SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/15/cn/11430
Penentuan 1 Ramadhan Dan 1 Syawal
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Ustadz,
Sebelumnya saya ucapkan Taqoballahu minna wa minkum, Salam buat ustadz - ustadz yang lain
Ustadz, pertanyaan saya ini sebenarnya masalah khilafiyah, namun saya ingin sekali mendapatkan
jawaban yang jelas mengenai penentuan awal bulan hijriyah khususnya RAmadhan dan Syawal.
1. Sebenarnya metode apakah yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah?HIsab atau
Ru'yat
2. Ada sebuah harakah Islam yang berpendapat bahwa ketika Hilal telah terlihat dimuka bumi
manapun maka umat Islam diseluruh dunia wajib mengikuti hal tersebut maksudnya berpuasa dan
berlebaran sesuai pendapat tersebut. Bagaimana pendapat tersebut? Dalil bagaimana? karena
menurut saya dalil mereka cukup kuat!
3. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang penentuan awal bulannya berdasarkan penglihatan hilal
secara Regional? Dalil apa yang dipakai?
4. Bagaimana sikap kita sebaiknya?
Jazakallah Khoir atas jawaban ustadz.
Fikhri M
Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
1. Seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa penentuan hilal (bulan sabit) Ramadhan dan hilal
Syawwal ditentukan dengan rukyatul hilal. Sedangkan metode hisab dilakukan manakala rukyat itu
tidak berhasil dilakukan karena adanya awan atau sebab lain sehingga hilal tidak terlihat.
Dalil tentang rukyatul hilal adalah dalil yang shahih dan tidak ada dalil lainnya yang menafikannya.
Adapun metode hisab justru berdaraskan dalil yang sama dengan syarat bahwa hilal itu tidak terlihat.
Di sisi lain, para ulama mengatakan bahwa metode hisab itu bisa dijadikan acuan umum untuk
menetukan kapankah rukyatul hilal akan dilakukan. Tetapi tidak bisa dijadikan penentu dari
bergantinya bulan. Penentuannya tetap harus dengan rukyat juga.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa bila hilal terlihat di satu titik di muka bumi lalu seluruh dunia
harus mengikutinya bukanlah milik harakah tertentu. Justru pendapat itu milik umat Islam, dalam hal
ini milik salah satu mazhab fiqih dalam Islam. Pendapat ini sejak masa lalu sudah ada dan
berdampingan dengan mazhab lainnya yang tetap memastikan bahwa tiap wilayah tertentu di muka
bumi punya waktu tersendiri yang mungkin saja berbeda dengan wilayah lainnya.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama. Mereka (jumhur)
menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah
negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip
wihdatul matholi?, yaitu bahwa mathla? (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di
seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan,
maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi?i ra. Beliau berpendapat
bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri
yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki hukum sendiri. Ini
1
didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi? atau beragamnya tempat terbitnya
bulan.
Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1
farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh
sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak
tersebut, tidak terikat hukum ruk?yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar,
juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16
farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah
Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142).
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Penentuan Hilal bulan Ramadhan dan Syawal
Posted by admin
05/12/2001 8167 clicks
Sumber : http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=23
Sering kita saksikan dan alami kaum muslimin berbeda pendapat didalam menentukan tanggal 1
Ramadhan dan 1 Syawal. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana syariat membimbing kita dididalam
menentukan hilal tersebut sehingga kita bisa lebih yakin didalam mengikuti sebuah pendapat
1. CARA MENENTUKAN IBADAH PUASA DAN IEDUL FITHRI
Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah
karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.”
(HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa
2
satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa
sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari
kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi
1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari
kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani
dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian
sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah
kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-
Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh
Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-
lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul
Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga
perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat
pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja
saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa
aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-
Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-
Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam
agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
2. PERBEDAAN MATHLA’ (TEMPAT MUNCUL HILAL) DAN PERSELISIHAN TENTANGNYA
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah
dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada
satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits
Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata :
“Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan
aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan.
3
Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun
menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’
Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami
melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya
(hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah
Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud
dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan
dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa
pendapat :
Pendapat Pertama:
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih
Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa
keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini
adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua:
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan
madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa
para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia)
dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat
kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua
berpuasa...
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan
jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari
Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan
Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-
Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa
dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
4
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan
salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan
oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa
beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain.
Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu
kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini
umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka
ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara
kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan
hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak,
iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak
digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka
ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan
Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal....
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib
puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa)
untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya.
Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka
karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka
barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah
An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung
pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya
mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih
pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat
jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama
muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan
Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak
5
bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani
rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang
berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di
negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya
bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan
(pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya,
mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama
sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397)
3. BOLEHKAH BER -IEDUL FITHRI SENDIRI MENYELISIHI KAUM MUSLIMIN ?
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul
fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab
Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri)
adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan
beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah.
Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-
Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa
dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang
mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk
mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan
bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka,
berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu
orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa
sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)
6
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu
Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian
dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal
sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah
pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah
Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah).
Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah.
Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”
(Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka
wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang
adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan
yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak
berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau
salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia
sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan
mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah
atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan
pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam
1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau
membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila
kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika
mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena
pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang
diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah
bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang
sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa
7
tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam
Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu
hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang
wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya ….
Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan
wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali
dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah
hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa
berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena
terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani
menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal
pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban.
Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum
Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa
(yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan
pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah
bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
4. HUKUM HILAL YANG DIKETAHUI PADA AKHIR SIANG
Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara
datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR.
Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).
8
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak
jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari
yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu
Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari
kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya
mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22)
Kontributor : Abu Abdirrahman Uli
http://mutoha.blogspot.com/2006/09/hilal-ramadhan.html
9
Jumat, September 22, 2006
Hilal Ramadhan
Bukan hal yang baru lagi bahwa setiap menjelang datangnya Ramadhan, Idul Fitri
dan Idul Adha kita selalu dihantui oleh perbedaan pandangan mengenai kapan
jatuhnya awal bulan tersebut. Hal ini seolah sudah menjadi tradisi umat Islam di
Indonesia bahwa kalau gak beda bukan Indonesia namanya. Menurut para ulama
bahwa perbedaan itu adalah rahmat, barangkali karena itulah kita sering beda.
Berarti kalau perbedaan adalah rahmat, boleh saya balik berarti kesamaan adalah
bencana! Moga-moga tidak demikan.
Mengamati kalender yang beredar di masyarakat terbitan dari berbagai ormas-ormas
Islam termasuk dari pemerintah dalam hal ini Departemen Agama nampaknya untuk
Ramadhan tahun ini akan dimulai secara serentak dan bersama pada Minggu, 24
September 2006. Lha kenapa bisa bareng? khan biasanya seneng beda! mari kita
cari sebabnya.
Kalender Hijriyah
10
Kalender Hijriyah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi
bumi. Oleh sebab itulah kalender ini sering disebut kalender komariyah. Ada banyak
kalender lain yang juga mengacu para peredaran bulan, misalnya kalender Jawa,
kalender Cina, kalender Yahudi dsb. Kalender Hiljriyah berbeda dengan kalender
nasional yang menggunakan acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga
sering disebut kalender syamsiyah. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul
00 tengah malam dan bersifat tetap. Sedangkan kalender Hijriyah mengawali
harinya pada sore hari saat matahari terbenam di suatu tempat sehingga jamnya
berubah-ubah dari hari ke hari.
Jumlah hari dalam satu bulan pada kalender nasional sudah diatur secara tetap
yaitu: Januari (31), Februari (28/29=kabisat), Maret (31), April (30), Mei (31), Juni
(30), Juli (31), Agustus (31), September (30), Oktober (31), November (30) dan
Desember (31). Sedangkan jumlah hari dalam satu bulan pada kalender Hijriyah
meliputi : Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir,
Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Zulqaidah dan Zulhijjah selalu berubah bisa 29 atau 30
tergantung oleh nampak tidaknya hilal sebagai pertanda mulainya awal bulan
Hijriyah. Ketidakpastian jumlah hari ini dalam sebulan ini disebabkan dalam satu
periode putaran bulan memerlukan waktu sekitar 29,5 hari.
Hilal sebagai penentu
Hilal adalah bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia beberapa saat
setelah matahari terbenam. Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau
konjungsi yaitu saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama yang
secara astronomis disebut bulan baru atau new moon. Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan oleh Danjon seorang astronom dari Perancis menyimpulkan bahwa
karena kemampuan mata manusia, lemahnya cahaya hilal serta pengaruh cahaya
senja dan gangguan atmosfer menyebabkan pengamatan terhadap hilal amatlah
sulit. Berdasarkan kajian terhadap laporan yang dapat dipercaya atas kenampakan
hilal di berbagai negara, hilal haruslah memiliki sudut elongasi minimum 7° terhadap
matahari atau paling tidak umur hilal minimum 12 jam selepas konjungsi agar ia
dapat terlihat oleh mata manusia tanpa peralatan optik. Oleh sebab itulah beberapa
laporan pengamat hilal dari Indonesia yang mengklaim dapat melihat hilal padahal
kedudukan saat itu masih di bawah limit Danjon tersebut patut diragukan. Sebab
bisa saja yang dilihat bukan hilal yang sebenarnya melainkan obyek yang dikira hilal.
Obyek tersebut bisa saja lampu pesawat, cahaya planet Venus, awan atau obyek-
obyek lain.
Di Indonesia setidaknya berlaku tiga atau empat kriteria yang menjadi acuan awal
mulainya bulan Hijriyah dimana masing-masing kriteria memiliki pengikut yang tidak
sedikit. Masing-masing kriteria itu adalah : Rukyatul Hilal, Imkanurrukyat, Wujudul
Hilal dan Rukyat Global.
1. Rukyatul Hilal (bil Fi'li)
11
Hadits Rasulullah SAW menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".
Berdasarkan syariat tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan
ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para
sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i,
dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul
hilal bil fi'li, yaitu dengan merukyat hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau
menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian
mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30
hari. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan
qamariyah. Sementara hisab juga tetap digunakan, namun hanya sebagai alat bantu
dan bukan penentu awal bulan Hijriyah.
2. Wujudul Hilal
12
Menurut Kriteria Wujudul Hilal yang sering disebut juga dengan konsep "ijtimak
qoblal qurub" yaitu terjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari,
menggunakan prinsip sederhana dalam penentuan awal bulan Hijriyah yang
menyatakan bahwa :
Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu:
(1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam, (2) Bulan
tenggelam setelah Matahari, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan
Hijriyah.
Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah
termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun
yang akan datang. Ini sesuai dengan konsep Muhammadiyah yang memegang
prinsip mempertautkan antara dimensi ideal-wahyu dan peradaban manusia dalam
kehidupan nyata termasuk dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Hal ini juga
merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah tahun 1932 di
Makassar yang menyatakan As-Saumu wa al-Fithru bir ru'yah wa laa man ilaa bil
Hisab (berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan
hisab) yang secara implisit Muhammadiyah juga mengakui Rukyat sebagai awal
penentu awal bulan Hijriyah. Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan
Rukyat dan memilih menggunakan Hisab Wujudul Hilal, itu dikarenakan rukyatul hilal
atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit dan
dikarenakan Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka hisab
dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Kesimpulannya, Hisab
Wujudul Hilal yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau
13
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi dijadikan dasar
penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk
atau belum. Pasca 2002 Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah
menggunakan Kriteria Wujudul Hilal.
3. Imkanur Rukyat MABIMS
Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut "imkanur rukyah" dan dipakai secara
resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang
menyatakan : "Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal
bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)·
Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2°
dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau
(2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas
ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria yang diharapkan sebagai pemersatu terhadap
perbedaan kriteria yang ada nampaknya belum memenuhi harapan sebab beberapa
ormas memang menerima, namun ormas yang lain menolak dengan alasan prinsip.
4. Rukyat Global ( Matla al Badar )
14
Kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi
tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau
terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penganut kriteria ini
berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan,
hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Beda? Tanya kenapa?
Secara kebetulan Ramadahan kali ini memang hilal pada posisi menguntungkan
sebab ijtimak/konjungsi akhir Sya'ban terjadi pada hari Jumat, 22 September 2006
pukul 18.45 WIB yang artinya terjadi setelah matahari terbenam di semua wilayah
Indonesia. Akibatnya menurut aturan syariat, bulan Sya'ban akan digenapkan
(istikmal) menjadi 30 hari. hal ini disebabkan posisi hilal belum memenuhi kriteria
baik rukyatul hilal, wujudul hilal dan imkanur rukyat sehingga secara serentak umat
Islam di Indonesia akan memulai puasa Ramadhan tahun ini pada Minggu, 24
September 2006. Yang menjadi masalah justru pengikut rukyat global sebab jauh-
jauh hari Arab Saudi dalam kalender Ummul Quro telah menentukan awal Ramadhan
pada Sabtu, 23 September 2006.
Namun tidak demikian untuk penentuan Idul Fitri tahun ini. Posisi hilal pasca ijtimak
akhir Ramadhan berdasarkan hasil hisab modern menggunakan simulator
planetarium Starrynight Pro versi 5.8.2 menunjukkan bahwa pada Minggu, 22
Oktober 2006 hilal berada pada ketinggian kritis di wilayah Indonesia sebab
ijtimak/konjungsi terjadi pukul 12.14 WIB. Di Jayapura tinggi hilal bahkan minus 1°
15
16' saat matahari terbenam yang artinya bulan terbenam lebih dulu dari matahari. Di
Yogyakarta hilal baru setinggi 0° 26' saat matahari terbenam dan di Aceh tinggi hilal
0° 36' saat matahari terbenam. Adanya kondisi tersebut menyebabkan para pengikut
kriteria wujudul hilal menentukan Idul Fitri jatuh pada Senin, 23 Oktober 2006
sementara pemerintah mengganggap belum memenuhi kriteria imkanurrukyat
sehingga Idul Fitri pada kalender pemerintah jatuh pada Selasa, 24 Oktober 2006.
NU masih belum menentukan kapan Idul Fitri sebab masih menunggu kegiatan
rukyat hilal yang nampaknya akan mustahil dapat terlihat mengingat rendahnya
posisi hilal sehingga organisai ini cenderung akan mengikuti pemerintah
melaksanakan lebaran pada hari Selasa.
Posisi hilal Syawwal 1427 H di Japura pada 22/10 @ sunset
Saat terjadi perbedaan tentunya akan membuat masyarakat muslim di Indonesia
seakan terpecah. Perpecahan ini sangat mencolok saat dua organisasi massa Islam
terbesar yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menentukan berbeda dalam
saat mulainya Ramadahan, Idul Fitri dan Idul Adha. Seolah sudah menjadi tradisi
yang turun temurun kita rasakan dengan perbedaan tersebut. Dan ternyata bukan
rahmat seperti yang dikatakan melainkan justru bertambahnya jurang pemisah
antara kedua massa pendukung ormas tersebut, munculnya sinisme, kebencian
bahkan penghinaan terhadap sesama muslim pada segolongan masyarakat, sebuah
fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Lalu kapan umat Islam di Indonesia akan bisa
terhindar dari khilafiah seperti ini. Jawabnya tergantung kepada para elite pimpinan
ormas-ormas tersebut untuk saling mau mengalah serta kebijakan pemerintah untuk
16
merumuskan sebuah kriteria tunggal yang disepakati bersama, lebih demi
kemaslahatan umat dan menanggalkan perbedaan yang sebenarnya sangat tidak
prinsip "kredibilitas organisasi?" yang selalu diagung-agungkan. Wallahu a'lam.
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan
Hilal Ramadhan di beberapa kota di Indonesia
Pengirim ♣ astroman ♣ @ 2:17 AM
17

More Related Content

What's hot

Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3
Marhamah Saleh
 
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Marhamah Saleh
 
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkanKaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Uzairi Azali
 
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiSejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Marhamah Saleh
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Arif Arif
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum
asnin_syafiuddin
 
Tasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarijTasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarij
Marhamah Saleh
 

What's hot (20)

Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3
 
PAI > Salat Jamak dan Qasar
PAI >  Salat Jamak dan QasarPAI >  Salat Jamak dan Qasar
PAI > Salat Jamak dan Qasar
 
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
 
Definis puasa
Definis puasaDefinis puasa
Definis puasa
 
Rukun al fahmu pt 5
Rukun al fahmu pt 5Rukun al fahmu pt 5
Rukun al fahmu pt 5
 
Ppt agama islam 3 bab puasa
Ppt agama islam 3 bab puasaPpt agama islam 3 bab puasa
Ppt agama islam 3 bab puasa
 
Rukun al fahmu pt 4
Rukun al fahmu pt 4Rukun al fahmu pt 4
Rukun al fahmu pt 4
 
Al qur'an
Al qur'anAl qur'an
Al qur'an
 
Kitab puasa
Kitab puasaKitab puasa
Kitab puasa
 
Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7
 
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkanKaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
Kaedah kedua dalam al qawaid al-fiqhiyyah(keyakinan tidak boleh dihilangkan
 
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiSejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
 
Materi tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hMateri tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 h
 
Shalat Jama' dan Qashar
Shalat Jama' dan QasharShalat Jama' dan Qashar
Shalat Jama' dan Qashar
 
Kajian puasa
Kajian puasaKajian puasa
Kajian puasa
 
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum
 
Fikih (manhaj)
Fikih (manhaj)Fikih (manhaj)
Fikih (manhaj)
 
Tasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarijTasyri' syiah khawarij
Tasyri' syiah khawarij
 
Pengertian dan pembagian hukum
Pengertian dan pembagian hukumPengertian dan pembagian hukum
Pengertian dan pembagian hukum
 

Similar to Penentuan 1 syawal

Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
Kuswandari Ndari
 
Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafahPenjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
Muhsin Hariyanto
 
Kertas isu falak dalam ibadah 1
Kertas isu falak dalam ibadah 1Kertas isu falak dalam ibadah 1
Kertas isu falak dalam ibadah 1
Mohd Ali
 
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
Muhsin Hariyanto
 

Similar to Penentuan 1 syawal (20)

Awal dan akhir ramadhan1435
Awal dan akhir ramadhan1435Awal dan akhir ramadhan1435
Awal dan akhir ramadhan1435
 
Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
Awaldanakhirramadhan1434 130628174748-phpapp02(1)
 
Awal dan akhir ramadhan1434
Awal dan akhir ramadhan1434Awal dan akhir ramadhan1434
Awal dan akhir ramadhan1434
 
30 fatwa ramadhan
30 fatwa ramadhan30 fatwa ramadhan
30 fatwa ramadhan
 
30 fatwa ramadhan
30 fatwa ramadhan30 fatwa ramadhan
30 fatwa ramadhan
 
30fatwaramadhan 170919154420
30fatwaramadhan 17091915442030fatwaramadhan 170919154420
30fatwaramadhan 170919154420
 
30 Fatwa Ramadhan Oleh Ustadz Abdul Somad, Lc., MA.
30 Fatwa Ramadhan Oleh Ustadz Abdul Somad, Lc., MA.30 Fatwa Ramadhan Oleh Ustadz Abdul Somad, Lc., MA.
30 Fatwa Ramadhan Oleh Ustadz Abdul Somad, Lc., MA.
 
Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafahPenjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
 
Penentuan Hari Raya Idul Adha
Penentuan Hari Raya Idul AdhaPenentuan Hari Raya Idul Adha
Penentuan Hari Raya Idul Adha
 
Damar (Bulan Muharam).pptx
Damar (Bulan Muharam).pptxDamar (Bulan Muharam).pptx
Damar (Bulan Muharam).pptx
 
Penentuan hari raya idul adha
Penentuan hari raya idul adhaPenentuan hari raya idul adha
Penentuan hari raya idul adha
 
Kertas isu falak dalam ibadah 1
Kertas isu falak dalam ibadah 1Kertas isu falak dalam ibadah 1
Kertas isu falak dalam ibadah 1
 
Ringkasan Fikih Puasa
Ringkasan Fikih PuasaRingkasan Fikih Puasa
Ringkasan Fikih Puasa
 
Makalah ushul fiqih_kel.1
Makalah ushul fiqih_kel.1Makalah ushul fiqih_kel.1
Makalah ushul fiqih_kel.1
 
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
Puasa 'arafah, kapan dilaksanakan 1
 
Makalah puasa
Makalah puasaMakalah puasa
Makalah puasa
 
Ilmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisIlmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratis
 
Puasa sunah prtm 6 smtr 1
Puasa sunah prtm 6 smtr 1Puasa sunah prtm 6 smtr 1
Puasa sunah prtm 6 smtr 1
 
Puasa sunah prtm 6 smtr 1
Puasa sunah prtm 6 smtr 1Puasa sunah prtm 6 smtr 1
Puasa sunah prtm 6 smtr 1
 
Buku saku muharrik masjid lengkap
Buku saku muharrik masjid lengkapBuku saku muharrik masjid lengkap
Buku saku muharrik masjid lengkap
 

More from Effiyaldi Yaldi (8)

Hotel murah di bukittinggi
Hotel murah di bukittinggiHotel murah di bukittinggi
Hotel murah di bukittinggi
 
Cerita pendek kelinci dan kura
Cerita pendek kelinci dan kuraCerita pendek kelinci dan kura
Cerita pendek kelinci dan kura
 
Hotel Murah di Bukittinggi
Hotel Murah di BukittinggiHotel Murah di Bukittinggi
Hotel Murah di Bukittinggi
 
Cerita pendek kelinci dan kura
Cerita pendek kelinci dan kuraCerita pendek kelinci dan kura
Cerita pendek kelinci dan kura
 
Bacalah ayat ini saat sulit
Bacalah ayat ini saat sulitBacalah ayat ini saat sulit
Bacalah ayat ini saat sulit
 
15 kiat praktis sehari
15 kiat praktis sehari15 kiat praktis sehari
15 kiat praktis sehari
 
Penghasilan dari fb
Penghasilan dari fbPenghasilan dari fb
Penghasilan dari fb
 
Instrumen jati diri dosen (effiyaldi)
Instrumen jati diri dosen (effiyaldi)Instrumen jati diri dosen (effiyaldi)
Instrumen jati diri dosen (effiyaldi)
 

Penentuan 1 syawal

  • 1. http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/15/cn/11430 Penentuan 1 Ramadhan Dan 1 Syawal Pertanyaan: Assalamu'alaikum Ustadz, Sebelumnya saya ucapkan Taqoballahu minna wa minkum, Salam buat ustadz - ustadz yang lain Ustadz, pertanyaan saya ini sebenarnya masalah khilafiyah, namun saya ingin sekali mendapatkan jawaban yang jelas mengenai penentuan awal bulan hijriyah khususnya RAmadhan dan Syawal. 1. Sebenarnya metode apakah yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah?HIsab atau Ru'yat 2. Ada sebuah harakah Islam yang berpendapat bahwa ketika Hilal telah terlihat dimuka bumi manapun maka umat Islam diseluruh dunia wajib mengikuti hal tersebut maksudnya berpuasa dan berlebaran sesuai pendapat tersebut. Bagaimana pendapat tersebut? Dalil bagaimana? karena menurut saya dalil mereka cukup kuat! 3. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang penentuan awal bulannya berdasarkan penglihatan hilal secara Regional? Dalil apa yang dipakai? 4. Bagaimana sikap kita sebaiknya? Jazakallah Khoir atas jawaban ustadz. Fikhri M Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, 1. Seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa penentuan hilal (bulan sabit) Ramadhan dan hilal Syawwal ditentukan dengan rukyatul hilal. Sedangkan metode hisab dilakukan manakala rukyat itu tidak berhasil dilakukan karena adanya awan atau sebab lain sehingga hilal tidak terlihat. Dalil tentang rukyatul hilal adalah dalil yang shahih dan tidak ada dalil lainnya yang menafikannya. Adapun metode hisab justru berdaraskan dalil yang sama dengan syarat bahwa hilal itu tidak terlihat. Di sisi lain, para ulama mengatakan bahwa metode hisab itu bisa dijadikan acuan umum untuk menetukan kapankah rukyatul hilal akan dilakukan. Tetapi tidak bisa dijadikan penentu dari bergantinya bulan. Penentuannya tetap harus dengan rukyat juga. 2. Pendapat yang mengatakan bahwa bila hilal terlihat di satu titik di muka bumi lalu seluruh dunia harus mengikutinya bukanlah milik harakah tertentu. Justru pendapat itu milik umat Islam, dalam hal ini milik salah satu mazhab fiqih dalam Islam. Pendapat ini sejak masa lalu sudah ada dan berdampingan dengan mazhab lainnya yang tetap memastikan bahwa tiap wilayah tertentu di muka bumi punya waktu tersendiri yang mungkin saja berbeda dengan wilayah lainnya. Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama. Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi?, yaitu bahwa mathla? (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi?i ra. Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki hukum sendiri. Ini 1
  • 2. didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi? atau beragamnya tempat terbitnya bulan. Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km. Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk?yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika. Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16 farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142). Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. Penentuan Hilal bulan Ramadhan dan Syawal Posted by admin 05/12/2001 8167 clicks Sumber : http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=23 Sering kita saksikan dan alami kaum muslimin berbeda pendapat didalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana syariat membimbing kita dididalam menentukan hilal tersebut sehingga kita bisa lebih yakin didalam mengikuti sebuah pendapat 1. CARA MENENTUKAN IBADAH PUASA DAN IEDUL FITHRI Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara : 1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit). 2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal. 3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban. Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini: 1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081) 2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa 2
  • 3. satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) 3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain) 4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al- Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29) Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain- lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109. Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata : “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad- Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al- Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187) Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli): 1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang. 2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas. 3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri. 2. PERBEDAAN MATHLA’ (TEMPAT MUNCUL HILAL) DAN PERSELISIHAN TENTANGNYA Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi : “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. 3
  • 4. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213) Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat : Pendapat Pertama: Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i. Pendapat Kedua: Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol). Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa... Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua : 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i. Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat : 1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab. 2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash- Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim. 3. Dengan perbedaan iklim. 4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.” 5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya. 4
  • 5. Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.” Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka. Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368) As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310) Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal.... Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105) Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak 5
  • 6. bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397) 3. BOLEHKAH BER -IEDUL FITHRI SENDIRI MENYELISIHI KAUM MUSLIMIN ? Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 : Pendapat Pertama : Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i. Pendapat Kedua : Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi. Pendapat Ketiga : Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440) Demikian keterangan Syaikhul Islam. Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At- Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.” Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72) Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214) 6
  • 7. Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.” Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444) Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117. Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206) Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ? Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut : “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari. Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa 7
  • 8. tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.” Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.” Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu). Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.” Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam. Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308) Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan). Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim) Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28). 4. HUKUM HILAL YANG DIKETAHUI PADA AKHIR SIANG Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026). 8
  • 9. Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310. Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133) Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab. (Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22) Kontributor : Abu Abdirrahman Uli http://mutoha.blogspot.com/2006/09/hilal-ramadhan.html 9
  • 10. Jumat, September 22, 2006 Hilal Ramadhan Bukan hal yang baru lagi bahwa setiap menjelang datangnya Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha kita selalu dihantui oleh perbedaan pandangan mengenai kapan jatuhnya awal bulan tersebut. Hal ini seolah sudah menjadi tradisi umat Islam di Indonesia bahwa kalau gak beda bukan Indonesia namanya. Menurut para ulama bahwa perbedaan itu adalah rahmat, barangkali karena itulah kita sering beda. Berarti kalau perbedaan adalah rahmat, boleh saya balik berarti kesamaan adalah bencana! Moga-moga tidak demikan. Mengamati kalender yang beredar di masyarakat terbitan dari berbagai ormas-ormas Islam termasuk dari pemerintah dalam hal ini Departemen Agama nampaknya untuk Ramadhan tahun ini akan dimulai secara serentak dan bersama pada Minggu, 24 September 2006. Lha kenapa bisa bareng? khan biasanya seneng beda! mari kita cari sebabnya. Kalender Hijriyah 10
  • 11. Kalender Hijriyah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh sebab itulah kalender ini sering disebut kalender komariyah. Ada banyak kalender lain yang juga mengacu para peredaran bulan, misalnya kalender Jawa, kalender Cina, kalender Yahudi dsb. Kalender Hiljriyah berbeda dengan kalender nasional yang menggunakan acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga sering disebut kalender syamsiyah. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul 00 tengah malam dan bersifat tetap. Sedangkan kalender Hijriyah mengawali harinya pada sore hari saat matahari terbenam di suatu tempat sehingga jamnya berubah-ubah dari hari ke hari. Jumlah hari dalam satu bulan pada kalender nasional sudah diatur secara tetap yaitu: Januari (31), Februari (28/29=kabisat), Maret (31), April (30), Mei (31), Juni (30), Juli (31), Agustus (31), September (30), Oktober (31), November (30) dan Desember (31). Sedangkan jumlah hari dalam satu bulan pada kalender Hijriyah meliputi : Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Zulqaidah dan Zulhijjah selalu berubah bisa 29 atau 30 tergantung oleh nampak tidaknya hilal sebagai pertanda mulainya awal bulan Hijriyah. Ketidakpastian jumlah hari ini dalam sebulan ini disebabkan dalam satu periode putaran bulan memerlukan waktu sekitar 29,5 hari. Hilal sebagai penentu Hilal adalah bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia beberapa saat setelah matahari terbenam. Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau konjungsi yaitu saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama yang secara astronomis disebut bulan baru atau new moon. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Danjon seorang astronom dari Perancis menyimpulkan bahwa karena kemampuan mata manusia, lemahnya cahaya hilal serta pengaruh cahaya senja dan gangguan atmosfer menyebabkan pengamatan terhadap hilal amatlah sulit. Berdasarkan kajian terhadap laporan yang dapat dipercaya atas kenampakan hilal di berbagai negara, hilal haruslah memiliki sudut elongasi minimum 7° terhadap matahari atau paling tidak umur hilal minimum 12 jam selepas konjungsi agar ia dapat terlihat oleh mata manusia tanpa peralatan optik. Oleh sebab itulah beberapa laporan pengamat hilal dari Indonesia yang mengklaim dapat melihat hilal padahal kedudukan saat itu masih di bawah limit Danjon tersebut patut diragukan. Sebab bisa saja yang dilihat bukan hilal yang sebenarnya melainkan obyek yang dikira hilal. Obyek tersebut bisa saja lampu pesawat, cahaya planet Venus, awan atau obyek- obyek lain. Di Indonesia setidaknya berlaku tiga atau empat kriteria yang menjadi acuan awal mulainya bulan Hijriyah dimana masing-masing kriteria memiliki pengikut yang tidak sedikit. Masing-masing kriteria itu adalah : Rukyatul Hilal, Imkanurrukyat, Wujudul Hilal dan Rukyat Global. 1. Rukyatul Hilal (bil Fi'li) 11
  • 12. Hadits Rasulullah SAW menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)". Berdasarkan syariat tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi'li, yaitu dengan merukyat hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah. Sementara hisab juga tetap digunakan, namun hanya sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan Hijriyah. 2. Wujudul Hilal 12
  • 13. Menurut Kriteria Wujudul Hilal yang sering disebut juga dengan konsep "ijtimak qoblal qurub" yaitu terjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari, menggunakan prinsip sederhana dalam penentuan awal bulan Hijriyah yang menyatakan bahwa : Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu: (1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam, (2) Bulan tenggelam setelah Matahari, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah. Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Ini sesuai dengan konsep Muhammadiyah yang memegang prinsip mempertautkan antara dimensi ideal-wahyu dan peradaban manusia dalam kehidupan nyata termasuk dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Hal ini juga merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah tahun 1932 di Makassar yang menyatakan As-Saumu wa al-Fithru bir ru'yah wa laa man ilaa bil Hisab (berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab) yang secara implisit Muhammadiyah juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu awal bulan Hijriyah. Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan Rukyat dan memilih menggunakan Hisab Wujudul Hilal, itu dikarenakan rukyatul hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit dan dikarenakan Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Kesimpulannya, Hisab Wujudul Hilal yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau 13
  • 14. memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Pasca 2002 Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah menggunakan Kriteria Wujudul Hilal. 3. Imkanur Rukyat MABIMS Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut "imkanur rukyah" dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang menyatakan : "Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)· Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau (2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria yang diharapkan sebagai pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang ada nampaknya belum memenuhi harapan sebab beberapa ormas memang menerima, namun ormas yang lain menolak dengan alasan prinsip. 4. Rukyat Global ( Matla al Badar ) 14
  • 15. Kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya. Beda? Tanya kenapa? Secara kebetulan Ramadahan kali ini memang hilal pada posisi menguntungkan sebab ijtimak/konjungsi akhir Sya'ban terjadi pada hari Jumat, 22 September 2006 pukul 18.45 WIB yang artinya terjadi setelah matahari terbenam di semua wilayah Indonesia. Akibatnya menurut aturan syariat, bulan Sya'ban akan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. hal ini disebabkan posisi hilal belum memenuhi kriteria baik rukyatul hilal, wujudul hilal dan imkanur rukyat sehingga secara serentak umat Islam di Indonesia akan memulai puasa Ramadhan tahun ini pada Minggu, 24 September 2006. Yang menjadi masalah justru pengikut rukyat global sebab jauh- jauh hari Arab Saudi dalam kalender Ummul Quro telah menentukan awal Ramadhan pada Sabtu, 23 September 2006. Namun tidak demikian untuk penentuan Idul Fitri tahun ini. Posisi hilal pasca ijtimak akhir Ramadhan berdasarkan hasil hisab modern menggunakan simulator planetarium Starrynight Pro versi 5.8.2 menunjukkan bahwa pada Minggu, 22 Oktober 2006 hilal berada pada ketinggian kritis di wilayah Indonesia sebab ijtimak/konjungsi terjadi pukul 12.14 WIB. Di Jayapura tinggi hilal bahkan minus 1° 15
  • 16. 16' saat matahari terbenam yang artinya bulan terbenam lebih dulu dari matahari. Di Yogyakarta hilal baru setinggi 0° 26' saat matahari terbenam dan di Aceh tinggi hilal 0° 36' saat matahari terbenam. Adanya kondisi tersebut menyebabkan para pengikut kriteria wujudul hilal menentukan Idul Fitri jatuh pada Senin, 23 Oktober 2006 sementara pemerintah mengganggap belum memenuhi kriteria imkanurrukyat sehingga Idul Fitri pada kalender pemerintah jatuh pada Selasa, 24 Oktober 2006. NU masih belum menentukan kapan Idul Fitri sebab masih menunggu kegiatan rukyat hilal yang nampaknya akan mustahil dapat terlihat mengingat rendahnya posisi hilal sehingga organisai ini cenderung akan mengikuti pemerintah melaksanakan lebaran pada hari Selasa. Posisi hilal Syawwal 1427 H di Japura pada 22/10 @ sunset Saat terjadi perbedaan tentunya akan membuat masyarakat muslim di Indonesia seakan terpecah. Perpecahan ini sangat mencolok saat dua organisasi massa Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menentukan berbeda dalam saat mulainya Ramadahan, Idul Fitri dan Idul Adha. Seolah sudah menjadi tradisi yang turun temurun kita rasakan dengan perbedaan tersebut. Dan ternyata bukan rahmat seperti yang dikatakan melainkan justru bertambahnya jurang pemisah antara kedua massa pendukung ormas tersebut, munculnya sinisme, kebencian bahkan penghinaan terhadap sesama muslim pada segolongan masyarakat, sebuah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Lalu kapan umat Islam di Indonesia akan bisa terhindar dari khilafiah seperti ini. Jawabnya tergantung kepada para elite pimpinan ormas-ormas tersebut untuk saling mau mengalah serta kebijakan pemerintah untuk 16
  • 17. merumuskan sebuah kriteria tunggal yang disepakati bersama, lebih demi kemaslahatan umat dan menanggalkan perbedaan yang sebenarnya sangat tidak prinsip "kredibilitas organisasi?" yang selalu diagung-agungkan. Wallahu a'lam. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan Hilal Ramadhan di beberapa kota di Indonesia Pengirim ♣ astroman ♣ @ 2:17 AM 17