SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
BABI
PENDAHULUAN
Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon infl amasi terhadap infeksi.
Sepsis merupakan salah satu penyebab kemati an terbesar di USA sehingga penatalaksanaan
yang baik sesuai dengan pedoman SSC diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas
Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien
yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kemati an
di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu.
Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per
100.000 populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis
berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.1 Dalam waktu yang bersamaan angka
kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%.
Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi
tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut
juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok sepi
berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%.
Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan karena
adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh
pengembangan protokol early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target
supranormal untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.1,2 Sejak 2002 The Surviving
Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter
tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk
menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat menurunkan angka
kemati an secara bermakna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis didefi nisikan sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Isti lah lainnya, sepsis
adalah sindrom klinis yang berasal dari respon infl amasi terhadap infeksi. Dalam klinis,
sepsis didiagnosis bila adanya infeksi nyata atau curiga infeksi dengan respon sistemik yang
disebut Systemic Infl ammatory Response Syndrome (SIRS).
Sesuai dengan North American Consensus Conference tahun 1991, SIRS didefi
nisikan dengan adanya paling sedikit 2 dari gejala dibawah ini. Suhu >38OC atau < 36OC 2.
HR > 90x/m 3. RR > 20x/m (PaCO2 < 30 torr) 4. Lekosit >12.000 atau < 3000/mm3 Severe
sepsis berhubungan dengan adanya sepsis dan satu atau lebih gangguan organ. Syok septi k
didiagnosis dengan adanya Severe sepsis dan adanya gagal sirkulasi akut walaupun telah
dilakukan resusitasi cairan.
Kriteria Sepsis
Terdapat banyak istilah-istilah yang terkait sepsis yang perlu dipahami:
1. Inflamasi: respon lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan untuk
menghancurkan, melarutkan bahan penyebab jejas ataupun jaringan yang mengalami jejas,
yang ditandai dengan gejala klasik dolor, kalor, rubor, tumor dan functio laesa.
2. Infeksi: ditemukannya organisme pada tempat yang normal steril, yang biasanya disertai
dengan respon inflamasi tubuh.
3. Bakteremia: ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan.
4. Septikemia: bakterimia disertai dengan gejala klinik yang bermakna.
5. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).
Istilah ini menggambarkan respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai kondisi
seperti trauma, luka bakar, aspirasi, kontusio pulmonal dan pankreatitis, termasuk infeksi.
6. Sepsis: respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama dengan SIRS tetapi selalu
dihubungkan dengan adanya proses infeksi. Jadi sepsis = SIRS yang disebabkan oleh infeksi.
Respon sistemik: respon sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau Iebih tanda:
- temperatur > 38°C atau kurang dari 36°C
- denyut jantung > 90/menit
- respirasi > 20/menit atau PaC02 < 32 mmHg (<4.3 kPa)
- sel darah putih > 12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band.
7. Sindrom Sepsis: klinis infeksi dengan respon sistemik yang menyebabkan gangguan organ
berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala mental.
8. Sepsis berat : kondisi sepsis disertai adanya disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi.
Manifestasi hipoperfusi dan gangguan perfusi antara lain dapat berupa asidosis laktat, oliguri
atau penurunan kesadaran.
9. Syok septik : terjadi pada pasien dengan sepsis berat, dengan manifestasi hipotensi yang
menetap meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat, disertai dengan
penurunan perfusi jaringan dan gangguan fungsi organ-organ.
10. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS):
Gangguan fungsi organ pada pasien akut yang sedemikian rupa sehingga homeostatis
tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Kondisi ini ditandai dengan adanya perubahan
kontinyu pada lebih dari 1 organ tubuh. Disfungsi dapat berupa kegagalan total suatu organ
tubuh (misal: gagal ginjal, oliguri) atau hanya berupa kegagalan kimiawi baik yang
menimbulkan gejala klinis ataupun tidak (misal: peningkatan kadar kreatinin serum).
(Suharto, 2000)
PATOGENESIS
Faktor mikrobial dan faktor penjamu
Selama ini diterima pendapat bahwa sepsis dan syok sepsis erat kaitannya dengan
faktor mikrobial dan faktor penjamu. Faktor mikrobial penting peranannya sebagai pencetus
segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan juga terkait dengan
pemilihan antiibiotik yang sesuai. Faktor penjamu merupakan faktor penentu
mudah/sukarnya mikroorganisme masuk dan berkembang biak, di samping bagaimana
responnya (Suharto, 2000; Light, 1998).
Proses kejadian sepsis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan adanya fokus infeksi jaringan sebagai
sumber bakteremia (bakteremia sekunder). Kuman gram negatif merupakan komensal normal
dalam GIT, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti dalam peritonitis
perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram positif biasanya timbul dari infeksi
kulit atau saluran respirasi, juga bisa dari luka terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab
yang lebih jarang adalah: jamur terutama Candida dan virus (Baxter, 1997; Light, 1998).
Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian sepsis bahkan cukup dengan toxin bakteri
tanpa kehadiran bakteri secara sistemik secara klinik dapat menimbulkan syok sepsis.
Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk membatasi, melawan proses
penyebarannya, menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Tapi bila respon
peradangan ini berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam dan radang
berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Di antara semua
sitokin, TNF-α dianggap sebagai mediator yang paling poten dalam patofisiologi sindrom
sepsis gram negatif. Secara umum perubahan ini meliputi: perubahan endotel, kebocoran
kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi myokard. Perubahan yang terjadi berakibat
perubahan aliran darah dimikrosirkulasi dan kerusakan yang progresif pada endotel kapiler
dan jaringan (Patrick, 2006).
TNF-α memicu timbulnya demam, tachikardi, tachypnea, myalgia, leukositosis dan
somnolensi. Pemberian infus TNF-α dalam dosis besar pada binatang percobaan, dapat
menyebabkan syok, DIC dan kematian. TNF-α menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler
melepaskan sitokin-sitokin lain (selain TNF-α sendiri), dan meningkatkan perubahan asam
arakhidonat (Suharto, 2000; Carcille, 2005).
Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2 akan
diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin dan
prostasiklin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan tromboksan menyebabkan
vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit. Leukotrien juga merupakan mediator yang
kuat pada iskemia dan syok. Bahan fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan
agregasi leukosit serta jejas jaringan (Carcille, 2005).
Pada pasien sepsis terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis
yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam timbulnya kegagalan
organ dan kematian. Deposisi fibrin intravaskuler, trombosis dan DIC merupakan gambaran
penting yang dijumpai pada sepsis. TNF-α memicu terjadinya koagulasi intra vaskuler
dengan cara menginduksi ekspresi faktor jaringan monosit. Bila faktor jaringan diekspresikan
oleh monosit, ia akan mengikat F VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang akan
mengubah F X dan XI menjadi enzim aktif. Akibatnya adalah akan terjadi aktifasi koagulasi
dengan hasil akhir terbentuknya fibrin (Carcille, 2005).
Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan meningkatkan
aktifasi reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregrasi, degranulasi dan produksi radikal
oksigen. Bila diberikan pada binatang, terbukti akan menginduksi terjadinya vasokontriksi
pulmoner, neutropenia dan kebocoran vaskuler karena kerusakan endotel.
Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang mendasari
sangat mungkin adalah terjadinya jejas endotel vaskuler yang sangat luas, di samping
ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan penggunaan oksigen dan bahan
lain oleh jaringan yang bersangkutan. Integritas kapiler akan rusak oleh pengaruh enzim
neutropil (misalnya elastase) dan bahan metabolit toksik lainnya, sehingga timbul perdarahan
lokal (Carcille, 2005).
Perubahan hemodinamik dimana dikeluarkan nitrooksida yang menyebabkan vaskuler
sistemik resistensi (SVR) menurun, peningkatan permeabilitas kapiler akibat gangguan pada
endotel berakibat ekstravasasi, udema interstitiel bahkan udema intraseluler. Udema pada dua
kompartemen tersebut berakibat terjadinya gangguan metabolisme sel, oksigen yang tersedia
menurun di bawah level kritis, kegagalan penggunaan oksigen, jaringan melakukan
metabolisme anaerob, terjadi akumulasi laktat, asidosis metabolik dan pada gilirannya
menyebabkan Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) (Suharto, 2000; Patrick,
2006).
Diagnosis dan Penilaian klinis Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis
diharuskan dalam penerimaan pasien. Faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, ras, status
imunocompromised dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain yang dapat
menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan laboratorium sangat penti ng. Demam
adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu.
Tanda-tanda nonspesifik lainnya seperti takipneu dan hipotensi sebaiknya juga diperiksa.
Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang cermat dan dapat dilengkapi
dengan pemeriksaan x-ray, CT scan, USG atau yang lainnya.
Adanya gangguan organ dan beratnya gangguan juga harus diperiksa. Acute Lung
Injury atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ALI/ARDS) ALI tampak pada 60%-70%
pasien dengan Severe sepsis. Hal ini ditandai dengan adanya infi ltrat paru pada rontgen
tanpa adanya gagal jantung kiri (PaWP< 300 untuk ALI atau < 200 untuk ARDS. Tingkat
keparahan ALI/ARDS menentukan venti lasi mekanik. Venti lasi mekanik akan memulihkan
pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan metabolik. Efek merugikan sebaiknya
dihindarkan dengan Protecti ve Venti latory Strategies.
Gangguan sistem saraf pusat : ensefalopati septi k Jika sumber infeksi diluar CNS,
gangguan neurologik dapat dianggap sebagai ensefalopati septi k. Beberapa kondisi lainnya
dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, dan
hipoperfusi serebral selama keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari
agitasi,confussion,delirium dan koma. Walaupun ti dak terlihat defi sit neurologis tetapi dapat
terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS berat memerlukan proteksi jalan napas dan
support ventilasi.
Gangguan Hati : Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total
bilirubin > 2mg/dl. Adanya peningkatan bilirubin tergonjugasi dan peningkatan GGT sering
terjadi. Gangguan hematologi dan koagulasi Penurunan sel darah merah tanpa adanya
perdarahan dan penurunan trombosit < 100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah
koagulasi dan menurunkan fi brinolisis. Endogenous- acti vated Protein C yang mencegah
trombosis mikrovaskular juga turun selama sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh
darah kecil dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan menyebabkan dysoxia jaringan.
Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu memperbaiki gangguan koagulasi.1
Gangguan ginjal : Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang
normal maupun berkurang. Peningkatan kreati nin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau
peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan
ginjal akut dan dapat mempengaruhi keluaran yang buruk.
Traktus gastrointestinal : Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama
sepsis. Tanda klinis mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan
GIT disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis. Monitoring pH
intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan
pCO2 intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.
Gangguan neuromuscular : Otot skeletal juga dipengaruhi oleh mediator infl amasi
dan oksigen reaktif yang secara simultan menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor
faktor ini dapat menurunkan kekuatan otot termasuk otot pernapasan yang dapat
mempengaruhi atau menyebabkan gagal napas akut.
Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penti ng selama sepsis. Pemeriksaan
mikrobiologi sangat diperlukan dan pemberian terapi anti biotik yang adekuat harus dimulai
sesegera mungkin. Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan pemeriksaan kultur yang diambil
dari darah dan fokus lain yang dicurigai. Pemeriksaan lainnya ti dak boleh tertunda dan dapat
melengkapi informasi. Kultur darah yang positi f hanya didapat pada 50% penderita. 20-30%
penderita sepsis ti dak ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus dan jamur.
Penatalaksanaan klinis Severe sepsis berdasarkan evidence-based Penanganan Severe
sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik
yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ dan
metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari
organisasi internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan
evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septi k.
Penanganan berdasarkan SSC: 1. Sepsis Resuscitati on Bundle (initi al 6 h) Resusitasi
awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal
ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan
resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden
hours” merupakan kesempatan yang kritis pada pasien.
Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat >
4mmol/l. Resusitasi awal ti dak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup
pemberian anti bioti k empirik dan mengendalikan penyebab infeksi. Resusitasi
Hemodinamik Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan ti dak
dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan
vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP ≥ 65mmHg, produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam,
oksigen saturasi vena kava superior ≥ 70% atau saturasi mixed vein ≥ 65%
Terapi inotropik dan Pemberian PRC Jika saturasi vena sentral < 180mg/ dl
menurunkan mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode
hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah
mempertahankan gula darah < 150 mg/dl. Recombinant Human-Acti vated Protein C
(rhAPC) Pemberian rhAPC ti dak dianjurkan pada pasien dengan risiko kemati an yang
rendah atau pada anakanak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan
risiko kemati an ti nggi (APACHE II≥25 atau gagal organ multi pel) Pemberian Produk darah
Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb
antara 7-9 g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki
hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya
perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung
trombosit < 5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan.
PRINSIP DASAR PENATALAKSAAN SEPSIS
A. Resusitasi Awal
1 Resusitasi pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis
(hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai sesegera mungkin setelah sindrom tersebut
diketahui dan tidak seharusnya tertunda karena menunggu masuk ICU.
Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoperfusi jaringan pada pasien yang
tidak hipotensif. Selama 6 jam pertama, tujuan resusitasi awal pada hipoperfusi yang
terinduksi sepsis termasuk semua kriteria dibawah ini sebagai satu bagian dari protokol
penatalaksanaan :
1. Tekanan vena sentral : 8-12 mmHg
2. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg
3. Produksi urin > 0,5 mm/kgBB/jam
4. Saturasi oksigen ≥ 70 %
Penatalaksanaan awal tersebut menunjukkan perbaikan harapan hidup pasien UGD
yang menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada kriteria tersebut diatas pada periode 6
jam pertama resusitasi mampu menurunkan angka mortalitas hari-28. Meskipun pengukuran
laktat mungkin berguna, presisinya sebagai pengukur status metabolisme jaringan masih
kurang. Pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik, target CVP direkomendasikan
12-15 mmHg sebagai kompensasi peningkatan tekanan intrathorakal. Meskipun penyebab
takikardi pada pasien sepsis bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi nadi setelah
resusitasi cairan merupakan petunjuk penting perbaikan pengisian intravaskuler.
2. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak tercapai dengan resusitasi
cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg, diperlukan tranfusi PRC untuk mencapai
hematokrit ≥ 30 % dan/atau pemberian dobutamin infus (sampai maksimal 20 μg/kg/menit)
untuk mencapai tujuan ini.
B. Diagnosis
1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi anbtimikrobial.
Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah satunya lewat perkutan dan satunya
lagi diambil melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat tersebut dipasang
kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS, luka, sekret respirasi, atau
cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi antibiotik.
2. Pemeriksaan diagnostik seharusnya dilakukan secepatnya untuk menentukan
sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan radiografis seharusnya juga
dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak stabil untuk menjalani prosedur invasif tertentu
atau ditransport keluar dari ICU.
C. Terapi Antibiotik
1. Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama setelah
diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil.
2. Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih obat yang
mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau fungal) dan
memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai. Pemilihan obat seharusnya
berdasarkan pola kuman di masyarakat dan di rumah sakit.
3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah 48–72 jam
yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit untuk mencegah terjadinya
resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen penyebab telah
teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi lebih efektif
dibandingkan monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan selama 7-10 hari dan
berdasarkan respon klinis.
Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis berat atau syok
septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang terjadinya
netropenia.
4. Apabila sindrom klinis menunjukkan penyebabnya adalah non infeksi, terapi
antimikroba seharusnya dihentikan secepatnya untuk meminimalkan terjadinya patogen
resisten dan superinfeksi oleh organisme patogen lainya.
D. Kontrol Sumber Infeksi
1. Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi terdapatnya fokus infeksi, terutama dari
drainase abses atau fokus infeksi lokal, debridement jaringan nekrotik terinfeksi, pelepasan
peralatan yang memungkinkan terinfeksi, atau kontrol definitif sumber kontaminasi mikroba
yang masih ada.
2. Pemilihan cara mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan untung ruginya.
Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan, fistula,
atau cedera jaringan yang tidak dikehendaki.
3. Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses intrabdomen, perforasi
gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia intestinal, pengontrolan sumber infeksi tetap harus
secepatnya dilakukan setelah resusitasi awal.
4. Apabila peralatan akses intravena dicurigai sebagai sumber infeksi, maka harus
secepatnya dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya.
Tindakan untuk mengontrol sumber infeksi
E. Terapi Cairan
1. Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau kristaloid. Tidak
ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari jenis cairan lainnya.
2. Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat sirkulasi
arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300-500 cc koloid
dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis (peningkatan tekanan darah dan
produksi urin), dan dimonitor adanya kelebihan cairan intravaskuler.
F. Vasopresor
1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan perfusi organ
yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera dimulai. Terapi vasopresor dapat
juga diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi yang mengancam jiwa,
meskipun uji cairan sedang berlangsung dan hipovolemia dapat dikoreksi.
2. Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin dipasang)
merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi hipotensi pada syok septik.
3. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal sebagai
bagian pengobatan sepsis berat.
4. Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter arterial
sesegera mungkin.
5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan syok
refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor konvensional dosis
tinggi.
G. Terapi Inotropik
1. Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung. Jika
digunakan pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin seharusnya dikombinasi
dengan terapi vasopresor.
2. Strategi meningkatkan indeks kardial untuk memperoleh level yang lebih tinggi
tidak direkomendasikan.
H. Steroid
1. Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300 mg/hari, selama 7 hari dalam 3-4
dosis terbagi atau dengan infus kontinyu) direkomendasikan pada pasien dengan syok septik
yang memerlukan terapi vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat
setelah penggantian cairan yang adekuat.
a) Beberapa penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 μg untuk
mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 μg/dL kortisol setelah
30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan terapi pada pasien tersebut.
Klinisi tidak harus menunggu hasil stimulasi ACTH untuk memberikan
kortikosteroid
b) Beberapa ahli menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik.
c) Beberapa ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis
kortikosteroid pada akhir terapi.
d) Beberapa ahli menambahkan fludrokortison ( 50 μg peroral 4 kali sehari) pada
terapi steroid tersebut.
2. Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam sehari tidak boleh digunakan
pada sepsis berat atau syok septik, jika tujuannya untuk memperbaiki syok septik.
3. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis jika tidak
terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan terapi steroid pemeliharaan
atau menggunakan steroid dosis tertentu jika pasien mempunyai riwayat pemberian
kortikosterid atau riwayat gangguan endokrin.
I. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)
rhAPC direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi meninggal (APACHE II >
25, gagal organ multipel terinduksi sepsis, syok septik, atau ARDS terinduksi sepsis) dan
tidak ada kontraindikasi absolut atau kontraindikasi relatif yang berhubungan dengan resiko
perdarahan.
J. Pemberian Produk Darah
1. Apabila hipoperfusi jaringan ditemukan dan tidak terdapat penyakit arteri koroner,
perdarahan akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah merah harus diberikan hanya jika
hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL untuk mencapai target hemoglobin 7-9 gr/dL.
2. Eritropoetin tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk anemia yang
berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa diberikan apabila pasien sepsis
mempunyai alasan kuat pemberian eritropoetin seperti gagal ginjal disertai produksi sel darah
merah yang kurang.
3. Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang dibekukan untuk
mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa disertai perdarahan atau direncanakan
tindakan invasif.
4. Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan sepsis berat atau
syok septik.
5. Trombosit seharusnya diberikan apabila AT < 50000 /mm3 meskipun tidak muncul
perdarahan. Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila AT 5000-30000/mm3 dan terdapat
resiko perdarahan. Angka trombosit yang lebih tinggi (>50000 /mm3 ) diperlukan untuk
operasi atau tindakan invasif.
K. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis.
1. Volume tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada ARDS/ALI.
Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2 jam sampai volume tidal rendah (
6 ml/kg) bersamaan dengan mempertahankan tekanan akhir ekspirasi < 30 cmH2O .
Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan rhAPC
2. Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika diperlukan untuk
meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu.
3. PEEP dapat diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada akhir ekspirasi.
Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi dan ditentukan oleh FiO2 yang
diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi.
4. Pada fasilitas ICU yang berpengalaman dapat dipertimbangkan penggunaan posisi
tengkurap pada pasien ARDS untuk mendapatkan perbaikan Fi O2 atau tekanan plateu yang
tidak memiliki resiko tinggi untuk perubahan posisi tersebut.
5. Jika tidak dikontraindikasikan, pasien dengan ventilasi mekanis dipertahankan pada
posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur dinaikkan sampai 45o untuk mencegah
pneumonia terkait ventilator (VAP).
6. Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan spontan untuk
menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis apabila menunjukkan kriteria:
a. dapat dibangunkan
b. hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)
c. tanpa kondisi yang berpotensial serius
d. kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang rendah
e. memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan sungkup muka atau
nasal kanul.
Jika nafas spontan berhasil, dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pilihan pernafasan
spontan termasuk bantuan tekanan level rendah dengan CPAP 5 cm H2O atau dengan T-
piece.
L. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis
1. Sedasi diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan skala sedasi
subyektif yang terstandarisasi.
2. Sedasi dengan bolus intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan interupsi atau
pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai membangunkan pasien dan titrasi kembali
(jika diperlukan) merupakan metode yang direkomendasikan untuk pemberian sedasi.
Manajemen ventilator ARDSNET
3. Pelumpuh otot dihindari jika memungkinkan pada pasien sepsis karena resiko
pemanjangan efek pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot harus diberikan harus diberikan lebih
lama dari pada 1 jam pertama ventilasi mekanis diperlukan dosis bolus intermiten atau infus
kontinyu.
M. Kontrol Glukosa
1. Dipertahankan kadar glukosa darah kurang dari 150 mg/dL (8,3 mmol/L) pada
stabilisasi awal pasien sepsis berat. Penelitian yang bertujuan mengendalikan glukosa
menggunakan infus kontinyu insulin dan glukosa. Berdasarkan protokol ini glukosa harus
dimonitor secara ketat pada awal pemberian (setiap 30-60 menit) dan kemudian monitor
secara teratur setiap 4 jam apabila konsentrasi gula darah telah stabil.
2. Pada pasien sepsis berat pengendalian glukosa harus disertai pemberian nutrisi
yang diprioritaskan melalui jalur enteral.
N. Penggantian Ginjal
Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi veno-
venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi kontinyu
memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang hemodinamiknya
tidak stabil.
O. Terapi Bikarbonat
Terapi bikarbonat yang bertujuan memperbaiki hemodinamik atau menurunkan
kebutuhan vasopresor tidak direkomendasikan untuk mengobati asidosis laktat terinduksi
hipoperfusi dengan pH > 7,15.
P. Pencegahan Trombosis Vena Dalam (DVT)
Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT dengan heparin dosis
rendah atau heparin dengan berat molekul rendah. Pada pasien sepsis dengan kontraindikasi
penggunaan heparin (misalnya trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif,
perdarahan intraserebral yang masih baru), dianjurkan menggunakan pencegahan secara
mekanis (stocking) yang menekan secara bertahap atau alat yang menekan secara intermiten,
kecuali apabila terdapat kontraindikasi seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang
beresiko tinggi seperti sepsis berat dan memiliki riwayat DVT, direkomendasikan
menggunakan terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi mekanis.
Q. Pencegahan Stress Ulcer
Pencegahan stress ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien dengan sepsis berat.
Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan sukralfat. Inhibitor pompa
proton belum pernah dibandingkan dengan antagonis reseptor H2, sehingga efikasinya masih
belum diketahui. (Dellinger, et. al., 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Napitulu, H. 2010. Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010
Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and Uncommon
Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia; Saunder Elsevier.
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873.
Eissa, D. ,et all. 2010. Anaesthetic management of patients with severe sepsis. British Journal
of Anaesthesia 105 (6): 734–43

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

Juknis HIV: Pedoman IMS 2011
Juknis HIV: Pedoman IMS 2011Juknis HIV: Pedoman IMS 2011
Juknis HIV: Pedoman IMS 2011
 
Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergiDermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi
 
Lumbal punksi
Lumbal punksiLumbal punksi
Lumbal punksi
 
Ppt gastroenterintis
Ppt gastroenterintisPpt gastroenterintis
Ppt gastroenterintis
 
2. konjungtiva
2. konjungtiva2. konjungtiva
2. konjungtiva
 
Definisi dan klasifikasi konjungtivitis
Definisi dan klasifikasi konjungtivitisDefinisi dan klasifikasi konjungtivitis
Definisi dan klasifikasi konjungtivitis
 
Shock dan Resusitasi Cairan
Shock dan Resusitasi CairanShock dan Resusitasi Cairan
Shock dan Resusitasi Cairan
 
Konsensus insulin
Konsensus insulinKonsensus insulin
Konsensus insulin
 
Preskas sindrom nefrotik
Preskas sindrom nefrotikPreskas sindrom nefrotik
Preskas sindrom nefrotik
 
Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah DengueDemam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue
 
Sindrom Hepatorenal
Sindrom HepatorenalSindrom Hepatorenal
Sindrom Hepatorenal
 
Polip nasal
Polip nasalPolip nasal
Polip nasal
 
80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebri80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebri
 
Case report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergiCase report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergi
 
Tia
TiaTia
Tia
 
P petri dbd
P petri dbdP petri dbd
P petri dbd
 
ppt ht krisis PKB 2020 -final-edit.pptx
ppt ht krisis PKB 2020 -final-edit.pptxppt ht krisis PKB 2020 -final-edit.pptx
ppt ht krisis PKB 2020 -final-edit.pptx
 
Pneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpointPneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpoint
 
Ppt sindrom nefrotik
Ppt sindrom nefrotikPpt sindrom nefrotik
Ppt sindrom nefrotik
 
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisKolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
 

Similar to SEPSIS-PEDOMAN (20)

Kep.kritis sepsis
Kep.kritis sepsisKep.kritis sepsis
Kep.kritis sepsis
 
PPT SEPSIS.pptx
PPT SEPSIS.pptxPPT SEPSIS.pptx
PPT SEPSIS.pptx
 
Lp dhf
Lp dhfLp dhf
Lp dhf
 
Tanpa judul
 Tanpa judul Tanpa judul
Tanpa judul
 
Referat sepsis bramantyo
Referat sepsis   bramantyoReferat sepsis   bramantyo
Referat sepsis bramantyo
 
Sistem Imun dan Ginjal
Sistem Imun dan GinjalSistem Imun dan Ginjal
Sistem Imun dan Ginjal
 
Translatean raiza (1)
Translatean raiza (1)Translatean raiza (1)
Translatean raiza (1)
 
Inflamasi
InflamasiInflamasi
Inflamasi
 
Sepsis
SepsisSepsis
Sepsis
 
proses peradangan pada sistem tubuh manusia
proses peradangan pada sistem tubuh manusiaproses peradangan pada sistem tubuh manusia
proses peradangan pada sistem tubuh manusia
 
Konsep asuhan keperawatan Leukemia
Konsep asuhan keperawatan LeukemiaKonsep asuhan keperawatan Leukemia
Konsep asuhan keperawatan Leukemia
 
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptxNEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
NEUTROFIL-LIMFOSIT RATIO (NLR) Edit.pptx
 
Syok septik pure
Syok septik pureSyok septik pure
Syok septik pure
 
L aporan pendahuluan sepsis desi
L aporan pendahuluan sepsis desiL aporan pendahuluan sepsis desi
L aporan pendahuluan sepsis desi
 
PPT_Leukemia_Siti Jazirotul Jannah .pptx
PPT_Leukemia_Siti Jazirotul Jannah .pptxPPT_Leukemia_Siti Jazirotul Jannah .pptx
PPT_Leukemia_Siti Jazirotul Jannah .pptx
 
Isi blok 12
Isi blok 12Isi blok 12
Isi blok 12
 
PJBL SLE
PJBL SLEPJBL SLE
PJBL SLE
 
Idiopathic trombocytopenic purpura ( itp )
Idiopathic trombocytopenic purpura ( itp )Idiopathic trombocytopenic purpura ( itp )
Idiopathic trombocytopenic purpura ( itp )
 
Filariasis
Filariasis Filariasis
Filariasis
 
Referat dbd 1
Referat dbd 1Referat dbd 1
Referat dbd 1
 

Recently uploaded

2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfPEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfMeboix
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptDwiBhaktiPertiwi1
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatSyarifahNurulMaulida1
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxrachmatpawelloi
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptx
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptxANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptx
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptxCahyaRizal1
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/maGusmaliniEf
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfHilalSunu
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxfania35
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 

Recently uploaded (20)

2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfPEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptx
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptxANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptx
ANESTESI LOKAL YARSI fixbgt dehhhhh.pptx
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 

SEPSIS-PEDOMAN

  • 1. BABI PENDAHULUAN Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon infl amasi terhadap infeksi. Sepsis merupakan salah satu penyebab kemati an terbesar di USA sehingga penatalaksanaan yang baik sesuai dengan pedoman SSC diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kemati an di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.1 Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok sepi berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target supranormal untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.1,2 Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat menurunkan angka kemati an secara bermakna.
  • 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sepsis didefi nisikan sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Isti lah lainnya, sepsis adalah sindrom klinis yang berasal dari respon infl amasi terhadap infeksi. Dalam klinis, sepsis didiagnosis bila adanya infeksi nyata atau curiga infeksi dengan respon sistemik yang disebut Systemic Infl ammatory Response Syndrome (SIRS). Sesuai dengan North American Consensus Conference tahun 1991, SIRS didefi nisikan dengan adanya paling sedikit 2 dari gejala dibawah ini. Suhu >38OC atau < 36OC 2. HR > 90x/m 3. RR > 20x/m (PaCO2 < 30 torr) 4. Lekosit >12.000 atau < 3000/mm3 Severe sepsis berhubungan dengan adanya sepsis dan satu atau lebih gangguan organ. Syok septi k didiagnosis dengan adanya Severe sepsis dan adanya gagal sirkulasi akut walaupun telah dilakukan resusitasi cairan. Kriteria Sepsis
  • 3. Terdapat banyak istilah-istilah yang terkait sepsis yang perlu dipahami: 1. Inflamasi: respon lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan untuk menghancurkan, melarutkan bahan penyebab jejas ataupun jaringan yang mengalami jejas, yang ditandai dengan gejala klasik dolor, kalor, rubor, tumor dan functio laesa. 2. Infeksi: ditemukannya organisme pada tempat yang normal steril, yang biasanya disertai dengan respon inflamasi tubuh. 3. Bakteremia: ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan. 4. Septikemia: bakterimia disertai dengan gejala klinik yang bermakna. 5. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Istilah ini menggambarkan respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai kondisi seperti trauma, luka bakar, aspirasi, kontusio pulmonal dan pankreatitis, termasuk infeksi. 6. Sepsis: respon sistemik terhadap infeksi. Manifestasinya sama dengan SIRS tetapi selalu dihubungkan dengan adanya proses infeksi. Jadi sepsis = SIRS yang disebabkan oleh infeksi. Respon sistemik: respon sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau Iebih tanda: - temperatur > 38°C atau kurang dari 36°C - denyut jantung > 90/menit - respirasi > 20/menit atau PaC02 < 32 mmHg (<4.3 kPa) - sel darah putih > 12.000/mm3, atau > 10% bentuk immature/band. 7. Sindrom Sepsis: klinis infeksi dengan respon sistemik yang menyebabkan gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala mental.
  • 4. 8. Sepsis berat : kondisi sepsis disertai adanya disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi. Manifestasi hipoperfusi dan gangguan perfusi antara lain dapat berupa asidosis laktat, oliguri atau penurunan kesadaran. 9. Syok septik : terjadi pada pasien dengan sepsis berat, dengan manifestasi hipotensi yang menetap meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat, disertai dengan penurunan perfusi jaringan dan gangguan fungsi organ-organ. 10. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS): Gangguan fungsi organ pada pasien akut yang sedemikian rupa sehingga homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Kondisi ini ditandai dengan adanya perubahan kontinyu pada lebih dari 1 organ tubuh. Disfungsi dapat berupa kegagalan total suatu organ tubuh (misal: gagal ginjal, oliguri) atau hanya berupa kegagalan kimiawi baik yang menimbulkan gejala klinis ataupun tidak (misal: peningkatan kadar kreatinin serum). (Suharto, 2000) PATOGENESIS Faktor mikrobial dan faktor penjamu Selama ini diterima pendapat bahwa sepsis dan syok sepsis erat kaitannya dengan faktor mikrobial dan faktor penjamu. Faktor mikrobial penting peranannya sebagai pencetus segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan juga terkait dengan pemilihan antiibiotik yang sesuai. Faktor penjamu merupakan faktor penentu mudah/sukarnya mikroorganisme masuk dan berkembang biak, di samping bagaimana responnya (Suharto, 2000; Light, 1998). Proses kejadian sepsis Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan adanya fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia (bakteremia sekunder). Kuman gram negatif merupakan komensal normal dalam GIT, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti dalam peritonitis perforasi. Sepsis juga bisa ditimbulkan oleh kuman gram positif biasanya timbul dari infeksi kulit atau saluran respirasi, juga bisa dari luka terbuka misalnya pada luka bakar. Penyebab yang lebih jarang adalah: jamur terutama Candida dan virus (Baxter, 1997; Light, 1998). Toksin bakteri memegang kunci dalam kejadian sepsis bahkan cukup dengan toxin bakteri tanpa kehadiran bakteri secara sistemik secara klinik dapat menimbulkan syok sepsis. Peradangan yang tercetus sebenarnya berfungsi untuk membatasi, melawan proses penyebarannya, menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Tapi bila respon peradangan ini berkepanjangan dan berlebihan akan merugikan. Demam dan radang berlangsung diperantarai oleh mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Di antara semua sitokin, TNF-α dianggap sebagai mediator yang paling poten dalam patofisiologi sindrom sepsis gram negatif. Secara umum perubahan ini meliputi: perubahan endotel, kebocoran kapiler, tachikardi, hipotensi dan depresi myokard. Perubahan yang terjadi berakibat perubahan aliran darah dimikrosirkulasi dan kerusakan yang progresif pada endotel kapiler dan jaringan (Patrick, 2006).
  • 5. TNF-α memicu timbulnya demam, tachikardi, tachypnea, myalgia, leukositosis dan somnolensi. Pemberian infus TNF-α dalam dosis besar pada binatang percobaan, dapat menyebabkan syok, DIC dan kematian. TNF-α menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan sitokin-sitokin lain (selain TNF-α sendiri), dan meningkatkan perubahan asam arakhidonat (Suharto, 2000; Carcille, 2005). Asam arakhidonat yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2 akan diubah dalam jalur siklooksigenase menjadi prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin dan prostasiklin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan tromboksan menyebabkan vasokonstriksi dan memacu agregrasi trombosit. Leukotrien juga merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi leukosit serta jejas jaringan (Carcille, 2005). Pada pasien sepsis terdapat gangguan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis yang berakibat adanya keadaan prokoagulan, yang ikut berperan dalam timbulnya kegagalan organ dan kematian. Deposisi fibrin intravaskuler, trombosis dan DIC merupakan gambaran penting yang dijumpai pada sepsis. TNF-α memicu terjadinya koagulasi intra vaskuler dengan cara menginduksi ekspresi faktor jaringan monosit. Bila faktor jaringan diekspresikan oleh monosit, ia akan mengikat F VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang akan mengubah F X dan XI menjadi enzim aktif. Akibatnya adalah akan terjadi aktifasi koagulasi dengan hasil akhir terbentuknya fibrin (Carcille, 2005). Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan meningkatkan aktifasi reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregrasi, degranulasi dan produksi radikal oksigen. Bila diberikan pada binatang, terbukti akan menginduksi terjadinya vasokontriksi pulmoner, neutropenia dan kebocoran vaskuler karena kerusakan endotel. Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang mendasari sangat mungkin adalah terjadinya jejas endotel vaskuler yang sangat luas, di samping ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan penggunaan oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan. Integritas kapiler akan rusak oleh pengaruh enzim neutropil (misalnya elastase) dan bahan metabolit toksik lainnya, sehingga timbul perdarahan lokal (Carcille, 2005). Perubahan hemodinamik dimana dikeluarkan nitrooksida yang menyebabkan vaskuler sistemik resistensi (SVR) menurun, peningkatan permeabilitas kapiler akibat gangguan pada endotel berakibat ekstravasasi, udema interstitiel bahkan udema intraseluler. Udema pada dua kompartemen tersebut berakibat terjadinya gangguan metabolisme sel, oksigen yang tersedia menurun di bawah level kritis, kegagalan penggunaan oksigen, jaringan melakukan metabolisme anaerob, terjadi akumulasi laktat, asidosis metabolik dan pada gilirannya menyebabkan Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) (Suharto, 2000; Patrick, 2006). Diagnosis dan Penilaian klinis Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam penerimaan pasien. Faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, ras, status imunocompromised dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain yang dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan laboratorium sangat penti ng. Demam adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu. Tanda-tanda nonspesifik lainnya seperti takipneu dan hipotensi sebaiknya juga diperiksa.
  • 6. Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang cermat dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan x-ray, CT scan, USG atau yang lainnya. Adanya gangguan organ dan beratnya gangguan juga harus diperiksa. Acute Lung Injury atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ALI/ARDS) ALI tampak pada 60%-70% pasien dengan Severe sepsis. Hal ini ditandai dengan adanya infi ltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri (PaWP< 300 untuk ALI atau < 200 untuk ARDS. Tingkat keparahan ALI/ARDS menentukan venti lasi mekanik. Venti lasi mekanik akan memulihkan pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan metabolik. Efek merugikan sebaiknya dihindarkan dengan Protecti ve Venti latory Strategies. Gangguan sistem saraf pusat : ensefalopati septi k Jika sumber infeksi diluar CNS, gangguan neurologik dapat dianggap sebagai ensefalopati septi k. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, dan hipoperfusi serebral selama keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitasi,confussion,delirium dan koma. Walaupun ti dak terlihat defi sit neurologis tetapi dapat terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS berat memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi. Gangguan Hati : Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl. Adanya peningkatan bilirubin tergonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi. Gangguan hematologi dan koagulasi Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit < 100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan fi brinolisis. Endogenous- acti vated Protein C yang mencegah trombosis mikrovaskular juga turun selama sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah kecil dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan menyebabkan dysoxia jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu memperbaiki gangguan koagulasi.1 Gangguan ginjal : Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun berkurang. Peningkatan kreati nin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan dapat mempengaruhi keluaran yang buruk. Traktus gastrointestinal : Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis. Tanda klinis mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan GIT disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa. Gangguan neuromuscular : Otot skeletal juga dipengaruhi oleh mediator infl amasi dan oksigen reaktif yang secara simultan menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor faktor ini dapat menurunkan kekuatan otot termasuk otot pernapasan yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan gagal napas akut. Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penti ng selama sepsis. Pemeriksaan mikrobiologi sangat diperlukan dan pemberian terapi anti biotik yang adekuat harus dimulai sesegera mungkin. Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus lain yang dicurigai. Pemeriksaan lainnya ti dak boleh tertunda dan dapat melengkapi informasi. Kultur darah yang positi f hanya didapat pada 50% penderita. 20-30% penderita sepsis ti dak ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.
  • 7. Penatalaksanaan klinis Severe sepsis berdasarkan evidence-based Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septi k. Penanganan berdasarkan SSC: 1. Sepsis Resuscitati on Bundle (initi al 6 h) Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden hours” merupakan kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal ti dak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian anti bioti k empirik dan mengendalikan penyebab infeksi. Resusitasi Hemodinamik Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan ti dak dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP ≥ 65mmHg, produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior ≥ 70% atau saturasi mixed vein ≥ 65% Terapi inotropik dan Pemberian PRC Jika saturasi vena sentral < 180mg/ dl menurunkan mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl. Recombinant Human-Acti vated Protein C (rhAPC) Pemberian rhAPC ti dak dianjurkan pada pasien dengan risiko kemati an yang rendah atau pada anakanak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan risiko kemati an ti nggi (APACHE II≥25 atau gagal organ multi pel) Pemberian Produk darah Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan. PRINSIP DASAR PENATALAKSAAN SEPSIS A. Resusitasi Awal 1 Resusitasi pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis (hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai sesegera mungkin setelah sindrom tersebut diketahui dan tidak seharusnya tertunda karena menunggu masuk ICU. Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoperfusi jaringan pada pasien yang tidak hipotensif. Selama 6 jam pertama, tujuan resusitasi awal pada hipoperfusi yang terinduksi sepsis termasuk semua kriteria dibawah ini sebagai satu bagian dari protokol penatalaksanaan : 1. Tekanan vena sentral : 8-12 mmHg 2. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg 3. Produksi urin > 0,5 mm/kgBB/jam 4. Saturasi oksigen ≥ 70 %
  • 8. Penatalaksanaan awal tersebut menunjukkan perbaikan harapan hidup pasien UGD yang menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada kriteria tersebut diatas pada periode 6 jam pertama resusitasi mampu menurunkan angka mortalitas hari-28. Meskipun pengukuran laktat mungkin berguna, presisinya sebagai pengukur status metabolisme jaringan masih kurang. Pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik, target CVP direkomendasikan 12-15 mmHg sebagai kompensasi peningkatan tekanan intrathorakal. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi nadi setelah resusitasi cairan merupakan petunjuk penting perbaikan pengisian intravaskuler. 2. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak tercapai dengan resusitasi cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg, diperlukan tranfusi PRC untuk mencapai hematokrit ≥ 30 % dan/atau pemberian dobutamin infus (sampai maksimal 20 μg/kg/menit) untuk mencapai tujuan ini. B. Diagnosis 1. Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi anbtimikrobial. Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah satunya lewat perkutan dan satunya lagi diambil melalui peralatan akses vaskuler yang ada, kecuali jika alat tersebut dipasang kurang dari 48 jam. Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS, luka, sekret respirasi, atau cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi antibiotik. 2. Pemeriksaan diagnostik seharusnya dilakukan secepatnya untuk menentukan sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan radiografis seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak stabil untuk menjalani prosedur invasif tertentu atau ditransport keluar dari ICU. C. Terapi Antibiotik 1. Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama setelah diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil. 2. Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau lebih obat yang mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai (bakterial atau fungal) dan memungkinkan menembus kedalam sumber sepsis yang dicurigai. Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola kuman di masyarakat dan di rumah sakit. 3. Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah 48–72 jam yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit untuk mencegah terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya. Apabila patogen penyebab telah teridentifikasi, tidak ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan selama 7-10 hari dan berdasarkan respon klinis. Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis berat atau syok septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik berlanjut sepanjang terjadinya netropenia.
  • 9. 4. Apabila sindrom klinis menunjukkan penyebabnya adalah non infeksi, terapi antimikroba seharusnya dihentikan secepatnya untuk meminimalkan terjadinya patogen resisten dan superinfeksi oleh organisme patogen lainya. D. Kontrol Sumber Infeksi 1. Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi terdapatnya fokus infeksi, terutama dari drainase abses atau fokus infeksi lokal, debridement jaringan nekrotik terinfeksi, pelepasan peralatan yang memungkinkan terinfeksi, atau kontrol definitif sumber kontaminasi mikroba yang masih ada. 2. Pemilihan cara mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan untung ruginya. Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan, fistula, atau cedera jaringan yang tidak dikehendaki. 3. Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses intrabdomen, perforasi gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia intestinal, pengontrolan sumber infeksi tetap harus secepatnya dilakukan setelah resusitasi awal. 4. Apabila peralatan akses intravena dicurigai sebagai sumber infeksi, maka harus secepatnya dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya. Tindakan untuk mengontrol sumber infeksi E. Terapi Cairan 1. Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau kristaloid. Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari jenis cairan lainnya. 2. Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai terdapat sirkulasi arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000 cc kristaloid atau 300-500 cc koloid dalam 30 menit dan diulang berdasarkan respon klinis (peningkatan tekanan darah dan produksi urin), dan dimonitor adanya kelebihan cairan intravaskuler. F. Vasopresor 1. Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan perfusi organ yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera dimulai. Terapi vasopresor dapat
  • 10. juga diperlukan untuk memelihara perfusi pada kasus hipotensi yang mengancam jiwa, meskipun uji cairan sedang berlangsung dan hipovolemia dapat dikoreksi. 2. Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin dipasang) merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi hipotensi pada syok septik. 3. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi renal sebagai bagian pengobatan sepsis berat. 4. Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang kateter arterial sesegera mungkin. 5. Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor konvensional dosis tinggi. G. Terapi Inotropik 1. Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung. Jika digunakan pada kondisi tekanan darah yang rendah, dobutamin seharusnya dikombinasi dengan terapi vasopresor. 2. Strategi meningkatkan indeks kardial untuk memperoleh level yang lebih tinggi tidak direkomendasikan. H. Steroid 1. Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300 mg/hari, selama 7 hari dalam 3-4 dosis terbagi atau dengan infus kontinyu) direkomendasikan pada pasien dengan syok septik yang memerlukan terapi vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat setelah penggantian cairan yang adekuat. a) Beberapa penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 μg untuk mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 μg/dL kortisol setelah 30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan terapi pada pasien tersebut. Klinisi tidak harus menunggu hasil stimulasi ACTH untuk memberikan kortikosteroid b) Beberapa ahli menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik. c) Beberapa ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis kortikosteroid pada akhir terapi. d) Beberapa ahli menambahkan fludrokortison ( 50 μg peroral 4 kali sehari) pada terapi steroid tersebut. 2. Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam sehari tidak boleh digunakan pada sepsis berat atau syok septik, jika tujuannya untuk memperbaiki syok septik. 3. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis jika tidak terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan terapi steroid pemeliharaan atau menggunakan steroid dosis tertentu jika pasien mempunyai riwayat pemberian kortikosterid atau riwayat gangguan endokrin.
  • 11. I. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC) rhAPC direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi meninggal (APACHE II > 25, gagal organ multipel terinduksi sepsis, syok septik, atau ARDS terinduksi sepsis) dan tidak ada kontraindikasi absolut atau kontraindikasi relatif yang berhubungan dengan resiko perdarahan. J. Pemberian Produk Darah 1. Apabila hipoperfusi jaringan ditemukan dan tidak terdapat penyakit arteri koroner, perdarahan akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah merah harus diberikan hanya jika hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL untuk mencapai target hemoglobin 7-9 gr/dL. 2. Eritropoetin tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk anemia yang berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa diberikan apabila pasien sepsis mempunyai alasan kuat pemberian eritropoetin seperti gagal ginjal disertai produksi sel darah merah yang kurang. 3. Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang dibekukan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa disertai perdarahan atau direncanakan tindakan invasif. 4. Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan sepsis berat atau syok septik. 5. Trombosit seharusnya diberikan apabila AT < 50000 /mm3 meskipun tidak muncul perdarahan. Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila AT 5000-30000/mm3 dan terdapat resiko perdarahan. Angka trombosit yang lebih tinggi (>50000 /mm3 ) diperlukan untuk operasi atau tindakan invasif. K. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis. 1. Volume tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada ARDS/ALI. Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2 jam sampai volume tidal rendah ( 6 ml/kg) bersamaan dengan mempertahankan tekanan akhir ekspirasi < 30 cmH2O . Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan rhAPC
  • 12. 2. Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika diperlukan untuk meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu. 3. PEEP dapat diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada akhir ekspirasi. Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi dan ditentukan oleh FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi. 4. Pada fasilitas ICU yang berpengalaman dapat dipertimbangkan penggunaan posisi tengkurap pada pasien ARDS untuk mendapatkan perbaikan Fi O2 atau tekanan plateu yang tidak memiliki resiko tinggi untuk perubahan posisi tersebut. 5. Jika tidak dikontraindikasikan, pasien dengan ventilasi mekanis dipertahankan pada posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur dinaikkan sampai 45o untuk mencegah pneumonia terkait ventilator (VAP). 6. Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan spontan untuk menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis apabila menunjukkan kriteria: a. dapat dibangunkan b. hemodinamik stabil (tanpa vasopresor) c. tanpa kondisi yang berpotensial serius d. kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang rendah e. memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan sungkup muka atau nasal kanul. Jika nafas spontan berhasil, dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pilihan pernafasan spontan termasuk bantuan tekanan level rendah dengan CPAP 5 cm H2O atau dengan T- piece. L. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis 1. Sedasi diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan skala sedasi subyektif yang terstandarisasi. 2. Sedasi dengan bolus intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan interupsi atau pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai membangunkan pasien dan titrasi kembali (jika diperlukan) merupakan metode yang direkomendasikan untuk pemberian sedasi. Manajemen ventilator ARDSNET
  • 13. 3. Pelumpuh otot dihindari jika memungkinkan pada pasien sepsis karena resiko pemanjangan efek pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot harus diberikan harus diberikan lebih lama dari pada 1 jam pertama ventilasi mekanis diperlukan dosis bolus intermiten atau infus kontinyu. M. Kontrol Glukosa 1. Dipertahankan kadar glukosa darah kurang dari 150 mg/dL (8,3 mmol/L) pada stabilisasi awal pasien sepsis berat. Penelitian yang bertujuan mengendalikan glukosa menggunakan infus kontinyu insulin dan glukosa. Berdasarkan protokol ini glukosa harus dimonitor secara ketat pada awal pemberian (setiap 30-60 menit) dan kemudian monitor secara teratur setiap 4 jam apabila konsentrasi gula darah telah stabil. 2. Pada pasien sepsis berat pengendalian glukosa harus disertai pemberian nutrisi yang diprioritaskan melalui jalur enteral. N. Penggantian Ginjal Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik, hemofiltrasi veno- venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis intermiten. Hemofiltrasi kontinyu memudahkan management keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang hemodinamiknya tidak stabil. O. Terapi Bikarbonat Terapi bikarbonat yang bertujuan memperbaiki hemodinamik atau menurunkan kebutuhan vasopresor tidak direkomendasikan untuk mengobati asidosis laktat terinduksi hipoperfusi dengan pH > 7,15. P. Pencegahan Trombosis Vena Dalam (DVT) Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT dengan heparin dosis rendah atau heparin dengan berat molekul rendah. Pada pasien sepsis dengan kontraindikasi penggunaan heparin (misalnya trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral yang masih baru), dianjurkan menggunakan pencegahan secara mekanis (stocking) yang menekan secara bertahap atau alat yang menekan secara intermiten, kecuali apabila terdapat kontraindikasi seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang beresiko tinggi seperti sepsis berat dan memiliki riwayat DVT, direkomendasikan menggunakan terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi mekanis. Q. Pencegahan Stress Ulcer Pencegahan stress ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien dengan sepsis berat. Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan sukralfat. Inhibitor pompa proton belum pernah dibandingkan dengan antagonis reseptor H2, sehingga efikasinya masih belum diketahui. (Dellinger, et. al., 2004)
  • 14.
  • 15.
  • 16.
  • 17. DAFTAR PUSTAKA Napitulu, H. 2010. Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 Patrick J.N, 2006. Infectious Disease and Bioterrorism dalam Anaesthesia and Uncommon Disease, 5th ed; 377-410; Philadhelpia; Saunder Elsevier. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med 2004; 32:858-873. Eissa, D. ,et all. 2010. Anaesthetic management of patients with severe sepsis. British Journal of Anaesthesia 105 (6): 734–43