Dokumen ini membahas tentang fenomena pertanian di Indonesia dan konsep pembangunan pertanian ideal untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Beberapa fenomena pertanian di Indonesia adalah pembagian lahan yang timpang, pendidikan petani yang rendah, akses modal yang terbatas, dan nilai tukar petani yang merosot. Konsep pembangunan pertanian idealnya adalah memberikan akses lahan dan sumber daya produktif lainnya kepada petani, serta kerja sama
Makalah_53 Fenomena pertanian dan model pembangunan
1. TUGAS
FENOMENA PERTANIAN INDONESIA DAN KONSEP PEMBANGUNAN
PERTANIAN DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Pembangunan Pertanian
Semester Ganjil Tahun 2010
Oleh
Raden Bondan E B
150110080162
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2. A. Fenomena Pertanian di Indonesia
• Pembagian Lahan yang Timpang
Kemisikinan pertanian berasal dari kurangnya areal lahan yang dimiliki petani pada
umumnya, sehingga mayoritas petani hanya memiliki lahan petani dibawah 0.5 hectar dan
produktivitasnya tidak mencapai target. Meskipun Indonesia memiliki Undang – Undang
Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Menurut Fan dan Hazel tahun 1999,
bahwa petani yang positif responsnya terhadap kenaikan harga dan insentif-insentif produksi
lainnya hanya jika petani mempunyai akses sepenuhnya terhadap faktor-faktor produksi
seperti tanah, irigasi (air), modal, sumber daya manusia dan input-input krusial lainnya.
Tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau
tumbuh 1,8% per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah
2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah
penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4% per
tahun (Tabel 11). Petani-petani gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan
pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar
kemiskinan di perdesaan (Mason dan Baptist, 1996).
Untuk kasus lahan padi, walaupun setiap tahun ada lahan baru, namun laju penambahan
lahan lebih kecil daripada tingkat konversi lahan pertanian sehingga setiap tahun jumlah
lahan untuk sawah atau ladang padi terus berkurang. Di Jawa selama periode 1999-2003 luas
lahan konversi tercatat sebesar 149,1 ribu hektar (ha) atau dengan tingkat konversi 4,425, dan
di luar Jawa mencapai hampir 424 juta ha atau 5,23%.
2
3. • Pendidikan Petani yang Rendah
Sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar (44,98) dan
tidak berpendidikan formal sama sekali (31,62%). Hanya sekitar 1,69% dari jumlah petani
yang ada pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier. Kondisi ini menjadi
salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini.
• Akses ke Modal Terbatas
Menurut data BPS (SP), proporsi petani yang pernah memakai pinjaman bank hanya
sekitar 3,06%; dan ini kebanyakan pemilik-pemilik lahan perkebunan yang luas seperti di
subsektor kelapa sawit, sedangkan petani padi sangat sulit mendapatkan akses ke bank.
Sebagian besar petani memakai uang sendiri dan sekitar 9,7% memakai pinjaman atau
bantuan modal dari kawan, tetangga atau keluarga (”lainnya”) dalam mendanai kegiatan
bertani mereka (Gambar 2).
3
4. • Nilai Tukar Petani yang Merosot
NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat kesejahteraan petani
terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri
ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang
berhubungan dengan pasar input, yang untuk input-input tertentu namun sangat krusial
seperti pupuk petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi
penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan
monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober
2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks
harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam
kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.
Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan
oleh Subandriyo (2006) Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil
struktur non-usaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi.
Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani.
Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna. Selain itu,
informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani.
Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas......... Porsi terbesar dari nilai tambah
peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani.
4
5. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang
ada pada sektor nonusaha tani.
B. Bentuk Pembangunan Ideal Pertanian di Indonesia
5
6. • Diagram diatas menjelaskan bahwa inti suatu pembangunan dimulai petani sebagai objek
utama. Kemudian pemerintah membuat dan mengawasi sebuah kebijakan yang
disosialisasikan meliputi kepemilikan lahan, pendidikan, akses modal, nilai tukar petani.
Pihak swasta bekerja sama dengan pemerintah untuk mempermudah input – modal yang
dibutuhkan petani jika berasal dari pihak swasta sehingga tidak terjadi kemacetan modal
produksi yang dipinjamkan.
• Adanya Aksesibilitas atas tanah adalah property rights. Ketidakadilan dalam ekonomi
dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property rights, yang hanya
menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani entitlement, yaitu tak seorang pun
harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya
karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan (Hadar, 2006). Kesalahan
pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan
1945 tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan
land reform. Pemerintah Indonesia (seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia)
berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses
lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam hal ini
petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya (Hadar, 2006). Banyak negara
yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata, yaitu kesejahteraan petani di negara-
negara tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.. Keuntungan
dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar (2006) sebagai berikut, Perubahan status
dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak positif karena selain
lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka
juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai
manager dan pekerja tani.
6
7. DAFTAR PUSTAKA
Hadar. 2006. Dalam Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian sangat Krucial bagi
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Diakses melalui http://www.kadin
indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-1580-02032007.pdf. Tanggal akses
25/10/2010.
Subandriyo. 2006. Dalam Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian sangat Krucial bagi
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Diakses melalui http://www.kadin
indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-1580-02032007.pdf. Tanggal akses
25/10/2010.
Tambunan. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian sangat Krucial bagi Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia. Diakses melalui http://www.kadin
7