1. Delapan Wasiat Rosululloh SAW
ااريبش رسهلأ .لكه ادلين عىل يظهرهل احلق ودين ابلهدى رسوهل رسلأ اذلى هلل امحلد ان
.اريمن ورساجا نهذاب هللا اىل وداعيا ارنذيو
أافعرا .رسوهل و عبده محمدا ان اشهدو .أرذخ للقائه اعدها شهادة .هل يكرش ال وحده هللا الا اهل ال ان شهد
هيافياأ .بعد ماأ .اريكث تسلامي وسمل حصابهأو هلأ وعىل محمد يدانس عىل وابرك وسمل صل للهما .ارقد يةربال
.مسلمون نمتأو الا تنومتالو تقاته حق اتقوهللا الناس
Ma’asyiral Musilimin Rahimakumullah Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang
Maha Indah yang ke-indahannya tak pernah menyusut walau dibagi kepada seluruh
warga jagad raya. Keindahan inilah yang membuat manusia betah berada di dunia
dan enggan meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa diberi kesadaran
bahwa keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya sebagai
orientasi dan tujuan dalam hidup ini
لمي ع غل ب م وال ي مه رب كأ يا ندلا عل جت ال همل لا
Hadirin Jamaa’ah Jum’ah yang dirahmati AllahPotongan do’a di atas nampaknya
sangat relevan dalam kehidupan kita sekarang ini. Do’a pengharapan kepada-Nya
agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita, supaya tidak menjadikan dunia
se-isinya sebagai cita-cita dalam kehidupan dan orientasi dalam ilmu pengetahuan.
2. Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan
menuju kepada-Nya, bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini
menunjukkan arah yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya Baru
di sekitar kita. Manusia-manusia luar biasa yang dengan bersusah payah dan penuh
perjuangan, sampai pada taraf hidup yang menakjubkan. Mereka telah
meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat kehidupan dengan
penuh kemewahan.
Tidak, khutbah ini tidak untuk membincang mereka atau menyirami penyakit hasud
dalam hati, sehingga menjadi lebih subur. Namun, hendak mengingatkan
bagaimanakah sebaiknya kita menyikapi perubahan itu. Karena dunia dan seisinya
adalah cobaan bagi manusia.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah Di suatu waktu Rasulullah saw. berbincang
dengan hangat bersama Abu Dzar al-Ghifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari
berkata kepada Nabi S.a.w, “Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku.” Beliau
bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah
pokok segala urusan.” Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya. Seperti
firman-Nya:
مك قا ات هللا ند ع مك رم كأ نا
Namun taqwa itu bagaikan konsep teoritis yang harus diterjemahkan biar mudah
untuk diraih. Bagi kaum awam, taqwa itu cukup sulit untuk diaplikasikan dalam
kehidupan. Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada Allah
3. swt? Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan
duniawi? Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini,
dan Abu Dzarpun tidak menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara
yang jelas. Namun marilah kita ikuti percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah “Ya Rasulallah,
tambahkanlah wasiat apalagi yang penting setelah taqwa.”. Rasulullah saw
menjawab “Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada
Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu dibumi dan
simpananmu dilangit.”
Ingatlah kita pada do’a khatmil Qur’an yang sangat masyhur
امم ُهْنام انم ْرِّاكمذ َّمُهَّللا ,ًةم َْحمرمو ىًُدهمو اًرُْونمو اًمامم
ِ
ا امنمل ُْهلمعْاجمو ,انأْرُقْل ااب امنْ مَحْار َّمُهَّللامم ُهْنام امنْمِّالمعمو ,امنْي اسمن,امنْلا مَج ا
م ْيامملامعْلا َّبمر مَي ًةَّجُح امنمل ُْهلمعْاجمو ,اارم َّالَّن مافمرْطَأمو الْيَّللا مءمآنأ ُهمتمومالات امنْقُزْارمو
Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk
menerangi perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan yang
dapat mengamankan kehidupan di akhirat nanti.
Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad
saw. iapun berkata meminta “Ya Rasulullah, tambahkanlah.”. Rasulullah menjawab
“Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati
dan menghilangkan cahaya wajah.” Tertawa adalah hal yang kelihatan sangat
sepele, tetapi Rasulullah saw melihat itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak
psikologis dalam jiwa manusia. Karena kebanyakan manusia ketika tertawa akan
4. melupakan segala kewajiban sebagai seorang hamba. Hal ini berbeda dengan
model tertawa Rasulullah saw seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits
Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya sekedar senyum.” (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR.
Tirmidzi) Kalau demikian, apa maksud stasiun televise berbondong-bondong
menghadirkan acara humor, lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya
sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya sekedar relaksasi dari kejenuhan hidup
ini? Entahlah, yang Jelas Rasulullah telah berwasiat demikian. Saya rasa
kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad saw, jauh mengatasi dari pada berbagai
produser acara di televise.
Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun melanjutkan
pertanyaanya kembali “lalu apa lagi ya Rasulullah.?” Rasulullah saw pun menjawab
“Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku.”
Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu
kepahlawanan? Inilah yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat padu
dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa jihad terbesar
adalah melawan hawa nafsu “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad
yang besar. Para sahabat bertanya, “Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab,
“Jihaad al-qalbi (jihad hati).’ Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs”. (lihat
Kanz al-’Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta “Lagi ya Rasulullah?”
rasulpun menjawab “Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka.”
jikalau keempat hal yang telah lalu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini
5. mencintai dan menggauli orang miskin membuktikan adanya unsure sosialis yang
tinggi dalam ajaran Rasulullah saw. mencintai dan bergaul dengan orang miskin
merupakan manifestasi dari kemanusiaan seorang manusia. Dari berbagai ayat
dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjukkan bahwa hubungan itu selalu dihiasi
dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ 36. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan teman
sejawat, ibnu sabil {295} dan hamba sahayamu.
Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata “Tambahilah
lagi.” Rasulullah saw menjawab “Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya.”
Qulil haqqa walau kana murran, مرا ان ك و ول حق ال ل ق karena memang kebenaran bagi
sebagian keadaan adalah kepahitan itu sendiri. Inilah yang sedang terjadi di sekitar
kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, seolah kebenaran enggan
menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun
karena keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan bersamaan.
Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, “tambahlah lagi untukku!.” Rasulullah
pun menjawab “Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah
engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan.
Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah
diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati
(ketahui).” Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya
bersabda,”Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang
yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan
6. diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik
akhlaqnya.”
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah S.a.w kepada salah
seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan
wasiat beliau.
ا رَاَُعرا انوأررُكقُرا ر اا ر ُكمكُو ر اا ُكهللا ِِْ ُكنَنا ُكنتوَّيات ر ُكمكرَامو ْاِام لَبقتو ا رَاذلْرُاا رركاكو اوتوقرا َام انراو اْا رُكمك َتاو اِعننو
ُك رَالُعرا ُكعريام َاُع ُْكُ