3. Penentuan Idul Fitri (1 Syawal)
Ada 2 kelompok pendapat mujtahid tentang
rukyatul hilal (melihat hilal) awal & akhir
Ramadhan:
Syafi’iyah (ulama madzhab Syafi’i) : rukyat di satu
wilayah berlaku untuk wilayah lain yang berada
dalam 1 mathla’ rukyat lokal
Hanafi, Hambali, Maliki : rukyat di satu wilayah
berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia
rukyat global
4. Penentuan Idul Adha (10 Dzulhijjah)
Ulama SELURUH madzhab (Syafi’i, Maliki,
Hambali, Hanafi) SEPAKAT :
Idul Adha ditentukan berdasarkan rukyatul hilal
(pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal
bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh PENDUDUK
MAKKAH.
Rukyat ini berlaku untuk seluruh dunia.
5. Fakta Idul Adha
Diriwayatkan secara MUTAWATTIR, sejak masa kenabian,
Khulafa’ ur-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin,
hingga masa kita sekarang IDUL ADHA selalu
SEREMPAK
Meskipun sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah
(telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran
Islam) anehnya pemerintah kita dengan mengikuti
fatwa sebagian ulama membolehkan perbedaan Idul
Adha di Indonesia.
Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka
bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam ber-Idul Adha
sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq
(tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr
atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
7. (1) Wajib ber-Idul Adha (dan Idul Fitri) pada
hari yang sama
Hadits A’isyah RA, dia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda:
“Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan
Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR. At-
Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697,
hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari
shahabat Abu Hurairah RA dengan lafal :
“Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa.
Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari
mereka menyembelih kurban.” (HR.Tirmidzi) Lihat Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697,
hadits no 1306)
8. (1) Wajib ber-Idul Adha (dan Idul Fitri)
pada hari yang sama
Imam At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi
(ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
“Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah
yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di
bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar
orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut :
Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
9. (2) Idul Adha didasarkan pada
ru’yat dari penduduk Makkah
Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata:
“Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah
dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk
melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami
tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil
meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan
kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan
Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni
berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’
Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm,
2000], hal. 841, hadits no 1629)
10. Penjelasan..
Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan
manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam
di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan
berdasarkan RUKYAT PENDUDUK MAKKAH sendiri, bukan
berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau
penduduk negeri-negeri Islam lainnya.
Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali)
Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji
berdasarkan ru’yat.
Praktek ini yang telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah
Islamiyah
Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan
waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang
memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun
kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’.
11. Penjelasan..
Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di
dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari
penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji
di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada
tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya
(hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
12. (3) Haram Puasa Arafah, di Arafah.
Sunnah puasa Arafah, di tempat lain
Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang
puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu
Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam
Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar,
[Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no
1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata,
“Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal
9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah
haji.”
13. Kapan hari Arafah?
» فِطْرُكُمْ يَوْمَ تفُْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تضَُحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تعُ رفُوْنَ «
Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian
berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul
Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih
kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika
kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-
Syafii dari ‘Aisyah, dalam al-Umm, juz I, hal. 230).
Maka mestinya, umat Islam di seluruh dunia yang
tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan
penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman.
14. Penjelasan
Merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban
penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas
seluruh kaum Muslim.
Disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (= hari tatkala
jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu
adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Maka, atas dasar apa kaum Muslim di Indonesia justru berpuasa
Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah),
yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka?
Dan bukankah PUASA pada HARI RAYA adalah HARAM?
Lalu atas dasar apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan
malahan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari
Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar
(bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim
yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
15. Dalil yang dijadikan DALIH
“Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal
(mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian
(beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika
terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk
membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha)
di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan
pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru.
16. Kekeliruannya..
Pertama,
Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak
menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun
tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri,
bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat menjadikannya
sebagai dalil kebolehan perbedaan Idul Adha karena adanya
perbedaan mathla’ hilal
Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya TIDAKLAH
BERBEDA-BEDA. Sebab, bulan lahir di langit pada satu titik
waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku
untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya
hanyalah waktu pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka
waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang
lamanya tidak lebih dari 12 jam.
17. Kekeliruannya..
Kedua,
hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan
Idul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu
hisab.
Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun “dalalah”
(pemahaman) yang membolehkan pengamalan ilmu hisab
untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul
Fitri.
Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: “(……jika pandangan
kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya
bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan
menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan
sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat
18. Kekeliruannya..
Ketiga,
Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku
untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak
boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat
tauqifiyah– maka hadits tersebut justru akan bertentangan
dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang
bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji.
Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan
kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk
menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk
menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat
penduduk Makkah (bukan ru’yat kaumMuslim yang lain
di berbagai negeri Islam).
19. Kesimpulan
Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya
dalam hal penentuan hari-hari raya Islam.
Indonesia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum
Muslim di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap
bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan rukyat penduduk
Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma’ kaum Muslim itu, selain
Indonesia !
Atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma’ tersebut
dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim?
Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang
mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para
umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa
dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti??
20. Kesimpulan
Perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya
terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan
Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak
dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa oleh
kaum kafir penjajah.
Kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak
akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah
Islamiyah Rasyidah.
Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum Muslim di
seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk
menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah
cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !