seperti
itu, menurutnya, mencerminkan bahwa
departemen sektoral masih
menganggap dan mengobsesikan
dinas-dinas yang ada di provinsi seperti
kanwil (kantor wilayah) dulu.
Ironisnya, DPRD Jawa Barat pun
juga tidak tahu menahu soal pencairan
dana dekonsentrasi ini. DPRD Jabar
juga menyesalkan turunnya dana
dekonsentrasi tahun 2007 dari
pemerintah pusat karena tidak disertai
kejelasan mekanisme pertanggung
jawabannya oleh satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) yang
menerima. Bahkan mereka
menyatakan bahwa pemerintah pusat
melakukan dua kesalahan. Pertama,
menyalurkan dana dekonsentrasi
setelah APBD disahkan, padahal
mestinya penyaluran dana dilakukan

Manajemen Kinerja (MK) menurut Armstrong dan Baron (1998) adalah “a strategic and integrated approach to
delivering sustained success to organization by improving the performance of the people who work in team and by
developing the capabilities of teams and individual contributors”. Untuk bisa mencapai kinerja optimal dalam suatu
organisasi, harus diperhatikan komponen sebagai berikut: 1) output, outcome, process and input; 2) planning; 3)
measurement and review; 4) development and improvement; 5) communication; 6) stakeholder; 7) ethical; dan 8)
scope. Jika melihat pada komponen MK tersebut, jelas sekali bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi kurang
memperhatikan kinerja (performance-based).

275

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

pada saat RAPBD dibahas. Kesalahan
kedua adalah tidak ada mekanisme
pemberitahuan kepada DPRD terkait
program-program menyangkut dana
dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak
dapat melakukan pengawasan (Pikiran
Rakyat, 10/1/2007).
Keluhan senada juga
disampaikan oleh Gubernur
Kalimantan Tengah, Agustin Teras
Narang, dalam Rapat Konsultasi
Departemen Dalam Negeri dan
Gubernur se-Indonesia tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Jakarta tanggal
5/9/2006. Dia menyatakan bahwa
pembangunan daerah efektif apabila
hubungan pemerintah dan provinsi
sinkron. Oleh karenanya, pemerintah
seharusnya mulai mempercayakan
pengelolaan dana itu ke gubernur agar
dana bisa lebih bermanfaat. Sebab,
kepercayaan pusat kepada daerah akan
memacu kepala daerah membangun
wilayahnya, dan daerah akan
mengimbangi dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas (Tempo
Interaktif, 5/9/2006). Teras Narang
juga menyarankan agar alokasi
pendanaan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tetap dilakukan
pemerintah pusat namun dengan
melibatkan pemerintah
provinsi/gubernur dalam perencanaan,
operasional teknis, penyaluran,
maupun pengalokasian. Dengan
begitu, ada sinergi dengan yang
diinginkan kabupaten/kota dalam satu
provinsi (Kompas, 7/9/2006). Posisi
Gubernur yang seolah-olah lepas dari
program dan dana dekonsentrasi
menjadi sangat dilematis, karena jika
terjadi kesalahan dalam
implementasinya kepala daerah juga
i k u t m e n a n g g u n g n y a ( Te m p o

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

Interaktif, 24/8/2006).
Hal ini juga dirasakan oleh
Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang
menyebutkan bahwa saat ini masih
terdapat kontroversi antara
kewenangan perangkat pemerintah
pusat di provinsi seperti unit pelaksana
teknis (UPT) dengan kewenangan
gubernur selaku wakil pemerintah
pusat. Selain itu, gubernur mengalami
kesulitan dalam mengimplemantasikan
rencana investasi, pembangunan
infrastruktur, dan pengembangan
ekonomi karena terkendala oleh
ketatnya peraturan pusat yang harus
dipenuhi (Kompas, 22/11/2008).
Jika seorang gubernur (dalam
kedudukan selaku wakil pemerintah
pusat) tidak memiliki kontrol yang
efektif terhadap program dan dana
dekonsentrasi, ini berarti ada
permasalahan serius dalam dimensi
pertanggungjawaban. Selama ini,
mekanisme dan instrumen
pertanggungjawaban dana
dekonsentrasi diakui oleh banyak pihak
sangat tidak jelas. Anggota Panitia
Anggaran DPR-RI, Nasril Bahar,
menjelaskan bahwa kebiasaan
pemerintah daerah tidak
mempertanggungjawabkan dana
dekonsentrasi sudah terjadi sejak lama.
Selain itu, pengawasan juga sulit
dilakukan karena tidak termasuk dalam
mata anggaran di APBD sebagai
bantuan yang bersumber dari APBN.
Tidak jelasnya pelaporan anggaran ini
membuka peluang alokasi dana
dekonsentrasi tumpang tindih dengan
alokasi dana proyek pada APBD
(Sumut Pos, 1/2/2007).
Sebelumnya, Auditor Utama
Keuangan Negara II Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Soekoyo
menyatakan, dana dekonsentrasi yang

276
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

sudah dialirkan pemerintah pusat ke
daerah sejak tahun 2000 ternyata
penggunaannya tidak dilaporkan di
APBN, neraca pemerintah pusat, atau
di APBD. Akibatnya, ada potensi dana
yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun
tersebut menjadi sarana untuk
pencucian aset dan berpotensi tindak
pidana (Sumut Pos, 1/2/2007). Direktur
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Departemen Keuangan Hekinus
Manao menambahkan bahwa sejak
dana dekonsentrasi dikucurkan tahun
2001 sampai sekarang, pemerintah
pusat dan daerah tidak ada yang mau
mempertanggungjawabkan dana
tersebut, dan ini menjadi salah satu
penyebab terjadinya selisih angka
antara realisasi anggaran di departemen
dan realisasi anggaran yang
dikeluarkan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (Tempo
Interaktif, 12/2/2007).
Carut marut pertanggungjawaban
dana dekonsentrasi tersebut juga diakui
oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan
Negara Departemen Keuangan Herry
P u r n o m o . M e n u r u t H e r r y,
pertanggungjawaban dana
dekonsentrasi memang masih menjadi
masalah, dimana Gubernur mengeluh
tidak tahu ada penggelontoran dana
dekonsentrasi di daerahnya, sedangkan
aparat otonom (walikota/bupati)
merasa tidak mempunyai hubungan
pertanggungjawaban dengan
pemerintah pusat sehingga mereka
ogah-ogahan lapor (Tempo Interaktif,
12/2/2007).
Selain masalah pelaporan dan
pertanggungjawaban, kemungkinan
terjadinya tumpang tindih anggaran
juga menjadi problema yang cukup
pelik. Hal ini bahkan disampaikan
sendiri oleh Menteri Keuangan pada

277

Lokakarya Nasional Penguatan
Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal, Mei 2006 di Jakarta. Beliau
menyatakan bahwa dana dekonsentrasi
dan dana tugas perbantuan harus selalu
sinergis dan tidak tumpang tindih
dengan dana desentralisasi, meskipun
dalam kenyataannya kerap kali terjadi
tumpang tindih karena ketidakjelasan
mengenai pembagian urusan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah.
Oleh karena itu, penggunaan dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tersebut perlu diidentifikasi kembali
dan dievaluasi agar tidak mendanai
kegiatan yang seharusnya menjadi
kewenangan/urusan daerah. Terdapat
indikasi bahwa banyak kegiatan yang
seharusnya sudah menjadi kewenangan
daerah tetapi kegiatan tersebut masih
dibiayai dengan dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Untuk itu,
diperlukan suatu mekanisme
pengalihan dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan yang urusannya
sudah didaerahkan menjadi dana
alokasi khusus (DAK) untuk
menghindari pendanaan ganda tersebut
(Portal Depkominfo, 5/4/2006).
Hal tersebut sebenarnya sudah
diamanatkan oleh UU No 33 Tahun
2004 Pasal 108 yang menyatakan Dana
Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan yang merupakan bagian
dari anggaran kementerian
negara/lembaga yang digunakan untuk
melaksanakan urusan yang menurut
peraturan perundang-undangan
menjadi urusan Daerah, secara
bertahap dialihkan menjadi Dana
Alokasi Khusus. Sayangnya, hingga
saat ini belum ada Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang
pengalihan dana dekonsentrasi menjadi
DAK. Akibatnya, permasalahan yang

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

timbul sejak awal digulirkannya dana
dekonsentrasi masih terus terjadi.
Kemungkinan terjadinya
tumpang tindih sendiri tidak hanya
terjadi antara dana dekonsentrasi dan
dana tugas pembantuan dengan dana
desentralisasi, sebagaimana
sinyalemen Menteri Keuangan diatas.
Tumpang tindih juga bisa terjadi antara
dana dekonsentrasi (PBN) dengan dana
APBD. Dengan kondisi tersebut, dapat
membuka peluang terjadinya
inefisisensi bahkan penyelewengan
penggunaan anggaran, misalnya
kemungkinan aset-aset negara yang
dibelanjakan dengan dana
dekonsentrasi tidak teradministrasikan
dengan baik, sehingga memungkinkan
terjadi praktek pencucian aset (asset
laundering). Kekhawatiran tersebut
juga diungkapkan oleh Auditor Utama
Keuangan Negara II BPK RI Soekoyo
dan Direktur Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Departemen Keuangan
Hekinus Manao.
Menurut data BPK, puluhan
triliun rupiah dana dekonsentrasi yang
dikucurkan pemerintah pusat sejak
2001-2006 rentan diselewengkan
karena tidak jelas laporan
pertanggungjawabannya. Laporan
audit BPK atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) 2004
memastikan, seluruh departemen yang
mengucurkan dana dekonsentrasi tidak
dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada
periode 2001-2003, itu lebih buruk lagi
karena pemerintah sama sekali tidak

m e n y u s u n L K P P. P a d a 2 0 0 5 ,
pemerintah pusat mengucurkan dana
dekonsentrasi Rp 4 triliun dan
pertanggungjawabannya mengalami
kemajuan karena sebagian
dicantumkan dalam LKPP 2005.
Namun, BPK masih menemukan dana
dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun
belum dicantumkan dalam LKPP 2005.
Buruknya pelaporan dana
dekonsentrasi juga merupakan salah
satu penyebab BPK mengeluarkan
opini disclaimer terhadap LKPP 2004
8
dan 2005 (Portal BPK, 29/1/2007).
Sebagai gambaran, besaran dana
dekonsentrasi yang mengucur ke
daerah selama periode 2005-2007
secara berturut-turut adalah Rp. 17.972
milyar, Rp. 30.653 milyar, dan
9
Rp. 34.044 milyar. Ini berarti setiap
tahunnya mengalami peningkatan.
Sementara belanja untuk daerah yang
dialokasikan dalam APBN (sering
10
dikenal dengan dana desentralisasi),
untuk periode yang sama jumlahnya
juga meningkat, yakni Rp. 126.147
milyar, Rp. 217.031 milyar, dan Rp.
250.765 milyar (Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan, Departemen
Keuangan). Mengingat besarnya
belanja pemerintah yang bersumber
dari dana dekonsentrasi ini, maka wajar
jika muncul tuntutan untuk
penyempurnaan manajerial dalam
pengelolaan dana dekonsentrasi.
Untuk penyempurnaan kedepan,
diharapkan pengelolaan dana /
anggaran dekonsentrasi dapat

8

BPK juga menemukan pelanggaran dalam penggunaan dana dekonsentrasi di daerah. Sebagai contoh, dana
dekonsentrasi sector kesehatan di Sumatera Utara ternyata juga diperuntukkan untuk membangun gedung, yang
semestinya tidak boleh dipergunakan untuk pembangunan fisik (Portal BPK, 2006).
9
Diluar dana dekonsentrasi ini, masih ada belanja pusat di daerah pada kategori dana tugas pembantuan, yang
besarnya berturut-turut adalah Rp. 12.120 milyar (2005), Rp. 5.620 milyar (2006), dan Rp. 9.429 milyar (2007).
10
Dana desentralisasi adalah belanja untuk daerah yang terdiri dari komponen dana bagi hasil (DBH), dana alokasi
umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana penyesuaian (DP), dana otsus (2% DAU Nasional), serta dana
tambahan infrastruktur.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

278
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

dilakukan dengan menempuh empat
tahap minimal berbasis kinerja
(performance-based), yakni
perencanaan kinerja, pelaksanaan
kinerja, penilaian dan review kinerja,
serta pembaharuan kinerja dan kontrak

Perencanaan
Kinerja
Dekonsentrasi

Pembaharuan
Kinerja dan
Kontrak
Ulang

ulang sebagai dasar perencanaan tahun
berikutnya. Dalam bentuk model,
siklus manajemen dana (dan program)
dekonsentrasi dapat digambarkan
sebagai berikut, sebagai rekomendasi
untuk penyempurnaan ke depan.

Pelaksanaan
Kinerja
Dekonsentrasi

Penilaian
Kinerja dan
Review
Kinerja

Sumber: konstruksi penulis (2009).

Gambar 1.
Siklus Manajemen Dekonsentrasi (Proyeksi ke Depan)
2. Aspek Substansial
Sebagaimana telah disinggung
pada Bab 2 diatas, dekonsentrasi secara
teoretis memiliki korelasi yang kuat
dengan desentralisasi. Pada
hakekatnya keduanya berhubungan
dengan transfer kewenangan dari pusat
ke daerah, hanya dalam desentralisasi
terjadi penyerahan secara penuh/luas,
sedangkan dalam dekonsentrasi hanya
bersifat pemencaran saja namun
kewenangan masih tetap berada
ditangan pusat.

279

Namun dalam prakteknya,
seringkali desentralisasi dan
dekonsentrasi dipahami sebagai dua
hal yang berseberangan. Berbagai
program yang memperbesar peran
pemerintah pusat selalu diidentikkan
sebagai hasrat melakukan
resentralisasi. Dampaknya,
dekonsentrasi sebagai konsep atau
konstruksi penataan hubungan antar
susunan pemerintahan, menjadi tidak
popular dan cenderung ditolak. Purwo
Santoso (Jawa Pos, 27/12/2007)

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

mengungkapkan bahwa dengan
pemberlakuan PP No. 38/2007 dan PP
No. 41/2007, tidak ada lagi alasan
untuk menyangkal bahwa resentralisasi
telah berlangsung. Diberlakukannya
kedua PP tersebut menandai
terpasangnya kembali fondasi
pemerintahan sentralistis, yang justru
hendak dibongkar melalui UU No
22/1999.
Kritik serupa tentang
inkonsistensi pusat dalam mendorong
desentralisasi juga dikemukakan oleh
Eko Prasojo (Jawa Pos, 27/12/2007).
Menurut Eko, hingga memasuki 2008
penyelenggaraan otonomi daerah
direfleksikan oleh banyaknya
inkonsistensi pemerintah pusat. Hal itu
mengindikasikan belum siapnya
pemerintah pusat untuk mengubah
paradigma pemerintahan yang
sentralistik ke arah pemerintahan yang
desentralistik. Inkonsistensi
pemerintah pusat terjadi secara vertikal
dan horizontal.
Secara vertikal, inkonsistensi
tersebut dicerminkan berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang
tidak harmonis dan tidak sinkron.
Sering ketentuan pengaturan dalam
peraturan pemerintah mereduksi isi UU
tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini
misalnya nampak dari pengambilalihan
kembali urusan bidang pertanahan
yang sudah diserahkan UU 22/2007
kepada pemerintah daerah. Pada sisi
lain, berbagai macam peraturan
perundang-undangan sering
mengalami perubahan yang sangat
cepat dan tidak memperhatikan
kemampuan daerah untuk
mengimplementasikannya.
Sedangkan inkonsistensi secara
horizontal bisa dilihat dari tidak
harmonisnya ketentuan peraturan

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

perundang-undangan antarsatu sektor
dengan sektor lain. Bahkan, sebagian
aparatur penyelenggara negara di
Kementerian dan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen masih memiliki
paradigma dan pemikiran yang
sentralistik. Hal itu, misalnya,
direfleksikan dengan semakin
banyaknya Unit Pelaksana Teknis
(UPT), balai-balai, dan kantor-kantor
regional dari Kementerian dan
Lembaga Pemerintah Non Departemen
di daerah. Tujuan didirikannya
berbagai lembaga teknis pusat di
daerah merupakan kegamangan dan
ketidakrelaan sektor di pusat terhadap
kewenangan yang sudah diserahkan
kepada pemerintah daerah.
Namun disisi lain, Eko juga
mengakui bahwa ketiadaan perangkat
dekonsentrasi di tingkat
kabupaten/kota menyebabkan sulitnya
koordinasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Sebab, Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah tidak memiliki perangkat
dekonsentrasi untuk menjalankan
peran dan fungsinya tersebut.
Dari penjelasan Eko Prasojo
diatas dapat disimpulkan adanya dua
faktor yang menyebabkan
inkonsistensi dalam praktik
penyelenggaraan otonomi daerah,
yakni ketidakrelaan sektor
(departemen) di pusat terhadap
kewenangan yang diserahkan kepada
daerah, serta ketiadaan perangkat
dekonsentrasi. Selain kedua faktor
tersebut, sebenarnya masih bisa
ditambah satu faktor lagi, yakni
kejelasan kewenangan dekonsentrasi
yang dijalankan pemerintah pusat
secara limitatif, serta kejelasan
kewenangan dekonsentrasi yang
dilimpahkan kepada perangkat

280
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

dekonsentrasi di daerah.
Sejauh ini identifikasi jenis
kewenangan-kewenangan yang
dikategorikan sebagai kewenangan
dekonsentrasi belum dilakukan secara
jelas dan tegas oleh pemerintah (belum
ada aturan perundangan-undangan
yang lebih operasional). Walaupun
pemerintah telah mengeluarkan PP No.
38/2007 tentang pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota,
namun tidak mengatur dengan jelas
terkait dengan kriteria-kriteria tertentu
yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat yang didekonsentrasikan kepada
gubernur. Sebab, PP No. 38/2007
memang lebih banyak mengatur
bidang-bidang urusan yang
didesentralisasikan, sedangkan urusan
dekonsentrasi semestinya diturunkan
lagi dari rincian urusan pemerintah
pusat yang telah ditetapkan dalam PP
No. 38/2007 tersebut.
Kewenangan dekonsentrasi, jika
dapat dirinci secara limitatif akan
memiliki banyak nilai positif dan
keuntungan, misalnya, pertama,
sebagai pedoman bagi Gubernur untuk
menjamin efektivitas fungsi
pemerintah pusat di tingkat daerah.
Dengan kata lain, kejelasan fungsi
dekonsentrasi tadi akan memperkuat
ikatan NKRI. Kedua, dapat
menghindarkan kemungkinan
terjadinya tumpang tindih/overlap
kegiatan antara program departemen
dengan program pemprov, dan ketiga
merupakan entry point untuk
mengucurkan dana APBN dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintah
di daerah, karena kucuran dana dalam
kerangka pembiayaan program yang
tidak jelas (karena belum

281

dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai
bentuk inefisiensi yang rendah tingkat
akuntabilitasnya.
Saat ini, regulasi yang paling
konkrit mengatur tentang
dekonsentrasi adalah PP No. 7/2008,
namun didalamnya tidak ditemui
tentang rincian isi kewenangan yang
dapat didekonsentrasikan. PP ini lebih
banyak mengatur tentang tata cara
penyelenggaraan dekonsentrasi, tetapi
lupa tidak mengatur sisi substansial.
Sementara itu, regulasi sebelumnya
yaitu PP No. 39/2001 sebenarnya lebih
maju dibanding PP penggantinya.
Dalam PP No. 39/2001 ini sudah
memberi batasan kewenangan yang
dilimpahkan kepada gubernur selaku
perangkat pemerintah pusat, meliputi
sebagai berikut:
a) Aktualisasi nilai-nilai Pancasila
sebagai Dasar Negara, dan UndangUndang Dasar 1945 serta sosialisasi
kebijaksanaan nasional di daerah;
b) Koordinasi wilayah, perencanaan,
pelaksanaan, sektoral,
kelembagaan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian;
c) F a s i l i t a s i k e r j a s a m a d a n
penyelesaian perselisihan antar
daerah dalam wilayah kerjanya;
d) Pelantikan bupati/walikota;
e) Pemeliharaan hubungan yang serasi
antara pemerintah dengan daerah
otonom di wilayahnya dalam
rangka memelihara dan menjaga
keutuhan NKRI;
f) Fasilitasi penerapan dan penegakan
peraturan perundang-undangan;
g) Pengkondisian terselenggaranya
pemerintahan daerah yang baik,
bersih dan bertanggung jawab, baik
yang dilakukan oleh Badan
Eksekutif Daerah maupun Badan
Legislatif Daerah;

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

h) Penciptaan dan pemeliharaan
ketenteraman dan ketertiban umum;
I) Penyelenggaraan tugas-tugas
umum pemerintah lainnya yang
tidak termasuk dalam tugas instansi
lain;
j) Pembinaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah
kabupaten/kota;
k) Pengawasan represif terhadap
Peraturan Daerah, Keputusan
Kepala Daerah, dan Keputusan
DRPD serta Keputusan Pimpinan
DPRD Kabupaten/Kota;
l) P e n g a w a s a n p e l a k s a n a a n
administrasi kepegawaian dan karir
pegawai di wilayahnya sesuai
dengan peraturan perundangundangan; dan
m) Pemberian pertimbangan terhadap
pembentukan, pemekaran,
penghapusan, dan penggabungan
daerah.
Sayangnya, kewenangan tersebut
diatas hanya berkenaan dengan bidang
pemerintahan umum, dan belum
meliputi urusan-urusan pemerintahan
lainnya secara sektoral. Sementara
dalam praktek, yang lebih terjadi
adalah pelaksanaan sebagian tugas
departemen teknis/sektor. Kondisi ini,
sekali lagi, mencerminkan adanya
implementation gap dalam penerapan
kebijakan dekonsentrasi.
PP No. 7/2008 sendiri lebih
banyak mengatur tentang prosedur atau
mekanisme dekonsentrasi, dan tidak
banyak menyentuh aspek substansial.
Ruang lingkup dekonsentrasi (dan
tugas pembantuan) hanya dipersepsi
sepanjang mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana,
pertanggungjawaban dan pelaporan,
pembinaan dan pengawasan,
pemeriksaan, serta sanksi (pasal 8-10).

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

Sedangkan aspek substantif diatur
dalam pasal 13 yang menyatakan
bahwa: “Urusan pemerintahan yang
dapat dilimpahkan dari Pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah merupakan sebagian
urusan pemerintahan yang menurut
peraturan perundang-undangan
ditetapkan sebagai urusan
Pemerintah”.
Bunyi pasal 13 diatas
mengilustrasikan bahwa PP No. 7/2008
menggantungkan diri pada produk
kebijakan lain yang secara khusus
mengatur tentang substansi
kewenangan pemerintah pusat dan
daerah. Dalam hal ini, ketentuan yang
dimaksud adalah PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Ironisnya, PP ini
tidak menyediakan penjelasan tentang
proses maupun kriteria pelimpahan
urusan pemerintah kepada gubernur
selaku wakil pemerintah. Kondisi
seperti inilah yang menjelaskan
mengapa praktek dekonsentrasi
menjadi sangat lambat dan tidak
memiliki kejelasan hingga saat ini,
bahkan cenderung menimbulkan
permasalahan administratif seperti
pertanggungjawaban, tumpang tindih
urusan, hingga masalah inefisiensi
anggaran sebagaimana telah
dipaparkan secara detail pada awal
Bab ini.
Dalam perspektif kedepan,
kejelasan kewenangan yang perlu atau
akan didekonsentrasikan kepada
perangkat pusat di daerah menjadi
kebutuhan mendesak. Rincian
kewenangan dekonsentrasi tersebut
sedapat mungkin meliputi urusan

282
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

mutlak (kewenangan absolut)
pemerintah pusat yang terdiri dari
enam bidang urusan (pasal 10 UU No.
32/2004), namun harus mencakup pula
urusan-urusan besama (kewenangan
c o n c u r re n t ) . L i m i t a s i u r u s a n
dekonsentrasi yang mencakup urusan
absolut diperlukan untuk mencegah
tumpang tindih di antara instansi di
tingkat pusat (kementerian dan
lembaga) dengan perangkatnya di
daerah, sedangkan limitasi urusan
dekonsentrasi yang berhubungan
dengan urusan bersama (concurrent)
diperlukan untuk menjamin tidak
adanya tumpang tindih antara instansi
pusat (sebagai pihak yang
melimpahkan urusan) dengan
perangkat gubernur (sebagai pihak
yang menjalankan urusan yang
dilimpahkan). Tanpa adanya kejelasan
dan limitasi urusan yang akan
didekonsentrasikan (baik dari urusan
absolute maupun concurrent) tadi,
maka efektivitas dan efisiensi
pemerintahan daerah tidak akan pernah
terwujud secara optimal.
PERANGKAT DEKONSENTRASI
Studi awal tentang pemerintahan
Provinsi (provincial government) dan
kewenangan yang melekat padanya
diawali oleh terbentuknya the British
North America Act 1867 (BNA Act).
UU yang menjadi dasar lahirnya
Negara Kanada ini membentuk 3 (tiga)
provinsi, yakni Nova Scotia, New
Brunswick, dan Province of Canada.
Dalam bagian Pembukaan BNA Act
dikatakan bahwa ketiga provinsi tadi
secara integral berada dibawah kontrol
Kerajaan Inggris Raya dan memiliki
hukum dasar yang serupa dengan
konstitusi Kerajaan (federally united
into One Dominion under the Crown of

283

the United Kingdom of Great Britain
and Ireland with a constitution similar
in principle to that of the United
Kingdom). (Bellamy, Pammet and
Rowat, 1976).
Ketentuan diatas menyiratkan
bahwa provinsi merupakan unit
pemerintahan yang sepenuhnya
menjalankan tugas yang
diberikan/dilimpahkan oleh
Pemerintah Pusat, dan oleh karenanya
dikontrol sepenuhnya pula oleh Pusat.
Meskipun provinsi diberikan
kewenangan-kewenangan otonom
melalui Konstitusi Provinsi, namun
tetap mencerminkan representasi
pemerintah Pusat. Dengan kata lain,
meskipun menjalankan fungsi
desentralisasi, namun provinsiprovinsi tersebut sekaligus juga
mengimplementasikan fungsi
dekonsentrasi.
Dalam wacana hubungan antara
pemerintah Pusat dan pemerintah
Daerah, berbagai khazanah akademik
menggambarkan bahwa unit
pemerintahan Provinsi (provincial
government) sering berfungsi sebagai
unit penghubung (intermediate
administrative entity) antara Pusat dan
Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai
unit intermediasi ini, Provinsi memiliki
2 (dua) posisi monopoli, yaitu sebagai
”agen tunggal” dalam menjabarkan
kebijakan Pusat yang menyangkut
urusan kepemerintahan daerah, serta
”agen tunggal” yang menyediakan
seluruh informasi tentang daerah
kepada Pusat (Schiavo-Campo dan
Sundaram, 2000).
Sebagai ilustrasi, Konstitusi
Afrika Selatan membentuk tiga
“ s p h e re s ” p e m e r i n t a h ( b u k a n
“tingkat”), untuk menekankan aspek
kerjasama antar jurisdiksi yang saling

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

melengkapi satu sama lain
(cooperative government). Aspek
hirarkis antara Provinsi dengan
municipalities tetap ada dan terdapat
di beberapa ketentuan dalam UUD,
namun terbatas pada sistim
monitoring, pembinaan dan supervisi.
Provinsi merencanakan secara
strategis, dan mendukung proses
perencanaan municipalities. Pasal 155
(7) UUD memberikan hak baik kepada
pemerintah nasional maupun
pemerintah provinsi untuk menetapkan
legislasi dan tindakan administratif
untuk menjamin prestasi
municipalities. Pemerintah provinsi
diberikan hak untuk mengintervensi
dalam penyelenggaraan pemerintahan
municipalities agar standar pelayanan
minimal tercapai dan mandat
konstitutional municipalities secara
keseluruhan dipenuhi (GTZ-SfDM dan
USAID-PERFORM, 2003).
Ide dasar dari pemikiran para ahli
seperti disebutkan diatas adalah perlu
adanya sharing kewenangan dan/atau
tanggungjawab antar level
pemerintahan dalam bidang urusan
tertentu.
Di Indonesia, dengan adanya
perubahan bandul desentralisasi
semenjak tahun 1999, timbullah efek
loncatan katak (leapfrogging effect),
yakni terjadinya transfer kewenangan
dan sumberdaya pusat langsung kepada
kabupaten/kota. Pada saat yang sama,
terjadi pula transfer sebagian
kewenangan dan sumberdaya dari
provinsi. Proses inilah yang
menjadikan fungsi dan peran provinsi
menjadi tidak lagi signifikan. Sebagai
ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004
hanya memberikan tiga
tugas/wewenang gubernur selaku
wakil pemerintah, yaitu koordinasi,

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

pembinaan, dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan tugas pembantuan di daerah. Hal
ini menyiratkan bahwa fungsi atau
peran gubernur (kepala pemerintahan
provinsi) menjadi berkurang atau
mengalami efek trade-off dengan
bergulirnya otonomi luas. Dalam posisi
yang melemah tadi, provinsi relatif
kehilangan pengaruh terhadap
kabupaten/kota, baik dalam aspek
perencanaan, koordinasi, pengawasan,
pembinaan, dan evaluasi / monitoring
penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
Kondisi ini diperberat dengan
kenyataan bahwa perangkat
dekonsentrasi semenjak 1999 hanya
dilaksanakan oleh gubernur, sedangkan
pada tahun sebelumnya berdasarkan
UU No. 5/1974, perangkat
dekonsentrasi adalah pemerintahan
wilayah yang terdiri dari kepala
wilayah (yang dirangkap oleh kepala
daerah), serta kantor-kantor wilayah
sebagai kepanjangan kementerian di
tingkat pusat. Secara logika, tidaklah
mungkin gubernur menjalankan tugastugas dekonsentrasi seorang diri.
Konsekuensinya, tugas-tugas
dekonsentrasi akhirnya dijalankan oleh
dinas-dinas daerah atau perangkat
daerah lainnya.
Tentu saja, pelaksanaan tugas
dekonsentrasi oleh perangkat
desentralisasi ini dapat menimbulkan
permasalahan baru. Tidak
terintegrasinya fungsi dekonsentrasi
dan desentralisasi dapat
mengakibatkan timbulnya tumpang
tindih, kekaburan, dan duplikasi tugas.
Selain itu, beban kerja perangkat
daerah juga semakin besar, dan ini akan
menyebabkan tingkat efektivitas
menjadi menurun. Masalah ini belum

284
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

termasuk persoalan administratif
seperti siklus perencanaan
dekonsentrasi, model pelaporan dan
pertanggungjawaban, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, model kelembagaan
dekonsentrasi yang tepat, akan
menentukan keberhasilan program
dekonsentrasi tersebut. Dengan kata
lain, penataan kelembagaan
dekonsentrasi semestinya
diintegrasikan dengan penataan
kewenangan dan pengaturan aspek
penganggaran dekonsentrasi.
Secara historis, perangkat
penyelenggara dekonsentrasi memang
berubah-ubah. Perubahan yang paling

mendasar terjadi pada periode UU No.
22/1999 dimana urusan pemerintahan
yang bersifat concurrent (dilaksanakan
bersama-sama oleh berbagai tingkat
pemerintahan), tidak ada lagi perangkat
pusat secara khusus yang
menjalankannya. Dalam hal ini, hanya
gubernur-lah satu-satunya perangkat
dekonsentrasi di tingkap provinsi,
sedangkan di kabupaten/kota tidak ada
satupun pejabat / instansi vertikalnya.
Secara lebih detail, perangkat
dekonsentrasi yang menjalankan
kewenangan / urusan yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat
dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004)
Dasar Hukum

Perangkat Penyelenggara Dekonsentrai

UU No. 22/1948

Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat
dekonsentrasi. Oleh arena pemerintahan daerah hanya
diselenggarakan berdasarkan 2 asas, yakni otonomi atau
penyerahan penuh dan medebewind atau penyerahan tidak penuh
(Penjelasan UU), maka tidak tergambar asas dekonsentrasi sama
sekali.
Namun, Kepala Daerah yang merangkap sebagai Kepala Dewan
Pemerintah Daerah, selain berkedudukan sebagai kepala daerah
otonom, bekedudukan juga selaku pejabat pemerintah Pusat.
Dalam fungsi ini, Kepala Daerah mengawasi pekerjaan DPRD
dan DPD. Ia berhak menahan dijalankannya suatu keputusan
kedua dewan apabila dianggap bertentangan dengan kepentingan
umum atau peraturan dari pemerintah Pusat atau Daerah yang
lebih tinggi (pasal 36).

UU No. 1/1957

Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat
dekonsentrasi, dan tidak dikenal pula istilah pemerintahan
wilayah. Hal ini disebabkan UU ini menganut sistem otonomi
riil, sehingga perumusan mengenai urusan rumah tangga daerah
bersifat umum.
Menurut penjelasan umum UU No. 1957/1, oleh karena
pertumbuhan dan dinamika kehidupan masyarakat serta faktorfaktor yang terdapat didalam masyarakat itu sendiri tidak
memungkinkan penetapan secara tegas manakah yang
merupakan urusan rumah tangga daerah dan manakah yang
termasuk urusan Pusat, maka pada asasnya tidak diadakan

285

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

pembagian kekuasaan (baca: kewenangan atau urusan) antara
Daerah dengan Pusat secara terperinci.
Secara implisit, prinsip pembagian kewenangan pusat dan daerah
dapat ditemukan dari ketentuan pasal 31 dan 38 sebagai berikut:
? 31 (ayat 1): Setiap daerah berhak mengatur dan
Pasal
mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya.
? 38 (ayat 2): Sebagai pembatasan terhadap hak itu ialah
Pasal
bahwa sesuatu daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok
(onderwerpen) dan hal-hal (punten) yang telah diatur dalam
peraturan perundangan (wetelijk regeling) dari pemerintah
Pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatnya.

UU No. 18/1965

Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat
dekonsentrasi. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa “Tidak
mungkin untuk menyusun perincian secara limitatif tentang
berbagai jenis urusan-urusan yang termasuk urusan rumah tangga
daerah yang seragam, malahan perincian yang demikian akan
tidak sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat daerah
yang bersangkutan”.
Namun untuk menegaskan batas-batas kewenangan daerah,
terdapat pengaturan sebagai berikut:
? kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya,
Dalam
daerah tidak dapat menjalankan kekuasaan diluar batas-batas
wilayah daerahnya.
?
Daerah tidak pula diperbolehkan mencampuri urusan rumah
tangga daerah lain, yang secara positif enumeratif telah
ditentukan dalam UU pembentukan sebagai tugas kewenangan
pangkal, dan urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam PP
atau Perda dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
?
Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan
memasuki hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah
dibawahnya.

UU No. 5/1974

? Wilayah (psl. 1, 76-81)
Kepala
?
Instansi vertikal (psl. 1, 85)

UU No. 22/1999

?
Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 9, 31)
?
Perangkat pusat di daerah atau Instansi vertikal (psl. 1, 64)
? propinsi (psl. 63)
Dinas

UU No. 32/2004

?
Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 10, 37)
?
Instansi vertikal (psl. 1)

Sumber: konstruksi penulis berdasarkan UU Pemerintahan Daerah 1948-2004

Dari perbandingan material UU
Pemerintahan Daerah (1948-2004)
diatas, maka kondisi umum perangkat

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

dekonsentrasi dapat dijelaskan dan
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
periode sebagai berikut:

286
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

1. P e r i o d e p e r t a m a : s e b e l u m
berlakunya UU No. 5/1974 (19481974).
Para periode ini, secara
umum dapat disimak adanya
kesamaan paradigma berpikir
tentang pemerintahan daerah
diantara UU No. 22/1948, UU No.
1/1957, dan UU No. 18/1965.
Kesamaan antara lain bahwa fungsi
dekonsentrasi belum terdefinisikan
dengan jelas dan konkrit, karena
memang belum dilakukan
pembagian kekuasaan /
kewenangan antar tingkatan
pemerintahan. Selain itu, meskipun
kepala daerah juga berkedudukan
selaku “wakil pemerintah” atau
membawa misi dan kepentingan
pusat, namun rincian tugas-tugas
selaku wakil pemerintah tadi belum
dilakukan. Fungsi yang dijalankan
selaku pejabat pemerintah pusat,
lebih banyak menjalankan fungsifungsi pemerintahan umum,
misalnya dalam rangka
pengawasan.
2. Periode kedua: masa berlakunya
UU No. 5/1974 (1974-1999).
Pada masa berlakunya UU
No. 5/1974, penyelenggaraan
dekonsentrasi dapat dikatakan
optimal dilihat dari perangkat yang
tersedia di tingkat daerah.
Persoalannya, jumlah instansi
vertikal terlalu banyak, sedangkan
rincian kewenangan dekonsentrasi
juga belum diidentifikasi secara
limitatif. Situasi surplus
kelembagaan seperti ini jelas dapat
menimbulkan inefisiensi
penggunaan sumber daya
(khususnya aspek kepegawaian dan
keuangan), disamping berpotensi
menimbulkan problem koordinasi

287

dengan perangkat pemerintah
daerah.
3. Periode ketiga: pasca penggantian
UU No. 5/1974 (1999-sekarang).
Adapun pada masa UU No.
22/1999 dan UU No. 32/2004,
perangkat dekonsentrasi menjadi
sangat sedikit. Instansi vertikal
yang masih dipertahankan adalah
instansi yang menjalankan urusan
mutlak pemerintah, sedang untuk
urusan bersama (concurrent), hanya
ada Gubernur selaku wakil
pemerintah yang menjadi perangkat
dekonsentrasi. Jika pada masa
sebelumnya terjadi surplus instansi
vertikal, maka semenjak tahun 1999
justru menjadi defisit perangkat
dekonsentrasi. Kondisi defisit
kelembagaan ini juga menimbulkan
persoalan baru, karena gubernur
mau tidak mau harus menitipkan
urusan dekonsentrasi kepada
perangkat desentralisasi. Persoalan
menjadi semakin pelik ketika
urusan dekonsentrasi ternyata tidak
diterima perangkat daerah dari
gubernur, tetapi langsung dari
kementerian / lembaga di tingkat
pusat.
Tentang kedudukan gubernur
selaku perangkat dekonsentrasi ini,
Prasojo (2008) menyimpulkan bahwa
otonomi daerah berdasarkan UU No.
22/1999 jo UU No. 32/2004 telah
menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmented administration) yang
b er l eb ih an d i k ab u p at en /k o ta.
Ketentuan pasal 4 UU No. 22/1999
yang menyebutkan tidak adanya hirarki
antara propinsi dan kabupaten/kota
telah menyebabkan lemahnya peran
dan fungsi Gubernur. Gubernur tidak
dapat melakukan pengawasan,

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA
Tri Widodo W. Utomo

pembinaan dan koordinasi
penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di kabupaten/kota.
Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan
secara langsung, tanpa melalui
gubernur. Peran dan fungsi Gubernur
menjadi mandul. Pada tataran ideal,
seharusnya problem-problem
penyelenggaraan pemerintahan daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di
tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya
batas-batas budaya di level
kabupaten/kota berhimpit dengan
batas-batas administratif yang
mengakibatkan kuatnya egoisme
daerah dan kesukuan. UU No. 32/2004
yang dimaksudkan untuk mengurangi
masalah seperti itu, ternyata belum
mampu merubah paradigma
bupati/walikota yang terlanjur sudah
terbentuk.
Dari ketiga pembabakan waktu
diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi
dan kewenangan dekonsentrasi
sepanjang sejarah pemerintahan RI
sesungguhnya belum berjalan
sepenuhnya. Dekonsentrasi secara
faktual masih menjadi komplemen atau
pelengkap dari asas desentralisasi.
Dalam hal ini, dari berbagai UU
Pemerintahan Daerah yang ada, hanya
UU No. 18/1965 yang berani secara
tegas menyebutkan bahwa
dekonsentrasi adalah komplemen dari
desentralisasi. Keseriusan pemerintah
untuk menjalankan fungsi
dekonsentrasi ini sangat lemah, baik
dilihat dari ketiadaan peraturan
perundangan yang mendukungnya
maupun kekurangjelasan mekanisme
penganggaran beserta
pertanggungjawabannya. Uniknya,
meskipun kebijakan pemerintah dari
masa ke masa merefleksikan bahwa

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012

dekonsentrasi lebih merupakan
pelengkap, namun dalam realitanya
peran dan intervensi pemerintah pusat
masih cukup dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kondisi ketidakjelasan konsep
dan implementasi fungsi dekonsentrasi
seperti dipaparkan diatas tentu tidak
dapat dipertahankan berlarut-larut.
Dilihat dari dimensi perangkat
penyelenggaranya, maka prospek
penataan kelembagaan dekonsentrasi
dapat dikembangkan dari beberapa
alternatif atau model dibawah ini:
1. Model efisiensi.
Semangat dasar dari model
efisiensi adalah pemerintahan yang
sedikit mengatur (least government)
sehingga dapat dicegah adanya
tumpang tindih program sekaligus
dapat diciptakan penghematan
dalam penggunaan sumber daya
(resources). Dengan pola pikir ini,
maka perangkat dekonsentrasi tetap
dipertahankan ramping seperti yang
dianut dalam UU No. 22/1999 dan
UU No. 32/2004, yakni hanya
gubernur selaku wakil pemerintah.
Namun konsekuensinya, fungsi
atau kewenangan dekonsentrasi
yang dijalankan gubernur hanya
menyangkut fungsi pemerintahan
umum seperti koordinasi,
pengawasan dan pengendalian,
penegakan peraturan perundangan,
penciptaan keamanan dan
ketertiban, pembinaan ideologi
negara dan persatuan bangsa, atau
perencanaan pembangunan yang
terintegrasi. Kalaupun ada fungsifungsi pemerintah pusat yang akan
ditransfer kepada daerah, maka bisa
diwadahi kedalam asas delegasi
atau tugas pembantuan.

288
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012

More Related Content

What's hot

Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNS
Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNSKompetensi Pelayanan Publik bagi CPNS
Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNSHeru Syah Putra
 
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...Ahmad Irfansyah
 
Hasil ikm kab_kp_2013
Hasil ikm kab_kp_2013Hasil ikm kab_kp_2013
Hasil ikm kab_kp_2013Ista Istanti
 
Tabel seminar konsentrasi
Tabel seminar konsentrasiTabel seminar konsentrasi
Tabel seminar konsentrasiSefnad Bagau
 
Bab i irman
Bab i irmanBab i irman
Bab i irmanuyeeeman
 
Makalah kebijakan publik
Makalah kebijakan publikMakalah kebijakan publik
Makalah kebijakan publikMohammad Nawawi
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalBrigita Manohara
 
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRIPeran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRITri Widodo W. UTOMO
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Mus kamal
 
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi Publik
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi PublikBuku: Implementasi Hak Atas Informasi Publik
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi PublikYogi Fachri Prayoga
 
Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Portal Surya
 

What's hot (20)

Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNS
Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNSKompetensi Pelayanan Publik bagi CPNS
Kompetensi Pelayanan Publik bagi CPNS
 
Manajemen ASN
Manajemen ASNManajemen ASN
Manajemen ASN
 
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
 
Pelayanan publik
Pelayanan publikPelayanan publik
Pelayanan publik
 
Yuni nasrul latifi 14220019
Yuni nasrul latifi 14220019Yuni nasrul latifi 14220019
Yuni nasrul latifi 14220019
 
Hasil ikm kab_kp_2013
Hasil ikm kab_kp_2013Hasil ikm kab_kp_2013
Hasil ikm kab_kp_2013
 
Tabel seminar konsentrasi
Tabel seminar konsentrasiTabel seminar konsentrasi
Tabel seminar konsentrasi
 
Bab i irman
Bab i irmanBab i irman
Bab i irman
 
HARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONALHARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONAL
 
Ipc
IpcIpc
Ipc
 
Makalah kebijakan publik
Makalah kebijakan publikMakalah kebijakan publik
Makalah kebijakan publik
 
623 9044-1-pb
623 9044-1-pb623 9044-1-pb
623 9044-1-pb
 
Whole of Government (WoG)
Whole of Government (WoG)Whole of Government (WoG)
Whole of Government (WoG)
 
Teropong | November 2013
Teropong | November 2013Teropong | November 2013
Teropong | November 2013
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminal
 
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRIPeran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
Peran dan Kedudukan ASN Dalam NKRI
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
 
Fix
FixFix
Fix
 
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi Publik
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi PublikBuku: Implementasi Hak Atas Informasi Publik
Buku: Implementasi Hak Atas Informasi Publik
 
Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013
 

Similar to Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012

9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdfihsan583652
 
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governanceAdimarsi
 
Percepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiPercepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiEko Supriyadi
 
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI Witra Apdhi Almash
 
Birokrasi di Indonesia
Birokrasi di IndonesiaBirokrasi di Indonesia
Birokrasi di IndonesiaIQChannel
 
Executive Summary IGI 2014 lengkap
Executive Summary IGI 2014 lengkapExecutive Summary IGI 2014 lengkap
Executive Summary IGI 2014 lengkapLenny Hidayat
 
20210225101816 f__13_sigit_erstanto_stula_individu
20210225101816  f__13_sigit_erstanto_stula_individu20210225101816  f__13_sigit_erstanto_stula_individu
20210225101816 f__13_sigit_erstanto_stula_individuhendarpujaanugrah
 
Tugas Kelompok I.pptx
Tugas Kelompok I.pptxTugas Kelompok I.pptx
Tugas Kelompok I.pptxHKIRiau
 
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdf
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdfArtikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdf
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdfMARYONSWPOHWAIN
 
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docMASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docsyakurabdul2
 
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...Tri Widodo W. UTOMO
 
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...fathur111079
 
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016Hafisi Badri
 
Modul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakModul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakHarun Surya
 
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas Publik
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas PublikKonsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas Publik
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas PublikTri Widodo W. UTOMO
 

Similar to Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012 (20)

9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
9-Article Text-10-1-10-20210420.pdf
 
baru.pdf
baru.pdfbaru.pdf
baru.pdf
 
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance
21947378 manajemen-strategi-sektor-publik-langkah-tepat-menuju-good-governance
 
Percepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiPercepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsi
 
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI
PENGELOLAAN PENGADUAN MASYARAKAT KOTA BEKASI
 
Birokrasi di Indonesia
Birokrasi di IndonesiaBirokrasi di Indonesia
Birokrasi di Indonesia
 
Executive Summary IGI 2014 lengkap
Executive Summary IGI 2014 lengkapExecutive Summary IGI 2014 lengkap
Executive Summary IGI 2014 lengkap
 
5902 14320-1-sm
5902 14320-1-sm5902 14320-1-sm
5902 14320-1-sm
 
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
2. Sistem Manajemen Kinerja ASN (2021).pdf
 
20210225101816 f__13_sigit_erstanto_stula_individu
20210225101816  f__13_sigit_erstanto_stula_individu20210225101816  f__13_sigit_erstanto_stula_individu
20210225101816 f__13_sigit_erstanto_stula_individu
 
Dimana Peran BUMN ?
Dimana Peran BUMN ?Dimana Peran BUMN ?
Dimana Peran BUMN ?
 
Tugas Kelompok I.pptx
Tugas Kelompok I.pptxTugas Kelompok I.pptx
Tugas Kelompok I.pptx
 
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdf
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdfArtikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdf
Artikel+Sitti+Rakhman+5-28.pdf
 
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.docMASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK.doc
 
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...
Prospek Restrukturisasi Pemerintah dalam rangka Pengembangan Kemitrausahaan d...
 
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
 
Outline penelitian
Outline penelitianOutline penelitian
Outline penelitian
 
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016
Jurnal analisis-kebijakan-volume-1-nomor-1-tahun-2016
 
Modul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetakModul manajemen asn cetak
Modul manajemen asn cetak
 
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas Publik
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas PublikKonsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas Publik
Konsep Open Government Untuk Memperkuat Akuntabilitas Publik
 

More from Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN

Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNPolicy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBuku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 

More from Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN (20)

Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
Policy Paper Strategi Kebijakan Penguatan Pelayanan Investasi di Daerah Tahun...
 
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKNPolicy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
Policy Paper: Strategi Kebijakan Pengembangan ASN Daerah Penyangga/ Mitra IKN
 
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdfBuku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
Buku Policy Brief-Telaah Isu Strategis-Penyederhanaan Birokrasi (final) 2022.pdf
 
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
Penguatan Daerah Penyangga Ibu Kota Negara (IKN)
 
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
Pengenalan Pengelolaan Jurnal Borneo Administrator-2020
 
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
Kajian penguatan daerah penyangga dalam mendukung IKN 2020
 
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
Konsep Perhitungan Tunjangan Transport atau Tunjangan Mobilitas Kerja Sebagai...
 
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
survey kepuasan masyarakat & survey kepuasan pegawai 2020
 
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
Daftar berita inovasi melawan corona (jilid 1)
 
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
Ekspose Kajian Kepemimpinan Kewirausahaan Daerah 2019
 
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASNPolicy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
Policy Brief Optimalisasi Pengawasan Netralitas ASN
 
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASNPolicy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
Policy Brief Pelaksanaan Kebijakan Netralitas ASN
 
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
Kajian aktualisasi revolusi mental-PKP2A III LAN 2017
 
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpimKajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
Kajian pemetaan kemanfaatan proyek perubahan pasca diklatpim
 
Telaahan TPP Kaltim 2016
Telaahan TPP Kaltim 2016Telaahan TPP Kaltim 2016
Telaahan TPP Kaltim 2016
 
Policy Brief 2016 (Diskresi)
Policy Brief 2016 (Diskresi)Policy Brief 2016 (Diskresi)
Policy Brief 2016 (Diskresi)
 
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
Policy Brief 2016 (Potensi SDM)
 
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
Policy Brief 2016 (Peningkatan Kapasitas Desa)
 
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
Policy Brief 2016 (kapasitas desa)
 
Presentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
Presentasi potensi SDM sebatik/ PerbatasanPresentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
Presentasi potensi SDM sebatik/ Perbatasan
 

Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012

  • 1.
  • 2. Jurnal BORNEO ADMINISTRATOR Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara ISSN: 1858-0300 Anggota ISBN/KDN No. 979-99635-1-6 Akreditasi LIPI No. : 505/AUI/P2MI-LIPI/10/2012 Vol. 8 No. 3 Tahun 2012 Jurnal Borneo Administrator diterbitkan 3 kali setiap tahun oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN). Pengarah: Kepala PKP2A III LAN Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Mariman Darto, SE., M.Si Redaktur: Siti Zakiyah, S.Si., MSE, MA. Mayahayati K., S.E., M.Ec.Dev Maria A.P. Sari, S.Sos. Penyunting: Lina Maulana, S.Sos. Tri Noor Aziza, SP. Tri Wahyuni, SH Mitra Bestari: Dr. Hj. Aji Ratna Kusuma, M.Si. (Perencanaan Pembangunan) Prof. Dr. Hj. Nur Fitriyah, MS. (Manajemen Publik, Sosiologi, Antropologi) Dr.rer.publ. Samodra Wibawa, M.Sc. (Administrasi Negara) Prof. H. Sarosa Hamongpranoto, SH., M.Hum. (Ilmu Hukum) Tri Widodo W. Utomo, SH., MA. (Hukum Tata Negara, Administrasi Publik) Sekretariat: Kemal Hidayah, SH Wildan Lutfi A., SE Royani, A.Md Alamat: Jl. H.M. Ardans, SH. (Ring Road III) Samarinda Telp. 0541-7040851, 7040852, Fax. 0541-737983 Email: borneo.jurnal@gmail.com; jurnal.borneo@samarinda.lan.go.id Website: http://www.samarinda.lan.go.id/ CALL FOR PAPER: Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis mengenai isu-isu dalam lingkup bidang administrasi publik. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul dan Abstrak/Abstract ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalui pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Peer Reviewer). Dan terhadap naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 I
  • 3. Jurnal BORNEO ADMINISTRATOR Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara ISSN: 1858-0300 Anggota ISBN/KDN No. 979-99635-1-6 Daftar Isi Dari Sudut Tepian Mahakam Perilaku Permisif Masyarakat Terhadap Korupsi di Indonesia 254-258 Analisa Ø NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS TELAAH DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo DAMPAK Ø DESENTRALISASI DISKAL TERHADAP KORUPSI DI INDONESIA Bambang Saputra EFEKTIFITAS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LAYANAN Ø PUBLIK (Studi Kasus Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat pada Dinas Perijinan Kabupaten Bantul) Fajar Iswahyudi Ø PERUBAHAN-PERUBAHAN ORGANIZATIONAL DALAM DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN NUNUKAN SETELAH BERLAKUNYA U.U. PEMERINTAHAN DAERAH NO. 32/2004 Samodra Wibawa KEPENTINGAN POLITIK DAN EKONOMI KEPALA DAERAH DALAM Ø REFORMASI BIROKRASI : Kasus Reformasi Pelayanan Perizinan di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar Andi Luhur Prianto 259-292 293-309 310-340 341-360 361-382 Tinjauan Akademik Potret Praktek Akuntabilitas Kementrian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementrian di Indonesia 383-409 Lembar Abstraksi Lembar Abstraksi (Current Content) Tahun 2012 410-417 Indeks Naskah Indeks Naskah Tahun 2012 Berdasarkan Abjad Ucapan Terima Kasih 418-419 420 Petunjuk Penulisan II Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 1 | 2012
  • 4. Jurnal BORNEO ADMINISTRATOR Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara Salam Redaksi Pembaca yang budiman, Di penghujung tahun 2012, usia Jurnal Borneo Administrator (JBA) genap sewindu hadir di mata para pembaca. Perlahan namun pasti JBA terus berupaya meningkatkan mutu standarnya sebagai majalah ilmiah yang berkualitas, hal tersebut terbukti dengan terbitnya penilaian akreditasi dari LIPI bagi JBA di tahun 2010. Tidak berpuas diri dengan penilaian yang ada serta dengan tidak mengenyampingkan berbagai kekurangan disana-sini, redaksi mencoba terus mengupayakan penyempurnaan media ini baik dari segi isi maupun tampilan. Perubahan cover jurnal di awal tahun 2012 yang lebih polos, munculnya rubrik baru berupa Tinjauan Akademik menjadi sebagian upaya kami untuk mempertahankan diri sebagai majalah ilmiah terakreditasi. Terbukti setelah kurang lebih 2 tahun berupaya meningkatkan kualitas, LIPI kembali memberikan penilaian akreditasi kepada JBA di tahun 2012. Selain momen diatas, kami juga mencatat beberapa momen penting yang terjadi ditahun 2012, diantaranya adalah dilantiknya Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA sebagai Kepala LAN pada tanggal 21 Juni 2012. Agus Dwiyanto adalah pemimpin LAN pertama hasil seleksi open bidding atau penawaran terbuka, sejak lembaga ini berdiri pada tahun 1957. Ini merupakan hal baru bagi proses seleksi pimpinan lembaga pemerintah di Indonesia yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena semua orang yang berkompeten baik dari lingkungan pemerintah maupun swasta bisa menduduki Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 jabatan-jabatan strategis di instansi pemerintah untuk membawa dan memperbaiki kinerja pemerintah ke arah yang lebih baik. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah terjadinya pemekaran daerah di Kalimantan dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi provinsi ke-34. Terbentuknya Provinsi Kaltara ini menjadi asa baru bagi masyarakat yang berada di perbatasan untuk mendapatkan perhatian dan pelayanan yang lebih baik dari pemerintah. Akhirnya, di pergantian tahun ini, Redaksi dan segenap pengelola JBA menyampaikan banyak terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada para Mitra Bestari yang telah melakukan review naskah, serta para kontributor naskah yang selalu bersemangat melakukan perbaikan terhadap naskahnya. Redaksi juga memohon maaf kepada para penulis, Mitra Bestari dan pembaca sekalian atas segala kekurangan kami dalam proses pengelolaan jurnal selama ini. Tak lupa juga kami mengundang para pembaca sekalian untuk ikut berkontribusi dalam JBA dengan menyumbangkan pemikiran konseptual empirik mengenai administrasi pembangunan dan pemerintahan daerah, kebijakan publik, kemitraan dan pemberdayaan sektor privat, otonomi daerah, manajemen lingkungan berbasis masyarakat dan segala tema yang masih berkaitan dengan administrasi III
  • 5. negara. Semoga sekecil apapun yang kita lakukan bisa membawa manfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mari mulai melangkah di tahun 2013 ini dengan rasa syukur, doa dan IV optimisme dan semoga kesuksesan senantiasa bersama kita semua!Aamiin... Redaksi Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 6. Dari Sudut Tepian Mahakam Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme Perilaku Permisif Masyarakat Terhadap Korupsi di Indonesia Akhir tahun 2012 lalu ditutup dengan sejumlah fenomena korupsi yang makin merajalela dan telah masuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut muncul dari setidaknya tiga kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PATK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Bappenas melakukan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) 2012. Pertama, Pukat- Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH U G M ) Yo g y a k a r t a m e l a n s i r , berdasarkan catatan hasil penelitian tren korupsi sepanjang pertengahan tahun 2012, korupsi banyak dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda). Kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemda hampir menyebar di seluruh Indonesia.Tren korupsi ini berdasarkan analisis tren korupsi Juli-Desember 2012. Di mana terdapat 72 kasus korupsi. Kasus korupsi di pemda menduduki posisi teratas yang melibatkan pejabat pemda mencapai 30,56 persen.Aktor dan otak pelaku korupsi yang terjerat hukum dan pengadilan korupsi di pemda mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas hingga pejabat teknis dinas.Dari puluhan kasus itu, sebanyak delapan sektor kasus korupsi lebih banyak di sektor Penerimaan Anggaran Daerah (PAD) yakni sebanyak 21 kasus. Disusul Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 kemudian sektor pekerjaan umum (PU) sebanyak 13 kasus korupsi.Di posisi ketiga, korupsi di sektor keolahragaan dan pendidikan keagamaan sepanjang Juli-Desember mencapai 11 kasus. Kemudian diikuti sektor BUMN/BUMD sebanyak 9 kasus dan sektor penegakan hukum dengan total 7 kasus. Kedua, hasil Survei PPATK menyebutkan bahwa dari 560 anggota dewan di parlemen, setidaknya 42,71 persen terindikasi terlibat korupsi. Dibandingkan dengan anggota DPR periode sebelumnya, anggota DPR periode 2009-2014 makin “ganas” dalam menggangsir uang negara. Menurut data PPATK, pelaku praktek ini sebanyak 63 persen didominasi politikus berusia di atas 40 tahun, sedangkan politikus usia 30-40 tahun sebesar 14,6 persen. Modus yang dilakukan umumnya melalui penyalahgunaan jabatan, penggelembungan anggaran dan proyek fiktif. Transaksi yang digunakan adalah transaksi tunai dan dengan menggunakan jasa perbankan. Namun ada cara lain seperti asuransi dan sekuritas sebanyak 35,4 persen. Ketiga, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012, cukup mengejutkan banyak pihak. Survei tersebut menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung anti korupsi. Kecenderungan ini terbaca tidak hanya pada masyarakat di 254
  • 7. Dari Sudut Tepian Mahakam Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme wilayah perkotaan dan perdesaan saja, tidak hanya pada masyarakat berpendidikan tinggi saja, tetapi juga masyarakat yang berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), tidak hanya masyarakat pada usia 40 tahun kebawah tetapi juga masyarakat yang berumur diatasnya. *** Yang menarik adalah hasil penelitian dari BPS karena menimbulkan pro dan kontra dari kalangan akademisi. Dari kalangan yang mendukung tentu didasarkan atas alasan bahwa Survei tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga yang sangat kompeten sekelas BPS dengan berbagai pertimbangan ilmiah yang digunakan dalam survei. Selain itu, terdapat pertimbangan dan keyakinan masyarakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas. Keberadaan komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan berbagai langkah-langkah nyata yang dilakukannya juga turut mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, termasuk media massa yang setiap hari menyampaikan informasi tentang korupsi yang merugikan negara. Sedangkan yang menolak (permisif) umumnya menganggap korupsi masih merupakan sebuah kewajaran. Umumnya pandangan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat bahwa berbafai fasilitas yang didapatkan para pejabat/penguasa adalah yang seharusnya diterima. Disinilah pentingnya melihat ulang kajian BPS tersebut, dari sudut pandang yang berbeda, bukan sudut pandang kecenderungan masyarakat yang anti korupsi tetapi sebaliknya 255 masih adanya masyarakat yang permisif terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagaimana yang terungkap dalam Berita Resmi Statistik BPS, No. 07/01/Th. XVI, 2 Januari 2013, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2012 sebesar 3,55 dari skala 5. Artinya masyarakat Indonesia cenderung anti korupsi. Sebagai catatan : nilai indeks 0–1,25 sangat permisif terhadap korupsi, 1,26–2,50 permisif, 2,51–3,75 anti korupsi, 3,76–5,00 sangat anti korupsi). IPAK di wilayah perkotaan sedikit lebih tinggi (3,66) dibanding di wilayah perdesaan (3,46). IPAK cenderung lebih tinggi pada responden usia kurang dari 60 tahun dibanding setelah usia 60 tahun keatas. IPAK penduduk usia kurang dari 40 tahun sebesar 3,57, usia 40 sampai 59 tahun sebesar 3,58 dan 60 tahun ke atas sebesar 3,45. Artinya semangat anti korupsi antara usia tua dan usia muda tidak berbeda secara signifikan. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi IPAK. IPAK responden berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,47, SLTA sebesar 3,78 dan di atas SLTA sebesar 3,93. Pendidikan berpengaruh cukup kuat pada semangat anti korupsi. Berangkat dari harapan untuk mengevaluasi Perpres No. 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK), Pemerintah menugaskan BPS untuk melaksanakan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) 2012. Survei ini dilakukan antara 1-31 Oktober 2012 di 33 provinsi, 170 kabupaten/kota (49 kota dan 121 kabupaten) dengan sampel 10.000 rumah tangga (response rates: 89 persen). Survei ini mengukur tingkat Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 8. Dari Sudut Tepian Mahakam Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme permisifitas masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi. Data yang dihasilkan berupa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) dan indikator tunggal yang menggambarkan perilaku anti korupsi. Survei ini juga menghasilkan indikator tunggal terkait pendapat responden terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman responden berhubungan dengan layanan publik yang mencakup perilaku penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism).Berikut disampaikan beberapa pendapat responden yang menarik untuk di cermati. Pertama, terkait dengan perilaku responden dalam keluarga :Sekitar 69 persen responden menyatakan bahwa perilaku istri yang menerima uang pemberian suami di luar penghasilan suami tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut merupakan hal yang kurang wajar atau tidak wajar. Kedua, perilaku di tingkat komunitas : Sekitar 31 persen responden berpendapat kurang wajar atau tidak wajar memberi uang/barang kepada tokoh adat/agama/masyarakat (sebagai sejenis upeti) ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan (pernikahan, khitanan, kematian) sedangkan responden yang berpendapat kurang wajar atau tidak wajar memberi kepada tokoh formal (Ketua RT/RW/Kades/Lurah) sekitar 53 persen. Sekitar 38 persen responden menilai kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku memberi uang/barang kepada tokoh tokoh informal (adat/agama/masyarakat, sebagai sejenis upeti) ketika menjelang hari raya keagamaan. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 Ketiga, sekitar 53 persen responden menyatakan kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku s e s e o r a n g m e n j a m i n keluarga/saudara/teman agar diterima menjadi pegawai negeri atau swasta demi mempererat hubungan kekeluargaan dan pertemanan. Sekitar 81 persen menilai kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku seseorang yang memberi uang/barang dalam proses penerimaan menjadi pegawai negeri/swasta. Sekitar 55 persen responden berpendapat kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku seseorang yang memberi uang lebih kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi (KTP dan KK). Sekitar 61 persen responden menilai kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku memberi uang lebih kepada polisi untuk mempercepat pengurusan SIM dan STNK.Sekitar 68 persen responden menyatakan bahwa perilaku memberi uang damai kepada polisi merupakan hal yang kurang wajar atau tidak wajar. Sekitar 67 persen responden menyatakan kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku petugas KUA meminta uang tambahan untuk transport ke tempat acara akad nikah. Separuh lebih (64 persen) responden menilai bahwa memberi uang/barang kepada guru ketika kenaikan kelas/penerimaan rapor merupakan hal yang kurang wajar atau tidak wajar. Lebih dari tiga perempat responden yaitu sekitar 83 persen responden menilai kurang wajar atau tidak wajar terhadap perilaku guru yang meminta uang/barang ketika kenaikan kelas/penerimaan rapor. Sekitar 73 persen responden menilai bahwa perilaku membagikan atau 256
  • 9. Dari Sudut Tepian Mahakam Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme mengharapkan uang/barang pada pelaksanaan PILKADA/PEMILU merupakan hal yang kurang wajar atau tidak wajar. Yang harus diwaspadi dari angka-angka statistik terkait dengan IPAK Indonesia 2012 adalah angka dibalik trend perilaku masyarakat yang anti korupsi. Ternyata masih ada sebagian perilaku masyarakat yang permisif terhadap korupsi. Setidaknya ada tiga catatan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, masih sekitar 32 persen istri yang menerima saja uang yang diberikansuami tanpa harus mempertanyakan asal usulnya. Kedua, lebih dari separuh responden menyatakan wajar saja untuk memberisesuatu kepada para tokoh informal atau tokoh masyarakat setempat (RT/RW/Kades) pada saat melaksanakan hajatan atau hari raya keagamaan. Ketiga, perilaku responden ditingkat publik,meskipun sebagian responden menyatakan tidak mendukung upaya penyuapan, pemerasan,dan nepostime tetapi masih besar persentase responden yang menyatakan tindakan tersebutsebagai sesuatu yang wajar. *** Te r k a i t d e n g a n p r i l a k u masyarakat yang permisif terhadap korupsi ini menjadi persoalan utama yang akan menghambat pemberantasan korupsi. Terlebih lagi perilaku permisif ini dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal. Dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang (2012-2025) dan Jangka Menengah (2012-2014), masalah ini juga dijadikan isu aktual “Salah satu akar penyebab 257 berkembangnya praktik korupsi patut diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan korupsi. Rendahnya efek deteren bagi pelaku korupsi inilah yang turut mendukung maraknya praktik korupsi.” Pada kuliah perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 17 September 2012, Mahfud MD juga menempatkan sikap permisif masyarakat Indonesia ini menjadi biang persoalan mengapa korupsi sulit diberantas. Dengan gayanya yang lugas, Mahfud mengatakan : “Ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap permisif masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela, salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti.” Dalam budaya organisasi modern, sistem nilai tertentu yang bersifat universal harus ditegakkan dalam organisasi, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta. Masyarakat dengan kultur yang mendorong struktur sosial berperilaku koruptif perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 10. Dari Sudut Tepian Mahakam Catatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme terlebih lagi agar menjunjung integritas. Lebih dari itu, sangat diperlukan perilaku aktif darimasyarakat untuk mencegah perilaku koruptif di lingkungannya. Diperlukan individu-individu yang mampu mempengaruhi dan bertindak untuk mencegah adanya tindakan koruptif, tidak hanya pasif untuk mencegah korupsi oleh dirinya sendiri. Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi tersebut perlu dilakukan melalui berbagai kampanye yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu kanal utamanya adalah melalui pendidikan dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan Pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya. Jejaring pendidikan antikorupsi dan perguruan tinggi atau pusat kajian antikorupsi juga perlu dikembangkan seiring dengan perkuatan sanksi sosial. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 Gerakan sosial anti korupsi perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai anti korupsi dalam sistem budaya lokal. Dengan demikian, selain tercipta pemahaman terhadap perilaku-perilaku koruptif, pembangunan karakter bangsa yang berintegritas dan anti korupsi diharapkan juga akan memperkuat gerakan anti korupsi beserta sanksi sosialnya. Namun yang lebih penting dari itu adalah keteladanan seorang pemimpin. Indonesia tidak membutuhkan seorang pemimpin yang cerdas, namun membutuhkan seorang pemimpin yang berintegritas, jujur dan sudah selesai dengan dirinya. Hal ini penting karena permisifnya masyarakat terhadap korupsi bukan hanya disebabkan budaya lokal tetapi juga tidak adanya keteladanan pemimpin yang berintegritas dan jujur. Wallahu a'lamu bishawab. Mariman Darto 258
  • 11. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA 1 THE NORMATIVE AND EMPIRICAL STUDY ABOUT THE IMPLEMENTATION OF THE PRINCIPLE OF DECONCENTRATION IN INDONESIA 2 Tri Widodo W. Utomo Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN-RI Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat Email : triwidodowu@yahoo.com Abstract .Deconcentration is one of the most important principles in managing central-local relationship in a unitary state. Together with decentralization and assistance task principles, deconcentration reveals the best strategy to assure the integrity of the state. In the Indonesian context, however, there is a tendency that decentralization is getting stronger, while deconcentration is moving to the opposite direction. This paper tries to elaborate the norm and the practice of deconcentration in Indonesia, and the possibility to construct an equilibrium concept between decentralization and deconcentration. Keywords : deconcentration, decentralization, Indonesia. . Abstrak Dekonsentrasi adalah salah satu asas terpenting dalam pengelolaan hubungan pusat-daerah di sebuah negara kesatuan. Bersama dengan desentralisasi dan tugas pembantuan, dekonsentrasi merupakan strategi terbaik dalam menjamin integritas negara. Dalam konteks Indonesia, terdapat kecenderungan bahwa asas desentralisasi semakin menguat, sementara asas dekonsentrasi berjalan menuju arah berlawanan. Tulisan ini mencoba mengelaborasi sisi normatif dan empiris dalam implementasi asas dekonsentrasi di Indonesia, dan kemungkinan untuk 1 Draft awal tulisan ini dihasilkan selama penulis menjalani tugas selaku Visiting Researcher di Graduate School of Internasional Development (GSID) Nagoya University, yang kemudian disempurnakan berdasarkan input teoretis dan fenomena-fenomena yang lebih aktual. Tulisan ini merupakan serial dari pemikiran penulis tentang rekonstruksi kebijakan dekonsentrasi di Indonesia. Penulis sangat terbantu dengan dukungan sumber daya dan komentarkomentar penting dari Prof. Dr. Kimura Hirotsune. Terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan untuk jasa yang tidak ternilai tersebut. Terima kasih juga sangat layak penulis persembahkan kepada Prof. Dr. Agus Dwiyanto, Prof. Dr. Pratikno, dan Dr. Agus Pramusinto yang dengan terus memberi motivasi dan dukungan kepada penulis untuk memfokuskan diri pada issu dekonsentrasi. 2 Naskah diterima pada 23 Oktober 2012 259 Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 12. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo mengembangkan ide keseimbangan antara desentralisasi dan dekonsentrasi. Kata kunci: dekonsentrasi, desentralisasi, Indonesia. PENDAHULUAN Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32/2004, dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi. Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 20 ayat 2 dan 3). Secara eksplisit, pasal tersebut menegaskan bahwa asas desentralisasi dan dekonsentrasi melekat pada sistem pemerintahan negara, yang merupakan prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Ini berarti bahwa asas desentralisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana banyak dipahami secara keliru selama ini. Oleh karena melekat pada sistem pemerintahan negara, maka baik asas desentralisasi maupun asas dekonsentrasi didesain sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk dimensi pengawasan dan pertanggung jawabannya dilakukan oleh (aparat) pemerintah pusat. Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian, demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state), maka Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 pemerintah pusat masih memiliki hakhak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (departemen/ LPND), maupun secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah. Menurut UU Nomor 5/1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa sebelumnya, alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi vertikal yang dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004, perangkat / wakil pemerintah Pusat di daerah adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus menjalankan urusan-urusan absolut pemerintah Pusat. Ini berarti pula bahwa propinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat (aparat dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi); sedangkan pada kabupaten/kota tidak lagi melekat fungsi dekonsentrasi. Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil, maka fungsi-fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar 260
  • 13. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat kabupaten/kota tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, fungsi dekonsentrasi provinsi menjadi faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi desentralisasi politik yang seluas-luasnya (devolution). Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi tersebut, maka logis bila pemerintah Pusat masih memainkan peran dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah melalui implementasi fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal ini bertujuan agar daerah yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang berlebihan dalam memikirkan daerahnya sendiri. Dengan penguatan dekonsentrasi, kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas dan strategis (embedding local policy into b ro a d e r c o n t e x t o f n a t i o n a l development and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang arus desentralisasi yang begitu deras. Dengan demikian, pentingnya fungsi dekonsentrasi ini bukan hanya sebagai ”perekat” antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, namun lebih dari itu adalah menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan pelayanan secara lebih efektif dan efisien. Dalam rangka 261 menjamin keberhasilan program pemerintahan, khususnya sebagai pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi tadi, maka pemerintah pusat menyediakan dua instrumen utama, yakni alokasi dana dekonsentrasi, serta penetapan perangkat atau wakil pemerintah yang mengemban fungsi dekonsentrasi, dalam hal ini adalah Gubernur. Hal lain yang patut digarisbawahi lagi adalah bahwa wacana desentralisasi dan dekonsentrasi harus dipandang sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa (nation building), sehingga adanya kejelasan fungsi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan wakil pemerintah pusat di daerah, menjadi sebuah keniscayaan, sehingga perlu adanya penegasan yang lebih konkrit tentang pembagian tugas, peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan provinsi selaku representasi pusat. Atas dasar pemikiran diatas, maka tulisan ini ingin melakukan telaahan dekonsentrasi dari aspek yuridis normatif dan empiris operasional. Dari dua perspektif ini, diharapkan dapat diidentifikasikan kebutuhan pengembangan kebijakan desentralisasi pada umumnya dan dekonsentrasi pada khususnya. TELAAH NORMATIF DEKONSENTRASI Dilihat dari perspektif yuridis historis, penafsiran dan penerapan fungsi dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengalami pasang surut yang sangat kentara. Hal ini dapat dicermati dari pengaturan tentang dekonsentrasi yang bervariasi diantara peraturan perundang- Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 14. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo undangan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia, sebagaimana uraian pada Tabel dibawah ini. Tabel 1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia (1948-2004) Sumber Hukum Substansi Pengaturan tentang Dekonsentrasi UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957 Tidak ada klausul yang mengatur tentang fungsi dekonsentrasi dan kedudukan gubernur (Kepala Daerah Tingkat I). TAP MPRS No. XXI/ MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi seluas-luasnya kepada Daerah • Dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dengan predikat ”Vital”. • Sebagai tindak lanjut dari Tap ini, telah disusun RUU Kedudukan dan Hubunggan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Amanat Presiden No. R.36/PRES/HK/3/1968 tanggal 16-3-1968, namun sayangnya tidak ada tindak lanjut dari RUU tersebut. UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah • “Pemerintah akan terus dan konsekwen mendjalankan politik desentralisasi jang kelak akan mengarah kearah tertjapainja desentralisasi teritorial jaitu meletakkan tanggung djawab teritorial riil dan seluas-luasnja dalam tangan Pemerintah Daerah, disamping mendjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplement jang vital” (Penjelasan, Angka III. Urusan Rumah Tangga Daerah dan Urusan Tugas Pembantuan). • Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnja jang menurut pertimbangan Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari tangan Pemerintah Pusat untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan mendjadi urusan rumah-tangga Daerah (Pasal 40). • Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat sekaligus alat Pemerintah Daerah (Pasal 44). Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah: ? Memegang pimpinan kebidjaksanaan politik polisionil didaerahnja, dengan mengindahkan wewenang-wewenang jang ada pada pendjabat-pendjabat jang berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan jang berlaku; ? Menjelenggarakan koordinasi antara djawatan-djawatan Pemerintah Pusat di Daerah dan antara djawatan-djawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah; ? Melakukan pengawasan atas djalannja Pemerintah Daerah; ? Mendjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanja oleh Pemerintah Pusat. UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah • Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, azas dekonsentrasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 262
  • 15. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo • • • • • UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah 263 Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas dekonsentrasi tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya, Unsur pelaksana adalah instansi-instansi Vertikal, yang dikordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah. Kepala Wilayah (termasuk Gubernur) dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang Pemerintahan di Daerah. Menimbang butir f: ”... hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”. Pasal 73: ”Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi”. Penjelasan Umum angka 2 butir c: ”Wilayah yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratip yang dalam Undang-undang ini selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan Wilayah-wilayah dalam susunan Vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan”. Penjelasan Umum angka 3 butir c: ”Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pejabat-pejabat di daerah menurut azas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggungawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaanya adalah terutama Instansi-instansi Vertikal, yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. • Propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 16. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo • • • • UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki (Penjelasan Umum, butir 1F). Gubernur berkedudukan sebagai kepala Daerah sekaligus Wakil Pemerintah. Pasal 8 (2): ”Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut”. Pasal 9 (3): ”Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah”. Pasal 63: ”Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi”. Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota (Penjelasan Umum, butir 4. Pemerintahan Daerah). Sumber: konstruksi penulis dari berbagai sumber. Dari deskripsi substansial pada seluruh UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah diatas, dapat ditarik beberapa intisari penting yang berhubungan dengan dekonsentrasi, yakni: 1. Pada periode 1948 hingga 1959, praktek dekonsentrasi sangat lemah. Selain tidak ada pengaturan secara eksplisit di dalam UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957, juga dikarenakan semangat dasar dari kedua UU tersebut yang lebih bercorak desentralistis. Nuansa desentralistis ini kemungkinan 3 besar mendapat pengaruh dari dua kondisi, yaitu: 1) praktek pemerintahan daerah yang sebelumnya sangat desentralistis, terutama pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang; dan 2) sistem ketatanegaraan Indonesia yang masih labil, yang mengarah pada penerapan demokrasi liberal dan sistem pemerintahan parlementer, serta ditandai pula dengan perubahan bentuk negara menjadi negara federal (Republik Indonesia Serikat).3 Republik Indonesia Serikat secara resmi terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949 yang ditandai dengan dilakukannya penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda oleh Presiden Soekarno dan menyerahkan kekuasaan di Jakarta. Pada tanggal yang sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 17 Agustus 1950, bentuk negara RIS berubah kembali menjadi Negara Kesatuan RI, namun tetap mempertahankan demokrasi liberal dan sistem pemerintahan parlementer. Pada periode Desember 1949 sampai dengan Juli 1959 telah terjadi pergantian kabinet sebanyak sembilan kali. Lihat: Jakarta Post www.thejakartapost.com/resources/cabinet/cabinet.asp Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 264
  • 17. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo 2. Pada periode 1959 hingga 1966, dengan ditandai oleh keluarnya Dekrit Presiden, bandul politik berubah menjadi sangat sentralistis, yang dikenal dengan demokrasi terpimpin (guided democracy). Semangat sentralisme ini nampaknya diwadahi lebih lanjut kedalam UU No. 18/1965, sehingga wajar jika dekonsentrasi hanya dinilai sebagai pelengkap (meskipun dengan predikat vital). Dengan demikian, perubahan bandul politik kearah sentralisme berkorelasi secara langsung dengan perubahan bandul hubungan antar susunan pemerintahan yang mengarah pada dekonsentrasi. Kondisi ini berlangsung terus hingga tahun 1974. 3. Pada periode 1974 hingga 1999, ditandai oleh sebuah pelanggaran prinsip dekonsentrasi. Hal ini dapat diamati dari semangat UU No. 5/1974 yang menegaskan bahwa azas dekonsentrasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Namun dalam kenyataannya asas dekonsentrasi jauh lebih dominan dibanding desentralisasi. Bahkan banyak pakar yang menyebutkan bahwa era ini adalah era yang sentralistis (lihat lagi Deconcentration Series Paper # 6). 4. Pada periode 1999 hingga 2004, sudah terdapat kemajuan yang cukup penting tentang pengaturan dekonsentrasi, yakni dengan munculnya peraturan pemerintah (PP) yang secara khusus mengatur tentang dekonsentrasi. Namun yang 265 menjadi persoalan adalah adanya implementation gap, yakni kesenjangan antara aturan tertulis dengan praktek nyata di lapangan. Dengan kata lain PP dekonsentrasi (PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008) belum dapat diterapkan sepenuhnya. Faktor penyebab kurang berfungsinya kedua PP ini salah satunya adalah kurang harmonisnya koordinasi antar instansi di pusat, khususnya antara Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan (lihat White and Smoke, 2005: 8). Kemungkinan faktor penyebab lainnya adalah belum tersusunnya aturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari butir-butir yang terkandung didalamnya, yang seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pusat tentang dekonsentrasi. Tabel dibawah memberikan gambaran tentang pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 18. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Tabel 2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 Bentuk Aturan PP No. 39/2001 PP No. 7/2008 Pengaturan berbentuk Peraturan (Regeling) Peraturan Menteri Dalam Negeri – Tata cara pendanaan tugas pembantuan (pasal 48) – Penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan tugas pembantuan provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan desa (pasal 62 dan 63) – Penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan tugas pembantuan kabupaten/kota kepada pemerintah desa (pasal 64) – Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah (pasal 17) Peraturan Menteri Keuangan – Pedoman pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan (pasal 79) Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga – Lingkup urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada gubernur (pasal 39). Peraturan Gubernur – Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah (pasal 17) – Lingkup urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada bupati/walikota dan/atau kepala desa (pasal 40) – Lingkup urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada kepala desa (pasal 41) – Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah (pasal 44) Peraturan Bupati / Walikota Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 266
  • 19. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Peraturan perundangundangan tersendiri Rincian kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur atau perangkat pusat di daerah (pasal 16) – Pengaturan berbentuk Keputusan (Beschikking) Keputusan Presiden Tata cara pelimpahan wewenang pemerintahan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah (pasal 4) – Tata cara penarikan kewe-nangan yang dilimpahkan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah (pasal 13) – Keputusan Menteri Keuangan Tata cara penyaluran biaya penyelenggaraan wewe-nang yang dilimpahkan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah (pasal 8) – Keputusan Bupati / Walikota – Kegiatan tugas pembantuan provinsi yang dilaksanakan oleh SKPD kabupaten/kota (pasal 62) Sumber: konstruksi penulis berdasarkan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 Paparan diatas adalah analisis substantif asas dekonsentrasi dalam level politis, yakni undang-undang.4 Selanjutnya, analisis pada level politis ini dapat diturunkan pada organizational level yang menyediakan aturan tentang dekonsentrasi adalah PP No. 39/2001 4 yang merupakan penjabaran dari UU No. 22/1999, serta PP No. 7/2008 yang merupakan penjabaran dari UU No. 32/2004. Dalam hal ini, pengaturan secara lebih detil dalam kedua PP tersebut dapat disimak p e r b a n d i n g a n n y a d a l a m Ta b e l dibawah ini. Meminjam model analisis kebijakan Bromley (1989), pengaturan sebuah substansi kebijakan pada tataran UU dan Tap MPR dapat dikategorikan pada policy level. Pada berbagai kasus, mandat pada policy level ini membutuhkan upaya penerjemahan atau penjabaran melalui proses institutional arrangements pada level organisasional. 267 Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 20. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Tabel 3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 Dimensi PP No. 39 Tahun 2001 PP No. 7 Tahun 2008 Definisi Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau Perangkat Pusat di Daerah. Pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu. Cakupan Dana Dekonsentrasi – Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sumber Dana Dekonsentrasi Biaya untuk penyelenggaraan kewenangan dilimpahkan kepada Gubernur dan atau Perangkat Pusat di Daerah dibebankan pada APBN sesuai besaran kewenangan dan beban tugas yang dilimpahkan. Pelaksanaan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada instansi vertikal di daerah didanai melalui anggaran kementerian/lembaga. Penyelenggaraan – Dekonsentrasi Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 ? Dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan K/L, dan didanai melalui anggaran K/L. ? Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur dilaksanakan oleh SKPD provinsi berdasarkan penetapan gubernur. ? Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur tidak boleh dilimpahkan kepada bupati/walikota. ? Ruang lingkup dekonsentrasi mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, serta pertanggungjawaban dan pelaporan. 268
  • 21. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Pelimpahan Urusan / Kewenangan ? Pelimpahan kewenangan Tata Cara Pelimpahan ? Dalam hal Presiden 269 disertai dengan pembiayaan yang sesuai dengan besaran kewenangan yang dilimpahkan. ? Pelimpahan kewenangan dapat dilakukan kepada seluruh Gubernur atau Perangkat Pusat di Daerah atau kepada Gubernur atau Perangkat Pusat di Daerah tertentu. ? Kewenangan yang dapat dilimpahkan meliputi sebagian kewenangan di bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain. ? Menteri / Pimpinan Lembaga dapat memprakarsai pelimpahan kewenangan sesuai dengan bidang kewenangannya. ? 13 urusan yang dapat Ada dilimpahkan kepada Gubernur. Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada Instansi Vertikal atau pejabat Pemerintah di daerah ? Setelah ditetapkannya pagu melimpahkan kewenangannya indikatif, K/L memprakarsai kepada Gubernur, dapat dan langsung menetapkan melalui merumuskan urusan Keputusan Presiden. pemerintahan yang akan ? Dalam rangka pelimpahan dilimpahkan kepada gubernur wewenang pemerintahan paling lambat pertengahan kepada Gubernur / Perangkat Maret untuk tahun anggaran Pusat di Daerah, berikutnya. Menteri/Pimpinan Lembaga ? Rumusan tentang urusan memprakarsai dengan pemerintahan yang akan menentukan jenis dilimpahkan dituangkan kewenangan yang akan dalam rancangan Renja-KL dilimpahkan, kemudian dan disampaikan kepada ditetapkan dengan Keputusan Bappenas sebagai bahan Presiden; koordinasi dalam ? kewenangan yang akan Jenis Musrenbangnas. dilimpahkan terlebih dahulu ? memberitahukan kepada K/L dikonsultasikan dengan gubernur mengenai lingkup Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 22. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Tata Cara ? Daerah yang belum ada Bagi Penyelenggaraan instansi vertikal untuk melaksanakan sebagian kewenangan di bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama yang dilimpahkan, dibentuk instansi vertikal dengan menetapkan susunan organisasi, formasi dan tatalaksananya. ? Penyelenggaraan kewenangan di bidang lain yang diterima Gubernur, pelaksanaannya dilakukan oleh Unit Organisasi yang ada dalam Dinas Provinsi. ? Dalam hal di Provinsi belum ada Dinas yang tepat untuk menangani suatu bidang kewenangan yang dilimpahkan, Gubernur dapat menugaskan Perangkat Daerah lainnya atau membentuk unit pelaksana secara khusus. ? Dalam menyelenggarakan kewenangan yang dilimpahkan, Gubernur memberitahukan kepada DPRD. ? Dalam penyelenggaraan Tanggung jawab Gubernur – ? Mengkoordinasikan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah, gubernur melakukan penyiapan perangkat daerah yang akan melaksanakan program dan kegiatan dekonsentrasi serta koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan dan pelaporan. ? Gubernur membentuk tim koordinasi yg ditetapkan dengan Pergub berpedoman pada Permendagri. ? Gubernur memberitahukan kepada DPRD berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Perangkat Daerah dan Pejabat Pusat di Daerah serta antar Kabupaten dan Kota di wilayahnya sesuai bidang tugas yang berkaitan dengan kewenangan yang dilimpahkan; ? Melakukan fasilitasi Terselenggaranya pedoman, norma, standar, arahan, pelatihan, dan supervisi, serta melaksanakan pengendalian dan pengawasan; ? Memberikan saran dan Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 270
  • 23. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Tata Cara Penarikan Pelimpahan ? Penarikan urusan Prinsip Pendanaan ? Penganggaran dan 271 ? Penarikan urusan pemerintahan yang pemerintahan yang dilimpahkan dapat dilakukan dilimpahkan dapat dilakukan apabila urusan pemerintahan apabila urusan pemerintahan tidak dapat dilanjutkan tidak dapat dilanjutkan karena Pemerintah mengubah karena Pemerintah mengubah kebijakan atau apabila kebijakan dan/atau Gubernur / Perangkat Pusat pelaksanaan urusan di Daerah mengusulkan pemerintahan tidak sejalan untuk ditarik sebagian atau dengan ketentuan peraturan seluruhnya. perundang-undangan. ? Menteri / Pimpinan Lembaga ? Penarikan dilakukan melalui mengevaluasi penetapan Peraturan Menteri penyelenggaraan / Lembaga, dengan tembusan kewenangan yang di Mendagri, Menkeu, dan limpahkan dan Bappenas. menyampaikan hasilnya ? Peraturan tersebut digunakan kepada Gubernur / Perangkat oleh Menkeu sebagai dasar Pusat di Daerah. pemblokiran dokumen ? Berdasarkan hasil evaluasi, anggaran dan penghentian pencairan dana. Menteri / Pimpinan Lembaga dapat menarik sebagian atau seluruh kewenangan yang dilimpahkan setelah berkoordinasi dengan Mendagri & instansi terkait, dengan memberitahukan alasan dan pertimbangannya. ? Penarikan kewenangan yang dilimpahkan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Jika dalam waktu 6 bulan sejak usul penarikan belum ditetapkan Keppres, Gubernur / Perangkat Pusat di Daerah dapat menghentikan sepihak penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan. ? Pendanaan dekonsentrasi pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan dilakukan secara terpisah dari APBD sesuai dengan peraturan dialoka- sikan setelah adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah. ? Pendanaan tersebut dialokasikan untuk kegiatan Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 24. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Pertanggung jawaban ? Pertanggungjawaban ? Pertanggungjawaban dan penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan, dilakukan Gubernur / Perangkat Pusat di Daerah. ? Pertanggungjawaban disampaikan Gubernur / Perangkat Pusat di Daerah kepada Menteri / Pimpinan Lembaga dengan tembusan Mendagri dan DPRD. ? Pertanggungjawaban atas penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan oleh Presiden kepada Gubernur, disampaikan oleh kepada Presiden melalui Mendagri. pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdirf dari perkembangan realisasi penyerapan daua, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. ? Kepala SKPD provinsi bertanggungjawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi. ? Laporan pertanggungjawaban keuangan secara tahunan atas pelaksanaan dekonsentrasi oleh gubernur dilampirkan dalam Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD. Pembinaan dan Pengawasan ? Menteri/pimpinan lembaga ? Menteri/pimpinan lembaga melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan. ? Dalam hal-hal tertentu, kewenangan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan dapat dilimpahkan kepada Gubernur. melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur. Pembinaan tsb meliputi pemberian pedoman, standar, fasilitasi dan bimbingan teknis, serta pemantauan dan evaluasi atas penyelenggaraan dekonsentrasi. ? Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh SKPD Provinsi. Pembinaan tsb dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja, Sumber: konstruksi penulis berdasarkan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 272
  • 25. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo Selanjutnya, pengaturan lebih rinci tentang dana dekonsentrasi dapat ditemukan dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non fisik, yaitu antara lain untuk kegiatan koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Sebagai wujud pertanggungjawaban dana dekonsentrasi, gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang dan selanjutnya menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan status barang dalam pelaksanaan dekonsentrasi, dalam Pasal 91 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi menjadi barang milik negara dan dapat dihibahkan kepada daerah. Barang milik negara yang dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh 273 daerah sedangkan barang milik negara yang tidak dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang. Dari ketentuan yang bersumber pada kedua peraturan pemerintah tersebut, dapat dicermati adalah beberapa inkonsistensi kebijakan, sebagai berikut: 1. Kedua PP tersebut menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden (PP No. 39/2001) atau penetapan Gubernur sebelum dilaksanakan oleh SKPD provinsi (PP No. 7/2008). Kedua model ini dalam prakteknya belum dilaksanakan, dan pelimpahan wewenang dilakukan oleh kementerian / LPND kepada SKPD di provinsi. Dalam hal ini terdapat kesan bahwa Gubernur selaku wakil pemerintah justru dilewati. 2. Kedua PP mengatur bahwa pelimpahan wewenang kepada gubernur tidak boleh dilimpahkan kembali kepada bupati/walikota. Namun kenyataannya, dana dekonsentrasi banyak turun ke kabupaten/kota yang mengindikasikan bahwa program dekonsentrasi juga dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Padahal, bupati/walikota jelas-jelas bukan wakil pemerintah atau perangkat dekonsentrasi. Jika pengertian dekonsentrasi dilaksanakan secara konsekuen, maka kabupaten/kota hanya dapat menerima dana tugas pembantuan. 3. Kedua PP juga menegaskan bahwa pelimpahan wewenang harus disertai dengan pembiayaan. Ini Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 26. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo berarti, prinsip money follows function / authority yang semestinya diterapkan. Namun dalam tataran praktek lebih menonjol penerapan prinsip function follows money, yang bisa dilihat dari fakta bahwa dana dekonsentrasi selalu dikucurkan sementara Kepres (atau dasar hukum lainnya) tentang pelimpahan kewenangan belum diterbitkan. T E L A A H E M P I R I S DEKONSENTRASI Sementara pada tataran empirik, kebijakan dekonsentrasi di Indonesia selama ini dapat dikatakan tidak utuh, karena lebih banyak menyentuh aspek pelimpahan anggaran pusat kepada perangkatnya di daerah, serta kurang memfokuskan pada isi otoritas atau kewenangan dekonsentrasi. Dengan demikian, dekonsentrasi model Indonesia selama ini dapat disebut sebagai dekonsentrasi keuangan 5 (financial deconcentration), sedangkan dekonsentrasi substansial (authoritative deconcentration) belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas. Dengan demikian, kondisi dan 5 6 permasalahan yang dapat dicermati dari praktek penyelenggaraan dekonsentrasi di Indonesia meliputi aspek manajerial dan substansial. Aspek manajerial berhubungan dengan fungsi-fungsi perencanaan, p e n g a n g g a r a n d a n pertanggungjawaban, sedangkan aspek substansial menyangkut isi / substansi kewenangan dari program dekonsentrasi serta perangkat kelembagaan untuk menjalankan kewenangan dekonsentrasi tersebut. 1. Aspek Manajerial Sebuah program pembangunan, lazimnya selalu didahului oleh sebuah perencanaan yang matang, komprehensif, dan visioner. Dalam proses perencanaan ini, paling tidak harus dapat diformulasikan visi dan misi jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek. Selain itu, perencanaan yang baik semestinya juga telah dapat mengidentifikasikan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, serta program dan kegiatan yang harus dijalankan untuk mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah 6 ditetapkan. Selanjutnya, sasaran dan Istilah dekonsentrasi keuangan ini dikembangkan untuk memberikan kesejajaran konsep (analog) dengan desentralisasi fiskal. Sebagaimana dipahami, desentralisasi dalam arti sempit atau devolusi adalah penyerahan kewenangan (transfer of power / authority) kepada pemerintah daerah sebagai urusan otonominya. Transfer kewenangan ini tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh desentralisasi fiskal, yakni penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah guna mendukung devolusi. Dengan demikian, devolusi dan desentralisasi fiskal adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Demikian pula dekonsentrasi, pendelegasian wewenang secara substantif (authoritative deconcentration) akan efektif jika ditunjang oleh sumber pembiayaan yang memadai (financial deconcentration). Hal lain yang perlu digarisbawahi, meskipun istilah financial deconcentration adalah analog dari fiscal decentralization, namun keduanya memiliki perbedaaan yang sangat mendasar. Istilah fiscal deconcentration tidak tepat digunakan karena pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang luas dari dana dekonsentrasi yang diberikan dari setiap kementerian. Pemerintah daerah hanya berwenang membelanjakan dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan oleh Menteri atau Pemerintah. Sedangkan dalam fiscal decentralization, pemerintah daerah memiliki kewenangan atas pajak-pajak daerah tertentu, serta memiliki kewenangan menetapkan pungutan / retribusi tertentu pula. Struktur perencanaan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, program dan kegiatan ini sering dikenal dengan istilah Perencanaan Strategis (Renstra). Renstra merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul, yang disusun bukan hanya untuk memenuhi amanat peraturan (Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), namun juga untuk gambaran umum program dan kegiatan yang akan dilaksanakan selama 5 th ke depan. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 274
  • 27. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo kegiatan yang diajukan harus dilengkap dengan indikator-indikator capaian, baik indikator input, output, maupun outcome/impact/benefit. Jika pola perencanaan model Renstra ini dapat dilakukan secara efektif, diharapkan mampu mencapai tujuan secara efektif dengan sumber daya yang efisien. Sayangnya, dalam konteks penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi, sama sekali belum ada Renstra (KL = Kementerian / Lembaga maupun Daerah atau SKPD) yang memberi gambaran jangka menengah tentang capaian dan agenda-setting dari program dekonsentrasi. Dalam prakteknya, dekonsentrasi tereduksi menjadi dekonsentrasi keuangan, sementara dekonsentrasi keuangan tereduksi lagi menjadi kegiatan teknis dan rutin tahunan yang dilaksanakan tanpa didahului analisis kebutuhan atau perencanaan jangka panjang yang matang atas dasar berbagai pertimbangan strategis. Wujud konkrit dari aktivitas rutin yang sangat teknis itu misalnya adalah pengajuan pejabat pengelola keuangan dari dinas-dinas di tingkat provinsi, yang disusul dengan pencairan anggaran, serta diakhiri dengan pelaporan. Dalam siklus anggaran yang sangat tradisional seperti itu, prinsip manajemen kinerja menjadi 7 terabaikan. Pengelolaan program dan anggaran dekonsentrasi yang tidak berbasis kinerja ini menurut penulis adalah masalah utama yang harus 7 dipecahkan, karena akan berdampak pada masalah-masalah yang lebih spesifik. Oleh karena prinsip manajemen kinerja tidak diterapkan, maka wajar jika komunikasi antar instansi dalam pengelolaan program dan dana dekonsentrasi menjadi kurang terjalin dengan baik. Bahkan seorang Gubernur yang merupakan pejabat tertinggi di daerah sering mengeluhkan tentang manajemen anggaran dekonsentrasi ini. Sebagaimana dilaporkan Harian Pikiran Rakyat (13/04/2005), Gubenur Jawa Barat saat itu, Danny Setyawan menyatakan bahwa penyaluran dana dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen sektoral di pusat kepada dinas. Mekanisme seperti itu, menurutnya, mencerminkan bahwa departemen sektoral masih menganggap dan mengobsesikan dinas-dinas yang ada di provinsi seperti kanwil (kantor wilayah) dulu. Ironisnya, DPRD Jawa Barat pun juga tidak tahu menahu soal pencairan dana dekonsentrasi ini. DPRD Jabar juga menyesalkan turunnya dana dekonsentrasi tahun 2007 dari pemerintah pusat karena tidak disertai kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menerima. Bahkan mereka menyatakan bahwa pemerintah pusat melakukan dua kesalahan. Pertama, menyalurkan dana dekonsentrasi setelah APBD disahkan, padahal mestinya penyaluran dana dilakukan Manajemen Kinerja (MK) menurut Armstrong dan Baron (1998) adalah “a strategic and integrated approach to delivering sustained success to organization by improving the performance of the people who work in team and by developing the capabilities of teams and individual contributors”. Untuk bisa mencapai kinerja optimal dalam suatu organisasi, harus diperhatikan komponen sebagai berikut: 1) output, outcome, process and input; 2) planning; 3) measurement and review; 4) development and improvement; 5) communication; 6) stakeholder; 7) ethical; dan 8) scope. Jika melihat pada komponen MK tersebut, jelas sekali bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi kurang memperhatikan kinerja (performance-based). 275 Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 28. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo pada saat RAPBD dibahas. Kesalahan kedua adalah tidak ada mekanisme pemberitahuan kepada DPRD terkait program-program menyangkut dana dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat melakukan pengawasan (Pikiran Rakyat, 10/1/2007). Keluhan senada juga disampaikan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dalam Rapat Konsultasi Departemen Dalam Negeri dan Gubernur se-Indonesia tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Jakarta tanggal 5/9/2006. Dia menyatakan bahwa pembangunan daerah efektif apabila hubungan pemerintah dan provinsi sinkron. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya mulai mempercayakan pengelolaan dana itu ke gubernur agar dana bisa lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada daerah akan memacu kepala daerah membangun wilayahnya, dan daerah akan mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas (Tempo Interaktif, 5/9/2006). Teras Narang juga menyarankan agar alokasi pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tetap dilakukan pemerintah pusat namun dengan melibatkan pemerintah provinsi/gubernur dalam perencanaan, operasional teknis, penyaluran, maupun pengalokasian. Dengan begitu, ada sinergi dengan yang diinginkan kabupaten/kota dalam satu provinsi (Kompas, 7/9/2006). Posisi Gubernur yang seolah-olah lepas dari program dan dana dekonsentrasi menjadi sangat dilematis, karena jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah juga i k u t m e n a n g g u n g n y a ( Te m p o Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 Interaktif, 24/8/2006). Hal ini juga dirasakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang menyebutkan bahwa saat ini masih terdapat kontroversi antara kewenangan perangkat pemerintah pusat di provinsi seperti unit pelaksana teknis (UPT) dengan kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Selain itu, gubernur mengalami kesulitan dalam mengimplemantasikan rencana investasi, pembangunan infrastruktur, dan pengembangan ekonomi karena terkendala oleh ketatnya peraturan pusat yang harus dipenuhi (Kompas, 22/11/2008). Jika seorang gubernur (dalam kedudukan selaku wakil pemerintah pusat) tidak memiliki kontrol yang efektif terhadap program dan dana dekonsentrasi, ini berarti ada permasalahan serius dalam dimensi pertanggungjawaban. Selama ini, mekanisme dan instrumen pertanggungjawaban dana dekonsentrasi diakui oleh banyak pihak sangat tidak jelas. Anggota Panitia Anggaran DPR-RI, Nasril Bahar, menjelaskan bahwa kebiasaan pemerintah daerah tidak mempertanggungjawabkan dana dekonsentrasi sudah terjadi sejak lama. Selain itu, pengawasan juga sulit dilakukan karena tidak termasuk dalam mata anggaran di APBD sebagai bantuan yang bersumber dari APBN. Tidak jelasnya pelaporan anggaran ini membuka peluang alokasi dana dekonsentrasi tumpang tindih dengan alokasi dana proyek pada APBD (Sumut Pos, 1/2/2007). Sebelumnya, Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Soekoyo menyatakan, dana dekonsentrasi yang 276
  • 29. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo sudah dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000 ternyata penggunaannya tidak dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD. Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset dan berpotensi tindak pidana (Sumut Pos, 1/2/2007). Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao menambahkan bahwa sejak dana dekonsentrasi dikucurkan tahun 2001 sampai sekarang, pemerintah pusat dan daerah tidak ada yang mau mempertanggungjawabkan dana tersebut, dan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya selisih angka antara realisasi anggaran di departemen dan realisasi anggaran yang dikeluarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (Tempo Interaktif, 12/2/2007). Carut marut pertanggungjawaban dana dekonsentrasi tersebut juga diakui oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan Herry P u r n o m o . M e n u r u t H e r r y, pertanggungjawaban dana dekonsentrasi memang masih menjadi masalah, dimana Gubernur mengeluh tidak tahu ada penggelontoran dana dekonsentrasi di daerahnya, sedangkan aparat otonom (walikota/bupati) merasa tidak mempunyai hubungan pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat sehingga mereka ogah-ogahan lapor (Tempo Interaktif, 12/2/2007). Selain masalah pelaporan dan pertanggungjawaban, kemungkinan terjadinya tumpang tindih anggaran juga menjadi problema yang cukup pelik. Hal ini bahkan disampaikan sendiri oleh Menteri Keuangan pada 277 Lokakarya Nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Mei 2006 di Jakarta. Beliau menyatakan bahwa dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan harus selalu sinergis dan tidak tumpang tindih dengan dana desentralisasi, meskipun dalam kenyataannya kerap kali terjadi tumpang tindih karena ketidakjelasan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, penggunaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut perlu diidentifikasi kembali dan dievaluasi agar tidak mendanai kegiatan yang seharusnya menjadi kewenangan/urusan daerah. Terdapat indikasi bahwa banyak kegiatan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah tetapi kegiatan tersebut masih dibiayai dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang urusannya sudah didaerahkan menjadi dana alokasi khusus (DAK) untuk menghindari pendanaan ganda tersebut (Portal Depkominfo, 5/4/2006). Hal tersebut sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU No 33 Tahun 2004 Pasal 108 yang menyatakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. Sayangnya, hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK. Akibatnya, permasalahan yang Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 30. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo timbul sejak awal digulirkannya dana dekonsentrasi masih terus terjadi. Kemungkinan terjadinya tumpang tindih sendiri tidak hanya terjadi antara dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dengan dana desentralisasi, sebagaimana sinyalemen Menteri Keuangan diatas. Tumpang tindih juga bisa terjadi antara dana dekonsentrasi (PBN) dengan dana APBD. Dengan kondisi tersebut, dapat membuka peluang terjadinya inefisisensi bahkan penyelewengan penggunaan anggaran, misalnya kemungkinan aset-aset negara yang dibelanjakan dengan dana dekonsentrasi tidak teradministrasikan dengan baik, sehingga memungkinkan terjadi praktek pencucian aset (asset laundering). Kekhawatiran tersebut juga diungkapkan oleh Auditor Utama Keuangan Negara II BPK RI Soekoyo dan Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao. Menurut data BPK, puluhan triliun rupiah dana dekonsentrasi yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2001-2006 rentan diselewengkan karena tidak jelas laporan pertanggungjawabannya. Laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004 memastikan, seluruh departemen yang mengucurkan dana dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada periode 2001-2003, itu lebih buruk lagi karena pemerintah sama sekali tidak m e n y u s u n L K P P. P a d a 2 0 0 5 , pemerintah pusat mengucurkan dana dekonsentrasi Rp 4 triliun dan pertanggungjawabannya mengalami kemajuan karena sebagian dicantumkan dalam LKPP 2005. Namun, BPK masih menemukan dana dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun belum dicantumkan dalam LKPP 2005. Buruknya pelaporan dana dekonsentrasi juga merupakan salah satu penyebab BPK mengeluarkan opini disclaimer terhadap LKPP 2004 8 dan 2005 (Portal BPK, 29/1/2007). Sebagai gambaran, besaran dana dekonsentrasi yang mengucur ke daerah selama periode 2005-2007 secara berturut-turut adalah Rp. 17.972 milyar, Rp. 30.653 milyar, dan 9 Rp. 34.044 milyar. Ini berarti setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sementara belanja untuk daerah yang dialokasikan dalam APBN (sering 10 dikenal dengan dana desentralisasi), untuk periode yang sama jumlahnya juga meningkat, yakni Rp. 126.147 milyar, Rp. 217.031 milyar, dan Rp. 250.765 milyar (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan). Mengingat besarnya belanja pemerintah yang bersumber dari dana dekonsentrasi ini, maka wajar jika muncul tuntutan untuk penyempurnaan manajerial dalam pengelolaan dana dekonsentrasi. Untuk penyempurnaan kedepan, diharapkan pengelolaan dana / anggaran dekonsentrasi dapat 8 BPK juga menemukan pelanggaran dalam penggunaan dana dekonsentrasi di daerah. Sebagai contoh, dana dekonsentrasi sector kesehatan di Sumatera Utara ternyata juga diperuntukkan untuk membangun gedung, yang semestinya tidak boleh dipergunakan untuk pembangunan fisik (Portal BPK, 2006). 9 Diluar dana dekonsentrasi ini, masih ada belanja pusat di daerah pada kategori dana tugas pembantuan, yang besarnya berturut-turut adalah Rp. 12.120 milyar (2005), Rp. 5.620 milyar (2006), dan Rp. 9.429 milyar (2007). 10 Dana desentralisasi adalah belanja untuk daerah yang terdiri dari komponen dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana penyesuaian (DP), dana otsus (2% DAU Nasional), serta dana tambahan infrastruktur. Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 278
  • 31. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo dilakukan dengan menempuh empat tahap minimal berbasis kinerja (performance-based), yakni perencanaan kinerja, pelaksanaan kinerja, penilaian dan review kinerja, serta pembaharuan kinerja dan kontrak Perencanaan Kinerja Dekonsentrasi Pembaharuan Kinerja dan Kontrak Ulang ulang sebagai dasar perencanaan tahun berikutnya. Dalam bentuk model, siklus manajemen dana (dan program) dekonsentrasi dapat digambarkan sebagai berikut, sebagai rekomendasi untuk penyempurnaan ke depan. Pelaksanaan Kinerja Dekonsentrasi Penilaian Kinerja dan Review Kinerja Sumber: konstruksi penulis (2009). Gambar 1. Siklus Manajemen Dekonsentrasi (Proyeksi ke Depan) 2. Aspek Substansial Sebagaimana telah disinggung pada Bab 2 diatas, dekonsentrasi secara teoretis memiliki korelasi yang kuat dengan desentralisasi. Pada hakekatnya keduanya berhubungan dengan transfer kewenangan dari pusat ke daerah, hanya dalam desentralisasi terjadi penyerahan secara penuh/luas, sedangkan dalam dekonsentrasi hanya bersifat pemencaran saja namun kewenangan masih tetap berada ditangan pusat. 279 Namun dalam prakteknya, seringkali desentralisasi dan dekonsentrasi dipahami sebagai dua hal yang berseberangan. Berbagai program yang memperbesar peran pemerintah pusat selalu diidentikkan sebagai hasrat melakukan resentralisasi. Dampaknya, dekonsentrasi sebagai konsep atau konstruksi penataan hubungan antar susunan pemerintahan, menjadi tidak popular dan cenderung ditolak. Purwo Santoso (Jawa Pos, 27/12/2007) Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 32. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo mengungkapkan bahwa dengan pemberlakuan PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007, tidak ada lagi alasan untuk menyangkal bahwa resentralisasi telah berlangsung. Diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang justru hendak dibongkar melalui UU No 22/1999. Kritik serupa tentang inkonsistensi pusat dalam mendorong desentralisasi juga dikemukakan oleh Eko Prasojo (Jawa Pos, 27/12/2007). Menurut Eko, hingga memasuki 2008 penyelenggaraan otonomi daerah direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan yang desentralistik. Inkonsistensi pemerintah pusat terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini misalnya nampak dari pengambilalihan kembali urusan bidang pertanahan yang sudah diserahkan UU 22/2007 kepada pemerintah daerah. Pada sisi lain, berbagai macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk mengimplementasikannya. Sedangkan inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari tidak harmonisnya ketentuan peraturan Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 perundang-undangan antarsatu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang sentralistik. Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Namun disisi lain, Eko juga mengakui bahwa ketiadaan perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebab, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Dari penjelasan Eko Prasojo diatas dapat disimpulkan adanya dua faktor yang menyebabkan inkonsistensi dalam praktik penyelenggaraan otonomi daerah, yakni ketidakrelaan sektor (departemen) di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada daerah, serta ketiadaan perangkat dekonsentrasi. Selain kedua faktor tersebut, sebenarnya masih bisa ditambah satu faktor lagi, yakni kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan pemerintah pusat secara limitatif, serta kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada perangkat 280
  • 33. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo dekonsentrasi di daerah. Sejauh ini identifikasi jenis kewenangan-kewenangan yang dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi belum dilakukan secara jelas dan tegas oleh pemerintah (belum ada aturan perundangan-undangan yang lebih operasional). Walaupun pemerintah telah mengeluarkan PP No. 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, namun tidak mengatur dengan jelas terkait dengan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur. Sebab, PP No. 38/2007 memang lebih banyak mengatur bidang-bidang urusan yang didesentralisasikan, sedangkan urusan dekonsentrasi semestinya diturunkan lagi dari rincian urusan pemerintah pusat yang telah ditetapkan dalam PP No. 38/2007 tersebut. Kewenangan dekonsentrasi, jika dapat dirinci secara limitatif akan memiliki banyak nilai positif dan keuntungan, misalnya, pertama, sebagai pedoman bagi Gubernur untuk menjamin efektivitas fungsi pemerintah pusat di tingkat daerah. Dengan kata lain, kejelasan fungsi dekonsentrasi tadi akan memperkuat ikatan NKRI. Kedua, dapat menghindarkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih/overlap kegiatan antara program departemen dengan program pemprov, dan ketiga merupakan entry point untuk mengucurkan dana APBN dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah, karena kucuran dana dalam kerangka pembiayaan program yang tidak jelas (karena belum 281 dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai bentuk inefisiensi yang rendah tingkat akuntabilitasnya. Saat ini, regulasi yang paling konkrit mengatur tentang dekonsentrasi adalah PP No. 7/2008, namun didalamnya tidak ditemui tentang rincian isi kewenangan yang dapat didekonsentrasikan. PP ini lebih banyak mengatur tentang tata cara penyelenggaraan dekonsentrasi, tetapi lupa tidak mengatur sisi substansial. Sementara itu, regulasi sebelumnya yaitu PP No. 39/2001 sebenarnya lebih maju dibanding PP penggantinya. Dalam PP No. 39/2001 ini sudah memberi batasan kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku perangkat pemerintah pusat, meliputi sebagai berikut: a) Aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara, dan UndangUndang Dasar 1945 serta sosialisasi kebijaksanaan nasional di daerah; b) Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan, sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian; c) F a s i l i t a s i k e r j a s a m a d a n penyelesaian perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya; d) Pelantikan bupati/walikota; e) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah dengan daerah otonom di wilayahnya dalam rangka memelihara dan menjaga keutuhan NKRI; f) Fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; g) Pengkondisian terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik, bersih dan bertanggung jawab, baik yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun Badan Legislatif Daerah; Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 34. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo h) Penciptaan dan pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum; I) Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah lainnya yang tidak termasuk dalam tugas instansi lain; j) Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; k) Pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Keputusan DRPD serta Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota; l) P e n g a w a s a n p e l a k s a n a a n administrasi kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan m) Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah. Sayangnya, kewenangan tersebut diatas hanya berkenaan dengan bidang pemerintahan umum, dan belum meliputi urusan-urusan pemerintahan lainnya secara sektoral. Sementara dalam praktek, yang lebih terjadi adalah pelaksanaan sebagian tugas departemen teknis/sektor. Kondisi ini, sekali lagi, mencerminkan adanya implementation gap dalam penerapan kebijakan dekonsentrasi. PP No. 7/2008 sendiri lebih banyak mengatur tentang prosedur atau mekanisme dekonsentrasi, dan tidak banyak menyentuh aspek substansial. Ruang lingkup dekonsentrasi (dan tugas pembantuan) hanya dipersepsi sepanjang mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi (pasal 8-10). Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 Sedangkan aspek substantif diatur dalam pasal 13 yang menyatakan bahwa: “Urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah”. Bunyi pasal 13 diatas mengilustrasikan bahwa PP No. 7/2008 menggantungkan diri pada produk kebijakan lain yang secara khusus mengatur tentang substansi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, ketentuan yang dimaksud adalah PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Ironisnya, PP ini tidak menyediakan penjelasan tentang proses maupun kriteria pelimpahan urusan pemerintah kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Kondisi seperti inilah yang menjelaskan mengapa praktek dekonsentrasi menjadi sangat lambat dan tidak memiliki kejelasan hingga saat ini, bahkan cenderung menimbulkan permasalahan administratif seperti pertanggungjawaban, tumpang tindih urusan, hingga masalah inefisiensi anggaran sebagaimana telah dipaparkan secara detail pada awal Bab ini. Dalam perspektif kedepan, kejelasan kewenangan yang perlu atau akan didekonsentrasikan kepada perangkat pusat di daerah menjadi kebutuhan mendesak. Rincian kewenangan dekonsentrasi tersebut sedapat mungkin meliputi urusan 282
  • 35. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo mutlak (kewenangan absolut) pemerintah pusat yang terdiri dari enam bidang urusan (pasal 10 UU No. 32/2004), namun harus mencakup pula urusan-urusan besama (kewenangan c o n c u r re n t ) . L i m i t a s i u r u s a n dekonsentrasi yang mencakup urusan absolut diperlukan untuk mencegah tumpang tindih di antara instansi di tingkat pusat (kementerian dan lembaga) dengan perangkatnya di daerah, sedangkan limitasi urusan dekonsentrasi yang berhubungan dengan urusan bersama (concurrent) diperlukan untuk menjamin tidak adanya tumpang tindih antara instansi pusat (sebagai pihak yang melimpahkan urusan) dengan perangkat gubernur (sebagai pihak yang menjalankan urusan yang dilimpahkan). Tanpa adanya kejelasan dan limitasi urusan yang akan didekonsentrasikan (baik dari urusan absolute maupun concurrent) tadi, maka efektivitas dan efisiensi pemerintahan daerah tidak akan pernah terwujud secara optimal. PERANGKAT DEKONSENTRASI Studi awal tentang pemerintahan Provinsi (provincial government) dan kewenangan yang melekat padanya diawali oleh terbentuknya the British North America Act 1867 (BNA Act). UU yang menjadi dasar lahirnya Negara Kanada ini membentuk 3 (tiga) provinsi, yakni Nova Scotia, New Brunswick, dan Province of Canada. Dalam bagian Pembukaan BNA Act dikatakan bahwa ketiga provinsi tadi secara integral berada dibawah kontrol Kerajaan Inggris Raya dan memiliki hukum dasar yang serupa dengan konstitusi Kerajaan (federally united into One Dominion under the Crown of 283 the United Kingdom of Great Britain and Ireland with a constitution similar in principle to that of the United Kingdom). (Bellamy, Pammet and Rowat, 1976). Ketentuan diatas menyiratkan bahwa provinsi merupakan unit pemerintahan yang sepenuhnya menjalankan tugas yang diberikan/dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat, dan oleh karenanya dikontrol sepenuhnya pula oleh Pusat. Meskipun provinsi diberikan kewenangan-kewenangan otonom melalui Konstitusi Provinsi, namun tetap mencerminkan representasi pemerintah Pusat. Dengan kata lain, meskipun menjalankan fungsi desentralisasi, namun provinsiprovinsi tersebut sekaligus juga mengimplementasikan fungsi dekonsentrasi. Dalam wacana hubungan antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah, berbagai khazanah akademik menggambarkan bahwa unit pemerintahan Provinsi (provincial government) sering berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai unit intermediasi ini, Provinsi memiliki 2 (dua) posisi monopoli, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat (Schiavo-Campo dan Sundaram, 2000). Sebagai ilustrasi, Konstitusi Afrika Selatan membentuk tiga “ s p h e re s ” p e m e r i n t a h ( b u k a n “tingkat”), untuk menekankan aspek kerjasama antar jurisdiksi yang saling Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 36. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo melengkapi satu sama lain (cooperative government). Aspek hirarkis antara Provinsi dengan municipalities tetap ada dan terdapat di beberapa ketentuan dalam UUD, namun terbatas pada sistim monitoring, pembinaan dan supervisi. Provinsi merencanakan secara strategis, dan mendukung proses perencanaan municipalities. Pasal 155 (7) UUD memberikan hak baik kepada pemerintah nasional maupun pemerintah provinsi untuk menetapkan legislasi dan tindakan administratif untuk menjamin prestasi municipalities. Pemerintah provinsi diberikan hak untuk mengintervensi dalam penyelenggaraan pemerintahan municipalities agar standar pelayanan minimal tercapai dan mandat konstitutional municipalities secara keseluruhan dipenuhi (GTZ-SfDM dan USAID-PERFORM, 2003). Ide dasar dari pemikiran para ahli seperti disebutkan diatas adalah perlu adanya sharing kewenangan dan/atau tanggungjawab antar level pemerintahan dalam bidang urusan tertentu. Di Indonesia, dengan adanya perubahan bandul desentralisasi semenjak tahun 1999, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging effect), yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya pusat langsung kepada kabupaten/kota. Pada saat yang sama, terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari provinsi. Proses inilah yang menjadikan fungsi dan peran provinsi menjadi tidak lagi signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004 hanya memberikan tiga tugas/wewenang gubernur selaku wakil pemerintah, yaitu koordinasi, Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah. Hal ini menyiratkan bahwa fungsi atau peran gubernur (kepala pemerintahan provinsi) menjadi berkurang atau mengalami efek trade-off dengan bergulirnya otonomi luas. Dalam posisi yang melemah tadi, provinsi relatif kehilangan pengaruh terhadap kabupaten/kota, baik dalam aspek perencanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, dan evaluasi / monitoring penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kondisi ini diperberat dengan kenyataan bahwa perangkat dekonsentrasi semenjak 1999 hanya dilaksanakan oleh gubernur, sedangkan pada tahun sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1974, perangkat dekonsentrasi adalah pemerintahan wilayah yang terdiri dari kepala wilayah (yang dirangkap oleh kepala daerah), serta kantor-kantor wilayah sebagai kepanjangan kementerian di tingkat pusat. Secara logika, tidaklah mungkin gubernur menjalankan tugastugas dekonsentrasi seorang diri. Konsekuensinya, tugas-tugas dekonsentrasi akhirnya dijalankan oleh dinas-dinas daerah atau perangkat daerah lainnya. Tentu saja, pelaksanaan tugas dekonsentrasi oleh perangkat desentralisasi ini dapat menimbulkan permasalahan baru. Tidak terintegrasinya fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat mengakibatkan timbulnya tumpang tindih, kekaburan, dan duplikasi tugas. Selain itu, beban kerja perangkat daerah juga semakin besar, dan ini akan menyebabkan tingkat efektivitas menjadi menurun. Masalah ini belum 284
  • 37. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo termasuk persoalan administratif seperti siklus perencanaan dekonsentrasi, model pelaporan dan pertanggungjawaban, dan sebagainya. Oleh sebab itu, model kelembagaan dekonsentrasi yang tepat, akan menentukan keberhasilan program dekonsentrasi tersebut. Dengan kata lain, penataan kelembagaan dekonsentrasi semestinya diintegrasikan dengan penataan kewenangan dan pengaturan aspek penganggaran dekonsentrasi. Secara historis, perangkat penyelenggara dekonsentrasi memang berubah-ubah. Perubahan yang paling mendasar terjadi pada periode UU No. 22/1999 dimana urusan pemerintahan yang bersifat concurrent (dilaksanakan bersama-sama oleh berbagai tingkat pemerintahan), tidak ada lagi perangkat pusat secara khusus yang menjalankannya. Dalam hal ini, hanya gubernur-lah satu-satunya perangkat dekonsentrasi di tingkap provinsi, sedangkan di kabupaten/kota tidak ada satupun pejabat / instansi vertikalnya. Secara lebih detail, perangkat dekonsentrasi yang menjalankan kewenangan / urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004) Dasar Hukum Perangkat Penyelenggara Dekonsentrai UU No. 22/1948 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi. Oleh arena pemerintahan daerah hanya diselenggarakan berdasarkan 2 asas, yakni otonomi atau penyerahan penuh dan medebewind atau penyerahan tidak penuh (Penjelasan UU), maka tidak tergambar asas dekonsentrasi sama sekali. Namun, Kepala Daerah yang merangkap sebagai Kepala Dewan Pemerintah Daerah, selain berkedudukan sebagai kepala daerah otonom, bekedudukan juga selaku pejabat pemerintah Pusat. Dalam fungsi ini, Kepala Daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD. Ia berhak menahan dijalankannya suatu keputusan kedua dewan apabila dianggap bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan dari pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi (pasal 36). UU No. 1/1957 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi, dan tidak dikenal pula istilah pemerintahan wilayah. Hal ini disebabkan UU ini menganut sistem otonomi riil, sehingga perumusan mengenai urusan rumah tangga daerah bersifat umum. Menurut penjelasan umum UU No. 1957/1, oleh karena pertumbuhan dan dinamika kehidupan masyarakat serta faktorfaktor yang terdapat didalam masyarakat itu sendiri tidak memungkinkan penetapan secara tegas manakah yang merupakan urusan rumah tangga daerah dan manakah yang termasuk urusan Pusat, maka pada asasnya tidak diadakan 285 Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 38. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo pembagian kekuasaan (baca: kewenangan atau urusan) antara Daerah dengan Pusat secara terperinci. Secara implisit, prinsip pembagian kewenangan pusat dan daerah dapat ditemukan dari ketentuan pasal 31 dan 38 sebagai berikut: ? 31 (ayat 1): Setiap daerah berhak mengatur dan Pasal mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya. ? 38 (ayat 2): Sebagai pembatasan terhadap hak itu ialah Pasal bahwa sesuatu daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok (onderwerpen) dan hal-hal (punten) yang telah diatur dalam peraturan perundangan (wetelijk regeling) dari pemerintah Pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatnya. UU No. 18/1965 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa “Tidak mungkin untuk menyusun perincian secara limitatif tentang berbagai jenis urusan-urusan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang seragam, malahan perincian yang demikian akan tidak sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat daerah yang bersangkutan”. Namun untuk menegaskan batas-batas kewenangan daerah, terdapat pengaturan sebagai berikut: ? kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya, Dalam daerah tidak dapat menjalankan kekuasaan diluar batas-batas wilayah daerahnya. ? Daerah tidak pula diperbolehkan mencampuri urusan rumah tangga daerah lain, yang secara positif enumeratif telah ditentukan dalam UU pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkal, dan urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam PP atau Perda dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. ? Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan memasuki hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah dibawahnya. UU No. 5/1974 ? Wilayah (psl. 1, 76-81) Kepala ? Instansi vertikal (psl. 1, 85) UU No. 22/1999 ? Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 9, 31) ? Perangkat pusat di daerah atau Instansi vertikal (psl. 1, 64) ? propinsi (psl. 63) Dinas UU No. 32/2004 ? Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 10, 37) ? Instansi vertikal (psl. 1) Sumber: konstruksi penulis berdasarkan UU Pemerintahan Daerah 1948-2004 Dari perbandingan material UU Pemerintahan Daerah (1948-2004) diatas, maka kondisi umum perangkat Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 dekonsentrasi dapat dijelaskan dan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) periode sebagai berikut: 286
  • 39. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo 1. P e r i o d e p e r t a m a : s e b e l u m berlakunya UU No. 5/1974 (19481974). Para periode ini, secara umum dapat disimak adanya kesamaan paradigma berpikir tentang pemerintahan daerah diantara UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, dan UU No. 18/1965. Kesamaan antara lain bahwa fungsi dekonsentrasi belum terdefinisikan dengan jelas dan konkrit, karena memang belum dilakukan pembagian kekuasaan / kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Selain itu, meskipun kepala daerah juga berkedudukan selaku “wakil pemerintah” atau membawa misi dan kepentingan pusat, namun rincian tugas-tugas selaku wakil pemerintah tadi belum dilakukan. Fungsi yang dijalankan selaku pejabat pemerintah pusat, lebih banyak menjalankan fungsifungsi pemerintahan umum, misalnya dalam rangka pengawasan. 2. Periode kedua: masa berlakunya UU No. 5/1974 (1974-1999). Pada masa berlakunya UU No. 5/1974, penyelenggaraan dekonsentrasi dapat dikatakan optimal dilihat dari perangkat yang tersedia di tingkat daerah. Persoalannya, jumlah instansi vertikal terlalu banyak, sedangkan rincian kewenangan dekonsentrasi juga belum diidentifikasi secara limitatif. Situasi surplus kelembagaan seperti ini jelas dapat menimbulkan inefisiensi penggunaan sumber daya (khususnya aspek kepegawaian dan keuangan), disamping berpotensi menimbulkan problem koordinasi 287 dengan perangkat pemerintah daerah. 3. Periode ketiga: pasca penggantian UU No. 5/1974 (1999-sekarang). Adapun pada masa UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, perangkat dekonsentrasi menjadi sangat sedikit. Instansi vertikal yang masih dipertahankan adalah instansi yang menjalankan urusan mutlak pemerintah, sedang untuk urusan bersama (concurrent), hanya ada Gubernur selaku wakil pemerintah yang menjadi perangkat dekonsentrasi. Jika pada masa sebelumnya terjadi surplus instansi vertikal, maka semenjak tahun 1999 justru menjadi defisit perangkat dekonsentrasi. Kondisi defisit kelembagaan ini juga menimbulkan persoalan baru, karena gubernur mau tidak mau harus menitipkan urusan dekonsentrasi kepada perangkat desentralisasi. Persoalan menjadi semakin pelik ketika urusan dekonsentrasi ternyata tidak diterima perangkat daerah dari gubernur, tetapi langsung dari kementerian / lembaga di tingkat pusat. Tentang kedudukan gubernur selaku perangkat dekonsentrasi ini, Prasojo (2008) menyimpulkan bahwa otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmented administration) yang b er l eb ih an d i k ab u p at en /k o ta. Ketentuan pasal 4 UU No. 22/1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki antara propinsi dan kabupaten/kota telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012
  • 40. TELAAH NORMATIF DAN EMPIRIS TENTANG IMPLEMENTASI ASAS DEKONSENTRASI DI INDONESIA Tri Widodo W. Utomo pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten/kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32/2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti itu, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk. Dari ketiga pembabakan waktu diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dan kewenangan dekonsentrasi sepanjang sejarah pemerintahan RI sesungguhnya belum berjalan sepenuhnya. Dekonsentrasi secara faktual masih menjadi komplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi. Dalam hal ini, dari berbagai UU Pemerintahan Daerah yang ada, hanya UU No. 18/1965 yang berani secara tegas menyebutkan bahwa dekonsentrasi adalah komplemen dari desentralisasi. Keseriusan pemerintah untuk menjalankan fungsi dekonsentrasi ini sangat lemah, baik dilihat dari ketiadaan peraturan perundangan yang mendukungnya maupun kekurangjelasan mekanisme penganggaran beserta pertanggungjawabannya. Uniknya, meskipun kebijakan pemerintah dari masa ke masa merefleksikan bahwa Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 3 | 2012 dekonsentrasi lebih merupakan pelengkap, namun dalam realitanya peran dan intervensi pemerintah pusat masih cukup dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kondisi ketidakjelasan konsep dan implementasi fungsi dekonsentrasi seperti dipaparkan diatas tentu tidak dapat dipertahankan berlarut-larut. Dilihat dari dimensi perangkat penyelenggaranya, maka prospek penataan kelembagaan dekonsentrasi dapat dikembangkan dari beberapa alternatif atau model dibawah ini: 1. Model efisiensi. Semangat dasar dari model efisiensi adalah pemerintahan yang sedikit mengatur (least government) sehingga dapat dicegah adanya tumpang tindih program sekaligus dapat diciptakan penghematan dalam penggunaan sumber daya (resources). Dengan pola pikir ini, maka perangkat dekonsentrasi tetap dipertahankan ramping seperti yang dianut dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, yakni hanya gubernur selaku wakil pemerintah. Namun konsekuensinya, fungsi atau kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan gubernur hanya menyangkut fungsi pemerintahan umum seperti koordinasi, pengawasan dan pengendalian, penegakan peraturan perundangan, penciptaan keamanan dan ketertiban, pembinaan ideologi negara dan persatuan bangsa, atau perencanaan pembangunan yang terintegrasi. Kalaupun ada fungsifungsi pemerintah pusat yang akan ditransfer kepada daerah, maka bisa diwadahi kedalam asas delegasi atau tugas pembantuan. 288