1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan
dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup
tinggi. Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai
dengan tahun 2010 oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1
dari 20 kematian yang terjadi di Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan
prevalensi kejadian sebesar 5,5% untuk wanita dan 4,8% untuk pria.
Angka kejadian sepsis yang dilaporkan di Amerika tercatat 750.000 setiap
tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus terkait dengan kejadian severe
sepsis (Angus & Poll, 2013).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai sepsis diantaranya
yang dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr. Soetomo pada tahun 2012
mengenai profil penderita sepsis akibat bakteri penghasil extended-
spectrum beta lactamase (ESBL) mencatat bahwa kematian akibat sepsis
karena bakteri penghasil ESBL adalah sebesar 16,7% dengan rerata
kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya. Penelitian tersebut melaporkan
bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat, 14,58% syok sepsis dan 53,33%
kasus adalah kasus sepsis (Irawan et al., 2012).
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) yang disertai dengan infeksi. Walaupun
2. 2
kejadian sepsis ditandai dengan adanya infeksi namun tidak selamanya
terdapat bakteremia. Kejadian tersebut dimungkinkan karena adanya
endotoksin maupun eksotoksin di dalam darah sedangkan bakterinya
berada di dalam jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram positif yang menghasilkan
eksotoksin, bakteri gram negatif yang menghasilkan endotoksin, virus
maupun jamur. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penyebab
sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif. Sebuah studi epidemiologi
melaporkan bahwa dari 14.000 pasien sepsis yang dirawat di intensive care
unit (ICU) di 75 negara disebutkan bahwa severe sepsis yang disebabkan
karena gram negatif sebesar 62% kasus, gram positif sebesar 47% kasus
dan 19% kasus disebabkan karena jamur (Vincent et al., 2009).
Lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan oleh gram negatif akan
membentuk ikatan dengan lipo binding protein (LBP). Terjadi aktivasi
sistem imun seluler dan humoral sehingga membentuk LPS antibody
(LPSab) yang akan berikatan dengan reseptor cluster of differentiation
(CD) 14 untuk mengekspresikan produksi imunomodulator. Sepsis yang
disebabkan oleh gram positif terjadi karena eksotoksin berperan sebagai
superantigen yang akan difagosit oleh antigen presenting cell (APC) yang
akhirnya akan menyebabkan produksi berlebihan sitokin proinflamasi
(Guntur, 2006).
3. 3
Kejadian sepsis disertai dengan adanya proses inflamasi. Inflamasi
merupakan suatu reaksi lokal jaringan yang melibatkan lebih banyak
mediator dibandingkan respons imun yang didapat. Sel-sel pada sistem
imun nonspesifik yang berperan diantaranya adalah neutrofil, sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag jaringan. Makrofag jaringan yang aktif pada
suatu proses inflamasi akan melepaskan mediator sitokin berupa
interleukin 1 (IL) 1, IL-6 dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) yang
akan menginduksi perubahan lokal dan sistemik pada host (Baratawidjaja
& Renggaris, 2012).
Sitokin seperti IL-1 dan TNF-α akan memacu makrofag dan sel
endotel untuk memproduksi kemokin untuk meningkatkan ekspresi
molekul adhesi. Sitokin proinflamasi yang dilepaskan selama terjadinya
sepsis memberikan peranan yang cukup besar dalam perjalanan
patogenesis sepsis, severe sepsis maupun syok sepsis. Interleukin 1 dan
TNF-α yang dilepaskan selama sepsis merupakan mediator kunci
sedangkan mediator yang lainnya merupakan mediator suplementasi
(Guntur, 2006).
Interleukin 1 merupakan sitokin yang berperan pada inflamasi akut
maupun kronik. Gene family IL-1 terdiri atas IL-1α, IL-1β, dan IL-1
receptor antagonist (IL-1Ra). Interleukin 1α dan IL-1β bersifat
proinflamasi sedangkan IL-1Ra bersifat antiinflamasi. Interleukin 1 beta
4. 4
merupakan suatu imunoregulator yang berperan penting pada sepsis.
Sitokin ini akan meningkatkan produksi protein fase akut, perangsangan
sel endotel untuk memproduksi prostaglandin (PG), katabolisme jaringan,
ekspresi adhesions molecule dan aktivasi jalur koagulasi (Dinarello, 2011).
Sepsis dapat menyebabkan peningkatan sintesis hormon akibat adanya
stres. Sepsis meningkatkan produksi sitokin yang akan menyebabkan
perangsangan glukokortikoid dari korteks adrenal yang diperantarai
adenocorticotropic hormone (ACTH). Kortisol merupakan hormon yang
diproduksi oleh korteks adrenal pada zona fasiculata dan retikularis.
Sekresi kortisol dipengaruhi oleh rangsangan hormon corticotropin
releasing hormone(CRH). Hormon ini merupakan suatu hormon stres yang
kadarnya dapat meningkat pada keadaan inflamasi akut. Sitokin
proinflamasi dan kortisol akan bekerja dengan sistem feedback negatif.
Peningkatan kadar sitokin akan menyebabkan pengeluaran kortisol.
Kortisol berperan dalam menjaga tonus vaskuler dan hal ini terkait dengan
kejadian syok pada sepsis. Kortisol juga berperan untuk menghambat
sintesis sitokin proinflamasi melalui aktivitas nuclear factor kappa beta
(NF-κB) (Polito et al., 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :
A. Bagaimana asuhan keperawatan kritis pada sepsis ?
5. 5
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan kritis pada sepsis
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi sepsis
2. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan kritis pada sepsis
6. 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sepsis
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti
atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38o
C
atau <36o
C) ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan
alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau
penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh
infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia
(nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah,
sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ (Setyohadi,2006).
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi
organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal,
hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis
dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan
darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun
telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg (Setyohadi,2006).
2.2 Epidemiologi sepsis
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian
di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika
Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk
untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir
empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240
7. 7
kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika
Serikat.
2.3 Etiologi Sepsis
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga
sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang
kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab
infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru,
saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan
dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter
telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak
dapat terdeteksi.
2.4 Patofisiologis Sepsis
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal
bersamaan dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk
8. 8
mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya
disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat
yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara
regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan
mikroorganisme penyebab infeksi.
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang
ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat,
syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik
(yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini
2.5 Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan
perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen
membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,
endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic,
peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.
9. 9
Gambar 1. Gambaran klinis
Dikutip dari kepustakaan 18
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk
meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh
mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang
dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB
(NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-
inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1).
10. 10
TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators,
termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan
fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang
menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut
melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi
melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam
ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi
trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.
Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti
meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja
vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi
yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ dan kematian.
2.6 Tahapan perkembangan sepsis
Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau
abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan
perawatan rumah sakit.
11. 11
2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah
mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung,
ginjal, paru-paru atau hati.
3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika
tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan
menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang
cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated
sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ
multiple dan kematian.
2.7 Syok Sepsis
a. Definisi
Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak
mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Shock juga
didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan
penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah
yang bersirkulasi secara efektif. Apabila sel tidak dapat menghasilkan
energi secara adekuat, maka sel tidak akan berfungsi dengan baik
sehingga pada gilirannya akan menimbulkan disfungsi dan kegagalan
berbagai organ, akhirnya dapat menimbulkan kematian.
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme
menginvasi tubuh dan menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon
yang ditimbulkan sering menyebabkan penurunan perfusi organ dan
disfungsi organ. Jika disertai dengan hipotensi maka dinamakan Syok
sepsis. ( Linda D.U, 2006)
12. 12
Syok septik adalah syok yang disebabkan oleh infeksi yang
menyebar luas yang merupakan bentuk paling umum syok distributif.
Pada kasus trauma, syok septik dapat terjadi bila pasien datang
terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi
pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi
rongga peritonium dengan isi usus.
b. Etiologi
Mikroorganisme penyebab syok septik adalah bakteri gram
negatif. Ketika mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien
akan menunjukkan suatu respon imun. Respon imun ini
membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi yang mempunyai
berbagai efek yang mengarah pada syok, yaitu peningkatan
permeabilitas kapiler, yang mengarah pada perembesan cairan dari
kapiler dan vasodilatasi.
Bakteri gram negatif menyebabkan infeksi sistemik yang
mengakibatkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negatif
ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer
menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke
intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel
yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan
melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen
karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia
sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi
perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan
menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume
intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala
13. 13
takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan
nadi yang melebar.
c. Manifestasi Klinis
Pertanda awal dari syok septik sering berupa penurunan kesiagaan
mental dan kebingungan, yang timbul dalam waktu 24 jam atau lebih
sebelum tekanan darah turun. Gejala ini terjadi akibat berkurangnya
aliran darah ke otak. Curahan darah dari jantung memang meningkat,
tetapi pembuluh darah melebar sehingga tekanan darah turun.
Pernafasan menjadi cepat, sehingga paru-paru mengeluarkan
karbondioksida yang berlebihan dan kadarnya di dalam darah
menurun.
Gejala awal berupa menggigil hebat, suhu tubuh yang naik sangat
cepat, kulit hangat dan kemerahan, denyut nadi yang lemah dan
tekanan darah yang turun-naik. Produksi air kemih berkurang
meskipun curahan darah dari jantung meningkat. Pada stadium lanjut,
suhu tubuh sering turun sampai dibawah normal.
d. Patofisiologis
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif
yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram
negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan
pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer
menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan
intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok
septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk
menggunakan oksigen karena toksin kuman.
15. 15
e. Penatalaksanaan
Pasien dengan syok septic memerlukan pemantauan cepat dan
agresif serta penatalaksanaan dalam unit perawatan kritis
penatalaksanaannya melibatkan seluruh sistem organ yang
memerlukan pendekatan tim dari bebagai disiplin antara lain:
1) Terapi-terapi definitif
Identifikasi dan singkirkan sumber infeksi
2) Terapi-terapi suportif
Pulihkan volume intra vaskuler
Pertahankan curah jantung yang adekuat
Pastikan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Berikan lingkungan metabolik yang sesuai
3) Terapi-terapi penelitian
Antihistamin
2.8 Surviving sepsis campaign care bundles
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur
menurutSurviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :
16. 16
Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed
therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman
oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar
laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan
darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi
sebagai berikut:
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik,
dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).
Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis
1) Terapi cairan
Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse
capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan
merupakn tindakan utama.
2) Terapi vasopressor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial
pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor
epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine.
3) Terapi inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang
dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic:
dobutamine, dopamine, dan epinephrine.
17. 17
2.9 Komplikasi
1. Meningitis
2. Hipoglikemi
3. Aasidosis Gagal ginjal
4. Disfungsi miokard
5. Perdarahan intra cranial
6. Gagal hati
7. Disfungsi system saraf pusat
8. Kematian
9. ARDS
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Pengobatan terbaru syok sepsis mencakup mengidentifikasi dan
mengeliminasi penyebab infeksi yaitu dengan cara pemeriksaan-
pemeriksaan yang antara lain:
1. Kultur (luka, sputum, urin, darah) yaitu untuk mengidentifikasi
organisme penyebab sepsis. Sensitifitas menentukan pilihan obat
yang paling efektif.
2. SDP : Ht Mungkin meningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi. Leucopenia (penurunan SDB) terjadi
sebalumnya, diikuti oleh pengulangan leukositosis (1500-30000)
d4engan peningkatan pita (berpindah kekiri) yang mengindikasikan
produksi SDP tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum: Berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan
menyebabkan asidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi
ginjal.
4. Trombosit : penurunan kadar dapat terjadi karena agegrasi
trombosit
5. PT/PTT : mungkin memanjang mengindikasikan koagulopati
yangdiasosiasikan dengan hati/ sirkulasi toksin/ status syok.
18. 18
6. Laktat serum : Meningkat dalam asidosis metabolik, disfungsi hati,
syok.
7. Glukosa Serum : hiperglikenmio yang terjadi menunjukkan
glikoneogenesis dan glikonolisis di dalam hati sebagai respon dari
puasa/ perubahan seluler dalam metabolisme
8. BUN/Kreatinin : peningkatan kadar diasosiasikan dengan
dehidrasi, ketidakseimbangan atau kegagalan ginjal, dan disfungsi
atau kegagalan hati.
9. GDA : Alkalosis respiratosi dan hipoksemia dapat terjadi
sebelumnya. Dalam tahap lanjut hipoksemia, asidosis respiratorik
dan asidosis metabolik terjadi karena kegagalan mekanisme
kompensasi
10. EKG : dapat menunjukkan segmen ST dan gelombang T dan
distritmia menyerupai infark miokard
19. 19
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
1. Airway
a. yakinkan kepatenan jalan napas
b. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)
c. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan
bawa segera mungkin ke ICU
2. Breathing
a. kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala
yang signifikan
b. kaji saturasi oksigen
c. periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan
kemungkinan asidosis
d. berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
e. auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
f. periksa foto thorak
3. Circulation
a. kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan
b. monitoring tekanan darah, tekanan darah
c. periksa waktu pengisian kapiler
d. pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar
e. berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
f. pasang kateter
g. lakukan pemeriksaan darah lengkap
h. siapkan untuk pemeriksaan kultur
i. catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature
kurang dari 36oC
20. 20
j. siapkan pemeriksaan urin dan sputum
k. berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.
4. Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis
padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat
kesadaran dengan menggunakan AVPU.
5. Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan
tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya. Tanda ancaman
terhadap kehidupan Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang
menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika sudah menyembabkan
ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, adapun
indikasinya sebagai berikut:
a. Penurunan fungsi ginjal
b. Penurunan fungsi jantung
c. Hyposia
d. Asidosis
e. Gangguan pembekuan
f. Acute respiratory distress syndrome (ards)
6. Hasil Pemeriksaan Diagnostik:
1. DPL : SDP biasanya naik dan cepat turun seiring perburukan syok
2. CT Scan : untuk mengidentifikasi tempat potensi terjadinya abses
3. Rangkaian anaisis multiple : hiperglikemia dapat terjadi, diikuti
dengan hipoglikema pada tahap akhir
4. Gas Darah Arteri (GDA)
Menunjukkan asidosis metabolik dan hipoksia. Metabolisme
anaerobik terjadi dengan hipoksia yang mengakibatkan akumulasi
asam laktat.
5. Elektrolit Serum
21. 21
Menunjukkan kekurangan cairan dan elektrolit
6. Tes radiologik
Radiografi dada dapat memperlihatkan pneumoni dan proses
infeksi pada dada maupun abdomen
7. Pengawasan di Tempat Tidur
Tekanan darah normal atau menurun, awalnya terjadi peningkatan
curah jantung (CO) dan indeks jantung (CI), yang berlanjut
menjadi penurunan CO dan CI, penurunan LVSW, penurunan
SVR, PCWP normal atau menurunan CVP, penurunan pengeluaran
urin.
8. Pemeriksaan Laboratorium
Penurunan natrium dalam urin, peningkatan osmolaritas urin,
terdapat bateremia, biasanya terdapat organisme gram negatif yang
ditunjukkan melalui kultur dara, kulur cairan peritoneal, urin dan
sputum dapat memperlihatkan patogen, peningkatan BUN,
kreatinin serum, glukosa serum.
9. Kadar Laktat : penurunan kadar laktat dalam serum menujukkan
metabolisme anaerob dapat memenuhi kebutuhan energi selular,
sedangkan peningkatan kadar menunjukkan perfusi yang tidak
adekuat dan metabolisme anaerob untuk memenuhi kebutuhan
energi selular.
10. Defisit t basa : peningkatan kadar menunjukkan perfusi yang tidak
adekuat dan metabolisme anaerob
11. EKG
Takikardi. (Morton, Patricia Gonce. et al, 2011)
22. 22
3.2 MASALAH KEPERAWATAN
1. Kerusakan pertukaran gas b.d Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
2. Perubahan perfusi jaringan b.d Curah jantung yang tidak mencukupi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Respons terhadap septis sakit
yang kritis
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d Penurunan perfusi jaringan dan
adanya edema.
5. Ansietas b.d Perubahan status kesehatan
3.3 Intervensi
Menurut Morton, 2011.
No Masalah
Keperawatan
Kriteria hasil Intervensi
1 Kerusakan
pertukaran gas b.d
Ketidakseimbangan
ventilasi perfusi
Oksigenasi/ ventilasi
Kepatenan jalan napas
dipelihara
Paru bersih pada saat
auskultasi
Gas darah arteri dalam
batas normal
Tekanan puncak, rerata,
datar dalam batas normal
Tidak ada tanda sindrom
distres pernapasan akut
(ARDS, acute respiratory
distress syndrome)
1. Auskultasi bunyi napas
tiap 2-4 jam dan PRN
2. Lakukan penghisapan
jalan napas endotrakea
jika tepat
3. Hiperoksigenasi dan
hiperventilasi sebelum
dan setelah setiap kali
melakukan penghisapan
4. Pantau oksimetri nadi
dan tidal akhir CO2
(ETCO2)
5. Pantau gas darah arteri
sesuai yang
diindikasikan oleh
23. 23
perubahan parameter
non-invasif
6. Pantau tekanan jalan
napas setiap 1-2 jam
7. Miring kiri miring
kanan setiap 2 jam
8. Pertimbangkan terapi
kinetik
9. Lakukan foto dada
harian
2 Perubahan perfusi
jaringan b.d Curah
jantung yang tidak
mencukupi
Sirkulasi/ perfusi
Tekanan darah, frekuensi
jantung, tekanan vena
sentral (CVP, central
venous pressure), dan
tekanan arteri pulmonalis
dalam batas normal.
Tahanan vaskular dalam
batas normal
Pasokan oksigen > 600 ml
O2/m2
dan konsumsi
oksigen > 150 ml O2/m2
Laktat serum dalam batas
normal
1. Kaji tanda vital setiap 1
jam
2. Kaji tekanan
hemodinamik setiap 1
jam jika pasien
terpasang kateter arteri
pulmonalis
3. Berikan volume
intravaskular sesuai
program untuk
mempertahankan
preload
4. Kaji SVR dan tahanan
vena tepi (PVR,
peripheral venous
resistance) setiap 6-12
jam
5. Berikan volume
intravaskular dan
24. 24
vasoreseptor sesuai
program
6. Pantau curah jantung,
Dao2, dan Vo2 setiap 6-
12 jam
7. Berikan sel darah
merah, agens inotropik
positif, infusi koloid
sesuai program untuk
meningkatkan
pengiriman oksigen
8. Pertimbangkan
pemantauan pH mukosa
lambung sebagai
panduan untuk
mengetahui perfusi
sistemik
9. Pantau laktat serum
setiap hari sampai
dalam batas normal
3 Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan b.d
Respons terhadap
septis sakit yang
kritis
Nutrisi
Asupan kalori dan gizi
memenuhi kebutuhan
metabolik per perhitungan
(mis, pengeluaran energi
basal)
1. Berikan nutrisi
parenteral atau enteral
dalam 24 jam awitan
2. Konsultasi dengan ahli
gizi atau layanan
bantuan gizi
3. Pantau asupan lemak
4. Pantau albumin,
prealbumin, transferin,
25. 25
kolesterol, trigliserida,
glukosa
5 Risiko kerusakan
integritas kulit b.d
Penurunan perfusi
jaringan dan
adanya edema
Integritas kulit
Kulit tetap utuh
1. Kaji kulit setiap 4 jam
dan setiap kali pasien
direposisi
2. Lakukan miring kanan
miring kiri setiap 2 jam
3. Pertimbangkan matras
pengurang/pereda
tekanan
4. Gunakan skala braden
untuk mengkaji risiko
kerusakan kulit
6 Ansietas b.d
Perubahan status
kesehatan
Psikososial
Pasien menunjukkan
penurunan kecemasan
1. Kaji tanda vital selama
terapi, diskusi, dan
sebagainya
2. Berikan sedatif dengan
hati-hati
3. Konsultasi dengan
layanan sosial,
rohaniawan, dan
sebagainya jika
mungkin
4. Berikan istirahat dan
tidur yang adekuat
26. 26
3.4 Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008).
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan.
Semua tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di
evaluasi, dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan
lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan
keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika
tindakan belum hasil.
Evaluasi dibagi menjadi 2 jenis yaitu sebagai berikut :
a. Evaluasi Formatif
b. Evaluasi Sumatif
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan
berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu
tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang
ditentukan, adapu alternatif tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai
3.6 Pencegahan
1. Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni
bakteri Gram-negatif.
2. Berikan semprotan ( spray) polimiksin pada faring posterior untuk
mencegah pneumonia Gram–negatif ,nasokomial.
27. 27
3. Lingkungan yang protektif pasien beresiko kurang berhasil karena
sebagian besar infeksi berasal dari dalam ( endogen ).
3.7 Evidence Based Practice
1. Dalam penelitian Irvan, Febian dan Suparto tahun 2018 dengan judul “
Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru” didapatkan
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap tidak
membantu lagi. Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon
disregulasi yang mengancam jiwa. Disfungsi organ didiagnosis apabila
peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis berat sudah tidak
digunakan. Septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana
abnormalitas sirkulasi dan metabolik yang terjadi dapat menyebabkan
kematian secara signifikan. Dalam protokol yang dikeluarkan pada
tahun 2016, target resusitasi EGDT dihilangkan, dan
merekomendasikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/
kgBB dalam 3 jam atau kurang.
2. Dalam penelitian Romero, Fry dan Rochie tahun 2017 dalam judul
“The impact of evidence-based sepsis guidelines on emergency
department clinical practice: a pre-post medical record audit “
didapatkan Studi ini menunjukkan pengurangan waktu 230 menit yang
signifikan secara statistik terhadap antibiotik setelah penerapan
pedoman.
28. 28
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) yang disertai dengan infeksi. Walaupun
kejadian sepsis ditandai dengan adanya infeksi namun tidak selamanya
terdapat bakteremia. Kejadian tersebut dimungkinkan karena adanya
endotoksin maupun eksotoksin di dalam darah sedangkan bakterinya
berada di dalam jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram positif yang
menghasilkan eksotoksin, bakteri gram negatif yang menghasilkan
endotoksin, virus maupun jamur. Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif. Sebuah studi
epidemiologi melaporkan bahwa dari 14.000 pasien sepsis yang dirawat di
intensive care unit (ICU) di 75 negara disebutkan bahwa severe sepsis
yang disebabkan karena gram negatif sebesar 62% kasus, gram positif
sebesar 47% kasus dan 19% kasus disebabkan karena jamur (Vincent et
al., 2009).
4.2 Saran
Sebaiknya lebih dikaji lagi mengenai asuhan keperawatan kritis
sepsis agar kita lebih memahami dan lebih mengerti.
29. 29
DAFTAR PUSTAKA
Setyohadi ,Bambang dkk.(2006), Buku ajar penyakit dalam .Jakarta . Fakultas
Kedokteran UI.
Prof Dr. H.Rab.tabirin .(1998), Agenda Gawat Draurat ,Bandung. PT Alumni.
http ://www.total kesehatannanda.com/sepsis.htlm.
Black M Joyce , Hawks Hokanson Jane. 2014.Keperawatan Medikal Bedah Edisi
8 Buku .Indonesia: Elsevier
Sylvia Anderson Prince, Lorraine M. Wilson. 1995.Patofisiologi-konsep klinis
proses-proses penyakit, Edisi 4. Jakarta: EGC
Pearce,Evelin C.2006.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedic.Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama
penelitian Irvan, Febian dan Suparto tahun 2018 dengan judul “ Sepsis dan Tata
Laksana Berdasar Guideline Terbaru”
penelitian Romero, Fry dan Rochie tahun 2017 dalam judul “The impact of
evidence-based sepsis guidelines on emergency department clinical practice: a
pre-post medical record audit “